• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM NAQUIB AL ATT (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM NAQUIB AL ATT (1)"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM NAQUIB AL-ATTAS DAN HASAN AL-BANA

Makalah ini kami susun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah “Manajemen Akreditasi Sekolah”

Dosen Pengampu:

Dr.Afiful Ikhwan, M.Pd.I

Disusun Oleh:

Dyah Ayu Sri Handayani (16160096)

Putri Lestari (16160084)

Alif Yaya Zunaidi (16160074)

MPAI – SMT 02

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

PASCASARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO

(2)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadiran Illahi Rabbi Allah Subhanallahu wata’ala atas RidhoNya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan”ini dengan lancar.

Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Revolusioner Peradaban kita Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasalam, suri tauladan yang telah membawa kita dari zaman kebodohan menuju zaman penerangan yaitu yang kita alami saat ini.

Pembuatan makalah dapat terselesaikan dengan baik dan maksimal, tentunya tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Mengingat hal itu dengan segala hormat kami sampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Rektor Universitas Muhammadiyah Ponorogo Drs. H. Sulton, M.Si

2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Ponorogo Dr. Happy Susanto, MA.

3. Dosen pengampu Mata Kuliah Manajemen Akreditasi Sekolah Dr. Afiful Ikhwan, M.Pd.I

4. Seluruh pihak yang ikut berpartisipasi dalam penyusunan makalah ini.

Oleh karena itu penulis menyampaikan terimakasih yang sangat besar kepada semua pihak yang telah berkonstribusi dalam pembuatan makalah ini. Semoga Allah membalas segala kebaikan kita dengan ganjaran amal shaleh.

Penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan banyak kekurangan baik dalam segi kalimat maupun tata bahasa serta pengetahuan atau pengalaman penulis. Oleh sebab itu, dengan sangat penulis berharap dan menerima dengan tangan terbuka segala kritik dan saran yang membangun dari pembaca agar dapat menjadi perbaikan dalam makalah selanjutnya.

Ponorogo, 30 Maret 2017

Penulis,

(3)

DAFTAR ISI

Halaman Judul... i

Kata Pengantar... ii

Daftar Isi... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang... 1 B. Rumusan Masalah... 2 C. Tujuan Makalah... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pemikiran pendidikan Islam Naquib al-Atts dan Aktualisasinya... 3 1. Biografi Naquib al-Attas... 3 2. Pemikiran Naquib al-Attas tentang Pendidikan... 4 3. Aktualisasi Pemikiran Naquib al-Attas dalam Pendidikan Islam... 4 B. Pemikiran Pendidikan Islam Hasan al-Bana dan Aktulisasinys ... 6 1. Biografi Hasan al-Bana... 8 2. Pemikiran Hasan al-Bana tentang Pendidikan... 9 3. Aktualisasi Pemikiran Hasan al-Bana tentang Pendidikan Islam... 11

BAB III: PENUTUP

Kesimpulan... 20

DAFTAR PUSTAKA... 21

(4)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan bagian vital dalam kehidupan manusia. Pendidikan Islam dengan berbagai coraknya berorintasi memberikan bekal kepada manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.Oleh karena itu, tentunya perlu adanya pembaharuan konsep dan aktualisasinya dalam rangka menyambut perkembangan zaman yang selalu dinamis dan temporal, agar peserta didik tidak hanya tertuju kepada kebahagiaan hidup setelah mati, tetapi juga kebahagiaan hidup di dunia.

Namun dalam kenyataannya dalam menyambut perkembangan zaman tersebut tidaklah mudah bahkan telah muncul berbagai isu mengenai krisis pendidikan Islam dan problem yang lain yang sangat mendesak untuk dipecahkan. Inilah salah satu penyebab yang menuntut perlu adanya pembaharuan dalam hal pendidikan dan segala hal yang terkait dengan kehidupan umat Islam hingga seluruh manusia. Dewasa ini, pendidikan Islam sedang menghadapi tantangan yang sangat berat seiring dengan datangnya era globalisasi dan informasi. Tidak dapat dipungkiri betapa pengaruh Barat pada dunia Islam sangat mempengaruhi alur perjalanan kaum muslim terutama dalam bidang Pendidikan. Sistem pendidikan yang ada antara tradisional-modern telah membuat kejatuhan umat Islam. Jika hal tersebut dibiarkan maka dapat menggagalkan dan mendangkalkan perjuangan umat Islam dalam rangka menjalankan amanah yang diberikan Allah yaitu manusia disamping sebagai hamba Allah juga sebagai khalifah di muka bumi.

Oleh sebab itu, jika umat Islam ingin kembali bangkit dan memegang andil besar dalam sejarah sebagaimana kejayaannya, sangat ditentukan sejauh mana kemampuannya mengatasi persoalan pendidikan yang sedang dialaminya. Berdasarkan fakta inilah para tokoh pemikir dan pembaharuan Islam mulai muncul dan bahkan bekerja sama merumuskan strategi Islamisasi ilmu dalam bentuk kurikulum pendidikan untuk umat Islam yang dikenal sebagai tokoh filosof pendidikan Islam. Salah diantaranya yang akan dibahas dalam makalah ini adalah Naquib al-Attas dan Hasan al-Bana.

(5)

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana teori pemikiran pendidikan Islam Naquib al-Attas dan aktulasasinya dalam pendidikan Islam?

2. Bagiamana teori pemikiran pendidikan Islam Hasan al-Bana dan aktualisasinya dalam pendidikan Islam?

C. Tujuan Makalah

1. Untuk mengetahui teori pemikiran pendidikan Islam Naquib al-Attas dan akatualisasinya dalam pendidikan Islam.

(6)

BAB II PEMBAHASAN

A. Pemikiran Pendidikan Islam Naquib al-Attas dan Aktualisasinya 1. Biografi

Syed Muhammad Naquid al-Attas dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931 ketika Indonesia di bawah kolonialisme Belanda.1 Kedua orangtua al-Attas merupakan orang-orang yang berdarah biru, ibunya berasal dari Bogor keturunan bangsawan Sunda ada ayahnya tergolong bangsawan di Johor2. Syed M. Naquib al-Attas adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya bernama Syed Husein, seorang sosiologi dan mantan wakil rektor Universitas Malaya, sedangkan adiknya bernama Syed Zaid, seorang insyinyur kimia dan mantan dosen Institut Teknologi MARA.3

Selama hidupnya Naquib al-Attas pernah menempuh pendidikan yang panjang yaitu sebagai berikut:

a. Pada tahun 1936-1941, ketika beliau berusia 5 tahun, ia menempuh dasar pendidikan Ngee Heng Primary School4.

b. Pada tahun 1941-1946 al-Attas melanjutkan pendidikannya di Indonesia di sekolah ‘urwah al wusqa, Sukabumi selama 5 tahun5. c. Pada tahun 1946-1951, al-Attas merampungkan pendidikan di Bukit

Zahrah School kemudian English Colege.

d. Pada tahun 1952-1955, al-Attas memasuki dunia militer, pertama di Eton Hall, Chester, Wales, kemudian di Royal Military Academy, Sandhurst, Inggris.6

e. Pada tahun 1960 al-Attas belajar di Institut of Islamic Studies,

Universitas McGill, Montreal hingga mendapatkan gelar Master of Art

(M.A) pada tahun1962 dengan tesisnya yang berjudul Raniry and the

1 Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), hlm. 299.

2 Hasan Muarif Ambary, et al, Suplemen Ensiklopedi Islam jilid (Jakarta: PT. Ichtiar van Hoeve, 1995), hlm. 78.

3 Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam: Gagasan-gagasan Besar Para Ilmuwan Muslim (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2015), hlm. 288.

4Ibid.,

5 Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam... hlm. 299. 6Ibid.,

(7)

Wujudiyyah of 17th Century Acheh lulus dengan nilai yang sangat

memuaskan.7

f. Pada tahun 1963, ia meneruskan pendidikan doktoralnya di SOAS (School of Oriental an African Studies), Universitas London. Pada tahun 1965 hingga beliau mendapatkan gelar Ph. D pada tahun 1965 dengan judul disertasi doktoralnya The Myticism of Hamzah Fanshuri

lulus dengan nilai yang sangat memuaskan.8 Salah satu pengaruh terbesar dalam diri al-Attas adalah asumsi yang mengatakan bahwa terdapat integritas antara realitias metafisis, kosmologi dan psikologi.9 g. Pada tahun 1965, beliau dilantik menjadi ketua jurusan Sastra di

Fakultas Kajian Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur.

h. Pada tahun 1968-1970, dia menjabat sebagai Dekan Fakultas Kajian Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur.10

2. Pemikiran Naquib al-Attas Tentang Pendidikan

Paradigma pemikiran al-Attas bila dikaji secara historis merupakan sebuah pemikiran yang berawal dari dunia metafisis kemudian ke dunia kosmologis dan bermuara pada dunia psikologis. Berikut akan diuraikan pemikiran M. Naquib al-Attas dalam Iqbal sebagaimana berikut11:

a. Konsep Ta’dib

Kata ta’dib dalam terminologi al-Attas secara sederhana adalah sebagai suatu usaha peresapan (instilling) dan penanaman (inculcation)

adab pada diri manusia dalam pendidikan, sehingga adab dapat diartikan sebagai content atau kandungan yang harus ditanamkan dalam proses pendidikan Islam.

Dalam arti yang luas al-Attas memberikan definisi adab

sebagai: recognition and acknowledgementof the reality that knowledge and being are ordered hierarchically according to their and to one’s physical, intellectual and spiritual capacities and potentials.

Pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwasanya ilmu (pengetahuan) dan segala sesuatu yang wujud yang ada terdiri dari

7 Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam... hlm. 289. 8Ibid.,.

(8)

hierarkhi yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu memiliki tempatnya masing-masing dalam hubungannya dengan realitas serta kapasitas, potensi fisik, intelektual dan spiritualnya.

Pentingnya makna adab dan keterkaitannya dengan pendidikan manusia yang baik akan semakin terasa ketika disadarinya bahwasannya pengenalan, meliputi ilmu dan pengakuan, tindakan, tentang tempat yang tepat, sangat berhubungan dengan kata-kata kunci lainnya dalam pandangan hidup Islam, seperti hikmah (kebijksanaan) dan adl (keadilan), realitas dan kebenaran (haqq). Realitas dan kebenaran itu sendiri dipahami memiliki korespondensi dan koherensi dengan tempat yang tepat. Selanjutnya menurut al-Attas pendidikan adalah peresapan atau penyemaian (instilling) dan penanaman (inculnation) adab dalam diri seseorang ini disebut ta’dib.

Adab menurut al-Attas sendiri sudah melebur secara konseptual dengan ilmu dan amal. Al-Attas tidak setuju dengan adanya kompromis: “arti pendidikan secara keseluruhan terdapat dalam konotasi istilah tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib yang dipakai secara bersamaan. Menurutnya al-Attas, jika benar-benar dipahami dan dijelaskan dengan baik, konsep ta’dib adalah konsep yang paling tepat untuk pendidikan dalam Islam, bukannya tarbiyah ataupun ta’lim

sebagai mana yang dipakai pada masa itu. Beliau juga menjelaskan bahwa struktur konsep ta’dib sudah mencakup unsur ilmu (‘ilm), pengajaran (ta’lim) dan tarbiyah (pemahaman) sehingga tidak perlu lagi dikatakan konsep pendidikan dalam Islam adalah sebagaimana yang terdapat dalam trilogi yakni tarbiyah, ta’lim, ta’dib.

M. Naquib al-Attas menolak salah satu bahkan kedua istilah (ta’lim dan tarbiyah) disebabkan karena istilah tersebut menunjukkan ketidaksesuaian (irrelevansi) makna. Beliau menolak tarbiyah karena istilah ini hanya menyinggung aspek fisikal dalam mengembangkan tanam-tanaman danterbatas pada aspek fisikal dan emosional dalam pertumbuhan dan perkembangan binatang dan manusia. Pendapat ini nampaknya senada oleh pendapat Ibnu Miskawaih bahwa istilah ta’dib

(9)

bagi anak muda maupun orang dewasa, sedangkan tarbiyah dipakai untuk mengajari binatang. Oleh karena itu tarbiyah hanya berkaitan dengan pengembangan fisikal dan emosional manusia.

Al-Attas juga mengingatkan akibat yang diterima sebagai

konsekuensi logis jika tidak diterapkannya konsep ta’dib sebagai pendidikan Islam, yakni pertama, Confusion and error in knowledge, creating the condition for. (kebingungan dan kekeliruan persepsi mengenai ilmu pengetahuan, yang selanjutnya akan menciptakan kondisi:), kedua, Loss of adab within the Comunity. The condition arising out of (1) and (2) is: (Ketiadan adab dalam suatu masyarakat. Akibat yang muncul dari poin pertama dan kedua adalah:) ketiga, The rise of leaders who are not qualified for valid leadership of The Muslim Comunity; who do not possess the high moral, intellectual, spiritual satndars high required for Islamic leadership who perpetuate the condition in (1) above and ensure the continued control over the affais of the Comunity by leaders like them who dominate in all fields

(Munculnya pemimpin-pemimpin yang tidak memenuhi syarat kepemimpinan yang absah dalam umat Islam, yang tidak memiliki standart moral, intelektual dan spiritual yang tinggi yang dibutuhkan bagi kepemimpinan umat Islam. Mereka akan mempertahankan kondisi yang disebutkan dalam poin pertama di atas dan akan terus mengontrol permasalahan-permasalahan sosial-kemasyarakatan melalui tangan para pemimpin lain yang berwatak sama dengan mereka dan mendominasi berbagai sektor kehidupan).

(10)

demi kepentingan dan kemaslahatan baik untuk dirinya, keluarganya, lingkungan, masyarakat, agama, bangsa dan negara.

b. Dasar dan Peranan Pendidik serta Peserta Didik dalam Pendidikan

M. Naquib al-Attas mengatakan bahwa otoritas tertinggi dalam pendidikan Islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah atau Hadits Nabi, yang diteruskan oleh para sahabat dan para ilmuwan yang benar-benar mengikuti sunnahnya, memiliki derajat pengetahuan, kebijaksanaan dan pengalaman spiritual, yang selalu mengaplikasikan agama pada tingkat

ihsan.

Peranan guru (pendidik) dalam proses pendidikan sangat

urgent. Sebelum belajar kepada seorang guru, peserta didik harus mempersiapkan spiritualnya dulu seperti, niat yang ikhlas, sabar dan jujur sehingga kualitas imannya akan menjadi lebih kuat. Beliau juga mengatakan bahwa peserta didik harus menginternalisasikan adab dan mengaplikasikan sikap tersebut, sebagaimana diungkapkannya dalam bukunya Risalah dikutip oleh Iqbal dari Wan Mohd Wan Daud: “Ilmu pengtahuan harus dikuasai dengan pendekatan yang berlandaskan sikap ikhlas, hormat dan sederhana terhadapnya. Pengetahuan tidak dapat dikuasai dengan tergesa-gesa seakan-akan penetahuan adalah suatu yang terbuka bagi siapa saja yang menguasainya tanpa terlebih dahulu memilik pada arah dantujuan, kemampuan dan persiapan.

Peserta didik harus menghormati dan percaya pada guru, sabar dengan kekurangan gurunya menempatkannya dalam perspektifyang wajar. Peserta didik harus memahami dengan benar isi dan pesan yang disampaikan oleh gurunya dan mengaplikasikannya secara tepat dalam kehidupan pribadi dan sosial.

c. Peranan Bahasa

(11)

interpretasi sumber tulisan ataupun verbal dari semua saluran ilmu lainnya hanya akan membuahkan hasil jika kedua belah pihak yang terlibat memahami makna yang benar dari pesan yang disampaikan. Oleh sebab itu, al-Attas memusatkan perhatian pada misteri bahasa, terutama bahasa Arab dan bahasa Islam serta bahasa asing pentinglainnya, sebagai alat transmisi dan pencairan ilmu pengetahuan dan kebenaran.

d. Metode Pendidikan

Penyakit yang melanda dunia Islam adalah symptom dikhotomi

yang secara langsung ataupun tidak langsung dipengaruhi oleh dunia Barat. Padahal sebelumnya dalam dunia Islam tidak dikenal yang namanya dikhotomi. Untuk menyelesaikan problematika dikhotomi itu, maka diperlukan suatu metode yaitu metode tauhid. Metode ini diformulasikan untuk menekankan bahwa tidak ada dikhotomi misalnya, antara apa yang dianggap teori dan praktik. Jika benar-benar mengetahui suatu teori, seseorang mestinya mampu mengaplikasikannya dalam praktik. Tidak ada pemisahan antara rasionalisme, atau empirisme dengan intuisisme.

e. Kurikulum dan Sistem Pendidikan dalam Islam

Kajian al-Attas mengenai kurikulum pendidikan dalam Islam berangkat dari pandangan bahwa manusia itu bersifat dualistik, yaitu

pertama, yang memenuhi kebutuhannya yang berdimensi permanen

dan spiritual; dan kedua, yang memenuhi kebutuhan material dan emosional.

Al-Attas berpandangan bahwa manusia terdiri dari dua unsur, jasmani dan ruhani, maka ilmu juga terbagi ke dalam 2 kategori, yaitu

pertama, ilmu yang diberikan Allah (melalui wahyu) dan kedua, ilmu

capaian (yang diperoleh dari usaha pengamatan, pengalaman, dan riset manusia). Namun pada hakikatnya dalam Islam ilmu itu hanya satu sumber, semua ilmu datang dari Allah. Perbedaannya pada cara kedatangannya serta indera yang menerimanya.

(12)

Dalam sistem pendidikan 3 tahap (rendah, menengah, dan tinggi) ilmu fardhu’ain harus diajarkan tidak hanya pada tingkat rendah, melainkan juga pada tingkat menengah dan tingkat tinggi (universitas). Karena menurutnya universitas merupakan cerminan sistematisasi yang paling tinggi, maka formulasi kandungannya harus didahulukan.

3. Aktualisasinya dalam Pendidikan Islam

Pendidikan menurut al-Attas adalah “penyemaian dan penanaman

adab dalam diri seseorang ini disebut ta’dib. Oleh karena itu tujuan diadakannya proses pendidikan adalah menyemaikan dan menanamkan

adab ke dalam diri seorang individu. Beliau memberikan kriteria manusia yang beradab yang menuntut hadirnya adab dalam berbagai tingkat pengalaman hidup manusia, yaitu sebagai berikut:

a. Mengakui bahwa seseorang – dirinya sendiri itu – terdiri dari dua unsur yaitu akal dan sifat-sifat kebinatangan, dan ketika akalnya bisa mengontrol dan menguasai sifat-sifat kebinatangannya, maka orang itu telah menjadi manusia yang ber-adab karena telah berlaku adil terhadap diri sendiri. Itulah awal mula adab hadir terhadap diri sendiri.

b. Menerapkan norma-norma etika dalam tata krama sosial dan berada pada posisinya yang benar sesuai dengan kedudukannya baik dengan keluarga maupun dengan masyarakat.

c. Menerapkan disiplin intelektual yang mengenal dan mengakui adanya hierarkhi ilmu berdasarkan kriteria tingkat-tingkat keluhuran dan kemuliaan, yang memungkinkannya mengenal dan mengakui bahasa seseorang yang pengetahuannya berdasarkan wahyu itu jauh lebih luhur dan mulia dari pada ilmu pengetahuannya berdasarkan akal.

d. Memanfaatkan dan meletakkan segala sesuatu yang ada di alam semseta ini pada tempatnya yang benar, baik dalam konteksnya sebagai tanda-tanda Tuhan.

e. Mengenal dan mengakui adanya tempat yang benar dan tepat untuk setiap kata, baik dalam tulisan maupun ucapan sehingga tidak menimbulkan kerancuan makna, bunyi dan konsep.

(13)

terhadap tingkat-tingkat keluhuran yang menjadi sifat alam spiritual; pengenalan dan pengakuan terhadap berbagai maqam spiritual berdasarkab ibadah; pengenalan dan pengakuan terhadap disiplin spiritual yang dengan benar telah menyerahkan fisik atau jiwa kebinatangn pada spiritual ataupun akal.12

Melihat fenomena yang terjadi di dunia sekarang, dimana banyak manusia yang tidak ber-adab. Pertama yang harus diatasi dalam hal ini adalah ketiadaan adab, karena kebingungan dan kesalahan memahami ilmu serta munculnya pemimpin buruk adalah berasal tidak adanya adab.

Menurut al-Attas sistem pendidikan yang sempurna adalah yang merefleksikan sistem yang ada pada manusia karena di dalam diri manusia ini ada sistem yang teratur dan rapi.

Berkaitan dengan ilmu fardhu kifayah, al-Attas berpendapat bahwa ilmu ini harus melalui proses Islamisasi, yakni pembebasan dari magis, mitos, animistik, tradisi kultur-nasional dan kontrol sekuler yang menguasai pikiran dan bahasanya. Salah satu caranya adalah penggunaan elemen-elemen dan istilah-istilah kunci harus berdasarkan cara pandang Islam, utamanya berkenaan dengan Sain Humaniora. Istilah yang digunakan adalah pengisolasian setiao cabang ilmu rasional, intelektual, dan filsafat dari istilah-istilah kunci asing.

Pendidikan merupakan suatu prses panjang untuk mengaktualkan seluruh pontensi diri manusia sehingga potensi kemanusiaannya menjadi aktual. Sistem menumbuhkembangkan potensi diri itu telah ditawarkan secara sempurna dalam sistem ajaran Islam, ini yang pada akhirnya menjadikan manusia dapat menjalankan tugas yang telah diamanahkan Allah. Karena manusia yang baik adalah individu yang sadar sepenuhnya akan individualitasnyadan hubugannya yang tepat dengan diri, Tuhan, masyarakat dan alam sekitarnya.

B. Pemikiran Pendidikan Islam Hasan al-Bana dan Aktulaisasinya 1. Biografi

Hasan al-Bana dilahirkan di desa Mahmudiyah kawasan Buhairah, Mesir tahun 1906 M. Pada masa kecil, Hasan al-Bana di didik langsung

12 Syed Muhammad Al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), hlm. 155-157.

(14)

oleh ayahnya Syaikh Ahmad bin Abdurrahman bin Muhammad al-Bana as-Sadati yang mengajarkan al-Qur’an, al-Hadits, fiqih, bahasa dan tasawuf.13 Pada usia 14 tahun Hasan al-Bana telah menghafal seluruh al-Qur’an.14

Hasan al-Bana lulus sekolah dengan predikat terbaik di sekolahnya dan kelima terbaik di seluruh Mesir. Pada usia 16 tahun dia telah menjadi mahasiswa di perguruan tinggi Dar al-Ulum, Universitas Kairo. Selain prestasinya di bidang akademik, dia juga memiliki bakat leadership yang cemerlang. Semenjak mudanya Hasan al-Bana selalu terpilih untuk menjadi ketua organisasi siswa di sekolahnya. Pada usia 21 tahun, al-Bana menamatkan studinya di Dar al-Ulum dan ditunjuk menjadi guru di Isma’iliyah.15

Pada tahun 1923, Hasan al-Bana mendirikan sebuah organisasi yang dikenal dengan nama Ikhwan al-Muslimin. Ikhwan al-Muslimin muncul sebagai reaksi terhadap sosio moral di Kairo dimana masyarakatnya pada saat itu kurang peduli lagi terhadap nilai-nilai Islam. Akibatnya, kehidupan keagamaan menjadi cenderung formalis dan penuh kemunafikan. Sementara praktik mistik membawa masyarakat kepada kehidupan tahayul dan memadamkan sifat orisinal Islam yang dikenal kreatif.16

Selain itu, juga sebagai reaksi terhadap kekacauan dalam bidang pendidikan. Berbagai sumber mencatat, bahwa dalam sistem pendidikan terjadi dualisme. Di satu pihak sekolah-sekolah pemerintah hanya mementingkan pengetahuan umum dan mengabaikan masyarakat, sedangkan di pihak lain sekolah agama melupakan pengetahuan umum. Konsep Ikhwan al-Muslimin ditujukan bagi pemecahan berbagai masalah sosial yang dihadapi. Dengan kata lain, Ikhwan al-Muslimin melihat pendidikan sebagai alat untuk membantu masyarakat dalam menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan.17

2. Pemikiran Hasan al-Bana dalam Pendidikan

13 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 180.

14 Hery Sucipto, Ensiklopedia Tokoh Islam Dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qardhawi (Bandung: PT Mizan Publika, 2003), hlm. 236.

15Ibid.,

(15)

Hasan Al-Banna memiliki gagasan bahwa kemunduran umat Islam disebabkan kesalahan dalam bidang pendidikan. Menurut Hasan al-Banna, Allah telah menjadikan akal manusia sebagai faktor yang dominan dan untuk itu manusia diperintahkan untuk meneliti, menganalisa, dan berpikir.

a. Sistem/Konsep Pendidikan

Sistem pendidikan yang diterapkan Hasan Al Banna dalam Madrasah Hasan Al Banna berbeda kontras dengan sistem pendidikan yang dibangun oleh dasar individualis maupun sosialis komunis. Sistem pendidikan yang dibangun Hasan Al Banna mengacu kepada tujuan yang jelas, langkah-langkah yang nyata, sumber yang terang yang digali dari ajaran Islam kaffah bukan dari ajaran yang lainnya.18

Dalam hal ini Hasan Al-Banna berupaya untuk mengintegrasikan sistem pendidikan yang dikotomis di antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Melalui organisasi yang didirikannya, Hasan Al-Banna berusaha memperbarui makna iman yang dianggap telah lapuk oleh peradaban modern, yaitu dengan cara kembali kepada sumber-sumber ajaran yang masih orisinal.19

Tiang pendidikan berdasarkan ketuhanan ialah hati yang hidup yang berhubungan dengan Allah Swt., meyakini pertemuan dengan-Nya dan hisab-dengan-Nya, mengharapkan rahmat-dengan-Nya dan takut akan siksa-Nya. Hakikat manusia bukanlah terletak pada bentuk fisiknya, melainkan pada jiwa yang bersemi pada fisik yang digerakkan-Nya. Hakikat itu adalah segumpal darah (mudghah). Bila ia baik maka baiklah hidup seluruhnya, dan bila ia rusak maka rusaklah tubuh seluruhnya, itulah hati. Hati adalah suatu wujud yang dapat menghubungkan manusia dengan rahasia hidup dan rahasia wujud dan mengangkatnya dari alam bumi ke alam yang tinggi, dari makhluk kepada Khaliq. Oleh sebab itu, di antara tujuan spiritual Ikhwanul Muslimin adalah menghidupkan hati supaya tidak mati, menghaluskannya supaya tidak keras.

18 Muhammad Al Banna, Skripsi: Pemikiran Hasan Al Banna dalam Pendidikan Islam (Uin Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2014), Hlm. 37.

19 Syamsul Kurniawan & Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), Hlm.162.

(16)

Al-Banna membuat program ibadah praktis yang diamalkan oleh jamaahnya, diantara program tersebut adalah disiplin dalam bermujahadah, baik melalui wirid Al-Quran maupun wirid dzikir yang

ma’tsur dengan harapan dapat mengikat perasaan selalu bersama dengan Allah. Di samping itu, Al-Banna menganjurkan untuk melaksanakan shalat dan puasa sesuai dengan hadis yang jelas kesahihannya. Melalui lembaga pendidikan spiritual Ikhwanul Muslimin (ma’had tarbiyah ruhiyah Ikhwanul Muslimin), Al-Banna menjelaskan beberapa petunjuk tentang shalat lail dan memotivasi anggotanya untuk melaksanakannya.

b. Ruang Lingkup Pendidikan Islam

Aspek-aspek pendidikan dalam sistem pendidikan madrasah Hasan Al-Banna adalah Intelegensi (akal), pendidikan moral (tarbiyah Khuluqiyah), pendidikan jasmani dan ruhani, pendidikan jihad, pendidikan politik, dan aspek pendidikan sosial.20

Pendidikan intelektual atau pengembangan wawasan (tarbiyah aqliyah wa ma’rifatiyah) adalah sesuatu yang ingin dicapai oleh Ikhwan. Perhatian mereka pada aspek ini adalah berangkat dari keyakinan bahwa Islam tidak membekukan pikiran tetapi justru membebaskan dan mendorong manusia untuk melakukan pengamatan dan observasi alam. Tidak dibedakan antara ilmu dunia dan ilmu agama karena ilmu pengetahuan adalah salah satu spesifikasi manusia. Hasan Al-Banna memandang bahwa pengembangan akal merupakan kebutuhan pokok bagi setiap Muslim yang dapat menunjang keberhasilan keyakinan. Karena dengan pengetahuan akal akan menjadi paham atas sesuatu yang diyakini. Menurutnya, seorang Muslim harus mempunyai bukti-bukti tentang Tuhannya agar mendapatkan keyakinan yang kuat. Islam tidak membenarkan penganutnya menjadi muqallid. Dalam beriman seseorang dianjurkan untuk berpikir sendiri, merenung, dan memahami. Hal ini dapat memperkuat keyakinannya. Hasan Al-Banna menempatkan pembentukan akal sebagai prinsip utama pendidikan dengan didasarkan pada pemahaman Al-Quran yang menempatkan akal (ilmu) lebih dahulu daripada iman dan taat.

20Ibid., Hlm. 163-171.

(17)

Selanjutnya Al-Banna memberikan pemikiran yang besar terhadap pendidikan akhlak (moral) untuk para anggotanya. Dalam mendukung perjuangannya, Al-Banna memprioritaskan pembinaan akhlak dengan penanaman sifat sabar, cita-cita yang luhur dan pengorbanan. Mengingat betapa pentingnya pendidikan akhlak, Al-Banna sering kali menyampaikannya baik melalui madrasah, melalui kehidupan sehari-hari, media cetak, masjid-masjid, maupun sarana lainnya. Karena kekuatan akan lebih mudah dibangun jika dilandasi dengan akhlak yang mulia.

Di samping pembinaan aspek ruhani, Al-Banna juga tidak mengabaikan aspek jasmani. Sebab, tubuh adalah sarana manusia untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban agama dan dunia. Berikut ini di antara tujuan dari pendidikan jasmani di madrasah Al-Banna:

1) Kesehatan badan dan terhindar dari penyakit, bahwa akal yang sehat berada pada tubuh yang sehat pula.

2) Kekuatan jasmani dan keterampilan. Kesehatan jasmani perlu dibina sehingga dapat mewujudkan kekuatan dan keterampilan. 3) Keuletan dan ketahanan tubuh, seperti di antaranya dengan

mendirikan klub-klub olahraga, kepramukaan, dan lain-lain. Dengan maksud agar setiap anggota sanggup menghadapi setiap situasi.

Di antara aspek pendidikan Ikhwanul Muslimin yang menonjol adalah pendidikan jihad. Sebab, makna jihad mengandung muatan iman, akhlak, jiwa, dan pengorbanan di samping disiplin dan latihan pula. Pendidikan ini ditanamkan Al-Banna melalui berbagai macam media, baik pendidikan, dakwah, maupun majalah yang difokuskan pada pengembangan semangat jihad dan rela berkorban untuk menegakkan agama Allah.

Mengingat pentingnya jihad, Hasan Al-Banna beranggapan bahwa jihad merupakan salah satu rukun baiat dengan semboyan: “Jihad itu jalan kami dan mati di jalan Allah itu adalah cita-cita luhur kami”. Dengan semboyan tersebut, anggota Ikhwan akan siap berjihad

fi sabilillah kapan pun juga walaupun harus mengorbankan jiwa dan raga. Menurut Hasan Al-Banna, jihad bukan sebatas pada perang fisik

(18)

melawan musuh, melainkan juga perang terhadap perilaku yang tidak dibenarkan oleh Al-Quran dan Hadis, seperti perilaku bid‘ah dan kemungkaran. Bahkan, sikap tabah dan sabar atas kepahitan dalam berdakwah juga termasuk jihad. Tingkatan jihad yang paling rendah adalah penolakan hati, sedangkan yang paling tinggi adalah berperang di jalan Allah. Adapun tingkatan jihad di antara keduanya berupa lisan dan tulisan.21

Dalam madrasah Hasan Al-Banna, pendidikan politik mendapatkan perhatian yang cukup besar. Hal tersebut dikarenakan pada saat itu politik kurang mendapatkan perhatian umat Islam. Banyak pandangan yang mengatakan bahwa orang Islam haram untuk berpolitik, begitu pula sebaliknya, orang yang berpolitik tidak berkenan mencampuri soal-soal agama. Berangkat dari kenyataan tersebut, Hasan Al-Banna berjuang meluruskan persepsi yang kurang benar tersebut. Sebab, jika kita mengaca kembali pemerintahan yang dibangun oleh Nabi Muhammad Saw. di Madinah, tiada pemisahan di antara agama dan pemerintahan. Melalui politik, suatu negara dapat mengarahkan, membimbing, dan mengembangkan kehidupan bangsa.22

Selanjutnya, juga memerhatikan pentingnya pendidikan sosial, karena membentuk individu menjadi karakter sosial pada dasarnya adalah proses pembebasan, yaitu pembebasan individu dari berbagai refleksi yang bertentangan dengan kecenderungan sosial. Hasan Al-Banna mewajibkan para anggotanya untuk berakhlak sosial, seperti a)

al-Muakhah, dimaksudkan agar seseorang memandang saudaranya yang lain lebih berhak daripada dirinya sendiri, serta berusaha untuk mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. b) al-Tafahum (saling memahami), dimaksudkan agar hubungan di antara individu dengan kelompok dibangun atas saling percaya dan saling menasihati dalam rangka kasih sayang dan saling menghormati. c) al-Takaful, yaitu bahwa semua anggota keluarga saling membantu, dalam memenuhi kebutuhan. Sejumlah akhlak tersebut diharapkan melahirkan kuatnya pertalian dan utuhnya solidaritas sosial.

21Ibid.,Hlm. 168. 22Ibid.,Hlm. 269.

(19)

3. Aktualisasinya dalam Pendidikan Islam

Hasan al-Bana melalui Ikhwan al-Muslimin berupaya mengintegrasikan sistem pendidikan yang dikotomis antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Melalui upaya ini dimaksudkan untuk memberi nilai agama pada pengetahuan umum dan memberi makna progressif terhadap pengetahuan dan amalan agama, sehingga sikap keagamaan tampil lebih aktual.

Aktualisasi tersebut tampak pada bingkai pendidikan Ikhwan al-Muslimin yang berorientasi ketuhanan, universal, terpadu, seimbang dan bermuatan keteampilan yang positif dan konstruktif. Aspek ketuhanan atau keimanan diimplementasikan dengan sikap dan praktek ibadah serta rutinitas agama yang memberi dampak positif bagi masyarakat. Sementara itu orientasi universal, terpadu dan seimbang dimaksudkan agar pendidikan Islam itu tidak hanya mementingkan satu segi tertentu saja dan tidak pula mengharuskan adanya spesialisasi yang sempit melainkan mencakup semua aspek secara terpadu dan seimbang.

Manusia terdiri dari unsur rohani, akal dan jasmani, ketiga unsur tersebut harus terpadu dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Ruh adalah alat untuk mengadakan kontak dengan Allah yang tidak terlihat dan tidak bisa diketahui materi dan cara kerjanya. Akal merupakan potensi atau kekuatan besar yang diberikan Allah kepada manusia. Sementara pendidikan jasmani juga tidak kalah pentingnya, karena seorang muslim haruslah menjaga kesehatan dan kebugaran jasadnya. Pendidikan jasmani ini ditujukan agar setiap Muslim berbadan sehat dan berupaya menjaga kesehatan fisik dan mentalnya, agar setiap Muslim dapat beraktivitas dengan lincah dan positif, serta mempunyai daya tahan tubuh yang senantiasa prima.

(20)

PENUTUP Kesimpulan

1. Pemikiran pendidikan Islam M. Naquib al-Attas, lebih menekankan konsep

ta’dib, yakni berupa pengenalan, penyadaran kepada manusia terhadap posisinya dalam tatanan kehidupan. Penekanan ta’dib dimaksudkan agar ilmu yang diperoleh dapat diamalkan secara baik dan tidak disalahgunakan menurut kehendak bebas pemilik ilmu, sebab ilmu tidaklah bebas nilai (value free) tetapi sarat nilai (value laden), yakni nilai-nilai Islami yang mengharuskan pemiliknya untuk mengamalkan demi kepentingan dan kemaslahatan baik untuk dirinya, keluarganya, lingkungan, masyarakat, agama, bangsa dan negara. Menurut al-Attas aktualisasi sistem pendidikan yang sempurna adalah yang merefleksikan sistem yang ada pada manusia karena di dalam diri manusia ini ada sistem yang teratur dan rapi. Ilmu ini harus melalui proses Islamisasi, yakni pembebasan dari magis, mitos, animistik, tradisi kultur-nasional dan kontrol sekuler yang menguasai pikiran dan bahasanya.

2. Pemikiran Hasan Al-Banna dalam pendidikan Islam, melalui Ikhwan al-Muslimin berupaya mengintegrasikan sistem pendidikan yang dikotomis antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Melalui upaya ini dimaksudkan untuk memberi nilai agama pada pengetahuan umum dan memberi makna progressif terhadap pengetahuan dan amalan agama, sehingga sikap keagamaan tampil lebih aktual. Upaya tersebut tampak pada bingkai pendidikan Ikhwan al-Muslimin yang berorientasi ketuhanan, universal, terpadu, seimbang dan bermuatan keteampilan yang positif dan konstruktif.

(21)

DAFTAR PUSTAKA

Al Banna, Muhammad. 2014. Pemikiran Hasan Al Banna dalam Pendidikan Islam. Skripsi: Uin Syarif Hidayatullah. Jakarta.

Al-Attas, Syed Muhammad. 2001. Risalah untuk Kaum Muslimin. Kuala Lumpur: ISTAC.

Ambary, Hasan Muarif, et al. 1995. Suplemen Ensiklopedi Islam jilid 2. Jakarta: PT. Ichtiar van Hoeve.

Iqbal, Abu Muhammad. 2015. Pemikiran Pendidikan Islam: Gagasan-gagasan Besar Para Ilmuwan Muslim. Yogyakarta: Pustaka Belajar. hal 288

Kurniawan, Syamsul, & Erwin Mahrus. 2011. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Nata, Abuddin. 2000. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Ramayulis dan Samsul Nizar. 2011. Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya. Jakarta: Kalam Mulia.

Sucipto, Hery. 2003. Ensiklopedia Tokoh Islam Dari Abu Bakr hingga Nasr dan Qardhawi. Bandung: PT Mizan Publika.

Referensi

Dokumen terkait

Dari rangkaian ayat 238-242 surat al-Baqarah di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai pemahaman, manusia harus melalui proses, dengan mendayagunakan akalnya,

Tirint se nalazi u peloponeskoj pokrajini Argolidi, u zaleđu grada NauphJona (sl. Argolida je poznata po najvećoj koncentraciji mikenskih cit~dela, i čini se daje

Pasal 10 ayat (1) PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan menentukan bahwa “Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia

Berdasarkan baku mutu air kelas I dan II, kadar DO di Situ Gintung telah melampaui ambang batas air minum >6 mg/L, sehingga tidak cocok digunakan sebagai air baku minum,

Beton akan mengalami pengerasan secara sempurna setelah 28 hari sehingga pada hari-hari sebelumnya akan mempunyai akan mengalami pengerasan secara sempurna setelah 28 hari sehingga

Apabila gen resesif dari suatu pasangan gen, katakanlah gen I, epistatis terhadap pasangan gen lain, katakanlah gen II, yang bukan alelnya, sementara gen resesif dari pasangan gen

Pneumokoniosis merupakan penyakit paru akibat kerja yang disebabkan oleh deposisi debu di dalam paru dan reaksi jaringan paru akibat pajanan debu tersebut. *eaksi

Berdasarkan masalah kajian yang dibincangkan di atas, matlamat utama kajian ini adalah untuk mengkaji pengaruh literasi digital, pengunaan ICT dan kecekapan kendiri pelajar terhadap