• Tidak ada hasil yang ditemukan

USAHATANI & TATANIAGA TEPUNG SAGU: LESSONS LEARNED DARI MALUKU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "USAHATANI & TATANIAGA TEPUNG SAGU: LESSONS LEARNED DARI MALUKU"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

TEMA

KELEMBAGAAN PENGEMBANGAN INDUSTRI SAGU MODERN

Dr. Ir. Wardis GIRSANG, MSi

Fakultas Pertanian UNIVERSITAS PATTIMURA AMBON

USAHATANI & TATANIAGA TEPUNG SAGU:

LESSONS LEARNED DARI MALUKU

(2)

Materi presentasi

Pendahuluan

Luas areal lahan sagu

Sagu dalam sistem Dusung: Jasa lingkungan & sosio-budaya

Skala dan kapasitas pengolahan usaha sagu rakyat

(3)

PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN KOPERASI [KORPORASI]

PETANI SAGU BERBASIS GUGUS PULAU

(4)

Masalah pangan dan penduduk sudah diperdebatkan sejak lama, bahwa penduduk

yang banyak akan membutuhkan pangan lebih banyak.

Oleh karena pertumbuhan penduduk lebih cepat daripada pangan, maka jumlah

penduduk yang banyak dianggap menjadi penyebab kelaparan.

Maka mengatasi kelaparan adalah membatasi jumlah penduduk dan

meningkatkan produksi pangan

(5)

The rate of population increase

exceeds

the rate of increase

in food production ( Dr.Norman Borlaug)

Sumber: United Nations, The Danforth Center, USDA

Tahun Penduduk (miliar Jiwa) Waktu (thn) 1805 1 804 1927 2 123 1960 3 33 1974 4 14 Tahun Penduduk (miliar Jiwa) Waktu (thn) 1987 5 13 1999 6 12 2012 7 13 2026 8 14 2045 9 19

Kecepatan pertambahan penduduk

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 0 0 0 1 5 0 0 1 7 5 0 1 8 0 5 1 8 0 5 1 9 0 0 1 9 2 7 1 9 5 0 19 60 1 9 7 4 1 9 8 7 1 9 9 9 2 0 1 2 2 0 2 0 2 0 2 6 2 0 4 5 2 0 5 0

Perkembangan penduduk dunia (Miliar jiwa)

Population (in Billion) Expon. (Population (in Billion))

Green Revolution 1940-1970 Biotechnology 1981 Present day 2020 Breeding 1866

(6)

Terpengaruh teori penyebab lapar adalah jumlah penduduk, maka sejak lama

kebijakan pangan nasional hanya berfokus pada dua hal: KOMODITI & TEKNOLOGI,

tetapi mengabaikan MANUSIA PETANI.

Teknologi dan komoditi tersebut cenderung ‘bias padi sawah/beras’ [jagung dan

kedelai], berorientasi produksi dan teknologi modern, berpihak pada usaha

berskala besar, mengabaikan teknologi, komoditi dan kearifan lokal berskala kecil.

Di satu sisi, kebijakan ini [komoditi dan teknologi] memang telah meningkatkan

produksi beras nasional, bahkan swasembada beras tahun 1984, tetapi disisi lain,

produksi ternyata tidak berkelanjutan, menciptakan ketergantungan petani kepada

[perusahaan pemasok] input produksi kimia dan Alsintan modern, dan sampai saat

ini ternyata belum berhasil mensejahterakan keluarga petani.

Modernisasi pertanian ternyata juga diikuti alih fungsi lahan pertanian menjadi

non-pertanian [lahan sawah menjadi lokasi industri, lahan sagu menjadi lahan sawah

atau perkebunan], polarisasi pemilikan tanah dan kesenjangan sosial ekonomi,

bahkan mengancam kelestarian lingkungan dan berkontribusi terhadap pemanasan

global. Maka muncul gagasan seorang GB IPB: Merevolusi revolusi pertanian!

(7)

Selanjutnya, oleh karena beras

diasumsikan komoditas politik

dan strategis, yang dikonsumsi

hampir seluruh rakyat, maka

dilakukanlah kebijakan harga

beras murah. Akibatnya, petani

mensubsidi pangan murah untuk

penduduk, termasuk beras untuk

lapisan atas yang kaya.

Akibat polarisasi pemilikan

tanah, maka hasil panen petani

berlahan sempit ternyata tidak

mampu mencukupi konsumsi

keluarganya, 70% pendapatannya

habis untuk konsumsi pangan,

terutama beras , maka

pemerintah membuat kebijakan

Raskin/ Rastra

Namun kebijakan Raskin/ Rastra

ternyata tidak hanya belum

berhasil gagal menghapus

kelaparan, tetapi juga telah

berhasil sukses menggantikan

budaya pangan lokal.

36 33 31 29 26 24 22 20 31 31 31 31 31 31 31 30 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 260 265 270 275 280 285 290 -20 -10 0 10 20 30 40 M il li ons (p eo p le ) M il li on s (t on ) Year

Indonesia: Estimasi penduduk dan beras, 2018-2025

Rice supply Rice demand (ton) Rice surplus/deficit Population_Y_right axis

(8)

Pola kebijakan beras nasional terjadi juga di Maluku:

Produktifitas mulai menurun sejak 2015

1,977 2016 2018 2020 2022 2024 2026 1,750 1,800 1,850 1,900 1,950 2,000 -200 -150 -100 -50 0 50 100 150 200 250 2 01 8 2 01 9 2 02 0 2 02 1 2 02 2 2 02 3 2 02 4 2 02 5 Th ou sa n d s (pe op le ) Th ou sa n d s (t on )

Maluku: Penduduk dan pangan, 2018-2025

Rice supply(ton) Rice demand(ton)

Rice deficit Population_Y_right axis

10 20 30 40 50 60 20,000 40,000 60,000 80,000 100,000 120,000 140,000 20 03 20 04 20 05 20 06 20 07 20 08 20 09 20 10 20 11 20 12 20 13 20 14 20 15 20 16 20 17 20 18 20 19

Rice in Maluku: Planting and harvesting area, production and productivity, 2003-2019

Planting area (ha) Harvesting area (ha) Paddy production (ton) Rice production (ton)

(9)

Maluku: Areal padi menurut kabupaten, 2018-2019

Harvested area (ha) Production (ton) Productivity (ton/ha) Rice production (ton) Change, 2018-2019 (%)

Districts/ Cities 2018 2019 2018 2019 2018 2019 2018 2019 Harvested area (ha) Production (ton) Productivity

(ton/ha) Rice (ton)

Kep Tanimbar 71 60 194 168 2.74 2.81 108.0 93.6 -15.2 -13.3 2.2 -13.3 Maluku Tenggara 0.3 0.2 0.6 0.3 2.11 1.74 0.33 0.2 -32.1 -44.1 -17.6 -45.5 Maluku Tengah 11729 9429 41658 36389 3.55 3.86 23209 20273 -19.6 -12.6 8.7 -12.6 Buru 14077 12457 61257 47610 4.35 3.82 34128 26525 -11.5 -22.3 -12.2 -22.3 Kep Aru 0 0 0.0 0.0 0 0.00 0 - 0.0 0.0 0.0 0.0 Seram Bagian Barat 1324 1495 5729 4613 4.33 3.09 3192 2570 12.9 -19.5 -28.7 -19.5 Seram Bagian Timur 1850 2536 7388 9474 3.99 3.74 4116 5278 37.0 28.2 -6.4 28.2 Maluku Barat Daya 1 0 2.5 0.4 4.02 1.7 1.4 0.2 -59.7 -82.7 -57.2 -82.7 Buru Selatan 0 0 0.0 0.0 0.00 0.00 0 - 0.0 0.0 0.0 0.0 Ambon 0 0 0.0 0.0 0.00 0.00 0 - 0.0 0.0 0.0 0.0 Tual 0 0 0.0 0.0 0.00 0.00 0 - 0.0 0.0 0.0 0.0 Total 29052 25977 116229 98255 4.00 3.78 64754 54740 -10.6 -15.5 -5.5 -15.5

Sumber: Maluku Province in Figures, 2020; BPS, Survei Kerangka Sampel Area [KSA], Area Sampling Frame [ASF] Survey, p.238-9 Note: Paddy: Kualitas produksi gabah kering giling/ the production is in term of dry unhusked padd

(10)

INDONESIA:

KEMISKINAN DI DESA & KOTA

Oleh karena kebijakan

penduduk, kebijakan pangan bias beras berorientasi produksi ternyata tidak berhasil

menghapus kelaparan, malnutrisi dan stunting

Maka solusi kelaparan bukanlah membatasi penduduk dan

menggenjot produksi padi/beras melalui intensifikasi dan

ekstensifikasi, tetapi

mengentaskan kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi dan spasial/antar wilayah.

Jika demikian, solusi mengatasi kelaparan adalah ranah politik ekonomi yakni bagaimana mengantaskan kemiskinan, mengatur hak2, pemilikan dan penguasaan atas tanah,

distribusi pangan lebih adil, dan gaya hidup/ pola konsumsi lapisan kaya yang justru banyak menimbulkan ‘food waste’ yang bahan bakunya dibeli murah dari petani

0

5

10

15

20

25

30

35

40

2

0

1

5

2

0

1

6

2

0

1

7

2

0

1

8

2

0

1

9

2

0

1

5

2

0

1

6

2

0

1

7

20

18

2

0

1

9

2

0

1

5

2

0

1

6

2

0

1

7

20

18

2

0

1

9

Urban

Rural

Urban + Rural

KE

M

ISKI

N

A

N

(

%

)

PAPUA PAPUA BARAT

NUSA TENGGARA TIMUR MALUKU INDONESIA BALI

(11)

CONTOH

MALUKU: NILAI KOMODITAS EKSPOR (000 usd)

JANUARI-MEI 2019 DAN 2020

Komoditas/ Pelabuhan

ekspor

Januari-Mei

Perubahan

Kontribusi (%)

2019

2020

∆ (%)

2019

2020

A Pelabuhan Maluku

5,530 29,500

433

49.91

81.63

1 Ikan dan udang

5,530 29,500

433

49.91

81.63

B Pelabuhan luar Maluku

5,551 6,638

20

50.09

18.37

1 Ikan dan udang

1,157 642

-45

10.44

1.78

2 Rempah

46 71

53

0.41

0.20

3 Rumput laut

436 28

-94

3.93

0.08

4 Damar

133 600

349

1.20

1.66

5 Kayu dan produknya

1,355 1,601

18

12.23

4.43

6 Perhiasan/permata

2,167 3,482

61

19.56

9.64

7 Lainnya (buah)

257 214

-17

2.32

0.59

Total

11,081 36,138

226

100

100

Ikan dan udang (A1+B1)

6,687 30,142

351

60

83

(12)

MALUKU-kaya sda tapi masih miskin:

tingkat kemiskinan menurut kabupaten/kota (%), 2015-2019

Rank Kabupaten/Kota

2015

2016

2017

2018

2019

1

Maluku Barat Daya

31.58

31.01

30.18

30.2

29.43

2

Maluku Tenggara Barat

29.17

28.31

27.47

28.08

27.25

3

Kepulauan Aru

28.64

28.71

27.13

27.12

26.73

4

Seram Bagian Barat

26.35

26.5

25.49

25.62

25.16

5

Seram Bagian Timur

25.37

24.53

23.59

23.62

23.13

6

Maluku Tenggara

25.23

24.81

23.87

23.27

22.75

7

Kota Tual

24.9

24.74

24

23.42

22.68

8

Maluku Tengah

22.1

21.68

21.2

20.11

20.04

9

Buru

18.47

18.02

17.4

17.03

16.74

10

Buru Selatan

17.58

16.86

16.83

16.31

16.13

11

Kota Ambon

4.38

4.64

4.46

4.72

4.57

MALUKU

19.51

19.18

18.45

18.12

17.69

Ada fenomena perlambatan penurunan kemiskinan. Makin jauh dari pusat kota dan

semakin sedikit jumlah penduduk maka cenderung semakin miskin daerah tersebut

(13)

APAKAH PETANI DAN NELAYAN MENIKMATI SDA MALUKU?

KOMODITAS EKSPOR, JAN-MEI 2019 DAN JAN-MEI 2020

NILAI EKSPOR MENINGKAT 226% DARI USD 11.1 JUTA MENJADI USD 36.2 JUTA

60% S.D 83% NILAI EKSPOR TERSEBUT BERASAL DARI IKAN DAN UDANG

EKSPOR VIA PELABUHAN MALUKU NAIK 433%, SEDANGKAN EKSPOR VIA

PELABUHAN LUAR MALUKU NAIK 20%

KONTRIBUSI EKSPOR PELABUHAN MALUKU NAIK 32% DIIKUTI PENURUNAN

EKSPOR MELALUI PELABUHAN LUAR MALUKU SEBESAR 33%

KOMODITAS RUMPUT LAUT, REMPAH, DAN DAMAR, SERTA BUAH YANG

KONTRIBUSINYA HANYA 2% TERHADAP NILAI EKSPOR MUNGKIN BERKAITAN

LANGSUNG DENGAN PETANI DAN NELAYAN

Masalahnya, apakah 98% nilai komoditas ekspor berupa ikan dan udang beku,

kayu dan produknya, perhiasan/mutiara dinikmati petani & nelayan?

(14)

INDONESIA: LUAS AREAL SAGU =5.599.637 HA

4

,7

4

9

510

150

60

50

30

20

20

10

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

4000

4500

5000

Pap

u

a

Pap

u

a

Bara

t

Pul

au

la

in

n

ya

M

al

u

k

u

Suma

te

ra

Sul

aw

es

i

K

al

im

ant

an

K

ep

Riau

K

ep

M

ent

aw

ai

Tho

u

sands

Luas (ha)

%

Jika 50% saja lahan sagu di Indonesia menghasilkan 20 ton tepung/ha/tahun maka

dihasilkan= 55 jt ton/tahun  sumber karbohidrat untuk 300 juta orang /tahun

(15)

Maluku: Luas areal sagu

Sago Forest Location

Sago area (Ha)1 Potential production and economic value of dry sago starch

Current real sago industries capacity (Ha/ year)4

Total current (real)

production5

Islands Districts Ton/ year2 USD million/

year3

Modern Semi-modern Tradi-tional HA/ year USD million / year Seram Island Central Maluku 6,425 50,115 38.55 187.5 208.8 7.5 404 2.4 Western Seram 10,286 80,231 61.72 125.0 167.0 3.8 296 1.8 Eastern Seram 30,645 239,031 183.87 125.0 104.4 30.0 259 1.6

Aru Islands Aru islands 9,762 76,144 58.57 62.5 62.6 3.8 129 0.8

Tanimbar Islands

West Southeast

Maluku 1,130 8,814 6.78 62.5 41.8 3.0 107 0.6

Buru Island Buru 5,457 42,565 32.74 62.5 33.4 3.0 99 0.6

Ambon Island Ambon 255 1,989 1.53 125.0 66.8 2.3 194 1.2

Kei Islands Southeast Maluku 245 1,911 1.47 62.5 41.8 4.5 109 0.7

Total area and production without sago land conversion

(Ha) 64,205 500,799 385.23 812.5 726.5 57.8 1,597 9.6

Total area with 30% of sago

(16)

MALUKU:

POTENSI PANGAN LOKAL

Jika luas areal sagu di

Maluku= 44 944 ha maka

dengan produktifitas 7,8

ton/ha maka akan

dihasilkan 351 ribu ton

tepung kering/ tahun.

Jika konsumsi

karbohidrat = 180

kg/kapita/tahun, maka

sagu lebih dari cukup

untuk memenuhi

karbohidrat 1,85 juta

penduduk Maluku

Potensi pangan Maluku:

sagu dan ubi=882%,

minyak & lemak

(kelapa)=372%

ikan (dan daging)=252%

Defisit beras & jagung

882

372

252

87.3

38.4

25.3

8.1

0

100

200

300

400

500

600

700

800

900

1000

U

bi

d

an

sa

gu

Mi

ny

ak

dan

lem

ak

D

ag

ing

d

an

ik

an

Say

ur

dan

bu

ah

B

era

s

da

n

jag

ung

Ka

can

g-ka

can

ga

n

B

um

bu

-b

um

bu

an

K

et

er

se

dia

an

(

%

)

Mengapa kebijakan dan anggaran nasional yang mahal, terfokus menggenjot produksi padi sawah

(beras), bukan sagu dan umbi-umbian, sebagai sumber karbohidrat?

(17)

SAGU DALAM SISTEM DUSUNG:

FUNGSI JASALINGKUNGAN & PERTANIAN BERKELANJUTAN

1. Integrasi kawasan

land-scape & sea-land-scape

2. Social capital: Sasi &

Kewang, pemerataan

hasil tanah & laut

3. Good Agriculture

Practices (GAP)

4. Multiple cropping

systems

5. Water security & food

security

6. Mengurangi deforestasi,

erosi, intrusi air laut, dan

abrasi pantai

(18)
(19)

NILAI JASA LINGKUNGAN TANAMAN SAGU

SA

GO

P

A

LM

-ENVIRONMET

A

L

SER

VICE

RESILIENT TO CLIMATE CHANGE

INTOLERANT TO PEST & DISEASE

LOW EXTERNAL INPUTS

WATER PRESERVATION

SELF-REGENERATION

REDUCE GLOBAL WARMING IMPACT

SUSTAINABLE FOOD SECURITY AND DIGNITY, HELATH, FUNCTIONAL FOOD

(20)

Latar belakang historis dan sosio-budaya sagu:

The potential and distribution of

Metroxylon

sagu

(Ellen, Journal of Ethnobotany, Vol.26, No.2, 2006)

The origin of sago palm

Total land area of sago palm: 2.5 million ha

56% in Indonesia

41% in Papua new Guinea

3% in the other countries

Types of Sago palm cultivation and production Sago forest =10 tons/ ha

Sago plantation = 25 ton/ha

The extent of the species of sago

The extent of the genus Metroxylon

sago

The origin of sago palm

62.5 millions tons of sago starch/ year Feed around 520 million people per year

(21)

Latar belakang historis tanaman sagu

Menurut sejarahnya, sagu merupakan bagian dari budaya dan cerita rakyat

Maluku, sagu bukan tumbuh sendiri, tetapi dibudidaya oleh petani. Setiap kali

pulang berburu dan meramu yang lokasinya jauh dari rumah, petani memanen

dan membawa pati sagu untuk pangan keluarga untuk beberapa minggu/

bulan

Ketika makanan habis dan kembali berburu dan meramu ke lokasi yang lebih

jauh, maka petani mengambil dan membawa beberapa bibit sagu dan

menanamnya di tempat yang baru, di tepi aliran sungai.

Itulah sebabnya sagu umumnya tumbuh di sepanjang aliran sungai dan

kemudian memperbanyak diri dari satu rumpun menjadi rumpun baru.

Dulu, orang tua berkata: ‘belum makan, kalau belum makan papeda’; anak

sekarang berkata: ‘belum makan kalau belum makan nasi/ beras’

Begitu pentingnya sagu, sehingga tertulis dalam lagu: ‘sambil mama bakar

sagu’ (bukan masak beras atau pangan lain), ini asli makanan pokok Maluku.

(22)

Nilai sosiobudaya sagu

Hidup sebagai satu rumpun/ keluarga, rukun bersaudara

(pela-gandong), seperti adek-kakak, sosial dan tidak bisa hidup

sendiri/individualistik, umur, besar dan ukuran berbeda-beda

Energi sosial: Berbagai bukan berkompetisi (energi matahari dan

nutrisi) didistribusi sesuai kebutuhan masing2.

Nilai dan norma pemerataan: potong dikuku rasa di dada, sagu

salempeng bagi dua! Dimana ada sagu disitu tdk ada kelaparan!

Regenerasi kepemimpinan: ‘Gebakusan’, sang pemimpin, siap

memimpin pada masanya dan siap mundur demi pertumbuhan

generasi berikutnya

Jika melanggar nilai dan norma maka akan berakibat kerusakan

sistem dan lingkungan. Misal, jika sagu yang paling tua sudah siap

tebang tetapi tidak ditebang, maka menurut petani, pohon tersebut

akan menjadi ‘racun’ bagi tanaman sagu yang lain.

(23)

Arsitektur dan nilai sosio-budaya sagu-

Metroxylon

sago

Suckers & inflorescence: Self-regeneration No 5No 1

High starch content = 200 kg/ tree ; ± 1Tree/Capita/Year

Clustering (multi-stem)

7-9 m high and 15-20 cm diameter 10 years to harvest Hepaxanthic flowering (once in a lifetime)

(24)

INDUSTRI: THE TREE OF SAGO PALM INDUSTRY

SA

GO

T

REE

LEAVES

HANDY CRAFTS, BROOM, BASKET FOR SAGO STARCH

ROOF AND WALL FOR HOUSING

STEM CEILING AND WALL OF HOUSE, FENCE

SKIN

CHARCOAL, RAW MATERIAL FOR BASKET HOUSING FLOOR, WALL, CEILING, GOTI –A PLACE TO EXTRACT SAGO STARCH

TRUNK-BODY

PITH WASTE (ELA)

STARCH FOOD INDUSTRIES MIX FLOUR, NOODLE AND BREAD PAPEDA SAGO LOAVES CAKES FEED INDUSTRY BIO-CHEMICAL INDUSTRY BIO-ETHANOL TEXTILES & PARMACEUTICAL DEXTRIN LIQUID SUGAR ALCOHOL AMINO ACID SORBITOL ORGANIC ACID MSG

SINGLE CELL PROTEIN

COMPOST

MEDIA FOR PLANTS

FEED FOR ANIMAL

INDUSTRY

CHARCOAL

(25)

KAPASITAS & TEKNOLOGI

PENGOOLAHAN USAHA SAGU

PETANI

Modern/Improved

Semi-modern

(26)

PROFIL USAHA SAGU

RAKYAT

Uraian

Nilai Rataan

Modal Investasi dan

Modal Kerja (Rp Juta)

181

Tenaga kerja

15

Produksi

(pohon/tahun)

2392

Produksi

(pohon/bulan)

208

Produksi (pohon/hari)

8-10

Produksi pati sagu

(ton/tahun)

450

Harga pati sagu

(Rp/kg)

2250

Nilai penjualan (Rp

Juta/tahun)

1,013

Produktifitas (kg

pati/pohon)

188

Nilai jual pati

(Rp/pohon)

423,063

Harga beli pohon

(Rp/pohon)

100,000

Net BCR

4.7

TEKNOLOGI MAJU/IMPROVED

• Modal awal tergantung dari bantuan pemerintah dan pinjaman bank dengan bungan 16%/tahun

• Menyerap 15 tenaga kerja di desa

• Produktifitas pati per pohon =188 kg  mungkin banyak pati terbuang

• Kapasitas produksi : rata-rata 8-10 pohon per hari, atau 208 pohon per bulan  Perlu luas 10 ha/bulan jika asumsi 20 pohon siap tebang/ha

Akar Masalah

• Net benefit masih positif dengan Net BCR positif pada tahun awal, tetapi karena kecepatan tebang > kecepatan tumbuh. Jika kecepatan tebang melebihi kecepatan tumbuh yang siap panen maka usaha sagu akan kesulitan bahan baku pada tahun ke-4 dst . Akibatnya usaha terancam tidak berkelanjutan karena tidak mampu memenuhi kebutuhan industri: jumlah, mutu, dan kontinuitas

• Usaha produk tepung basah/ kering, mie dan beras sagu sangat tergantung dari permintaan pasar yang diasumsikan meningkat. Jika pasar macet, maka usaha akan mengalami kesulitan menutupi biaya produksi, dan terancam tidak berkelanjutan

• Masalah lain, usaha sagu yang dibangun pemerintah/ swasta tidak berkelanjutan karena gagal dalam mempersiapkan membangun kelembagaan petani, sehingga petani tidak punya rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap usaha sagu

(27)

KAPASITAS OLAH DAN ANALISIS USAHATANI SAGU:

SKALA USAHA TRADISIONAL, SEMI MODERN (SM) & MODERN (M)

Indicators

Sago industry technology by locations

Ambon island Ambon

island Seram island

Avg. MT

Ambon Island

Tradisional SMT SMT SMT Avg. SMT (Waai) MT (Tananahu) MT (Waisamu) MT SMT-Sagu Lempeng MT-Noo dle Investment cost (Rp M) 0.4 8 8.1 7.5 7.9 100 202 111 137.7 4 184 Total cost (Rp M) 14 41 41 42 41.2 606 902 396 634.7 25 78 Total Revenue (Rp M) 16 50 53 60 54 755 945 281 660.3 37 600 Net Benefit1 (Rp M)* 2 9 12 18 12.8 149 43 -114 26.0 11.8 522

Net Benefit2 (Rp M)* n.a n.a n.a n.a n.a 149 65 347 206.0 n.a n.a

Internal Rate of Return (%) n.a 9 13 26 16 40 55.5 80 58.5 28 52.2

B/C ratio 1 1.2 1.3 1.5 1.3 1.25 15.8 13.9 10.3 1.5 7.7

Break Even Point (Year) 0.2 1.5 1.8 1.6 1.5 2 6.1 6.02 4.7 2.2 2.3

No. of cutting sago tree

(Trees/ Year) 30 160 140 200 167 3000 2,500 2000 2500.0 770 1500

Productivity of dry starch

(Kg/Tree) 200 250 300 250 267 240 240 240 226.7 240 200

Production dry sago starch

(Tons/Year) 6 40 42 50 45 360 600 480 480.0 185 300

No of labor absorption 3 4 4 4 4 10 16 15 15.5 3 10

(28)

KELOMPOK USAHA TEPUNG SAGU ‘TEKNOLOGI

-

MODERN’

Seleksi

Mot & kupas

Angkut

(29)

1.

Split the sago log

by knife or axe

2.

Use semi-automatic

sago starch

technology

3.

Collect sago starch

in permanent Goti

Sago Mill: Modern technology

processing (cont)

(30)

STRUKTUR ORGANISASI

KELOMPOK USAHA SAGU

‘TEAMANU INDAH’

DIREKTUR [1 orang] OPERATOR CHAINSAW [2 orang] Karyawan [4 orang] MEKANIK [1 orang] Karyawan [1 orang] OPERATOR PARUT [3 orang] Karyawan [4 orang] SEKRETARIS/ PEMBUKUAN [1 orang] Direktur

Perencanaan, pembiayaan, dan pemasaran/ penjualan

Mekanik

Mengontrol peralatan dan jalannya proses produksi (perpanjangan tangan Direktur)

Operator Chainsaw

Survai dan seleksi pohon layak tebang, pemotongan dan pengangkutan

Operator parut

Mengontrol proses pemarutan, standar mutu pati dan mencatat volume produksi Karyawan

Membersihkan, memotong, mengangkut, membuang limbah, mengemas, dll

Struktur organisasi demikian dibentuk dan dipimpin kepala desa, untukmemanfaatkan bantuan pemerintah, dan anggotanya dipilihnya sendiri, sehingga diduga akan menghadapi kendala manajemen dan kelembagaan yang mandiri, dan tidak akan berkelanjutan

(31)

TATANIAGA SAGU

Keberlanjutan usaha sagu rakyat sangat ditentukan oleh

permintaan pasar dan ketersediaan pasokan bahan baku.

Jika bahan baku melimpah tetapi pasar stagnan, atau permintaan

pasar tinggi tetapi bahan baku sudah sulit diperoleh, maka usaha

tidak akan berkelanjutan

Pasar usahatani sagu semi-modern/modern adalah pengusaha di

Jawa, sedangkan usaha rumah tangga tergantung dari pasar lokal

dan atau di kawasan Timur Indonesia

Kelembagaan petani sagu yang lemah, baik di sisi produksi

maupun pemasaran, diikuti teknologi pengolahan yang belum

berkembang dengan standar nasional, mengakibatkan petani

atau kelompok usaha sagu memperoleh harga dan nilai tambah

rendah

(32)

TATANIAGA TEPUNG SAGU

•Status Hutan sagu:

•DATI/NEGERI •Keluarga •Pribadi

PEMILIKAN

SAGU

KELUARGA/ KELOMPOK Pati sagu basah Tepung sagu kering Produk pangan PENGOLAH

SAGU

Pedagang antar

desa

Pedagang

antar pulau/

wilayah [Papua,

DKI, Cirebon,

Jateng)

PEDAGANG

PERANTARA

Industri mie, so

good

Toko oleh-oleh

Supermarket

INDUSTRI

PENGOLAHAN

Hotel &

restoran

Rumah

makan

Rumah

tangga

KONSUMEN

KORPORASI

AGRIBISNIS

SAGU

[KAWASAN]

KOPERASI

AGRIBISNIS

SAGU

[BUMDES]

PRODUK

STANDAR

EKSPOR

PRODUK

STANDAR

NASIONAL

PASAR

EKSPOR

PASAR

DOMESTIK

(33)

Penutup:

Peluang dan hambatan pengembangan sagu rakyat

• KEKUATAN

• Tanaman asli Maluku terintegrasi dengan dusung, ikan & rempah

• Potensi = 60000 ha

• Icon budaya Maluku

• Ramah lingkungan • Makanan sehat/ functional food • Adaptif terhadap perubahan iklim • Perda Sagu 10/2011 • PELUANG

• Substitusi tepung impor

• Bahan baku industri pangan

• Basis food security berkelanjutan di masa depan

• Kemajuan teknologi pengolahan industri produk sagu meningkat

• Kebijakan pemerintah pusat dan daerah

• Grand design sagu nasional

• Dukungan Dewan GB-IPB: Pengembangan sago estate/ perkebunan sagu berkelanjutan

• KELEMAHAN

• Masih berupa hutan sagu dgn produktifitas rendah

• Lokasi tersebar & infrastruktur terbatas

• Belum menjadi komoditas prioritas nasional & daerah

• Masa panen lama=10 tahun

• Status pemilikan lahan sagu

• Kapasitas dan skill SDM & kelembagaan petani sagu lemah baik pada sisi on farm maupun off farm

• Pengelolaan lintas sektor/ kementerian/ Dinas lemah

• ANCAMAN

• Punah akibat alih fungsi lahan sagu meningkat

• Konsumsi semakin menurun

• Kalah bersaing dengan tepung impor

• Substitusi oleh Raskin/ Rastra

(34)

Leassons learned usahatani sagu rakyat:

Kita berdiri di pihak siapa?

Berbagai faktor kompleks, beragam dan spesifik dalam membangun dan mengembangkan

sagu rakyat, tetapi tiga hal yang mungkin perlu diperhatikan:

Usaha tani sagu haruslah berorientasi pasar, paling tidak pasar dalam negeri

Usahatani sagu rakyat perlu dipersiapkan agar digerakkan secara simultan oleh

sumberdaya manusia petani [muda, terdidik, dan terampil], petani permanen dan lahan

permanen, didukung kebijakan prioritas komoditi sagu, modal, inovasi, dan teknologi

adaptif

Guna memperjelas status kepemilikan dan luas areal sebenarnya, perlu diukur dengan

teknologi yang lebih valid dan akurat, lalu diterapkan one map policy, sehingga melalui

kerjasama lintas lembaga, baik di pusat dan daerah, maka jelaslah batas-batas, zonasi

areal kawasan sagu yang dilindungi hukum adat/ hak ulayat, UU dan peraturan

pemerintah

Dukungan infrastruktur dan lembaga riset untuk meng-upgrade teknologi tradisional

yang adaptif untuk menghasilkan produk2 sagu yang inovatif dan kreatif sesuai

permintaan pasar, serta mengoptimalkan fungsi sagu untuk ketahanan pangan,

sosio-budaya dan kelestarian lingkungan

(35)

Sagu untuk pengentasan kemiskinan:

Kelembagaan ekonominya mulai dari desa, berskla kecil, dibangun natural berbasis

koperasi dan UMKM, tetapi saling terkait dengan usaha menengah (dan besar)

Terakhir, penguatan kelembagaan dan atau korporasi petani, berbasis kedaulauatn

pembangunan GUGUS PULAU kearifan lokal, proaktif, kompetitif, dan mampu bermitra saling

menguatkan dan saling menguntungkan dengan swasta

The Indonesian economy has a dual structural of not only a large gap between the large

and medium scale and the small-scale and cottage firms, but also no closer relation

between them. This is a serious problem for the Indonesia economy. Unless they can

solve this problem, the Indonesian economy development as well as industrialization,

would come to a dead lock, sooner or later (Yokio Kaneko, 1989)

(36)

Lessons learned-sambungan

Seperti saya singgung di bagian awal bahwa penyebab kelaparan diasumsikan jumlah

penduduk yang banyak dan produksi yang kurang, sehingga kebijakannya adalah membatasi

jumlah penduduk, termasuk di daerah yang tingkat kepadatannya sangat rendah, dan

orientasi pertanian kepada dua hal: komoditi dan teknologi.

Bisa dibayangkan bagaimana sebuah kabupaten atau desa yang penduduknya jarang,

kemudian bayangkan bagaimana pembatasan penduduk diikuti kebijakan yang ‘bias kota’

sehingga memicu brain drain dari desa atau daerah miskin, sehingga akan memperparah

kelaparan,kemiskinan dan kesenjangan karena di desa hanya ditinggali petani berpendidikan

rendah, berusia tua, dan bertani subsisten

Bayangkan juga jika orientasi pertanian, seperti selama ini, terus berorientasi produksi,

terfokus kepada komoditas Pajale, tetapi jika dievaluasi ternyata kenaikan produksi pun

ternyata tidak menyelesaikan masalah impor bahan pangan, kelaparan, kemiskinan dan

kesenjangan dalam jangka panjang. Kenapa? Sebab dibalik kebijakan pertanian berorientasi

produksi tersebut terfokus kepada komoditi, teknologi, dan kelembagaan/organisasi modern

berskala besar, mahal, tetapi tidak terkait dengan usaha koperasi, dan UMKM yang dikelola

rakyat kecil, dan hanya bisa diakses dan karena itu lebih menguntungkan pemilik modal

besar, baik di hulu, on-farm, maupun hilir sistem agribisnis. Dalam sistem tata niaga

pertanian, keuntungan terbesar ada pada sisi off farm yang tidak dikuasai oleh

petanii,kelompok tani, Gapoktan atau koperasi petani, tetapi dikuasai oleh industri , elit

minoritas atau pedagang dengan skala usaha dan pemilikan/penguasaan modal berskala

besar

(37)

MALUKU:

LINGKARAN SETAN PENYEBAB KEMISKINAN

JEBAKAN GEOGRAFIS/ KONEKTIVITAS KULTURAL SKALA EKONOMI USAHA KECIL &

TERSEBAR SKILL DAN PRODUKTIFITAS RENDAH PENDAPATAN RENDAH INVESTASI & SAVING RENDAH TEKNOLOGI & INOVASI RENDAH

INTERNAL

EKSTERNAL

Redistribusi penguasaan lahan [dan laut] yang produktif, intensif & produktifitas tinggi

(38)

Leassons learned-sambungan

Oleh karena didalam modernisasi pembangunan kelembagaan pertanian dan pedesaan pun, seperti

pembentukan kelompok tani, gabungan kelompok tani, bahkan koperasi dan Bumdes, lebih banyak

dibangun untuk memanfaatkan bantuan pemerintah, atau dibentuk untuk kepentingan perusahaan

inti berskala besar dan berorientasi ekspor, dan karena desa sudah mengalami brain drain, sehingga

kelembagaan modern tersebut tidak dapat dikelola petani dan nelayan yang ada secara mandiri,

tetapi karena ada bantuan proyek maka menjadi rebutan untuk dikelola oleh desa dan stafnya atau

opportunis yang kurang pengalaman dan tidak profesional. Profesional selalu diartikan dan diakitkan

dengan gaji dan upah besaar untuk kepentingan pribadi, kelompok atau usaha sendiri, bukan layanan

mutu, korbanan, dan karya yang memberi manfaatk kepada orang banyak

Akibatnya, proyek tidak berkelanjutan, sebab habis bantuan dan proyek, maka tamatlah riwayat

kelelembagaan yang dibentuk tersebut. Ibarat model penyuluh pertanian latih dan kunjungi atau

training and visit berubah menjadi ‘training and vanish’

. Jika terjadi kegagalan, maka yang disalahkan

adalah pendidikan petani yang rendah,motivasi kerja yang rendah, malas, dan bahkan menyalahkan

budaya lokal. Jadi, petani dan masyarakat desa mungkin hanya menjadi tumbal pembangunan, sebab

mereka berproduksi dengan membeli input mahal tetapi dalam sistem tata niaga, mereka tidak

berdaya menentukan harga jual, bahkan dikendalikan dengan kebijakan harga murah, sehingga

produksi murah petani justru turut memberi makan orang banyak, termasuk orang kaya, dengan

harga pangan murah, lalu siapa yang memberi makan petani dan orang desa lain yang miskin?

Kenapa kemiskinan di desa dua kali lipat daripada di kota, dan mengapa 70% yang miskin itu petani

pangan dan nelayan kecil, maka jawabnya mungkin karena selama ini mereka hanya menjadi obyek

atas nama proyek-proyek pembangan, plasma berlahan sempit untuk perusahaan inti berskala besar,

pemasok produksi kepada pengusaha/pedagang berskala besar dan berorientasi ekspor, tetapi tidak

punya posisi tawar dalam penentuan harga jual.

(39)

Lessons learned

Model enclave industri yang bentuk organisasinya sangat modern tetapi tidak

terkait secara egaliter dan mensejahterakan masyarakat desa, petani dan nelayan,

dapat saja mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi pertumbuhan yang tidak

berkualitas karena diikuti kesenjangan (growth with inequality). Inilah yang

mungkin terjadi selama ini, kenapa kemiskinan turun, walaupun cenderung

semakin melambat, tetapi angka kesenjangan sosial menurun juga, tetapi lebih

melambat lagi turunnya, walapun produksi, ekspor dan sejumlah program anti

kemiskinan sudah dilaksanakan pemerintah pusat dan daerah.

Akibatnya, walaupun produksi dan ekspor sudah meningkat, ternyata tetap saja

tidak menghapus kelaparan, kemiskinan, dan kesenjangan. Lebih parah lagi, usaha

pertanian berorientasi produksi, berskala besar, dan karena itu harus terus

melakukan ekstensifikasi, monokultur, tidak hanya boros dalam penggunaan air

sehingga memperparah dampak perubahan iklim, tetapi juga tidak ramah

lingkungan karena menggunakan dan ketergantungan terhadap input produksi

kimiawi yang semakin tinggi, sehingga cepat atau lambat akan merusak

biodiversitas dan ekosistem. Maka, ujung kebijakan pertanian berorientasi

produksi (ekstensifikasi, pembukaan dan pencetakan lahan baru, alih fungsi lahan

hutan dan sagu) dan ekspor akan menimbulkan bencana alam, banjir, dan longsor,

kelaparan, kemiskinan, dan kesenjangan sosial ekonomi dan spasial.

(40)

Lessons learned-sambungan

Maka, solusi bukan pada produksi karena produksi pangan sesungguhnya akan cukup, tetapi pada pengentasan kemiskinan dan kesenjangan, soal politik ekonomi, dan kemauan dan aksi politik pro-poor.

Akar masalah kemiskinan dan kesenjangan adalah ketiadaan akses dan hak-hak atas tanah dan air (serta laut), sebab tanah adalah kehidupan bagi petani dan nelayan. Ketika rakyat,khususnya petani dan nelayan tidak berdaulat atas tanah, air, dan laut, maka mereka juga tidak berdaulat lagi atas kehidupannya.

Prof Sajogyo pernah menggagas ‘8 jalur pemerataan’ untuk solusi kemiskinan yang dimulai dengan re-distribusi aset tanah (dan laut) untuk petani dan nelayan, diikuti membangun iklim untuk ‘kesempatan berusaha dan kesempatan bekerja’. Ini berarti pembangunan dimulai dari desa, seperti gagasannya Dr Chamber: ‘putting the last first’, atau teori tong Liebig yang dikutip Prof Amzu: ‘membangun dari kampung’, bahkan sudah tertulis juga dalam salah satu visi-misinya Presiden Jokowi: ‘membangun Indonesia dari pinggiran’.

Pertanian berskla besar tidak masalah sejauh organisasinya terkait dengan usaha rumah tangga, koperasi dan UMKM, tata niaganya berkeadilan, mensejahterakan petani dan nelayan, ramah lingkungan dan berkelanjutan. Namun melihat kenyataan selama ini dan kondisi saat ini, tidak hanya terjadi tekanan manusia atas lahan tetapi sudah menghasilkan tekanan manusia atas manusia lain, maka memberdayakan petani dan nelayan kecil mungkin belum terlambat, yakni melakukan redistribusi aset, khususnya lahan pertanian (dalam arti luas), serta diikuti menciptakan kesempatan bekerja dan berusaha, memperbaiki kualitas pendidikan di pedesaan untuk melahirkan SDM petani yang muda, terdidik dan profesional, sebab, seperti Jepang, Taiwan dan thailand, ‘walaupun lahan berskala kecil tetapi jika dikelola intensif dengan produktifitas tinggi, mungkin lebih efisien dan efektif, bahkan lebih ramah lingkungan karena menjaga biodiversitas dan ekosistem (landscape dan sea-scape), khususnya di wilayah kepulauan.

(41)

Implikasinya, pembangunan dan pengembangan kelembagaan sagu modern, perlu terhindar

dari sekedar orientasi produksi tinggi, tetapi berbasis ekonomi dualistik dan enclave

industry’

yang terfokus kepada kelembagaan modern, teknologi tinggi dan ekspor, yang ujungnya bisa

saja mengekspor sagu ke luar negeri dan dan cukup memberi makan penduduk dunia, tetapi

karena organisasi dan kelembagaannya tidak terkait dengan memberi keuntungan kepada

industri rumah tangga, koperasi dan UMKM, dan hanya dikuasai pemodal besar, maka hal itu

tidak akan menyelesaikan masalah distribusi pangan yang berkeadilan, sebab bisa jadi stok

pangan mencukupi tetapi ditumpuk sebagai stok dalam gudang, lalu dilepas ke pasar dengan

harga mahal, sehingga penduduk miskin tidak mampu membelinya. Akhirnya hal itu tidak

menyelesaikan masalah ketahanan dan kedaulatan pangan, masalah kelaparan, kemiskinan,

dan kesenjangan sosial dalam jangka panjang.

Paradigma demikian hanya bisa diakses, dikelola dan menguntungkan elit minoritas, pemilik

modal dan perusahaan besar, tetapi gagal untuk pengentasan kemiskinan dan kesenjangan,

gagal mensejahterakan petani dan nelayan, termasuk menjaga kelestarian sumberdaya alam,

biodiversitas dan ekosistem dalam jangka panjang.

Dimana dan dipihak siapa kita berdiri? Menurut teori sistem, kecepatan pembangunan tidak

ditentukan oleh sub-sistem yang sudah maju dan berlari paling cepat, tetapi ditentukan oleh

sub-sistem yang terbelakang, terluar dan tertinggal yang larinya paling lambat. Semoga

Webinar DG IPB ini memulai babak paradigma baru membangun dari pinggiran, dimulai dari

pilot proyek pengembangan sagu secara natural, alamiah, memberdayakan, partisipatif, dari

teknologi yang tradisional dan sederhana, lalu di

‘upgrade’

menuju teknologi adaptif

berkelanjutan, mensejahterakan, dan mengentas kemiskinan.

(42)

KELOMPOK USAHA BIOINDUSTTRI SAGU-TEKNOLOGI MODERN

Tepung sagu kering

Beras sagu

Mie sagu

(43)

PENCUCIAN/

PENYARINGAN TSB

PRESS TSB

PENJEMURAN TSB

(44)

PEMBUATAN TEPUNG SAGU KERING

(45)
(46)
(47)

USAHA PENGOLAHAN SAGU

TEKNOLOGI SEMI-MODERN

1.

Put sago

pith in

Sahane

2.

Squeeze pith

with water

3.

Water flows

through fine

filter

4.

Wet sago

starch will

be gathered

in

Goti

5.

Take and put

starch into

Tumang

Sahane

(48)

1. Selection mature sago

tree

2. Clean and cut off by

Axe

3. Crush the pith by

Nani

4. Keep the pith in the

plastic sack

5. Transport sago pith to

the extraction site

Plastic

sack

Iron

ring

Sago

pith

Axe

Nani is a simple triangle

shape tool that is made

from wood (bamboo)

with sharp iron ring at

the edge, to crush sago

pith from the sago

trunk

NANI:

USAHA SAGU

(49)

Wet sago starch

1)Washing with clean water

2) Drying on the sun

3) Drying sago starch (white)

4) Packaging drying sago starch

Drying sago starch

(Gluten free)

(50)

ANALISIS USAHATANI INDUSTRI PATI SAGU BASAH:

KELOMPOK USAHA TEAMANU INDAH

BENEFIT/BIAYA TAHUN KE- 0 1 2 3 4 5 A Total Benefit 14,000,000 1,068,750,000 956,250,000 873,056,250 797,100,356 727,752,625 1 Nilai penjualan 0 1,068,750,000 956,250,000 873,056,250 797,100,356 727,752,625 2 Hibah 14,000,000 0 0 0 0 0

B Biaya investasi awal 97,300,000 0 0 0 0 0

C Biaya tetap 0 431,436,157 431,436,157 387,828,750 387,828,750 387,828,750 1 Gaji karyawan 360,000,000 360,000,000 360,000,000 360,000,000 360,000,000 2 Penyusutan 12,588,750 12,588,750 12,588,750 12,588,750 12,588,750 3 Listrik 240,000 240,000 240,000 240,000 240,000 4 Biaya umum 15,000,000 15,000,000 15,000,000 15,000,000 15,000,000 5 Kredit bank 43,607,407 43,607,407 - - - a Pinjaman pokok 32,407,407 37,592,593 0 0 0 b Bunga 11,200,000 6,014,815 0 0 0 D Biaya variabel 0 431,004,000 434,034,200 410,034,870 388,828,833 370,163,610 1 Upah kerja, makan, dll 8,400,000 8,568,000 8,739,360 8,914,147 9,092,430 2 Bahan baku sagu 160,160,000 160,160,000 144,144,000 129,729,600 116,756,640

3

Bahan bakar dan penunjang lainnya (karung, tali, kain

sifon dan stainless) 57,244,000 60,106,200 63,111,510 66,267,086 69,580,440 4 Transportasi 127,200,000 127,200,000 116,040,000 105,918,000 96,734,100 a Pembelian bahan baku 31,200,000 31,200,000 29,640,000 28,158,000 26,750,100 b Pemasaran 96,000,000 96,000,000 86,400,000 77,760,000 69,984,000 5 Biaya konsumsi, dll 78,000,000 78,000,000 78,000,000 78,000,000 78,000,000 E Biaya operasional (A+B) 0 862,440,157 865,470,357 797,863,620 776,657,583 757,992,360 F Biaya total 97,300,000 862,440,157 865,470,357 797,863,620 776,657,583 757,992,360 G Net Benefit -83,300,000 206,309,843 90,779,643 75,192,630 20,442,774 -30,239,735

(51)

USAHA KELOMPOK-BIOINDUSTRI SAGU: PRODUK TEPUNG KERING, MIE DAN BERAS SAGU

BIOINDUSTRI SAGU Tahun ke-

NO Uraian 0 1 2 3 4 5

A Gross benefit(TR) 81,300,000 89,430,000 98,373,000 108,210,300 119,031,330

1 Penjualan pati sagu 81,300,000 89,430,000 98,373,000 108,210,300 119,031,330

Tepung sagu 35,130,000 38,643,000 42,507,300 46,758,030 51,433,833 Mie sagu 27,090,000 29,799,000 32,778,900 36,056,790 39,662,469 Beras sagu 19,080,000 20,988,000 23,086,800 25,395,480 27,935,028 B Total biaya (TC) 174,081,250 69,437,832 70,530,469 71,644,958 72,781,737 73,941,252 1 Biaya I+MK 174,081,250 0 0 0 0 0 2 Biaya operasional 0 69,437,832 70,530,469 71,644,958 72,781,737 73,941,252 a Biaya tetap 0 14,806,000 14,806,000 14,806,000 14,806,000 14,806,000 b Biaya variabel 0 54,631,832 55,724,469 56,838,958 57,975,737 59,135,252 C Net Benefit (NB) (174,081,250) 11,862,168 18,899,531 26,728,042 35,428,563 45,090,078

(52)

USAHA RUMAH TANGGA: PRODUK SAGU LEMPENG

TAHUN KE-

NO Uraian 0 1 2 3 4 5

A Gross benefit 0 22,200,000 22,755,000 23,323,875 23,906,972 24,504,646

1 Penjualan pati sagu 0 22,200,000 22,755,000 23,323,875 23,906,972 24,504,646

B Total biaya (TC) 7,026,000 19,596,500 20,300,500 21,032,660 21,794,106 22,586,011

1 Biaya I+MK 7,026,000 0 0 0 0 0

2 Biaya tetap - 1,996,500 1,996,500 1,996,500 1,996,500 1,996,500

3 Biaya variabel - 17,600,000 18,304,000 19,036,160 19,797,606 20,589,511

C Net Benefit (NB) (7,026,000) 2,603,500 2,454,500 2,291,215 2,112,865 1,918,636

USAHA KELOMPOK: PRODUK TEPUNG SAGU KERING

TAHUN KE-

NO Uraian 0 1 2 3 4 5

A Gross benefit 0 171,600,000 176,748,000 182,050,440 187,511,953 193,137,312

1 Penjualan pati sagu 0 171,600,000 176,748,000 182,050,440 187,511,953 193,137,312

2 Subsidi pemerintah 0 B Total biaya (TC) 134,293,500 152,401,500 153,051,420 153,704,590 154,361,025 155,020,743 1 Biaya I+MK 134,293,500 0 0 0 0 0 2 Biaya operasional 0 152,401,500 153,051,420 153,704,590 154,361,025 155,020,743 a Biaya tetap 22,417,500 22,417,500 22,417,500 22,417,500 22,417,500 b Biaya variabel 129,984,000 130,633,920 131,287,090 131,943,525 132,603,243 C Net Benefit (NB) (134,293,500) 19,198,500 23,696,580 28,345,850 33,150,928 38,116,569

PROFIL USAHA SAGU LEMPENG, TEPUNG SAGU KERING DAN BIO-INDUSTRI YANG

MEMPRODUKSI TEPUNG, MIE DAN BERAS SAGU

Referensi

Dokumen terkait

1. Tingkat kesegaran jasmani siswa kelas IV, V dan VI SD Negeri Delegan 2 Kecamatan Prambanan Kabupaten Sleman Yogyakarta, untuk kategori “baik sekali” sebanyak 0 siswa atau

Dalam situasi ini, pemilihan matapelajaran yang terkandung dalam Dalam situasi ini, pemilihan matapelajaran yang terkandung dalam KBSR dan KBSM seperti matapelajaran Bahasa

Melalui kegiatan pembelajaran, peserta diklat mampu menyiapkan desain makanan dan melakukan penanganan dasar pengolahan pastry bakery. Menyiapkan bahan untuk membuat

Pada akhir siklus kedua hasil tes menunjukkan bahwa 27 mahasiswa atau sebanyak 90% mahasiswa sudah kompeten, sedangkan tiga mahasiswa lagi atau sebanyak 10%

1. Pendahuluan  

Dalam ajaran Islam, manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang paling sempurna. Makhluk lain tidak ada yang memiliki kesempurnaan, baik ditinjau dari aspek fisik maupun

Penggunaan model kooperatif tipe TPS (Think Pair Square) dengan permainan balok dikelas V SD Negeri 1 Tamansari dapat meningkatkan prestasi belajar

HDFS berbasiskan JVM (Java Virtual Machine). HDFS dan MapReduce berjalan berdampingan. Dimana HDFS digunakan untuk menyimpan file-file yang dimasukkan sedangkan