• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai Shock Index Sebagai Prediktor Mortalitas Terhadap Penderita Sepsis dan Sepsis Berat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Nilai Shock Index Sebagai Prediktor Mortalitas Terhadap Penderita Sepsis dan Sepsis Berat"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Defenisi Sepsis

Pada tahun 1992, The American College of Chest Physicians and the Society of

Critical Care Medicine (ACCP/SCCM) mengembangkan suatu konsensus tentang

definisi sepsis. Beberapa diskusi dilakukan untuk membahas tentang dapat tidaknya

definisi ini diaplikasikan. Hal ini menyangkut adanya perbedaan-perbedaan yang

didasarkan pada usia, seperti nilai-nilai normal tekanan darah, frekwensi pernafasan,

volume urin, dan jumlah sel darah putih. Selain itu, adanya beberapa sindrom seperti

syok kardiogenik, syok hemoragik, dan syok ensefalopati yang menyerupai syok

septik.Pada pembahasan patofisiologi sepsis ini, yang dipakai adalah konsensus

internasional tentang sepsis, yakni adanya Systemic Inflammatory Response

Syndrome (SIRS) dengan infeksi. 14

2.2 Epidemiologi Sepsis

Penyakit sistemik yang disebabkan oleh invasi mikroba di dalam tubuh disebut sebagai "sepsis”. Ini adalah istilah yang secara khusus berfungsi untuk membedakan penyakit berasal dari mikroba dibanding dengan yang berasal dari non-mikroba.

Kesamaan dalam gambaran klinis dijelaskan oleh patofisiologi peran dari sitokin,

dimana peptida yang diturunkan dengan berbagai rangsangan. Terminologi saat ini

adalah didefinisikan dari awal 1990-an bahwa sepsis sebagai asosiasi perlawanan

terhadap inflamasi non-spesifik dengan kecurigaan berasal dari mikroba dan disertai

bukti hipoperfusi atau disfungsi minimal satu organ sistem, hal ini dikatakan sebagai

"sepsis berat". Sepsis berat disertai dengan hipotensi (disebut dengan syok sepsis)

memerlukan vasopresor, meskipun telah diberikan resusitasi cairan yang adekuat. 15,16

Sepsis berkaitan dengan suatu respon imun yang berlebihan yang dimiliki oleh

tubuh terhadap suatu infeksi. Pada tahun 2001, Angus et al. pernah menghitung

bahwa 750.000 penduduk di Amerika menderita sepsis dan membunuh sedikitnya

215.000 orang tiap tahunnya. Harrison et al. memperkirakan bahwa sepsis

(2)

menempatkan sepsis di rangking 10 besar penyakit yang menyebabkan kematian

terbanyak di seluruh dunia. Menurut laporan kasus dari intensive care units di USA

dan Kanada, yaitu lebih dari 2.600 kasus, resiko kematian akibat sepsis akan naik

dari 6% menjadi 10% setiap jam yang dilewati dari onset sepsis sampai dimulainya

terapi antibiotik yang sesuai.Peningkatan keparahan berkorelasi dengan

meningkatnya kematian, 25% - 30% untuk sepsis berat dan hingga 40% - 70% untuk

septik syok. Dalam terminologi ini,istilah sebelumnya dengan "septikemia," yang

mana dipahami hingga saat ini dengan beberapa bagian definisi diantaranya sepsis,

sepsis berat, dan septik syok. (Gambar.1). 17

(3)

Studi epidemiologi sangat besar hingga 6 juta orang ditemukan 3 kejadian per 1000

penduduk per tahun atau sekitar 750.000 kasus per tahun di Amerika Serikat. Hasil

Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001, penyakit infeksi saluran napas

bawah menempati urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di Indonesia. Di RSUP

Persahabatan tahun 2001 sepsis merupakan penyebab kematian , 48 % diantaranya

penderita rawat inap adalah kasus infeksi berat dan 14,6 % diantaranya kasus non

tuberkulosis. Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya di peroleh data sekitar 180

pneumonia komuniti dengan angka kematian berkisar antara 20% - 35 %. 18,19

Data Pengendalian Pencegahan Infeksi RSUP H. Adam Malik Medan bahwasanya

periode Januari-Juni tahun 2013 di RSUP H. Adam Malik Medan, angka kejadian

infeksi yang ditemukan sebesar 13,41% dari beberapa etiologi terhadap kasus

infeksi, dimana infeksi pada daerah operasi mendapat peringkat tertinggi, diikuti

oleh infeksi saluran kemih, infeksi dari ventilator aquired pneumoniae, phlebitis, dan

dekubitus.(Gambar.2) 21

Gambar 2. Angka Kejadian Infeksi Rumah Sakit di RSUP H Adam Malik, Januari – Juni 2013 (PPI – INOS RSUP H. Adam Malik Medan) 21

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00

Januari Februari Maret April Mei Juni

Angka Kejadian Infeksi Rumah Sakit

Januari - Juni 2013

(4)

Kadang-kadang, sepsis dapat timbul dari serangan yang tampaknya ringan, seperti

gigitan serangga, tusukan duri, atau luka lecet kulit yang kecil. Kerugian integritas

dari penghalang internal biasanya terjadi pada saluran pencernaan, yang yang di

mulai dari mulut hingga ke anus. Hal ini di luar kasus peradangan peritoneal, seperti

kemungkinan terjadinya sepsis yang timbul dari saluran genitourinari atau sistem

hepatobilier.Berbagai macam organisme seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur

dapat menyebabkan infeksi berat yang mengarah kepada terjadinya sepsis. Pola

kuman penyebab sepsis pun berbeda-beda antar negara dan selalu berubah dari

waktu ke waktu. Mikroorganisme penyebab sepsis dapat berupa bakteri, virus,

jamur, maupun parasit. Pada 80% dari seluruh kasus, infeksi bakteri adalah

penyebab terbanyak terjadinya sepsis dengan 50% diantaranya adalah bakteri gram

positif. Pada penggunaan kateter, infeksi Staphylococcus aureus, S. aureus resisten

metisilin menjadi penyebab utama infeksi yang berhubungan dengan rumah sakit.

Kasus yang berhubungan dengan infeksi Clostridium juga mulai meningkat. Pada

literatur lain, infeksi nosokomial maupun infeksi yang terdapat pada komunitas

paling banyak disebabkan oleh gram negatif. Eschericia coli adalah yang terbanyak.

(5)

2.3 Patofisiologi Sepsis

Sepsis merupakan hasil interaksi yang kompleks antara organisme patogen dan

tubuh manusia sebagai pejamu. Tinjauan mengenai sepsis berhubungan dengan

patofisiologi yang kompleks untuk mengilustrasikan gambaran klinis akan suatu

hipotensi yang berat dan aliran darah yang terbendung akibat terbentuknya

mikrotrombus di dalam sistem kapiler. Hal ini dapat menyebabkan disfungsi organ

yang kemudian dapat berkembang menjadi disfungsi dari beberapa organ dan

akhirnya kematian. Proses molekuler dan seluler dari pejamu sebagai respon

terhadap sepsis adalah berbeda-beda tergantung dari jenis organisme yang

menginvasi (organisme gram-positif, organisme gram-negatif, jamur, atau virus).

Respon pejamu terhadap organisme gram-negatif dimulai dengan dikeluarkannya

lipopolisakarida, yakni endotoksin dari dalam dinding sel bakteri gram-negatif, yang

dikeluarkan saat proses lisis. Organisme gram-positif, jamur dan virus memulai

respon pejamu dengan mengeluarkan eksotoksin dan komponen-komponen antigen

seluler.

Kedua substansi tadi memicu terjadinya kaskade sepsis yakni dimulai dengan

pengeluaran mediator-mediator inflamasi. Mediator-mediator inflamasi adalah

substansi yang dikeluarkan dari sel sebagai hasil dari aktivasi makrofag. Hasilnya

adalah aktifnya sistem koagulasi dan sistem komplemen. Kerusakan utama akibat

aktivasi ini terjadi pada endotel dan menyebabkan migrasi leukosit serta

pembentukan mikrotrombus.Akibat aktivasi endotelium, terjadi peningkatan jumlah

reseptor trombin pada permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada lesi

tersebut. Lesi pada endotel berhubungan dengan proses fibrinolisis yang terganggu.

Hal ini disebabkan karena berkurangnya jumlah reseptor pada permukaan sel yang

(6)

Sepsis secara utama hanya dipandang sebagai suatu kekacauan sistem inflamasi.

Beberapa studi terakhir mengindikasikan bahwa mekanisme sepsis juga mencakup

aktivasi koagulasi dan terganggunya fibrinolisis yang menyebabkan terbentuknya

protrombin sebagai hasil abnormalitas endotel yang diinduksi oleh sepsis dan

kemudian disfungsi organ. Respon Inflamasi penderita, tumor necrosis factor alpha

(TNF-α) merupakan mediator sepsis yang terutama di samping beberapa sitokin dan sel-sel lain yang juga terlibat. Mula-mula, makrofag teraktivasi dan memproduksi

mediator-mediator proinflamasi, termasuk TNF-α, Interleukin-1 (IL-1), IL-6, IL-8, platelet activating factor (PAF), leukotrien, dan thromboxane-A2 (Gambar. 3).

Mediator-mediator proinflamasi ini mengaktifkan banyak jenis sel, menginisiasi

kaskade sepsis, dan menghasilkan kerusakan endotel.26

Gambar.3 Patofisiologi Pathway Sepsis 2

Ketika terluka, sel-sel endotel dapat dilalui oleh granulosit dan unsur-unsur plasma

menuju jaringan yang mengalami inflamasi, yang mana dapat berakhir dengan

kerusakan organ. Inflamasi sel-sel endotelial menyebabkan vasodilatasi melalui aksi

nitric oxide pada pembuluh darah otot polos. Hipotensi yang berat dihasilkan dari

produksi nitric oxide yang berlebihan, sehingga melepaskan peptida-peptida

vasoaktif seperti bradikinin dan serotonin, dan dengan kerusakan sel endotel ini,

terjadilah ekstravasasi cairan ke jaringan interstisial.Aktivasi IL-8 dapat

menyebabkan disfungsi paru-paru melalui aktivasi netrofil yang berada di paru-paru.

Kerusakan kapiler menyebabkan peningkatan permeabilitas di paru-paru, serta dapat

(7)

Sitokin-sitokin proinflamasi mengaktivasi sistem komplemen baik melalui jalur

klasik maupun jalur alternatif. Sistem komplemen merupakan komponen yang

esensial pada imunitas bawaan. Namun demikian, aktivasi yang berlebihan, seperti

yang terjadi pada sepsis, dapat menyebabkan kerusakan endotel. C5a dan produk

dari aktivasi komplemen lainnya mengaktifkan kemotaksis neutrofil, fagositosis

dengan pelepasan enzim lisosom, sintesis leukotrien, meningkatkan agregasi dan

adhesi trombosit dan neutrofil, degranulasi, dan produksi radikal oksigen yang

toksik. Aktivasi sistem komplemen menghasilkan pelepasan histamin dari sel mast

dan meningkatkan permeabilitas kapiler yang menyebabkan terkumpulnya cairan di

dalam rongga ke-tiga yang dapat ditemukan pada keadaan sepsis. Pada hewan

percobaan, C5a menginduksi hipotensi, vasokonstriksi pulmonal, neutropenia, dan

kebocoran vaskular sehubungan dengan kerusakan kapiler. 27

Gambar 4. Kaskade Kegagalan Organ Akibat Adanya

(8)

2.3.1 Sirkulasi Mikro

Sirkulasi mikro berfungsi sebagai prasyarat utama kecukupan oksigenasi jaringan

dan agar suatu organ dapat berfungsi. Tujuannya untuk menjamin transport oksigen

dan zat nutrient ke jaringan-jaringan dan sel, sehingga dapat menjamin kecukupan

fungsi imunologis, dan untuk mendistribusikan obat pada sel target. Sirkulasi mikro

terdapat pada pembuluh darah terkecil ( Ø < 100 μm) yaitu arteriole, pembuluh darah kapiler, dan venule dimana oksigen dilepaskan ke jaringan. Jenis sel utama

penyusun sirkulasi mikro adalah sel endotel yang terdapat di dalam lapisan dalam

pembuluh darah mikro, sel otot polos (terutama di arteriole), sel darah merah,

lekosit, dan komponen plasma dalam darah. Struktur dan fungsi dalam sirkulasi

mikro sangat heterogen dan berbeda untuk tiap sistem organ. 29

Secara umum,tekanan, tonus pembuluh darah, dan potensi pembuluh kapiler

merupakan faktor-faktor penentu aliran darah pada pembuluh darah kapiler.

Pengukuran hemodinamik umumnya hanya mencerminkan sebagian kecil dari total

aliran darah dalam tubuh. Sirkulasi mikro, dengan permukaan endotel yang luas,

sebenarnya merupakan organ terluas dalam tubuh manusia. Pada praktek klinisnya,

perfusi sirkulasi mikro diukur dari beberapa aspek pada organ-organ distal. 30

2.3.2 Pengaturan Sirkulasi Mikro

Kondisi patologis pada keadaan sepsis (sepsis berat atau syok sepsis) dapat

mempengaruhi pada hampir setiap komponen sirkulasi sel mikro, termasuk sel

endotel, sel otot polos, lekosit, eritrosit, dan jaringan. Jika tidak dapat dikoreksi

secara tepat, suplai aliran darah mikro yang jelek dapat menyebabkan distress

respirasi pada jaringan dan sel, danclebih lanjut lagi menyebabkan disfungsi

sirkulasi mikro yang hasil akhirnya adalah kegagalan organ (Gambar 4). 28,30

Mekanisme kontrol perfusi sirkulasi mikro dibagi menjadi beberapa kelas seperti

miogenik (regangan, dan tekanan), metabolik (pengaturan berdasarkan pada O2,

CO2, laktat, dan H+), dan neurohumoral. Sistem kontrol ini menggunakan interaksi autokrin, dan parakrin untuk mengatur aliran darah pada sirkulasi mikro sehingga

dapat mencukupi kebutuhan oksigen pada jaringan dan sel. Sel endotel yang

melapisi dinding dalam pembuluh darah mikro memainkan peranan utama pada

(9)

beberapa substansi pengaturan lain untuk mengatur tonus sel otot polos arteriole,

serta pembuluh darah kapiler. Sinyal antar sel pada endotel mengirimkan informasi

terkini mengenai kondisi hemodinamis. Endotel juga berperan penting dalam

mengontrol fungsi koagulasi dan sistem imun, dimana keduanya secara langsung

mempengaruhi dan menentukan fungsi sirkulasi mikro. 28,30

Pada sepsis berat, yang terjadi pada sirkulasi mikro menimbulkan hal-hal sebagai

berikut: hipoksia jaringan menyeluruh, kerusakan keseluruhan sel endotel, aktivasi kaskade pembekuan, dan ” Microcirculatory and Mitochondrial Distress Syndrome

” (MMDS). Faktor faktor di atas, secara sendiri ataupun kombinasi, merupakan penentu disfungsi organ akut pada sepsis berat. Petanda klinis pada hipoksia

jaringan sangat tidak spesifik. Meskipun demikian, adanya hipoksia jaringan dapat

diketahui dari adanya disfungsi organ, seperti peningkatan frekuensi pernafasan,

organ perifer dapat terjadi hangat/vasodilatasi atau dingin/vasokonstriksi, jumlah

urin yang sedikit (oliguria), dan perubahan status mental. Disamping itu, adanya

disfungsi organ juga ditandai dengan adanya asidosis metabolik, dan rasio oksigen

yang rendah.

2.4 Mekanisme Disfungsi Organ

Mekanisme autoregulasi, dan fungsi sirkulasi mikro terganggu pada saat terjadi

sepsis, dan disfungsi mekanisme autoregulasi serta fungsi sirkulasi mikro tersebut

menjadi faktor penentu dalam patofisiologi yang ditandai beberapa kelainan

heterogen dalam aliran darah dimana beberapa pembuluh darah kapiler menjadi

turun perfusinya.Secara unit fungsional, sirkulasi mikro yang rentan menjadi

hipoksia, dimana hal ini menjelaskan adanya defisit oksigen yang terkait dengan

sepsis. Pada kondisi ini, tekanan parsial O2 pada sirkulasi mikro ( μpO2) jadi turun. Perbedaan ini disebut ”PO2 gap” , pengukuran tingkat keparahan shunting fungsional, dimana bila terjadi akan lebih parah pada sepsis dibandingkan pada

situasi perdarahan. Ini merupakan alasan utama mengapa pemantauan hemodinamik

secara sistemik dan variabel oksigen tidak dapat mengetahui distres pada sirkulasi

mikro, dan proses yang berjalan ini menjadi tertutupi/tidak diketahui. Pada sepsis,

sel endotel sirkulasi mikro tidak dapat lagi menjalankan fungsinya sebagi pengatur

(10)

serta kontrol otot polos. Sistem Nitrit Oksida (NO), komponen utama pada kontrol

autoregulasi patensi sirkulasi mikro, menjadi sangat terganggu pada keadaan sepsis,

hal ini diketahui dengan adanya ekspresi heterogen dari inducible nitric oxide

synthase (iNOS) pada area yang berbeda pada tiap organ, sehingga menyebabkan

terjadinya aliran shunting yang patologis. Karena iNOS tidak diekspresi secara

homogen pada sistem organ, area yang kekurangan iNOS menjadi kurang

vasodilatasi yang dipicu oleh NO dan perfusinya menurun. Sel otot polos yang

melapisi arteriole dan mengatur perfusi menjadi kehilangan tonus dan sensitivitas

terhadap respon adrenergik pada keadaan sepsis. Sel darah merah menjadi kurang

dapat berubah bentuk dan cenderung beragregrasi. Sel darah merah juga memainkan

peranan penting dalam pengaturan aliran darah sirkulasi mikro dengan

kemampuannya melepaskan NO pada keadaan hipoksia dan menyebabkan

vasodilatasi. Kemampuan pengaturan oleh sel darah merah ini terganggu pada

keadaan sepsis. Defek yang parah ini bersama dengan terganggunya sistem

koagulasi pada sepsis, akan lebih lanjut menganggu perfusi sirkulasi mikro dan

fungsinya. Sebagai tambahan, lekosit yang diaktivasi oleh inflamasi sepsis akan

menghasilkan oksigen reaktif yang secara langsung merusak struktur sirkulasi

mikro, interaksi antar sel, dan fungsi koagulasi. Hal ini dan beberapa mediator

inflamasi lainnya akan mengubah fungsi pertahanan pada sirkulasi mikro, termasuk

hubungan antar sel, dan mungkin juga glikokaliks sel endotel, sehingga

menyebabkan edema jaringan dan labih lanjut lagi menjadikan defisit ekstraksi

oksigen. Bila tidak dikoreksi, disfungsi sirkulasi mikro akan menyebabkan distres

respirasi sel parenkim dan menyebabkan kegagalan organ. Meskipun penyebab

utama terjadinya defisit ekstraksi oksigen pada sepsis dapat dijelaskan dengan

adanya kelemahan pada sistem shunting, hipoksia unit sirkulasi mikro,

ketidakmampuan mitokondria untuk memproses oksigen masih merupakan

perdebatan. Perjalanan sepsis dari awal kemudian menjadi berat terjadi bersamaan

atau bahkan disebabkan oleh disfungsi sirkulasi mikro, yang seiring waktu akan

menyebabkan disfungsi mitokondria. Brealey dkk, menunjukkan bahwa disfungsi

mitokondria sungguh memainkan peranan penting pada sepsis dimana tingkat

disfungsi respirasi mitokondria terkait dengan outcome penderita. Kegagalan

(11)

daerah yang mengalami hipoksia, dan dapat menyebabkan distres jaringan yang

selanjutnya menjadi disfungsi organ. (Gambar 5).34,35

Gambar 5. Kaskade dari Perjalanan SIRS dan Sepsis.45

2.4.1 Hubungan Inflamasi dan Koagulasi

Inflamasi dan koagulasi sangat berkaitan erat di dalam terjadinya sepsis.

Mediator-mediator inflamasi membangkitkan ekspresi tissue factor dan menginisiasi koagulasi

melalui aktivasi jalur ekstrinsik, sementara pembentukan trombin dari koagulasi

yang teraktivasi menstimulasi aktifnya mediator-mediator proinflamasi.Pelepasan

TNF-α, IL-1, and IL-6 menghasilkan monosit-monosit yang aktif untuk mengekspresikan tissue factor (TF) yang kemudian akan menstimulasi kaskade

koagulasi ekstrinsik dan produksi fibrin. Tissue factor merupakan reseptor dengan

afinitas tinggi serta kofaktor untuk faktor VIIa. Saat TF diekspresikan kepada

monosit, dia menempel pada factor VIIa untuk membentuk kompleks aktif yang

mengubah factor-faktor X dan IX menjadi bentuk yang aktif. Munculnya tissue

factor secara langsung mengaktivasi jalur koagulasi ekstrinsik, dan melalui feedback

loops, mengaktifkan jalur intrinsik secara tidak langsung. Kolagen mengaktivasi

koagulasi jalur intrinsik serta mengubah protrombin menjadi trombin.Trombin

memiliki efek multiple pada inflamasi dan juga membantu memelihara

keseimbangan antara koagulasi dan fibrinolisis. Trombin memiliki efek proinflamasi

pada sel-sel endotel, makrofag, dan monosit, menyebabkan pelepasan TF, platelet

(12)

agregasi. Trombin menstimulasi chemo attractant bagi neutrofil dan monosit untuk

memfasilitasi kemotaksis. Trombin yang berlebihan akan menstimulasi terjadinya

inflamasi dengan meningkatkan produksi sel endotel E-selectin dan P-selectin yang

menghasilkan perlekatan neutrofil pada endothelium. Proses ini berperan dalam

pembentukan mikrotrombus. Trombin juga menstimulasi degranulasi mast cell yang

melepaskan bioamin yang kemudian akan meningkatkan permeabilitas pembuluh

darah dan menyebabkan terjadinya kebocoran kapiler.Tubuh memiliki mekanisme

inhibisi bawaan serta antikoagulan endogen untuk memelihara homeostasis. Protein

C yang teraktivasi memiliki reaksi antitrombosis yang dihasilkan dari inaktivasi

faktor Va dan VIIIa. Secara tidak langsung, produksi trombin juga mengurangi

inflamasi dan memperbaiki aktifitas fibrinolisis. Protein C yang teraktivasi juga

menurunkan ekspresi TF. Tissue factor pathway inhibitor (TFPI) diproduksi oleh

sel-sel endotel dan TF yang tidak aktif. TFPI juga dapat menginhibisi faktor-X

secara langsung. Seluruh mekanisme-mekanisme ini terganggu pada keadaan sepsis.

TNF-α menyebabkan terganggunya inhibisi pembentukan trombin: antitrombin III, protein C, protein S, dan TFPI. Proses ini mengarah kepada generasi trombin yang

tidak teratur. Trombin mengaktivasi faktor V dan VII pada jalur ekstrinsik, serta

faktor IX pada jalur intrinsik. Hasil akhir dari dari aktifasi tiap jalur adalah

berhubungan dan sama; protrombin memproduksi trombin, dan fibrinogan diubah

menjadi fibrin. Trombin akan menyebabkan koagulasi yang tidak terkontrol yang

nantinya mengarah kepada disfungsi organ seperti yang terjadi pada keadaan sepsis

berat. [PAI-1]). 33

2.4.2 Respon Homeostasis

Fibrinolisis merupakan respon homeostasis tubuh untuk mengaktifkan sistem

koagulasi. Pembersihan fibrin penting untuk penyembuhan luka, angiogenesis, dan

rekanalisasi pembuluh darah. Aktivator fibrinolisis meliputi aktivator plasminogen

jaringan sel endotel tissue plasminogen activator (t-PA) atau urokinase plasminogen

activator (u-PA). Tubuh juga memiliki inhibitor alami terhadap fibrinolisis, seperti

PAI-1 dan thrombin-activatable fibrinolysis inhibitor (TAFI). Aktivator serta

inhibitor diperlukan untuk memelihara keseimbangan homeostasis. Sepsis

mengganggu respon fibrinolisis yang normal dan membuat tubuh kurang mampu

(13)

meningkatkan level PAI-1 serta mencegah pembersihan fibrin. Pemecahan fibrin

menghasilkan produk degradasi fibrin (fibrin degradation products) seperti D-dimer

yang sering. Melalui jalan ini, mediator-mediator proinflamasi (IL-6 dan TNF-α) bekerja secara sinergis untuk meningkatkan jumlah fibrin, yang dapat menyebabkan

trombus pada pembuluh darah baik yang berukuran kecil maupun sedang, serta

potensial terhadap disfungsi organ. Secara klinis, disfungsi organ dapat

termanifestasikan sebagai distress pernafasan, hipotensi, gagal ginjal, dan yang

paling berat adalah progresi ke arah kematian. Kadar trombin yang tinggi yang

dihasilkan dari aktivasi koagulasi menuntun kepada aktifnya TAFI. Meningkatnya

jumlah TAFI merupakan mekanisme penting dalam inhibisi sistem fibrinolisis

selama sepsis. Protein C endogen yang teraktivasi memiliki sifat profibrinolitik

dengan kemampuannya untuk menginhibisi PAI-1 dan membatasi pembentukan

TAFI. Pada keadaan sepsis, kerusakan endotelium mengurangi kemampuan tubuh

untuk mengubah protein C menjadi protein C yang teraktivasi. Sebagai akibatnya,

pada keadaan sepsis, kemampuan untuk memperbaiki keadaan homeostasis melalui

efek profibrinolitik dari protein C terganggu.Respon koagulasi dan sistem

fibrinolisis yang sejenis dapat dilihat juga pada bayi dengan infeksi meningokokus.

Hubungan antara protein C yang sangat rendah dengan tingginya mortalitas

menyokong hipotesis yang menyebutkan bahwa mekanisme dari penyakit yang

mendasari sepsis secara kualitatis adalah sama, tanpa melihat kuantitas atau

perbedaan faktor darah berdasarkan usia. 33,34

2.4.3 Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS)

Manifestasi klinis infeksi tergantung pada virulensi organisme yang terkena serta

respon inflamasi tubuh terhadap agen infeksi. Istilah SIRS sering digunakan untuk

menjelaskan keunikan proses infeksi serta respon sistemik yang mengikutinya.

Selain infeksi, SIRS juga dapat dihasilkan dari trauma, syok hemoragik,

penyebab-penyebab iskemia yang lain.Penderita-penderita dengan SIRS memiliki spektrum

gejala klinis yang menampakkan proses patologis yang progresif. 14

Batasan SIRS ialah respon inflamasi sistemik terhadap gangguan/kerusakan klinis

yang ditandai dengan adanya dua atau lebih hal-hal berikut:

(1) Temperatur tubuh yang tidak stabil (< 36°C atau > 38,5 °C),

(14)

(3) Disfungsi Cardiac (heart rate > 90 x/menit), dan

(4) Sel darah putih kurang dari 4000 sel / mm ³ (4 x 109 sel / L)

atau lebih besa dari 12.000 sel / mm ³ (12 x 109 sel / L), atau

adanya neutrofil > 10%.

Meningkatnya permeabilitas vaskuler menyebabkan kebocoran kapiler pada jaringan

perifer dan paru-paru yang mengakibatkan terjadinya edem paru. Kerusakan

jaringan pada akhirnya akan menyebabkan kegagalan multiorgan dan kematian. 1,14,35

2.5 Shock Index (SI)

Shock Index (SI), merupakan penilaian terhadap penderita dengan sepsis dan sepsis

berat, dengan normal kisaran 0,5-0,7 pada orang dewasa sehat. Allgöwer dan Buri

pertama kali memperkenalkan konsep pada tahun 1967 sebagai penilaian sederhana

dan efektif guna mengukur derajat hipovolemia . Studi eksperimental dan klinis

telah menunjukkan bahwa SI berbanding terbalik dengan parameter fisologis, seperti

cardiac index, stroke volume, dan rata-rata tekanan pembuluh arteri. Pada tahun 1994, Rady et all menemukan bahwa SI ≥ 0,9 memprediksikan bahwa prioritas penanganan serta terapi intensif terhadap penderita dengan sepsis kurang agresif di

awal saat penderita tiba di unit gawat darurat. Hal ini menunjukkan bahwa SI dapat

menjadi parameter untuk pengenalan dini dan evaluasi penyakit kritis di,unit gawat

darurat serta sebagai sarana untuk mengetahui kemajuan dari resusitasi

sebelumnya.31 Sebagai tambahan, SI merupakan penilaian terhadap prognosa angka kelangsungan hidup penderita khususnya pada penderita dengan sepsis berat.

Kelangsungan hidup penderita melibatkan pemantauan vital sign berupa tekanan

darah, denyut jantung, frekwensi pernafasan,dan suhu. Namun untuk SI merupakan

pemantauan hasil pembagian denyut jatung terhadap tekanan darah sistole pada

penderita dengan sepsis berat yang dilakukan penilaiannya pada saat penderita tiba

di Ruang Unit Gawat Darurat, setelah 2 jam diberikan bantuan resusitasi dan terapi

di Unit Gawat Darurat dan selama 24 jam masa rawatan di rumah sakit. Dimana hal

ini mudah dilakukan dan terjangkau dalam penanganan terhadap sepsis berat. 37,38 Dari penelitian sebelumnya, SI menjadi nilai prognosa jangka pendek dalam

menilai kelangsungan hidup penderita dengan sepsis. Peneliti mempelajari nilai

(15)

pada penilaian terhadap tingkat mortalitas penderita dengan sepsis berat ini,

menggunakan cut off Point SI sebesar = 1,0 dimana semakin tinggi nilai SI yang

diperoleh dari cut off Point tersebut,maka dapat di prediksi bahwa akan semakin

tinggi angka mortalitas pada penderita dengan sepsis berat tersebut. Hasil dari

penelitian tersebut telah membuktikan bahwa SI berperan dalam deteksi dini

kejadian syok yang memerlukan intervensi segera dalam hal penanganan dan SI

dapat digunakan sebagai prediktor terhadap risiko stratifikasi pada penderita dengan

sepsis berat. Sebagai dibandingkan dengan memvisualisasikan tanda dari vital sign

(HR,SBP,DBP) sendiri, SI menggabungkan variabel-variabel ini menjadi rasio

tunggal membuatnya menjadi fisiologis yang komprehensif variabel. Saat kritis

penderita menunjukkan mekanisme kompensasi fisiologis, menjaga turunnya

tekanan darah dari meskipun keadaannya dapat menurun volume sirkulasi darah,

stroke volume, dan cardiac-output. Dalam hal ini, SI akan berfungsi sebagai

prediktor awal melalui pemantauan vital sign .31,36,37

2.6. Kriteria Klinis.( Surviving Sepsis Campaign ) 14

Penderita yang masuk dalam penelitian ini memenuhi kriteria berupa : • Suhu tubuh kurang dari 36°C (Hypotermia) atau lebih besar dari 38°C. • Denyut jantung lebih dari 90 kali per menit.

• Frekwensi pernapasan lebih dari 20 kali per menit (Tachypnea) atau tekanan parsial karbon dioksida arteri (PCO2) kurang dari 4,3kPa

(32mmHg).

• Sel darah putih kurang dari 4000 sel / mm ³ (4 x 103

sel / L) atau lebih

besar dari 12.000 sel / mm ³ (12 x 103 sel / L),atau adanya neutrofil lebih dari 10% .

• Perubahan status mental atau tingkat kesadaran (GCS < 14). • Penurunan tekanan darah (SBP < 90 mmHg, MAP < 70 mmHg). • Plasma Procalcitonin > 0,5 μg/L (sepsis) dan 2-10 μg/L (sepsis berat). • Akut oliguria (Urine Out Put < 0,5 mL/Kg BB/jam atau < 0,5 mL/Kg BB setelah 2 jam dilakukan resusitasi cairan).

• Peningkatan creatinin > 0,5 mg/dL atau 44,2 μmol/L. • International Normalized Ratio (INR) > 1,5.

(16)

• Hyperbilirubinemia (Total Plasma Bilirubin >4 mg/dl atau > 70μmol/L). • Hyperlactatemia (> 1 mmol/L).

2.7. Pemeriksaan Penunjang Sepsis.

Dalam menentukan diagnosis sepsis, pemeriksaan fisik, serta perjalanan penyakit

harus di evaluasi dengan cermat. Pemeriksaan darah rutin dan hitung jenis leukosit

umumnya bermanfaat walaupun tidak spesifik untuk sepsis. Adanya leukopenia

maupun leukositosis , mengindikasikan prediksi yang mengarah kepada sepsis. Bila

hal-hal tersebut tidak ditemukan, maka kecil kemungkinan terjadinya sepsis. Akurasi

prediksi ini penting untuk dibuktikan dengan re-evaluasi dalam 8-24 jam.

Pengukuran C-reactive protein memiliki akurasi dan spesifisitas yang rendah.

Pemeriksaan yang lebih sensitif mencakup plasma procalcitonin dan biakan darah.

Pada penderita dengan resiko tinggi, kurang dari 72 jam, dan asimtomatik, biakan

darah dan urin juga perlu dilakukan. Bila antibiotik sudah mulai diberikan, biakan

harus diinkubasikan selama 72 jam untuk menyediakan cukup waktu bagi organisme

untuk berkembang biak sebelum biakan dinyatakan negatif dan terapi antibiotik

intravena dihentikan. Karena itu, dengan adanya kecurigaan klinik yang cukup kuat

terhadap sepsis serta jumlah leukosit yang abnormal, penderita harus diterapi

lengkap dengan antibiotik walaupun dengan hasil biakan yang negatif . 14,33,41

2.8. Prognosis

Dengan diagnosis dini dan terapi yang baik, umumnya tidak akan mengalami

masalah kesehatan yang berhubungan dengan sepsis dalam jangka waktu yang lama.

Namun demikian, bila tanda awal dan/atau faktor-faktor resiko terlewatkan, maka

Gambar

Gambar 2.  Angka Kejadian Infeksi Rumah Sakit di RSUP H Adam Malik,
Gambar 4. Kaskade Kegagalan Organ Akibat Adanya
Gambar 5. Kaskade dari Perjalanan SIRS dan Sepsis.45

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 2 merupakan tabel silang untuk mendapatkan hasil sensitivitas, spesifisitas dan juga data lain yang dibutuhkan dalam menghitung nilai prognostik dari suatu kelompok,

Serum lactate is associated with mortality in severe sepsis independent of organ failure and shock.. [book auth.] Crit

Kedua kelompok dibandingkan dengan mortalitas, lama perawatan PICU, pola napas, pemakaian obat vasoaktif/Inotrop serta adanya disfungsi ≥ 2 organ sesuai skor PELOD.. Analisis

Penelitian Shah 15 pada bayi cukup bulan dengan kriteria asfiksia nilai Apgar menit kelima kurang dari 5, asidosis metabolik, dan HIE mendapatkan insidens disfungsi hati sebesar

Atas dasar penjelasan penelitian sebelumnya yang menunjukkan adanya hubungan antara peningkatan Mean Platelet Volume sebagai penanda ataupun prediktor mortalitas

Variabel yang dianalisis hubungannya dengan kejadian kematian pasien sepsis dan syok sepsis pada penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, fokus infeksi, skor

Tabel 2 merupakan tabel silang untuk mendapatkan hasil sensitivitas, spesifisitas dan juga data lain yang dibutuhkan dalam menghitung nilai prognostik dari suatu kelompok,

Variabel yang dianalisis hubungannya dengan kejadian kematian pasien sepsis dan syok sepsis pada penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, fokus infeksi, skor