TINJAUAN PUSTAKA
Eukaliptus (Eucalyptus sp.)Tanaman Eucalyptus spp. merupakan famili Myrtaceae, terdiri atas lebih
kurang 700 jenis. Jenis Eucalyptus sp. dapat berupa semak dan perdu sampai
mencapai ketinggian 100 meter. Batang umumnya bulat, lurus, tidak berbanir dan
sedikit bercabang. Pohon pada umumnya bertajuk sedikit ramping, ringan dan
banyak meloloskan cahaya matahari. Cabangnya lebih banyak membuat sudut ke
atas, jarang-jarang dan daunnya tidak begitu lebat. Daunnya berbentuk lanset
hingga bulat telur memanjang dan bagian ujungnya runcing membentuk kait.
Beberapa marga Eucalyptus dengan jenis Eucalyptus spp. Jenis-jenis yang sudah
dikenal umum antara lain E. deglupta, E. urophylla, E. camadulensis, E. grandis,
E. pellita, E. tereticornis, dan E. torreliana (Latifah, 2004 dalam Sembiring,
2009).
Eucalyptus spp. merupakan salah satu tanaman yang bersifat fast growing
(tanaman cepat tumbuh). Eucalyptus spp. juga dikenal sebagai tanaman yang
dapat bertahan hidup pada musim kering. Tanaman ini mempunyai sistem
perakaran yang dalam namun jika ditanam di daerah dengan curah hujan sedikit
maka perakarannya cenderung membentuk jaringan rapat dekat permukaan tanah
untuk memungkinkan menyerap setiap tetes air yang jatuh di cekaman tersebut.
Eucalyptus spp. merupakan salah satu jenis tanaman yang dikembangkan dalam
pembangunan hutan tanaman industri (Poerwowidodo, 1991).
Manurut Sutisna dan Purmadjaja (1999), tanaman Eucalyptus spp.
mempunyai sistematika sebagai berikut:
Divisio : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Class : Dycotyledone (berkeping dua)
Ordo : Myrtiflorae
Famili : Myrtaceae (suku jambu-jambuan)
Genus : Eucalyptus
Species : Eucalyptus spp.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan, Eucalyptus spp.
memiliki banyak kelebihan dibanding penanaman tanaman lain baik dari segi
manfaat kayu maupun dari segi pertumbuhannya. Dari segi manfaat kayunya
Eucalyptus spp. dapat digunakan untuk bahan bangunan, kusen pintu dan jendela,
kayu lapis, bahan pembungkus, korek api, dan sebagai bahan pulp dan kertas.
Daun dan cabang Eucalyptus spp. dapat menghasilkan minyak yang digunakan
untuk kepentingan farmasi, misalnya untuk obat gosok, obat batuk, parfum,
deterjen, desinfektan dan pestisida (Sutisna dan Purmadjaja, 1999).
Syarat Tumbuh Eucalyptus spp.
Jenis-jenis Eucalyptus spp. terutama menghendaki iklim bermusim (daerah
arid) dan daerah yang beriklim basah dari tipe hujan tropis. Jenis Eucalyptus spp.
tidak menuntut persyaratan yang tinggi terhadap tempat tumbuhnya. Eucalyptus
spp. dapat tumbuh pada tanah yang dangkal, berbatu-batu, lembab, berawa-rawa,
secara periodik digenangi air, dengan variasi kesuburan tanah mulai dari
tanah-tanah kurus, gersang, sampai tanah-tanah yang baik dan subur. Jenis Eucalyptus spp.
dapat tumbuh di daerah beriklim A sampai C dan dapat dikembangkan mulai dari
dataran rendah sampai daerah pegunungan yang tingginya per tahun yang sesuai
tanah yang digunakan dalam pertanaman Eucalyptus spp. ini adalah jenis tanah
litosol dan regosol podsolik (Darwo, 1997).
Hampir semua jenis Eucalyptus beradaptasi dengan iklim muson.
Beberapa jenis bahkan dapat bertahan hidup di musim yang sangat kering,
misalnya jenis-jenis yang telah dibudidayakan yaitu E. alba, E. camaldulensis, E.
citriodora, E. deglupta adalah jenis yang beradaptasi pada habitat hutan hujan
dataran rendah dan hutan pegunungan rendah, pada ketinggian hingga 1800 mdpl,
dengan curah hutan tahunan 2500-5000 mm, suhu minimum rata-rata 23 dan
maksimum 31 di dataran rendah, dan suhu minimum rata-rata 13 dan maksimum
29 di pegunungan (Kapisa et al., 1999).
Penyebaran dan Morfologi Eucalyptus sp.
Daerah penyebaran alaminya berada di sebelah Timur garis Wallace,
mulai dari 7°’ LU sampai 43°39’ LS meliputi Australia, New Britania, Papua dan
Tazmania. Beberapa spesies juga ditemukan di Kepulauan Indonesia yaitu Irian
Jaya, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, dan Timor- Timur. Genus Eukaliptus
terdiri atas 500 spesies yang kebanyakan endemik Australia. Hanya ada dua
spesies yang tersebar di wilayah Malesia (Maluku, Sulawesi, Nusa Tenggara dan
Fillipina) yaitu Eucalyptus urrophylla dan Eucalyptus deglupta. Beberapa spesies
menyebar di Australia bagian Utara menuju bagian Timur. Spesies ini banyak
tersebar di daerah-daerah pantai New South Wales dan Australia bagian Barat
Daya. Pada saat ini beberapa spesies ditanam di luar daerah penyebaran alami,
misalnya di Benua Asia, Afrika bagian Tropika dan Subtropika, Eropa bagian
Tanaman Eucalyptus sp. pada umumnya berupa pohon kecil hingga besar,
tingginya rata-rata 40 meter dan rata-rata bebas cabang 25 m. Batang utamanya
berbentuk lurus, dengan diameter hingga 200 cm. Permukaan kulit kayu licin,
berserat berbentuk papan catur. Daun muda dan daun dewasa sifatnya berbeda,
daun dewasa umumnya berseling kadang-kadang berhadapan, tunggal, tulang
tengah jelas, pertulangan sekunder menyirip atau sejajar, berbau harum bila
diremas. Perbungaan berbentuk payung yang rapat kadang-kadang berupa malai
rata di ujung ranting. Buah berbentuk kapsul, kering dan berdinding tipis. Biji
berwarna coklat atau hitam. Marga Eucalyptus termasuk kelompok yang berbuah
kapsul dalam suku Myrtaceae dan dibagi menjadi 7-10 anak marga, setiap anak
dibagi lagi menjadi beberapa seksi dan seri (Khaeruddin, 1999).
Penyakit pada Tanaman Eucalyptus spp.
Fungi merupakan salah satu faktor biotik terbanyak yang menyebabkan
tanaman hutan menjadi sakit. Umumnya penyakit tidak hanya disebabkan oleh
satu jenis patogen akan tetapi dapat disebabkan oleh beberapa patogen yang
datang atau muncul secara bersama ataupun berurutan. Hal ini dapat
menyebabkan berkurangnya produksi hutan tanaman yang diusahakan
(Semangun, 2001).
Ada beberapa penyakit penting yang sering menyerang tanaman
Eucalyptus spp. antara lain:
1. Penyakit pada akar
a. Busuk akar Phytophthora
Penyakit ini disebabkan oleh Phytophthora cinnamomi dan Phytophthora
umumnya daun yang layu. Hal ini diikuti dengan busuknya kambium akar
dan pangkal akar. Kulit dari akar biasanya terkelupas. Jika pangkal akar
terinfeksi, pohon akan mati (SAPPI, 2014).
2. Penyakit batang
a. Busuk Botryosphaeria
Penyakit ini disebabkan oleh Botryosphaeria eucalyptorum dan
Botryosphaeria ribis. Banyak gejala yang diasosiasikan dengan infeksi
Botryosphaeria pada Eukaliptus. Gejala yang umum adalah kematian
pada pucuk pohon dan ini menyebabkan infeksi pada hati kayu dan
perubahan warna kayu yang dilapisi oleh bagian luar kayu yang sehat
(SAPPI, 2014).
b. Busuk Cryphonectria
Ada dua spesies yang menyebabkan penyakit ini di Afrika Selatan.
Cryphonectria eucalypti yang merupakan patogen minor dan
Cryphonectria cubensis yang merupakan patogen major. Cryphonectria
yang disebabkan Cryphonectria cubensis pada umumnya membunuh
pohon muda pada dua tahun pertama pertumbuhan dengan terkelupasnya
pangkal batang. Pohon yang berpenyakit ini biasanya tiba-tiba mati pada
musim panas (SAPPI, 2014).
c. Busuk Coniothyrium
Coniothyrium zuluensi adalah agen penyebab penyakit ini. Infeksi yang
dapat dikenali adalah adanya spot-spot kecil pada jaringan muda dan hijau
batang. Luka ini akan bersatu dan menimbulkan tonjolan yang besar
3. Penyakit daun
a. Foliar spot dan foliar blight
Penyakit ini disebabkan oleh Cylindrocladium sp., merupakan patogen yang menyerang tanaman Eucalyptus sp. Cylindrocladium sp. merupakan salah satu jenis dari marga Calonectria de Not. yang menyebabkan penyakit pada pembibitan dan pada tanaman termasuk akar dan leher akar, hawar tunas,
hawar daun dan bercak daun (Old, et al., 2003).
b. Hawar pucuk
Penyakit ini disebabkan oleh Cryptosporiopsis eucalypti. Gejala penyakit ini berkembang di sekitar daun dan batang Eucalyptus spp., biasanya tersebar secara menyeluruh, lembut dan berwarna coklat, luka nekrotik yang
menjalar, bentuknya bundar dengan diameter 1-2 cm. Luka yang berat
ditunjukkan dengan warna coklat tua atau abu- abu di seluruh permukaan
daun (Old, et al., 2003).
c. Penyakit Mycosphaerella
Penyakit yang ditimbulkan berupa bintik daun, bisul dan kerut daun yang
disebabkan oleh Mycosphaerella. Tetapi marga ini belumlah pasti ditemukan pada tanaman Eucalyptus sp., karena banyak variasi gejala yang ditunjukkan oleh infeksi Mycosphaerella dengan hasil yang berbeda dalam hal ukuran luka, warna dan morfologi. Daun yang terinfeksi akan berkembang menjadi
bintik dan bisul.
d. Penyakit Phaeophleospora
ditunjukkan berupa bercak daun berwarna kemerahan pada permukaan atas
daun dan adanya spora berwarna hitam pada bagian permukaan bawah daun.
e. Penyakit Pestalotia
Penyakit ini disebabkan oleh Pestalotia sp. Serangan Pestalotia pada daun menimbulkan gejala bercak yang dimulai dari tepi daun ujung, yang
kemudian meluas ke tengah daun. Serangan fase awal hampir selalu terjadi di
ujung daun. Diduga bahwa stoma di daerah ujung memberikan kondisi yang
kondusif bagi perkembangan konidiaspora (Semangun, 2001).
Penyakit daun Phaeophleospora
Phaeophleospora destructans juga dikenal sebagai Kirramyces destructans
terkait dengan penyakit hawar daun pada E. grandis berusia satu tahun hingga tiga
tahun di Sumatera Utara, Indonesia. Spesies ini adalah patogen agresif yang dapat
menyebabkan hawar daun yang luas pada daun muda dan gugurnya daun pada
usia muda sebagai akibat dari nekrosis daun dan tangkai daun. Patogen ini
ditemukan pada tahun 2000, menyerang perkebunan klonal E. camaldulensis di
timur Thailand dan pada tahun 2002 ditemukan untuk pertama kalinya di beberapa
lokasi, meliputi selatan, tengah dan utara Vietnam, pada spesies E. camaldulensis,
E. urophylla dan klon hibrid. Penyebaran yang cepat menunjukkan adanya
serangan patogen ke tanaman hingga bahkan menyerang benih, dan hal ini
berpotensi sebagai ancaman serius bagi Eukaliptus di Asia Tenggara dan,
mungkin, vegetasi asli dan perkebunan di utara Australia yang berdaerah tropis.
Dalam rangka untuk membantu mengatasi penyakit ini, klon toleran dipilih dan
Penyakit ini umumnya ditemukan pada tanaman Eukaliptus di Sumatera
Utara. Plot percobaan dari E. globulus di Habinsaran terinfeksi dalam jumlah
besar. Penyakit ini ditemukan pada areal pembibitan dan areal penanaman.
Penyakit ini biasanya ditemukan pada daun dewasa, terutama pada bibit-bibit
yang persediaannya berlebih. Penyakit ini dikenali dengan bercak warna ungu
hingga ungu kecoklatan. Jika lefel infeksi sudah tinggi, penyakit ini dapat
menyebabkan gugurnya daun pada usia muda (Alfenas, 1993).
Menurut Simpson et al. (2005) ada lima spesies Phaeophleospora yang
diketahui menyerang tanaman Eukaliptus, antara lain:
a. P. delegatensis
b. P. destructans
c. P. epicoccoides
d. P. eucalypti
e. P. lilianiae
Phaeophleospora epicoccoides merupakan salah satu patogen daun yang
paling banyak dilaporkan dan diteliti di dunia, terjadi pada berbagai spesies di
banyak negara termasuk dari daerah subtropis. Dianggap sebagai patogen yang
menyerang pembibitan di Australia dan India, menyebabkan kematian tanaman di
Malawi dan Afrika Selatan, defoliasi perkebunan di Australia (G. Hardy pers.
Comm.), dan kerusakan yang signifikan di pembibitan dan perkebunan di
Indonesia. Gejala yang ditimbulkan bervariasi, spora dapat tersebar, dan
menginfeksi bibit dan kebun klonal di pembibitan dengan sanitasi yang buruk
P. epicoccoides dan P. destructans memiliki perbedaan pada warna dan
tekstur. P. epicoccoides padat, pertumbuhannya lambat, dan berwarna gelap,
sedangkan P. destructans berwarna kemerahmudaan, pertumbuhannya lambat,
dan agak lembut. Dibandingkan dengan spesies lain, spora P. epicoccoides
pendek, lebar, multisepta, dan berwarna hijau, sedangkan spora P. destructans
lebih panjang dan lebih tipis (Burgess et al, 2004).
P. epicoccoides dominan ditemukan pada daun yang mulai menua dan
menyebabkan daun gugur lebih cepat. Fungi ini tidak digolongkan sebagai
patogen mayor. P. destructans adalah patogen mayor yang menyerang daun muda
pada pembibitan, pada tanaman induk, dan pada areal penanaman. Bibit yang
terinfeksi, tanaman induk, dan stek pada pembibitan dapat rusak total pada kondisi
lembab. Material terinfeksi yang dapat bertahan di lapangan, pada akhirnya
kondisi pertumbuhan terganggu dan tidak stabil (Burgess et all, 2004).
Penyakit ini disebabkan oleh Phaeophleospora yang biasanya terdapat
pada pembibitan dan menjangkit penanaman jenis tertentu. Gejala yang
ditunjukkan berupa bercak daun berwarna kemerahan pada permukaan atas daun
dan adanya spora berwarna hitam pada bagian permukaan bawah daun. Apabila
satu daun tanaman telah terinfeksi patogen ini maka akan terjadi penularan
penyakit pada daun yang berdekatan hingga dapat mengakibatkan kematian bibit
tanaman. Penularan sering kali terlihat dimulai dari bagian pangkal bibit tanaman
hingga mencapai daun bagian ujung tanaman. Patogen ini biasanya berada di
bawah tajuk pohon dan dapat menyebabkan penghancuran secara signifikan pada
Tampilan dan tingkat keparahan luka pada daun Eukaliptus umumnya
digunakan untuk mengenali spesies Phaeophleospora yang menyebabkan
penyakit. Namun, gejala infeksi yang disebabkan oleh P. epicoccoides, P.
eucalypti dan P. destructans hampir identik dan sering terjadi kesalahan analisis,
tergantung pada inang dan iklim. Selain itu, identifikasi P. eucalypti dan P.
destructans berdasarkan morfologi konidia agak sulit karena ukuran spora
bervariasi tergantung pada spesies inang. Sebuah teknik diagnostik molekuler
yang sederhana dan akurat akan sangat membantu dalam membedakan antara
spesies ini dibandingkan dengan teknik konvensional melalui pangamatan
morfologi (Andjic, et al, 2007).
Gambar 1. Penampakan permukaan bawah daun yag terinfeksi P. destructans (A) [sumber: Nursery and Tree Health Evaluations in Plantations in North and South Sumatera (Wingfield,2010)];
Penampakan permukaan bawah daun yag terinfeksi P. epicoccoides (B) [sumber: Survey of Plantation Diseases in The Kirinci and Lake Toba Areas Belonging to The April Group (Wingfield,2006)]
Daun berpenyakit Destructans dan hawar pucuk yang disebabkan P.
destructans adalah penyakit utama yang menyerang Eukaliptus di area Danau
Toba. Penyakit ini sudah diteliti di Aek Nauli, kira-kira sepuluh tahun yang lalu.
Salah satu pertanyaan penting yang telah dikemukakan dalam beberapa tahun
terakhir adalah apakah kerentanan setiap klon berbeda di tempat yang berbeda. Ini
dikarenakan genotipe yang terbentuk karena interaksi lingkungan menentukan
apakah klon yang resisten terhadap penyakit Destructans dan hawar pucuk dapat
efektif di satu area namun tidak di area lain (Wingfield, 2006).
Diungkapkan oleh Wingfield (2008), hawar daun Destructans telah
menjadi subjek penelitian utama di TPL sejak dekade yang lalu. Saat ini, telah
banyak dipelajari tentang penyakit ini dan dampak buruknya telah menurun secara
signifikan. Salah satu penemuan penting yang terkait dengan patogen ini antara
lain:
a. Setiap klon berbeda kerentanannya terhadap infeksi penyakit. Jadi klon
toleran telah dipilih dan dikembangkan.
b. Ada perbedaan besar antara material bibit dan klon terpilih dalam hal
kerentanannya. Dampak dari pemuliaan yang baik dan program seleksi di
TPL secara jelas dapat dilihat pada percobaan di mana pembibitan kontrol
ditanam.
c. Lokasi klon mempengaruhi kerentanannya terhadap infeksi K. Destructans,
klon tersebut sangat terpengaruh jika mereka dalam kondisi stress. Jadi pohon
yang terdapat di pinggir jalan dan pohon yang memiliki sistem perakaran
buruk dapat terinfeksi secara serius. Klon-klon yang tumbuh secara baik,
dapat tumbuh dan terbebas dari penyakit.
Ketika banyak yang sudah dipelajari tentang penyakit Destructans dan
hawar pucuk selama lima belas tahun terakhir, masih banyak pertanyaan yang
mengetahui hubungan antara stress dan gejala penyakit yang tampak. Dalam hal
ini, sekarang dapat dikenali tentang ada klon-klon yang memiliki kerentanan
tinggi terhadap infeksi dan hal ini menyebabkan tanaman berpenyakit, terlepas
dari kondisi pertumbuhannya. Juga diketahui bahwa klon-klon yang terbebas dari
kondisi stress pada saat percobaan mengalami pertumbuhan yang buruk pada saat
ditanam di area dengan kondisi stress (Wingfield, 2010)
Perkembangan bagus telah dibuat oleh TPL untuk mereduksi dampak dari
K. destructans dan penyakit ini sudah lebih dimengerti daripada waktu yang lalu.
Menurut Wingfield (2010), beberapa fakta yang muncul melalui studi yang
dilakukan TPL:
a. Patogen ini merupakan spesifik inang dan ada banyak variabel dari tanaman
dalam hal kerentanan
b. Generasi baru dari klon TPL mempunyai level resisten yang tinggi terhadap
penyakit
c. Klon yang agak rentan tidak terinfeksi jika berada pada kondisi pertumbuhan
yang optimal. Tapi jika mengalami stress, mereka dapat rusak secara serius.
Hal ini agak berkebalikan dengan sifat dari patogen spesifik inang yang
cenderung kurang terpengaruh oleh stress yang dialami tanaman. Satu
kemungkinan lainnnya adalah akibat kondisi stress ini, jaringan pada
daun-daun muda lebih mudah untuk terinfeksi.
Identifikasi Penyakit Tanaman
Gejala dapat terlihat karena adanya perubahan, bau, rasa, atau rabaan.
Gejala dalam, penting artinya untuk penelitian anatomi patologi, sedangkan gejala
oleh bagian tubuh tanaman atau seluruh tubuh tanaman. Gejala adalah keadaan
patologi dan fisiologi yang merupakan respon tanaman terhadap aktivitas patogen
atau faktor yang lain (Satrahidayat, 1990).
Tanda penyakit adalah struktur dari suatu patogen yang berasosiasi dengan
tanaman yang terinfeksi. Beberapa tipe struktur patogen tidak harus selalu ada
pada tanaman yang sakit karena pembentukannya berdasarkan kondisi
lingkungan. Kebanyakan tanda penyakit dapat dilihat dan dibedakan dengan
bantuan mikroskop. Misalnya penyebab penyakit berupa miselium, spora, tubuh
buah fungi, sel atau lendir bakteri, tubuh karena penggumpalan hifa fungi
(Sklerotial bodies), nematoda dengan berbagai fase telur, juvenil dan imago serta
berbagai bagian tumbuhan parasit (Sinaga, 2003).
Menurut Sinaga (2003) agar hasil diagnosa akurat, diperlukan pembuktian
dengan menggunakan Postulat Koch. Kaidah-kaidah Postulat Koch adalah sebagai
berikut :
1) patogen yang diduga harus selalu berasosiasi dengan tanaman yang sakit
2) patogen tersebut harus dapat diisolasi dan ditumbuhkan sebagai biakan murni
3) biakan murni tersebut jika diinokulasikan ke tanaman sehat harus
menghasilkan gejala dan tanda penyakit yang sama
4) bila penyebab penyakit direisolasi dari tanaman yang diinokulasi tersebut,
akan dihasilkan biakan murni yang sama dengan penyebab yang diisolasi dari
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu PenelitianPenelitian dilakukan di lokasi pembibitan PT. Toba Pulp Lestari, Tbk.
Kec. Parmaksian, Toba Samosir dan di Laboratorium Bioteknologi Program Studi
Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Penelitian dilakukan
pada bulan Juli sampai Desember 2014.
Bahan dan Alat Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah klon IND 47, IND 61, dan
IND 66 turunan Eucalyptus grandis x Eucalyptus urophylla di PT. Toba Pulp
Lestari, Tbk, alkohol 70% dan Kloroks 0,3%, air steril, spritus, tisu dan kapas,
serta PDA (Potatoe Dextrose Agar).
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah kaca pembesar, plastik
sampel/amplop, sarung tangan, masker pernafasan, kertas milimeter, mikroskop,
cawan petridish, labu erlenmeyer, pinset, spatula, jarum ose, timbangan analitik,
oven dan otoklaf, kaca preparat dan gelas penutup, serta gelas ukur.
Prosedur Penelitian
Tahapan prosedur penelitian adalah:
1. Pengambilan sampel tanaman yang sakit dan yang sehat
Tanaman Eucalyptus sp. yang sakit atau yang bergejala digunakan sebagai
bahan isolasi untuk mencari patogen Phaeophleospora sp., sedangkan
sebagai bahan pengamatan setelah patogen Phaeophleospora sp. diperoleh
dan disemprotkan ke tanaman.
2. Isolasi patogen
Tanaman yang sakit atau yang bergejala dibersihkan dengan menggunakan
kloroks, setelah dibersihkan diambil dengan menggunakan pinset dan
dikeringkan lalu dipotong-potong dengan ukuran 1x1 cm, kemudian diisolasi
ke dalam cawan petri dengan media PDA (Potatoe Dextrose Agar). Setelah 3
hari dilakukan kembali pengisolasian tetapi isolasi yang dilakukan adalah
isolasi biakan murni dengan ketentuan tidak mengalami kontaminasi lagi.
Setelah 14 hari dan tidak terjadi kontaminasi maka dapat dilakukan
identifikasi fungi dengan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 1000x.
3. Pengamatan patogen
Jamur yang telah berumur 14 hari diambil dengan cara dipotong dan diambil
dengan pinset yang steril. Dimasukkan ke dalam cawan petri kemudian
diletakkan di atas preparat dan ditutupi dengan kaca objek lalu dimasukkan ke
dalam kotak tray. Setelah 4 hari dapat diamati di bawah mikroskop dengan
perbesaran 1000x.
4. Penyiapan inokulum
Biakan yang telah murni diambil lalu dimasukkan ke dalam cawan petri yang
telah diisi aquades sebanyak 10 ml dan kemudian dikikis dengan
menggunakan pengait, bagian atas biakan dikikis tanpa mengenai medianya.
Setelah semua bagian permukaan terkikis lalu disaring dengan menggunakan
kain kassa. Hal ini dilakukan sebanyak 30 kali sesuai dengan jumlah tanaman
5. Pelaksanaan inokulasi
Sebelum inokulasi dilakukan, bibit tanaman sehat dipindahkan ke dalam
polybag yang telah diisi top soil lalu dipindahkan ke dalam rumah kaca.
Tanaman dipelihara selama satu minggu untuk penyesuaian di rumah kaca.
Inokulasi dilakukan dengan metode penyemprotan inokulum (campuran 10
ml aquades dengan spora Phaeophleospora sp.) ke tanaman. Inokulasi
dilakukan menggunakan hand sprayer.
Setiap tanaman disemprotkan 10 ml inokulum dan dilakukan secara
bergantian terhadap tanaman. Penyemprotan dilakukan di dalam sungkup.
Setelah penyemprotan inokulum, tiap tanaman lalu disungkup selama 1 x 24
jam. Keesokan harinya sungkup dibuka dan dimulai pengamatan gejala yang
muncul pada daun tanaman. Pengamatan terhadap infeksi fungi
Phaeophleospora pada tanaman Eucalyptus spp. dilakukan selama 30 hari
dengan selang pengamatan enam kali.
6. Uji infeksi
Dilakukan untuk mengetahui intensitas serangan dan luas serangan
Phaeophleospora sp. terhadap tanaman Eucalyptus sp. Agrios (1996)
mengungkapkan intensitas serangan/keparahan penyakit (KpP) didefinisikan
sebagai persentase luasnya jaringan tanaman yang terserang patogen dari total
luasan yang diamati. Luas serangan/keterjadian penyakit (KjP) merupakan
persentase jumlah tanaman yang terserang patogen (n) dari total tanaman
yang diamati (N).
a. Intensitas Serangan
Parameter yang diamati adalah perubahan yang dialami oleh daun setelah
inokulasi. Pengamatan dilakukan terhadap lima daun teratas. Daun yang
diamati diberi tanda dan disesuaikan dengan skala bercak daun (0-5) dalam
(Sinaga, 2003).
Skala bercak terdiri dari:
Skala 0: tidak ada bercak pada daun
Skala 1: terdapat bercak daun 1/16 bagian
Skala 2: terdapat bercak daun 1/8 bagian
Skala 3: terdapat bercak daun 1/4 bagian
Skala 4: terdapat bercak daun 1/2 bagian
Skala 5: terdapat bercak daun pada seluruh bagian permukaan daun
Nilai intensitas serangan ditentukan dengan rumus:
IS = ∑ � � �
� � � x 100%
Towsend dan Heiiberger (1943) dalam Sinaga (2003).
Keterangan:
IS : Intensitas serangan
n : jumlah daun pada skala ke-i v : skala ke-i
N : jumlah total daun setiap tanaman Z : skala tertinggi
b. Luas Serangan
Luas serangan ditentukan dengan cara menghitung jumlah daun yang
terserang pada setiap bibit kemudian membaginya dengan jumlah seluruh
daun dari bibit yang diamati.
A = �
� x 100 %
Keterangan: A : luas serangan
n : jumlah daun yang terserang penyakit Phaeophleospora sp. N : jumlah seluruh daun dari bibit yang diamati
Tabel 1. Penilaian tingkat intensitas dan luas serangan penyakit dan reaksi tanaman
No Nilai Intensitas dan Luas Serangan (%) Kategori Reaksi Tanaman
1 0% Imun
2 1 % - 25 % Resisten (R) 3 26 % - 50 % Agak Resisten (AR) 4 51 % - 75 % Agak Rentan (Ar) 5 76 % - 100 % Rentan (r)
Sumber : Sembiring (1985) dalam Sinaga (2003)
Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini menggunakan
meodel rancangan acak lengkap (RAL) non faktorial dengan model linier sebagai
berikut:
Yij= μ + τi + εij
Keterangan:
Yij = pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
μ = rataan umum
τi = pengaruh perlakuan ke-i
εij = pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j i = perlakuan ke-i (1,2,3)
j = ulangan ke-j (1,2,3...,10)
Data yang diperoleh dari lapangan ditransformasikan menggunakan
transformasi logaritma. Jika diperoleh rancangan berbeda nyata pada interaksi
antara tanaman dengan kelas umur akan dilanjutkkan dengan menggunakan
rancangan DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) (Sastrosupadi, 2000).
Hipotesis yang akan diuji adalah terdapat perbedaan respon jenis klon
Eucalyptus spp. turunan E. grandis x E. urophylla terhadap infeksi
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Isolasi dan Identifikasi Phaeophleospora sp.Fungi Phaeophleospora sp. didapatkan dengan mengambil sampel daun
berpenyakit pada areal pembibitan PT Toba Pulp Lestari, Tbk, Kecamatan
Parmaksian. Pengambilan sampel daun berpenyakit dilakukan dengan menjadikan
buku panduan AManual of Diseases of Eucalypts in South-East Asia (Old et al.,
2003) sebagai pedoman lalu membandingkannya dengan gejala penyakit yang
timbul pada daun pada tanaman di areal pembibitan. Gejala yang ditunjukkan
berupa bercak daun berwarna kemerahan pada permukaan atas daun dan adanya
spora berwarna hitam pada bagian permukaan bawah daun.
Untuk genus fungi Phaeophleospora, jenis Phaeophleospora epicoccoides
dan Phaeophleospora destructans merupakan fungi yang paling banyak
menyerang tanaman Eukaliptus di areal pembibitan ini (Wingfield, 2006). Gejala
yang ditimbulkan kedua jenis fungi ini juga tidak jauh berbeda, hal ini sesuai
dengan pernyataan Andjic, et al. (2007) bahwa gejala infeksi yang disebabkan
oleh P. epicoccoides, P. eucalypti dan P. destructans hampir identik dan sering
terjadi kesalahan analisis, tergantung pada inang dan iklim.
Sampel daun berpenyakit dibawa ke laboratorium Bioteknologi
Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara untuk kemudian
dibiakkan. Hasil dari biakan murni tersebut didapatlah fungi Phaeophleospora sp.,
yang tampilan makroskopisnya dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Tampilan makroskopis Phaeophleospora sp. pada media PDA
Biakan murni fungi Phaeophleospora sp. memiliki penampilan berwarna
merah muda (pink), pertumbuhannya lambat, teksturnya seperti berbulu dan tebal,
serta penyebarannya merata ke segala arah. Ciri-ciri biakan murni ini sesuai
dengan salah satu jenis fungi Phaeophleospora sp. yang dikemukakan oleh
Burgess et al. (2004) bahwa P. destructans berwarna kemerahmudaan,
pertumbuhannya lambat, dan agak lembut.
Selain pengamatan makroskopis, dilakukan juga pengamatan mikroskopis
terhadap biakan murni. Pengamatan mikroskopis dilakukan untuk memastikan
apakah biakan murni yang kita dapat memang benar jenis Phaeophleospora sp.
yang kita inginkan. Pengamatan dilakukan dengan memerhatikan bentuk konidia
lalu membandingkannya dengan sumber literatur-literatur yang ada. Hasil
Tabel 2. Hasil pengamatan mikroskopis Phaeophleospora sp.
No. Katerangan Karakteristik Mikroskopis biakan murni
Karakteristik Mikroskopis Phaeophleospora sp.*
1 Spora
*Sumber: First Report of Phaeophleospora destructans in China (Burgess, et al., 2004)
Hasil pengamatan mikroskopis pada biakan murni Phaeophleospora sp.
menunjukkan bahwa sporanya berbatang panjang, bersepta dua, dan tampilannya
tipis. Hal ini dipertegas dengan pernyataan Burgess et al. (2004) tentang fungi
Phaeophleospora destructans, bahwa spora Phaeophleospora destructans
berbentuk panjang dan tipis. Spora memiliki dimensi rata-rata 40,1 x 2,4 µm dan
bersepta 1-2. Jadi, melalui pengamatan makroskopis dan mikroskopis yang telah
dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa biakan murni yang ditemukan adalah
jenis Phaeophleospora destructans.
Berikut taksonomi dari Phaeophleospora destructans
Kingdom : Fungi
Phylum : Ascomycota
Class : Dothideomycetes
Ordo : Capnodiales
Family : Mycosphaerellaceae
Genus : Phaeophleospora
2. Gejala Penyakit Phaeophlespora sp. pada Tanaman Eucalyptus spp. Bibit Eukaliptus yang digunakan sebagai sampel untuk uji infeksi
merupakan bibit hasil persilangan antara Eucalyptus grandis dengan Eucalyptus
urophylla. Bibit klon hibrid ini digunakan sebanyak tiga klon, yakni IND 47, IND
61, dan IND 66, serta berumur dua bulan, diulang sebanyak sepuluh kali.
Tabel 3. Perkembangan gejala penyakit pada daun IND 47, IND 61, dan IND 66 Klon Gejala Awal Gejala Lanjutan IND 47
IND 61
IND 66
Ket. Gejala awal berupa bercak kekuningan pada permukaan atas daun
Gejala lanjutan ditandai dengan munculnya bercak kemerahan pada permukaan atas daun
Gejala awal yang ditunjukkan oleh penyakit ini adalah adanya bercak
kekuningan pada permukaan atas daun. Bercak ini menyebabkan hijau daun
kemunculannya, tidak terdapat spora hitam pada permukaan bawah daun.
Tanaman sudah menunjukkan gejala pada pengamatan II setelah inokulasi.
Gejala lanjutan menunjukkan pada permukaan atas daun yang terdapat
bercak kekuningan kemudian muncul bercak kemerahan. Beberapa hari
kemudian, pada lokasi bercak kemerahan tersebut muncul spora hitam pada
permukaan bawah daun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Old, et al. (2003)
bahwa gejala Phaeophleospora yang ditunjukkan berupa bercak daun berwarna
kemerahan pada permukaan atas daun dan adanya spora berwarna hitam pada
bagian permukaan bawah daun.
Karakteristik lain dari gejala yang ditimbulkan oleh fungi
Phaeophleospora adalah munculnya awal gejala selalu dimulai dari daun yang
paling bawah atau paling pangkal. Bila daun paling bawah sudah terjangkiti,
biasanya setelah beberapa hari akan diikuti oleh munculnya awal gejala pada daun
di atasnya. Hal yang sama sudah dipaparkan oleh Old, et al. (2003) apabila satu
daun tanaman telah terinfeksi patogen ini maka akan terjadi penularan penyakit
pada daun yang berdekatan hingga dapat mengakibatkan kematian bibit tanaman.
Penularan sering kali terlihat dimulai dari bagian pangkal bibit tanaman hingga
mencapai daun bagian ujung tanaman. Maka dari itu fungi ini tergolong sebagai
patogen yang agresif yang dapat menyebabkan gugurnya daun pada usia muda,
seperti yang diungkapkan Barber (2004) spesies ini adalah patogen agresif yang
dapat menyebabkan hawar daun yang luas pada daun muda dan gugurnya daun
3. Intensitas Serangan (IS)
Pengamatan terhadap infeksi fungi Phaeophleospora pada tanaman
Eucalyptus spp. dilakukan selama 30 hari dengan selang pengamatan enam kali.
Pengukuran intensitas serangan dilakukan dengan metode scoring pada lima daun
teratas tiap ulangan percobaan. Daun yang diamati diberi tanda dan disesuaikan
dengan nilai skor (0-5) (Sinaga, 2003). Hasil scoring kemudian ditransformasikan
ke dalam formula nilai intensitas serangan. Nilai intensitas serangan (IS) setiap
selang pengamatan dapat dilihat dalam tabel 4 berikut.
Tabel 4. Rata-rata Intensitas Serangan (IS) Pengamatan I-Pengamatan VI
No Klon Intensitas Serangan (IS) (%) berdasarkan uji DMRT, sedangkan yang tidak bernotasi menunjukkan tidak berbeda nyata.
Gambar 4. Grafik Rata-rata Intensitas Serangan (IS) Pengamatan I-Pengamatan VI
Tanaman mulai menunjukkan gejala pada pengamatan II (± sepuluh hari
setelah inokulasi). Namun tidak semua klon sudah menunjukkan gejala serangan
Phaeophleospora tersebut, hanya klon IND 47 dan IND 66 yang sudah mulai
timbul gejala yaitu sebesar 7,137% dan 0,182%. Pada pengamatan III, ketiga klon
sudah menunjukkan gejala akibat serangan Phaeophleospora. Tanaman-tanaman
yang sebelumnya masih tampak sehat sudah mulai menunjukkan gejala serangan.
Angka yang ditunjukkan terus meningkat hingga mencapai puncak pada
pengamatan IV (± dua puluh hari setelah inokulasi). Setelah pengamatan IV, tidak
ada lagi penambahan angka karena tidak ada lagi tanaman yang memunculkan
gejala seperti pada pengamatan-pengamatan sebelumnya.
Dapat dilihat pada tabel dan grafik bahwa peningkatan intensitas serangan
secara signifikan dimulai pada pengamatan III (± lima belas hari setelah proses
inokulasi). Hal ini dapat diasumsikan bahwa setelah minggu ketiga, fungi
Phaeophleospora sudah mencapai tahap untuk menginfeksi tubuh jaringan, dalam
hal ini adalah daun, dari tanaman Eucalyptus spp. Sementara di lain pihak, kondisi
jaringan tanaman sudah semakin melemah karena adanya patogen yang
menginfeksi. Seperti disebutkan oleh Agrios (1996) bahwa terjadinya suatu
penyakit paling sedikit diperlukan tiga faktor yang mendukung, yaitu tanaman
inang atau host, penyebab penyakit atau patogen, dan faktor lingkungan. Pengaruh
komponen patogen dalam timbulnya penyakit sangat tergantung pada kehadiran
patogen, jumlah populasi patogen, kemampuan patogen untuk menimbulkan
penyakit yaitu berupa kemampuan menginfeksi (virulensi) dan kemampuan
menyerang tanaman inang (agresivitas).
Pengujian DMRT dilakukan sejak pengamatan IV hingga pengamatan VI.
Hal ini dilakukan karena pada pengamatan IV mulai tampak perbedaan nyata dari
memperlihatkan bahwa klon IND 47 menunjukkan respon yang berbeda nyata
terhadap serangan Phaeophleospora, namun tidak berbeda nyata dibandingkan
dengan klon IND 66. Pengamatan V hingga pengamatan VI tidak menunjukkan
perbedaan nyata dari hasil analisis data. Karena tidak menunjukkan perbedaan
nyata dari hasil analisis data maka uji lanjutan DMRT tidak perlu untuk dilakukan
pada pengamatan V dan pengamatan VI.
Pada akhir pengamatan (pengamatan VI) dilakukan penilaian akhir tentang
resistensi tanaman berdasarkan hasil scoring lalu dihubungkan dengan tabel
penilaian tingkat instensitas serangan dan reaksi tanaman (tabel 1). Angka-angka
yang ditunjukkan pada pengamatan VI berturut-turut mulai dari IND 47, IND 61,
dan IND 66 adalah 14,360%, 7,811%, dan 12,044%. Nilai intensitas serangan
tertinggi terdapat pada klon IND 47 pengamatan IV senilai 17,917%. Berdasarkan
angka-angka yang ditunjukkan pada pengamatan VI ketiga klon ini masuk dalam
kategori resisten (R) karena dari angka statistik yang ditunjukkan pada setiap klon
berada dalam kisaran 1-25%.
4. Luas Serangan (A)
Luas serangan diperoleh dengan cara menghitung jumlah daun yang
terserang pada setiap tanaman kemudian membaginya dengan jumlah seluruh
daun dari setiap tanaman yang diamati. Pengamatan terhadap tanaman Eucalyptus
spp. dilakukan selama 30 hari dengan selang pengamatan enam kali.
Tabel 5. Rata-rata Luas Serangan (A) Pengamatan I-Pengamatan VI
No Klon Luas Serangan (A) (%)
I II III IV V VI
Keterangan : Angka yang diikuti huruf kecil yang tidak sama berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji DMRT, sedangkan yang tidak bernotasi menunjukkan tidak berbeda nyata.
Gambar 5. Grafik Rata-rata Luas Serangan (A) Pengamatan I-Pengamatan VI
Gejala serangan mulai ditunjukkan pada pengamatan II (± sepuluh hari
setelah inokulasi). Ketiga klon IND 47, IND 61, dan IND 66 sudah menunjukkan
gejala serangan akibat Phaeophleospora. Grafik yang ditunjukkan terus
meningkat dari pengamatan III hingga pengamatan IV. Namun tidak semua klon
sudah mencapai puncak serangan pada pengamatan IV karena pada klon IND 61
baru mencapai puncak pada pengamatan V (± 25 hari setelah pengamatan),
sedangkan klon IND 47 dan IND 66 sudah menunjukkan penurunan pada grafik.
Pada pengamatan VI, ketiga klon sudah menunjukkan penurunan grafik.
Grafik pada gambar 7 menunjukkan puncak grafik ditunjukkan pada
pengamatan IV lalu setelah itu perlahan-lahan menurun pada pengamatan V
hingga pengamatan VI. Faktor yang menyebabkan penurunan serangan fungi
Phaeophleospora ini bisa disebabkan karena umur bibit Eukaliptus semakin
bertambah. Seperti yang diungkapkan oleh Bos (1994) yang menyatakan bahwa
semakin tinggi umur tanaman maka akan memiliki ketahanan yang lebih besar
dari umur yang lebih muda.
Kesehatan tanaman juga memiliki pengaruh dalam menurunnya serangan
fungi Phaeophleospora. Kesehatan tanaman dapat dikenali dari pertambahan
tinggi tanaman dan pertambahan jumlah daun yang normal. Seperti diungkapkan
Wahyu (2008) bahwa faktor lain dari inang yang berpengaruh terhadap
kemungkinan terserangnya sutu penyakit adalah kesehatan tanaman inang.
Tanaman yang sehat merupakan tanaman yang mempunyai pertumbuhan baik
(daun dan batang segar), batang lurus, dan tajuk lebat.
Pengujian DMRT dilakukan sejak pengamatan II hingga pengamatan VI.
Hal ini dilakukan karena pada pengamatan II mulai tampak perbedaan nyata dari
hasil analisis data (tabel 4). Seperti halnya pada intensitas serangan, hasil uji
lanjut DMRT pada pengamatan II memperlihatkan bahwa klon IND 47
menunjukkan respon yang berbeda nyata terhadap serangan Phaeophleospora,
namun tidak berbeda nyata dibandingkan dengan klon IND 66. Pengamatan III
hingga pengamatan VI tidak menunjukkan perbedaan nyata dari hasil analisis
data. Karena tidak menunjukkan perbedaan nyata dari hasil analisis data maka uji
lanjutan DMRT tidak perlu untuk dilakukan pada pengamatan III dan pengamatan
VI.
Pada akhir pengamatan, angka-angka yang didapatkan adalah 32,386%,
30,593%, dan 38,269% pada klon IND 47, IND 61, dan IND 66. Bila
dihubungkan dengan tabel penilaian tingkat luas serangan dan reaksi tanaman
(tabel 1) ketiga jenis klon ini termasuk dalam kategori agak resisten (AR). Berarti
serangan penyakit. Hal ini sejalan dengan tujuan pengembangan Eukaliptus
hibrida yang disebutkan dalam Uganda Tree Resources (2012) bahwa penggunaan
klon Eukaliptus hasil hibrida ditujukan karena hasil hibrida ini lebih resisten
terhadap hama dan penyakit yang mungkin menyerang pohon.
Tidak semua tanaman pada ketiga klon menunjukkan gejala akibat
Phaeophleospora. Tanaman pada IND 47 U3 sama sekali tidak menunjukkan
gejala serangan pada seluruh daun tanaman tersebut. Hal ini membuktikan bahwa
adanya sifat tanaman dapat berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Habeshaw (1984) dalam Sondang (2009) yang menyatakan walaupun inokulum
diberikan pada waktu yang sama ke semua tanaman tetapi ketahanan tanaman
tersebut berbeda-beda.
Hasil analisis data pengamatan terakhir kedua parameter di atas, yaitu
intensitas dan luas serangan, klon-klon IND 47, IND 61, dan IND 66,
menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan terhadap infeksi Phaeophleospora.
Hal ini berarti bahwa klon-klon itu mempunyai tingkat resistensi yang sama.
Tingkat resistensi yang sama ini juga secara tidak langsung ditunjukkan oleh
gejala penyakit Phaeophleospora yang timbul pada klon-klon tersebut. Gejala
yang tampak pada klon-klon tersebut adalah sama, yaitu berupa bercak daun
berwarna kemerahan pada permukaan atas daun dan adanya spora berwarna hitam
pada bagian permukaan bawah daun. Penelitian ini tidak menggunakan klon-klon
resisten sebagai pembanding. Hal ini disebabkan karena sampai saat ini belum
ditemukan secara resmi klon-klon yang secara fisiologis resisten terhadap
Pengembangan klon-klon tanaman secara massal dimaksudkan untuk
menghasilkan individu-individu tanaman yang mempunyai sifat beragam-ragam.
Klon-klon yang mempunyai resistensi yang sama dapat berbahaya jika digunakan
terus-menerus pada suatu areal tanam karena sifat resisten tersebut hanya dapat
menghambat perkembangan patogen. Dalam hal ini patogen mempunyai potensi
merusak di kemudian hari karena patogen juga berkembang untuk memahami