BAB II
KONSEP, TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1 Konsep
Singarimbun (1989: 33) berpendapat bahwa, “konsep merupakan istilah
dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak suatu kejadian,
kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian”. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1995: 456) konsep diartikan sebagai rancangan ide atau
pengertian yang diabstrakan dari pengertian kongkret, gambaran mental dari objek
apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami
hal-hal lain.
Dalam hal ini definisi konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang
digunakan secara mendasar. Selain itu juga sebagai penyamaan persepsi tentang
apa yang akan diteliti serta menghindari kesalahan pada penelitian. Berdasarkan
judul penelitian ini, konsep yang akan dibahas adalah mengenai:
2.1.1 Budaya
Menurut seorang ahli budaya Raymon Williams (1976: 76-7), “culture is one of the two or three most complicated words in the English language … because it has now come to be used for important concepts in several distinct intellectual disciplines and in several distinct system of thought” yang berarti
budaya merupakan salah satu dari dua atau tiga dari kata-kata yang paling rumit di
dalam bahasa inggris dikarenakan belakangan ini telah digunakan sebagai konsep
nyata. Hal tersebut menandakan bahwa budaya merupakan sesuatu yang krusial
dalam kehidupan.
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah,
yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi, dan akal manusia. Dalam bahasa inggris,
kebudayaan disebut culture yang berasal dari kata latin yaitu colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau
bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa
Indonesia.Menurut antropologi, kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan
rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan dalam kehidupan bermasyarakat yang
dijadikan miliknya dengan belajar (Koentjaraningrat, 2005: 72).
Dari pengertian yang di jelaskan oleh Koentjaraningrat, dapat dipahami
bahwa hampir semua tindakan yang dilakukan oleh manusia tidak terlepas dari
kebudayaan. Hari, (2000: 34) menjelaskan bahwa “Kebudayaan suatu masyarakat
terdiri dari dan mengenai suatu keteraturan yang ingin diketahui dan dipercayai,
kemudian dioperasionalkan dalam adat istiadat atau tata cara yang diterima oleh
warganya…” dengan demikian kebudayaan merupakan konstitusi informal yang
diciptakan manusia untuk mengendalikan sistem kehidupan. Menurut Matthew
(1869), budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama
oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Dari beberapa penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa fungsi utama
kebudayaan adalah untuk mengatur, menuntun dan mengarahkan hidup manusia
belajar sebagai salah satu cara untuk menerapkan serta mempertahankan dan
melestarikannya.
2.1.2 Gotong Royong
Istilah gotong royong untuk pertama kali tampak dalam bentuk karangan-karangan tentang aspek-aspek sosial dari pertanian (terutama di Jawa timur) oleh para ahli pertanian Belanda, lulusan Wagonoingen. Dalam kehidupan desa di Jawa, gotong royong merupakan suatu sistem pengarahan tenaga tambahan dari luar kalangan keluarga, untuk mengisi kekurangan pada masa-masa sibuk dalam lingkaran aktifitas produksi bercocok tanam di sawah. Gotong royong dan tolong menolong lebih bertujuan sosial, bukan bertujuan ekonomi. Warga yang menjalankan kegiatan gotong royong akan melakukan dengan tanpa pamrih dan tidak mengharap imbalan.
Gotong royong dibagi dalam dua macam yaitu gotong royong tolong
menolong dan gotong royong kerja bakti di dalam keduanya memiliki
pengertian yang berbeda, dimana gotong royong tolong menolong adalah
kegiatan bersama untuk menyelesaikan suatu pekerjaan tertentu yang dianggap berguna bagi kepentingan individu tertentu. Sedangkan gotong royong kerja bakti adalah kegiatan kerja sama untuk menyelesaikan suatu proyek tertentu yang dianggap berguna bagi kepentingan umum (Marzali 2007: 149).
masyarakat Indonesia. Gotong royong juga diyakini sebagai potensi sosial yang dapat dijadikan sebagai bagian yang signifikan dalam pemecahan berbagai masalah yang kemasyarakatan. Sperti yang dikatakan oleh Collete
1 : 13 bahwa, Gotong royong berurat-berakar dan tersebar dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan merupakan pranata asli paling penting dalam pembangunan. Kartodirjo (1987: 23) menyatakan, Goyong royong bukan hanya khas Indonesia tapi merupakan salah satu bentuk solidaritas khas masyarakat agraris. Solidaritas dalam bentuk keterkaitanya sering muncul dalam aktivitas gotong royong, menurut Koentjaraningrat (1961: 2),
Gotong royong adalah kerja sama di antara anggota-anggota suatu komunitas.
Gotong royong dapat di kelompokan ke dalam tujuh jenis, yakni: Pertama, Gotong royong yang timbul bila ada kematian atau beberapa kesengsaraan lain yang menimpa penghuni desa. Kedua, Gotong royong yang dilakukan oleh seluruh penduduk desa. Ketiga, Gotong royong yang terjadi bila seorang penduduk desa menyelenggarakan suatu pesta. Keempat, Sistem gotong royong yang dipraktekkan untuk memelihara dan memebersihkan kuburan nenek moyang. Kelima, Gotong royong dalam membangun rumah.
Keenam, Gotong royong dalam pertanian. Ketujuh, Gotong royong yang berdasarkan kewajiban kuli dalam menyumbangkan tenaga manusia untuk kepentingan masyarakat (Koentjaraningrat, 1997: 32-33).
dilakukan secara bersama-sama demi tercapainya suatu tujuan, dilakukan dengan tanpa pamrih dan bersifat sukarela, serta bertujuan sosial.
2.1.3 Masyarakat Tionghoa
Masyarakat adalah suatu populasi manusia yang saling berinteraksi dan
bertingkah laku sesuai dengan adat istiadat tertentu yang bersifat kontiniu dimana
setiap anggota masyarakat terikat suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat,
1985: 60). Sedangkan menurut pendapat Roucek dan Waren (2010: 45) definisi
masyarakat adalah “Kumpulan manusia yang memiliki rasa dan kesadaran
bersama, dimana mereka berdiam (bertempat tinggal) dalam daerah yang sama
yang sebagian besar atau seluruh warganya memperlihatkan adanya adat istiadat
serta kebiasaan yang sama pula”. Beberapa ahli yaitu Smith, Stanley, dan Shores (1950: 5) mendefinisikan masyarakat sebagai “…suatu kelompok individu
-individu yang terorganisasi serta berfikir tentang diri mereka sendiri sebagai suatu
kelompok yang berbeda”.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
masyarakat merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan bersama
akan menciptakan suatu kebudayaan karena keterikatan antar satu dengan yang
lainya. Sama seperti yang dikatakan oleh Paul B. Horton (2002: 98) bahwa
masyarakat adalah sekumpulan orang yang hidup secara bersama-sama yang
mendiami suatu wilayah yang menghasilkan kebudayaan. Selain itu, masyarakat
merupakan kelompok yang terorganisasi, dan merupakan suatu kelompok yang
Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang berkumpul di suatu tempat yang
belajar dan menghasilkan kebudayaan (Koentjaraningrat, 2003: 23).
Leluhur masyarakat Tionghoa yang ada Di Indonesia hampir seluruhnya
berasal dari wilayah pesisir tenggara Tiongkok. Mayoritas masyarakat Tionghoa
yang ada di Indonesia berasal dari daerah Guangdong, Fujian dan Hainan yang
terdiri dari 4 suku yaitu Hokkian, Tiochiu, Khek dan Hakka. Sebelum bangsa
Tionghoa menetap di Indonesia, mayoritas mata pencaharian mereka ialah
nelayan dan bertani dikarenakan keadaan geografis wilayah Tiongkok bagian
selatan yang dekat dengan laut serta lahan agraris yang memungkinkan untuk
bercocok tanam. Jika penulis perhatikan, kondisi geografis wilayah Tiongkok
selatan memiliki kesamaan dengan kondisi dan keadaan geografis yang ada di
Indonesia yang bersifat agraris. Tidak menutup kemungkinan jikalau kondisi
tersebut membuat masyarakat Tionghoa bagian selatan memiliki beberapa
kesamaan dengan masyarakat Indonesia yang agraris.
Menurut Wibowo (2000: XIII), masyarakat Tionghoa adalah “… suku
yang bermigrasi keluar dataran China bukanlah pengusaha. Mereka terdiri dari
petani, penjaga toko, buruh pabrik dan sesampainya di tempat tujuan mereka
kebanyakan menjadi kuli atau buruh perkebunan terutama karet”.
Tionghoa atau Tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang
Tionghoa di Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa. Wacana Cung Hwa
setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari
suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh
orang asal Tiongkok yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu
dinamakan Orang Cina (id.wikipedia.org).
Masyarakat Tionghoa datang ke Indonesia pada abad ke-5, di pesisir
pantai Jawa Timur. Mereka adalah pedagang yang berlayar untuk mencari
rempah-rempah. Pada tahun 1680, para pedagang Tionghoa harus menyamar
menjadi kuli atau buruh kebun dikarenakan penjajah Belanda yang ingin
menguasai pedagang Tionghoa yang masuk ke Indonesia serta menghambat
pedagang Tionghoa lain yang hendak masuk ke wilayah Indonesia, penjajah
Belanda merasa takut bila seluruh wilayah Indonesia dirampas oleh pedagang
Tionghoa. Oleh kerena itu, pedagang Tionghoa menetap dan berasimilasi dengan
penduduk setempat dan menyebar di seluruh Indonesia.
2.1.4 Tinjauan Pustaka
Kajian pustaka merupakan daftar referensi dari semua jenis referensi seperti buku, jurnal papers, artikel, disertasi, tesis, skripsi, hand outs,
laboratory manuals, dan karya ilmiah lainnya yang dikutip di dalam penulisan proposal. Dalam penelitian ini penulis melihat beberapa referensi penelitan terdahulu yang bisa menjadi bahan acuan. Penulis menemukan beberapa skripsi dan jurnal yang isinya relevan dengan judul penelitian ini. Adapun buku dan jurnal yaitu :
Dalam penelitian ini penulis melihat beberapa referensi penelitan
Tambunan (2003) dalam skripsi yangberjudul “Eksistensi Bisnis Tionghoa (Studi
Deskriptif Terhadap Pedagang Etnis Cina Penjual Spare Part Sepeda Motor di
Kelurahann Kampung Baru Kecamatan Medan Maimun”, mengungkapkan
bagaimana etnis Tionghoa memiliki strategi bisnis yang digunakan oleh pedagang
spare part sepeda motor etnis Tionghoa di Kampung Baru dalam mempertahankan eksistensi bisnisnya yang membahas mengenai bagaimana
sistem gotong royong pada keluarga untuk mempertahankan bisnis keluarga yang
dikelola. Penulis mengambil kesimpulan bahwa sistem gotong royong yang di
terapkan dalam bisnis keluarga mampu memperbaiki perekonomian keluarga
tersebut menjadi lebih baik karena setiap anggota keluarga memiliki peranan
penting dalam mengisi dan saling memperbaiki kekurangan yang ada pada
anggota keluarga yang lain dalam ruang lingkup bisnis. Hal tersebut menandakan
bahwa gotong royong telah menjadi dasar yang penting untuk menyelesaikan
suatu permasalahan bersama.
Mira Arthi Dhamayanti (2004) dalam skripsi yang berjudul “Sikap
Masyarakat Sudirejo Terhadap Kegiatan Gotong Royong dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhinya (Studi Kasus: Desa Sudirejo Kecamatan Namo Rambe
Kecamatan Deli Serdang) ”menjelaskan mengenai masalah yang dihadapi
masyarakat sehingga mempengaruhi kehadiran warga setempat untuk
melaksanakan kegiatan gotong royong serta upaya yang dilakukan agar
memperbaiki masalah yang terjadi pada masyarakat Desa Sudirejo agar warga di
daerah tersebut dapat memperbaiki persoalan ketidak hadiran warga dalam
bahwa terdapat karakteristik yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat
dalam dalam kegiatan gotong royong yang dilaksanakan oleh masyarakat di Desa
Sudirejo.
Lister berutu dalam jurnal “Gotong Royong dan Musyawarah Mufakat
Sebagai Faktor Penunjang Kerekatan Berbangsa dan Bernegara” pada tahun 2005
di Universitas Sumatera Utara. Dalam hasil penelitianya, penulis menjelaskan
bahwa nilai-nilai budaya gotong royong dan mufakat sesungguhnya memiliki
potensial untuk menjadi aspek untuk hidup dalam kesatuan dan sebagai perekat
kehidupan bangsa.
Jhon Sardo Saragih (2015) dalam skripsi yang berjudul “Tradisi „Marguru‟ Sebagai Sistem Tolong Menolong Pada Desa Marbun Lokkung, Kecamatan
Dolok Silau, Kabupaten Simalungun” membuktikan bahwa keharmonisan dalam
masyarakat di desa Marbun Lukkon masih terjaga dengan masih adanya tradisi
tolong menolong yang dikenal dengan istilah margugu di desa tersebut. Penulis menunjukan bahwa terdapat ciri khas masyarakat di desa Marbun Lukkon yaitu
warga desa masih memiliki rasa kewajiban untuk saling membantu satu sama
yang lain. Dengan membaca skripsi tersebut, peneliti yakin bahwa terdapat
keunikan dan ciri khas dalam kegiatan gotong royong yang terjadi di berbagai
daerah, termasuk di daerah ibukota sekalipun
2.1.5Landasan Teori
menjelaskan, menilai suatu objek atau data yang dikumpulkan, sekaligus sebagai pembimbing yang menuntun dan member arah didalam penelitian. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Fungsionalisme.
2.1.6 Teori Fungsionalisme
Teori fungsionalisme adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural functional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial.
bahwa pada dasarnya kebutuhan manusia sama, baik itu kebutuhan yang bersifat psikologis maupun biologi dan kebutuhan pada pokoknya yang memenuhi kebutuhan tersebut.
Menurut pandangan Malinowski, ada tiga tingkatan yang harus terkayasa dalam kebudayaan, yaitu:
1. Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan biologis, seperti kebutuhan akan pangan dan prokreasi
2. Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan instrumental, seperti kebutuhan akan hukum dan pendidikan.
3. Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan integratif, seperti agama dan kesenian.
menurut penelitian lapangan yang di lakukan oleh Malinowski di kepulauan Trobriant, dapat disimpulkan bahwa terbentuknya kerangka etnografi yang saling berhubungan satu sama lain melalui fungsi dari aktifitas perekonomian masyarakat kepulauan Trobriant dalam hal yang berkaitan dengan aspek kepercayaan, sistem kekerabatan, dan organisasi sosial yang berlaku pada masyarakat tersebut. dari penelitian yang dilakukan, Malinowski menjelaskan konsep yang dirumuskan kedalam tingkatan abstraksi mengenai fungsi aspek kebudayaan, yakni:
1. Saling keterkaitanya secara otomatis, pengaruh dan efeknya terhadap aspek lain
3. Unsur-unsur dalam kehidupan masyarakat yang terintegrasi secara fungsional.
4. Esensi atau inti kegiatan tersebut tak lain adalah berfungsi untuk
pemenuhan kebutuhan dasar biologis manusia.
Melalui tingkatan abstraksi tersebut, Malinowski mengasumsikan bahwa segala kegiatan manusia dalam unsur-unsur kebudayaan sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupanya. Kelompok sosial atau organisasi sebagai contoh, awalnya merupakan kebutuhan manusia yang gemar berkumpul dan berinteraksi, perilaku tersebut berkembang dalam bentuk yang lebih solid dalam artian perkumpulan tersebut dilembagakan melalui rekayasa manusia.
Dalam konsep fungsionalisme Malinowski dijelaskan beberapa unsur kebutuhan pokok manusia yang terlembagakan dalam kebudayaan yang berfungsi untuk pemennuhan kebutuhan-kebutuhan manusia seperti kebutuhan gizi, berkembang biak, kenyamanan jasmani, keselamatan dan ketahanan, rekreasi, pergerakan, dan tumbuh kembang. Setiap lembaga sosial memiliki bagian-bagian yang harus di penuhi dalam kebudayaan. Malinovski (1969) juga membedakan fungsi social dalam tiga abstraksi:
2. Pada tingkat abstraksi kedua mengenai efeknya dalam suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepkan oleh warga masyarakat yang bersangkutan.
3. Tingkat abstraksi yang ketiga mengenai efeknya terhadap kebutuhan mutlak untuk keberlangsungan secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu.
Titik terpenting dari fungsionalisme adalah analisis budaya berdasarkan pada analogi organisme. Maksudnya, sistem fenomena budaya tidak jauh berbeda dengan organisme yang bagian-bagianya tidak sekedar saling berhubungan melainkan saling memberikan andil bagi pemeliharaan, stabilitas dan semua sistem budaya memiliki syarat fungsionalisme tertentu untuk memungkinkan eksistensi hidupnya (Saifuddin, 2005).