• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Infeksi Phaeophleospora sp. pada Klon Hibrid Eucalyptus Grandis X Eucalyptus Urophylla

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji Infeksi Phaeophleospora sp. pada Klon Hibrid Eucalyptus Grandis X Eucalyptus Urophylla"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Intensitas Serangan (IS)

(2)
(3)

Tabel ANOVA

Sumber Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Hitung F Tabel

Perlakuan 2 220,559 110,28 2,50 3,354

Galat 27 1190,83 44,1049

(4)
(5)

Pengamatan IV 2 IND 61 36,235 14,762 46,364 30,769 31,888 33,333 36,264 22,143 42,778 32,143 32,6679 3 IND 66 26 44,286 40,889 50,769 44,286 63,636 41,231 26 23,916 21,758 38,2771 2 IND 61 33,333 13,571 33,929 27,143 36,410 25,594 35,294 31,25 38,889 30,515 30,5929 3 IND 66 25 42,857 37,333 50 37,5 63,636 42,667 22,5 23,077 38,118 38,2688

(6)

Tabel ANOVA

Sumber Keragaman

Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah F Hitung F Tabel

Perlakuan 2 322,465 161,232 1,0802 3,354

Galat 27 4029,94 149,257

(7)

Lampiran 3. Data Perhitungan One way ANOVA & Uji Lanjut DMRT Intensitas Serangan Menggunakan SPSS 21.0

Tabel Intensitas Serangan pada akhir pengamatan (Pengamatan VI)

No. Klon Ulangan Rataan

Std. Error 95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound Upper Bound IND 47 10 14,359524 8,0104291 2,5331201 8,629208 20,089840 IND 61 10 7,810755 6,1426320 1,9424708 3,416581 12,204929 IND 66 10 12,043833 5,5150432 1,7440098 8,098609 15,989058 Total 30 11,404704 6,9762914 1,2736907 8,799714 14,009694

(8)

Lampiran 4. Data Perhitungan One Way ANOVA & Uji Lanjut DMRT Luas Serangan Menggunakan SPSS 21.0

Tabel Luas Serangan pada akhir pengamatan (Pengamatan VI)

No. Klon Ulangan Rataan

U1 U2 U3 U4 U5 U6 U7 U8 U9 U10

1 IND 47 33,333 40 0 43,692 26,374 23,077 27,810 57,143 30,769 41,667 32,3864 2 IND 61 33,333 13,571 33,929 27,143 36,410 25,594 35,294 31,25 38,889 30,515 30,5929 3 IND 66 25 42,857 37,333 50 37,5 63,636 42,667 22,5 23,077 38,118 38,2688

Std. Error 95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound

Upper Bound

IND 47 10 32,386447 15,2058264 4,8085045 21,508854 43,264040 IND 61 10 30,592856 7,2300247 2,2863346 25,420808 35,764905 IND 66 10 38,268808 12,8172050 4,0531561 29,099932 47,437684 Total 30 33,749370 12,2508338 2,2366860 29,174834 38,323907

(9)

DAFTAR PUSTAKA

Agrios G.N. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Alfenas, A.C. Potential and Present Status of Eucalyptus and Acacia mangium in Northern Sumatera. Universidade Federal de Vicosa. Departamento de Fitopatologia. Brazil.

Andjic, V., Hardy, G.E., Cortinas, M.N., Wingfield, M.J., Burgess, T.I. 2007. Multiple Gene Genealogies Reveal Important Relationships Between Species of Phaeophleospora Infecting Eucalyptus leaves. FEMS Microbiol Lett 268 (2007) 22–33.

Barber, P.A. (2004) Forest Pathology: The Threat of Disease to Plantation Forests in Indonesia. Plant Pathology Journal, 3 (2). pp. 97-104. Murdoch University.

Bos, L. 1994. Pengantar Virologi Tumbuhan, Penerjemah Triharso. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Burgess, T.I., et al. 2004. First Report of Phaeophleospora destructans in China. Institute of Tropical Forestry, Londong, Guangzhou. China. Journal of Tropical Forest Science 18(2): 144-146 (2006)

Darwo. 1997. Evaluasi Hasil Inventarisasi Tegakan Eucalyptus urophylla di HTI. PT. Indo Rayon Utama, Sumatera Utara. Jurnal Konifera No.1/Thn. XIII/April/1997.

Kapisa. N., H. A. F. Mashud dan R. Harahap. 1999. Pemilihan Jenis Eucalyptus sp. Laporan Satu Tahun Setelah Penanaman. Buletin Penelitian Kehutanan. Balai Penelitian Kehutanan. Pematang Siantar.

Khaeruddin, 1999. Pembibitan Tanaman Hutan Tanaman Industri (HTI). Cetakan kedua. Penebar Swadaya. Jakarta.

Nair, K. S. S. 2000. Insects Pest and Diseases in Indonesian Forest an Assessment of the Major Threats, Research Efforte and Literature. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor.

Old, K.M., Wingfield, M.J. and Z.Q. Yuan, 2003. A Manual of Diseases of Eucalypts in South-East Asia. Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor.

(10)

Poerwowidodo. 1991. Gatra Tanah dalam Pembangunan Hutan Tanaman di Indonesia. Penerbit Rajawali. Jakarta.

Pratama, T. D. 2013. Pemetaan Potensi Simpanan Karbon Hutan Tanaman Industri Tegakan Eucalyptus spp. (Studi Kasus di Hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari, Tbk., Sektor Aek Nauli). [Skripsi]. Universitas Sumatera Utara. Medan.

SAPPI. 2014. Tree Farming Guidelines for Private Growers. Southern Africa.

Sastrosupadi, A. 2000. Rancangan Percobaan Praktis Bidang Pertanian. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Semangun, H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Sembiring, K.A. 2009. Karakteristik Patogen Penyebab Penyakit Hawar Daun pada Daun Bibit Tanaman Eucalyptus spp. di PT Toba Pulp Lestari Tbk. Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. [Skripsi]. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Siahaan, L.A. 2010. Studi terhadap Penyakit Daun Eukaliptus di Kebun Percobaan PT. Toba Pulp Lestari Sektor Aek Nauli. [Skripsi]. Universitas

Sumatera Utara. Medan.

Simpson, J.A., Xiao Y., H.Q. Bi. 2005. Phaeophleospora epicoccoides Leaf Disease of Eucalyptus in China. Australasian Mycologist24 (1): 13-14.

Sinaga, S. N. 2003. Ilmu Penyakit Hutan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sondang, L.M. 2009. Uji Infeksi Mycosphaerella spp. terhadap Bibit Eucalyptus spp. [Skripsi]. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Sutisna, U., T. Kalima dan Purmadjaja. 1998. Pedoman Pengenalan Pohon Hutan di Indonesia. Disunting oleh Soetjipto, N.W dan Soekotjo. Yayasan PROSEA Bogor dan Pusat Diklat Pegawai & SDM Kehutanan. Bogor.

Uganda Tree Resources. 2012. [http://ugandatreeresource.com/][14 Januari 2015]

Wahyu. 2008. Konsep Timbulnya Penyakit Tanaman. Institut Pertanian Bogor.

Wingfield, M.J. 2006. Survey of Plantation Diseases in The Kirinci and Lake Toba Areas Belonging to The April Group. University of Pretoria. Republic of South Africa.

(11)
(12)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di lokasi pembibitan PT. Toba Pulp Lestari, Tbk.

Kec. Parmaksian, Toba Samosir dan di Laboratorium Bioteknologi Program Studi

Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Penelitian dilakukan

pada bulan Juli sampai Desember 2014.

Bahan dan Alat

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah klon IND 47, IND 61, dan

IND 66 turunan Eucalyptus grandis x Eucalyptus urophylla di PT. Toba Pulp

Lestari, Tbk, alkohol 70% dan Kloroks 0,3%, air steril, spritus, tisu dan kapas,

serta PDA (Potatoe Dextrose Agar).

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah kaca pembesar, plastik

sampel/amplop, sarung tangan, masker pernafasan, kertas milimeter, mikroskop,

cawan petridish, labu erlenmeyer, pinset, spatula, jarum ose, timbangan analitik,

oven dan otoklaf, kaca preparat dan gelas penutup, serta gelas ukur.

Prosedur Penelitian

Tahapan prosedur penelitian adalah:

1. Pengambilan sampel tanaman yang sakit dan yang sehat

Tanaman Eucalyptus sp. yang sakit atau yang bergejala digunakan sebagai

bahan isolasi untuk mencari patogen Phaeophleospora sp., sedangkan

(13)

sebagai bahan pengamatan setelah patogen Phaeophleospora sp. diperoleh

dan disemprotkan ke tanaman.

2. Isolasi patogen

Tanaman yang sakit atau yang bergejala dibersihkan dengan menggunakan

kloroks, setelah dibersihkan diambil dengan menggunakan pinset dan

dikeringkan lalu dipotong-potong dengan ukuran 1x1 cm, kemudian diisolasi

ke dalam cawan petri dengan media PDA (Potatoe Dextrose Agar). Setelah 3

hari dilakukan kembali pengisolasian tetapi isolasi yang dilakukan adalah

isolasi biakan murni dengan ketentuan tidak mengalami kontaminasi lagi.

Setelah 14 hari dan tidak terjadi kontaminasi maka dapat dilakukan

identifikasi fungi dengan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 1000x.

3. Pengamatan patogen

Jamur yang telah berumur 14 hari diambil dengan cara dipotong dan diambil

dengan pinset yang steril. Dimasukkan ke dalam cawan petri kemudian

diletakkan di atas preparat dan ditutupi dengan kaca objek lalu dimasukkan ke

dalam kotak tray. Setelah 4 hari dapat diamati di bawah mikroskop dengan

perbesaran 1000x.

4. Penyiapan inokulum

Biakan yang telah murni diambil lalu dimasukkan ke dalam cawan petri yang

telah diisi aquades sebanyak 10 ml dan kemudian dikikis dengan

menggunakan pengait, bagian atas biakan dikikis tanpa mengenai medianya.

Setelah semua bagian permukaan terkikis lalu disaring dengan menggunakan

kain kassa. Hal ini dilakukan sebanyak 30 kali sesuai dengan jumlah tanaman

(14)

5. Pelaksanaan inokulasi

Sebelum inokulasi dilakukan, bibit tanaman sehat dipindahkan ke dalam

polybag yang telah diisi top soil lalu dipindahkan ke dalam rumah kaca.

Tanaman dipelihara selama satu minggu untuk penyesuaian di rumah kaca.

Inokulasi dilakukan dengan metode penyemprotan inokulum (campuran 10

ml aquades dengan spora Phaeophleospora sp.) ke tanaman. Inokulasi

dilakukan menggunakan hand sprayer.

Setiap tanaman disemprotkan 10 ml inokulum dan dilakukan secara

bergantian terhadap tanaman. Penyemprotan dilakukan di dalam sungkup.

Setelah penyemprotan inokulum, tiap tanaman lalu disungkup selama 1 x 24

jam. Keesokan harinya sungkup dibuka dan dimulai pengamatan gejala yang

muncul pada daun tanaman. Pengamatan terhadap infeksi fungi

Phaeophleospora pada tanaman Eucalyptus spp. dilakukan selama 30 hari

dengan selang pengamatan enam kali.

6. Uji infeksi

Dilakukan untuk mengetahui intensitas serangan dan luas serangan

Phaeophleospora sp. terhadap tanaman Eucalyptus sp. Agrios (1996)

mengungkapkan intensitas serangan/keparahan penyakit (KpP) didefinisikan

sebagai persentase luasnya jaringan tanaman yang terserang patogen dari total

luasan yang diamati. Luas serangan/keterjadian penyakit (KjP) merupakan

persentase jumlah tanaman yang terserang patogen (n) dari total tanaman

yang diamati (N).

Parameter pengamatan

(15)

a. Intensitas Serangan

Parameter yang diamati adalah perubahan yang dialami oleh daun setelah

inokulasi. Pengamatan dilakukan terhadap lima daun teratas. Daun yang

diamati diberi tanda dan disesuaikan dengan skala bercak daun (0-5) dalam

(Sinaga, 2003).

Skala bercak terdiri dari:

Skala 0: tidak ada bercak pada daun

Skala 1: terdapat bercak daun 1/16 bagian

Skala 2: terdapat bercak daun 1/8 bagian

Skala 3: terdapat bercak daun 1/4 bagian

Skala 4: terdapat bercak daun 1/2 bagian

Skala 5: terdapat bercak daun pada seluruh bagian permukaan daun

Nilai intensitas serangan ditentukan dengan rumus:

IS = ∑ � � �

� � � x 100%

Towsend dan Heiiberger (1943) dalam Sinaga (2003).

Keterangan:

Luas serangan ditentukan dengan cara menghitung jumlah daun yang

terserang pada setiap bibit kemudian membaginya dengan jumlah seluruh

daun dari bibit yang diamati.

(16)

A = �

� x 100 %

Keterangan: A : luas serangan

n : jumlah daun yang terserang penyakit Phaeophleospora sp. N : jumlah seluruh daun dari bibit yang diamati

Tabel 1. Penilaian tingkat intensitas dan luas serangan penyakit dan reaksi tanaman

No Nilai Intensitas dan Luas Serangan (%) Kategori Reaksi Tanaman

1 0% Imun

2 1 % - 25 % Resisten (R)

3 26 % - 50 % Agak Resisten (AR)

4 51 % - 75 % Agak Rentan (Ar)

5 76 % - 100 % Rentan (r)

Sumber : Sembiring (1985) dalam Sinaga (2003)

Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini menggunakan

meodel rancangan acak lengkap (RAL) non faktorial dengan model linier sebagai

berikut:

Yij= μ + τi + εij Keterangan:

Yij = pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

μ = rataan umum

τi = pengaruh perlakuan ke-i

εij = pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j i = perlakuan ke-i (1,2,3)

j = ulangan ke-j (1,2,3...,10)

Data yang diperoleh dari lapangan ditransformasikan menggunakan

transformasi logaritma. Jika diperoleh rancangan berbeda nyata pada interaksi

antara tanaman dengan kelas umur akan dilanjutkkan dengan menggunakan

rancangan DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) (Sastrosupadi, 2000).

Hipotesis yang akan diuji adalah terdapat perbedaan respon jenis klon

Eucalyptus spp. turunan E. grandis x E. urophylla terhadap infeksi

(17)

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Isolasi dan Identifikasi Phaeophleospora sp.

Fungi Phaeophleospora sp. didapatkan dengan mengambil sampel daun

berpenyakit pada areal pembibitan PT Toba Pulp Lestari, Tbk, Kecamatan

Parmaksian. Pengambilan sampel daun berpenyakit dilakukan dengan menjadikan

buku panduan A Manual of Diseases of Eucalypts in South-East Asia (Old et al.,

2003) sebagai pedoman lalu membandingkannya dengan gejala penyakit yang

timbul pada daun pada tanaman di areal pembibitan. Gejala yang ditunjukkan

berupa bercak daun berwarna kemerahan pada permukaan atas daun dan adanya

spora berwarna hitam pada bagian permukaan bawah daun.

Untuk genus fungi Phaeophleospora, jenis Phaeophleospora epicoccoides

dan Phaeophleospora destructans merupakan fungi yang paling banyak

menyerang tanaman Eukaliptus di areal pembibitan ini (Wingfield, 2006). Gejala

yang ditimbulkan kedua jenis fungi ini juga tidak jauh berbeda, hal ini sesuai

dengan pernyataan Andjic, et al. (2007) bahwa gejala infeksi yang disebabkan

oleh P. epicoccoides, P. eucalypti dan P. destructans hampir identik dan sering

terjadi kesalahan analisis, tergantung pada inang dan iklim.

(18)

Sampel daun berpenyakit dibawa ke laboratorium Bioteknologi

Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara untuk kemudian

dibiakkan. Hasil dari biakan murni tersebut didapatlah fungi Phaeophleospora sp.,

yang tampilan makroskopisnya dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Tampilan makroskopis Phaeophleospora sp. pada media PDA

Biakan murni fungi Phaeophleospora sp. memiliki penampilan berwarna

merah muda (pink), pertumbuhannya lambat, teksturnya seperti berbulu dan tebal,

serta penyebarannya merata ke segala arah. Ciri-ciri biakan murni ini sesuai

dengan salah satu jenis fungi Phaeophleospora sp. yang dikemukakan oleh

Burgess et al. (2004) bahwa P. destructans berwarna kemerahmudaan,

pertumbuhannya lambat, dan agak lembut.

Selain pengamatan makroskopis, dilakukan juga pengamatan mikroskopis

terhadap biakan murni. Pengamatan mikroskopis dilakukan untuk memastikan

apakah biakan murni yang kita dapat memang benar jenis Phaeophleospora sp.

yang kita inginkan. Pengamatan dilakukan dengan memerhatikan bentuk konidia

lalu membandingkannya dengan sumber literatur-literatur yang ada. Hasil

(19)

Tabel 2. Hasil pengamatan mikroskopis Phaeophleospora sp.

No. Katerangan Karakteristik Mikroskopis biakan murni

Karakteristik Mikroskopis Phaeophleospora sp.*

1 Spora

*Sumber: First Report of Phaeophleospora destructans in China (Burgess, et al., 2004)

Hasil pengamatan mikroskopis pada biakan murni Phaeophleospora sp.

menunjukkan bahwa sporanya berbatang panjang, bersepta dua, dan tampilannya

tipis. Hal ini dipertegas dengan pernyataan Burgess et al. (2004) tentang fungi

Phaeophleospora destructans, bahwa spora Phaeophleospora destructans

berbentuk panjang dan tipis. Spora memiliki dimensi rata-rata 40,1 x 2,4 µm dan

bersepta 1-2. Jadi, melalui pengamatan makroskopis dan mikroskopis yang telah

dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa biakan murni yang ditemukan adalah

jenis Phaeophleospora destructans.

Berikut taksonomi dari Phaeophleospora destructans

Kingdom : Fungi

Phylum : Ascomycota

Class : Dothideomycetes

Ordo : Capnodiales

Family : Mycosphaerellaceae

Genus : Phaeophleospora

(20)

2. Gejala Penyakit Phaeophlespora sp. pada Tanaman Eucalyptus spp.

Bibit Eukaliptus yang digunakan sebagai sampel untuk uji infeksi

merupakan bibit hasil persilangan antara Eucalyptus grandis dengan Eucalyptus

urophylla. Bibit klon hibrid ini digunakan sebanyak tiga klon, yakni IND 47, IND

61, dan IND 66, serta berumur dua bulan, diulang sebanyak sepuluh kali.

Tabel 3. Perkembangan gejala penyakit pada daun IND 47, IND 61, dan IND 66

Klon Gejala Awal Gejala Lanjutan

IND 47

IND 61

IND 66

Ket. Gejala awal berupa bercak kekuningan pada permukaan atas daun

Gejala lanjutan ditandai dengan munculnya bercak kemerahan pada permukaan atas daun

Gejala awal yang ditunjukkan oleh penyakit ini adalah adanya bercak

kekuningan pada permukaan atas daun. Bercak ini menyebabkan hijau daun

(21)

kemunculannya, tidak terdapat spora hitam pada permukaan bawah daun.

Tanaman sudah menunjukkan gejala pada pengamatan II setelah inokulasi.

Gejala lanjutan menunjukkan pada permukaan atas daun yang terdapat

bercak kekuningan kemudian muncul bercak kemerahan. Beberapa hari

kemudian, pada lokasi bercak kemerahan tersebut muncul spora hitam pada

permukaan bawah daun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Old, et al. (2003)

bahwa gejala Phaeophleospora yang ditunjukkan berupa bercak daun berwarna

kemerahan pada permukaan atas daun dan adanya spora berwarna hitam pada

bagian permukaan bawah daun.

Karakteristik lain dari gejala yang ditimbulkan oleh fungi

Phaeophleospora adalah munculnya awal gejala selalu dimulai dari daun yang

paling bawah atau paling pangkal. Bila daun paling bawah sudah terjangkiti,

biasanya setelah beberapa hari akan diikuti oleh munculnya awal gejala pada daun

di atasnya. Hal yang sama sudah dipaparkan oleh Old, et al. (2003) apabila satu

daun tanaman telah terinfeksi patogen ini maka akan terjadi penularan penyakit

pada daun yang berdekatan hingga dapat mengakibatkan kematian bibit tanaman.

Penularan sering kali terlihat dimulai dari bagian pangkal bibit tanaman hingga

mencapai daun bagian ujung tanaman. Maka dari itu fungi ini tergolong sebagai

patogen yang agresif yang dapat menyebabkan gugurnya daun pada usia muda,

seperti yang diungkapkan Barber (2004) spesies ini adalah patogen agresif yang

dapat menyebabkan hawar daun yang luas pada daun muda dan gugurnya daun

(22)

3. Intensitas Serangan (IS)

Pengamatan terhadap infeksi fungi Phaeophleospora pada tanaman

Eucalyptus spp. dilakukan selama 30 hari dengan selang pengamatan enam kali.

Pengukuran intensitas serangan dilakukan dengan metode scoring pada lima daun

teratas tiap ulangan percobaan. Daun yang diamati diberi tanda dan disesuaikan

dengan nilai skor (0-5) (Sinaga, 2003). Hasil scoring kemudian ditransformasikan

ke dalam formula nilai intensitas serangan. Nilai intensitas serangan (IS) setiap

selang pengamatan dapat dilihat dalam tabel 4 berikut.

Tabel 4. Rata-rata Intensitas Serangan (IS) Pengamatan I-Pengamatan VI

No Klon Intensitas Serangan (IS) (%) berdasarkan uji DMRT, sedangkan yang tidak bernotasi menunjukkan tidak berbeda nyata.

Gambar 4. Grafik Rata-rata Intensitas Serangan (IS) Pengamatan I-Pengamatan VI

Tanaman mulai menunjukkan gejala pada pengamatan II (± sepuluh hari

(23)

Phaeophleospora tersebut, hanya klon IND 47 dan IND 66 yang sudah mulai

timbul gejala yaitu sebesar 7,137% dan 0,182%. Pada pengamatan III, ketiga klon

sudah menunjukkan gejala akibat serangan Phaeophleospora. Tanaman-tanaman

yang sebelumnya masih tampak sehat sudah mulai menunjukkan gejala serangan.

Angka yang ditunjukkan terus meningkat hingga mencapai puncak pada

pengamatan IV (± dua puluh hari setelah inokulasi). Setelah pengamatan IV, tidak

ada lagi penambahan angka karena tidak ada lagi tanaman yang memunculkan

gejala seperti pada pengamatan-pengamatan sebelumnya.

Dapat dilihat pada tabel dan grafik bahwa peningkatan intensitas serangan

secara signifikan dimulai pada pengamatan III (± lima belas hari setelah proses

inokulasi). Hal ini dapat diasumsikan bahwa setelah minggu ketiga, fungi

Phaeophleospora sudah mencapai tahap untuk menginfeksi tubuh jaringan, dalam

hal ini adalah daun, dari tanaman Eucalyptus spp. Sementara di lain pihak, kondisi

jaringan tanaman sudah semakin melemah karena adanya patogen yang

menginfeksi. Seperti disebutkan oleh Agrios (1996) bahwa terjadinya suatu

penyakit paling sedikit diperlukan tiga faktor yang mendukung, yaitu tanaman

inang atau host, penyebab penyakit atau patogen, dan faktor lingkungan. Pengaruh

komponen patogen dalam timbulnya penyakit sangat tergantung pada kehadiran

patogen, jumlah populasi patogen, kemampuan patogen untuk menimbulkan

penyakit yaitu berupa kemampuan menginfeksi (virulensi) dan kemampuan

menyerang tanaman inang (agresivitas).

Pengujian DMRT dilakukan sejak pengamatan IV hingga pengamatan VI.

Hal ini dilakukan karena pada pengamatan IV mulai tampak perbedaan nyata dari

(24)

memperlihatkan bahwa klon IND 47 menunjukkan respon yang berbeda nyata

terhadap serangan Phaeophleospora, namun tidak berbeda nyata dibandingkan

dengan klon IND 66. Pengamatan V hingga pengamatan VI tidak menunjukkan

perbedaan nyata dari hasil analisis data. Karena tidak menunjukkan perbedaan

nyata dari hasil analisis data maka uji lanjutan DMRT tidak perlu untuk dilakukan

pada pengamatan V dan pengamatan VI.

Pada akhir pengamatan (pengamatan VI) dilakukan penilaian akhir tentang

resistensi tanaman berdasarkan hasil scoring lalu dihubungkan dengan tabel

penilaian tingkat instensitas serangan dan reaksi tanaman (tabel 1). Angka-angka

yang ditunjukkan pada pengamatan VI berturut-turut mulai dari IND 47, IND 61,

dan IND 66 adalah 14,360%, 7,811%, dan 12,044%. Nilai intensitas serangan

tertinggi terdapat pada klon IND 47 pengamatan IV senilai 17,917%. Berdasarkan

angka-angka yang ditunjukkan pada pengamatan VI ketiga klon ini masuk dalam

kategori resisten (R) karena dari angka statistik yang ditunjukkan pada setiap klon

berada dalam kisaran 1-25%.

4. Luas Serangan (A)

Luas serangan diperoleh dengan cara menghitung jumlah daun yang

terserang pada setiap tanaman kemudian membaginya dengan jumlah seluruh

daun dari setiap tanaman yang diamati. Pengamatan terhadap tanaman Eucalyptus

spp. dilakukan selama 30 hari dengan selang pengamatan enam kali.

Tabel 5. Rata-rata Luas Serangan (A) Pengamatan I-Pengamatan VI

No Klon Luas Serangan (A) (%)

I II III IV V VI

(25)

Keterangan : Angka yang diikuti huruf kecil yang tidak sama berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji DMRT, sedangkan yang tidak bernotasi menunjukkan tidak berbeda nyata.

Gambar 5. Grafik Rata-rata Luas Serangan (A) Pengamatan I-Pengamatan VI

Gejala serangan mulai ditunjukkan pada pengamatan II (± sepuluh hari

setelah inokulasi). Ketiga klon IND 47, IND 61, dan IND 66 sudah menunjukkan

gejala serangan akibat Phaeophleospora. Grafik yang ditunjukkan terus

meningkat dari pengamatan III hingga pengamatan IV. Namun tidak semua klon

sudah mencapai puncak serangan pada pengamatan IV karena pada klon IND 61

baru mencapai puncak pada pengamatan V (± 25 hari setelah pengamatan),

sedangkan klon IND 47 dan IND 66 sudah menunjukkan penurunan pada grafik.

Pada pengamatan VI, ketiga klon sudah menunjukkan penurunan grafik.

Grafik pada gambar 7 menunjukkan puncak grafik ditunjukkan pada

pengamatan IV lalu setelah itu perlahan-lahan menurun pada pengamatan V

hingga pengamatan VI. Faktor yang menyebabkan penurunan serangan fungi

Phaeophleospora ini bisa disebabkan karena umur bibit Eukaliptus semakin

(26)

semakin tinggi umur tanaman maka akan memiliki ketahanan yang lebih besar

dari umur yang lebih muda.

Kesehatan tanaman juga memiliki pengaruh dalam menurunnya serangan

fungi Phaeophleospora. Kesehatan tanaman dapat dikenali dari pertambahan

tinggi tanaman dan pertambahan jumlah daun yang normal. Seperti diungkapkan

Wahyu (2008) bahwa faktor lain dari inang yang berpengaruh terhadap

kemungkinan terserangnya sutu penyakit adalah kesehatan tanaman inang.

Tanaman yang sehat merupakan tanaman yang mempunyai pertumbuhan baik

(daun dan batang segar), batang lurus, dan tajuk lebat.

Pengujian DMRT dilakukan sejak pengamatan II hingga pengamatan VI.

Hal ini dilakukan karena pada pengamatan II mulai tampak perbedaan nyata dari

hasil analisis data (tabel 4). Seperti halnya pada intensitas serangan, hasil uji

lanjut DMRT pada pengamatan II memperlihatkan bahwa klon IND 47

menunjukkan respon yang berbeda nyata terhadap serangan Phaeophleospora,

namun tidak berbeda nyata dibandingkan dengan klon IND 66. Pengamatan III

hingga pengamatan VI tidak menunjukkan perbedaan nyata dari hasil analisis

data. Karena tidak menunjukkan perbedaan nyata dari hasil analisis data maka uji

lanjutan DMRT tidak perlu untuk dilakukan pada pengamatan III dan pengamatan

VI.

Pada akhir pengamatan, angka-angka yang didapatkan adalah 32,386%,

30,593%, dan 38,269% pada klon IND 47, IND 61, dan IND 66. Bila

dihubungkan dengan tabel penilaian tingkat luas serangan dan reaksi tanaman

(tabel 1) ketiga jenis klon ini termasuk dalam kategori agak resisten (AR). Berarti

(27)

serangan penyakit. Hal ini sejalan dengan tujuan pengembangan Eukaliptus

hibrida yang disebutkan dalam Uganda Tree Resources (2012) bahwa penggunaan

klon Eukaliptus hasil hibrida ditujukan karena hasil hibrida ini lebih resisten

terhadap hama dan penyakit yang mungkin menyerang pohon.

Tidak semua tanaman pada ketiga klon menunjukkan gejala akibat

Phaeophleospora. Tanaman pada IND 47 U3 sama sekali tidak menunjukkan

gejala serangan pada seluruh daun tanaman tersebut. Hal ini membuktikan bahwa

adanya sifat tanaman dapat berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Habeshaw (1984) dalam Sondang (2009) yang menyatakan walaupun inokulum

diberikan pada waktu yang sama ke semua tanaman tetapi ketahanan tanaman

tersebut berbeda-beda.

Hasil analisis data pengamatan terakhir kedua parameter di atas, yaitu

intensitas dan luas serangan, klon-klon IND 47, IND 61, dan IND 66,

menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan terhadap infeksi Phaeophleospora.

Hal ini berarti bahwa klon-klon itu mempunyai tingkat resistensi yang sama.

Tingkat resistensi yang sama ini juga secara tidak langsung ditunjukkan oleh

gejala penyakit Phaeophleospora yang timbul pada klon-klon tersebut. Gejala

yang tampak pada klon-klon tersebut adalah sama, yaitu berupa bercak daun

berwarna kemerahan pada permukaan atas daun dan adanya spora berwarna hitam

pada bagian permukaan bawah daun. Penelitian ini tidak menggunakan klon-klon

resisten sebagai pembanding. Hal ini disebabkan karena sampai saat ini belum

ditemukan secara resmi klon-klon yang secara fisiologis resisten terhadap

(28)

Pengembangan klon-klon tanaman secara massal dimaksudkan untuk

menghasilkan individu-individu tanaman yang mempunyai sifat beragam-ragam.

Klon-klon yang mempunyai resistensi yang sama dapat berbahaya jika digunakan

terus-menerus pada suatu areal tanam karena sifat resisten tersebut hanya dapat

menghambat perkembangan patogen. Dalam hal ini patogen mempunyai potensi

merusak di kemudian hari karena patogen juga berkembang untuk memahami

(29)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Gejala pada daun yang diakibatkan Phaeophleospora pada tiga klon IND 47,

IND 61, dan IND 66 hibrid turunan Eucalyptus grandis x Eucalyptus

urophylla menunjukkan gejala yang sama. Gejala awal yang muncul adalah

adanya titik kekuningan pada permukaan atas daun dan kemudian

berkembang menjadi bercak. Gejala lanjutan berupa bercak daun berwarna

kemerahan pada permukaan atas daun dan adanya spora berwarna hitam pada

bagian permukaan bawah daun.

2. Hasil pengamatan terakhir menunjukkan ketiga klon IND 47, IND 61, dan

IND 66 merupakan klon-klon yang tergolong resisten (R) pada pengukuran

intensitas serangan (IS). Pada pengukuran luas serangan (A), ketiga klon

tergolong agak resisten (AR).

3. Hasil uji infeksi Phaeophleospora pada tiga klon IND 47, IND 61, dan IND

66 menunjukkan reaksi yang sama sehingga dapat dikatakan bahwa ketiga

klon yang digunakan mempunyai tingkat resistensi yang sama. Hal ini

didukung oleh hasil analisis data yang tidak signifikan pada intensitas dan

luas serangan.

Saran

Sebaiknya dilakukan penelitian lain mengenai patogen Phaeophleospora

seperti, strain patogen, atau keragaman genetis patogen, atau keragaman

(30)

TINJAUAN PUSTAKA

Eukaliptus (Eucalyptus sp.)

Tanaman Eucalyptus spp. merupakan famili Myrtaceae, terdiri atas lebih

kurang 700 jenis. Jenis Eucalyptus sp. dapat berupa semak dan perdu sampai

mencapai ketinggian 100 meter. Batang umumnya bulat, lurus, tidak berbanir dan

sedikit bercabang. Pohon pada umumnya bertajuk sedikit ramping, ringan dan

banyak meloloskan cahaya matahari. Cabangnya lebih banyak membuat sudut ke

atas, jarang-jarang dan daunnya tidak begitu lebat. Daunnya berbentuk lanset

hingga bulat telur memanjang dan bagian ujungnya runcing membentuk kait.

Beberapa marga Eucalyptus dengan jenis Eucalyptus spp. Jenis-jenis yang sudah

dikenal umum antara lain E. deglupta, E. urophylla, E. camadulensis, E. grandis,

E. pellita, E. tereticornis, dan E. torreliana (Latifah, 2004 dalam Sembiring,

2009).

Eucalyptus spp. merupakan salah satu tanaman yang bersifat fast growing

(tanaman cepat tumbuh). Eucalyptus spp. juga dikenal sebagai tanaman yang

dapat bertahan hidup pada musim kering. Tanaman ini mempunyai sistem

perakaran yang dalam namun jika ditanam di daerah dengan curah hujan sedikit

maka perakarannya cenderung membentuk jaringan rapat dekat permukaan tanah

untuk memungkinkan menyerap setiap tetes air yang jatuh di cekaman tersebut.

Eucalyptus spp. merupakan salah satu jenis tanaman yang dikembangkan dalam

pembangunan hutan tanaman industri (Poerwowidodo, 1991).

Manurut Sutisna dan Purmadjaja (1999), tanaman Eucalyptus spp.

mempunyai sistematika sebagai berikut:

(31)

Divisio : Spermatophyta (Menghasilkan biji)

Class : Dycotyledone (berkeping dua)

Ordo : Myrtiflorae

Famili : Myrtaceae (suku jambu-jambuan)

Genus : Eucalyptus

Species : Eucalyptus spp.

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan, Eucalyptus spp.

memiliki banyak kelebihan dibanding penanaman tanaman lain baik dari segi

manfaat kayu maupun dari segi pertumbuhannya. Dari segi manfaat kayunya

Eucalyptus spp. dapat digunakan untuk bahan bangunan, kusen pintu dan jendela,

kayu lapis, bahan pembungkus, korek api, dan sebagai bahan pulp dan kertas.

Daun dan cabang Eucalyptus spp. dapat menghasilkan minyak yang digunakan

untuk kepentingan farmasi, misalnya untuk obat gosok, obat batuk, parfum,

deterjen, desinfektan dan pestisida (Sutisna dan Purmadjaja, 1999).

Syarat Tumbuh Eucalyptus spp.

Jenis-jenis Eucalyptus spp. terutama menghendaki iklim bermusim (daerah

arid) dan daerah yang beriklim basah dari tipe hujan tropis. Jenis Eucalyptus spp.

tidak menuntut persyaratan yang tinggi terhadap tempat tumbuhnya. Eucalyptus

spp. dapat tumbuh pada tanah yang dangkal, berbatu-batu, lembab, berawa-rawa,

secara periodik digenangi air, dengan variasi kesuburan tanah mulai dari

tanah-tanah kurus, gersang, sampai tanah-tanah yang baik dan subur. Jenis Eucalyptus spp.

dapat tumbuh di daerah beriklim A sampai C dan dapat dikembangkan mulai dari

dataran rendah sampai daerah pegunungan yang tingginya per tahun yang sesuai

(32)

tanah yang digunakan dalam pertanaman Eucalyptus spp. ini adalah jenis tanah

litosol dan regosol podsolik (Darwo, 1997).

Hampir semua jenis Eucalyptus beradaptasi dengan iklim muson.

Beberapa jenis bahkan dapat bertahan hidup di musim yang sangat kering,

misalnya jenis-jenis yang telah dibudidayakan yaitu E. alba, E. camaldulensis, E.

citriodora, E. deglupta adalah jenis yang beradaptasi pada habitat hutan hujan

dataran rendah dan hutan pegunungan rendah, pada ketinggian hingga 1800 mdpl,

dengan curah hutan tahunan 2500-5000 mm, suhu minimum rata-rata 23 dan

maksimum 31 di dataran rendah, dan suhu minimum rata-rata 13 dan maksimum

29 di pegunungan (Kapisa et al., 1999).

Penyebaran dan Morfologi Eucalyptus sp.

Daerah penyebaran alaminya berada di sebelah Timur garis Wallace,

mulai dari 7°’ LU sampai 43°39’ LS meliputi Australia, New Britania, Papua dan

Tazmania. Beberapa spesies juga ditemukan di Kepulauan Indonesia yaitu Irian

Jaya, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, dan Timor- Timur. Genus Eukaliptus

terdiri atas 500 spesies yang kebanyakan endemik Australia. Hanya ada dua

spesies yang tersebar di wilayah Malesia (Maluku, Sulawesi, Nusa Tenggara dan

Fillipina) yaitu Eucalyptus urrophylla dan Eucalyptus deglupta. Beberapa spesies

menyebar di Australia bagian Utara menuju bagian Timur. Spesies ini banyak

tersebar di daerah-daerah pantai New South Wales dan Australia bagian Barat

Daya. Pada saat ini beberapa spesies ditanam di luar daerah penyebaran alami,

misalnya di Benua Asia, Afrika bagian Tropika dan Subtropika, Eropa bagian

(33)

Tanaman Eucalyptus sp. pada umumnya berupa pohon kecil hingga besar,

tingginya rata-rata 40 meter dan rata-rata bebas cabang 25 m. Batang utamanya

berbentuk lurus, dengan diameter hingga 200 cm. Permukaan kulit kayu licin,

berserat berbentuk papan catur. Daun muda dan daun dewasa sifatnya berbeda,

daun dewasa umumnya berseling kadang-kadang berhadapan, tunggal, tulang

tengah jelas, pertulangan sekunder menyirip atau sejajar, berbau harum bila

diremas. Perbungaan berbentuk payung yang rapat kadang-kadang berupa malai

rata di ujung ranting. Buah berbentuk kapsul, kering dan berdinding tipis. Biji

berwarna coklat atau hitam. Marga Eucalyptus termasuk kelompok yang berbuah

kapsul dalam suku Myrtaceae dan dibagi menjadi 7-10 anak marga, setiap anak

dibagi lagi menjadi beberapa seksi dan seri (Khaeruddin, 1999).

Penyakit pada Tanaman Eucalyptus spp.

Fungi merupakan salah satu faktor biotik terbanyak yang menyebabkan

tanaman hutan menjadi sakit. Umumnya penyakit tidak hanya disebabkan oleh

satu jenis patogen akan tetapi dapat disebabkan oleh beberapa patogen yang

datang atau muncul secara bersama ataupun berurutan. Hal ini dapat

menyebabkan berkurangnya produksi hutan tanaman yang diusahakan

(Semangun, 2001).

Ada beberapa penyakit penting yang sering menyerang tanaman

Eucalyptus spp. antara lain:

1. Penyakit pada akar

a. Busuk akar Phytophthora

Penyakit ini disebabkan oleh Phytophthora cinnamomi dan Phytophthora

(34)

umumnya daun yang layu. Hal ini diikuti dengan busuknya kambium akar

dan pangkal akar. Kulit dari akar biasanya terkelupas. Jika pangkal akar

terinfeksi, pohon akan mati (SAPPI, 2014).

2. Penyakit batang

a. Busuk Botryosphaeria

Penyakit ini disebabkan oleh Botryosphaeria eucalyptorum dan

Botryosphaeria ribis. Banyak gejala yang diasosiasikan dengan infeksi

Botryosphaeria pada Eukaliptus. Gejala yang umum adalah kematian

pada pucuk pohon dan ini menyebabkan infeksi pada hati kayu dan

perubahan warna kayu yang dilapisi oleh bagian luar kayu yang sehat

(SAPPI, 2014).

b. Busuk Cryphonectria

Ada dua spesies yang menyebabkan penyakit ini di Afrika Selatan.

Cryphonectria eucalypti yang merupakan patogen minor dan

Cryphonectria cubensis yang merupakan patogen major. Cryphonectria

yang disebabkan Cryphonectria cubensis pada umumnya membunuh

pohon muda pada dua tahun pertama pertumbuhan dengan terkelupasnya

pangkal batang. Pohon yang berpenyakit ini biasanya tiba-tiba mati pada

musim panas (SAPPI, 2014).

c. Busuk Coniothyrium

Coniothyrium zuluensi adalah agen penyebab penyakit ini. Infeksi yang

dapat dikenali adalah adanya spot-spot kecil pada jaringan muda dan hijau

batang. Luka ini akan bersatu dan menimbulkan tonjolan yang besar

(35)

3. Penyakit daun

a. Foliar spot dan foliar blight

Penyakit ini disebabkan oleh Cylindrocladium sp., merupakan patogen yang

menyerang tanaman Eucalyptus sp. Cylindrocladium sp. merupakan salah

satu jenis dari marga Calonectria de Not. yang menyebabkan penyakit pada

pembibitan dan pada tanaman termasuk akar dan leher akar, hawar tunas,

hawar daun dan bercak daun (Old, et al., 2003).

b. Hawar pucuk

Penyakit ini disebabkan oleh Cryptosporiopsis eucalypti. Gejala penyakit ini

berkembang di sekitar daun dan batang Eucalyptus spp., biasanya tersebar

secara menyeluruh, lembut dan berwarna coklat, luka nekrotik yang

menjalar, bentuknya bundar dengan diameter 1-2 cm. Luka yang berat

ditunjukkan dengan warna coklat tua atau abu- abu di seluruh permukaan

daun (Old, et al., 2003).

c. Penyakit Mycosphaerella

Penyakit yang ditimbulkan berupa bintik daun, bisul dan kerut daun yang

disebabkan oleh Mycosphaerella. Tetapi marga ini belumlah pasti ditemukan

pada tanaman Eucalyptus sp., karena banyak variasi gejala yang ditunjukkan

oleh infeksi Mycosphaerella dengan hasil yang berbeda dalam hal ukuran

luka, warna dan morfologi. Daun yang terinfeksi akan berkembang menjadi

bintik dan bisul.

d. Penyakit Phaeophleospora

Penyakit ini disebabkan oleh Phaeophleospora yang biasanya terdapat pada

(36)

ditunjukkan berupa bercak daun berwarna kemerahan pada permukaan atas

daun dan adanya spora berwarna hitam pada bagian permukaan bawah daun.

e. Penyakit Pestalotia

Penyakit ini disebabkan oleh Pestalotia sp. Serangan Pestalotia pada daun

menimbulkan gejala bercak yang dimulai dari tepi daun ujung, yang

kemudian meluas ke tengah daun. Serangan fase awal hampir selalu terjadi di

ujung daun. Diduga bahwa stoma di daerah ujung memberikan kondisi yang

kondusif bagi perkembangan konidiaspora (Semangun, 2001).

Penyakit daun Phaeophleospora

Phaeophleospora destructans juga dikenal sebagai Kirramyces destructans

terkait dengan penyakit hawar daun pada E. grandis berusia satu tahun hingga tiga

tahun di Sumatera Utara, Indonesia. Spesies ini adalah patogen agresif yang dapat

menyebabkan hawar daun yang luas pada daun muda dan gugurnya daun pada

usia muda sebagai akibat dari nekrosis daun dan tangkai daun. Patogen ini

ditemukan pada tahun 2000, menyerang perkebunan klonal E. camaldulensis di

timur Thailand dan pada tahun 2002 ditemukan untuk pertama kalinya di beberapa

lokasi, meliputi selatan, tengah dan utara Vietnam, pada spesies E. camaldulensis,

E. urophylla dan klon hibrid. Penyebaran yang cepat menunjukkan adanya

serangan patogen ke tanaman hingga bahkan menyerang benih, dan hal ini

berpotensi sebagai ancaman serius bagi Eukaliptus di Asia Tenggara dan,

mungkin, vegetasi asli dan perkebunan di utara Australia yang berdaerah tropis.

Dalam rangka untuk membantu mengatasi penyakit ini, klon toleran dipilih dan

(37)

Penyakit ini umumnya ditemukan pada tanaman Eukaliptus di Sumatera

Utara. Plot percobaan dari E. globulus di Habinsaran terinfeksi dalam jumlah

besar. Penyakit ini ditemukan pada areal pembibitan dan areal penanaman.

Penyakit ini biasanya ditemukan pada daun dewasa, terutama pada bibit-bibit

yang persediaannya berlebih. Penyakit ini dikenali dengan bercak warna ungu

hingga ungu kecoklatan. Jika lefel infeksi sudah tinggi, penyakit ini dapat

menyebabkan gugurnya daun pada usia muda (Alfenas, 1993).

Menurut Simpson et al. (2005) ada lima spesies Phaeophleospora yang

diketahui menyerang tanaman Eukaliptus, antara lain:

a. P. delegatensis

b. P. destructans

c. P. epicoccoides

d. P. eucalypti

e. P. lilianiae

Phaeophleospora epicoccoides merupakan salah satu patogen daun yang

paling banyak dilaporkan dan diteliti di dunia, terjadi pada berbagai spesies di

banyak negara termasuk dari daerah subtropis. Dianggap sebagai patogen yang

menyerang pembibitan di Australia dan India, menyebabkan kematian tanaman di

Malawi dan Afrika Selatan, defoliasi perkebunan di Australia (G. Hardy pers.

Comm.), dan kerusakan yang signifikan di pembibitan dan perkebunan di

Indonesia. Gejala yang ditimbulkan bervariasi, spora dapat tersebar, dan

menginfeksi bibit dan kebun klonal di pembibitan dengan sanitasi yang buruk

(38)

P. epicoccoides dan P. destructans memiliki perbedaan pada warna dan

tekstur. P. epicoccoides padat, pertumbuhannya lambat, dan berwarna gelap,

sedangkan P. destructans berwarna kemerahmudaan, pertumbuhannya lambat,

dan agak lembut. Dibandingkan dengan spesies lain, spora P. epicoccoides

pendek, lebar, multisepta, dan berwarna hijau, sedangkan spora P. destructans

lebih panjang dan lebih tipis (Burgess et al, 2004).

P. epicoccoides dominan ditemukan pada daun yang mulai menua dan

menyebabkan daun gugur lebih cepat. Fungi ini tidak digolongkan sebagai

patogen mayor. P. destructans adalah patogen mayor yang menyerang daun muda

pada pembibitan, pada tanaman induk, dan pada areal penanaman. Bibit yang

terinfeksi, tanaman induk, dan stek pada pembibitan dapat rusak total pada kondisi

lembab. Material terinfeksi yang dapat bertahan di lapangan, pada akhirnya

kondisi pertumbuhan terganggu dan tidak stabil (Burgess et all, 2004).

Penyakit ini disebabkan oleh Phaeophleospora yang biasanya terdapat

pada pembibitan dan menjangkit penanaman jenis tertentu. Gejala yang

ditunjukkan berupa bercak daun berwarna kemerahan pada permukaan atas daun

dan adanya spora berwarna hitam pada bagian permukaan bawah daun. Apabila

satu daun tanaman telah terinfeksi patogen ini maka akan terjadi penularan

penyakit pada daun yang berdekatan hingga dapat mengakibatkan kematian bibit

tanaman. Penularan sering kali terlihat dimulai dari bagian pangkal bibit tanaman

hingga mencapai daun bagian ujung tanaman. Patogen ini biasanya berada di

bawah tajuk pohon dan dapat menyebabkan penghancuran secara signifikan pada

(39)

Tampilan dan tingkat keparahan luka pada daun Eukaliptus umumnya

digunakan untuk mengenali spesies Phaeophleospora yang menyebabkan

penyakit. Namun, gejala infeksi yang disebabkan oleh P. epicoccoides, P.

eucalypti dan P. destructans hampir identik dan sering terjadi kesalahan analisis,

tergantung pada inang dan iklim. Selain itu, identifikasi P. eucalypti dan P.

destructans berdasarkan morfologi konidia agak sulit karena ukuran spora

bervariasi tergantung pada spesies inang. Sebuah teknik diagnostik molekuler

yang sederhana dan akurat akan sangat membantu dalam membedakan antara

spesies ini dibandingkan dengan teknik konvensional melalui pangamatan

morfologi (Andjic, et al, 2007).

Gambar 1. Penampakan permukaan bawah daun yag terinfeksi P. destructans (A) [sumber: Nursery and Tree Health Evaluations in Plantations in North

and South Sumatera (Wingfield,2010)];

Penampakan permukaan bawah daun yag terinfeksi P. epicoccoides (B) [sumber: Survey of Plantation Diseases in The Kirinci and Lake Toba

Areas Belonging to The April Group (Wingfield,2006)]

Daun berpenyakit Destructans dan hawar pucuk yang disebabkan P.

destructans adalah penyakit utama yang menyerang Eukaliptus di area Danau

Toba. Penyakit ini sudah diteliti di Aek Nauli, kira-kira sepuluh tahun yang lalu.

(40)

Salah satu pertanyaan penting yang telah dikemukakan dalam beberapa tahun

terakhir adalah apakah kerentanan setiap klon berbeda di tempat yang berbeda. Ini

dikarenakan genotipe yang terbentuk karena interaksi lingkungan menentukan

apakah klon yang resisten terhadap penyakit Destructans dan hawar pucuk dapat

efektif di satu area namun tidak di area lain (Wingfield, 2006).

Diungkapkan oleh Wingfield (2008), hawar daun Destructans telah

menjadi subjek penelitian utama di TPL sejak dekade yang lalu. Saat ini, telah

banyak dipelajari tentang penyakit ini dan dampak buruknya telah menurun secara

signifikan. Salah satu penemuan penting yang terkait dengan patogen ini antara

lain:

a. Setiap klon berbeda kerentanannya terhadap infeksi penyakit. Jadi klon

toleran telah dipilih dan dikembangkan.

b. Ada perbedaan besar antara material bibit dan klon terpilih dalam hal

kerentanannya. Dampak dari pemuliaan yang baik dan program seleksi di

TPL secara jelas dapat dilihat pada percobaan di mana pembibitan kontrol

ditanam.

c. Lokasi klon mempengaruhi kerentanannya terhadap infeksi K. Destructans,

klon tersebut sangat terpengaruh jika mereka dalam kondisi stress. Jadi pohon

yang terdapat di pinggir jalan dan pohon yang memiliki sistem perakaran

buruk dapat terinfeksi secara serius. Klon-klon yang tumbuh secara baik,

dapat tumbuh dan terbebas dari penyakit.

Ketika banyak yang sudah dipelajari tentang penyakit Destructans dan

hawar pucuk selama lima belas tahun terakhir, masih banyak pertanyaan yang

(41)

mengetahui hubungan antara stress dan gejala penyakit yang tampak. Dalam hal

ini, sekarang dapat dikenali tentang ada klon-klon yang memiliki kerentanan

tinggi terhadap infeksi dan hal ini menyebabkan tanaman berpenyakit, terlepas

dari kondisi pertumbuhannya. Juga diketahui bahwa klon-klon yang terbebas dari

kondisi stress pada saat percobaan mengalami pertumbuhan yang buruk pada saat

ditanam di area dengan kondisi stress (Wingfield, 2010)

Perkembangan bagus telah dibuat oleh TPL untuk mereduksi dampak dari

K. destructans dan penyakit ini sudah lebih dimengerti daripada waktu yang lalu.

Menurut Wingfield (2010), beberapa fakta yang muncul melalui studi yang

dilakukan TPL:

a. Patogen ini merupakan spesifik inang dan ada banyak variabel dari tanaman

dalam hal kerentanan

b. Generasi baru dari klon TPL mempunyai level resisten yang tinggi terhadap

penyakit

c. Klon yang agak rentan tidak terinfeksi jika berada pada kondisi pertumbuhan

yang optimal. Tapi jika mengalami stress, mereka dapat rusak secara serius.

Hal ini agak berkebalikan dengan sifat dari patogen spesifik inang yang

cenderung kurang terpengaruh oleh stress yang dialami tanaman. Satu

kemungkinan lainnnya adalah akibat kondisi stress ini, jaringan pada

daun-daun muda lebih mudah untuk terinfeksi.

Identifikasi Penyakit Tanaman

Gejala dapat terlihat karena adanya perubahan, bau, rasa, atau rabaan.

Gejala dalam, penting artinya untuk penelitian anatomi patologi, sedangkan gejala

(42)

oleh bagian tubuh tanaman atau seluruh tubuh tanaman. Gejala adalah keadaan

patologi dan fisiologi yang merupakan respon tanaman terhadap aktivitas patogen

atau faktor yang lain (Satrahidayat, 1990).

Tanda penyakit adalah struktur dari suatu patogen yang berasosiasi dengan

tanaman yang terinfeksi. Beberapa tipe struktur patogen tidak harus selalu ada

pada tanaman yang sakit karena pembentukannya berdasarkan kondisi

lingkungan. Kebanyakan tanda penyakit dapat dilihat dan dibedakan dengan

bantuan mikroskop. Misalnya penyebab penyakit berupa miselium, spora, tubuh

buah fungi, sel atau lendir bakteri, tubuh karena penggumpalan hifa fungi

(Sklerotial bodies), nematoda dengan berbagai fase telur, juvenil dan imago serta

berbagai bagian tumbuhan parasit (Sinaga, 2003).

Menurut Sinaga (2003) agar hasil diagnosa akurat, diperlukan pembuktian

dengan menggunakan Postulat Koch. Kaidah-kaidah Postulat Koch adalah sebagai

berikut :

1) patogen yang diduga harus selalu berasosiasi dengan tanaman yang sakit

2) patogen tersebut harus dapat diisolasi dan ditumbuhkan sebagai biakan murni

3) biakan murni tersebut jika diinokulasikan ke tanaman sehat harus

menghasilkan gejala dan tanda penyakit yang sama

4) bila penyebab penyakit direisolasi dari tanaman yang diinokulasi tersebut,

akan dihasilkan biakan murni yang sama dengan penyebab yang diisolasi dari

(43)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di lokasi pembibitan PT. Toba Pulp Lestari, Tbk.

Kec. Parmaksian, Toba Samosir dan di Laboratorium Bioteknologi Program Studi

Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Penelitian dilakukan

pada bulan Juli sampai Desember 2014.

Bahan dan Alat

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah klon IND 47, IND 61, dan

IND 66 turunan Eucalyptus grandis x Eucalyptus urophylla di PT. Toba Pulp

Lestari, Tbk, alkohol 70% dan Kloroks 0,3%, air steril, spritus, tisu dan kapas,

serta PDA (Potatoe Dextrose Agar).

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah kaca pembesar, plastik

sampel/amplop, sarung tangan, masker pernafasan, kertas milimeter, mikroskop,

cawan petridish, labu erlenmeyer, pinset, spatula, jarum ose, timbangan analitik,

oven dan otoklaf, kaca preparat dan gelas penutup, serta gelas ukur.

Prosedur Penelitian

Tahapan prosedur penelitian adalah:

1. Pengambilan sampel tanaman yang sakit dan yang sehat

Tanaman Eucalyptus sp. yang sakit atau yang bergejala digunakan sebagai

bahan isolasi untuk mencari patogen Phaeophleospora sp., sedangkan

(44)

sebagai bahan pengamatan setelah patogen Phaeophleospora sp. diperoleh

dan disemprotkan ke tanaman.

2. Isolasi patogen

Tanaman yang sakit atau yang bergejala dibersihkan dengan menggunakan

kloroks, setelah dibersihkan diambil dengan menggunakan pinset dan

dikeringkan lalu dipotong-potong dengan ukuran 1x1 cm, kemudian diisolasi

ke dalam cawan petri dengan media PDA (Potatoe Dextrose Agar). Setelah 3

hari dilakukan kembali pengisolasian tetapi isolasi yang dilakukan adalah

isolasi biakan murni dengan ketentuan tidak mengalami kontaminasi lagi.

Setelah 14 hari dan tidak terjadi kontaminasi maka dapat dilakukan

identifikasi fungi dengan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 1000x.

3. Pengamatan patogen

Jamur yang telah berumur 14 hari diambil dengan cara dipotong dan diambil

dengan pinset yang steril. Dimasukkan ke dalam cawan petri kemudian

diletakkan di atas preparat dan ditutupi dengan kaca objek lalu dimasukkan ke

dalam kotak tray. Setelah 4 hari dapat diamati di bawah mikroskop dengan

perbesaran 1000x.

4. Penyiapan inokulum

Biakan yang telah murni diambil lalu dimasukkan ke dalam cawan petri yang

telah diisi aquades sebanyak 10 ml dan kemudian dikikis dengan

menggunakan pengait, bagian atas biakan dikikis tanpa mengenai medianya.

Setelah semua bagian permukaan terkikis lalu disaring dengan menggunakan

kain kassa. Hal ini dilakukan sebanyak 30 kali sesuai dengan jumlah tanaman

(45)

5. Pelaksanaan inokulasi

Sebelum inokulasi dilakukan, bibit tanaman sehat dipindahkan ke dalam

polybag yang telah diisi top soil lalu dipindahkan ke dalam rumah kaca.

Tanaman dipelihara selama satu minggu untuk penyesuaian di rumah kaca.

Inokulasi dilakukan dengan metode penyemprotan inokulum (campuran 10

ml aquades dengan spora Phaeophleospora sp.) ke tanaman. Inokulasi

dilakukan menggunakan hand sprayer.

Setiap tanaman disemprotkan 10 ml inokulum dan dilakukan secara

bergantian terhadap tanaman. Penyemprotan dilakukan di dalam sungkup.

Setelah penyemprotan inokulum, tiap tanaman lalu disungkup selama 1 x 24

jam. Keesokan harinya sungkup dibuka dan dimulai pengamatan gejala yang

muncul pada daun tanaman. Pengamatan terhadap infeksi fungi

Phaeophleospora pada tanaman Eucalyptus spp. dilakukan selama 30 hari

dengan selang pengamatan enam kali.

6. Uji infeksi

Dilakukan untuk mengetahui intensitas serangan dan luas serangan

Phaeophleospora sp. terhadap tanaman Eucalyptus sp. Agrios (1996)

mengungkapkan intensitas serangan/keparahan penyakit (KpP) didefinisikan

sebagai persentase luasnya jaringan tanaman yang terserang patogen dari total

luasan yang diamati. Luas serangan/keterjadian penyakit (KjP) merupakan

persentase jumlah tanaman yang terserang patogen (n) dari total tanaman

yang diamati (N).

Parameter pengamatan

(46)

a. Intensitas Serangan

Parameter yang diamati adalah perubahan yang dialami oleh daun setelah

inokulasi. Pengamatan dilakukan terhadap lima daun teratas. Daun yang

diamati diberi tanda dan disesuaikan dengan skala bercak daun (0-5) dalam

(Sinaga, 2003).

Skala bercak terdiri dari:

Skala 0: tidak ada bercak pada daun

Skala 1: terdapat bercak daun 1/16 bagian

Skala 2: terdapat bercak daun 1/8 bagian

Skala 3: terdapat bercak daun 1/4 bagian

Skala 4: terdapat bercak daun 1/2 bagian

Skala 5: terdapat bercak daun pada seluruh bagian permukaan daun

Nilai intensitas serangan ditentukan dengan rumus:

IS = ∑ � � �

� � � x 100%

Towsend dan Heiiberger (1943) dalam Sinaga (2003).

Keterangan:

Luas serangan ditentukan dengan cara menghitung jumlah daun yang

terserang pada setiap bibit kemudian membaginya dengan jumlah seluruh

daun dari bibit yang diamati.

(47)

A = �

� x 100 %

Keterangan: A : luas serangan

n : jumlah daun yang terserang penyakit Phaeophleospora sp. N : jumlah seluruh daun dari bibit yang diamati

Tabel 1. Penilaian tingkat intensitas dan luas serangan penyakit dan reaksi tanaman

No Nilai Intensitas dan Luas Serangan (%) Kategori Reaksi Tanaman

1 0% Imun

2 1 % - 25 % Resisten (R)

3 26 % - 50 % Agak Resisten (AR)

4 51 % - 75 % Agak Rentan (Ar)

5 76 % - 100 % Rentan (r)

Sumber : Sembiring (1985) dalam Sinaga (2003)

Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini menggunakan

meodel rancangan acak lengkap (RAL) non faktorial dengan model linier sebagai

berikut:

Yij= μ + τi + εij Keterangan:

Yij = pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

μ = rataan umum

τi = pengaruh perlakuan ke-i

εij = pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j i = perlakuan ke-i (1,2,3)

j = ulangan ke-j (1,2,3...,10)

Data yang diperoleh dari lapangan ditransformasikan menggunakan

transformasi logaritma. Jika diperoleh rancangan berbeda nyata pada interaksi

antara tanaman dengan kelas umur akan dilanjutkkan dengan menggunakan

rancangan DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) (Sastrosupadi, 2000).

Hipotesis yang akan diuji adalah terdapat perbedaan respon jenis klon

Eucalyptus spp. turunan E. grandis x E. urophylla terhadap infeksi

(48)

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Isolasi dan Identifikasi Phaeophleospora sp.

Fungi Phaeophleospora sp. didapatkan dengan mengambil sampel daun

berpenyakit pada areal pembibitan PT Toba Pulp Lestari, Tbk, Kecamatan

Parmaksian. Pengambilan sampel daun berpenyakit dilakukan dengan menjadikan

buku panduan A Manual of Diseases of Eucalypts in South-East Asia (Old et al.,

2003) sebagai pedoman lalu membandingkannya dengan gejala penyakit yang

timbul pada daun pada tanaman di areal pembibitan. Gejala yang ditunjukkan

berupa bercak daun berwarna kemerahan pada permukaan atas daun dan adanya

spora berwarna hitam pada bagian permukaan bawah daun.

Untuk genus fungi Phaeophleospora, jenis Phaeophleospora epicoccoides

dan Phaeophleospora destructans merupakan fungi yang paling banyak

menyerang tanaman Eukaliptus di areal pembibitan ini (Wingfield, 2006). Gejala

yang ditimbulkan kedua jenis fungi ini juga tidak jauh berbeda, hal ini sesuai

dengan pernyataan Andjic, et al. (2007) bahwa gejala infeksi yang disebabkan

oleh P. epicoccoides, P. eucalypti dan P. destructans hampir identik dan sering

terjadi kesalahan analisis, tergantung pada inang dan iklim.

(49)

Sampel daun berpenyakit dibawa ke laboratorium Bioteknologi

Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara untuk kemudian

dibiakkan. Hasil dari biakan murni tersebut didapatlah fungi Phaeophleospora sp.,

yang tampilan makroskopisnya dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Tampilan makroskopis Phaeophleospora sp. pada media PDA

Biakan murni fungi Phaeophleospora sp. memiliki penampilan berwarna

merah muda (pink), pertumbuhannya lambat, teksturnya seperti berbulu dan tebal,

serta penyebarannya merata ke segala arah. Ciri-ciri biakan murni ini sesuai

dengan salah satu jenis fungi Phaeophleospora sp. yang dikemukakan oleh

Burgess et al. (2004) bahwa P. destructans berwarna kemerahmudaan,

pertumbuhannya lambat, dan agak lembut.

Selain pengamatan makroskopis, dilakukan juga pengamatan mikroskopis

terhadap biakan murni. Pengamatan mikroskopis dilakukan untuk memastikan

apakah biakan murni yang kita dapat memang benar jenis Phaeophleospora sp.

yang kita inginkan. Pengamatan dilakukan dengan memerhatikan bentuk konidia

lalu membandingkannya dengan sumber literatur-literatur yang ada. Hasil

(50)

Tabel 2. Hasil pengamatan mikroskopis Phaeophleospora sp.

No. Katerangan Karakteristik Mikroskopis biakan murni

Karakteristik Mikroskopis Phaeophleospora sp.*

1 Spora

*Sumber: First Report of Phaeophleospora destructans in China (Burgess, et al., 2004)

Hasil pengamatan mikroskopis pada biakan murni Phaeophleospora sp.

menunjukkan bahwa sporanya berbatang panjang, bersepta dua, dan tampilannya

tipis. Hal ini dipertegas dengan pernyataan Burgess et al. (2004) tentang fungi

Phaeophleospora destructans, bahwa spora Phaeophleospora destructans

berbentuk panjang dan tipis. Spora memiliki dimensi rata-rata 40,1 x 2,4 µm dan

bersepta 1-2. Jadi, melalui pengamatan makroskopis dan mikroskopis yang telah

dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa biakan murni yang ditemukan adalah

jenis Phaeophleospora destructans.

Berikut taksonomi dari Phaeophleospora destructans

Kingdom : Fungi

Phylum : Ascomycota

Class : Dothideomycetes

Ordo : Capnodiales

Family : Mycosphaerellaceae

Genus : Phaeophleospora

(51)

2. Gejala Penyakit Phaeophlespora sp. pada Tanaman Eucalyptus spp.

Bibit Eukaliptus yang digunakan sebagai sampel untuk uji infeksi

merupakan bibit hasil persilangan antara Eucalyptus grandis dengan Eucalyptus

urophylla. Bibit klon hibrid ini digunakan sebanyak tiga klon, yakni IND 47, IND

61, dan IND 66, serta berumur dua bulan, diulang sebanyak sepuluh kali.

Tabel 3. Perkembangan gejala penyakit pada daun IND 47, IND 61, dan IND 66

Klon Gejala Awal Gejala Lanjutan

IND 47

IND 61

IND 66

Ket. Gejala awal berupa bercak kekuningan pada permukaan atas daun

Gejala lanjutan ditandai dengan munculnya bercak kemerahan pada permukaan atas daun

Gejala awal yang ditunjukkan oleh penyakit ini adalah adanya bercak

kekuningan pada permukaan atas daun. Bercak ini menyebabkan hijau daun

(52)

kemunculannya, tidak terdapat spora hitam pada permukaan bawah daun.

Tanaman sudah menunjukkan gejala pada pengamatan II setelah inokulasi.

Gejala lanjutan menunjukkan pada permukaan atas daun yang terdapat

bercak kekuningan kemudian muncul bercak kemerahan. Beberapa hari

kemudian, pada lokasi bercak kemerahan tersebut muncul spora hitam pada

permukaan bawah daun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Old, et al. (2003)

bahwa gejala Phaeophleospora yang ditunjukkan berupa bercak daun berwarna

kemerahan pada permukaan atas daun dan adanya spora berwarna hitam pada

bagian permukaan bawah daun.

Karakteristik lain dari gejala yang ditimbulkan oleh fungi

Phaeophleospora adalah munculnya awal gejala selalu dimulai dari daun yang

paling bawah atau paling pangkal. Bila daun paling bawah sudah terjangkiti,

biasanya setelah beberapa hari akan diikuti oleh munculnya awal gejala pada daun

di atasnya. Hal yang sama sudah dipaparkan oleh Old, et al. (2003) apabila satu

daun tanaman telah terinfeksi patogen ini maka akan terjadi penularan penyakit

pada daun yang berdekatan hingga dapat mengakibatkan kematian bibit tanaman.

Penularan sering kali terlihat dimulai dari bagian pangkal bibit tanaman hingga

mencapai daun bagian ujung tanaman. Maka dari itu fungi ini tergolong sebagai

patogen yang agresif yang dapat menyebabkan gugurnya daun pada usia muda,

seperti yang diungkapkan Barber (2004) spesies ini adalah patogen agresif yang

dapat menyebabkan hawar daun yang luas pada daun muda dan gugurnya daun

(53)

3. Intensitas Serangan (IS)

Pengamatan terhadap infeksi fungi Phaeophleospora pada tanaman

Eucalyptus spp. dilakukan selama 30 hari dengan selang pengamatan enam kali.

Pengukuran intensitas serangan dilakukan dengan metode scoring pada lima daun

teratas tiap ulangan percobaan. Daun yang diamati diberi tanda dan disesuaikan

dengan nilai skor (0-5) (Sinaga, 2003). Hasil scoring kemudian ditransformasikan

ke dalam formula nilai intensitas serangan. Nilai intensitas serangan (IS) setiap

selang pengamatan dapat dilihat dalam tabel 4 berikut.

Tabel 4. Rata-rata Intensitas Serangan (IS) Pengamatan I-Pengamatan VI

No Klon Intensitas Serangan (IS) (%) berdasarkan uji DMRT, sedangkan yang tidak bernotasi menunjukkan tidak berbeda nyata.

Gambar 4. Grafik Rata-rata Intensitas Serangan (IS) Pengamatan I-Pengamatan VI

Tanaman mulai menunjukkan gejala pada pengamatan II (± sepuluh hari

Gambar

Tabel ANOVA
Tabel 1. Penilaian tingkat intensitas dan luas serangan penyakit dan reaksi tanaman
Gambar 2. Pembibitan Eukaliptus di TPL yang terinfeksi penyakit daun
Gambar 3. Tampilan makroskopis Phaeophleospora sp. pada media PDA
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pesert a yang t idak mendaft arkan dan melakukan pengambilan Undangan, sert a pengambilan Dokumen Lelang, maka dokumen penaw aran yang diserahkan t ersebut dinyat

Pelaksanaan  Kegiatan Ekstrakurikuler  harus didukung dengan

Pesert a yang t idak mendaft arkan dan melakukan pengambilan Undangan, sert a pengambilan Dokumen Lelang, maka dokumen penaw aran yang diserahkan t ersebut dinyat akan

Berdasarkan hasil evaluasi Dokumen Penawaran yang dilanjutkan dengan klarifikasi dan pembuktian kualifikasi yang dilaksanakan pada tanggal 11 s/d 13 Oktober 2011

Undangan, sert a pengambilan Dokumen Lelang, maka dokumen penaw aran yang diserahkan t ersebut dinyat akan Tidak Sah / Gugur.. Evaluasi menggunakan “SISTEM

Lampiran 12.Sidik Ragam Luas Tudung Buah Jamur. Tests of

ˇ Cangalovi´c, Minimal Doubly Resolving Sets and The The Strong Metric Dimension of Hamming Graphs , Applicable Analysis and Discrete Mathematics 6 (2012), 63–71. ˇ Cangalovi´c,

Perancangan dan realisasi iMon terdiri dari perancangan dan realisasi iBot serta pembuatan perangkat lunak iMon. iBot terdiri dari modul regulator tegangan,