Crime-Terror Nexus di Asia Tenggara
Adi Sulistyo
Jakarta, Indonesia Februari, 2014
Pendahuluan
Peristiwa 11 September 2001 telah menjadikan upaya
pemberantasan terorisme telah sebagai prioritas utama dalam kebijakan
politik dan keamanan secara global. Teror Bom Bali pada tanggal 12
Oktober 2002 mendorong Pemerintah Indonesia untuk menyatakan
perang melawan terorisme dan mengambil langkah-langkah
pemberantasan serius dengan dikeluarkannya Perpu No.1/2002 [1] dan
Inpres No.4/2002 [2], dibentuknya Desk Koordinasi Pemberantasan
Terorisme oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan
(Menkopolhukam) [3], ditetapkannya UU No.15/2003 [4], sampai yang
paling terbaru, yaitu UU No.9/2013 [5].
Tugas yang dilakukan oleh negara dalam pemberantasan terorisme
semakin berat karena perkembangan yang terjadi saat ini adalah adanya
fenomena hubungan/keterkaitan antara tindakan kriminal transnasional
dengan aksi terorisme, dimana hal tersebut mempersulit negara untuk
menentukan apakah suatu kasus adalah memang hanya sebuah aksi
kriminal murni atau merupakan salah satu bagian dari kegiatan yang
dilakukan oleh kelompok teroris. Salah satu kasus yang baru saja terjadi di
Indonesia adalah kasus penembakan terhadap beberapa aparat
kepolisian pada tahun 2013 yang dilakukan oleh kelompok teroris yang
juga terkait dalam aksi perampokan toko emas dan bank, dimana hasil
1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Nomor 1 Tahun 2002, tentang Pemberantasan tindak pidana terorisme.
2 Instruksi Presiden Republik Indonesia, Nomor 4 Tahun 2002, tentang Tim Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
3 Keputusan Menkopolhukam, Nomor : Kep-26/Menko/Polkam/11/2002, tentang Pembentukan Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme Menkopolhukam.
4 Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 15 Tahun 2003, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
tindakan kriminal tersebut digunakan sebagai dana operasional untuk
melakukan aksi terorisme [6].
Tulisan ini akan membahas mengenai hubungan antara kegiatan
kriminalitas dengan terorisme, khususnya terkait kejahatan transnasional
yang secara langsung maupun tidak langsung menjadi pendukung dari
gerakan terorisme, khususnya dikawasan Asia Tenggara.
Grey Area Phenomena (GAP)
Dalam pembahasan terkait kejahatan transnasional digunakan
konsep Grey Area Phenomena (GAP) sebagai pendekatan dalam
menjelaskan nature negara berdaulat dalam menghadapi kejahatan yang
kini dapat melintas berbagai batas-batas kedaulatan negara.
GAP dapat didefinisikan sebagai ancaman terhadap stabilitas negara
berdaulat oleh aktor-aktor non-negara atau organisasi non-pemerintah [7].
GAP dibedakan dalam 2 (dua) bentuk, antara lain :
GAP non-kekerasan, berkaitan dengan ancaman yang ditimbulkan oleh
kegiatan non-proses dan tanpa pengaruh pemerintahan seperti aktifitas
tak terkontrol, ilegal migran, kelaparan dan wabah.
GAP sebagai tindak kekerasan, pada umumnya terkait dengan kegiatan
aktor-aktor non-negara seperti sindikat kejahatan internasional,
perdagangan narkoba, serta organisasi atau kelompok teroris.
Dalam sistem negara, pada umumnya kejahatan atau kriminalitas menjadi
permasalahan dalam negeri sebuah pemerintahan. Pemerintahan tersebut
membutuhkan kerjasama atau ekstradisi untuk menghadapi pelaku
kejahatan yang keluar dari garis negara. Namun saat kejahatan
berkembang dan meluas, memiliki jaringan luar negeri, terdapat suatu
kebingungan, siapa yang mempunyai otoritas untuk memberantas
kejahatan tersebut, seperti apa kerjasama yang harus dilakukan
sementara kejahatan tersebut benar-benar terhubung disatu negara
6 Fiansyah., Rahmat, Polri Pastikan Terduga Teroris adalah Pelaku Penembakan Polisi , (http://nasional.kompas.com/read/2014/01/01/1222589), diakses pada tanggal 14 Februari 2014, pukul 23.30 WIB.
7
dengan negara lain, memiliki efek timbal balik dan pada dasarnya
mengganggu stabilitas negara-negara tersebut.
Keinginan dari berbagai kelompok sosial untuk memperoleh
kekayaan materi secara instan, menjadi sebab kemunculan GAP.
Akibatnya, telah terjadi evolusi bertahap dari ekonomi bawah tanah di
seluruh Asia Tenggara yang memberi kesempatan untuk berbagai
kegiatan terlarang, seperti : pencucian uang, pembajakan, narkotika, serta
perdagangan ilegal.
Kejahatan Transnasional
Implikasi dari konsep GAP melahirkan suatu definisi baru dalam dunia kriminal. Kejahatan transnasional yang “bermain” pada wilayah abu -abu di dalam yurisdiksi antar negara, dapat menimbulkan kerugian pada
setiap negara yang menjadi tempat berlangsungnya aksi tersebut.
Kejahatan transnasional dapat di definisikan sebagai kejahatan yang
dilakukan oleh kartel profesional yang membentang lebih dari satu negara,
biasanya tanpa motif politik atau agama utama. Kartel ini terlibat dalam
kegiatan seperti pemerasan, transaksi keuangan tidak teratur seperti
pencucian uang dan hawala (sistem informal transfer uang, diduga
digunakan untuk membiayai operasi teroris), pembunuh bayaran,
penyelesaian sengketa uang, dan dalam beberapa kasus perdagangan
narkoba, senjata, dan manusia [8].
Pada lingkup Asia Tenggara, Salah satu permasalahan yang
menonjol adalah Golden Triangle atau segitiga emas yang merupakan
sebuah wilayah yang dibentuk dari garis yang dihubungkan oleh tiga titik
dari wilayah Thailand Utara, Laos bagian Barat dan Myanmar bagian
Timur, dimana narkotika, heroin dan amphetamin diproduksi dan
didistribusikan ke seluruh penjuru dunia [9]. Kasus yang lain adalah
perdagangan buruh ilegal dari Indonesia dan Philipina ke Malaysia, dan
8 Balachandran., V, Transnational Trends : Insurgency, Terrorism, and Transnational Crime in South Asia (Washington : The Henry L. Stimson Center, 2008), h.114.
9
dari Asia Selatan ke Asia Tenggara, kemudian ke Australia, perdagangan
wanita dan anak-anak dikarenakan permintaan pasar terhadap prostitusi
dan buruh anak, serta kasus pembajakan yang sering terjadi di selat
malaka yang menjadi jalur pelayaran internasional.
Terorisme
Ancaman atau penggunaan kekerasan secara ilegal yang dilakukan
oleh aktor non-negara baik berupa perorangan maupun kelompok untuk
mencapai tujuan politis, ekonomi, religius, atau sosial dengan
menyebarkan ketakutan, paksaan, atau intimidasi menjelaskan definisi
dari terorisme [10].
Beberapa aksi/kelompok teroris yang terdapat di wilayah Asia
Tenggara antara lain :
Indonesia
Kelompok teroris utama di Indonesia adalah Jamaah Islamiyah (JI). JI
merupakan organisasi teroris lokal yang melakukan kegiatan tidak
hanya di Indonesia tetapi juga di Malaysia, Singapura, Filipina dan
Thailand. Dengan anggota yang berasal dari beragam
kewarganegaraan, JI juga memiliki keterkaitan dengan jaringan teroris
global (Al-Qaeda) [11].
Filipina
Pemerintah Filipina masih harus berhadapan dengan kelompok
separatis Moro Islamic Liberation Front (MILF) dan Abu Sayyaf Group
(ASG). Kedua kelompok tersebut beroperasi di provinsi selatan
Mindanao. Meskipun MILF telah melakukan gencatan senjata dengan
pemerintah, kelompok ini masih menimbulkan ancaman yang cukup
besar bagi pemerintah Filipina. MILF adalah kelompok pemberontak
dengan kekuatan 12.000 sampai 11.000 personil, dan diperkirakan
memiliki sekitar 9000 pucuk senjata api [12].
10 IEP, Global Terrorism Index : Capturing the Impact of Terrorism for the Last Decade (Sydney : Institute for Economics and Peace, 2012), h.06.
11 Isnanto., Samtohadi, Kol (TNI)., S.E, M.A., Terrorist Threat in The Mallaca Strait (Jakarta : Universitas Pertahanan, 2012), h.03.
Malaysia
Organisasi militan di Malaysia yang terkait dengan jaringan teroris
global adalah Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM). Kelompok ini
memiliki hubungan dekat dengan JI sejak Abubakar Ba'asyir
bersembunyi di Malaysia pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Malaysia telah menangkap lebih dari 71 anggota KMM sejak Agustus
2001, setelah klaim KMM yang menyatakan memiliki hubungan dengan
al-Qaeda, serta tindakan teroris di New York dan Washington [13].
Crime-terror nexus
Hubungan antara terorisme dengan tindakan kejahatan atau
organisasi kriminal dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 1. Terror-Crime Continuum [14]
Melalui gambar di atas, dapat diambil 3 (tiga) pengertian umum yang
terdapat pada hubungan antara kriminalitas dengan terorisme, yaitu :
Hubungan
kelompok-kelompok kriminal membentuk aliansi dengan
organisasi teroris, dan kelompok teroris mencari aliansi dengan
organisasi kriminal. Sifat aliansi antara kelompok bervariasi, dan dapat
mencakup hubungan jangka pendek maupun jangka panjang. Selain
itu, aliansi diciptakan untuk berbagai alasan seperti keahlian terkait
pencucian uang, pemalsuan, atau pembuatan bom, atau dukungan
Contoh hubungan antara kejahatan transnasional dengan
terorisme yang terjadi di kawasan Asia Selatan adalah D-Company di
pimpin oleh Dawood Ibrahim (organisasi kriminal India yang berbasis di
Pakistan) telah menjalin hubungan dengan berbagai kelompok teroris,
termasuk Al-Qaeda, LTTE, dan Lashkar e-Tayyaba. Sedangkan untuk
wilayah Asia Tenggara, terdapat indikasi bahwa jaringan kriminal di
Thailand selatan telah menyelundupkan senjata kecil ke Sri Lanka dan
daerah konflik di Indonesia seperti Aceh, Sulawesi, dan Maluku dengan
maksud mempersenjatai kelompok-kelompok separatis dan teroris [15].
Motif operasional
Kelompok kriminal terorganisir secara teratur menggunakan taktik
teror dalam rangka memenuhi tujuan operasional spesifik serta untuk
mengamankan lingkungan operasional mereka. Sebanding dengan
kelompok kriminal, kelompok teroris juga menggunakan aksi-aksi
kriminal untuk mendukung tujuan yang diinginkan oleh kelompok
teroris. Sejak awal 1990-an kelompok-kelompok tertentu, termasuk
Hizbullah, memperoleh keuntungan finansial melalui partisipasi dalam
perdagangan obat-obatan terlarang, dikatakan bahwa Hizbullah
melindungi laboratorium heroin dan kokain di Lembah Bekaa[16].
Contoh kasus yang terjadi adalah perampokan beberapa bank di
daerah sumatera yang dilakukan oleh kelompok teroris di bawah
pimpinan Fadli Sadama pada tahun 2013 lalu [17].
Konvergensi
Secara eksplisit mengacu pada gagasan bahwa organisasi
kriminal dan teroris bisa menyatu menjadi satu kesatuan yang awalnya
menampilkan karakteristik masing-masing dari kedua kelompok, tetapi
memiliki potensi untuk berubah menjadi entitas tersendiri, dimana
kelompok kriminal menunjukkan motivasi politis, sedangkan kelompok
15 Ibid, h.132.
16 Ibid, h.135.
menggunakan retorika politik mereka sebagai sebuah kedok untuk
melakukan tindak kegiatan kriminal.
Pada kawasan Asia Tenggara kelompok yang menggambarkan
perkembangan entitas dari teroris menjadi kelompok kriminal adalah
kelompok Abu Sayyaf di Filipina Selatan. Sejak tahun 2000, Abu Sayyaf
telah terlibat dalam kegiatan kriminal seperti penculikan dan
mengoperasikan perkebunan ganja di Filipina, dimana kelompok
tersebut tetap mengarah kepada tujuan politik aslinya untuk mendirikan
sebuah republik Islam yang merdeka di wilayah yang saat ini terdiri
Mindanao, kesultanan Sulu, dan pulau-pulau sekitarnya[18].
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
kejahatan transnasional (khususnya organisasi kriminal) memiliki
hubungan simbiosis mutualisme dengan kelompok teroris, dimana tujuan
mencari keuntungan secara ilegal yang dilakukan oleh organisasi kriminal
dapat dimanfaatkan oleh kelompok teroris untuk membantu operasional
mereka dalam mencapai tujuan politis/ideologi yang mereka inginkan.
Kejahatan transnasional, seperti penyelundupan senjata ilegal dan
bahan peledak akan mempermudah dan mendukung teroris untuk bisa
mempersenjatai diri dan memenuhi kebutuhannya dalam perakitan dan
pembuatan bom, sehingga dapat melangsungkan aksi teror.
Meskipun memiliki tujuan akhir yang berbeda (politis dan ideologi),
kolaborasi antara kriminalitas dan terorisme dapat terjadi karena keduanya
memiliki kesamaan landasan atau dasar pemikiran dalam pelaksanaan setiap operasinya, yaitu “kekerasan”.
{asulistyo-2014}
Referensi
Peraturan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Nomor 1 Tahun 2002, tentang Pemberantasan tindak pidana terorisme.
Instruksi Presiden Republik Indonesia, Nomor 4 Tahun 2002, tentang Tim Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Keputusan Menkopolhukam, Nomor : Kep-26/Menko/Polkam/11/2002, tentang
Pembentukan Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme
Menkopolhukam.
Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 15 Tahun 2003, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 9 Tahun 2013, tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Buku dan Karya Tulis
Balachandran., V, Transnational Trends : Insurgency, Terrorism, and
Transnational Crime in South Asia (Washington : The Henry L. Stimson
Center, 2008).
Hiltner., Sebastian, Facing Grey Area Phenomena : Transformation through
Transnational Crime and Violence in Southeast Asia, (ASIEN 109 :
Oktober, 2008).
IEP, Global Terrorism Index : Capturing the Impact of Terrorism for the Last
Decade (Sydney : Institute for Economics and Peace, 2012).
Isnanto., Samtohadi, Kol (TNI)., S.E, M.A., Terrorist Threat in The Mallaca Strait
(Jakarta : Universitas Pertahanan, 2012).
Makarenko., Tamara, The Crime–Terror Continuum: Tracing the Interplay
between Transnational Organized Crime and Terrorism (Routledge : Global
Crime Vol.6 No.1, 2004).
Media Massa dan internet
nasional.kompas.com
www.wnd.com