• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLITIK HUKUM DALAM REVISI UNDANG UNDANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "POLITIK HUKUM DALAM REVISI UNDANG UNDANG"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

POLITIK HUKUM DALAM REVISI UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI

DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Program Legislasi Nasional Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Dibuat untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah Politik Hukum

Dosen:

Prof. Dr. H. Rukmana Amanwinata, S.H., M.H Dr. Hernadi Affandi, S.H., LL.M

Oleh:

Rayenda Resviana S 110620170042 Kelas A

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG

(2)

POLITIK HUKUM DALAM REVISI UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI

DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Rayenda Resviana Universitas Padjadjaran

Abstrak

Perkembangan teknologi saat ini secara global di seluruh dunia sudah sangat pesat, khususnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Teknologi informasi saat ini menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum. hal tersebut yang mendasari pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang kemudian di revisi dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Peraturan perundang-undangan pada dasarnya akan mencerminkan berbagai pemikiran dan kebijaksanaan politik yang paling berpengaruh serta bersumber kepada ideologi tertentu. Sehingga hadirnya Undang-Undang ITE ini disambut positif berbagai kalangan walaupun tidak sedikit juga yang menentangnya.

Kata kunci: Informasi dan Transaksi Elektronik, UU ITE

PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi saat ini secara global di seluruh dunia sudah

sangat pesat, khususnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.

Perubahan ini tentunya membawa dampak yang signifikan terhadap kondisi

kehidupan manusia dari berbagai bidang, antara lain politik, ekonomi, sosial,

pendidikan dan bidang-bidang lainnya. Teknologi informasi saat ini menjadi

pedang bermata dua,1 karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif

perbuatan melawan hukum. Untuk mengatasi hal ini tidak lagi dapat dilakukan

pendekatan melalui sistem hukum konvensional, mengingat kegiatannya tidak lagi

bisa dibatasi oleh teritorial suatu negara, aksesnya dengan mudah dapat dilakukan

1 I Made Marthana, Sinergi Sains teknologi dan Seni: Dalam Proses Berkarya Kreatif Di

(3)

dari belahan dunia manapun, kerugian dapat terjadi baik pada pelaku transaksi

maupun orang lain yang tidak pernah berhubungan sekalipun, misalnya dalam

pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet. Karena itulah

hal-hal yang berhubungan dengan Teknologi Informasi memerlukan penanganan dan

pengaturan hukum secara khusus,2 hal tersebut yang mendasari pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Tujuan dari pembentukan sebuah Undang-Undang3 semestinya terarah dan pasti, baik dalam muatan definitif tentang semua yang terpaut di dalamnya,

maupun muatan hukum secara umum di dalamnya. Sebagai sebuah produk hukum

dari penguasa, Undang-Undang ITE ini semestinya memberikan rasa aman dan

tenteram, dengan kata lain tidak mengusik ketertiban umum yang diupayakan.

Politik hukum yang dimuatnya pun harus transparan, berkaca kepada bagaimana

negara yang lebih maju dalam sistem, semestinya setiap rumusan pasal-pasalnya

memiliki dokumen yang tercatat secara baku, dan tidak berbenturan dengan

Undang-Undang yang sudah ada sebelumnya.4

Sejak disahkan pada 2008, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) telah menjerat berbagai

kalangan pengguna internet, terutama dalam sangkaan pelanggaran Pasal 27 ayat

(3) mengenai pencemaran nama baik. Kasus pelanggaran UU ITE yang pertama

kali menyedot perhatian publik adalah kasus Prita Mulyasari pada 2009. Dia

ditangkap dan ditahan atas dakwaan pencemaran nama baik dengan menulis

e-mail terkait pelayanan RS Omni International, dengan sanksi pidana penjara

maksimum 6 tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar.

Dalam rentang periode 28 Agustus 2008 hingga 23 Agustus 2016, dari

total 126 laporan terkait UU ITE yang tercatat, 50 kasus di antaranya dilaporkan

oleh mereka yang merupakan aparatur negara, seperti kepala daerah, anggota

2 Muhammad Sobri. Dkk, Pengantar Teknologi Informasi Konsep dan Teori, Yogyakarta: Andi, 2017, hlm 231.

3 Anggito Abimanyu, Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal, Jakarta: Gramedia, 2011, hlm. 14.

(4)

legislatif di tingkat daerah, hakim atau jaksa serta aparat penegak hukum.

Undang-Undang ITE ini juga banyak digunakan oleh kalangan profesional dan

pelaku bisnis. Alasan yang paling sering digunakan adalah penghinaan terhadap

pejabat negara. Di samping itu, tuduhan lain seperti melakukan korupsi dan

kekerasan juga menjadi alasan kuat mengapa mereka melakukan pelaporan.

Laporan paling banyak ditujukan kepada aktivis LSM sehingga wartawan serta

masyarakat awam. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan

Undang-Undang ITE banyak digunakan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan, baik

yang memiliki jabatan, kekuatan politik ataupun pemilik modal.

Delapan tahun berlalu, pemerintah akhirnya mengusulkan revisi

Undang-Undang ITE dengan berbagai penyempurnaan. Hal ini merespon berbagai judicial

review atas Undang-Undang ini ke Mahkamah Konstitusi karena berbagai

ketentuannya dinilai terlalu multi tafsir dan cenderung mudah mengkriminalisasi

pengguna internet. Meski Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang telah

diubah dengan Undang-Undang No.19 Tahun 2016, arah kebijakan politik hukum

dan hak asasi manusia (HAM) pemerintah dinilai malah mengalami kemunduran.

Tapi bagi kalangan legislatif, Undang-Undang ITE teranyar justru memberikan

kelonggaran terhadap masyarakat yang tersandung kasus pencemaran nama baik

melalui dunia maya untuk tidak dilakukan penahanan di tingkat penyidikan.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka masalah yang akan dibahas

adalah bagaimana politik hukum dalam revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Informasi dan Transaksi Elektronik

Terdapat beberapa pengertian dan definisi informasi menurut para pakar:

a. Menurut Raymond Mc.Leod,informasi adalah data yang telah diolah menjadi

bentuk yang memiliki arti bagi si penerima dan bermanfaat bagi pengambilan

(5)

yang telah diklasifikasikan atau diolah atau diinterpretasikan untuk digunakan

dalam proses pengambilan keputusan. c. Menurut Joneer Hasugian, informasi

adalah sebuah konsep yang universal dalam jumlah muatan yang besar, meliputi

banyak hal dalam ruang lingkupnya masing-masing dan terekam pada sejumlah

media.5 d. Menurut Jogiyanto HM, informasi dapat didefinisikan sebagai hasil dari pengolahan data dalam suatu bentuk yang lebih berguna dan lebih berarti bagi

penerimanya yang menggambarkan suatu kejadian–kejadian nyata yang

digunakan untuk pengambilan keputusan.6

Secara umum informasi dapat didefinisikan sebagai hasil dari pengolahan

data dalam suatu bentuk yang lebih berguna dan lebih berarti bagi penerimanya

yang menggambarkan suatu kejadian-kejadian yang nyata yang digunakan untuk

pengambilan keputusan.7 Sumber dari informasi adalah data. Data adalah kenyataan yang menggambarkan suatu kejadian-kejadian dan kesatuan nyata.

Kejadian-kejadian adalah sesuatu yang terjadi pada saat tertentu. Di dalam dunia

bisnis, kejadian-kejadian yang sering terjadi adalah transaksi perubahan dari suatu

nilai yang disebut transaksi. Kesatuan nyata adalah berupa suatu objek nyata

seperti tempat, benda dan orang yang benar-benar ada dan terjadi.

Informasi Elektronik menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang ITE

adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada

tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI),

surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya,

huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang

memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.8 Informasi elektronik merupakan salah satu hal yang diatur secara substansial

dalam Undang-Undang ITE selain transaksi elektronik. Sedangkan yang

dimaksud dengan Transaksi Elektronik menurut Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang

5http ://wira059.blogspot.com/2011/09/pengertian-informasi-menurut-para-pakar (diakses tanggal 17 Desember 2017).

6 Jogiyanto HM, Analisis dan Desain Sistem Informasi : Pendekatan Terstruktur Teori

dan Praktek Aplikasi Bisnis, Yogyakarta: ANDI Yogyakarta, 1999, hlm. 692.

(6)

ITE adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer,

jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.9

Perkembangan pemanfaatan informasi elektronik dewasa ini sudah

memberikan kenyamanan dan kemanfaatannya.10 Sebagai contoh, penggunaan

e-mail sangat memudahkan setiap orang bisa berkomunikasi melalui pengiriman

berita secara cepat, dan dapat melintasi wilayah baik lokal, regional, dan bahkan

hingga internasional. Pemanfaatan penyebaran informasi elektronik ini, telah

memberikan manfaat dengan menjamurnya media sosial serta e-commerce yang

mempermudah masyarakat dalam berkomunikasi maupun melakukan transaksi

jual beli melalui e-commerce.

Definisi informasi elektronik di atas memuat tiga makna, yaitu: a.

informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, b. informasi

elektronik memiliki wujud diantaranya tulisan, suara dan/atau gambar, c.

informasi elektronik memiliki arti atau dapat dipahami, yang artinya bahwa

dengan adanya Undang-Undang ITE, maka telah ada pengakuan secara tegas

tentang tanda tangan elektronik yang memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum

yang sama dengan tanda tangan konvesional selama tanda tangan tersebut dapat

dijadikan alat untuk melakukan verifikasi dan autentifikasi penandatangan yang

bersangkutan.

Ruang Lingkup Informasi Elektronik

Sesuai dengan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang ITE, informasi elektronik

adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada

tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI),

surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya,

huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang

memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Maka

9 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 1 Angka 2.

(7)

agar suatu informasi tergolong sebagai informasi elektronik harus memenuhi

unsur-unsur dalam isi Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang ITE.

Informasi elektronik merupakan salah satu unsur yang harus dipenuhi agar

dapat terjadi suatu transaksi elektronik,11 sebagai contoh adalah pada saat

melakukan transaksi jual-beli melalui online store, agar pembeli dapat membeli

barang yang dijual oleh penjual harus ada informasi elektronik mengenai barang

yang dijual, dan begitu juga sebaliknya, penjual memerlukan informasi elektronik

dari pembeli agar dapat terjadi transaksi elektronik.

Ruang lingkup Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik secara

tegas mengatur segala konservasi hukum dalam pemanfaatan internet sebagai

media, baik memanfaatkan informasi maupun melakukan berbagai macam

transaksi. Dampak dari pelanggaran atau perbuatan melawan hukum terhadap

Undang-Undang ITE juga diatur dalam bentuk ancaman hukuman. Dengan

demikian, pelaku bisnis yang memanfaatkan media internet maupun masyarakat

yang memanfaatkan internet mendapat kepastian hukum, di antaranya dengan

tanda tangan digital dan berbagai macam bukti elektronik sebagai alat bukti yang

dapat diajukan di pengadilan.

Dengan adanya kepastian hukum, perbuatan melawan hukum yang

berkaitan dengan transaksi elektronik dapat dihindari. Konsumen yang terlibat

dalam perbuatan melawan hukum dalam transaksi elektronik dapat dijerat dengan

hukum yang berlaku. Diberlakukannya Undang-Undang ITE ini oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia merupakan hasil penyesuaian sebuah tim

atas nama Pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Ahmad M. Ramli.

Sedangkan kedua naskah materi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik ini bersumber dari tim yang berbeda, yaitu tim

Universitas Indonesia yang ditunjuk oleh Departemen Perindustrian dan

Perdagangan, dan tim Universitas Padjajaran yang ditunjuk oleh Departemen

Komunikasi dan Informasi.

(8)

Pada pelaksanaannya, tim Universitas Padjajaran bekerja sama dengan

para pakar dari Institut Teknologi Bandung yang kemudian menghasilkan naskah

akademis berjudul Rancang Undang-Undang Pemanfaatan Teknologi Informasi

(RUUPTI). Kedua materi dari tim pakar tersebut kemudian menjadi RUU ITE dan

setelah disahkanoleh DPR menjadi Undang ITE. Agar suatu

Undang-Undang dapat berjalan dengan baik, maka pembentuk Undang-Undang-Undang-Undang

memerintahkan melalui Undang-Undang ITE untuk membuat sejumlah Peraturan

Pemerintah (PP) yang mengatur tentang: 1. Lembaga Sertifikasi Keandalan (Pasal

10 Ayat (2)), 2. Tanda Tangan Elektronik (Pasal 11 Ayat (2)), 3.Penyelenggara

Sertifikasi Elektronik (Pasal 13 Ayat (6)), 4. Penyelenggaraan Sistem Elektronik

(Pasal 16 Ayat (2)), 5. Penyelenggaraan Transaksi Elektronik (Pasal 16 Ayat (2)),

6. Penyelenggara Agen Elektronik (Pasal 22 Ayat (2)), 7. Pengelolaan Nama

Domain (Pasal 24 Ayat (4)), 8. Tata Cara Intersepsi (Pasal 31 Ayat (4)), 9. Peran

Pemerintah tentang Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik

Penyalahgunaan Informasi Elektronik

Pelanggaran hukum terkait informasi dan transaksi eletronik sangat marak

terjadi seiring era globalisasi informasi yang semakin berkembang. Pada satu sisi,

transaksi elektronik memberikan konstribusi bagi peningkatan kesejahteraan dan

peradaban manusia. Namun, di sisi lain apabila transaksi elektronik tidak

dimanfaatkan dengan bijak, maka akan menjerumuskan masyarakat sebagai salah

satu sarana perbuatan melawan hukum.

Permasalahan hukum yang sering dihadapi adalah terkait dengan

penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik,

khususnya dalamhal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan

melalui sistem elektronik. Dalam kenyataannya,kegiatan siber tidak lagi

sederhana karena tidak lagi dibatasi oleh suatu negara, yang mudah diakses kapan

saja dan di mana saja. Kerugian tidak hanya dapat terjadi pada pelaku transaksi

elektronik, melainkan dapat juga terjadi pada orang lain yang tidak pernah

(9)

melalui pembelanjaan di internet. Oleh karena itu, adanya pembuktian sangat

diperlukan dalam hal ini.

Dampak yang diakibatkan oleh kejahatan dalam dunia transaksi elektronik

sangat kompleks dan rumit. Dengan demikian, subjek pelakunya harus

dikualifikasikan sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara

nyata. Oleh karena itu, dibentuklah Undang-Undang ITE yang dapat mengatur

secara jelas, aman dan adanya kepastian hukum dalam pemanfaatan teknologi

informasi, media, dan komunikasi agar dapat berkembang secara optimal.

DPR sebagai lembaga leglislasi

Terdapat tiga fungsi kekuasaan yang dikenal secara klasik dalam teori

hukum maupun politik, yaitu fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif.12 Baron de Montesquieu (1689-1785) mengidealkan ketiga fungsi kekuasaan negara itu

dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara. Satu organ hanya boleh

menjalankan satu fungsi, dan tidak boleh saling mencampuri urusan

masing-masing dalam arti yang mutlak. Jika tidak demikian, maka kebebasan akan

terancam. Konsepsi yang kemudian disebut dengan trias politica tersebut tidak

relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa

ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari

ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa

hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan

bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain

sesuai dengan prinsip checks and balances.13

Selama lebih dari 200 tahun terakhir, lembaga legislatif merupakan

institusi kunci (key institutions) dalam perkembangan politik negara-negara

modern. Menilik perkembangan lembaga-lembaga negara, lembaga legislatif

merupakan cabang kekuasaan pertama yang mencerminkan kedaulatan rakyat.

Dalam pandangan C.F. Strong, lembaga legislatif merupakan kekuasaan

12 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Pt Gramedia Pusaka Utama, 2008, Hlm. 158.

(10)

pemerintah yang mengurusi pembuatan hukum, sejauh hukum tersebut

memerlukan kekuatan undang-undang (statutory force).14

Di Indonesia yang merupakan bagian dari lembaga legislatif adalah

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).15 Anggota DPR berasal dari anggota partai

politik peserta pemilu yang dipilih berdasarkan hasil pemilu. DPR berkedudukan

di tingkat pusat, sedangkan yang berada di tingkat provinsi disebut DPRD

provinsi dan yang berada di kabupaten/kota disebut DPRD kabupaten/kota.

Lembaga negara DPR yang bertindak sebagai lembaga legislatif

mempunyai fungsi sebagi berikut: 1. Fungsi legislasi, artinya DPR memiliki

fungsi sebagai lembaga pembuat Undang–Undang. 2. Fungsi anggaran, DPR

memiliki fungsi sebagi lembaga yang berhak untuk menetapkan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 3. Fungsi Pengawasan, artinya DPR

sebagai lembaga legislatif yang melakukan pengawasan tehadap pemerintahan

yang menjalankan Undang-Undang.16

DPR sebagai lembaga legislatif mempunyai hak-hak,17 antara lain: 1. Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah

mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas

bagi kehidupan masyarakat. 2. Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan

penyelidikan terhadap suatu kebijakan tertentu pemerintah yang diduga

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 3. Hak menyatakan

pendapat adalah hak DR untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan

pemerintah mengenai kejadian yang luar biasa yang terdapat di dalam negeri

disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut

pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket. Untuk memudahkan tugas anggota

DPR maka dibentuk komisi-komisi yang bekerja sama dengan pemerintah sebagai

mitra kerja.

14 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer

dalam Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2010, hlm. 1.

15 Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi & Implikasinya dalam Sistem

Ketatanegaraan RI, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006, Hlm. 189.

16 Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem Bikameral Dalam Parlemen Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm.205.

(11)

Adapun Tugas Wewenang DPR sebagai Lembaga Legislatif adalah

sebagai berikut:

 Membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

 Membahas dan memberikan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pernerintah Pengganti Undang-Undang.

 Menerima dan membahas usulan Rancangan UndangUndang yang diajukan oleh DPD yang berkaitan dengan bidang otonomi daerah,

hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan

daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi Iainnya,

serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah dan

mengikut sertakan dalam pembahasannya dalam awal pembicaraan tingkat

I.

 Mengundang DPD pntuk melakukan pembahasan rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPR maupun oleh pemerintah sebagaimana

dimaksud pada huruf c, pada awal pembicaraan tingkat I.

 Memperhatikan pertimbangan DPD atas Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Rancangan

Undang-Undàng yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama dalam awal

pembicaraan tingkat I.

 Menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD.

 Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan oleh DPD terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah,

pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan

daerah, sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pajak, pendidikan, dan agama.

(12)

 Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh Badan

Pemeriksa Keuangan.

 Mengajukan, memberikan persetujuan, pertimbangan/konsultasi, dan pendapat.

 Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.

 Melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

Undang-Undang.

Fungsi pertama Lembaga Perwakilan Rakyat adalah fungsi legilasi atau

pengaturan. Fungsi pengaturan (regelemde functi) ini berkenaan dengan

kewenangan untuk menentukan peraturan yang mengikat warga negara dengan

norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi.18 Berdasarkan pengertian

tersebut, Fungsi Legislasi DPR menjadi salah satu hal yang sangat penting

didalam pembentukan Undang-Undang.

PEMBAHASAN

Peraturan perundang-undangan pada dasarnya akan mencerminkan

berbagai pemikiran dan kebijaksanaan politik yang paling berpengaruh, dapat

bersumber kepada ideologi tertentu.19 Politik hukum pada negara demokrasi akan berusaha memberikan kesempatan luas pada keikutsertaan masyarakat

menentukan corak dan isi hukum yang dikehendaki.

Menurut Prof. Moh. Mahfud MD, ada dua karakter produk hukum, yaitu

produk hukum responsif atau populistik dan produk hukum konservatif. Karakter

produk hukum responsif antara lain: mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi

harapan masyarakat, dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan

partisipasi penuh kepada kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat,

18 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Sekretariat Jendral dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm. 32.

19 M. Dawam Raharjo, Reformasi Politik: Dinamika Politik Nasional Dalam Arus Politik

(13)

bersifat aspiratif dan memberikan sedikit peluang bagi pemerintah untuk membuat

penaf siran sendiri melalui berbagai peraturan pelaksanaan.

Dan sebaliknya, karakter produk hukum konservatif antara lain:

mencerminkan visi sosial elit politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah,

dalam proses pembuatannya peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil,

memberi peluang luas kepada pemerintah untuk membuat berbagai interpretasi

dengan berbagai peraturan lanjutan yang berdasarkan visi sepihak. Untuk

mengualifikasikan apakah suatu produk hukum responsif atau konserfatif,

indikator yang dipakai adalah proses pembuatan hukum, sifat fungsi hukum, dan

kemungkinan penafsiran atas sebuah produk hukum.

Diperlukan waktu yang relatif lama dalam upaya membentuk

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ini. Rancangan Undang-Undang-Undang-Undang

Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) mulai dirancang sejak Maret 2003

oleh Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi (Kominfo). Semula RUU ini

dinamakan Rancangan Undang-Undang Informasi Komunikasi dan Transaksi

Elektronik (RUU ITE). Akhirnya pada tanggal 25 Maret 2008 pemerintah melalui

Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) mengesahkan

Undang-Undang ITE ini.

Materi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik

(Undang-Undang ITE) secara umum dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu pengaturan

mengenai informasi dan transaksi elektronik dan pengaturan mengenai perbuatan

yang dilarang. Pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik mengacu

pada beberapa instrumen internasional, seperti UNCITRAL Model Law on

eCommercedan UNCITRAL Model Law on eSignature. Bagian ini dimaksudkan

untuk mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat

umumnya guna mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan transaksi

elektronik. Berikut beberapa materi yang diatur, antara lain: 1. Pengakuan

informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah (Pasal 5 dan

Pasal 6 Undang-Undang ITE); 2. Tanda tangan elektronik (Pasal 11 dan Pasal 12

(14)

authority, Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang ITE); 4. Penyelenggaraan sistem

elektronik (Pasal 15 dan Pasal 16 Undang-Undang ITE).

Perbuatan yang dilarang (cybercrimes). Beberapa cybercrimes yang diatur

dalam UU ITE, antara lain: a. Konten ilegal, yang terdiri dari, antara lain:

kesusilaan, perjudian, penghinaan/pencemaran nama baik, pengancaman dan

pemerasan (Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 Undang-Undang ITE); b. Akses

ilegal (Pasal 30); c. Intersepsi ilegal (Pasal 31 Undang-Undang ITE); d. Gangguan

terhadap data (data interference, Pasal 32 Undang-Undang ITE); e. Gangguan

terhadap sistem (system interference, Pasal 33 Undang-Undang ITE); f.

Penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of device, Pasal 34 Undang-Undang

ITE)

Hadirnya Undang-Undang ini disambut positif berbagai kalangan

walaupun tidak sedikit juga yang menentangnya. Bagi yang kontra,

Undang-Undang ITE ini dilihat sebagai upaya untuk membatasi hak kebebasan berekspresi

dan mengeluarkan pendapat serta bisa menghambat kreativitas seseorang di dunia

maya. Sedangkan bagi yang setuju, kehadirannya dilihat sebagai langkah yang

tepat untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan penyalahgunaan internet yang

tak terkendali sehingga bisa merugikan orang lain. Kehadiran aturan hukum baru

tersebut dapat dilihat sebagai bentuk respons pemerintah untuk menjerat

orang-orang yang tidak bertanggung jawab dalam menggunakan internet hingga

merugikan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia.

Undang-Undang ITE mengatur berbagai perlindungan hukum atas

kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun

pemanfaatan informasinya. Pada Undang-Undang ITE ini juga diatur berbagai

ancaman hukuman bagi kejahatan melalui internet. Undang-Undang ITE

mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat pada

umumnya guna mendapatkan kepastian hukum, dengan diakuinya bukti elektronik

dan tanda tangan digital sebagai bukti yang sah di pengadilan.

Undang-Undang ITE yang memiliki cakupan meliputi globalisasi,

(15)

bangsa ini, merupakan undang-undang yang dinilai mempunyai kelebihan dan

kekurangan.

Kelebihan Undang-Undang ITE yaitu: Pertama, Berdasarkan dari

pengamatan para pakar hukum dan politik Undang-Undang ITE mempunyai sisi

positif bagi Indonesia. Misalnya memberikan peluang bagi bisnis baru bagi para

wiraswastawan di Indonesia karena penyelenggaraan sistem elektronik diwajibkan

berbadan hukum dan berdomisili di Indonesia. Otomatis jika dilihat dari segi

ekonomi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain pajak yang dapat

menambah penghasilan negara juga menyerap tenaga kerja dan meninggkatkan

penghasilan penduduk. Kedua, Undang-Undang ITE juga dapat mengantisipasi

kemungkinan penyalahgunaan internet yang merugikan, memberikan

perlindungan hukum terhadap transaksi dan sistem elektronik serta memberikan

perlindungan hukum terhadap kegiatan ekonomi misalnya transaksi dagang.

Penyalahgunaan internet kerap kali terjadi seperti pembobolan situs-situs tertentu

milik pemerintah. Kegiatan ekonomi lewat transaksi elektronik seperti bisnis

lewat internet juga dapat meminimalisir adanya penyalahgunaan dan penipuan.

Ketiga, Undang-Undang ITE juga memungkinkan kejahatan yang dilakukan oleh

seseorang di luar Indonesia dapat diadili. Selain itu, Undang-Undang ITE juga

membuka peluang kepada pemerintah untuk mengadakan program pemberdayaan

internet. Masih banyak daerah-daerah di Indonesia yang kurang tersentuh adanya

internet. Undang-Undang ini juga memberikan solusi untuk meminimalisir

penyalahgunaan internet.

Sedangkan kelemahan Undang-Undang ITE adalah: Pertama, dari cara

penyusunannya Undang-Undang ITE itu sendiri, yang menimbulkan kontradiksi

atas apa yang berusaha diaturnya. Undang ITE yang merupakan

Undang-Undang pertama yang mengatur suatu teknologi modern, yakni teknologi

informasi, masih dibuat dengan menggunakan prosedur lama yang sama sekali

tidak menggambarkan adanya relevansi dengan teknologi yang berusaha

diaturnya. Singkat kata, Undang-Undang ITE waktu masih berupa Rancangan

Undang-Undang relatif tidak disosialisasikan kepada masyarakat dan

(16)

peresmiannya dilakukan dengan tanpa terlebih dahulu melibatkan secara meluas

komunitas yang akan diatur olehnya. Padahal, dalam Undang-Undang ini jelas

tercantum dalam Pasal 1 ayat (3): Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk

mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan,

menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi. Ini berarti seyogyanya dalam

penyusunan Undang-Undang ini memanfaatkan teknologi informasi dalam

mengumpulkan pendapat mengenai kebutuhan perundangannya, menyiapkan

draftnya, menyimpan data elektroniknya, mengumumkannya secara terbuka,

menganalisis reaksi masyarakat terhadapnya setelah menyebarkan informasinya,

sebelum akhirnya mencapai sebuah hasil akhir dan meresmikan hasil akhir

tersebut sebagai sebuah Undang-Undang.

Undang-Undang ini dianggap dapat membatasi hak kebebasan berekspresi,

mengeluarkan pendapat dan bisa menghambar kreativitas dalam ber-internet,

terutama pada pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 31

ayat (3). Pasal-pasal tersebut pada dianggap umumnya memuat aturan-aturan yang

bersifat lentur, subjektif, dan sangat tergantung interpretasi pengguna

Undang-Undang ITE ini. Undang-Undang-Undang-Undang ITE ini akan menutup jalur demokrasi melalui

internet, dan bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28 tentang kebebasan

berpendapat dan menyampaikan gagasan.

Seiring perkembangan penggunaan media sosial, sejumlah pasal dalam

Undang-Undang ITE dianggap merugikan, bahkan mengancam kebebasan

berekspresi dan berpendapat. Penyebabnya, sejumlah pasal cenderung multitafsir

dan tumpang tindih dengan peraturan hukum lain. Polemik pun muncul setelah

banyaknya kasus hukum terkait pelanggaran Undang-Undang ITE. Sehingga

akhirnya pada tanggal 27 Oktober 2016, pemerintah dan Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR) telah menyepakati revisi terhadap Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Revisi tersebut pun

langsung berlaku tiga puluh hari setelah kesepakatan tersebut, yaitu pada tanggal

28 November 2016. Setidaknya ada 4 perubahan yang terjadi pada revisi UU ITE

kali ini, yaitu: 1. Penambahan pasal hak untuk dilupakan, yakni pasal 26. Pasal itu

(17)

masa lalu yang sudah selesai, namun diangkat kembali. Salah satunya seorang

tersangka yang terbukti tidak bersalah di pengadilan, maka dia berhak

mengajukan ke pengadilan agar pemberitaan tersangka dirinya agar dihapus. 2.

Durasi hukuman penjara terkait pencemaran nama baik, penghinaan dan

sebagainya dikurangi menjadi di bawah lima tahun. Dengan demikian,

berdasarkan Pasal 21 KUHAP, tersangka selama masa penyidikan tak boleh

ditahan karena hanya disangka melakukan tindak pidana ringan yang ancaman

hukumannya penjara di bawah lima tahun. 3. Tafsir atas Pasal 5 terkait dokumen

elektronik sebagai bukti hukum yang sah di pengadilan. Undang-Undang ITE

yang baru mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan dokumen

elektronik yang diperoleh melalui penyadapan (intersepsi) tanpa seizin pengadilan

tidak sah sebagai bukti.

Penambahan ayat baru dalam Pasal 40. Pada ayat tersebut, pemerintah

berhak menghapus dokumen elektronik yang terbukti menyebarkan informasi

yang melanggar undang-undang. Informasi yang dimaksud terkait pornografi,

SARA, terorisme, pencemaran nama baik, dan lainnya. Jika situs yang

menyediakan informasi melanggar undang-undang merupakan perusahaan media,

maka akan mengikuti mekanisme di Dewan Pers. Namun, bila situs yang

menyediakan informasi tersebut tak berbadan hukum dan tak terdaftar sebagai

perusahaan media (nonpers), pemerintah dapat langsung memblokirnya

Alasan ketersetujuan dengan adanya revisi UU ITE tersebut didasarkan

pada beberapa hal. Pertama, konsep demokrasi yang meletakkan rakyat sebagai

pemegang kekuasaan tertinggi hendaknya diberikan batasan-batasan tertentu.

Dalil Power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely sebagaimana

disampaikan oleh Lord Acton hendaknya tidak hanya diberlakukan kepada

pejabat pemerintah, namun juga terhadap kekuasaan rakyat dalam kerangka

demokrasi.

Salah satu contoh kongkrit penyalahgunaan kekuasaan rakyat dalam

kehidupan demokrasi adalah tindakan anarkis dan pelanggaran terhadap hak-hak

individu lain. Atas dasar itu maka diperlukan adanya batasan yaitu melalui

(18)

kongkritisasi pembatasan tersebut berdasarkan prinsip kepastian hukum. Pada

aspek filosofis, revisi Undang-Undang ITE tersebut merupakan cara menciptakan

iklim demokrasi yang santun dan beradab.

Kedua, revisi Undang-Undang ITE ini merupakan bentuk dari hukum

prospektif. Adanya revisi ini merupakan salah satu cara untuk merespon

perkembangan teknologi informasi mengingat Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2008 yang sudah tidak lagi relevan dan akomodatif dengan perkembangan

teknologi. Secara substansial, implementasi revisi Undang-Undang ITE ini akan

lebih mudah dan demokratis merespon pelanggaran-pelanggaran ITE dengan

menjadikan kejahatan pencemaran nama baik dan/atau fitnah menjadi delik aduan.

Artinya pihak-pihak yang menyatakan pendapat yang mengganggu hak individu

lain dapat dijerat dengan Undang-Undang ITE dalam hal adanya laporan dari

pihak yang dirugikan.

Di sisi lain, revisi Undang-Undang ITE ini dianggap sebagai suatu bentuk

kemunduran. Hal tersebut didasarkan atas pemberian kewenangan yang begitu

luas kepada pemerintah untuk mengambil tindakan-tindakan tertentu seperti

melakukan pemblokiran atau penghapusan terhadap situs dan informasi atau

kontem tertentu yang dianggap melanggar undang-undang.

Ketentuan tersebut misalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 40.

Kewenangan pemerintah pada konteks ini sangat begitu luas karena sekalipun

klausulnya menyatakan bahwa konten yang dapat diblokir adalah konten yang

melanggar Undang-Undang, namun makna melanggar peraturan

perundang-undangan tidak diatur begitu spesifik sehingga tafsir mengenai hal tersebut

sepenuhnya menjadi hak preogratif pemerintah. Hal ini dianggap menjadi peluang

bagi pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan subversif.

Sebagai bentuk perbandingan, diberlakukannya Undang-Undang

Terorisme juga merupakan salah satu Undang-Undang yang memberikan

kewenangan luas kepada pemerintah dalam hal pemberantasan terorisme. Pada

faktanya, dengan kewenangan yang diberikan Undang-Undang tersebut

menjadikan pemerintah “brutal” dalam hal pemberantasan terorisme. Dengan

(19)

dinyatakan bersalah melalui putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan

hukum tetap. Realitas tersebut seakan menjadi salah satu bentuk familiar dari hasil

revisi Undang-Undang ITE bagi perspektif pihak yang kontra terhadap revisi

Undang-Undang ITE.

Arah kebijakan politik hukum dalam revisi Undang-Undang ITE lebih ke

arah membentuk bangsa yang beradab. Spirit utama dari Undang-Undang ITE

hasil revisi setidaknya terdapat dua hal, yakni aspek masyarakat dan pemerintah.

Ditelisik dari aspek masyarakat, yakni agar adanya kebebasan dalam

mengeluarkan pendapat secara santun.

Selain itu, masyarakat dapat menikmati internet secara sehat terjaga

dengan baik. Kebebasan berpendapat memang dijamin oleh konstitusi maupun

Undang-Undang lain sebagai aturan turunan. Namun, sejatinya pula tak boleh

melanggar hak orang lain ketika menyatakan pendapat di muka umum,

berperilaku buruk, apalagi menyerang orang lain dengan fitnah.

Sedangkan dari sisi pemerintah, penegak hukum kini tidak mudah

melakukan penahanan terhadap pelaku dugaan pencemaran nama baik atau pun

fitnah melalui dunia maya. Termasuk tidak melakukan penahanan terhadap orang

yang melontarkan sikap kritisnya terhadap kebijakan publik. Bila merujuk Pasal

21 ayat (4) KUHAP, terhadap tindak pidana yang ancaman hukumannya 5 tahun

lebih, maka pelaku langsung dapat ditahan oleh penegak hukum. Dengan

Undang-Undang ITE hasil revisi, penahanan tak mesti dilakukan hingga adanya putusan

pengadilan yang menyatakan pelaku bersalah. Implikasinya, penyidik tidak dapat

langsung melakukan penahanan karena dibatasi ketentuan KUHAP Pasal 21 ayat

(4) butir a bahwa penahanan hanya boleh dilakukan penyidik atas tindak pidana

yang diancam pidana penjara lima tahun atau lebih. “Jika penyidik merasa perlu melakukan penahanan, maka harus dengan penetapan pengadilan”.

KESIMPULAN

Meskipun dengan disahkannya Undang-undang Nomor 11 tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengatur berbagai

(20)

baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya, namun UU ITE ini masih

menuai banyak kontra dalam penerapannya, mengingat tidak sedikit kelemahan

yang di jumpai dari Pasal-pasal di dalamnya, maupun dari UU ITE iu sendiri

secara keseluruhan. Revisi Undang-Undang ITE ini merupakan bentuk dari

hukum prospektif. Adanya revisi ini merupakan salah satu cara untuk merespon

perkembangan teknologi informasi mengingat Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2008 yang sudah tidak lagi relevan dan akomodatif dengan perkembangan

teknologi. Arah kebijakan politik hukum dalam revisi Undang-Undang ITE lebih

ke arah membentuk bangsa yang beradab. Ditelisik dari aspek masyarakat, yakni

agar adanya kebebasan dalam mengeluarkan pendapat secara santun.

Rekomendasi

Informasi dan Transaksi Elektronik adalah satu hal yang tidak dapat

dipisahkan dengan masyarakat sekarang ini, bisa dikatakan hal tersebut sudah

menjadi bagian hidup. Oleh karena itu, dalam pembentukan aturan yang

menyangkut hal tersebut alangkah baiknya apabila pemerintah lebih memberikan

partisipasi penuh kepada kelompok sosial atau individu di dalam masyarakat,

sehingga bisa terbentuk produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan

memenuhi harapan masyarakat.

Pemerintah harus lebih gencar mensosialisasikan masalah Undang-Undang

ITE dengan mengadakan seminar-seminar tentang pelaksanaan informasi dan

transaksi elektronik.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdul Rasyid Thalib. Wewenang Mahkamah Konstitusi & Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan RI. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2006.

Anggito Abimanyu. Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal. Jakarta: Gramedia, 2011.

I Made Marthana. Sinergi Sains teknologi dan Seni: Dalam Proses Berkarya Kreatif Di Dunia Teknologi Informasi. Denpasar: STMIK STIKOM INDONESIA. 2016.

(21)

Jimly Asshiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Jakarta. 2006.

Jogiyanto HM. Analisis dan Desain Sistem Informasi : Pendekatan Terstruktur Teori dan Praktek Aplikasi Bisnis. Yogyakarta: ANDI Yogyakarta. 1999. Lukman Surya Saputra. Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: PT Setia Purna

Inves. 2007.

M. Dawam Raharjo. Reformasi Politik: Dinamika Politik Nasional Dalam Arus Politik Global. Jakarta: Intermasa. 2003.

McLeod, Jr. Raymond. Sistem informasi Manajemen. terj. Ali Akbar. Jakarta: Salemba Empat. 2008.

Miriam Budiarjo. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia. 2008.

Muhammad Sobri, et all., Pengantar Teknologi Informasi Konsep dan Teori. Yogyakarta: Andi. 2017.

Reni Dwi Purnomowati. Implementasi Sistem Bikameral Dalam Parlemen Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2005.

Riant Nugroho Dwidjowijoto, Kebijakan Publik Negara Berkembang, Jakarta: PT. Gramedia. 2006.

Saldi Isra. Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia. Jakarta: Rajawali Press. 2010.

Widjajanti Mulyono. Ilmu Sosial Di Indonesia: Perkembangan dan Tantangan. Jakarta: Yayasan Pusaka Obor. 2016.

Internet

http ://wira059.blogspot.com/2011/09/pengertian-informasi-menurut-para-pakar (diakses tanggal 17 Desember 2017)

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini penting dilakukan karena adanya wacana 2019 ganti presiden berawal dari penggunaan media sosial yang kian menyemarakkan aktivitas politik masyarakat sehingga

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, sebagai perwujudan pertanggung jawaban keberhasilan / kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan

• Analisa Dengan Metode Simpleks Tujuan analisa ini adalah untuk menda- patkan komposisi optimal jumlah rumah dari tiap tipe rumah yang akan dibangun pada proyek

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.. Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Informatika

Kekuatan Hukum Tanda Tangan Digital Dalam Transaksi Bisnis adalah Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

PURATA KADAR HARGA 2014 (RM) KAWASAN UTARA KAWASAN TENGAH KAWASAN TIMUR KESELURUHAN KETERANGAN KERJA Concrete Channels 30 m 40.29 40.29 ROAD FURNITURES Signage. Supply, deliver

Bahwa menurut pengakuan Terdakwa pada hari Terdakwa pada hari Minggu tanggal 14 Juni 2015 sekitar jam 08.00 Wita Terdakwa berangkat dari Tarakan dengan menggunakan kapal

Potensi agowisata di kawasan wisata bukit Piantus kecamatan Sejankung merupakan produk wisata unggulan yang dapat dikembangkan sesuai dengan pola pemanfaatan lahan yang sejalan