BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Dalam penyelenggaraan sebuah negara, untuk mengatur hubungan antara negara
dengan warganya atau antara warga negara satu dengan warga negara yang lain
dibutuhkan sebuah instrumen yang dapat mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan
hubungan tersebut. Instrumen dalam mengakomodasi kehidupan masyarakat/warganya
tersebut adalah sebuah peraturan. Peraturan adalah manifestasi dari hukum yang berlaku
dalam masyarakat pada wilayah tertentu yang disebut dengan hukum positif. Peraturan
tersebut dibuat oleh lembaga yang berwenang yang bersifat memaksa dan terdapat sanksi
bila dilanggar.1 Tujuan dari peraturan-peraturan yang dibuat oleh lembaga yang
berwenang (dalam hal ini negara) bertujuan untuk mengatur hubungan-hubungan yang
terjadi antara warga masyarakatnya agar tercipta ketertiban umum yang tak lain adalah
untuk mensejahterakan masyarakat/warga negara itu sendiri. Hal berikutnya yang terjadi
dalam pengakomodasian kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang harus diatur dalam
peraturan adalah terbenturnya hukum positif dengan perkembangan/kedinamisan yang
terjadi dalam masyarakat tersebut.
Pemerintah Indonesia selama ini telah berusaha untuk selalu mengimbangi
pesatnya kedinamisan dan perkembangan sosial yang terjadi di masyarakat dan juga telah
berusaha mengatasi isu dan gejala-gejala tersebut yang dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan. Tujuan pemerintah dalam membuat peraturan
perundangan-undangan ini ialah agar keresahan yang dirasakan warga masyarakatnya dapat
terakomodasi dengan tepat dan mendapat kepastian hukum yang jelas.
1
Namun isi peraturan-peraturan yang berbentuk abstark dan universal ini terkadang
dirancang dan ditulis dalam bahasa yang tak jarang sulit di mengerti atau memiliki arti
yang lebih dari satu. Bahkan pengertian yang telah di berikan kurang dimengerti bagi
yang menjadi sasaran atau tujuan diarahkannya peraturan tersebut yaitu
masyarakat/warga di negara itu.
Negara, dalam pembuatan sebuah peraturan juga telah memberikan penjelasan
(penjelasan umum) yang selalu melekat dalam peraturannya terkadang justru tidak
memberikan penjelasan seperti yang diinginkan warga negaranya. Meskipun dalam
perancangannya telah dibuat dengan sistematis dan menggunakan bahasa Indonesia yang
mudah dipahami sekalipun, tidak jarang bahkan dalam penerapan sebuah peraturan
tertentu warga yang berkenaan langsung dengan peraturan tersebut menjadi dibuat
kebingungan dalam menjalankannya. Karena latar belakang pendidikan dan kemampuan
nalar yang beragam membuat pemahaman antar satu warga dengan warga yang lain
menjadi berbeda-beda pula. Penjelasan sebuah frasa dalam peraturan yang dimaksud
adalah pengertian tentang definisi dari hal-hal yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh
dilakukan secara rinci, mengenai batasan-batasan sampai manakah warganya dapat
melakuakan atau tidak melakukan perbuatan yang dimaksudkan dalam peraturan tersebut.
Mengenai ketidak jelasan yang penulis maksud dalam peraturan
perundang-undangan ialah pengertian dari frasa kesusilaan yang banyak dimuat dalam hukum
postitif Indonesia. Banyak perundang-undangan yang di buat pemerintah yang ditujukan
terhadap masyarakat yang berisikan perintah dan larangan akan suatu perbuatan yaitu
untuk tidak melanggar kesusilaan. Dari sekian banyak peraturan perundang-undangan
yang telah diberlakukan, kesusilaan hanya disebutkan sepintas tanpa diberikan
definisinya, bahkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan tersebut hanya
bahwa tindakan yang akan dilakukannya itu termasuk dalam tindakan yang dilarang oleh
perundang-undangan atau tidak apabila masyarakat bingung sampai batasan-batasan
mana saja kesusilaan itu sendiri.
Oleh karena sebab yang telah penulis sebutkan diatas, menurut R. Soesilo,
kesusilaan adalah:
sesuatu yang merusak kesopanan, sifat merusak kesusilaan
perbuatan-perbuatan tersebut kadang-kadang amat tergantung pada pendapat umum pada waktu dan tempat itu, hal penting yang perlu dilihat adalah sejauh mana pelanggaran kesusilaan (perbuatan asusila) itu dilakukan, yakni perlu pengamatan hukum dengan mengacu pada adat istiadat yang ada untuk
melihat konteks asusila.2
Mengingat Indonesia adalah negara yang kaya dengan suku-suku dan adat
istiadatnya, maka akan sangat banyak dan berbeda-beda pula pengertian dari kesusilaan
itu sesuai dengan adat yang dianut oleh masyarakat setempat.
Sangat tidak tepat apabila sebuah peraturan yang berisi tentang konsep atau nilai
yang di pahami berbeda-beda tetapi dipaksakan untuk diterapkan secara pukul rata di
seluruh wilayah Indonesia. Dapat saja hal yang dianggap sangat lumrah/biasa di suatu
daerah tetapi masih dianggap tabu oleh daerah lain. Sebagai contoh, misalnya bagi suku
di pedalaman Wamena, Papua menganggap menyusui Wam (babi) adalah hal yang
wajar-wajar saja. Karena di sana babi dianggap sebagai hewan yang memiliki nilai ekonomi
maupun psikologi yang tinggi. Sehingga para mama-mama (wanita dewasa) di sana
dengan suka rela dan senang menyusui Wam tersebut. Lalu karena dianggap unik, maka
seorang turis mengambil gambar dari kejadian menyusui tadi dan mengirimkan gambar
tersebut ke rekannya yang berada di Jakarta untuk memberi tahu keunikan adat di
Wamena. Kemudian apakah turis tersebut dapat dikenakan Pasal 27 ayat (1) UU ITE
yang menyatakan bahwa “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atauu mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”,
apakah turis tersebut melanggar kesusilaan karena telah menyebar luaskan gambar yang
dianggap kurang sopan karena menampilkan bagian atas tubuh wanita yang terbuka
(topless).
Tidak adanya pengertian secara terperinci dan hanya sebatas menyebutkan
kesusilaan saja dalam peraturan perundang-undangan seperti yang penulis sampaikan,
dapat dilihat dari peraturan perundang
-undangan yang memuat tentang kesusilaan yang penulis coba kumpulkan, yakni:
1. UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yaitu:
a. Pasal 46 ayat (3) huruf d: siaran iklan niaga dilarang melakukan hal-hal yang
bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dan nilai-nilai agama;
b. Pasal 48 ayat (4) huruf d: pedoman perilaku penyiaran menentukan standar isi
siaran yang sekurang-kurangnya berisikan kesopanan dan kesusilaan.
2. UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dalam ketentuan umum Pasal 1 ayat 1,
yaitu Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar
bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui
berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang
memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam
masyarakat.
3. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yakni:
a. Pasal pasal 23 ayat (2) yaitu Setiap orang bebas untuk mempunyai,
mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara
memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum,
dan keutuhan bangsa.
b. Pasal 60 ayat (2) yaitu: Setiap anak berhak mencari, menerima, dam
memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi
pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan
kepatutan.
c. Pasal 73 yaitu: Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini
hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk
menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta
kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan
bangsa.
4. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan kesusilaan dalam beberapa
Pasal, namun dari beberapa pasal tersebut hanya menyebutkan secara sepintas saja,
kiranya paling berkenaan menurut penulis yaitu yang dituliskan dalam Bagain 5
tentang Perikatan Bersyarat, Pasal 1254 yang berbunyi: semua syarat yang bertujuan
melakukan sesuatu yang tak mungkin terlaksana, sesuatu yang bertentangan dengan
kesusilaan yang baik, atau sesuatu yang dilarang oleh undang-undang adalah batal dan
mengakibatkan persetujuan yang digantungkan padanya tidak berlaku.
5. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur kesusilaan dalam BAB VI
pelanggaran kesusilaan buku ketiga tentang pelanggaran mulai dari Pasal 532 hingga
547, namun KUHP tidak menjelaskan atau memberikan pengertian kesusilaan, yang
ada hanyalah sanksi yang diberikan terhadap perbuatan-perbuatan yang melanggar
asusila.
6. UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi elektronik dalam Pasal 27
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
7. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan kesusilaan dalam
beberapa Pasal, yaitu:
a. Pasal 52 ayat (1) huruf b: Perjanjian kerja dibuat atas dasar pekerjaan yang
diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Pasal 76 ayat (3) huruf b: Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh
perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib menjaga
kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
c. Pasal 86 ayat (1) huruf b: Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk
memperolehperlindungan atas moral dan kesusilaan.
d. Pasal 169 ayat (1) huruf f: Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan
pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan memberikan pekerjaan yang
membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh
sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
8. UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam Pasal 8 ayat (3)
huruf f menyebutkan proses diversi wajib memperhatikan kepatutan, kesusilaan, dan
ketertiban umum.
9. UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dalam Pasal 69A huruf a menyebutkan perlindungan khusus bagi
anak korban kejahatan seksual sebagaimana diaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j
dilakukan melalui upaya edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai, agama, dan nilai
10.UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, salah satunya Pasal 20
huruf a, yaitu: merek tidak dapat didaftar jika bertentangan dengan ideologi negara,
peraturan perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan, atau ketertiban umum.
11.Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2013 tentang Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri, menyebutkan kesusilaan dalam beberapa pasal yaitu:
a. Pasal 52 ayat (1) huruf d: perjanjian kerja dibuat atas dasar pekerjaan yang
diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Pasal 76 ayat (3) huruf b: Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh
perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib menjaga
kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
c. Pasal 86 ayat (1) huruf b Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh
perlindungan atas moral dan kesusilaan.
d. Pasal 169 ayat (1) huruf f: Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan
pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan memberikan pekerjaan yang
membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh
sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
12.Peraturan Menteri Agama No. 24 Tahun 2015 tentang Pengendalian Gratifikasi Pada
Kementrian Agama menyebutkan kesusilaan dalam beberapa Pasal, yaitu:
a. Pasal 6 huruf e: Pemberian Gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(2) meliputi memberi sesuatu dalam bentuk apapun kepada sesama pegawai
Kementrian Agama, pihak ketiga dan/atau pihak ketiga dan/atau pihak yang
memiliki kepentingan yang tidak sesuai dengan kaidah agama, dan norma
b. Pasal 14 huruf b angka 2: Pegawai Kementrian Agama dapat menerima
Gratifikasi dalam bentuk hadiah/cinderamata yang tertera logo/nama perusahaan
pihak ketiga dan/atau pemberi, dengan persyaratan bukan merupakan benda yang
sifatnya melanggar kesusilaan dan hukum.
Berdasarkan hasil pencarian penulis terhadap makna kesusilaan dalam peraturan
perundang-undangan seperti yang telah dituliskan diatas, pengertiannya tidak
dijumpai dalam Pasal maupun pada penjelasan umum dari Undang-Undang tersebut.
Selanjutnya pencarian makna kesusilaan akan dilakukan dengan melihat dalam
putusan-putusan, seperti:
1. Putusan Pengadilan Militer Nomor:50-K/PM.III-17/AD/VI/2016. Terdakwa diancam
pidana menurut Pasal 281 angka 2 KUHP yang di dakwakan oleh Oditur Militer, yaitu
diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: barang siapa dengan sengaja dan di depan
orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.
Dimaksud dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada di situ bertentangan
dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan, bahwa terdakwa dengan sengaja
melakukan persetubuhan dengan saksi ke-1 padahal di dalam ruangan tersebut juga
ada saksi ke-2, meskipun pada awalnya saksi ke-2 tertidur, tapi kemudian saksi ke-2
terbangun dan mengetahui, mendengarkan bahkan melihat perbuatan persetubuhan
itu. Saksi ke-2 bahkan sempat mengomentari perbuatan mereka dan melemparkan
tissue kepada terdakwa dan saksi ke-2. Hal ini menunjukkan bahwa terdakwa telah
memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 281 angka 2 KUHP tersebut.
Bahwa dalam amar putusannya, untuk membuktikan unsur melanggar kesusilaan
seperti yang dimkasud dalam Pasal 281 angka 2, Majelis hakim menjelaskan
dimaksud “Melanggar Kesusilaan” dalam delik ini adalah perbuatan atau tindakan
yang melanggar kesopanan, sopan santun, keadaban yang berhubungan dengan
kelamin dan atau bagian badan tertentu lainnya yang pada umumnya dapat
menimbulkan perasaan malu, jijik atau terangsangnya nafsu birahi orang lain,
misalnya melakukan hubungan badan layaknya suami isteri, meraba buah dada
seorang perempuan, meraba kemaluan wanita ataupun pria, mencium,
memperlihatkan alat kemaluan wanita atau pria tersebut.
2. Rumusan kesusilaan secara rigid dapat ditemukan dalam Putusan Pengadilan Militer
Balikapan Nomor: PUT-09-K/PM I-07 AD/III/2011 yang merumuskan pengertian
kesusilaan yakni perbuatan atau tindakan yang melanggar kesopanan/sopan santun
dan keadaban di bidang kesusilaan yang harus berhubungan dengan kelamin dan atau
bagian badan tertentu yang lainnya yang pada umumnya dapat menimbulkan perasaan
malu, jijik, atau terangsangnya nafsu birahi orang lain yang melihatnya misalnya
seperti meraba-raba buah dada seorang perempuan, meraba-raba kemaluan wanita,
mencium, memperlihatkan alat kemaluan, dan lain sebagainya
3. Putusan Pengadilan Militer Surabaya Nomor: 169-K/PM.III-12/AD/VII/2012, majelis
hakim memberikan rumusan tentang perbuatan kesusilaan adalah perasaan malu
yangberhubungan dengan nafsu kelamin, misalnya mencium, memperlihatkan
kamaluan pria atau wanita, meraba alat kemaluan wanita, dsb.
Berdasarkan hasil pencarian penulis terhadap makna kesusilaan dalam peraturan
perundang-undangan dan putusan seperti yang telah penulis sampaikan di atas, ternyata
benar bahwa pengertian kesusilaan yang penulis cari tidak dijumpai dalam Pasal maupun
penjelasan umum dari Undang-Undang tersebut, yang ditemukan hanyalah makna yang
Selain itu, beberapa putusan yang memberikan definisi tentang kesusilaan, menurut
penulis definisi tersebut selalu sebatas tentang pelecehan terhadap tubuh atau hal-hal yang
menimbulkan perasaan jijik dan dapat memunculkan birahi seseorang saja.
Penyebutan kesusilaan yang hanya secara sepintas dalam perundang-undangan,
serta definisi kesusilaan yang terdapat dalam beberapa putusan diatas yang sangat terbatas
ini harus di kaji secara mendalam agar pada nantinya tidak ada perdebatan perbedaan
pendapat pada saat penerapannya.
Selain tidak ditemuinya pengertian yang jelas tentang makna kesusilaan, dalam
penerapannya di masyarakat sering terjadi kesalahpahaman antara melanggar kesusilaan
dan bentuk pornografi. Untuk itu perlu di bedah dan dijelaskan kembali pengertian serta
perbedaan-perbedaan antara kesusilaan dan pornografi. Kata kesusilaan yang kata
dasarnya susila dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang disusun Departemen
Pendidikan Nasional yaitu berarti baik budi bahasanya, beradab, sopan, dan tertib; adat
istiadat yang baik, sopan santun, kesopanan, keadaban; pengetahuan tentang adab.
Kesusilaan sendiri yaitu perihal susila; yang berkaitan dengan adab dan sopan santun;
norma yang baik; kelakuan yang baik; tata krama yang luhur.3 Sedangkan, kata kesusilaan
yang dalam bahasa Inggirs adalah moral, ethics, decent, kata-kata tersebut bisa
diterjemahkan berbeda. Kata moral diterjemahkan dengan moril kesopanan, sedang ethics
diterjemahkan dengan kesusilaan dan decent diterjemahkan dengan kepatutan.4
Hilman Hadikusuma menyebutkan kesalahan kesusilaan ialah semua kesalahan
yang menyangkut watak budi pekerti pribadi seseorang yang bernilai buruk dan
perbuatannya mengganggu keseimbangan masyarakat. Misalnya melakukan perbuatan
maksiat, berzina, berjudi, minum-minuman keras, dan sebagainya. Kesemuanya
3Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan Nasional edisi keempat Gramedia Pustaka, Jakarta, 2008.
4
merupakan perbuatan asusila. Walaupun dalam hukum adat tidak dibedakan antara yang
bersifat kejahatahan dan pelanggaran, maka dapatlah dikatakan bahwa kesalahan
kesopanan itu termasuk pelanggaran sedangkan kesalahan kesusilaan termasuk
kejahatan.5 Namun demikian, makna/definisi serta batas hingga mana seseorang dianggap
melanggar kesusilaan perlu dilihat tempat dan situasinya, serta perlu pengamatan hukum
dengan mengacu pada adat istiadat yang ada dalam wilayah/daerah tempat dianggap
terjadi pelanggaran kesusilaan tersebut.
Seperti yang dikemukakan Scot. A. Duvall yang menganalisa keputusan Supreme
Court (Mahkamah Agung) Amerika Serikat yang mencari standar kecabulan seragam
yang bersifat nasional dalam penerapannya mengusulkan untuk melakukan tes kecabulan
tiga tahap agar memberi jalan kepada Mahkamah Agung untuk meyakini Obscenity Law
yang adil dan masuk akal, pengadilan akan meminta berbagai macam pengamanan
prosedural seperti putusan dan pengakuan khusus dari survey, bukti-bukti opini publik
yang valid, pengakuan ahli, perbandingan materi, dan data pasar oleh pembela. Terlebih
lagi, pengadilan harus menutut pembuatan prima facie (fakta) yang menunjukkan bahwa
materi kecabulan terduga menghina standar komunitas (adat) yang relevan. Tahap
pertama dari tes kecabulan tiga tahap tersebut adalah, juri harus menjawab secara
langsung apakah materi yang diduga cabul tersebut memiliki nilai yang serius atau tidak,
tahap kedua mengharuskan juri mengevaluasi bahaya yang secara terang-terangan
terdapat dari materi cabul tersebut, menetapkan standar toleransi konstitusional untuk
materi seksual yang eksplist, tahap ketiga akan memberikan komunitas lokal (adat
setempat) yang lebih memiliki permisif akses standar untuk bahan seksual eksplisit yang
tetap mungkin melanggar standar toleransi konstitusional. Tes tiga tahap yang diusulkan
ini akan memberikan standar toleransi minimal yang bersifat nasional untuk ungkapan
5
seksual dan pertahanan terhadap sensor lokal (adat setempat). Terlebih lagi, tes tiga tahap
ini akan memudahkan Mahkamah Agung untuk meninjau kembali dengan cara mengakui
suatu bukti, dan memelihara dokumen pemeriksaan pengadilan, pengakuan mengenai
standar komunitas (adat) dan nilai-nilai yang serius. Maka, tes kecabulan akan membuat
komunitas lokal (adat istiadat setempat) yang toleransi kesusilaannya melampaui standar
nasional dapat mengkases materi yang diinginkan.6 Hal ini dapat di serap dan di terapkan
juga untuk menentukan suatu perbuatan dianggap melanggar kesusilaan atau tidak di
Indonesia.
Sementara itu, pengertian Pornografi dalam KBBI ialah penggambaran tingkah
laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi; dan
bahan bacaan yang sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu
birahi dalam seks. Dalam Pasal 1 ayat (1) Ketentuan Umum Undang-Undang No. 44
Tahun 2008 Tentang Pornografi, pengertian pornografi disebutkan berupa gambar, sketsa,
ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak
tubuh, atau bentuk pesan lainnya, melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau
pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang
melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Dalam pengertian yang telah penulis
jabarkan di atas, tentu dapat dilihat perbedaan antara kesusilaan dan pornografi,
pelanggaran kesusilaan ialah semua pelanggaran/kesalahan yang menyangkut watak budi
pekerti pribadi seseorang yang bernilai buruk dan perbuatannya menggangu
keseimbangan masyarakat, seperti perbuatan maksiat, berzinah, berjudi, minum-minuman
keras dan sebagainya merupakan pelanggaran terhadap kesusilaan, sementara bentuk
pornografi adalah lebih mengarah kepada bentuk eksploitasi tubuh, untuk itu, penelitian
penulis ini akan berfokuskan kepada pencarian makna kesusilaan saja. Penulis
beranggapan bahwa makna dari kesusilaan adalah kesopanan, moral, dan nilai sosial yang
berlaku dalam lingkungan sosial suatu tempat dan yang dianut atau dijalankan oleh
warga/masyarakat wilayah tersebut dan bagaimana cara mempertahankan kesopanan,
nilai-nilai, dan moral yang baik dalam lingkungan sosial tadi yang telah berlaku dan
berjalan.
Alasan penulis melakukan penelitian tentang makna kesusilaan ini adalah
meskipun selama ini belum ada hakim yang memutuskan atau belum diketahui ada
perkara mengenai pelanggaran kesusilaan lintas daerah/berbeda lingkungan sosial
(pelanggaran kesusilaan yang dianggap tidak sesuai di suatu daerah namun dianggap
biasa/tidak bertentangan oleh daerah yang lain), bukan berarti tidak akan ada perkara
semacam ini di masa yang akan datang. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian
mengenai konsep kesusilaan sehingga dapat digunakan sebagai pedoman untuk
penyelesaian masalah terkait kesusilaan di masa yang akan datang.
Dengan demikian, breakdown dari latar belakang masalah diatas adalah untuk
mencari pengertian kesusilaan yang banyak disebutkan dan dimuat dalam peraturan
perundang-undangan Indonesia serta kondisi legislasi tentang makna kesusilaan saat ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah yang menjadi fokus
kajian dalam penelitian ini adalah, apakah yang dimaksud dengan kesusilaan dalam
peraturan perundang-undangan Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mendapatkan konsep kesusilaan yang
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.
1. Manfaat Teoritis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum terutama mengenai konsep
kesusilaan yang terdapat dalam perundang-undangan Indonesia.
2. Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membantu penegak hukum dalam
menegakkan perkara-perkara tentang kesusilaan.
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian hukum. Dengan
demikian jelas bahwa penelitian ini bersifat normatif7 yang dilakukan dengan
menggunakan pendekatan Undang-Undang (Statute Approach). Pendekatan
Undang-Undang dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang-Undang-Undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang diteliti yaitu mencari konsep
kesusilaan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia adakah konsistensi dan
kesesuaian antara suatu Undang-Undang dengan Undang-Undang lainnya atau antara
Undang dan Undang Dasar atau antara regulasi dan
Undang-Undang.8 Selain pendekatan Undang-Undang, penulis juga menggunakan pendekatan
konseptual (Conceptual Approach). Pendekatan konseptual beranjak dari
pandangan-pandangan sarjana dan doktrin-doktrin mengenai kesusilaan yang berkembang di
dalam ilmu hukum untuk menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian
7
hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas yang relevan dengan isu yang dihadapi.9
Jenis pendekatan selanjutnya yang juga digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kasus (Case Aprroach). Dalam menggunakan pendekatan kasus, penulis
akan merujuk pada ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh
hakim untuk sampai pada putusannya, tentu putusan-putusan mengenai kasus
kesusilaan yang penulis cari.
2. Bahan Hukum
Dalam menjawab pertanyaan yang telah penulis sampaikan pada rumusan masalah
diatas, penulis mencoba mengumpulkan data berupa :
a. Bahan Hukum Primer
i. Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
ii. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
iii. Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
iv. Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
v. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak
vi. Undang-Undang No. 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan
vii. Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
viii. Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
ix. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
x. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)
xi. Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2013 tentang Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
xii. Peraturan Menteri Agama No. 24 Tahun 2015 tentang Pengendalian
Gratifikasi Pada Kementrian Agama
xiii. Putusan Pengadilan Tinggi Bandung
Nomor:21/PID.Sus.ITE/2015/PT.BDG
xiv. Putusan Pengadilan Negri Pinrang Putusan
Nomor:82/Pid.B/2016/PN.Pin
xv. Putusan Pengadilan Militer Manado
Nomor:50-K/PM.III-17/AD/VI/2016.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah literatur,
buku-buku tentang kesusilaan, jurnal, ataupun pendapat-pendapat para sarjana