TEMA
KELEMBAGAAN PENGEMBANGAN INDUSTRI SAGU MODERN
Dr. Ir. Wardis GIRSANG, MSi
Fakultas Pertanian UNIVERSITAS PATTIMURA AMBON
USAHATANI & TATANIAGA TEPUNG SAGU:
LESSONS LEARNED DARI MALUKU
Materi presentasi
Pendahuluan
Luas areal lahan sagu
Sagu dalam sistem Dusung: Jasa lingkungan & sosio-budaya
Skala dan kapasitas pengolahan usaha sagu rakyat
PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN KOPERASI [KORPORASI]
PETANI SAGU BERBASIS GUGUS PULAU
•
Masalah pangan dan penduduk sudah diperdebatkan sejak lama, bahwa penduduk
yang banyak akan membutuhkan pangan lebih banyak.
•
Oleh karena pertumbuhan penduduk lebih cepat daripada pangan, maka jumlah
penduduk yang banyak dianggap menjadi penyebab kelaparan.
•
Maka mengatasi kelaparan adalah membatasi jumlah penduduk dan
meningkatkan produksi pangan
The rate of population increase
exceeds
the rate of increase
in food production ( Dr.Norman Borlaug)
Sumber: United Nations, The Danforth Center, USDA
Tahun Penduduk (miliar Jiwa) Waktu (thn) 1805 1 804 1927 2 123 1960 3 33 1974 4 14 Tahun Penduduk (miliar Jiwa) Waktu (thn) 1987 5 13 1999 6 12 2012 7 13 2026 8 14 2045 9 19
Kecepatan pertambahan penduduk
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 0 0 0 1 5 0 0 1 7 5 0 1 8 0 5 1 8 0 5 1 9 0 0 1 9 2 7 1 9 5 0 19 60 1 9 7 4 1 9 8 7 1 9 9 9 2 0 1 2 2 0 2 0 2 0 2 6 2 0 4 5 2 0 5 0
Perkembangan penduduk dunia (Miliar jiwa)
Population (in Billion) Expon. (Population (in Billion))
Green Revolution 1940-1970 Biotechnology 1981 Present day 2020 Breeding 1866
•
Terpengaruh teori penyebab lapar adalah jumlah penduduk, maka sejak lama
kebijakan pangan nasional hanya berfokus pada dua hal: KOMODITI & TEKNOLOGI,
tetapi mengabaikan MANUSIA PETANI.
•
Teknologi dan komoditi tersebut cenderung ‘bias padi sawah/beras’ [jagung dan
kedelai], berorientasi produksi dan teknologi modern, berpihak pada usaha
berskala besar, mengabaikan teknologi, komoditi dan kearifan lokal berskala kecil.
•
Di satu sisi, kebijakan ini [komoditi dan teknologi] memang telah meningkatkan
produksi beras nasional, bahkan swasembada beras tahun 1984, tetapi disisi lain,
produksi ternyata tidak berkelanjutan, menciptakan ketergantungan petani kepada
[perusahaan pemasok] input produksi kimia dan Alsintan modern, dan sampai saat
ini ternyata belum berhasil mensejahterakan keluarga petani.
•
Modernisasi pertanian ternyata juga diikuti alih fungsi lahan pertanian menjadi
non-pertanian [lahan sawah menjadi lokasi industri, lahan sagu menjadi lahan sawah
atau perkebunan], polarisasi pemilikan tanah dan kesenjangan sosial ekonomi,
bahkan mengancam kelestarian lingkungan dan berkontribusi terhadap pemanasan
global. Maka muncul gagasan seorang GB IPB: Merevolusi revolusi pertanian!
•
Selanjutnya, oleh karena beras
diasumsikan komoditas politik
dan strategis, yang dikonsumsi
hampir seluruh rakyat, maka
dilakukanlah kebijakan harga
beras murah. Akibatnya, petani
mensubsidi pangan murah untuk
penduduk, termasuk beras untuk
lapisan atas yang kaya.
•
Akibat polarisasi pemilikan
tanah, maka hasil panen petani
berlahan sempit ternyata tidak
mampu mencukupi konsumsi
keluarganya, 70% pendapatannya
habis untuk konsumsi pangan,
terutama beras , maka
pemerintah membuat kebijakan
Raskin/ Rastra
•
Namun kebijakan Raskin/ Rastra
ternyata tidak hanya belum
berhasil gagal menghapus
kelaparan, tetapi juga telah
berhasil sukses menggantikan
budaya pangan lokal.
36 33 31 29 26 24 22 20 31 31 31 31 31 31 31 30 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 260 265 270 275 280 285 290 -20 -10 0 10 20 30 40 M il li ons (p eo p le ) M il li on s (t on ) Year
Indonesia: Estimasi penduduk dan beras, 2018-2025
Rice supply Rice demand (ton) Rice surplus/deficit Population_Y_right axis
Pola kebijakan beras nasional terjadi juga di Maluku:
Produktifitas mulai menurun sejak 2015
1,977 2016 2018 2020 2022 2024 2026 1,750 1,800 1,850 1,900 1,950 2,000 -200 -150 -100 -50 0 50 100 150 200 250 2 01 8 2 01 9 2 02 0 2 02 1 2 02 2 2 02 3 2 02 4 2 02 5 Th ou sa n d s (pe op le ) Th ou sa n d s (t on )
Maluku: Penduduk dan pangan, 2018-2025
Rice supply(ton) Rice demand(ton)
Rice deficit Population_Y_right axis
10 20 30 40 50 60 20,000 40,000 60,000 80,000 100,000 120,000 140,000 20 03 20 04 20 05 20 06 20 07 20 08 20 09 20 10 20 11 20 12 20 13 20 14 20 15 20 16 20 17 20 18 20 19
Rice in Maluku: Planting and harvesting area, production and productivity, 2003-2019
Planting area (ha) Harvesting area (ha) Paddy production (ton) Rice production (ton)
Maluku: Areal padi menurut kabupaten, 2018-2019
Harvested area (ha) Production (ton) Productivity (ton/ha) Rice production (ton) Change, 2018-2019 (%)
Districts/ Cities 2018 2019 2018 2019 2018 2019 2018 2019 Harvested area (ha) Production (ton) Productivity
(ton/ha) Rice (ton)
Kep Tanimbar 71 60 194 168 2.74 2.81 108.0 93.6 -15.2 -13.3 2.2 -13.3 Maluku Tenggara 0.3 0.2 0.6 0.3 2.11 1.74 0.33 0.2 -32.1 -44.1 -17.6 -45.5 Maluku Tengah 11729 9429 41658 36389 3.55 3.86 23209 20273 -19.6 -12.6 8.7 -12.6 Buru 14077 12457 61257 47610 4.35 3.82 34128 26525 -11.5 -22.3 -12.2 -22.3 Kep Aru 0 0 0.0 0.0 0 0.00 0 - 0.0 0.0 0.0 0.0 Seram Bagian Barat 1324 1495 5729 4613 4.33 3.09 3192 2570 12.9 -19.5 -28.7 -19.5 Seram Bagian Timur 1850 2536 7388 9474 3.99 3.74 4116 5278 37.0 28.2 -6.4 28.2 Maluku Barat Daya 1 0 2.5 0.4 4.02 1.7 1.4 0.2 -59.7 -82.7 -57.2 -82.7 Buru Selatan 0 0 0.0 0.0 0.00 0.00 0 - 0.0 0.0 0.0 0.0 Ambon 0 0 0.0 0.0 0.00 0.00 0 - 0.0 0.0 0.0 0.0 Tual 0 0 0.0 0.0 0.00 0.00 0 - 0.0 0.0 0.0 0.0 Total 29052 25977 116229 98255 4.00 3.78 64754 54740 -10.6 -15.5 -5.5 -15.5
Sumber: Maluku Province in Figures, 2020; BPS, Survei Kerangka Sampel Area [KSA], Area Sampling Frame [ASF] Survey, p.238-9 Note: Paddy: Kualitas produksi gabah kering giling/ the production is in term of dry unhusked padd
INDONESIA:
KEMISKINAN DI DESA & KOTA
• Oleh karena kebijakan
penduduk, kebijakan pangan bias beras berorientasi produksi ternyata tidak berhasil
menghapus kelaparan, malnutrisi dan stunting
• Maka solusi kelaparan bukanlah membatasi penduduk dan
menggenjot produksi padi/beras melalui intensifikasi dan
ekstensifikasi, tetapi
mengentaskan kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi dan spasial/antar wilayah.
• Jika demikian, solusi mengatasi kelaparan adalah ranah politik ekonomi yakni bagaimana mengantaskan kemiskinan, mengatur hak2, pemilikan dan penguasaan atas tanah,
distribusi pangan lebih adil, dan gaya hidup/ pola konsumsi lapisan kaya yang justru banyak menimbulkan ‘food waste’ yang bahan bakunya dibeli murah dari petani
0
5
10
15
20
25
30
35
40
2
0
1
5
2
0
1
6
2
0
1
7
2
0
1
8
2
0
1
9
2
0
1
5
2
0
1
6
2
0
1
7
20
18
2
0
1
9
2
0
1
5
2
0
1
6
2
0
1
7
20
18
2
0
1
9
Urban
Rural
Urban + Rural
KE
M
ISKI
N
A
N
(
%
)
PAPUA PAPUA BARAT
NUSA TENGGARA TIMUR MALUKU INDONESIA BALI
CONTOH
MALUKU: NILAI KOMODITAS EKSPOR (000 usd)
JANUARI-MEI 2019 DAN 2020
Komoditas/ Pelabuhan
ekspor
Januari-Mei
Perubahan
Kontribusi (%)
2019
2020
∆ (%)
2019
2020
A Pelabuhan Maluku
5,530 29,500
433
49.91
81.63
1 Ikan dan udang
5,530 29,500
433
49.91
81.63
B Pelabuhan luar Maluku
5,551 6,638
20
50.09
18.37
1 Ikan dan udang
1,157 642
-45
10.44
1.78
2 Rempah
46 71
53
0.41
0.20
3 Rumput laut
436 28
-94
3.93
0.08
4 Damar
133 600
349
1.20
1.66
5 Kayu dan produknya
1,355 1,601
18
12.23
4.43
6 Perhiasan/permata
2,167 3,482
61
19.56
9.64
7 Lainnya (buah)
257 214
-17
2.32
0.59
Total
11,081 36,138
226
100
100
Ikan dan udang (A1+B1)
6,687 30,142
351
60
83
MALUKU-kaya sda tapi masih miskin:
tingkat kemiskinan menurut kabupaten/kota (%), 2015-2019
Rank Kabupaten/Kota
2015
2016
2017
2018
2019
1
Maluku Barat Daya
31.58
31.01
30.18
30.2
29.43
2
Maluku Tenggara Barat
29.17
28.31
27.47
28.08
27.25
3
Kepulauan Aru
28.64
28.71
27.13
27.12
26.73
4
Seram Bagian Barat
26.35
26.5
25.49
25.62
25.16
5
Seram Bagian Timur
25.37
24.53
23.59
23.62
23.13
6
Maluku Tenggara
25.23
24.81
23.87
23.27
22.75
7
Kota Tual
24.9
24.74
24
23.42
22.68
8
Maluku Tengah
22.1
21.68
21.2
20.11
20.04
9
Buru
18.47
18.02
17.4
17.03
16.74
10
Buru Selatan
17.58
16.86
16.83
16.31
16.13
11
Kota Ambon
4.38
4.64
4.46
4.72
4.57
MALUKU
19.51
19.18
18.45
18.12
17.69
Ada fenomena perlambatan penurunan kemiskinan. Makin jauh dari pusat kota dan
semakin sedikit jumlah penduduk maka cenderung semakin miskin daerah tersebut
APAKAH PETANI DAN NELAYAN MENIKMATI SDA MALUKU?
KOMODITAS EKSPOR, JAN-MEI 2019 DAN JAN-MEI 2020
•
NILAI EKSPOR MENINGKAT 226% DARI USD 11.1 JUTA MENJADI USD 36.2 JUTA
•
60% S.D 83% NILAI EKSPOR TERSEBUT BERASAL DARI IKAN DAN UDANG
•
EKSPOR VIA PELABUHAN MALUKU NAIK 433%, SEDANGKAN EKSPOR VIA
PELABUHAN LUAR MALUKU NAIK 20%
•
KONTRIBUSI EKSPOR PELABUHAN MALUKU NAIK 32% DIIKUTI PENURUNAN
EKSPOR MELALUI PELABUHAN LUAR MALUKU SEBESAR 33%
•
KOMODITAS RUMPUT LAUT, REMPAH, DAN DAMAR, SERTA BUAH YANG
KONTRIBUSINYA HANYA 2% TERHADAP NILAI EKSPOR MUNGKIN BERKAITAN
LANGSUNG DENGAN PETANI DAN NELAYAN
•
Masalahnya, apakah 98% nilai komoditas ekspor berupa ikan dan udang beku,
kayu dan produknya, perhiasan/mutiara dinikmati petani & nelayan?
INDONESIA: LUAS AREAL SAGU =5.599.637 HA
4
,7
4
9
510
150
60
50
30
20
20
10
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
4500
5000
Pap
u
a
Pap
u
a
Bara
t
Pul
au
la
in
n
ya
M
al
u
k
u
Suma
te
ra
Sul
aw
es
i
K
al
im
ant
an
K
ep
Riau
K
ep
M
ent
aw
ai
Tho
u
sands
Luas (ha)
%
Jika 50% saja lahan sagu di Indonesia menghasilkan 20 ton tepung/ha/tahun maka
dihasilkan= 55 jt ton/tahun sumber karbohidrat untuk 300 juta orang /tahun
Maluku: Luas areal sagu
Sago Forest Location
Sago area (Ha)1 Potential production and economic value of dry sago starch
Current real sago industries capacity (Ha/ year)4
Total current (real)
production5
Islands Districts Ton/ year2 USD million/
year3
Modern Semi-modern Tradi-tional HA/ year USD million / year Seram Island Central Maluku 6,425 50,115 38.55 187.5 208.8 7.5 404 2.4 Western Seram 10,286 80,231 61.72 125.0 167.0 3.8 296 1.8 Eastern Seram 30,645 239,031 183.87 125.0 104.4 30.0 259 1.6
Aru Islands Aru islands 9,762 76,144 58.57 62.5 62.6 3.8 129 0.8
Tanimbar Islands
West Southeast
Maluku 1,130 8,814 6.78 62.5 41.8 3.0 107 0.6
Buru Island Buru 5,457 42,565 32.74 62.5 33.4 3.0 99 0.6
Ambon Island Ambon 255 1,989 1.53 125.0 66.8 2.3 194 1.2
Kei Islands Southeast Maluku 245 1,911 1.47 62.5 41.8 4.5 109 0.7
Total area and production without sago land conversion
(Ha) 64,205 500,799 385.23 812.5 726.5 57.8 1,597 9.6
Total area with 30% of sago
MALUKU:
POTENSI PANGAN LOKAL
•
Jika luas areal sagu di
Maluku= 44 944 ha maka
dengan produktifitas 7,8
ton/ha maka akan
dihasilkan 351 ribu ton
tepung kering/ tahun.
•
Jika konsumsi
karbohidrat = 180
kg/kapita/tahun, maka
sagu lebih dari cukup
untuk memenuhi
karbohidrat 1,85 juta
penduduk Maluku
Potensi pangan Maluku:
•
sagu dan ubi=882%,
•
minyak & lemak
(kelapa)=372%
•
ikan (dan daging)=252%
•
Defisit beras & jagung
882
372
252
87.3
38.4
25.3
8.1
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
1000
U
bi
d
an
sa
gu
Mi
ny
ak
dan
lem
ak
D
ag
ing
d
an
ik
an
Say
ur
dan
bu
ah
B
era
s
da
n
jag
ung
Ka
can
g-ka
can
ga
n
B
um
bu
-b
um
bu
an
K
et
er
se
dia
an
(
%
)
Mengapa kebijakan dan anggaran nasional yang mahal, terfokus menggenjot produksi padi sawah
(beras), bukan sagu dan umbi-umbian, sebagai sumber karbohidrat?
SAGU DALAM SISTEM DUSUNG:
FUNGSI JASALINGKUNGAN & PERTANIAN BERKELANJUTAN
1. Integrasi kawasan
land-scape & sea-land-scape
2. Social capital: Sasi &
Kewang, pemerataan
hasil tanah & laut
3. Good Agriculture
Practices (GAP)
4. Multiple cropping
systems
5. Water security & food
security
6. Mengurangi deforestasi,
erosi, intrusi air laut, dan
abrasi pantai
NILAI JASA LINGKUNGAN TANAMAN SAGU
SA
GO
P
A
LM
-ENVIRONMET
A
L
SER
VICE
RESILIENT TO CLIMATE CHANGE
INTOLERANT TO PEST & DISEASE
LOW EXTERNAL INPUTS
WATER PRESERVATION
SELF-REGENERATION
REDUCE GLOBAL WARMING IMPACT
SUSTAINABLE FOOD SECURITY AND DIGNITY, HELATH, FUNCTIONAL FOOD
Latar belakang historis dan sosio-budaya sagu:
The potential and distribution of
Metroxylon
sagu
(Ellen, Journal of Ethnobotany, Vol.26, No.2, 2006)
The origin of sago palm
Total land area of sago palm: 2.5 million ha
56% in Indonesia
41% in Papua new Guinea
3% in the other countries
Types of Sago palm cultivation and production Sago forest =10 tons/ ha
Sago plantation = 25 ton/ha
The extent of the species of sago
The extent of the genus Metroxylon
sago
The origin of sago palm
62.5 millions tons of sago starch/ year Feed around 520 million people per year
Latar belakang historis tanaman sagu
•
Menurut sejarahnya, sagu merupakan bagian dari budaya dan cerita rakyat
Maluku, sagu bukan tumbuh sendiri, tetapi dibudidaya oleh petani. Setiap kali
pulang berburu dan meramu yang lokasinya jauh dari rumah, petani memanen
dan membawa pati sagu untuk pangan keluarga untuk beberapa minggu/
bulan
•
Ketika makanan habis dan kembali berburu dan meramu ke lokasi yang lebih
jauh, maka petani mengambil dan membawa beberapa bibit sagu dan
menanamnya di tempat yang baru, di tepi aliran sungai.
•
Itulah sebabnya sagu umumnya tumbuh di sepanjang aliran sungai dan
kemudian memperbanyak diri dari satu rumpun menjadi rumpun baru.
•
Dulu, orang tua berkata: ‘belum makan, kalau belum makan papeda’; anak
sekarang berkata: ‘belum makan kalau belum makan nasi/ beras’
•
Begitu pentingnya sagu, sehingga tertulis dalam lagu: ‘sambil mama bakar
sagu’ (bukan masak beras atau pangan lain), ini asli makanan pokok Maluku.
Nilai sosiobudaya sagu
•
Hidup sebagai satu rumpun/ keluarga, rukun bersaudara
(pela-gandong), seperti adek-kakak, sosial dan tidak bisa hidup
sendiri/individualistik, umur, besar dan ukuran berbeda-beda
•
Energi sosial: Berbagai bukan berkompetisi (energi matahari dan
nutrisi) didistribusi sesuai kebutuhan masing2.
•
Nilai dan norma pemerataan: potong dikuku rasa di dada, sagu
salempeng bagi dua! Dimana ada sagu disitu tdk ada kelaparan!
•
Regenerasi kepemimpinan: ‘Gebakusan’, sang pemimpin, siap
memimpin pada masanya dan siap mundur demi pertumbuhan
generasi berikutnya
•
Jika melanggar nilai dan norma maka akan berakibat kerusakan
sistem dan lingkungan. Misal, jika sagu yang paling tua sudah siap
tebang tetapi tidak ditebang, maka menurut petani, pohon tersebut
akan menjadi ‘racun’ bagi tanaman sagu yang lain.
Arsitektur dan nilai sosio-budaya sagu-
Metroxylon
sago
Suckers & inflorescence: Self-regeneration No 5No 1
High starch content = 200 kg/ tree ; ± 1Tree/Capita/Year
Clustering (multi-stem)
7-9 m high and 15-20 cm diameter 10 years to harvest Hepaxanthic flowering (once in a lifetime)INDUSTRI: THE TREE OF SAGO PALM INDUSTRY
SA
GO
T
REE
LEAVESHANDY CRAFTS, BROOM, BASKET FOR SAGO STARCH
ROOF AND WALL FOR HOUSING
STEM CEILING AND WALL OF HOUSE, FENCE
SKIN
CHARCOAL, RAW MATERIAL FOR BASKET HOUSING FLOOR, WALL, CEILING, GOTI –A PLACE TO EXTRACT SAGO STARCH
TRUNK-BODY
PITH WASTE (ELA)
STARCH FOOD INDUSTRIES MIX FLOUR, NOODLE AND BREAD PAPEDA SAGO LOAVES CAKES FEED INDUSTRY BIO-CHEMICAL INDUSTRY BIO-ETHANOL TEXTILES & PARMACEUTICAL DEXTRIN LIQUID SUGAR ALCOHOL AMINO ACID SORBITOL ORGANIC ACID MSG
SINGLE CELL PROTEIN
• COMPOST
• MEDIA FOR PLANTS
• FEED FOR ANIMAL
• INDUSTRY
• CHARCOAL
KAPASITAS & TEKNOLOGI
PENGOOLAHAN USAHA SAGU
PETANI
Modern/Improved
Semi-modern
PROFIL USAHA SAGU
RAKYAT
Uraian
Nilai Rataan
Modal Investasi dan
Modal Kerja (Rp Juta)
181
Tenaga kerja
15
Produksi
(pohon/tahun)
2392
Produksi
(pohon/bulan)
208
Produksi (pohon/hari)
8-10
Produksi pati sagu
(ton/tahun)
450
Harga pati sagu
(Rp/kg)
2250
Nilai penjualan (Rp
Juta/tahun)
1,013
Produktifitas (kg
pati/pohon)
188
Nilai jual pati
(Rp/pohon)
423,063
Harga beli pohon
(Rp/pohon)
100,000
Net BCR
4.7
TEKNOLOGI MAJU/IMPROVED
• Modal awal tergantung dari bantuan pemerintah dan pinjaman bank dengan bungan 16%/tahun
• Menyerap 15 tenaga kerja di desa
• Produktifitas pati per pohon =188 kg mungkin banyak pati terbuang
• Kapasitas produksi : rata-rata 8-10 pohon per hari, atau 208 pohon per bulan Perlu luas 10 ha/bulan jika asumsi 20 pohon siap tebang/ha
Akar Masalah
• Net benefit masih positif dengan Net BCR positif pada tahun awal, tetapi karena kecepatan tebang > kecepatan tumbuh. Jika kecepatan tebang melebihi kecepatan tumbuh yang siap panen maka usaha sagu akan kesulitan bahan baku pada tahun ke-4 dst . Akibatnya usaha terancam tidak berkelanjutan karena tidak mampu memenuhi kebutuhan industri: jumlah, mutu, dan kontinuitas
• Usaha produk tepung basah/ kering, mie dan beras sagu sangat tergantung dari permintaan pasar yang diasumsikan meningkat. Jika pasar macet, maka usaha akan mengalami kesulitan menutupi biaya produksi, dan terancam tidak berkelanjutan
• Masalah lain, usaha sagu yang dibangun pemerintah/ swasta tidak berkelanjutan karena gagal dalam mempersiapkan membangun kelembagaan petani, sehingga petani tidak punya rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap usaha sagu
KAPASITAS OLAH DAN ANALISIS USAHATANI SAGU:
SKALA USAHA TRADISIONAL, SEMI MODERN (SM) & MODERN (M)
Indicators
Sago industry technology by locations
Ambon island Ambon
island Seram island
Avg. MT
Ambon Island
Tradisional SMT SMT SMT Avg. SMT (Waai) MT (Tananahu) MT (Waisamu) MT SMT-Sagu Lempeng MT-Noo dle Investment cost (Rp M) 0.4 8 8.1 7.5 7.9 100 202 111 137.7 4 184 Total cost (Rp M) 14 41 41 42 41.2 606 902 396 634.7 25 78 Total Revenue (Rp M) 16 50 53 60 54 755 945 281 660.3 37 600 Net Benefit1 (Rp M)* 2 9 12 18 12.8 149 43 -114 26.0 11.8 522
Net Benefit2 (Rp M)* n.a n.a n.a n.a n.a 149 65 347 206.0 n.a n.a
Internal Rate of Return (%) n.a 9 13 26 16 40 55.5 80 58.5 28 52.2
B/C ratio 1 1.2 1.3 1.5 1.3 1.25 15.8 13.9 10.3 1.5 7.7
Break Even Point (Year) 0.2 1.5 1.8 1.6 1.5 2 6.1 6.02 4.7 2.2 2.3
No. of cutting sago tree
(Trees/ Year) 30 160 140 200 167 3000 2,500 2000 2500.0 770 1500
Productivity of dry starch
(Kg/Tree) 200 250 300 250 267 240 240 240 226.7 240 200
Production dry sago starch
(Tons/Year) 6 40 42 50 45 360 600 480 480.0 185 300
No of labor absorption 3 4 4 4 4 10 16 15 15.5 3 10
KELOMPOK USAHA TEPUNG SAGU ‘TEKNOLOGI
-
MODERN’
Seleksi
Mot & kupas
Angkut
1.
Split the sago log
by knife or axe
2.
Use semi-automatic
sago starch
technology
3.
Collect sago starch
in permanent Goti
Sago Mill: Modern technology
processing (cont)
STRUKTUR ORGANISASI
KELOMPOK USAHA SAGU
‘TEAMANU INDAH’
DIREKTUR [1 orang] OPERATOR CHAINSAW [2 orang] Karyawan [4 orang] MEKANIK [1 orang] Karyawan [1 orang] OPERATOR PARUT [3 orang] Karyawan [4 orang] SEKRETARIS/ PEMBUKUAN [1 orang] DirekturPerencanaan, pembiayaan, dan pemasaran/ penjualan
Mekanik
Mengontrol peralatan dan jalannya proses produksi (perpanjangan tangan Direktur)
Operator Chainsaw
Survai dan seleksi pohon layak tebang, pemotongan dan pengangkutan
Operator parut
Mengontrol proses pemarutan, standar mutu pati dan mencatat volume produksi Karyawan
Membersihkan, memotong, mengangkut, membuang limbah, mengemas, dll
Struktur organisasi demikian dibentuk dan dipimpin kepala desa, untukmemanfaatkan bantuan pemerintah, dan anggotanya dipilihnya sendiri, sehingga diduga akan menghadapi kendala manajemen dan kelembagaan yang mandiri, dan tidak akan berkelanjutan
TATANIAGA SAGU
•
Keberlanjutan usaha sagu rakyat sangat ditentukan oleh
permintaan pasar dan ketersediaan pasokan bahan baku.
•
Jika bahan baku melimpah tetapi pasar stagnan, atau permintaan
pasar tinggi tetapi bahan baku sudah sulit diperoleh, maka usaha
tidak akan berkelanjutan
•
Pasar usahatani sagu semi-modern/modern adalah pengusaha di
Jawa, sedangkan usaha rumah tangga tergantung dari pasar lokal
dan atau di kawasan Timur Indonesia
•
Kelembagaan petani sagu yang lemah, baik di sisi produksi
maupun pemasaran, diikuti teknologi pengolahan yang belum
berkembang dengan standar nasional, mengakibatkan petani
atau kelompok usaha sagu memperoleh harga dan nilai tambah
rendah
TATANIAGA TEPUNG SAGU
•Status Hutan sagu:
•DATI/NEGERI •Keluarga •Pribadi
PEMILIKAN
SAGU
• KELUARGA/ KELOMPOK • Pati sagu basah • Tepung sagu kering • Produk pangan PENGOLAHSAGU
•
Pedagang antar
desa
•
Pedagang
antar pulau/
wilayah [Papua,
DKI, Cirebon,
Jateng)
PEDAGANG
PERANTARA
•
Industri mie, so
good
•
Toko oleh-oleh
•
Supermarket
INDUSTRIPENGOLAHAN
•
Hotel &
restoran
•
Rumah
makan
•
Rumah
tangga
KONSUMEN
KORPORASI
AGRIBISNIS
SAGU
[KAWASAN]
KOPERASI
AGRIBISNIS
SAGU
[BUMDES]
PRODUK
STANDAR
EKSPOR
PRODUK
STANDAR
NASIONAL
PASAR
EKSPOR
PASAR
DOMESTIK
Penutup:
Peluang dan hambatan pengembangan sagu rakyat
• KEKUATAN
• Tanaman asli Maluku terintegrasi dengan dusung, ikan & rempah
• Potensi = 60000 ha
• Icon budaya Maluku
• Ramah lingkungan • Makanan sehat/ functional food • Adaptif terhadap perubahan iklim • Perda Sagu 10/2011 • PELUANG
• Substitusi tepung impor
• Bahan baku industri pangan
• Basis food security berkelanjutan di masa depan
• Kemajuan teknologi pengolahan industri produk sagu meningkat
• Kebijakan pemerintah pusat dan daerah
• Grand design sagu nasional
• Dukungan Dewan GB-IPB: Pengembangan sago estate/ perkebunan sagu berkelanjutan
• KELEMAHAN
• Masih berupa hutan sagu dgn produktifitas rendah
• Lokasi tersebar & infrastruktur terbatas
• Belum menjadi komoditas prioritas nasional & daerah
• Masa panen lama=10 tahun
• Status pemilikan lahan sagu
• Kapasitas dan skill SDM & kelembagaan petani sagu lemah baik pada sisi on farm maupun off farm
• Pengelolaan lintas sektor/ kementerian/ Dinas lemah
• ANCAMAN
• Punah akibat alih fungsi lahan sagu meningkat
• Konsumsi semakin menurun
• Kalah bersaing dengan tepung impor
• Substitusi oleh Raskin/ Rastra
Leassons learned usahatani sagu rakyat:
Kita berdiri di pihak siapa?
Berbagai faktor kompleks, beragam dan spesifik dalam membangun dan mengembangkan
sagu rakyat, tetapi tiga hal yang mungkin perlu diperhatikan:
•
Usaha tani sagu haruslah berorientasi pasar, paling tidak pasar dalam negeri
•
Usahatani sagu rakyat perlu dipersiapkan agar digerakkan secara simultan oleh
sumberdaya manusia petani [muda, terdidik, dan terampil], petani permanen dan lahan
permanen, didukung kebijakan prioritas komoditi sagu, modal, inovasi, dan teknologi
adaptif
•
Guna memperjelas status kepemilikan dan luas areal sebenarnya, perlu diukur dengan
teknologi yang lebih valid dan akurat, lalu diterapkan one map policy, sehingga melalui
kerjasama lintas lembaga, baik di pusat dan daerah, maka jelaslah batas-batas, zonasi
areal kawasan sagu yang dilindungi hukum adat/ hak ulayat, UU dan peraturan
pemerintah
•
Dukungan infrastruktur dan lembaga riset untuk meng-upgrade teknologi tradisional
yang adaptif untuk menghasilkan produk2 sagu yang inovatif dan kreatif sesuai
permintaan pasar, serta mengoptimalkan fungsi sagu untuk ketahanan pangan,
sosio-budaya dan kelestarian lingkungan
Sagu untuk pengentasan kemiskinan:
Kelembagaan ekonominya mulai dari desa, berskla kecil, dibangun natural berbasis
koperasi dan UMKM, tetapi saling terkait dengan usaha menengah (dan besar)
•
Terakhir, penguatan kelembagaan dan atau korporasi petani, berbasis kedaulauatn
pembangunan GUGUS PULAU kearifan lokal, proaktif, kompetitif, dan mampu bermitra saling
menguatkan dan saling menguntungkan dengan swasta
The Indonesian economy has a dual structural of not only a large gap between the large
and medium scale and the small-scale and cottage firms, but also no closer relation
between them. This is a serious problem for the Indonesia economy. Unless they can
solve this problem, the Indonesian economy development as well as industrialization,
would come to a dead lock, sooner or later (Yokio Kaneko, 1989)
Lessons learned-sambungan
•
Seperti saya singgung di bagian awal bahwa penyebab kelaparan diasumsikan jumlah
penduduk yang banyak dan produksi yang kurang, sehingga kebijakannya adalah membatasi
jumlah penduduk, termasuk di daerah yang tingkat kepadatannya sangat rendah, dan
orientasi pertanian kepada dua hal: komoditi dan teknologi.
•
Bisa dibayangkan bagaimana sebuah kabupaten atau desa yang penduduknya jarang,
kemudian bayangkan bagaimana pembatasan penduduk diikuti kebijakan yang ‘bias kota’
sehingga memicu brain drain dari desa atau daerah miskin, sehingga akan memperparah
kelaparan,kemiskinan dan kesenjangan karena di desa hanya ditinggali petani berpendidikan
rendah, berusia tua, dan bertani subsisten
•
Bayangkan juga jika orientasi pertanian, seperti selama ini, terus berorientasi produksi,
terfokus kepada komoditas Pajale, tetapi jika dievaluasi ternyata kenaikan produksi pun
ternyata tidak menyelesaikan masalah impor bahan pangan, kelaparan, kemiskinan dan
kesenjangan dalam jangka panjang. Kenapa? Sebab dibalik kebijakan pertanian berorientasi
produksi tersebut terfokus kepada komoditi, teknologi, dan kelembagaan/organisasi modern
berskala besar, mahal, tetapi tidak terkait dengan usaha koperasi, dan UMKM yang dikelola
rakyat kecil, dan hanya bisa diakses dan karena itu lebih menguntungkan pemilik modal
besar, baik di hulu, on-farm, maupun hilir sistem agribisnis. Dalam sistem tata niaga
pertanian, keuntungan terbesar ada pada sisi off farm yang tidak dikuasai oleh
petanii,kelompok tani, Gapoktan atau koperasi petani, tetapi dikuasai oleh industri , elit
minoritas atau pedagang dengan skala usaha dan pemilikan/penguasaan modal berskala
besar
MALUKU:
LINGKARAN SETAN PENYEBAB KEMISKINAN
JEBAKAN GEOGRAFIS/ KONEKTIVITAS KULTURAL SKALA EKONOMI USAHA KECIL &TERSEBAR SKILL DAN PRODUKTIFITAS RENDAH PENDAPATAN RENDAH INVESTASI & SAVING RENDAH TEKNOLOGI & INOVASI RENDAH
INTERNAL
EKSTERNAL
Redistribusi penguasaan lahan [dan laut] yang produktif, intensif & produktifitas tinggiLeassons learned-sambungan
•
Oleh karena didalam modernisasi pembangunan kelembagaan pertanian dan pedesaan pun, seperti
pembentukan kelompok tani, gabungan kelompok tani, bahkan koperasi dan Bumdes, lebih banyak
dibangun untuk memanfaatkan bantuan pemerintah, atau dibentuk untuk kepentingan perusahaan
inti berskala besar dan berorientasi ekspor, dan karena desa sudah mengalami brain drain, sehingga
kelembagaan modern tersebut tidak dapat dikelola petani dan nelayan yang ada secara mandiri,
tetapi karena ada bantuan proyek maka menjadi rebutan untuk dikelola oleh desa dan stafnya atau
opportunis yang kurang pengalaman dan tidak profesional. Profesional selalu diartikan dan diakitkan
dengan gaji dan upah besaar untuk kepentingan pribadi, kelompok atau usaha sendiri, bukan layanan
mutu, korbanan, dan karya yang memberi manfaatk kepada orang banyak
•
Akibatnya, proyek tidak berkelanjutan, sebab habis bantuan dan proyek, maka tamatlah riwayat
kelelembagaan yang dibentuk tersebut. Ibarat model penyuluh pertanian latih dan kunjungi atau
training and visit berubah menjadi ‘training and vanish’
. Jika terjadi kegagalan, maka yang disalahkan
adalah pendidikan petani yang rendah,motivasi kerja yang rendah, malas, dan bahkan menyalahkan
budaya lokal. Jadi, petani dan masyarakat desa mungkin hanya menjadi tumbal pembangunan, sebab
mereka berproduksi dengan membeli input mahal tetapi dalam sistem tata niaga, mereka tidak
berdaya menentukan harga jual, bahkan dikendalikan dengan kebijakan harga murah, sehingga
produksi murah petani justru turut memberi makan orang banyak, termasuk orang kaya, dengan
harga pangan murah, lalu siapa yang memberi makan petani dan orang desa lain yang miskin?
Kenapa kemiskinan di desa dua kali lipat daripada di kota, dan mengapa 70% yang miskin itu petani
pangan dan nelayan kecil, maka jawabnya mungkin karena selama ini mereka hanya menjadi obyek
atas nama proyek-proyek pembangan, plasma berlahan sempit untuk perusahaan inti berskala besar,
pemasok produksi kepada pengusaha/pedagang berskala besar dan berorientasi ekspor, tetapi tidak
punya posisi tawar dalam penentuan harga jual.
Lessons learned
•
Model enclave industri yang bentuk organisasinya sangat modern tetapi tidak
terkait secara egaliter dan mensejahterakan masyarakat desa, petani dan nelayan,
dapat saja mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi pertumbuhan yang tidak
berkualitas karena diikuti kesenjangan (growth with inequality). Inilah yang
mungkin terjadi selama ini, kenapa kemiskinan turun, walaupun cenderung
semakin melambat, tetapi angka kesenjangan sosial menurun juga, tetapi lebih
melambat lagi turunnya, walapun produksi, ekspor dan sejumlah program anti
kemiskinan sudah dilaksanakan pemerintah pusat dan daerah.
•
Akibatnya, walaupun produksi dan ekspor sudah meningkat, ternyata tetap saja
tidak menghapus kelaparan, kemiskinan, dan kesenjangan. Lebih parah lagi, usaha
pertanian berorientasi produksi, berskala besar, dan karena itu harus terus
melakukan ekstensifikasi, monokultur, tidak hanya boros dalam penggunaan air
sehingga memperparah dampak perubahan iklim, tetapi juga tidak ramah
lingkungan karena menggunakan dan ketergantungan terhadap input produksi
kimiawi yang semakin tinggi, sehingga cepat atau lambat akan merusak
biodiversitas dan ekosistem. Maka, ujung kebijakan pertanian berorientasi
produksi (ekstensifikasi, pembukaan dan pencetakan lahan baru, alih fungsi lahan
hutan dan sagu) dan ekspor akan menimbulkan bencana alam, banjir, dan longsor,
kelaparan, kemiskinan, dan kesenjangan sosial ekonomi dan spasial.
Lessons learned-sambungan
• Maka, solusi bukan pada produksi karena produksi pangan sesungguhnya akan cukup, tetapi pada pengentasan kemiskinan dan kesenjangan, soal politik ekonomi, dan kemauan dan aksi politik pro-poor.
• Akar masalah kemiskinan dan kesenjangan adalah ketiadaan akses dan hak-hak atas tanah dan air (serta laut), sebab tanah adalah kehidupan bagi petani dan nelayan. Ketika rakyat,khususnya petani dan nelayan tidak berdaulat atas tanah, air, dan laut, maka mereka juga tidak berdaulat lagi atas kehidupannya.
• Prof Sajogyo pernah menggagas ‘8 jalur pemerataan’ untuk solusi kemiskinan yang dimulai dengan re-distribusi aset tanah (dan laut) untuk petani dan nelayan, diikuti membangun iklim untuk ‘kesempatan berusaha dan kesempatan bekerja’. Ini berarti pembangunan dimulai dari desa, seperti gagasannya Dr Chamber: ‘putting the last first’, atau teori tong Liebig yang dikutip Prof Amzu: ‘membangun dari kampung’, bahkan sudah tertulis juga dalam salah satu visi-misinya Presiden Jokowi: ‘membangun Indonesia dari pinggiran’.
• Pertanian berskla besar tidak masalah sejauh organisasinya terkait dengan usaha rumah tangga, koperasi dan UMKM, tata niaganya berkeadilan, mensejahterakan petani dan nelayan, ramah lingkungan dan berkelanjutan. Namun melihat kenyataan selama ini dan kondisi saat ini, tidak hanya terjadi tekanan manusia atas lahan tetapi sudah menghasilkan tekanan manusia atas manusia lain, maka memberdayakan petani dan nelayan kecil mungkin belum terlambat, yakni melakukan redistribusi aset, khususnya lahan pertanian (dalam arti luas), serta diikuti menciptakan kesempatan bekerja dan berusaha, memperbaiki kualitas pendidikan di pedesaan untuk melahirkan SDM petani yang muda, terdidik dan profesional, sebab, seperti Jepang, Taiwan dan thailand, ‘walaupun lahan berskala kecil tetapi jika dikelola intensif dengan produktifitas tinggi, mungkin lebih efisien dan efektif, bahkan lebih ramah lingkungan karena menjaga biodiversitas dan ekosistem (landscape dan sea-scape), khususnya di wilayah kepulauan.
•
Implikasinya, pembangunan dan pengembangan kelembagaan sagu modern, perlu terhindar
dari sekedar orientasi produksi tinggi, tetapi berbasis ekonomi dualistik dan enclave
industry’
yang terfokus kepada kelembagaan modern, teknologi tinggi dan ekspor, yang ujungnya bisa
saja mengekspor sagu ke luar negeri dan dan cukup memberi makan penduduk dunia, tetapi
karena organisasi dan kelembagaannya tidak terkait dengan memberi keuntungan kepada
industri rumah tangga, koperasi dan UMKM, dan hanya dikuasai pemodal besar, maka hal itu
tidak akan menyelesaikan masalah distribusi pangan yang berkeadilan, sebab bisa jadi stok
pangan mencukupi tetapi ditumpuk sebagai stok dalam gudang, lalu dilepas ke pasar dengan
harga mahal, sehingga penduduk miskin tidak mampu membelinya. Akhirnya hal itu tidak
menyelesaikan masalah ketahanan dan kedaulatan pangan, masalah kelaparan, kemiskinan,
dan kesenjangan sosial dalam jangka panjang.
•
Paradigma demikian hanya bisa diakses, dikelola dan menguntungkan elit minoritas, pemilik
modal dan perusahaan besar, tetapi gagal untuk pengentasan kemiskinan dan kesenjangan,
gagal mensejahterakan petani dan nelayan, termasuk menjaga kelestarian sumberdaya alam,
biodiversitas dan ekosistem dalam jangka panjang.
•
Dimana dan dipihak siapa kita berdiri? Menurut teori sistem, kecepatan pembangunan tidak
ditentukan oleh sub-sistem yang sudah maju dan berlari paling cepat, tetapi ditentukan oleh
sub-sistem yang terbelakang, terluar dan tertinggal yang larinya paling lambat. Semoga
Webinar DG IPB ini memulai babak paradigma baru membangun dari pinggiran, dimulai dari
pilot proyek pengembangan sagu secara natural, alamiah, memberdayakan, partisipatif, dari
teknologi yang tradisional dan sederhana, lalu di
‘upgrade’
menuju teknologi adaptif
berkelanjutan, mensejahterakan, dan mengentas kemiskinan.
KELOMPOK USAHA BIOINDUSTTRI SAGU-TEKNOLOGI MODERN
Tepung sagu kering
Beras sagu
Mie sagu
PENCUCIAN/
PENYARINGAN TSB
PRESS TSB
PENJEMURAN TSB
PEMBUATAN TEPUNG SAGU KERING
USAHA PENGOLAHAN SAGU
TEKNOLOGI SEMI-MODERN
1.
Put sago
pith in
Sahane
2.
Squeeze pith
with water
3.
Water flows
through fine
filter
4.
Wet sago
starch will
be gathered
in
Goti
5.
Take and put
starch into
Tumang
Sahane
1. Selection mature sago
tree
2. Clean and cut off by
Axe
3. Crush the pith by
Nani
4. Keep the pith in the
plastic sack
5. Transport sago pith to
the extraction site
Plastic
sack
Iron
ring
Sago
pith
Axe
Nani is a simple triangle
shape tool that is made
from wood (bamboo)
with sharp iron ring at
the edge, to crush sago
pith from the sago
trunk
NANI:
USAHA SAGU
Wet sago starch
1)Washing with clean water
2) Drying on the sun
3) Drying sago starch (white)
4) Packaging drying sago starch
Drying sago starch
(Gluten free)
ANALISIS USAHATANI INDUSTRI PATI SAGU BASAH:
KELOMPOK USAHA TEAMANU INDAH
BENEFIT/BIAYA TAHUN KE- 0 1 2 3 4 5 A Total Benefit 14,000,000 1,068,750,000 956,250,000 873,056,250 797,100,356 727,752,625 1 Nilai penjualan 0 1,068,750,000 956,250,000 873,056,250 797,100,356 727,752,625 2 Hibah 14,000,000 0 0 0 0 0
B Biaya investasi awal 97,300,000 0 0 0 0 0
C Biaya tetap 0 431,436,157 431,436,157 387,828,750 387,828,750 387,828,750 1 Gaji karyawan 360,000,000 360,000,000 360,000,000 360,000,000 360,000,000 2 Penyusutan 12,588,750 12,588,750 12,588,750 12,588,750 12,588,750 3 Listrik 240,000 240,000 240,000 240,000 240,000 4 Biaya umum 15,000,000 15,000,000 15,000,000 15,000,000 15,000,000 5 Kredit bank 43,607,407 43,607,407 - - - a Pinjaman pokok 32,407,407 37,592,593 0 0 0 b Bunga 11,200,000 6,014,815 0 0 0 D Biaya variabel 0 431,004,000 434,034,200 410,034,870 388,828,833 370,163,610 1 Upah kerja, makan, dll 8,400,000 8,568,000 8,739,360 8,914,147 9,092,430 2 Bahan baku sagu 160,160,000 160,160,000 144,144,000 129,729,600 116,756,640
3
Bahan bakar dan penunjang lainnya (karung, tali, kain
sifon dan stainless) 57,244,000 60,106,200 63,111,510 66,267,086 69,580,440 4 Transportasi 127,200,000 127,200,000 116,040,000 105,918,000 96,734,100 a Pembelian bahan baku 31,200,000 31,200,000 29,640,000 28,158,000 26,750,100 b Pemasaran 96,000,000 96,000,000 86,400,000 77,760,000 69,984,000 5 Biaya konsumsi, dll 78,000,000 78,000,000 78,000,000 78,000,000 78,000,000 E Biaya operasional (A+B) 0 862,440,157 865,470,357 797,863,620 776,657,583 757,992,360 F Biaya total 97,300,000 862,440,157 865,470,357 797,863,620 776,657,583 757,992,360 G Net Benefit -83,300,000 206,309,843 90,779,643 75,192,630 20,442,774 -30,239,735
USAHA KELOMPOK-BIOINDUSTRI SAGU: PRODUK TEPUNG KERING, MIE DAN BERAS SAGU
BIOINDUSTRI SAGU Tahun ke-
NO Uraian 0 1 2 3 4 5
A Gross benefit(TR) 81,300,000 89,430,000 98,373,000 108,210,300 119,031,330
1 Penjualan pati sagu 81,300,000 89,430,000 98,373,000 108,210,300 119,031,330
Tepung sagu 35,130,000 38,643,000 42,507,300 46,758,030 51,433,833 Mie sagu 27,090,000 29,799,000 32,778,900 36,056,790 39,662,469 Beras sagu 19,080,000 20,988,000 23,086,800 25,395,480 27,935,028 B Total biaya (TC) 174,081,250 69,437,832 70,530,469 71,644,958 72,781,737 73,941,252 1 Biaya I+MK 174,081,250 0 0 0 0 0 2 Biaya operasional 0 69,437,832 70,530,469 71,644,958 72,781,737 73,941,252 a Biaya tetap 0 14,806,000 14,806,000 14,806,000 14,806,000 14,806,000 b Biaya variabel 0 54,631,832 55,724,469 56,838,958 57,975,737 59,135,252 C Net Benefit (NB) (174,081,250) 11,862,168 18,899,531 26,728,042 35,428,563 45,090,078
USAHA RUMAH TANGGA: PRODUK SAGU LEMPENG
TAHUN KE-
NO Uraian 0 1 2 3 4 5
A Gross benefit 0 22,200,000 22,755,000 23,323,875 23,906,972 24,504,646
1 Penjualan pati sagu 0 22,200,000 22,755,000 23,323,875 23,906,972 24,504,646
B Total biaya (TC) 7,026,000 19,596,500 20,300,500 21,032,660 21,794,106 22,586,011
1 Biaya I+MK 7,026,000 0 0 0 0 0
2 Biaya tetap - 1,996,500 1,996,500 1,996,500 1,996,500 1,996,500
3 Biaya variabel - 17,600,000 18,304,000 19,036,160 19,797,606 20,589,511
C Net Benefit (NB) (7,026,000) 2,603,500 2,454,500 2,291,215 2,112,865 1,918,636
USAHA KELOMPOK: PRODUK TEPUNG SAGU KERING
TAHUN KE-
NO Uraian 0 1 2 3 4 5
A Gross benefit 0 171,600,000 176,748,000 182,050,440 187,511,953 193,137,312
1 Penjualan pati sagu 0 171,600,000 176,748,000 182,050,440 187,511,953 193,137,312
2 Subsidi pemerintah 0 B Total biaya (TC) 134,293,500 152,401,500 153,051,420 153,704,590 154,361,025 155,020,743 1 Biaya I+MK 134,293,500 0 0 0 0 0 2 Biaya operasional 0 152,401,500 153,051,420 153,704,590 154,361,025 155,020,743 a Biaya tetap 22,417,500 22,417,500 22,417,500 22,417,500 22,417,500 b Biaya variabel 129,984,000 130,633,920 131,287,090 131,943,525 132,603,243 C Net Benefit (NB) (134,293,500) 19,198,500 23,696,580 28,345,850 33,150,928 38,116,569