• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan dibahas beberapa aspek yang terkait dalam penelitian ini :

1. Konsep Nyeri

1.1 Defenisi Nyeri

Menurut The International Association for the Study of Pain (1979, dalam Potter & Perry 2005), nyeri didefenisikan sebagai perasaan sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial yang menyebabkan kerusakan jaringan. Sementara itu defenisi keperawatan tentang nyeri adalah apapun yang menyakitkan tubuh yang dikatakan individu yang mengalaminya yang ada kapanpun individu mengatakannya (Brunner & Suddarth, 2001).

Nyeri terjadi bersamaan dengan terjadinya proses penyakit atau bersamaan dengan beberapa pemeriksaan diagnostik atau pengobatannya. Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan lebih banyak orang dari pada penyakit apapun (Brunner & Suddarth, 2001).

Penyebab nyeri dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan yaitu penyebab yang berhubungan dengan fisik dan psikis (Luckmann & Sorensen’s, 1987). Secara fisik misalnya, penyebab nyeri adalah trauma (baik trauma mekanik, termis, kimiawi, maupun elektrik), neoplasma, peradangan, gangguan sirkulasi darah dan lain-lain. Secara psikis, penyebab nyeri dapat terjadi oleh karena adanya trauma psikologis (Luckmann & Sorensen’s, 1987).

(2)

Trauma mekanik menimbulkan nyeri karena ujung-ujung saraf bebas mengalami kerusakan akibat benturan, gesekan ataupun luka. Trauma termis menimbulkan nyeri karena ujung saraf reseptor mendapat rangsangan akibat panas dan dingin. Trauma kimiawi terjadi karena tersentuh zat asam atau basa yang kuat. Trauma elektrik dapat menimbulkan nyeri karena pengaruh aliran listrik yang kuat mengenai reseptor rasa nyeri sedangkan nyeri yang disebabkan faktor psikologis merupakan nyeri yang dirasakan bukan karena penyebab organik, melainkan akibat trauma psikologis dan pengaruhnya terhadap fisik (Luckmann & Sorensen’s, 1987).

1.2 Klasifikasi Nyeri

Nyeri dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa golongan berdasarkan pada tempat, sifat, berat ringannya nyeri, dan waktu serangannya.

1.2.1 Nyeri Berdasarkan Tempatnya

a. Pheriperal pain

Pheriperal pain adalah nyeri yang terasa pada permukaan

tubuh. Nyeri ini termasuk nyeri pada kulit dan permukaan kulit. Stimulus yang efektif untuk menimbulkan nyeri di kulit dapat berupa rangsangan mekanis, suhu, kimiawi, atau listrik. Apabila hanya kulit yang terlibat, nyeri sering dirasakan sebagai menyengat, tajam, meringis, atau seperti terbakar (Price & Wilson, 2002).

(3)

b. Deep pain

Deep pain adalah yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih

dalam (nyeri somatik) atau pada organ tubuh visceral (nyeri visceral). Nyeri somatis mengacu pada nyeri yang berasal dari otot, tendon, ligamentum, tulang, sendi, dan arteri. Stuktur-stuktur ini memiliki lebih sedikit reseptor nyeri sehingga lokalisasi nyeri sering tidak jelas (Price & Wilson, 2002). Demikian juga pada nyeri visceral, lokalisasinya tidak dapat ditentukan. Nyeri visceral ini meliputi apendisitis akut, cholecysitis, penyakit kardiovaskuler, dan gagal ginjal (Luckmann & Sorensen’s, 1987).

c. Reffered pain

Reffered pain adalah nyeri dalam yang disebabkan karena

penyakit organ/struktur dalam tubuh yang ditransmisikan ke bagian tubuh di daerah yang berbeda, bukan dari daerah asal nyeri. Misalnya, nyeri pada lengan kiri atau rahang berkaitan dengan iskemia jantung atau serangan jantung (Brunner & Suddarth, 2001).

d. Central pain

Central pain adalah nyeri yang terjadi karena perangsangan

pada sistem saraf pusat, spinal cord, batang otak, talamus, dan lain-lain (Luckmann & Sorensen’s, 1987).

(4)

1.2.2 Nyeri Berdasarkan Sifat

a. Incidental Pain

Incidental pain adalah yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu

lalu menghilang. Incidental ini terjadi pada pasien yang mengalami nyeri kanker tulang (IASP, 1979).

b. Steady Pain

Steady pain adalah nyeri yang timbul dan menetap serta

dirasakan dalam waktu yang lama. Pada distensi renal kapsul dan iskemik ginjal akut merupakan salah satu jenis steady pain. Tingkatan nyeri yang konstan pada obstruksi dan distensi (Gillenwater et all,1996).

c. Proximal Pain

Proximal pain adalah nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi

dan kuat sekali. Nyeri tersebut biasanya menetap ±10-15 menit, lalu menghilang, kemudian timbul lagi. Nyeri ini terjadi pada

pasien yang mengalami Carpal Tunnel Syndrome (Cherington,1974 ).

1.2.3 Nyeri Berdasarkan Ringan Beratnya a. Nyeri Ringan

Nyeri ringan adalah nyeri yang timbul dengan intensitas yang ringan. Pada nyeri ringan biasanya pasien secara obyektif dapat berkomunikasi dengan baik (Dharmayana, 2009).

(5)

b. Nyeri Sedang

Nyeri sedang adalah nyeri yang timbul dengan intensitas yang sedang. Pada nyeri sedang secara obyektif pasien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik (Dharmayana, 2009).

c. Nyeri Berat

Nyeri berat adalah nyeri yang timbul dengan intensitas yang berat. Pada nyeri berat secara obyektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang (Dharmayana, 2009). 1.2.4 Nyeri Berdasarkan Waktu Serangan

a. Nyeri Akut

Nyeri akut merupakan nyeri yang mereda setelah intervensi atau penyembuhan. Awitan nyeri akut biasanya mendadak dan berkaitan dengan masalah spesifik yang memicu individu untuk segera bertindak menghilangkan nyeri. Nyeri berlangsung singkat (kurang dari 6 bulan) dan menghilang apabila faktor internal dan eksternal yang merangsang reseptor nyeri dihilangkan. Durasi nyeri akut berkaitan dengan faktor penyebabnya dan umumnya dapat diperkirakan (Price & Wilson, 2002).

(6)

Cedera atau penyakit yang menyebabkan nyeri akut dapat sembuh secara spontan atau dengan pengobatan. Sebagai contoh, jari yang tertusuk biasanya sembuh dengan cepat. Pada kasus yang lebih berat seperti fraktur ekstremitas, pengobatan dibutuhkan untuk menurunkan nyeri sejalan dengan penyembuhan tulang (Brunner & Suddarth, 2001).

Pasien pada nyeri akut memperlihatkan respon neurologik yang terukur yang disebabkan oleh stimulasi simpatis yang disebut sebagai hiperaktivitas autonom. Perubahan-perubahan ini mencakup takikardia, takipnea, meningkatnya aliran darah perifer, meningkatnya tekanan darah, dan dibebaskannya katekolamin. Kekuatan otot lokal juga mungkin terjadi, dalam suatu usaha involunter agar daerah yang cedera tidak bergerak (Price & Wilson, 2002)

b. Nyeri Kronis

Nyeri kronis adalah nyeri yang berlangsung terus menerus selama 6 bulan atau lebih. Nyeri ini berlangsung di luar waktu penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab atau cedera spesifik (Brunner & Suddarth, 2001).

Nyeri kronik ini berbeda dengan nyeri akut dan menunjukkan masalah baru. Pada sindrom nyeri kronis dapat disebabkan oleh faktor penyakit atau proses patologi yang persisten. Tetapi nyeri kronis juga merupakan penyakit itu sendiri. Klien menjadi cemas

(7)

dan frustasi. Nyeri kronis mempengaruhi seluruh aspek kehidupan klien (Price & Wilson, 2002).

Pasien dengan nyeri kronis tidak atau kurang memperlihatkan hiperaktivitas autonom tetapi memperlihatkan gejala irritabilitas, kehilangan semangat, dan gangguan kemampuan berkonsentrasi. Nyeri kronis ini sering mempengaruhi semua aspek kehidupan penderitanya, menimbulkan distress, kegalauan emosi, dan mengganggu fungsi fisik dan sosial (Potter & Perry, 2005).

Nyeri kronis dibagi menjadi dua yaitu nyeri kronik non malignan dan malignan (Potter & Perry, 2005). Nyeri kronis non malignan merupakan nyeri yang timbul akibat cedera jaringan yang tidak progresif atau yang menyembuh (Shceman, 2009), bisa timbul tanpa penyebab yang jelas misalnya nyeri pinggang bawah, dan nyeri yang didasari atas kondisi kronis, misalnya osteoarthritis (Tanra, 2005). Sementara nyeri kronik malignan yang disebut juga nyeri kanker memiliki penyebab nyeri yang dapat diidentifikasi yaitu terjadi akibat perubahan pada saraf, perubahan ini terjadi bisa karena penekanan pada saraf akibat metastasis sel-sel kanker maupun pengaruh zat-zat kimia yang dihasilkan oleh kanker itu sendiri (Portenoy, 2007).

Kebanyakan penderita nyeri kanker tidak berasal dari pengalaman nyeri. Dan beberapa mengalami nyeri psikologi yang berasal dari proses keganasan. Bagaimanapun juga, banyak

(8)

pengalaman nyeri pada stadium akhir dari penyakitnya, dan umumnya berhubungan dengan metastasis. Sekitar 60 sampai 80% pasien kanker yang dirawat di rumah sakit menderita nyeri yang sangat hebat (Lewis, 1983).

1.3 Fisiologi Nyeri

Organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsangan nyeri disebut reseptor nyeri (Tamsuri, 2004). Reseptor nyeri atau sering disebut nosiceptif adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya pada stimulus yang kuat, yang secara potensial merusak (Brunner & Suddarth, 2001).

Reseptor pada bagian kutaneus terbagi dalam dua komponen, yaitu: serabut A delta dan serabut C. Serabut A delta merupakan serabut komponen cepat yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam, yang akan cepat hilang. Sementara serabut C merupakan serabut komponen lambat yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya tumpul dan sulit dilokalisasi (Tamsuri, 2004).

Fisiologi nyeri melalui proses-proses berikut: 1.3.1 Proses Transduksi (Transduction)

Proses transduksi merupakan proses dimana suatu stimuli nyeri diubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf. Stimuli ini dapat berupa stimuli fisik (tekanan), suhu (panas) atau kimia (substansi nyeri) (Luckmann & Sorensen’s, 1987).

(9)

Proses transisi dimaksudkan sebagai penyaluran impuls melalui saraf sensoris menyusul proses transduksi. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut C sebagai neuron pertama, dari perifer ke medulla spinalis dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh traktus sphinotalamikus sebagai neuron kedua. Dari thalamus selanjutnya impuls disalurkan ke daerah somato sensoris di korteks serebri melalui neuron ketiga, dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan sebagai persepsi nyeri (Luckmann & Sorensen’s, 1987).

1.3.3 Proses Modulasi (Modulation)

Proses modulasi adalah proses dimana terjadi interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh pada saat nyeri masuk ke kornu posterior medula spinalis. Proses acendern ini di kontrol oleh otak.

Sistem analgesik endogen ini meliputi enkefalin, endorfin, serotonin, dan noradrenalin memiliki efek yang dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Kornu posterior ini dapat diibaratkan sebagai pintu yang dapat tertutup atau terbukanya pintu nyeri tersebut diperankan oleh sistem analgesik endogen tersebut di atas. Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri menjadi sangat subyektif pada setiap orang (Luckmann & Sorensen’s, 1987). 1.3.4 Persepsi

(10)

Persepsi merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri. Pada saat individu menjadi sadar akan nyeri, maka akan terjadi reaksi yang kompleks (Potter & Perry, 2005).

1.4 Teori Nyeri

Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosiceptor dapat menghasilkan rangsangan nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2004).

1.4.1 Teori Spesivitas ( Specivicity Theory)

Teori spesivitas nyeri ini diperkenalkan oleh Descrates. Teori ini menjelaskan bahwa nyeri berjalan dari reseptor-reseptor nyeri yang spesifik melalui jalur neuroanatomik tertentu ke pusat nyeri di otak dan bahwa hubungan antara stimulus dan respon nyeri yang bersifat langsung dan invariabel. Prinsip teori ini adalah: (1) reseptor somatosensorik adalah reseptor yang mengalami spesialisasi untuk berespon secara optimal terhadap satu atau lebih tipe stimulus tertentu, dan (2) tujuan perjalanan neuron aferen primer dan jalur ascendens merupakan faktor kritis dalam membedakan sifat stimulus di perifer (Price & Wilson, 2002).

1.4.2 Teori Pola

Teori pola diperkenalkan oleh Goldscheider pada tahun 1989. Teori pola ini menjelaskan bahwa nyeri disebabkan oleh berbagai reseptor sensori yang dirangsang oleh pola tertentu. Nyeri merupakan

(11)

akibat stimulasi reseptor yang menghasilkan pola tertentu dari impuls saraf. Pada sejumlah causalgia, nyeri pantom, dan neuralgia teori pola ini bertujuan bahwa rangsangan yang kuat mengakibatkan berkembangnya gaung terus menerus pada spinal cord sehingga saraf transmisi nyeri bersifat hipersensitif dimana rangsangan dengan intensitas rendah dapat menghasilkan transmisi nyeri (Lewis, 1983). 1.4.2 Teori Gerbang Kendali Nyeri

Teori ini dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau bahkan dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Mekanisme pertahanan dapat ditemukan di sel-sel gelatinosa substansi di dalam kornu dorsalis pada medula spinalis, thalamus dan sistem limbik. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar terapi menghilangkan nyeri.

1.5 Penanganan Nyeri

Penanganan nyeri merupakan masalah yang kompleks. Sebelum dilakukan penanganan terhadap nyeri terlebih dahulu mengkaji sumber, letak, faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri seperti kegelisahan dan keletihan (Brunner & Suddarth, 2001). Penanganan nyeri dapat dilakukan dengan cara:

(12)

1.5.1 Farmakologis

Menangani nyeri yang dialami pasien melalui intervensi farmakologis dilakukan dalam kolaborasi dokter dan pasien (Brunner & Suddarth, 2001). Analgesik merupakan obat yang paling umum untuk menghilangkan nyeri (Brannon & Jeist, 2007). Obat golongan analgesik akan merubah persepsi dan interpretasi nyeri dengan cara mendepresi sistem saraf pusat pada talamus dan korteks cerebri. Analgesik akan lebih efektif diberikan sebelum klien merasakan nyeri yang lebih berat dibandingkan setelah mengeluh nyeri (Irman, 2007). Secara umum obat analgesik digolongkan menjadi dua yaitu narkotika dan non narkotika (Julien, 1985 dalam Branner & Feist, 2007).

Analgesik ini biasanya diberikan terutama pada nyeri akut (Branner & Feist, 2007). Pada nyeri kronis, klien cenderung mengalami depresi sehingga diberikan anti depresan. Selain efektif untuk mengatasi depresi, antidepresan juga mengandung efek analgesik (Shatri & Setyohadi, 2001).

1.5.2 Nonfarmakologis

Intervensi nyeri dengan cara non farmakologis memiliki resiko yang sangat rendah. Pada nyeri yang sangat hebat, mengkombinasikan tehnik nonfarmakologis dengan obat-obatan mungkin cara yang efektif untuk menghilangkan nyeri (Brunner & Suddarth, 2001).

a. Distraksi. Distraksi adalah tehnik mengalihkan perhatian klien ke hal lain terutama hal yang menyenangkan dengan tujuan

(13)

untuk menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri. Salah satu tehnik distraksi adalah dengan mendengarkan musik (Potter & Perry, 2005).

b. Stimulasi Kutaneus. Stimulasi kutaneus adalah stimulasi kulit yang dilakukan untuk menghilangkan nyeri. Beberapa strategi stimulasi kutaneus adalah dengan masase dan kompres panas dan dingin. Masase sering dipusatkan pada punggung dan bahu, membuat pasien lebih nyaman karena merelaksasi otot (Brunner & Suddarth, 2001). Pilihan terapi kompres panas dan dingin bervariasi menurut kondisi klien. Misalnya, panas lembab menghilangkan kekakuan pada pagi hari akibat arthritis, tetapi kompres dingin mengurangi nyeri akut dan sendi yang mengalami peradangan akibat penyakit yang diderita (Ceccio, 1990 dalam Potter & Perry, 2005).

c. Relaksasi. Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Tehnik relaksasi yang sederhana terdiri atas napas abdomen dengan frekuensi lambat dan berirama. Pasien dapat memejamkan matanya dan bernafas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang konstan dapat dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap inhalasi dan ekhalasi (Brunner & Suddarth, 2001). Tehnik relaksasi ini

(14)

sangat efektif terutama pada pasien nyeri kronis (Somantri, 2007).

d. Terapi Kognitif. Apa yang dipikirkan seseorang tentang nyeri yang dialami memberikan pengaruh terhadap kehidupannya dan terhadap seberapa besar nyeri yang dia rasakan. Pikiran yang negatif tentang nyeri akan memfokuskan perhatian seseorang terhadap aspek yang tidak menyenangkan dan membuat nyeri yang dirasakan bertambah buruk (Turk dkk, 1983; Turk & Rudy, 1986 dalam DiMetteo, 1991). Pemberian intervensi terapi kognitif ini adalah meningkatkan cara berfikir klien dengan mengarahkan klien untuk memahami masalah yang dihadapinya. Klien diyakinkan bahwa ia memiliki kemampuan untuk berperilaku normal (Tailor, 1995). Tehnik kognitif ini salah satunya dengan meningkatkan self efficacy (Brannon & Jeist, 2007).

1.5.3 Pembedahan

Pembedahan merupakan pengobatan yang jarang dilakukan. Pembedahan ini dilakukan hanya ketika pengobatan yang dilakukan sebelumnya tidak memberikan hasil yang efektif (Brannon & Jeist, 2007). Resiko yang dapat ditimbul akibat pembedahan ini meliputi gejala nyeri baru akibat kerusakan saraf, kekambuhan nyeri dan kerusakan neurologi pasca operasi (Potter & Perry, 2005).

(15)

1.6 Pengukuran Nyeri

1.6.1 Skala Numerik Nyeri

Skala ini sudah biasa dipergunakan dan telah divalidasi. Berat ringannya rasa sakit atau nyeri dibuat menjadi terukur dengan mengobyektifkan pendapat subyektif nyeri. Skala numerik dari 0 hingga 10, di bawah ini, nol (0) merupakan keadaan tanpa atau bebas nyeri, sedangkan sepuluh (10), suatu nyeri yang sangat hebat (Brunner & Suddarth, 2001).

Skala Numerik Nyeri

1.6.2 Visual Analog Scale

Terdapat skala sejenis yang merupakan garis lurus, tanpa angka. Bisa bebas mengekspresikan nyeri, ke arah kiri menuju tidak sakit, arah kanan sakit tak tertahankan, dengan tengah kira-kira nyeri yang sedang (Potter & Perry, 2005).

Visual Analog Scale (VAS)

Tidak ada Sangat

(16)

Pasien diminta menunjukkan posisi nyeri pada garis antara kedua nilai ekstrem. Bila anda menunjuk tengah garis, menunjukkan nyeri yang moderate/sedang (Brunner & Suddarth, 2001)

1.6.3 Skala Wajah Wong dan Barker

Skala nyeri enam wajah dengan ekspresi yang berbeda, menampilkan wajah bahagia hingga wajah sedih, digunakan untuk mengekspresikan rasa nyeri. Skala ini biasanya dipergunakan mulai anak usia 3 (tiga) tahun (Potter & Perry, 2005).

Skala wajah untuk nyeri

Pengukuran nyeri yang dipakai untuk mengukur skala nyeri pada penelitian ini adalah skala numerik nyeri. Skala ini merupakan skala yang paling umum digunakan untuk mengukur skala nyeri. Nilai 1-4 menggambarkan nyeri ringan, 5-6 menggambarkan nyeri sedang, dan 7-0 nyeri berat (Brunner & Suddarth, 2001).

2. Perilaku Nyeri

(17)

Respon terhadap adanya stimulasi kerusakan dibagi menjadi dua bagian yaitu pengalaman nyeri yang bersifat subjektif dan perilaku yang dapat diobservasi. Kata nyeri digunakan untuk menyatakan pengalaman yang tidak menyenangkan yang bersifat subjektif. Sementara perilaku yang dapat diobservasi disebut dengan perilaku nyeri (Fields, 1987).

Perilaku nyeri adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh seseorang dan setiap perubahan kebiasaan ketika ia mengalami nyeri yang dapat diobservasi (Wall, 1991). Menurut Fordyce (1976), pembelajaran memainkan peranan yang penting dalam mengembangkan perilaku nyeri yang membantu perawatan nyeri kronis. Menurut Fordyce (1976), perilaku nyeri dapat berupa :

2.1.1 Respon verbal, meliputi mengeluh, mendesah, merintih, dan mengadukan nyeri yang dialami yang dialami.

2.1.2 Respon non verbal, meliputi wajah tegang, keresahan, sudut mulut dilengkungkan ke bawah, terlihat sedih, terlihat ketakutan, bibir berkerut, dan dagu bergetar.

2.1.3 Sikap badan dan isyarat meliputi menggosok-gosok bagian tubuh yang nyeri, immobilisasi dan menyeringai.

2.1.4 Perilaku yang berbeda dengan keadaan normal meliputi beristirahat dan berbaring secara berlebihan.

(18)

Pendekatan perilaku yang dilakukan terhadap jenis pengobatan pada nyeri kronis dibuat berdasarkan dua jenis perilaku nyeri : respondent behavior dan

operant behavior (Kast, 1998).

2.2.1 Respondent Behavior (Respon Reflektif)

Respondent behavior adalah respon yang timbul akibat adanya

stimulus yang spesifik. Pada perilaku ini terlihat jelas hubungan antara stimulus dan respon. Respon reflektif merupakan respon yang secara otomatis dapat terjadi walaupun diinginkan atau tidak. Respon ini dikontrol oleh stimulus nociceptif yang spesifik. Contoh perilaku nyeri reflektif ini adalah sensasi terbakar yang berhubungan dengan injuri pada kulit ataupun pada otot (Kast, 1998).

2.2.2 Operant Behavior (Respon Instrumental)

Operant behavior adalah respon yang timbul dan berkembang

kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Penghargaan dan hukuman merupakan kunci dari pendekatan operant dan perilaku sering dihubungkan dengan tidak adanya reaksi terhadap nyeri dan lebih sering dihubungkan dengan faktor afektif atau lingkungan (Niven, 1994).

Perilaku nyeri sering dihubungkan dengan beberapa bentuk penghargaan (sesuatu yang diinginkan terjadi jika pasien menunjukkan perilaku nyeri, seperti pasangan hidup atau kompensasi finansial) (Niven, 1994). Kadang- kadang perilaku nyeri melibatkan penghindaran dari sesuatu yang tidak diinginkan (keluar dari pekerjaan yang menimbulkan

(19)

stress atau menghindari kontak dengan individu yang mengancam) (Niven, 1994). Tampaknya sebuah respon yang sesuai untuk seseorang dalam keadaan nyeri adalah dengan menunjukkan dukungan atau perhatian dan bersikap menenangkan. Menurut pendekatan operant hal ini akan menjadi penghargaan karena tindakan tersebut memberikan penghargaan bagi pasien, dengan memberinya perhatian setiap saat ia mengeluh adanya nyeri (Niven, 1994).

2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Nyeri 2.3.1 Jenis kelamin

Pada umumnya wanita menunjukkan ekspresi emosional yang lebih kuat pada saat mengalami nyeri. Menangis misalnya, adalah hal atau perilaku yang sudah dapat diterima pada wanita sementara pada laki-laki hal ini dianggap hal yang memalukan (Lewis, 1983).

2.3.2 Usia

Usia merupakan variabel yang penting dalam merespon nyeri. Cara lansia merespon nyeri dapat berbeda dengan orang yang berusia lebih muda. Lansia cenderung mengabaikan nyeri dan menahan nyeri yang berat dalam waktu yang lama sebelum melaporkannya atau mencari perawatan kesehatan (Brunner & Suddarth, 2001).

2.3.3 Budaya

Budaya mempunyai pengaruh bagaimana seseorang berespon terhadap nyeri (Brunner & Suddarth, 2001). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Zborowski (1969, dalam Niven 1994), ekspresi perilaku

(20)

berbeda antara satu kelompok dengan kelompok yang lain di satu lingkungan rumah sakit. Perbedaan tersebut dianggap terjadi akibat sikap dan nilai yang dianut oleh kelompok etnik tersebut.

2.3.4 Ansietas

Menurut Racham dan Philips (1975, dalam Niven 1994), ansietas mempunyai efek yang besar terhadap kualitas maupun terhadap intensitas pengalaman nyeri. Ambang batas nyeri berkurang karena adanya peningkatan rasa cemas dan ansietas menyebabkan terjadinya lingkaran yang terus berputar, karena peningkatan ansietas akan mengakibatkan peningkatan sensivitas nyeri (Melzack, 1973).

2.3.5 Pengalaman Masa Lalu

Cara seseorang berespon terhadap nyeri adalah akibat dari banyak kejadian nyeri selama rentang kehidupannya. Individu yang mengalami nyeri selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun dapat menjadi mudah marah, menarik diri, dan depresi (Brunner & Suddarth, 2001).

2.3.6 Pola Koping

Individu yang memiliki lokus kendali internal mempersepsikan diri mereka sebagai individu yang dapat mengendalikan lingkungan mereka dan hasil akhir suatu peristiwa, seperti nyeri (Gill, 1990 dalam Potter & Perry, 2005). Sebaliknya, individu yang memiliki lokus kendali eksternal, mempersepsikan faktor-faktor lain di dalam lingkungan mereka, seperti perawat, sebagai individu yang bertanggungjawab terhadap hasil akhir peristiwa. Individu yang memiliki lokus kendali internal melaporkan

(21)

mengalami nyeri yang tidak terlalu berat daripada individu yang memiliki lokus kendali eksternal (Schulteis, 1987 dalam Potter & Perry, 2005).

2.3.7 Dukungan Sosial dan Keluarga

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan, dan perlindungan. Walaupun klien tetap merasakan nyeri, tetapi akan menurangi rasa kesepian dan ketakutan ( Potter & Perry, 2005).

2.4 Pengukuran Perilaku Nyeri

Perilaku nyeri dapat diobservasi dan dapat diukur. Perilaku yang timbul sebagai manifestasi dari nyeri seperti perubahan postur, ekspresi wajah dan penurunan aktivitas (Turk dkk, 1985 dalam Taylor, 1995). Oservasi perilaku nyeri dapat dikembangkan menjadi strategi pengkajian yang standar (Keefe & Smith, 2002 dalam Branner & Feist, 2007).

Fordyce mengembangkan self observations untuk mengukur perilaku nyeri selama pengalaman nyeri. Pada pengalaman nyeri ini, pasien diminta untuk mengidentifikasi seberapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk meningkatkan tiga kategori perilaku, yaitu: duduk, berdiri atau berjalan, dan berbaring. Pasien setiap saat juga diminta untuk mendokumentasikan pengobatan nyeri yang mereka dapatkan dan jumlah dosisnya. Metode self observation ini mudah dan murah, selain itu, dapat meningkatkan pemahaman pasien terhadap nyeri mereka sendiri (Keefe, 2002 dalam Harahap 2007). Bagaimanapun juga validasi dari self observation perilaku nyeri ini dapat bersifat bias atau tidak akurat (Turk & Flor, 1987 dalam Harahap 2007) karena kebanyakan pasien

(22)

tidak selalu mendokumentasikan perilaku mereka secara akurat. Metode yang lain untuk mengukur perilaku nyeri ini adalah dengan mengandalkan wawancara dan kuesioner. Pasien diminta untuk menjawab beberapa pertanyaaan yang berhubungan dengan perilaku nyeri. Metode ini juga dikritik karena pasien cenderung memilih jawaban yang terbaik (Harahap, 2007).

Metode untuk pengukuran perilaku nyeri ada yang langsung dan yang tidak langsung. Metode ini dikembangkan berdasarkan pemikiran bahwa perilaku nyeri nyata dan dapat diobservasi. Pada pengukuran secara langsung, perilaku nyeri dinilai berdasarkan pertimbangan dan keterampilan pengobservasi. Sedangkan metode tidak langsung biasanya berdasarkan sebuah

video tape recording. Setiap metode ini memiliki keutungan dan kerugian

(Harahap, 2007).

Menurut Simmond (1999 dalam Moores & Watson, dalam Harahap 2007) metode pengukuran nyeri yang berguna tinggi adalah yang berguna, realibel, dapat diterima pasien, efektif biaya dan menyediakan umpan balik instan.

Instrumen yang digunakan peneliti dalam mengobservasi perilaku nyeri adalah Pain Behavior Observation Protocol (PBOP) yang didesain oleh Keefe dan Block pada tahun 1982 (Harahap, 2007). PBOP ini terdiri dari lima perilaku nyeri dengan menggunakan skala likert yang diberi tiga nilai yaitu 0= tidak ada, 1= kadang-kadang, dan 2= selalu. Protokol Keefe dan Block merupakan serangkaian aktivitas selama 10 menit yang kemudian disesuaikan. Perilaku nyeri tersebut adalah : (1) Terjaga, mengacu pada kekakuan yang abnormal, merasa terganggu atau pergerakan yang kaku, (2) Menahan nyeri,

(23)

mengacu pada pergerakan yang statis pada dukungan terhadap anggota tubuh semakin meluas dan distribusi berat yang tidak normal, (3) Menggosok bagian yang nyeri, mengacu pada menyentuh atau memegang bagian tubuh yang terpengaruh nyeri, (4) Meringis, mengacu pada ekspresi wajah yang dapat dilihat yang meliputi mengerutkan kening, mata menyempit, merapatkan bibir, sudut mulut tertarik ke belakang, dan (5) Mendesah, mengacu pada ekhalasi yang berlebihan (Keefe & Block, 2002 dalam Harahap, 2007).

3. Self Efficacy

3.1 Pengertian Self efficacy

Menurut Bandura (1994), self efficacy adalah rasa kepercayaan seseorang bahwa ia dapat menunjukkan perilaku yang dituntut dalam suatu situasi yang spesifik. Self efficacy merupakan suatu bentuk kepercayaan yang dimiliki seseorang terhadap kapabilitas masing-masing untuk meningkatkan prestasi kehidupannya. Self efficacy dapat berupa bagaimana perasaan seseorang, cara berfikir, motivasi diri, dan keinginan memiliki sesuatu.

Individu dengan self efficacy tinggi akan berusaha lebih keras dan mempunyai daya yang kuat dalam mengerjakan sesuatu dibandingkan dengan individu yang memiliki self efficacy yang rendah. Self efficacy lebih mengarahkan pada penilaian individu akan kemampuannya. Pentingnya self

efficacy akan berpengaruh pada usaha yang diperlukan dan akhirnya terlihat

dari outcome kerja. Individu dengan self efficacy yang tinggi akan lebih ulet dan tahan menghadapi situasi sekitarnya (Brannon & Jeist, 2007).

(24)

Menurut Bandura, individu dengan self efficacy yang tinggi cenderung tidak memiliki rasa cemas dalam mengerjakan tugas. Hal ini disebabkan karena mereka mempunyai kontrol yang baik terhadap segala sesuatu yang ada disekitarnya. Adanya kontrol yang baik dalam diri mereka menyebabkan mereka jarang membuat kesalahan dalam mengerjakan sesuatu (Brannon & Jeist, 2007).

Menurut Bandura (1994), keberadaan self efficacy pada diri seseorang akan berdampak pada empat proses, yaitu:

3.1.1 Proses Kognitif

Pengaruh self efficacy pada proses kognitif dapat timbul dalam berbagai format. Banyak perilaku manusia yang diatur dalam pemikiran sebelumnya dalam mewujudkan tujuan. Pengaturan tujuan individu dipengaruhi oleh penaksiran individu terhadap kapabilitas yang dimilikinya.

3.1.2 Proses Motivasi

Kepercayaan diri terhadap self efficacy memainkan peranan dalam pengaturan diri terhadap motivasi. Seseorang memotivasi dirinya sendiri dan mengarahkan tindakannya melalui berbagai latihan. Mereka percaya terhadap apa yang mereka lakukan dan selalu mengantisipasi adanya hasil tindakan prospektif.

3.1.3 Proses Afektif

Seseorang percaya terhadap pengaruh kapabilitasnya dalam mengatasi stress dan depresi dalam menghadapi ancaman atau situasi yang

(25)

sulit. Dengan adanya self efficacy, seseorang akan lebih mampu mengatasi segala persoalan yang mengancam keberadaannya.

3.1.4 Proses Selektif

Melalui kepercayaan diri terhadap kapabilitas yang dimilikinya, maka seseorang cenderung bertindak selektif atau melakukan pemilihan terhadap pancapaian tujuan hidupnya. Manusia akan memilih pemecahan masalah dan pencapaian tujuan yang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.

3.2 Indikator self efficacy

Indikator self efficacy menurut Bandura (1994), adalah: 3.2.1 Orientasi pada tujuan

Perilaku seseorang dengan self efficacy tinggi adalah positif, mengarahkan pada keberhasilan dan berorientasi pada tujuan. Penetapan tujuan pribadi dipengaruhi oleh penilaian diri seseorang pada kemampuannya. Semakin kuat self efficacy yang dirasakan, semakin tinggi tujuan yang ingin dicapai dan semakin mantap komitmen pada tujuan. 3.2.2 Orientasi Kendali Kontrol

Letak kendali individu mencerminkan tingkat dimana mereka percaya bahwa perilaku mereka mempengaruhi apa yang terjadi pada mereka. Beberapa orang percaya bahwa mereka menguasai takdir mereka sendiri dan menerima tanggung jawab pribadi atas apa yang terjadi pada mereka. Mereka membangun rasa keyakinan bahwa dirinya bisa berprestasi dalam suatu situasi.

(26)

3.2.3 Banyaknya Usaha yang Dikembangkan dalam Situasi

Keyakinan seseorang terhadap kemampuannya menentukan tingkat motivasi sesorang dengan keyakinan yang kuat terhadap kemampuannya, menunjukkan usaha yang lebih besar untuk menhadapi tantangan. Keberhasilan biasanya memerlukan usaha yang terus menerus.

3.2.4 Lama Seseorang akan Bertahan dalam Menghadapi Hambatan

Semakin kuat keyakinan seseorang terhadap kemampuannya, semakin besar dan tekun usaha mereka. Ketekunan yang kuat biasanya menghasilkan outcome yang diharapkan.

3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self Efficacy

Menurut Steers dan Porter (1992), keyakinan sesorang dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu:

3.3.1 Mastery Experience (Pengalaman Keberhasilan)

Keberhasilan seseorang menguatkan keyakinan akan kemampuannya. Sedangkan kegagalan menyebabkan seseorang cenderung untuk lebih berhati-hati. Bagaimanapun jika pengalaman seseorang merupakan keberhasilan yang dicapai dengan mudah, maka mereka cenderung mengharapkan hasil dengan cepat dan lebih mudah putus asa bila menemui kegagalan. Untuk mendapatkan self efficacy, seseorang harus mempunyai pengalaman mengatasi hambatan dengan usaha yang tekun. Beberapa pengalaman dan hambatan yang dialami seseorang bermanfaat mengajarkan bahwa kadang kesuksesan itu diikuti dengan adanya keinginan untuk berusaha. Setelah seseorang memiliki keyakinan

(27)

akan kemampuannya yang diikuti dengan pengulangan kesuksesannya, maka ia dapat mengatur kembali strategi dan kegagalan masa lalu sehingga tidak mengalami kegagalan lagi.

3.3.2 Modeling (meniru)

Sosok model yang ideal dapat membangun keyakinan diri akan kemampuan dengan meyakini pengamatan strategi yang efektif untuk mengatur situasi yang berbeda. Modeling juga menyebabkan kepercayaan akan self efficacy yang diikuti dengan proses pembandingan sosial. Sebagian orang menilai kemampuan mereka dengan cara membandingkan dengan orang lain.

3.3.3 Social Persuasions

Social Persuasions berhubungan dengan dorongan. Informasi tentang

kemampuan yang disampaikan secara verbal oleh seseorang yang berpengaruh biasanya digunakan untuk meyakinkan seseorang bahwa ia cukup mampu melakukan suatu tugas.

3.4 Sumber Self efficacy

Bandura (1994) menyebutkan tiga sumber dari self efficacy, yaitu: 3.4.1 Pencapaian Prestasi

Menurut Bandura (1994), sumber yang paling penting dan efektif dari self efficacy adalah perjalanan keberhasilan dan kegagalan di masa lalu dalam mencapai hasil yang diinginkan. Bila seseorang dapat menguasai pengalaman-pengalaman pribadinya maka ia cenderung menciptakan penghargaan yang tinggi. Sebaliknya kegagalan dalam

(28)

menguasai pengalaman-pengalaman sebelumnya cenderung menghasilkan harapan-harapan yang rendah.

3.4.2 Pengalaman yang Dialami Orang Lain

Pengalaman yamg dialami orang lain dapat menjadi sumber harapan self efficacy yaitu dengan melihat orang lain sukses mencapai suatu prestasi dapat membangkitkan persepsi yang kuat akan self efficacy dalam diri orang tersebut.

3.4.3 Kebangkitan Emosi

Metode yang mengurangi timbulnya emosi akan meningkatkan harapan-harapan self efficacy. Seseorang yang merasakan adanya emosi yang timbul dalam menghadapi situasi-situasi yang penuh dengan stress dan ancaman, akan jauh lebih memiliki harapan bila mereka tidak tegang dan tidak timbul emosi.

3.5 Dimensi dan Aspek dari Self efficacy

Dimensi self efficacy menurut Bandura (1994), yaitu:

3.5.1 Magnitude menunjuk pada tingkat kesulitan tugas yang diyakini oleh individu dapat diselesaikan.

3.5.2 Strengh menunjuk pada kuat atau lemahnya keyakinan individu terhadap tingkat kesulitan tugas yang bisa dikerjakan. Self efficacy yang rendah mudah ditiadakan oleh pengalaman yang sulit, sedangkan orang yang mempunyai keyakinan yang kuat akn mempertahankan usahanya walaupun mengalami kesulitan.

(29)

3.5.3 Generality menunjuk apakah keyakinan self efficacy hanya berlangsung dalam domain tertentu atau berlaku dalam berbagai macam aktivitas dan perilaku.

3.5.4 Outcome expectacy adalah harapan terhadap kemungkinan hasil dari perilaku dimana jika individu menunjukkan perilaku tersebut, maka mengandung harapan akan memperoleh hasil dari perilakunya. 3.5.5 Expectation efficacy adalah keyakinan seseorang bahwa dirinya

dapat menghasilkan perilaku yang dibutuhkan untuk mencapai hasil. Hal ini berarti bahwa seseorang dapat saja percaya bahwa suatu tindakan dapat menghasilkan kinerja namun merasa dirinya mampu melakukan tindakan tersebut. Seseorang yang percaya bahwa dirinya mampu melakukan tindakan mencapai prestasi tersebut akan lebih bekerja keras dan tekun dalam melaksanakan tugasnya.

3.6 Pengukuran Self efficacy

Self efficacy dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan Pain Self Efficacy Questionnaire (PSEQ). Kuesioner ini menggunakan skala differensial

semantik dengan skor antara 0 sampai dengan 6. Pasien diminta untuk menunjukkan pada skala seberapa yakin pasien mampu melakukan hal yang disebutkan dalam setiap pernyataan pada kuesioner. Kuesioner ini tidak melihat apakah pasien dapat melakukan hal-hal tersebut tetapi melihat seberapa yakin mereka dapat melakukannya walaupun ia mengalami nyeri.

(30)

4. Hubungan Self efficacy dengan Nyeri dan Perilaku Nyeri

Nyeri kronis merupakan nyeri yang menetap, sehingga sangat mempengaruhi

emosional klien dan cara berfikir klien. Seringkali klien memikirkan nyeri yang dialami secara berlebihan, sehingga dapat memperburuk perasaan subjektif terhadap nyeri (Brannon & Feist, 1992).

Self efficacy merupakan salah satu kemampuan kognitif. Menurut Bandura

(1994), self efficacy adalah rasa kepercayaan seseorang bahwa ia dapat menunjukkan perilaku yang dituntut dalam suatu situasi yang spesifik.

Penelitian tentang nyeri kronik self efficacy mengindikasikan hubungan yang berbanding terbalik antara peningkatan self efficacy dengan nyeri pada berbagai jenis kelompok klinis (Turk, Meichenbaum & Genest, 1983; Lawson Reesor, Keefe, & Turner, 1990 dalam Chong, 1999). Brown dan Nicassio (1987, dalam Chong, 1999) mengatakan bahwa pasien yang menggunakan koping perilaku yang aktif (misalnya, melakukan aktivitas yang menyenangkan) akan meningkatkan

self efficacy dan menurunkan tingkat nyeri, depresi, dan kerusakan fungsi tubuh

dibandingkan dengan koping yang pasif atau negatif.

Self efficacy yang tinggi biasanya ditandai oleh rendahnya tingkat stress dan kecemasan terhadap nyeri yang dialami yang dapat menurunkan perilaku nyeri. Sebaliknya self efficacy yang rendah ditandai oleh tingkat stress dan kecemasan yang tinggi pula sehingga perilaku nyerinya meningkat (Brannon & Feist, 1992).

Referensi

Dokumen terkait

- Umat Islam hendaklah meyakini bahawa Allah SWT mengutuskan Rasul dalam kalangan manusia (1m)/ adalah untuk membuktikan bahawa Islam mampu dilaksanakan oleh seluruh

Negara dalam hal ini pemerintah berusaha hadir melalui Pasal 74 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan batasan pagi pihak pengusaha

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa bentuk irisan dan suhu dalam pengeringan memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air akhir dan rendemen tetapi tidak memberikan

Untuk mendapatkan gambaran yang rinci dan lengkap terkait daftar program, kegiatan, keluaran, lokasi, waktu pelaksanaan dan anggaran dapat dilihat dalam lampiran, yang

Kuesioner atau daftar pertanyaan ini berisi variabel bebas (stres kerja) dan (kontrol diri), variabel terikat (perilaku kerja kontraproduktif) yang menggunakan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dibuat kesimpulan bahwa Ada hubungan positif dan signifikan antara sikap terhadap Alat Pelindung Diri (APD) dengan

Corrective maintenance adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengatasi kegagalan atau kerusakan yang ditemukan selama masa waktu preventive maintenance. Pada umumnya

[r]