• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efek Imunomodulator Ekstrak Etil Asetat Daun Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl.) Terhadap Respon Hipersensitivitas Dan Titer Antibodi Sel Imun Mencit Jantan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efek Imunomodulator Ekstrak Etil Asetat Daun Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl.) Terhadap Respon Hipersensitivitas Dan Titer Antibodi Sel Imun Mencit Jantan"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tumbuhan Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa)

2.1.1 Klasifikasi tumbuhan

Menurut Herbarium Medanense (2016), mahkota dewa diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermathophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Malvales Suku : Malvaceae Marga : Phaleria

Spesies : Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl. Nama Lokal : Mahkota dewa

2.1.2 Morfologi tumbuhan

(2)

menjadi merah marun setelah berumur 2 bulan. Buahnya berbentuk bulat dengan ukuran bervariasi mulai dari sebesar bola pingpong sampai sebesar buah apel.

Bagian tumbuhan yang digunakan adalah daun. Daun mahkota dewa merupakan daun tunggal bentuknya lonjong, memanjang dan berujung lancip dengan letak daun berhadapan, bertangkai pendek, ujung dan pangkal runcing, tepi rata, pertulangan menyirip, permukaan licin, warnanya hijau tua, panjang 7-10 cm, dan lebar 2-5 cm (Harmanto, 2001).

2.2 Khasiat

Secara tradisional mahkota dewa mempunyai beberapa khasiat yang secara empiris mampu menyembuhkan beberapa penyakit, seperti hepatitis, kanker, tumor, reumatik, alergi, asma (Harmanto, 2001), penyakit diabetes melitus, hipertensi, mengurangi rasa sakit jika terjadi pendarahan atau pembengkakan, asam urat (arthritis gout), penyakit jantung, gangguan ginjal, eksim (penyakit kulit), jerawat dan luka gigitan serangga (Tone, 2013).

2.3 Sistem Imun

(3)

Fungsi sistem imun bagi tubuh ada tiga. Pertama sebagai pertahanan tubuh yakni menangkal benda asing. Kedua, untuk keseimbangan fungsi tubuh terutama menjaga keseimbangan komponen yang tua, dan ketiga, sebagai pengintai (surveillence immune system), untuk menghancurkan sel-sel yang bermutasi atau ganas. Pada prinsipnya jika sistem imun bekerja optimal, maka tidak akan mudah terkena penyakit dan sistem keseimbangannya normal (Djauzi, 2003).

Bila sistem imun bekerja pada zat yang diangap asing, maka ada dua jenis respon imun yang mungkin terjadi, yaitu respon imun nonspesifik dan respon imun spesifik (Kresno, 2001).

2.3.1 Komponen sistem imun

Adapun komponen dari sistem imun terdiri dari komponen humoral dan komponen seluler.

2.3.1.1 Komponen Seluler

Komponen seluler ini terdiri dari: 1. Sel Limfoid

Sel limfoid bertugas untuk mengenali antigen. Terdapat beberapa sel limfoid yang terkait dalam mengenali antigen, yaitu limfosit T, limfosit B, dan sel natural killer (NK). Kecuali sel NK, limfosit dilengkapi dengan molekul reseptor untuk

mengenali antigen (Subowo, 2009). a. Limfosit T

(4)

i. Sel Th (T helper)

Sel Th adalah sel yang membantu meningkatkan perkembangan sel B aktif menjadi sel Plasma, memperkuat aktivitas sel T sitotoksik dan sel T supresor yang sesuai, dan mengaktifkan makrofag. Sel Th dapat dibedakan menjadi sel Th1 dan Th2. Sel Th1 berperan sebagai limfosit yang akan melepaskan sitokin yang bersifat proinflamasi, sedangkan sel Th2 berperan dalam memproduksi antibodi dengan menstimulasi sel B menjadi sel plasma (Sherwood, 2001).

ii. Sel Ts (T suppresor)

Sel Ts adalah sel yang berperan dalam membatasi reaksi imun melalui mekanisme “check and balance” dengan limfosit yang lain. Sel Ts menekan aktivitas sel T lainnya dan sel B. Sel Th dan Ts akan berinteraksi dengan adanya metode umpan balik. Sel Th membantu sel Ts beraksi dan sel Ts akan menekan sel T lainnya. Dengan demikian sel Ts dapat menghambat respon imun yang berlebihan dan bersifat antiinflamasi (Sherwood, 2001).

iii. Sel Tc (T cytotoxic)

Sel Tc mempunyai kemampuan untuk menghancurkan sel alogenik, sel sasaran yang mengandung virus dan sel kanker. Dalam fungsinya, sel Tc memerlukan rangsangan dari sel Th1 (Baratawidjaja, 2012).

iv. Sel Tdh (delayed hypersensitivity)

(5)

b. Limfosit B

Sel B terdapat kurang lebih 25% dari jumlah limfosit total. Pada membran sel B terdapat reseptor khas untuk mengikat antigen. Aktivitas sel B distimulasi

dengan adanya sel Th2 menjadi plasma dan akan membentuk antibodi (Tjay dan Rahardja, 2007).

Limfosit B adalah sel yang dapat membentuk imunoglobulin (Ig) (Kresno, 2001). Pada saat distimulasi oleh antigen, limfosit B akan merespon dengan cara sekresi antibodi yang mampu mengikat antigen spesifik (Rantam, 2003). Bila sel B dirangsang oleh benda asing, maka sel tersebut akan berproliferasi dan berkembang menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibodi. Antibodi yang dilepas dapat ditemukan di dalam serum (Baratawidjaja, 1991).

c. Sel NK

Sel Natural Killer (NK) memegang peranan penting dalam pertahanan alamiah terhadap pertumbuhan sel kanker dan berbagai penyakit infeksi, tanpa sensitisasi sebelumnya (Kresno, 2001). Sel NK diperkirakan dapat mengenal struktur-struktur glikoprotein yang muncul pada permukaan sel terinfeksi virus sehingga dapat dibedakan dari sel-sel normal. Pengenalan ini mungkin terjadi melalui reseptor serupa lektin pada permukaan sel NK yang menghantar sel pembunuh dan sasaran saling berhadapan pada jarak yang dekat (Roitt, 2002). 1. Sel fagosit

(6)

pertahanan non spesifik adalah sel mononuklear (monosit dan makrofag) dan sel polimorfonuklear atau granulosit (Baratawidjaja, 1991).

2.3.1.2 Komponen Humoral

Komponen humoral ini terdiri dari: a. Komplemen

Komplemen merupakan mediator terpenting dalam reaksi antigen-antibodi, dan terdiri atas sekitar 20 jenis protein yang berbeda satu dengan yang lain baik dalam sifat kimia maupun dalam fungsi imunologik. Jika komplemen diaktifkan akan memberikan proteksi terhadap infeksi dan berperan dalam respon inflamasi. Komplemen juga berperan sebagai opsonin yang dapat meningkatkan fagositosis (Kresno, 2001).

b. Interferon

Interferon merupakan sitokin berupa glikoprotein yang diproduksi oleh makrofag yang diaktifkan, sel NK dan berbagai sel tubuh yang mengandung nukleus dan dilepaskan sebagai respon terhadap infeksi virus. Interferon mempunyai sifat anti virus dengan menginduksi sel-sel sekitar sel yang terinfeksi virus sehingga menjadi resisten terhadap virus (Roitt, 2002). Interferon dihasilkan sel T (interferon-gamma) atau sel darah putih lain (interferon-alfa) atau fibroblas (interferon-beta) (Corwin, 2009).

c. C-Reactive Protein (CRP)

(7)

d. Antibodi

Antibodi adalah immunoglobulin (Ig) yang merupakan golongan yang dibentuk oleh sel plasma yang berasal dari proliferasi sel B akibat adanya kontak dengan antigen (Rantam, 2003) sehingga membentuk kompleks antigen-antibodi yang akan mengaktivasi komplemen dan mengakibatkan hancurnya antigen tersebut (Kresno, 2001).

Fungsi utama antibodi adalah sebagai pertahanan terhadap infeksi ekstraselular, virus dan bakteri serta menetralisasi toksinnya (Rantam, 2003).

Struktur dasar antibodi berbentuk seperti “Y” memiliki 4 rantai protein yang

tersusun dari dua rantai polipeptida ringan (light-chain) dan dua rantai polipeptida berat (heavy-chain) yang identik. Setiap rantai-rantai ini akan dihubungkan oleh ikatan disulfida (Elfidasari, 2014). Struktur antibodi dapat dilihat pada gambar 2.1

(8)

Menurut perbedaan struktur dan aktivitas biologis, antibodi dibedakan menjadi 5 jenis dan dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1 Pembagian jenis Imunoglobulin

Struktur Subkelas Keterangan

εiu (μ) IgM - Merupakan molekul paling besar

- Berfungsi sebagai reseptor permukaan sel B untuk tempat antigen melekat dan disekresikan dalam tahap-tahap awal respon sel.

Gamma (γ) IgG - Merupakan immunoglobulin yang paling

banyak di dalam darah, dihasilkan dalam jumlah besar ketika tubuh terpajan ulang ke antigen yang sama

Epsilon ( ) IgE - Merupakan mediator antibodi untuk respon

alergi

(9)

imun alami atau respon imun non spesifik dan respon imun adaptif atau respon imun spesifik (Subowo, 2009).

2.4.1 Respon Imun Non Spesifik

Respon imun non spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, oleh karena dapat memberikan respons langsung terhadap antigen (Baratawidjaja, 1991). Respon imun non spesifik (innate immunity) merupakan imunitas alamiah yang telah ada sejak lahir. Imunitas ini tidak ditujukan hanya untuk satu jenis antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen, jadi bukan merupakan pertahanan khusus untuk antigen tertentu (Kresno, 2001).

Respon imun non spesifik dapat mendeteksi adanya antigen dan melindungi tubuh dari kerusakan yang diakibatkannya, tetapi tidak mampu mengenali dan mengingat kembali antigen tersebut (Kresno, 2001).

(10)

manifestasi respon imun non spesifik yang lain adalah reaksi inflamasi (Kresno, 2001).

Pemeran utama pada respon imun ini adalah makrofag, dibantu oleh neutrofil dan monosit. Sel-sel ini membuat kontak pertama dengan antigen. Fungsinya adalah menghancurkan antigen dengan cara fagositosis dan mengeluarkan reaksi akhir dari respon imun seperti reaksi peradangan saat kulit terluka, pelepasan mediator saat alergi, dan demam saat terjadi infeksi mikroorganisme (Tjay dan Rahardja, 2007).

2.4.2 Respon Imun Spesifik

Berbeda dengan respon imun non spesifik, respon imun spesifik membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum dapat memberikan responsnya. Benda asing yang pertama kali muncul dalam tubuh segera dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitisasi sel-sel sistem imun tersebut. Bila sel sistem imun tersebut terpapar kembali dengan benda asing yang sama, maka benda asing yang terakhir ini akan dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan olehnya (Baratawidjaja, 1991).

(11)

Limfosit T dan B (sel T dan B) berasal dari sel induk yang sama yaitu di sumsum tulang belakang. Pada masa janin dan anak-anak, limfosit imatur bermigrasi ke timus dan mengalami pengolahan lebih lanjut menjadi limfosit T. limfosit yang matang di tempat lain selain timus akan menjadi limfosit B (Sherwood, 2001).

2.5 Respon Hipersensitivitas

Respon hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi hipersensitivitas dibagi dalam 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III dan IV (Baratawidjaja, 1991). 2.5.1 Reaksi Hipersensitivitas tipe I

Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi alergi, timbul segera sesudah badan terpapar dengan alergen. Pada reaksi ini alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun dengan dibentuknya IgE. Fase reaksi tipe I adalah sebagai berikut :

1. Fase sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan igE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mastosit dan basofil.

(12)

3. Fase efektor yaitu waktu terjadi respon yang kompleks sebagai efek bahan–bahan yang dilepas mastosit dengan aktivitas farmakologik (Baratawidjaja, 1991). Fase reaksi tipe I dapat dilihat pada gambar 2.2

Gambar 2.2 Reaksi Hipersensitivitas tipe I (Elsevier, 2002).

Antigen merangsang sel B untuk membentuk IgE dengan bantuan sel Th2. IgE kemudian diikat oleh mastosit/basofil melalui reseptor Fc. Apabila tubuh terpapar ulang dengan antigen yang sama, maka antigen tersebut akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan mastosit/basofil. Akibat ikatan antigen-IgE, mastosit/basofil mengalami degranulasi dan melepaskan mediator antara lain histamin, yang menimbulkan gejala pada reaksi hipersensitivitas tipe I (Baratawidjaja, 1991).

2.5.2 Reaksi Hipersensitivitas tipe II

(13)

Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel K, selanjutnya ikatan antibodi-antigen dapat mengaktifkan komplemen yang melalui reseptor C3b memudahkan fagositosis dan menimbulkan lisis. Contoh reaksi tipe II ialah reaksi transfusi darah (Baratawidjaja,1991).

2.5.3 Reaksi Hipersensitivitas tipe III

Reaksi tipe III disebut juga reaksi imun kompleks, terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi dan mengaktifkan komplemen. Antibodi disini biasanya jenis IgM atau IgG. Komplemen yang diaktifkan kemudian melepas Macrophage Chemotactic Factor. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut melepaskan enzim yang dapat merusak jaringan sekitarnya. Contoh reaksi tipe III ialah Sistemic Lupus Eritematosus, artritis reumatoid dan infeksi lain (Baratawidjaja, 1991)

2.5.4 Reaksi Hipersensitivitas tipe IV

Reaksi tipe IV, juga disebut reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediated immunity (CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberkulin

yang timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpapar dengan antigen. Reaksi terjadi karena respons sel T yang sudah disensitisasi terhadap antigen tertentu. Disini tidak ada peranan antiodi. Akibat sensitisasi tersebut, sel T melepaskan limfokin, antara lain macrophage inhibition factor (MIF) dan macrophage activation factor (MAF). Makrofag yang diaktifkan dapat menimbulkan kerusakan

(14)

2.6 Imunomodulator

Imunomodulator merupakan substansi ataupun obat yang dapat memodulasi fungsi dan aktivitas sistem imun baik dengan cara merangsang ataupun memperbaiki fungsi sistem imun (Baratawidjaja, 2012).

Imunomodulator adalah senyawa tertentu yang dapat meningkatkan mekanisme pertahanan tubuh baik secara spesifik maupun non spesifik. Fungsi imunomodulator adalah memperbaiki sistem imun dengan cara menekan atau menormalkan reaksi imun yang abnormal (imunosupresan) dan stimulasi (imunostimulan) (Subowo, 2009).

2.6.1 Imunosupresor

Imunosupresor adalah senyawa yang dapat menurunkan respon imun yang berlebihan. Imunosupresor mampu menghambat transkripsi dari sitokin dan memusnahkan sel T (Tjay dan Rahardja, 2007). Kegunaannya secara klinis terutama pada transplantasi dalam usaha mencegah reaksi penolakan dan berbagai penyakit inflamasi yang menimbulkan kerusakan, mengatasi penyakit autoimun. Imunosupresor yang banyak digunakan adalah steroid, azatioprin siklosporin-A dan globulin antilimfosit (Baratawijdaja, 1991).

2.6.2 Imunostimulator

(15)

defisiensi imunitas, pada terapi AIDS, infeksi kronik, dan keganasan terutama yang melibatkan sistem limfatik (Nafrialdi, 2007).

Imunostimulan memiliki kemampuan untuk meningkatkan perlawanan terhadap infeksi penyakit terutama oleh sistem fagositik dan merangsang pertumbuhan sel pertahanan tubuh secara alami (Subowo, 2009). Beberapa contoh imunostimulan biologi adalah sitokin, hormon timus, limfokin, interferon, antibodi monoklonal, ekstrak leukosit (transfer factor), jamur, dan tanaman obat (herbal). Sedangkan imunostimulan sintetik yaitu levamisol, isoprinosin, dan muramil dipeptida (Djauzi, 2003).

2.6.3 Levamisol

Levamisol adalah derivate tetramizol, obat cacing yang dapat meningkatkan proliferasi sitotoksisitas sel T serta mengembalikan anergi pada beberapa penderita dengan kanker (imunostimulasi nonspesifik). Levamisol dapat meningkatkan efek antigen, mitogen, limfokin, dan faktor kemotaktik untuk merangsang limfosit, granulosit dan makrofag (Baratawidjaja, 1991).

(16)

2.7 Metode Pengujian Efek Imunomodulator

Ada beberapa metode yang digunakan dalam pengujian efek imunomodu- lator. Beberapa di antaranya adalah metode bersihan karbon, uji respon hipersensitivitas tipe lambat, pengukuran antibodi (titer antibodi) (Roit, 1989). 2.7.1 Uji respon hipersensitivitas tipe lambat

Uji respon hipersensitivitas tipe lambat merupakan pengujian efek imunomodulator terkait dengan respon imun spesifik. Respon hipersensitivitas tipe lambat merupakan respon imun seluler yang melibatkan aktivasi sel Th yang akan melepaskan sitokin dan meningkatkan aktivitas makrofag sehingga dapat meningkatkan reaksi inflamasi yang ditandai dengan pembengkakan kaki hewan uji (Roitt, 2002).

2.7.2 Titer antibodi

Gambar

Gambar 2.1 Struktur molekul antibodi (Haryana, 1981)
Gambar 2.2 Reaksi Hipersensitivitas tipe I (Elsevier, 2002).

Referensi

Dokumen terkait

Apakah bapak mengetahui bahwa menggunakan alat kontrasepsi tidak?. menutup kemungkinan

It is evident that marital status, work and income play an important role in influencing life satisfaction among middle-aged women in Hulu Langat, Selangor.. On the contrary,

Apa yang diharapkan Indonesia dari penyelesaian konflik Laut Cina Selatan.. Jadi, ASEAN kan ada 3 pilar ya, pilar politik keamanan,

Sebagai satu-satunya organisasi yang bergerak dalam isu HIV&AIDS dengan sasaran utama kelompok MSM dan TG, Seruni mampu bekerja sama dengan sangat baik dengan

Berdasarkan hasil empiris yang diperoleh disimpulkan bahwa ekspektasi kinerja mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap minat pemanfaatan sistem informasi, variabel

The Rainforest Alliance works to conserve biodiversity and ensure sustainable livelihoods by transforming land-use practices, business practices and consumer behavior. by

In the analysis of Halim Perdanakusuma Airport passenger terminal capacity, the capacity of each mandatory facility in the passenger terminal was elaborated to figure out

3) factor-factor penyebab kerusakan dini pada perkerasan jalan, Waisa Saroso, puslitbang jalan dan jembatan. Tujuan penilitian ini adalah untuk mengkaji