• Tidak ada hasil yang ditemukan

SURVEI POPULASI RELATIF BELALANG KEMBARA ORIENTAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SURVEI POPULASI RELATIF BELALANG KEMBARA ORIENTAL"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

SURVEI POPULASI RELATIF BELALANG KEMBARA ORIENTAL (Locusta migratoria manilensis Meyen) DALAM FAMILI ACRIDIDAE DAN PENENTUAN FASE TRANSFORMASINYA PADA PERTANAMAN TEBU

(Skripsi)

Oleh

RENDY JULIAN SAPUTRA

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2017

(2)

ABSTRAK

SURVEI POPULASI RELATIF BELALANG KEMBARA ORIENTAL (Locusta migratoria manilensis Meyen) DALAM FAMILI ACRIDIDAE DAN PENENTUAN FASE TRANSFORMASINYA PADA PERTANAMAN TEBU

Oleh

Rendy Julian Saputra

Belalang kembara (Locusta migratoria manilensis Meyen, Orthoptera: Acrididae) adalah salah satu jenis hama yang sangat merusak pertanaman tebu dan menyebabkan kerugian ekonomi. Hama ini memiliki tiga fase transformasi yang khas, yaitu fase soliter, transisi (transient), dan gregarius. Untuk mengurangi dampak serangan belalang kembara, maka diperlukan upaya untuk mengantisipasi terjadinya ledakan populasi belalang kembara. Untuk itu dilaksanakan survei di PT Gunung Madu Plantations (PT GMP) Lampung Tengah antara bulan Juli sampai Agustus 2016 yang bertujuan untuk mengidentifikasi populasi relatif belalang kembara dan belalang famili Acrididae lainnya yang ada pada pertanaman tebu di PT GMP serta menganalisis fase transformasi belalang kembara dengan pemeriksaan spesimen secara visual dan menghitung rasio antara panjang femur-caput (F/C ratio) dan elitra-femur (E/F ratio). Pelaksanaan survei dilakukan pada empat vegetasi pada areal pertanaman tebu, yaitu: tebu muda, tebu tua, rumput, dan lahan bera. Hasil survei ditemukan berbagai jenis belalang famili Acrididae yaitu dari sub-famili Oedipodinae, Acridinae, Catantopinae, Cyrtachanthacridinae, dan Oxyinae. Sub-famili belalang kembara (Oedipodinae)

(3)

mendominasi daripada sub-famili belalang Acrididae lainnya. Berdasarkan kedua metode penentuan fase transformasi yang digunakan mengindikasikan bahwa mayoritas belalang kembara pada hamparan yang disurvei berada dalam fase soliter.

Kata kunci: Acrididae, belalang kembara, fase tranformasi, populasi, rasio F/C

(4)

SURVEI POPULASI RELATIF BELALANG KEMBARA ORIENTAL (Locusta migratoria manilensis Meyen) DALAM FAMILI ACRIDIDAE DAN PENENTUAN FASE TRANSFORMASINYA PADA PERTANAMAN TEBU

Oleh

Rendy Julian Saputra

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN Pada Jurusan Agroteknologi FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2017

(5)
(6)
(7)
(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Gunung Madu, Lampung Tengah, Provinsi Lampung pada tanggal 18 Juli 1994. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Bustami RA dan Firlia. Penulis telah menyelesaikan pendidikan di TK Satyadharma Sudjana pada tahun 2000, SDN 1 Gunung Madu pada tahun 2006, SMP Satyadharma Sudjana pada tahun 2009, dan SMAN 9 Bandar Lampung pada tahun 2012. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Lampung Jurusan Agroteknologi melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Penulis telah melaksanakan Praktik Umum pada tahun 2015 di Plant Group I, PT Great Giant Pineapple, Terbanggi Besar, Lampung Tengah. Pada tahun 2016 penulis telah melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kampung Bujung Tenuk, Kecamatan Menggala, Tulang Bawang. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Bioekologi Hama Tanaman (2015) dan Kewirausahaan (2015). Selain itu, penulis juga aktif dalam organisasi Persatuan Mahasiswa Agroteknologi (PERMA AGT) sebagai anggota Bidang Kaderisasi periode 2013-2014, Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Pertanian (DPM FP) sebagai Ketua Umum periode 2014-2015 dan Forum Mahasiswa Agroteknologi/ Agroekoteknologi Indonesia (FORMATANI) sebagai Koordinator Bidang Pengembangan Organisasi dan Sumber Daya Manusia (POSDM) periode 2015-2017.

(9)

Tanpa mengurangi rasa syukur kepada Allah S.W.T

Kupersembahkan karyaku untuk:

Keluarga tercinta

Papa, Mama, Kakak Shelvia, Adik Valenti dan seluruh keluarga

besar yang selalu mendoakan yang terbaik dan senantiasa

mengharapkan keberhasilanku atas kasih sayang tulus, perhatian, dan

dorongannya.

Teman-teman

Atas dukungan dan bantuannya sehingga karya kecil ini dapat selesai.

Fakultas Pertanian, Universitas Lampung

Dimana penulis mendapat kesempatan menimba ilmu dan

berkesempatan bertemu dengan orang-orang hebat.

(10)

MOTTO

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan,

sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”

(QS. Al-Insyirah: 5-6)

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu

dan orang-orang yang berilmu pengetahuan beberapa derajat.”

(QS. Al-Mujaadalah: 11)

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia baik bagimu. Dan

boleh jadi kamu mencintai sesuatu, padahal ia buruk bagimu. Allah

mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.”

(QS. Al-Baqarah: 216)

“Barangsiapa bersungguh-sungguh, sesungguhnya kesungguhannya

itu adalah untuk dirinya sendiri.”

(11)

“To every action there is always opposed an equal reaction.”

(Isaac Newton)

“Barang siapa ingin mutiara, harus berani terjun di samudra yang

dalam.”

(Soekarno)

“Tahu bahwa kita tidak tahu apa yang kita ketahui dan tahu bahwa

kita tidak tahu apa yang tidak kita ketahui, itulah pengetahuan

sejati.”

(Copernicus)

“Jika saya diberi waktu delapan jam untuk menebang pohon, saya

akan menggunakan yang enam jam untuk mengasah kapak.”

(Abraham Lincoln)

“Bahkan jalan buntu pun masih menyediakan jalan keluar, jika kita

mau putar balik.”

(12)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, nikmat, dan karunia yang senantiasa dicurahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “SURVEI POPULASI RELATIF BELALANG KEMBARA ORIENTAL (Locusta migratoria manilensis Meyen) DALAM FAMILI ACRIDIDAE DAN PENENTUAN FASE TRANSFORMASINYA PADA PERTANAMAN TEBU”.

Selama penelitian, penulis telah mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada :

1. Kedua orang tua, Bustami RA dan Firlia, serta keluarga yang selalu memberikan kasih sayang, cinta, nasehat, motivasi dan doa kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Universitas Lampung. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Hamim Sudarsono, M.Sc. selaku pembimbing utama yang

telah memberikan ilmu, bimbingan, nasehat, saran, masukan serta mengarahkan penulis dengan penuh kesabaran selama penulis melakukan penelitian dan penulisan skripsi hingga selesai.

3. Bapak Ir. Agus M. Hariri, M.P. selaku pembimbing kedua yang telah memberikan dukungan, saran, pengertian, dan bimbingan kepada penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi hingga selesai.

(13)

4. Ibu Prof. Dr. Ir. Rosma Hasibuan, M.Sc., selaku pembahas atas segala saran dan koreksi dalam penyempurnaan skripsi ini.

5. Bapak Prof. Dr. Ir. Purnomo, M.S., selaku Ketua Minat Studi Proteksi Tanaman atas perhatian, saran, dan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan di Universitas Lampung.

6. Ibu Ir. Herawati Hamim, M.S. selaku pembimbing akademik yang senantiasa membantu penulis dalam menyelesaikan pendidikan hingga penulisan skripsi. 7. Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si., selaku Dekan Fakultas Pertanian

Universitas Lampung.

8. Prof. Dr. Ir. Sri Yusnaini, M.Si., selaku Ketua Jurusan Agroteknologi Universitas Lampung.

9. Seluruh dosen Program Studi Agroteknologi yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Universitas Lampung.

10.Bapak Saefudin, S.P., selaku pembimbing lapang yang selalu memberikan saran dan nasehat kepada penulis.

11.Mas Awal, sebagai pemandu di lapangan yang selalu siap membantu penulis dalam proses penelitian.

12.Saudara-saudara Formatin Crew, terkhusus Abang-abang, Mbak-mbak, Adik-adik, Riska C. Y., dan Nurul A. R., atas kebersamaan, nasehat, dan bantuan yang selama ini diberikan kepada penulis.

13.Teman-teman seperjuangan Bang Agung, Riska, Nurul, Kiki, Ami, Mesva, Endah, Tiara, Resti, Riyan, Tonny, Teguh, Budi, Maycel, Eko P., Eko P. P., Cahyo, Dimas, Aan, Yugo, Refki, Rendy, Fachri, Erik, Fandi, Diko, Fadli,

(14)

Mas Min, Mas Yadi,dan Mas Adi atas doa, dukungan, dan kebersamaan yang tak terlupakan.

14.Mba Uum, Kang Jen, dan Pak Paryadi atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

15.Keluarga Besar Agroteknologi terkhusus Agroteknologi 2012 yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan yang telah dibeikan, dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Bandarlampung, Februari 2017 Penulis,

(15)

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ... i DAFTAR GAMBAR ... . ii I. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan Penelitian ... 5 1.3 Kerangka Pemikiran ... 6 1.4 Hipotesis ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Sejarah Tanaman Tebu ... 9

2.2 Belalang Kembara ... 12

2.3 Belalang Famili Acrididae ... 15

III. BAHAN DAN METODE ... 16

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 16

3.2 Bahan dan Alat ... 16

3.3 Pelaksanaan Penelitian ... 16

3.3.1 Penetapan Petak Sampel ... 17

3.3.2 Pengumpulan Spesimen ... 18

3.3.3 Identifikasi Spesimen ... 19

3.3.4 Analisis Data ... 19

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

4.1 Jenis-Jenis Belalang Famili Acrididae ... 21

4.2 Fase Transformasi Belalang Kembara... 24

V. KESIMPULAN ... 32

DAFTAR PUSTAKA ... 33

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Ciri morfologis tiga fase dari populasi belalang kembara Afrika

(L. m. migratorioides) (LuongSkovmand, 1999) ... 20 2. Jumlah individu pada sub-famili yang ditemukan per vegetasi.. ... 22 3. Jumlah belalang kembara berdasarkan jenis kelamin per vegetasi ... 25 4. Jumlah belalang kembara yang berada dalam fase soliter, transien,

dan gregarius berdasarkan hasil identifikasi visual... 27 5. Jumlah belalang kembara berdasarkan fase transformasi secara

kuantitatif menurut kriteria Luong-Skovmand (1999) ... 27 6. Data curah hujan dan jumlah hari hujan pada wilayah PT GMP ... 30 7. Jumlah individu pada sub-famili yang ditemukan pada petak

vegetasi tebu muda ... 39 8. Jumlah individu pada sub-famili yang ditemukan pada petak

vegetasi rumput ... 39 9. Jumlah individu pada sub-famili yang ditemukan pada petak

vegetasi tebu tua ... 39 10. Jumlah individu pada sub-famili yang ditemukan pada petak

vegetasi lahan bera ... 39 11. Jumlah belalang kembara berdasarkan jenis kelamin pada petak

sampel tebu muda... 40 12. Jumlah belalang kembara berdasarkan jenis kelamin pada petak

sampel rumput ... 40 13. Jumlah belalang kembara berdasarkan jenis kelamin pada petak

sampel tebu tua... 40 14. Jumlah belalang kembara berdasarkan jenis kelamin pada petak

sampel lahan bera ... 40 15. Fase transformasi belalang kembara berdasarkan pengukuran

(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Pronotum belalang kembara pada fase: S. soliter; dan G. gregarius

(Kalshoven,1981) ... 14

2. Skema titik sampel vegetasi tebu muda, rumput, dan lahan bera ... 18

3. Skema titik sampel vegetasi tebu tua ... 18

4. Grafik jumlah individu pada sub-famili yang ditemukan per vegetasi ... 22

5. Grafik persentase populasi relatif belalang dalam famili Acrididae ... 22

6. Sub-famili Oedipodinae (1); Sub-famili Acridinae (Acrida sp.) (2a); Sub-famili Acridinae (Phlaeoba sp.) (2b); Sub-famili Catantopinae (3); Sub-famili Cyrtachanthacridinae (4); Sub-famili Oxyinae (5) (Foto: R. J. Saputra) ... 24

7. Belalang kembara betina (1); Belalang kembara jantan (2) (Foto: R. J. Saputra) ... 25

8. Nimfa fase soliter (1a dan 1b); Nimfa fase gregarius (2); Imago fase soliter (3); Imago fase gregarius (4) (Foto: R. J. Saputra) ... 26

9. Grafik populasi belalang kembara berdasarkan identifikasi kriteria Luong-Skovmand (1999) dan identifikasi visual ... 29

10.Peta Perkebunan Tebu PT Gunung Madu Plantations ... 37

11.Kegiatan sampling dengan menggunakan jala ayun ... 37

12.Kegiatan identifikasi sampel di Laboratorium Hama Arthropoda ... 38

(18)

SURVEI POPULASI RELATIF BELALANG KEMBARA ORIENTAL (Locusta migratoria manilensis Meyen) DALAM FAMILI ACRIDIDAE DAN PENENTUAN FASE TRANSFORMASINYA PADA PERTANAMAN TEBU

(Skripsi)

Oleh

RENDY JULIAN SAPUTRA

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2017

(19)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu jenis hama serangga yang merusak pertanaman tebu dan dapat menyebabkan kerugian besar adalah belalang kembara (Locusta migratoria manilensis Meyen, Orthoptera: Acrididae). Hama ini merusak tanaman dari jenis rerumputan seperti padi, jagung, tebu, sereh, bambu, dan juga palem dan pisang. Belalang kembara, termasuk di dalam Famili Acrididae, Ordo Orthoptera. Di Indonesia, belalang kembara merupakan satu-satunya spesies belalang yang mengalami fase transformasi dari sebanyak 51 spesies anggota famili Acrididae yang tercatat sebagai hama di Indonesia (Luong-Skovmand, 1999).

Pada saat-saat tertentu, apabila kondisi iklim memungkinkan populasi belalang kembara dapat berkembang pesat di beberapa daerah di Indonesia. Daerah-daerah yang pernah mengalami ledakan populasi belalang kembara antara lain: Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi, Lampung, Nusa Tenggara Timur dan Sumatra bagian selatan (Tjandrakirana et al., 1994). Dari berbagai daerah yang terdapat di Indonesia, salah satu daerah yang berpotensi terjadi ledakan populasi adalah Provinsi Lampung.

Pada tahun 1997-2001, belalang kembara di Provinsi Lampung dilaporkan menyebabkan kehilangan hasil padi padi, jagung dan palawija lainnya. Puncak serangan belalang kembara di Lampung pernah terjadi pada bulan Mei 1998 mencapai luas 6.818 ha pada lahan padi dan jagung. Pada tanaman perkebunan,

(20)

terparah pada lahan tebu PTPN di Sungkai Utara, Sungkai Selatan, dan Kotabumi (5.735 ha) diikuti oleh lahan tebu milik PT Gunung Madu Plantations (GMP) seluas 2.163 ha (Sudarsono, 2003). Kerugian akibat letusan belalang kembara selama 5 tahun (1998-2002) mencapai Rp 12 milyar (Untung et al., 2003).

Menurut Kalshoven (1981), belalang kembara memiliki tiga fase transformasiyaitu fase soliter, transisi (transient), dan gregarius. Pada fase soliter, populasi belalang kembara berada pada tingkat populasi rendah, cenderung berperilaku individual dan tidak rakus. Pada fase ini belalang kembara menimbulkan kerusakan, namun tingkat keparahannya tidak tinggi (Yunus, 2015). Pada fase transient, populasi belalang kembara berada pada tingkat populasi yang cukup tinggi dan membentuk kelompok-kelompok kecil. Sedangkan pada fase gregarius populasi belalang kembara telah bergabung dan membentuk gerombolan besar yang sangat merusak dan merugikan. Pada fase ini gerombolan belalang kembara dapat bermigrasi besar-besaran dan menjadi sangat merusak (Yunus, 2015).

Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menentukan fase transformasi belalang kembara adalah rasio antara panjang femur-caput (F/C ratio) dan elitra-femur (E/F ratio). Penelitian Luong–Skovmand (1999) dengan mempelajari belalang kembara Afrika (Locusta migratoria migratorioides R. & F.) menunjukkan bahwa belalang kembara yang berada dalam fase gregarius memiliki sayap yang lebih panjang sehingga belalang kembara memiliki rasio E/F

relatif lebih tinggi dibandingkan dengan fase transien atau soliter. Selanjutnya penelitian yang dilaksanakan oleh Sudarsono et al. (2005) telah mengkonfirmasi

(21)

tinggi (30 pasang per kurungan berukuran 45 x 45 x 90 cm) memiliki rasio E/F

2,26 + 0,004 dan merupakan ciri morfologis fase gregarius.

Jika suatu wilayah pertanian atau perkebunan berada dalam situasi waspada terhadap kemungkinan terjadinya ledakan populasi belalang kembara, salah satu kegiatan yang diperlukan untuk mengantisipasinya adalah dengan melakukan sampling populasi belalang kembara pada hamparan pertanian. Berdasarkan sampling ini selanjutnya diidentifikasi apakah populasi belalang kembara yang ada pada suatu wilayah sudah berada pada fase transien, yaitu fase sebelum terjadinya populasi gregarius. Apabila koloni-koloni pada suatu wilayah telah berada dalam fase transien sebaiknya segera dilakukan tindakan pengendalian, jika perlu secara kimiawi, untuk mencegah berkembangnya fase gregarius yang sangat sulit dikendalikan.

Cara visual yang dapat digunakan untuk menentukan fase belalang kembara adalah dengan memperhatikan ukuran tubuh, warna tubuh, panjang relatif sayap, dan bentuk pronotumnya. Menurut Kalshoven (1981) pada fase soliter belalang kembara berwarna agak hijau, bagian pronotumnya menonjol, ukuran badan lebih besar, dan panjang sayap depannya relatif pendek. Untuk fase transien pronotumnya datar dan panjang sayapnya lebih panjang daripada fase soliter. Sedangkan fase gregarius belalang kembara berwarna jingga kekuningan dengan bagian atas hitam, pronotum berbentuk seperti pelana dan sayapnya relatif lebih panjang.

Sebagaimana diuraikan di atas, tindakan pengendalian belalang kembara sebaiknya dilakukan ketika populasinya berada dalam fase transien atau sebelum

(22)

kembara dalam fase transien lebih sulit ditentukan atau diidentifikasi jika dibandingkan dengan fase gregarius yang secara morfologis sangat berbeda dan jumlahnya jauh lebih banyak. Oleh karena itu, diperlukan metode yang handal untuk mengidentifikasi keberadaan fase transien dalam suatu hamparan agar tindakan pengendalian tidak terlambat. Jika belalang kembara sudah berada pada fase gregarius, maka pengendalian sudah terlambat dan tidak efektif.

Identifikasi fase populasi belalang kembara dapat dilakukan dengan pemeriksaan spesimen secara visual dengan memperhatikan ukuran tubuh, warna tubuh, panjang relatif sayap, dan bentuk pronotumnya. Dengan metode ini, seluruh belalang yang tertangkap diperiksa apakah termasuk spesies belalang kembara dan selanjutnya dapat dikelompokkan berdasarkan morfologi dan ukurannya: soliter (ukuran terbesar), transien (ukuran sedang), dan gregarius (ukuran terkecil dengan warna coklat). Mengingat metode ini dilakukan secara visual, terdapat kemungkinan adanya kekeliruan dalam hasil identifikasi dan kurang akurat. Oleh karena itu, diperlukan metode identifikasi fase populasi belalang kembara yang lebih bersifat kuantitatif, dalam hal ini menggunakan indikator rasio F/C dan E/F yang dikembangkan oleh Luong-Skovmand (1999). Dengan metode ini belalang kembara yang tertangkap ditentukan nilai rasio

Femur/Caput (F/C) dan Elitra/Femur (E/F) untuk menentukan fase belalang yang ada.

Mengingat belalang kembara hanya merupakan salah satu jenis belalang yang berasosiasi dengan tanaman tebu maka perlu juga diketahui jenis-jenis belalang lain yang hidup pada pertanaman tebu. Selain itu, perlu diketahui juga

(23)

belalang Acrididae lainnya sehingga diperoleh gambaran informasi dominansi relatif belalang kembara. Oleh karena itu, pada tahap awal pengembangan teknik identifikasi fase transformasi populasi belalang kembara ini terdapat beberapa pertanyaan pokok yang perlu diketahui jawabannya, yaitu:

(1) Jenis-jenis belalang Acrididae apakah yang berasosiasi dengan pertanaman tebu pada lahan PT GMP Lampung Tengah ?

(2) Jenis belalang Acrididae apakah yang paling dominan pada hamparan tebu PT GMP dan bagaimana proporsinya dibandingkan dengan jenis-jenis belalang Acrididae lainnya ?

(3) Apakah identifikasi menggunakan identifikasi secara visual (berdasarkan warna tubuh dan bentuk pronotum) memberikan hasil yang sama dengan indikator rasio F/C dan E/F ( Luong-Skovmand, 1999) ?

1.2 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan-permasalahan pokok di atas, penelitian ini bertujuan untuk:

(1) Mengidentifikasi jenis-jenis belalang Acrididae (sampai dengan tingkat sub-famili) yang terdapat pada hamparan pertanaman tebu di lahan PT GMP Lampung Tengah.

(2) Mengetahui dominansi dan proporsi populasi jenis-jenis belalang Acrididae yang terdapat pada hamparan pertanaman tebu di lahan PT GMP Lampung Tengah.

(3) Mengetahui fase transformasi populasi belalang kembara kembara pada hamparan tebu dengan menggunakan dua metode identifikasi, yaitu dengan

(24)

menggunakan indikator rasio F/C dan E/F (Luong-Skovmand, 1999). 1.3 Kerangka Pemikiran

Belalang merupakan salah satu serangga yang termasuk dalam ordo Orthoptera. Pada umumnya jenis belalang yang banyak dijumpai pada lahan pertanian adalah dari famili Acrididae. Menurut Kalshoven (1981), beberapa spesies Acrididae penting di Indonesia adalah belalang kembara (L. m. manilensis), belalang kayu (Valanga spp.), belalang patanga kembara (Nomadacris succincta), belalang leher-genting (Gastamargus marmoratus), belalang mancung (Acrida turita), belalang mancung biru (Tagasta marginella), belalang mancung rumput (Atractomorpha crenulata), belalang setan (Aularches miliaris), dan belalang garis hijau (Oxya spp.). Dari sekian banyaknya spesies belalang Acrididae yang sering ditemukan, belalang kembara merupakan spesies yang menjadi sorotan karena kemampuannya yang dapat menghancurkan hamparan pertanaman saat terjadi ledakan populasi.

Beberapa spesies belalang yang hidup bersama di dalam suatu habitat akan membentuk komunitas yang saling berinteraksi. Spesies yang akan memenangkan kompetisi adalah spesies yang memiliki keunggulan sifat-sifat biologis dan

perilaku (Untung, 1996). Hal tersebut ditandai dengan meningkatnya populasi relatif suatu spesies dibandingkan dengan spesies-spesies lainnya. Pada dasarnya belalang memiliki sifat polifag, yaitu dapat memakan banyak jenis tanaman yang dijadikan inangnya. Hal ini menyebabkan belalang dapat memperoleh sumber makanan dari inang yang lain, jika tanaman inang yang sebelumnya telah habis. Salah satu tanaman inang yang sangat digemari belalang adalah pertanaman tebu.

(25)

yang merupakan sumber makanan alternatif bagi belalang-belalang yang

berasosiasi pada suatu vegetasi. Oleh sebab itu, tentunya terjadi kompetisi dalam perolehan sumber makanan yang berpengaruh terhadap kepadatan populasi suatu spesies belalang yang salah satunya adalah populasi relatif belalang kembara. Kepadatan populasi belalang kembara pada suatu hamparan pertanaman dapat memacu terjadinya peningkatan populasi. Hal tersebut yang nantinya

menyebabkan terjadinya perubahan fase transformasi belalang kembara menjadi ke tingkat yang lebih membahayakan.

Belalang kembara memiliki tiga fase transformasi yang dapat membedakannya dengan belalang-belalang lain yaitu fase soliter, transien, dan gregarius. Dalam penentuan fase transformasi belalang kembara terdapat dua metode yang dilakukan yaitu berdasarkan identifikasi visual (berdasarkan warna tubuh dan bentuk pronotum) dan indentifikasi berdasarkan indikator Luong-Skovmand (1999). Penentuan fase transformasi menggunakan metode identifikasi visual memungkinkan tingkat kekeliruan yang lebih besar dibandingkan dengan identifikasi menggunakan kriteria Luong-Skovmand (1999) karena hanya mengandalkan visual dan perkiraan. Untuk mengurangi tingkat kekeliruan dalam identifikasi visual, pengamatan harus dilakukan dengan teliti dan seksama. Sementara itu, metode identifikasi dengan indikator Luong-Skovmand (1999) terbukti mampu menentukan fase transformasi belalang kembara lebih akurat dan tingkat kekeliruannya lebih kecil dikarenakan pengukuran dan perhitungan menggunakan alat bantu. Oleh sebab itu, kedua metode yang digunakan untuk mengidentifikasi fase transformasi belalang kembara akan memberikan hasil fase

(26)

perbedaan.

1.4 Hipotesis

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah:

(1) Pada hamparan tebu di lahan PT GMP terdapat beberapa jenis belalang Acrididae.

(2) Pada hamparan pertanaman tebu, jenis belalang kembara merupakan spesies yang lebih dominan di antara jenis-jenis belalang Acrididae yang lain. (3) Identifikasi fase transformasi belalang kembara menggunakan metode

identifikasi secara visual (berdasarkan warna tubuh dan bentuk pronotum belalang kembara) akan memberikan hasil yang tidak berbeda dengan metode indikator Luong-Skovmand (1999).

(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Tebu

Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman perkebunan semusim. Tebu tumbuh di dataran rendah daerah tropika dan dapat tumbuh juga di sebagian daerah subtropika. Manfaat utama dari tanaman tebu adalah sebagai bahan baku pembuatan gula pasir (Yenti et al., 2011). Menurut Wijayanti (2008), tanaman tebu tergolong dalam famili Graminae atau Poaceae yaitu rumput-rumputan.

Saccharum officinarum merupakan spesies paling penting dalam genus

Saccharum sebab kandungan sukrosanya paling tinggi dan kandungan seratnya paling rendah.

Banyak ahli berpendapat bahwa tanaman tebu berasal dari Irian, dan menyebar ke kepulauan Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Burma dan India. Dari India kemudian dibawa ke Iran sekitar tahun 600 M dan selanjutnya oleh orang-orang Arab dibawa ke Mesir, Maroko, Spanyol dan Zanzibar. Beberapa peneliti berkesimpulan bahwa tanaman tebu berasal dari India, berdasarkan catatan-catatan kuno dari negeri tersebut. Bala tentara Alexander the Great

mencatat adanya tanaman di negeri itu ketika mencapai India pada tahun 325 SM (Tjokroadikoesoemo dan Baktir, 2005).

(28)

berikut : Kerajaan : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Ordo : Poales Famili : Poaceae Genus : Saccharum

Spesies : Saccharum officinarum L.

Tanaman tebu mempunyai batang yang tinggi, tidak bercabang dan tumbuh tegak. Tanaman yang tumbuh baik, tinggi batangnya dapat mencapai 35 m atau lebih. Pada batang terdapat lapisan lilin yang berwarna putih dan keabu-abuan. Lapisan ini banyak terdapat sewaktu batang masih muda. Ruas-ruas batang dibatasi oleh buku-buku yang merupakan tempat duduk daun. Pada ketiak daun terdapat sebuah kuncup yang disebut mata tunas. Bentuk ruas batang dan warna batang tebu yang bervariasi merupakan salah satu ciri dalam pengenalan varietas tebu (Wijayanti, 2008).

Tebu dapat tumbuh dari dataran rendah hingga dataran tinggi pada ketinggian 1400 m di atas permukaan laut (dpl), tetapi pada ketinggian mulai +1200 m (dpl) pertumbuhan tebu akan lambat. Curah hujan yang optimum untuk tanaman tebu adalah 1.5002.500 mm per tahun dengan hujan tersebar merata. Produksi yang maksimum dicapai pada kondisi yang memiliki perbedaan curah hujan yang ekstrim antara musim hujan dan musim kemarau. Suhu yang baik untuk tanaman tebu berkisar antara 240o C hingga 300o C, dengan kelembaban

(29)

yang optimum untuk pertumbuhan tebu kurang dari 10 km/jam, karena angin dengan kecepatan lebih dari 10 km/jam akan merobohkan tanaman tebu (Tim Penulis PTPN XI, 2010).

Brazil, India, China merupakan tiga negara terbesar penghasil tebu di dunia. Pada tahun 2011, produksi tebu di Brazil mencapai 734 juta ton, diikuti India 342 juta ton dan China 115 juta ton. Sedangkan negara Indonesia berada pada posisi sebelas dengan produksi tebu sebesar 24 juta ton (FAOSTAT, 2011).

Dari berbagai provinsi yang terdapat di Indonesia, salah satu provinsi yang menjadi sentra budidaya tanaman tebu adalah Provinsi Lampung. Provinsi Lampung pada tahun 2012 memiliki produksi tebu rakyat hanya berasal dari empat kabupaten saja yaitu Kabupaten Lampung Utara dengan produksi mencapai 64,96% dari total produksi tebu di provinsi ini atau sebesar 23.392 ton gula hablur, Kabupaten Lampung Tengah dengan produksi sebesar 6.221 ton (17,28%), Kabupaten Way Kanan dengan produksi 5.270 ton (14,63%), dan Kabupaten Tulang Bawang dengan produksi 1.127 ton (3,13%) (Cakrabawa dan Nuryati, 2014).

Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, berakibat pada meningkatnya kebutuhan lahan dan pangan. Hal tersebut menyebabkan luas areal usaha tani tebu sulit untuk dipertahankan karena harus bersaing dengan tanaman pangan bahkan beralih fungsi menjadi non-pertanian. Selain itu, semakin banyaknya masalah hama dan penyakit yang muncul, dapat menurunkan produktivitas tanaman tebu. Salah satu hama penting pada pertanaman tebu adalah

(30)

produksi tebu secara drastis yang sangat sulit ditanggulangi.

2.2 Belalang Kembara

Pada tahun 1998 terjadi ledakan populasi hama belalang di beberapa wilayah di Indonesia. Selama tahun 1998 Provinsi Lampung mengalami kerusakan yang paling serius. Salah satu komoditas utama yang diserang oleh belalang kembara adalah tanaman tebu (Sudarsono, 2003). Belalang kembara yang termasuk dalam genus Locusta mempunyai beberapa sub-spesies yang wilayah penyebarannya berbeda-beda. Struktur tubuh belalang kembara terdiri dari tiga bagian yaitu kepala (caput), dada (thorax) dan perut (abdomen), mempunyai satu pasang antena, dua pasang sayap dengan tiga pasang kaki (Sitompul, 2005).

Klasifikasi belalang kembara menurut Kalshoven (1981), adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insekta Ordo : Orthoptera Famili : Acrididae Genus : Locusta

Species : Locusta migratoria manilensis Meyen

Belalang kembara, memakan daun-daun tanaman sehingga mengurangi luas permukaan daun dan mengganngu fungsi fisiologis dari tanaman yang diserang. Kerusakan daun ini berpengaruh terhadap produktivitas tanaman tersebut. Jika

(31)

yang diserang akan habis dimakannya (Surachman dan Suryanto, 2007). Belalang kembara menyerang daun, hanya menyisakan tulang daun dan batang, bahkan pada kondisi tertentu memakan tulang daun dan batang sehingga dapat merusak tanaman hingga 90% (Roe, 2000). Gejala serangan belalang tidak spesifik, bergantung kepada tipe tanaman yang diserang dan tingkat populasi. Daun biasanya bagian pertama yang diserang. Hampir keseluruhan daun habis termasuk tulang daun, jika serangannya parah (Pabbage et al., 2007).

Ciri-ciri morfologi belalang kembara yaitu: terdiri dari tiga bagian yaitu kepala (caput), dada (thorax) dan perut (abdomen), perutnya bersegmen, mempunyai satu pasang antena, dua pasang sayap dengan tiga pasang kaki. Antena agak pendek, tidak melebihi panjang tubuh. Sayap depan agak keras dan sayap belakang tipis. Nimfa berwarna hijau, imago hijau dan sayapnya coklat. Panjang tubuh belalang kembara yang didapatkan pada fase nimfa 2-4 cm dan imago 4,6-6,8 cm (Oktaria et al., 2013). Menurut Kalshoven (1981), panjang tubuh belalang kembara dewasa berkisar antara 4 sampai 7 cm.

Siklus hidup belalang kembara rata-rata 76 hari, sehingga dalam setahun dapat menghasilkan 45 generasi di daerah tropis, terutama di Asia Tenggara. Di daerah subtropis, serangga ini hanya menghasilkan satu generasi per tahun. Belalang kembara mengalami tiga fase pertumbuhan populasi yaitu fase soliter, fase transien, dan fase gregaria. Pada fase soliter, belalang hidup sendiri-sendiri dan tidak menimbulkan kerusakan bagi tanaman. Pada fase gregaria, belalang kembara hidup bergerombol dalam kelompok-kelompok besar, berpindah-pindah tempat dan merusak tanaman secara besar-besaran. Perubahan fase dari soliter ke

(32)

yang disebut transien (Pabbage et al., 2007). Pada fase soliter bentuk belalang kembara pronotumnya menonjol, dan ukuran tubuh cenderung lebih besar. Sedangkan fase gregarius, pronotum berbentuk datar dan ukuran tubuhnya lebih kecil (Gambar 1) (Kalshoven, 1981).

Gambar 1. Pronotum belalang kembara pada fase: S. soliter; dan G. gregarius (Kalshoven, 1981).

Imago betina yang berwarna coklat kekuningan siap meletakkan telur setelah 520 hari, tergantung kepada suhu lingkungan sekitar. Seekor betina mampu menghasilkan 67 kantong telur yang diletakkan di dalam tanah dengan jumlah telur 40 butir per kantong. Imago betina hanya membutuhkan satu kali kawin untuk meletakkan telur-telurnya dalam kantong-kantong tersebut. Imago jantan yang berwarna kuning mengkilap berkembang lebih cepat dibandingkan dengan betina. Lama hidup dewasa adalah 11 hari (Pabbage et al., 2007).

(33)

Belalang merupakan serangga herbivora yang termasuk dalam ordo Orthoptera dan sub-ordo Caelifera. Orthoptera termasuk serangga terestrial dan dapat hidup dimana saja di seluruh dunia kecuali di bagian terdingin dari permukaan bumi, lebih dari 20.000 spesies yang sudah diketahui, Orthoptera biasanya hidup pada habitat padang rumput yang diikuti dengan tumbuhan kacang-kacangan dan tanaman lainnya dengan komunitas tumbuhan yang beranekaragam dengan sedikit semak belukar dan pepohonan yang tidak terlalu banyak (Resh dan Carde, 2003). Serangga ini memiliki alat mulut bertipe mengginggit, antena lebih pendek dari tubuhnya dan juga memiliki ovipositor pendek. Femur belakangnya umumnya panjang dan kuat yang cocok untuk melompat. Jenis belalang yang sering ditemukan di daerah Asia Tenggara khususnya Indonesia adalah belalang yang termasuk dalam famili Acrididae.

Menurut Mawardi et al. (2015), melaporkan bahwa Famili Acrididae merupakan famili yang mendominasi di dalam suatu ekosistem di suatu wilayah. Famili Acrididae yang banyak ditemui yaitu Acridinae dengan spesiesnya

Aiolopus thalassinus tamulus, Phlaeoba autennata dan Phlaeoba infumata; Catantopinae dengan spesiesnya Apalacris varicornis, Traulia azureipennis dan

Xenocatantops humilis; Oedipodinae dengan spesiesnya Gastrimargus marmoratus dan Gastrimargus musicus; Oxyinae dengan spesiesnya Oxya japonica japonica dan Pseudoxya diminuta.

(34)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada hamparan pertanaman tebu di lahan PT GMP, kemudian proses identifikasi dilaksanakan di Laboratorium Hama Arthropoda, Jurusan Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli sampai dengan Agustus 2016.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain sampel belalang kembara, sampel jenis-jenis belalang famili Acrididae dan alkohol 70%. Sedangkan alat yang akan digunakan ialah jala ayun (sweep net), plastik, mikroskop stereo, kaca pembesar (lup), buku kunci identifikasi, kamera, penggaris dan alat tulis.

3.3 Pelaksanaan Penelitian

Sampling belalang kembara pada penelitian ini dilaksanakan pada empat jenis hamparan vegetasi yang terdapat di lingkungan perkebunan tebu PT GMP yaitu tebu muda, tebu tua, rumput, dan lahan bera. Vegetasi tebu muda yang dipilih adalah vegetasi dengan umur tanaman tebu kurang dari tiga bulan dengan kondisi tanah masih gembur, tajuk tanaman tidak sepenuhnya menutupi tanah, dan cukup banyak ditumbuhi rumput di dalam pertanaman. Vegetasi tebu tua yang dipilih adalah vegetasi dengan umur tanaman di atas enam bulan dimana kondisi

(35)

di dalam pertanaman. Vegetasi rumput yang diamati adalah vegetasi yang ditumbuhi rumput dan bukan merupakan lahan budidaya. Vegetasi lahan bera yang dipilih berupa vegetasi yang terdiri dari berbagai macam tumbuhan yang tumbuh pada lahan yang sedang tidak ditanami tebu atau diistirahatkan. Pada keempat vegetasi yang dijadikan sampling tersebut dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali pada lokasi yang berbeda, sehingga total petak sampel yang disampling adalah dua belas petak sampel.

3.3.1 Penetapan Petak Sampel

Pada penelitian ini, kegiatan sampling dilakukan antara bulan Juli hingga bulan Agustus 2016. Metode penetapan titik sampel yang digunakan ialah metode sampel terpilih (purposive sampling). Titik sampel ditentukan secara langsung dan tidak secara acak. Pada penelitian ini, di setiap hamparan vegetasi ditentukan 10 titik sampel dengan masing-masing titik sampel berukuran 2x10 m. Pemilihan titik sampel disesuaikan dengan kondisi hamparan pertanaman tebu dari berbagai jenis vegetasi. Luas hamparan vegetasi yang disurvei berkisar 1-2 ha.

Pada vegetasi tebu muda, rumput dan lahan bera titik sampel yang ditentukan berada di dalam petak sampel (Gambar 2). Khususnya pada vegetasi tebu muda, tanaman tebu berumur kurang dari tiga bulan dengan tinggi tanaman sekitar 0,5 m. Namun, pada vegetasi tebu tua titik sampel yang ditentukan hanya terletak di bagian tepi hamparan vegetasi tebu tua (Gambar 3). Hal ini karena tidak memungkinkan untuk melakukan sampling pada bagian dalam vegetasi tebu tua yang sudah sangat rapat. Tanaman tebu pada vegetasi tebu tua berumur lebih dari enam bulan dengan tinggi tanaman berkisar antara 1-1,5 m.

(36)

100 m

Gambar 2. Skema titik sampel vegetasi tebu muda, rumput, dan lahan bera.

100 m

Gambar 3. Skema titik sampel vegetasi tebu tua.

3.3.2 Pengumpulan Spesimen

Pengumpulan spesimen pada penelitian ini dilakukan pada pagi atau sore hari dengan menggunakan jala ayun (sweep net) sebanyak 20 ayunan ganda pada setiap titik sampel. Pengambilan sampel dilakukan dengan mengayunkan jala ayun

10 m 200 m 30 m 25 m 40 m 15 m 10 m 200 m 50 m 30 m 5 m

(37)

sebanyak 10 langkah. Serangga-serangga yang tertangkap dimasukkan kedalam plastik kemudian diberi alkohol 70%. Kemudian, setiap hasil tangkapan diberi label berdasarkan titik sampel untuk mempermudah dalam analisis.

3.3.3 Identifikasi Spesimen

Serangga yang diperoleh dipilah dan hanya diambil jenis belalang dari famili Acrididae, kemudian identifikasi dilakukan dengan membandingkan morfologi spesimen dengan Kalshoven (1981), Tan (2012) dan Tan dan Kamaruddin (2014). Identifikasi dilakukan sampai tingkat sub-famili, untuk membedakan jenis belalang kembara dengan jenis-jenis belalang lainnya. Proses identifikasi dilakukan menggunakan kaca pembesar atau mikroskop stereo untuk melihat perbedaan karakteristik antar spesies belalang.

3.3.4 Analisis Data

Untuk menentukan fase transformasi belalang kembara dilakukan dengan dua metode yaitu dengan metode identifikasi secara visual (berdasarkan warna tubuh dan bentuk pronotum) dan identifikasi berdasarkan indikator LuongSkovmand (1999). Proses penentuan pada kedua metode hanya dilakukan pada belalang kembara yang telah dewasa. Belalang kembara yang telah dewasa dapat dilihat berdasarkan sayapnya yang telah tumbuh sempurna.

Pada penentuan dengan metode identifikasi secara visual, belalang kembara dikelompokkan berdasarkan ukuran badan spesimen belalang. Pengelompokan tersebut antara lain : ukuran terbesar (soliter), ukuran sedang (transien), dan ukuran terkecil (gregarius). Selanjutnya dilakukan pengamatan

(38)

menggunakan lup.

Sedangkan untuk mengetahui rasio F/C dan E/F dilakukan analisis dengan mengukur panjang sayap depan (E), panjang femur tungkai belakang (F), dan lebar maksimum kepala (C) pada setiap spesimen belalang kembara dewasa yang didapat. Data ukuran (F), (E), dan (C) yang telah diperoleh digunakan untuk menghitung rasio F/C dan E/F. Penghitungan nilai rasio F/C dan E/F diilakukan dengan cara panjang femur tungkai belakang (F) dibagi dengan lebar maksimum kepala (C) dan panjang sayap depan (E) dibagi dengan panjang femur tungkai belakang (F) per masing-masing individu belalang kembara dewasa. Setelah didapat nilai rasio F/C dan E/F per masing-masing individu kemudian dihitung rata-rata rasio F/C dan E/F dari keseluruhan belalang kembara yang didapat berdasarkan vegetasi yang telah ditentukan dan berdasarkan keseluruhan vegetasi. Selanjutnya, nilai rasio F/C dan E/F tersebut digunakan untuk menentukan fase populasi belalang kembara dengan menggunakan koefisien kriteria LuongSkovmand (1999) seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Ciri morfologis tiga fase dari populasi belalang kembara Afrika (L. m. migratorioides) (LuongSkovmand, 1999).

Rasio Bagian Tubuh

Jenis Kelamin

Fase Transformasi

Soliter Transien Gregarius

E/F Jantan 1,40  1,79 1,79  2,09 2,09  Betina 1,40  1,81 1,81  2,18 2,18  F/C Jantan 3,67  4,00 2,95  3,67  2,95 Betina 3,46  4,00 2,85  3,46  2,85 Keterangan: E = panjang sayap depan; F = panjang femur tungkai belakang;

(39)

V. KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di hamparan pertanaman tebu PT GMP Lampung Tengah dapat disimpulkan bahwa:

1. Pada hamparan pertanaman tebu di lahan PT GMP Lampung Tengah sekurang-kurangnya ditemukan lima sub-famili belalang yang termasuk dalam famili Acrididae, yaitu: Oedipodinae, Acridinae, Catantopinae, Cyrtachanthacridinae, dan Oxyinae.

2. Jenis belalang yang dominan pada hamparan pertanaman tebu yang disurvei adalah sub-famili Oedipodinae yang di dalamnya terdapat spesies belalang kembara. Jumlah spesimen setiap sub-famili yang ditemukan adalah: Oedipodinae (212 ekor), Acridinae (147 ekor), Catantopinae (165 ekor), Cyrtachanthacridinae (153 ekor), dan Oxyinae (11 ekor).

3. Berdasarkan penentuan fase belalang secara visual, belalang kembara yang berada pada fase soliter, transien, dan gregarius berturut-turut adalah 90,32%; 8,87%; dan 0,81%. Sementara itu, hasil analisis berdasarkan indikator Luong-Skovmand (1999) menghasilkan belalang kembara soliter 76,61%; transien 20,97%; dan gregarius 2,42%. Meskipun secara numerik kedua metode tersebut memberikan hasil yang berbeda tetapi keduanya menghasilkan kesimpulan yang sama, yaitu bahwa mayoritas belalang kembara pada hamparan yang disurvei berada dalam fase soliter.

(40)

DAFTAR PUSTAKA

Cakrabawa, D. N. dan L. Nuryati. 2014. Outlook Komoditi Tebu. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal. Kementerian Pertanian. Jakarta. 64 hlm.

Ely, O. S., Njagi P. G. N., Bashir M. O., El-Amin S. E. T., dan Hassanali A. 2011. Diel behavioral activity patterns in adult solitarious Desert locust,

Schistocerca gregaria (Forskål). Psyche. 2011: 1–9.

FAOSTAT. 2011. Production, Export, Import of Sugar Cane. http://www.fao.org. Diakses pada 7 April 2016.

Grichanov, I. Y. 2009. Pests. Locusta migratoria L. - Migratory Locust, Asiatic Locust. Interactive Agricultural Ecological Atlas of Russia and Neighboring Countries, Economic Plants and their Diseases, Pests and Weeds. http://www.agroatlas.ru. Diakses pada 11 Oktober 2016.

Hadi, D. S. 2011. Pengendalian Hama Belalang Kembara (Locusta migratoria manilensis Meyen) dengan Pestisida Nabati di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Prosiding Gelar Teknologi Hasil Penelitian. Kementrian Kehutanan. Sumba Barat. 139-154 hlm. 30 November-1 Desember 2011. Kalshoven, L. G. E. 1981. The Pests of crops in Indonesia. PT Ichtiar Baru-Van

Hoeve. Jakarta. 701 hlm.

Koesmaryono, Y., F.T. Hana, dan Yusmin. 2005. Analisis Hubungan Tingkat Serangan Hama Belalang Kembara (Locusta migratoria manilensis Meyen) dengan Curah Hujan. Jurnal Agromet. 19(2): 13-23.

Luong-Skovmand. 1999. Biology of the oriental migratory locust. Unpublished paper presented in “Seminar for technology transfer of locust survey and control. Lampung. 12-16 Juli 1999.

Mawardi, M., R. Yolanda, dan A. A. Purnama. 20115. Jenis-Jenis Belalang (Orthoptera: Caelifera) di Dusun II Desa Tambusai Timur Kecamatan Tambusai Kabupaten Rokan Hulu. Universitas Pasir Pengaraian. Riau. 7 hlm.

(41)

(Locusta migratoria L.) pada Tanaman Jagung di Kelurahan Pisang Kecamatan Pauh Padang. Sekolah Tinggi Keguruan Dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI. Sumatera Barat. 4 hlm.

Pabbage, M. S., A. M. Adnan, dan N. Nonci. 2007. Pengelolaan Hama Prapanen Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros. 274-304 hlm.

Resh, V.H. dan Carde, R.T. 2003. (eds) Encyclopedia of Insects. Elsevier Science, Academic Press. San Diego. 1266 hlm.

Roe, A. H. 2000. Grasshopper and Their Control. Extension Entomology. Department of Biology. University of Texas. Austin. 1–5 hlm.

Sitompul, S. S. 2005. Pengendalian Hama Belalang Kembara (Locusta migratoria) dengan Menggunakan Gelombang Ultrasonik di Kalimantan Barat. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Airlangga. Surabaya. Steenis, V., G. D. Hoed, S. Bloeembergen, dan P. J. Eyma. 2005. Flora. Pradnya

Paramita. Jakarta. 114 hlm.

Sudarsono, H. 2003. Hama belalang kembara (Locusta migratoria manilensis

Meyen): fakta dan analisis awal ledakan populasi di Provinsi Lampung.

Jurnal HPT Tropika. 3(2): 5156.

Sudarsono, H., R. Hasibuan, dan D. Buchori. 2005. Biologi dan transformasi belalang kembara Locusta migratoria manilensis Meyen (Orthoptera: Acrididae) pada beberapa tingkat kepadatan populasi di laboratorium. Jurnal HPT Tropika. 5(1): 2431.

Surachman, E. & A.W. Suryanto. 2007. Hama Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Masalah dan Solusinya. Kanisius: Yogyakarta.

Tambunan, H. dan A. W. Hapsoro. 2005. Belalang Kembara (Locusta migratoria, manilensis). Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. Unit Pelaksana Teknis Dinas Proteksi Tanaman. Kupang, Nusa Tenggara Timur. 8 hlm.

Tan, M. K. 2012. Orthoptera in the Bukit Timah and Central Catchment Nature Reserves (Part 1): Suborder Caelifera. Raffles Museum of Biodiversity Research. National University Singapore. Singapore. 40 hlm.

Tan, M. K. dan K. N. Kamarudin. 2014. Orthorptera of Fraser’s Hill, Peninsular

Malaysia. Lee Kong Chian Natural History Museum. National University Singapore. Singapore. 88 hlm.

Tim Penulis PTPN XI. 2010. Panduan Teknik Budidaya Tebu. PT Perkebunan Nusantara XI. Surabaya. 204 hlm.

(42)

Yayasan Pembangunan Indonesia Sekolah Tinggi Teknologi Industri. Surabaya.

Tjandrakirana, V. J., Harsono L., Daniar T., dan Osid H. 1994. Belalang Kembara Locusta migratoria dan Usaha Pengendaliannya. Dirjen Tanaman Pangan dan Hortikultura. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman. Jakarta. 27 hlm.

Untung, K. 1996. Pengantar Pengelolahan Hama Terpadu. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 273 hlm.

Untung, K., F.X. Wagiman, dan S. Hardjastuti. 2003. Kajian Pengendalian Hama Belalang Kembara dan Pemanfaatan Limbahnya di Kabupaten Sumba Timur. Laporan Hasil Penelitian. Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta. Wijayanti, W. A. 2008. Pengelolaan tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) di

pabrik gula Tjoekir PTPN X, Jombang, Jawa Timur (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Yenti, S. R., S. Herman, dan Zultiniar. 2011. Kinetika Proses Pembuatan Asam Oksalat dari Ampas Tebu. Prosiding SNTK TOPI. Pekanbaru. 2932 hlm. 21-22 Juli 2011.

Yunus, B. 2015. Populasi hama utama pada tanaman padi (Skripsi). Universitas Hasanuddin. Makassar.

Gambar

Gambar 1.  Pronotum belalang kembara pada fase: S. soliter; dan G. gregarius  (Kalshoven, 1981)
Gambar 2.  Skema titik sampel vegetasi tebu muda, rumput, dan lahan bera.
Tabel 1. Ciri morfologis tiga fase dari populasi belalang kembara Afrika (L.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengatur hal tersebut pemerintah Kota Pekanbaru membuat sebuah kebijakan yang mana dalam hal ini penulis memfokuskan penelitian pada Peraturan Daerah Nomor 3

Hasil penelitian menjelaskan, bahwa 1) implementasi teknis behavior contract ini ada beberapa tahap pelaksanaanya.. konselor mengawali pertemuan dengan konseli untuk

Relasi ini digunakan apabila terdapat dua atau lebih aktor melakukan hal yang sama (use case yang sama). Use case tersebut kemudian dipisahkan dan dihubungkan dengan

P SURABAYA 03-05-1977 III/b DOKTER SPESIALIS JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH RSUD Dr.. DEDI SUSILA, Sp.An.KMN L SURABAYA 20-03-1977 III/b ANESTESIOLOGI DAN

Begitu juga yang dikemukakan Kridalaksana bahwa gaya bahasa adalah gaya seseorang dalam bertutur atau menulis: gaya bahasa itu merupakan keseluruhan ciri-ciri bahasa

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumtif terjadi pada partisipan karena pemberian uang saku dari orang tua yang dapat dibelikan sesuatu

Pengamatan dilakukan setelah inokulasi nematoda puru akar dan aplikasi serbuk daun beluntas, parameter pengamatan yaitu persentase sistem akar total yang berpuru

Hasil penelitian adalah (1) Terdapat pengaruh positif signifikan gaya kepemimpinan terhadap kinerja guru tetap SMP Muhammadiyah 3 Depok secara parsial, (2)