• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEKEWATIRAN PADA KEBEBASAN PERS SAAT INI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEKEWATIRAN PADA KEBEBASAN PERS SAAT INI"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

The freedom of the press

KEKEWATIRAN PADA KEBEBASAN PERS SAAT INI

Muhammad Mashuri Alif

Mata Kuliah: Media Law, Ethics, and Policy Dosen: Dr. Indrawadi Tamin, Msc

Sistem pers memang tidak terlepas hubungannya dengan sistem sosial dan sistem politik dari suatu masyarakat atau bangsa, karena hubungan pers itu adalah dengan pemerintah dan masyarakat, di mana hubungannya atau interaksinya itu tidak bisa dihilangkan. Jadi sistem

pers itu tidak akan terlepas dari pengaruh pemikiran atau filsafat yang mendasari sistem masyarakat dan sistem pemerintahan, dimana pers itu berada dan beroperasi.

(F. Rachmadi, 1990, Perbandingan Sistem Pers, Jakarta: Gramedia, hlm. 14.)

Sebait kutipan diatas dari F. Rachmadi diatas untuk mengambarkan fungsi media pers yang merupakan pilar ke 4 dari sistem demokrasi kita. Tetapi sayangnya di era reformasi peran yang tinggi tersebut tidak lagi sejalan dengan prakteknya sebagai sarana penyeimbang, dan juga kontrol publik. Apakah benar proses sosial dan politik sedang berlangsung ke arah yang lebih liberal, dari yang sebelumnya bercorak otoritarian?

Di masa Orde Baru dahulu, pers diatur dengan Undang-undang No. 11 Tahun 1966, Undang-undang No. 4 Tahun 1967 dan Undang-undang No. 21 Tahun 1982 yang merupakan produk represif pada saat itu, sedangkan di era Reformasi setelah lengsernya Soeharto kehidupan pers diberlakukan Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang penuh dengan euforia.

Di era Reformasi sistem pers menuju ke sistem pers bebas (liberal) yaitu dengan adanya euforia kebebasan yang kebablasan karena tidak ada lagi ketentuan regulasi yang represif. Walaupun sekarang ini sudah muncul UU 32 tahun 2002 tentang Media Penyiaran elektronik. Dalam undang-undang ini tidak mengatur hubungan yang jelas antara pemilik dan pengelola berbeda dengan UU Pers. Sehingga dalam kasus yang berhubungan dengan media Pers masih banyak dipergunakan KUHP, seperti dalam kasus Olga. Berikutnya, UU 11 tahun 2008 yang mengatur ITE dan sangsinya sudah ada seperti pada jaman SBY yang situsnya di Hack orang. Akhirnya yang melakukan hal tersebut diberikan sangsi pidana dan yang terakhir yang menimpa JKW, tetapi kemudian dimaafkan. UU 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi publik dan terakhir UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

(2)

1. Berdasarkan data yang dihimpun Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), pada era Reformasi terjadi kenaikan jumlah penerbitan yang sangat signifikan setelah keran kemerdekaan pers dibuka tahun 1999. Pada tahun 1997, jumlah media cetak di Indonesia memiliki 289 penerbitan, kemudian pada tahun 1999 jumlah penerbitan melonjak drastis menjadi 1687.

2. Gejala kemerdekaan pers di Indonesia, tercermin pula melalui hasil survey organisasi Reporter Without Border, di Paris tahun 2002, bahwa kemerdekaan pers di Indonesia terbaik di Asia Tenggara.

Tetapi disamping makin beragamnya media yang hadir, muncul kekewatiran.

1. Aliansi Jurnalis Independen (AJI), PWI dan MPPI dengan anggota Panitia Ad Hoc I BP MPR masih menunjukkan keragu-raguan dan kecemasan terhadap kebebasan pers. Mereka mengkhawatirkan kebebasan pers akan menjadi sebebas- kebebasan pers itu perlu diatur. Reaksi ini merupakan rejuvenansi konsep pengekangan pers oleh pemerintah pra-transisi. Kekhawatiran tersebut senada dengan kecurigaan pemerintah bahwa kebebasan pers yang tanpa kontrol telah melahirkan satu model kebebasan pers yang saat ini sudah berlebihan dan menjadi sumber kekuasan baru. Hal ini antara lain di tandai dengan penyerangan terhadap harian Jawa Post di Surabaya oleh Banser (Barisan Serba Guna) Anshor yang merupakan pendukung Presiden Abdurrahman Wahid.

2. Menurut catatan AJI. Periode 2004 menyebutkan, terdapat 32 kasus gugatan terhadap media dan jurnalis, yang meliputi: pertama, kasus Redaktur Harian Rakyat Merdeka, Supratman yang mempublikasikan isi berita berupa penghinaan terhadap Presiden. Akhirnya terbukti dihukum dengan KUHP, dengan masa hukuman 6 bulan.

3. Kemudian majalah Tempo dua tahun terakhir (2003-2004) harus bolak-balik ke pengadilan guna melayani kasus yang dibawa ke meja hijau oleh pengusaha Tomy Winata, akibat pemberitaan di majalah Tempo edisi 3-9 Maret 2003 yang berjudul ”Ada Tomy di Tenah abang”.

(3)

5. Bahkan sejak 1996 sampai saat ini sudah terjadi 10 kasus pembunuhan, dua di anta-ranya terjadi di masa Orde Baru. Kasus pertama adalah pembunuhan terhadap Fuad Muhammad Syarifudin alias Udin jurnalis Harian Bernas Yogyakarta, dia dianiaya pada 13 Agustus 1996 dan meninggal. Sampai saat ini belum terungkap. Hal yang sama terjadi dalam kasus pembunuhan wartawan Sun TV Maluku, Ridwan Salamun. Naimullah, jurnalis Sinar Pagi, Agus dari Asia Pers, Muhammad Jamaluddi dari TVRI, Ersa Siregar dari RCTI, Herliyanto Tabloid Delta Pos Sidoarjo, dan Alfred Mirulewan dari Tabloid Pelangi. Dari sederet kasus itu hanya satu kasus terungkap, yaitu pem-bunuhan wartawan Radar Bali Anak Agung Prabangsa. Sedangkan tujuh kasus lainnya hingga kini masih gelap.

6. Kasus terbaru di tahun 2014 adalah Penetapan Pemimpin Redaksi Jakarta Post sebagai tersangka karena laporan Ketua Majelis Tabligh dan Dakwah Korps

Mubaligh Jakarta Edy Mulyadi. Edy menyebut, permintaan maaf dari Meidyatama tak cukup. Menurut dia, Pemimpin Redaksi The Jakarta Post menista agama dan kasus tersebut harus dibawa ke ranah hukum pidana.

Akibatnya kondisi pers kita di penghujung tahun 2014 terus mengawatirkan berdasarkan survei global yang dilakukan oleh lembaga pemantau media Reporters Without Borders (RSF-RWB), dari 180 negara, ternyata Indonesia berada di peringkat 132 di Indeks Kebebasan Pers Dunia. Kebebasan pers Indonesia masih kalah dibandingkan dengan Timor Leste di peringkat 77. Adapun Malaysia berada di posisi 147, Myanmar peringkat 145 dan terburuk Singapura di peringkat 150. Adapun Cina diperingkat 175.

Berawal dari sinilah muncul berbagai ancaman terhadap pers, seperti isu SARA, tekanan massa, bahkan legal resentment (ancaman gugatan), business interest (kepentingan bisnis), suap dan sebagainya. Satu hal yang kini menonjol sebagai ancaman adalah kekecewaan terhadap pers bebas, yang jika dicermati bisa menjadi satu opini publik luas di masyarakat, yang disebut pers kebablasan. Fenomena kebebasan pers ini harus dilihat dalam keseluruhannya, dalam arti kebebasan pers dilihat dalam kaitannya dengan nilai-nilai kultur, sosial, politik dan ekonomi semua persoalan dalam negara yang kita alami sekarang adalah suatu harapan yang berlebihan.

Selain itu bentuk-bentuk kriminalisasi menjadi ancaman terhadap kebebasan pers, padahal seharusnya kalaupun terdapat pemberitaan yang keliru, dapat mengikuti mekanisme yang diatur dalam UU Pers, seperti hak jawab dan hak koreksi; bukan dengan cara memenjarakan wartawan, itu yang menjadi suatu kekeliruan Kasus kriminalisasi terhadap pers dapat dilihat pada Kasus Tempo, Rakyat Merdeka, Radar Yogya, kemudian kasus Suara Indonesia Baru (SIB) Medan, yang menurunkan serial investigasi tentang judi illegal yang dibekingi oleh pejabat Sumatera Utara. Kemudian sekelompok anak muda yang dipolitisir masuk dan mengobrakabrik SIB. Kasus-kasus kriminalisasi terhadap pers merupakan masalah yang sangat dirisaukan oleh kalangan jurnalis dan media.

(4)

Pers, terutama yang dimiliki orang partisan, pemberitaannya cenderung partisan pula. Hal ini memuncak saat era pemilu presiden seperti sekarang ini. Beberapa media mengusung agenda yang mencerminkan agenda politik si empunya. Grup Metro TV mengusung agenda Surya Paloh untuk capres Jokowi-JK. Grup TV One mengusung agenda Aburizal Bakrie untuk Prabowo-Hatta. Demikian pula media di grup MNC mengusung agenda Hary Tanoe untuk Prabowo-Hatta. Tak beda pula dengan untuk pers cetak main online yang masuk dalam grup di atas. Jauh sebelum pemilu 2014 yang lalu, majalah Tempo lewat edisi 18 Mei 2008 pun memuat artikel yang berjudul “Hidup Adalah Beriklan”. Para politikus tersebut benar-benar memanfaatkan media sebagai sarana untuk mempromosikan diri mereka.

Publik tak lagi memiliki hak penuh untuk mendapatkan informasi yang benar. Ini karena informasi yang disampaikan “dimasak” sedemikian rupa sehingga publik merasakan racikan informasi dengan “rasa” pemiliknya. Kepentingan-kepentingan privat disampaikan melalui media yang sebenarnya milik publik. Sebab meski secara modal media massa adalah milik privat, dalam pemberitaan pada hakekatnya media adalah milik publik. Sehingga apapun yang diberitakan, seharusnya mencermikan kepentingan publik. Tapi siapa yang bisa mencegah pemilik-pemilik modal itu tidak menyalahkan gunakan medianya untuk kepentingan dirinya? Ancaman kebebasan pers berpindah dari penguasa ke pemilik modal.

Sebagai dikutip diatas media sebagai pilar ke empat harus mampu menjadi agen of change, mengimplementasikan kesejahteraan rakyat dan pencerdasan kehidupan bangsa. Dengan prinsip-prinsip indepeden, cover both sides, bebas dari campur tangan modal dan politik.

Thomas Jeffersen, pernah mengatakan : “Lebih baik memiliki pers tanpa pemerintah, daripada memiliki pemerintah tanpa pers.”

Kini ketika kontrol politik melonggar dan kebebasan pers cukup besar, tantangan utama media pers adalah kontrol dari pemilik modal. Watak pers sebagai industri dewasa ini sangat rentan terhadap pelanggaran-pelanggaran etika jurnalistik. Lebih-lebih mengingat

persaingan antar lembaga pers/media yang begitu ketat sehingga masing-masing lembaga media/pers berusaha menarik audiens dengan berbagai cara. Independensi lembaga pers dan idealisme jurnalis kini benar-benar diuji. Pertanyaannya, apakah kode etik jurnalistik mampu menangkal kecenderungan dampak buruk dari industrialisi pers tersebut?

Mengenai soal kelembagaan ini ada satu masalah yang masih krusial di negeri ini yaitu soal kepemilikan perusahaan media khususnya media televisi. Ada kecenderungan kepemilikan media televisi di Indonesia mengarah pada bentuk oligopolis di mana lembaga-lembaga media yang ada hanya dimiliki oleh beberapa pihak. Hal ini merupakan satu tantangan tersendiri bagi dunia jurnalistik untuk mewujdukan pluralitas media yang menjamin penyebaran infromasi secara lebih demokratis.

Selain itu banyak pemberitaan yang menurut masyarakat diluar kaidah jurnalistik dan etika jurnalistik. Misalnya munculnya istilah junk food news, yaitu berita yang dianggap

overxposed tinggi dalam intensitas peliputan, tapi tak selalu penting atau punya relevensi bagi konsumennya, di Indonesia contohnya adalah Infotainmen tentang selebritis.

(5)

nasional mengulas kasus tersebut. Bahkan Kasus Ryan juga masuk dalam infotainment yang biasanya mengulas tentang kehidupan seleberiti.

Oleh sebab itu jurnalis selain memahami etika jurnalistik, juga harus mengetahui

pengembangan tentang prinsip pers di dunia, salah satunya adalah 9 elemen jurnalis Bill Kovach dan Tom Rosensteil yaitu:

1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran 2. Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga (citizens) 3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi

4. Jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liput

5. Jurnalis harus melayani sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan 6. Jurnalisme harus menyediakan forum bagi kritik maupun komentar dari publik 7. Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting itu menarik dan relevan 8. Jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional

9. Jurnalis memiliki kewajiban untuk mengikuti suara nurani mereka (etika)

Sumber:

1. http://www.rri.co.id/post/berita/77602/nasional/kasus_pembunuhan_wartawan_tidak_ tuntas_penyebab_indeks_kebebasan_pers_indonesia_terpuruk.html

2. http://www.tempo.co/read/news/2014/12/11/078627972/Dewan-Pers-Kasus-The-Jakarta-Post-Sudah-Selesai

3. Winarto, senior news producer RCTI, lulusan Pascasarjana Sosiologi Universitas Indonesia

4. http://legatuspropraetor.wordpress.com/2011/11/12/demokrasi-dan-kebebasan-pers/ 5.

http://satrioarismunandar6.blogspot.com/2009/05/sembilan-elemen-jurnalisme-plus-elemen.html

6. http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2013/12/10/masalah-jurnalisme-di-indonesia-615170.html

7.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini kami beritahukan bahwa penawaran Saudara nomor: LEMATANG-BAMA/03/2017 tanggal 07 Desember 2017 perihal penawaran pengadaan bahan makanan dan beras

In the paper we study weak and strong invariance of differential inclusions with fixed time impulses and with state constraints.. We also investigate some properties of the solution

Menurut Kant pengetahuan merupakan hasil terakhir yang diperoleh dengan adanya kerjasama di antara dua komponen, yaitu di satu pihak merupakan bahan-bahan yang bersifat

Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, perlu menetapkan

Salah satu bukti kemerosotan yang terjadi adalah pada enkulturasi ketiga sudah tidak dilakukan lagi membahasakan oleh orang tua, sehingga generasi keempat pada

Perlindungan Desain Industri dalam upaya memajukan produk lokal dalam Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Pentingnya masalah perlindungan Desain Industri sehingga

Dalam konteks globalisasi, segala cerita tentang baik atau buruk orang Madura sama ada yang bersumber daripada lagenda, laporan kolonial Belanda, pengalaman

Kelengkapan Dokumen yang harus Saudara bawa pada saat acara dimaksud terdiri atas: - asli Dokumen Pengadaan sebagaimana yang telah diunggah pada LPSE Kota Medan; - asli