• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemajakan Penghasilan Luar Negeri Dari Wajib Pajak Dalam Negeri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pemajakan Penghasilan Luar Negeri Dari Wajib Pajak Dalam Negeri"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

PAJAK INTERNASIONAL

PEMAJAKAN PENGHASILAN LUAR NEGERI DARI WAJIB PAJAK DALAM NEGERI

Oleh:

Laura Yohana (1210533034) Novi Haryani (1210533027) Rizka Mukhlisa (1210533024)

Program Studi Akuntansi

Fakultas Ekonomi

Universitas Andalas

(2)

PEMAJAKAN PENGHASILAN LUAR NEGERI DARI WAJIB PAJAK DALAM NEGERI

I. PENDAHULUAN

Era globalisasi dan kemajuan sains dan teknologi terutama bidang transportasi, informasi dan komunikasi mendorong berkembang pesatnya perdagangan internasional, mobillisasi dana dan sumberdaya internasional. Perkembangan tersebut mendorong perluasan perdagangan yang semula hanya dalam bentuk ekspor (langsung) menjadi pengoperasian agen, kantor perwakilan dan akhirnya pembukuan cabang usaha atau pelaksanaan kegiatn usaha secara penuh. Pada tataran berikutnya untuk memperkuat pijakan bisnis di negara tersebut, perusahaan dapat melakukan investasi langsung (foreign direct investment) dalam bentuk pengoperasian anak perusahaan (subsidiary company) atau penguasaan atas kepemilikan atau pengendalian perusahaan afiliasi.

UU PPh menganut sistem pemajakan global terhadap WPDN dan pemajakan teritorial terhadap WPLN. Dengan demikian, semua penghasilan yang diperoleh WPDN dari sumber di luar Indonesia juga dikenakan pajak oleh negara tersebut. Sehubungan dengan sistem tersebut, beberapa masalah akan muncul antara lain:

a) Indonesia sebagai negara tempat berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di luar negara tersebut.

b) Karena penghasilan tersebut pada umumnya telah dikenakan pajak di negara sumber (sebagai pemegang primary tax rigths) akan menimbulkan pajak berganda internasional.

c) Bagaimana Indonesia memberikan keringanan pajak berganda tersebut.

Baik pengoperasian agen, kantor perwakilan, cabang atau anak perusahaan di luar negeri akan memberikan penghasilan kepada WPDN (sebagai pengusaha atau investor). Berikut ini akan dibahas pemajakan atas penghasilan usaha atau kegiatan mancanegara.

(3)

a. Relevansi Kriteria Bentuk Usaha Tetap

Secara berurutan dari Pasal 1, 2(e), dan 2(4)a UU PPh, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa WPLN yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia dapat dikenakan pajak oleh negara tersebut apabila aktivitas ekonomi dimaksud mencapai kriteria BUT karena pada tataran itu WPLN dapat dianggap telah berpartisipasi penuh dalam kegiatan perekonomian Indonesia, memanfaatkan jasa dan layanan publik yang tersedia serta tataran usahanya sudah sejajar dengan perusahaan WPDN dan oleh karenanya sudah harus ikut berpartisipasi dalam pembiayaan negeri ini. Sebaliknya, apabila kegiatan tersebut belum mencapai kriteria BUT nampaknya penghasilan (hanya) dikenakan pajak oleh negara domisili dan oleh karena itu untuk memberikan kesempatan pengusaha WPLN lebih meningkatkan partisipasi ekonominya Indonesia belum tepat saatnya untuk mengenakan pajak.

Pembatasan pemajakan (threshold taxation) dengan kriteria BUT ambang batas tersebut berlaku untuk WPLN. Dalam sistem perpajakan internasional terdapat prinsip “bercermin” (mirroring approach, amicable rule atau netralitas aplikasi regulasi. Prinsip tersebut menghendaki agar apabila suatu ketentuan berlaku atas transaksi masuk (inbound transaction) atau terhadap WPDN yang melaksanakan kegiatan di luar Indonesia. Oleh karena itu, sehubungan dengan WPDN yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di luar Indonesia dapat dipertanyakan apakah kriteria tersebut juga berlaku? Kalau seandainya berlaku, pertanyaan selanjutnya ialah apakah kriteria BUT sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2(5) UU PPh dapat diikuti sebagai kriteria penentu atas pemajakan penghasilan usaha WPDN yang bersumber di luar negeri?

Dalam Pasal 4(1) dinyatakan bahwa cakupan geografis sumber penghasilan adalah meliputi baik dari dalam maupun dari luar Indonesia. Pengenaan pajak terhadap WPDN dilakukan berdasarkan pertalian subjektif (subjective allegiance) yaitu bahwa subjek pajak (orang atau badan yang bersangkutan) berada dalam wilayah yurisdiksi Indonesia. Oleh karenanya, berbeda dengan pemajakan terhadap WPLN yang dikenakan pajak berdasar pertalian objektif, apakah penghasilan WPDN mempunyai sumber dari luar atau malahan dari dalam Indonesia nampak agak kurang relevan. Relevansi

(4)

penentuan sumber penghasilan (dari luar Indonesia) hanya diperlukan dalam rangka pemberian kredit pajak luar negeri, karena kredit terutama bukan diberikan berdasarkan ada tidaknya pajak luar negeri yang terutang atau dibayar atas penghasilan melainkan dari apakah penghasilan dimaksud berasal dari sumber di luar Indonesia. Walaupun penghasilan tersebut berasal dari sumber di luar Indonesia, namun selanjutnya apabila tidak ada pajak yang terutang atau dibayar di sana, penghasilan dimaksud akan dikenakan pajak penuh (tanpa kredit pajak) seperti penghasilan dalam negeri.

Sehubungan dengan penghasilan dari usaha dan kegiatan, kriteria ambang batas BUT sepertinya kurang relevan. Apakah penghasilan diperoleh tanpa (misalnya ekspor) atau dengan melalui BUT selalu dikenakan pajak oleh Indonesia. Namun, apabila terdapat kerugian dari usaha dan kegiatan di luar negeri tampaknya konsep BUT baru merupakan fenomena yang perlu dipertimbangkan karena berdasar pertimbangan praktis administratif atau pertimbangan lainnya, kerugian tersebut (sesuai dengan Penjelasan Pasal 4(1) tidak boleh dikonsolidasikan dengan penghasilan lainnya. Secara administratif, apabila terdapat kerugian dari usaha atau kegiatan di luar negeri dapat ditentukan berdasarkan keadaan sebenarnya sesuai dengan pembukuan wajib pajak. Namun karena terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara kerugian dari usaha dan kegiatan di dalam negeri (dapat diperhitungkan dengan laba tahun berikutnya) dengan di luar negeri (tidak boleh diperhitungkan dengan laba dari sumber lain), maka terdapat rangsangan untuk menjadikan kerugian (luar negeri) ke kerugian dalam negeri (terlebih kalau di negara sumber tidak ada kemungkinan kompensasi).

Usaha yang jalankan atau kegiatan yang dilakukan di mancanegara, misalnya negara X, akan dikenakan pajak di negara tersebut apakah dengan memakai kriteria BUT atau tidak adalah tergantung pada ketentuan domestik negara (X) tersebut. Dengan demikian, tampak bahwa kriteria ambang batas BUT sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 (5) UU PPh kurang pas untuk diterapkan terhadap usaha atau kegiatan WPDN yang dijalankan atau dilakukan di mancanegara, karena sebagai negara berdaulat, negara manca tersebut (tentu) mempunyai kriteria pemajakan yang belum tentu sama dengan ketentuan Indonesia dan Indonesia tidak selayaknya , mencampuri urusan pemajakan (dalam negeri) negara dimaksud.

(5)

b. Usaha dan Kegiatan Tidak Memenuhi Kriteria Bentuk Usaha Tetap Dalam perpajakan Internasional, konsep BUT diperkenalkan untuk menentukan hak pemajakan suatu negara (sumber) atas penghasilan dari usaha atau kegiatan yang dijalankan WPLN. Kriteria apakah usaha tersebutb mencapai level BUT, tentunyadiukur dengan konsep BUT menurut ketentuan domestik negara X dan bukan berdasarkan ketentuan Indonesia (UU PPh). Ketentuan domestik negara X tentang BUT berbeda dengan ketentuan serupa UU PPh Indonesia. Apabila tidak ada P3B antara Indonesia dengan negara X, ketidakserempakan kriteria pemajakan dapat menimbulkan pajak berganda karena oleh negara X penghasilan usaha dimaksud telah dianggap masih bersumber di negara domisili, pengusaha WPDN.

Apabila aktivitas ekonomi negara X tersebut oleh WPDN Indonesia dilaporkan sebagai kegiatan ekspor (barang, jasa atau hak atas kekayaan intelektual), oleh Indonesia penghasilan dari kegiatan tersebut dikenakan pajak selayaknya penghasilan domestik (tanpa ada hak atas kredit pajak). Penghasilan akan diakui per basis akrual pada saat penyerahan barang. Sementara itu, perbedaan nilai tukar mata uang pada saat pembayaran akan dihitung sebagai keuntungan atau kerugian karena perbedaan nilai tukar valuta asing.

c. Usaha dan Kegiatan Memenuhi Kriteria Bentuk Usaha Tetap

Apabila aktivitas ekonomi mencapai level ambang batas BUT, pada umumnya negara tempat usaha dan kegiatan ekonomi dilakukan (sumber) mengenakan pajak atas penghasilan dari aktivitas tersebut berdasarkan basis neto (net basis) dan dengan tarif normal (yang berlaku terhadap badan WPDN) sesuai dengan ketentuan domestik negara sumber.

1. Saat Pengenaan Pajak – Basis Akrual

Pasal 1 (2) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 164 Tahun 2002 menyatakan bahwa penggabungan (konsolidasi) penghasilan dari usaha dan kegiatan di luar negeri dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut (basis akrual). Pemajakan berdasarkan tahun perolehan tersebut lebih menyandarkan pada accounting

(6)

treatment WP atas penghasilan usaha atau kegiatan yang diperoleh di luar negeri dimaksud. Dalam hal ini ketentuan pajaak penghasilan bersikap netral (tax neutrality), atas perlakuan akuntansi wajib pajak yang pada umumnya akan berlaku standar akuntansi keuangan. Selaras dengan sistem self assessment, WPDN tersebut harus melaporkan penghasilan dimaksud dalam SPT Tahunannya.

2. Jumlah Penghasilan Kena Pajak

Secara ideal untuk mengurangi diskriminasi pemajakan dan memberikan perlakuan netral (tax neutrality) terhadap investor atau pengusaha Indonesia (dan kategori penghasilan sesuai dengan sumbernya) apakah melakukan investasi atau usaha di Indonesia atau di negeri lain (source neutrality), penghasilan dari usaha yang dijalankan dan kegiatan yang dilakukan di luar Indonesia harus diredefinisikan selaras dengan ketentuan domestic Indonesia. Dengan demikian dapat terjadi bahwa penghasilan yang dikenakan pajak oleh Negara sumber menjadi tidak kena pajak sesuai dengan ketentuan UU PPh atau sebaliknya objek yang tidak dikenakan pajak oleh Negara sumber menjadi objek kena pajak menurut UU PPh. Demikian juga, dapat terjadi bahwa jumlah rugi menurut hitungan Negara sumber setelah diadakan penyesuaian dapat menjadi laba menurut UU PPh. Selain itu karena berusaha di luar Indonesia melibatkan uang fungsional (functional currency) yang berbeda dari rupiah fluktuasi dan gejolak nilai tukar rupiah dapat menimbulkan laba-rugi moneter (monetary gains and loss) sebagai pelengkap dari laba-rugi usaha. Laba-rugi moneter ini merupakan dimensi lain dari pelebaran sayap usaha atau investasi di luar negeri. Transaksi valuta asing baik yang terdapat dalam laporan laba-rugi (income statement) dan neraca (balance sheet) dapat menimbulkan laba-rugi moneter volatilitas nilai tukar rupiah semakin memperbesar eksposur laba-rugi moneter. Untuk tujuan tersebut diperlukan informasi yang benar, lengkap dan jelas serta rinci dari wajib pajak. Hal tersebut kebanyakan belum dapat disampaikan tepat waktu. Kemungkinan dengan mempertimbangkan kesulitan tersebut, pasal 6 Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 164 Tahun 2002 lebih melihat kepada aspek praktis administratif, tampak mempermudah wajib pajak untuk melaporkan sejumlah penghasilan sebagaimana tercantum pada Surat Pemberitahuan Pajak (tahunan) yang disampaikan ke kantor pajak

(7)

di Negara sumber. Sebagai konsekuensi dari pendekatan praktis administratif tersebut, maka setiap pembetulan SPT di Negara sumber yang menyebabkan berubahnya penghasilan kena pajak (dan pajak terutang) harus diikuiti dengan pembetulan SPT di Indonesia. Kegiatan demikian dapat berlarut-larut, apabila, misalnya oleh administrasi pajak Negara sumber dilakukan pemeriksaan pajak. Akibat perpajakan dari pemeriksaan tersebut tentu harus merupakan bahan pembetulan SPT di Indonesia. Keberlarutan tersebut dapat semakin panjang, apabila misalnya wajib pajak mengajukan keberatan dan seterusnya banding ke pengadilan atau kasasi ke Mahkamah di Negara sumber. Keberlarutan ini akan menjadi lebih kompleks lagi apabila dikaitkan dengan tenggang waktu pengeluaran ketetapan pajak oleh Negara sumber misalnya sampai waktu 10 tahun seperti di Indonesia. Pembetulan SPT yang mundur untuk beberapa tahun akan menimbulkan kekurang praktisan administrasi perpajakan, baik untuk wajib pajak maupun kantor pajak.

Pada saat ini kita maklum bahwa belum banyak pengusaha atau investor Indonesia, yang memperluas usaha dan kegiatannya ke mancanegara. Oleh karena itu, masalah diatas dirasa belum merupakan suatu hal yang perlu untuk dipertimbangkan secara sungguh-sungguh, terutama dari segi potensi penerimaan Negara. Namun, selaras dengan gegap gempitannya alam globalisasi dan menderunya upaya pemerintah untuk menggairahkan ekspor bukan tidak mungkin dalam waktu dekat ini semakin tumbuh dan berkembang fenomena perluasan usaha dan kegiatan ke mancanegara terutama selaras dengan pendekatan aliansi strategis bisnis mancanegara.

Misalnya apabila di tahun 2005 diketahui adanya koreksi penghasilan tahun 2000, maka SPT tahun 2000 tidak perlu dikoreksi. Koreksi cukup dilakukan atas SPT tahun 2005 saja, penghasilan positif dan negative dikonsolidasikan dengan penghasilan domestic tahun 2005 tersebut.

(8)

Pada huruf a penjelasan pasal 2(2) disebutkan bahwa WPDN dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari indonesia dan dari luar indonesia (basis global). Dehubungan dengan pemajakan global (world wide income taxation) tersebut, Gerhard Laule dalam General Report untuk Cahiers de Droit Fiscal International (1979) menyatakan bahwa dalam sistem pemajakan global dimaksud, laba (penghasilan positif) dan rugi (penghasilan negatif) dari pendirian (establishment) di luar negeri secara langsung diperhitungkan (digunggungkan)dalam penentuan penghasilan kena pajak. Dengan demikian lanjutnya, kerugian yang didapat dari usaha dan kegiatan di luar negeri pada prinsipnya boleh dikurangkan langsung dari penghasilan global. Merujuk pada pemikiran tersebut, maka rasanya cukup beralasan untuk mengonsolidasikan kerugian luar negeri pada tahun didapatnya kerugian tersebut ("full consolidation"). Konsolidasi tersebut rasanya juga dapat diterima dengan mengingat bahwa secara ekonomis (bisnis) istilah penghasilan dapat berkonotasi penghasilan negatif (rugi).

Namun barangkali untuk tujuan praktis administratif,secara agak kurang selaras dengan pemikiran Laule, penjelasan Pasal 4(1) UU PPh menyatakan bahwa kerugian yang didapat diluar negeri tidak boleh dikonsolidasikan (digunggungkan) dengan penghasilan global ("partial consolidation"). Kurang begitu jelas dasar pemikiran lain dari perlakuan konsolidasi parsial tersebut. Kemungkinan selain kesulitan teknis praktis untuk meyakinkan kebenaran angka kerugian mancanegara, juga dalam praktik kerugian tersebut sudah dapat dikompensasikan di negara sumber berdasarkan ketentuan domestik, dan hal ini dapat mengeliminasi praktik kompensasi ganda (double dipping) yaitu rugi sudah dikompensasikan (vertikal) di (indonesia). Kompensasi rugi mancanegara akan mengurangi potensi pajak domestik. Dengan konsolidasi parsial demikian, UU PPh lebih menyerahkan pemberian kompensasi kerugian kepada ketentuan domestik negara sumber.

Kalau misalnya, dalam ketentuan domestik negara sumber (tanpa memperhatikan klausul nondiskriminasi pada P3B) tidak tersedia keringanan kompensasi kerugian maka kerugian WPDN yang didapat diluar negeri tidak dapat diperhitungkan dimana-mana (no dipping). Dengan demikian, kebijakan praktis

(9)

administratif tersebut nampak agak mengesampingkan prinsip netralitas ekspor modal dalam perpajakan karena adanya perlakuan yang berbeda atas kerugian dari investasi di dalam dan dan di luar negeri. Hal demikian barangkali merupakan upaya yang kondusif untuk meningkatkan investasi di dalam negeri Indonesia,Selaras dengan laju kebutuhan dan kemandirian dana investasi untuk pembangunan. Namun barangkali hal itu dapat merupakan kerikil kecil ditengah jalan arus globalisasi investasi dan netralitas pemajakan.

Di beberapa negara (misalnya, neterland) yang menganut sistem pemajakan global, memperkenankan perhitungan kerugian luar negeri atas penghasilan global walaupun negara tersebut membebaskan penghasilan luar negeri dimaksud dari pengenaan pajak (tax exemption). Untuk tujuan pemberian keringanan pajak berganda, kerugian luar negeri tersebut diperhitungkan kembali dengan laba tahun berikutnya. Misalnya dalam tahun 2005 selain penghasilan domestik sebesar 1000, terdapat kerugian luar negeri sebesar 200, pajak penghasilan tahun 2005 dihitung berdasarkan penghasilan (neto) global sebesar 800 (1000-200). Selanjutnya misalnya dalam tahun 2006 diketahui terdapat penghasilan dalam negeri sebesar 1500 dan penghasilan luar negeri sebesar 500. Untuk keperluan perhitungan pajak penghasilan akan dihitung penghasilan kena pajak global sebesar 2000, sedang keringanan pajak berganda diberikan atas penghasilan luar negeri sebesar 300 (500-200-rugi tahun lain). Dengan demikian, maka pajak penghasilan selama 2 tahun dihitung atas penghasilan global 2800 (800+2000) yang terdiri dari penghasilan dalam negeri sebesar 2500(1000+1500) dan penghasilan luar negeri sebesar 300 (-200+500). Pendekatan recapture ini selain bisa memperhitungkan kembali (recovery) pengurangan potensi pajak domestik oleh kerugian luar negeri juga dapat meluruskan kembali prinsip pemajakan global dan menegakkan kebijakan netralitas ekspor modal (capital-export neutrality)

Walaupun indonesia menganut pendekatan non transparancy (mengenakan pajak pada tingkat persekutuan sebagai korporat dan membebaskan sekutu atas pembagian laba setelah pajak), namun tidak tertutup kemungkinan untuk mengikuti pemajakan di negara tempat krdudukan persekutuan (pendekatan transparansi) dengan mengenakan pajak pada tingkat sekutu dan mengkreditkan pajak yang telah dibayar di luar negeri.

(10)

Selain pendekatan ikut arus tentu saja indonesia masih bisa kembali ke warna aslinya(habitat) dengan tetap konsisten pada sistem non transparansi. Kalau diikutu pendekatan non transparansi, maka seberapa besar penghasilan dan pajaknya yang dialokasikan kepada WPDN Indonesia sebagai sekutu persekutuan yang berkedudukan di negara selain Indonesia tidak lagi akan dikenakan pajak oleh Indonesia. Implikasi dari perlakuan demikian dalam kebijakan pajak luar negerinya, indonesia sudah bergeser dari prinsip netralitas ekspor modal (pengenaan pajak kepada sekitu WPDN Indonesia dengan hak kredit) menjadi prinsip netralitas impor modal denga membebaskan sekutu WPDN Indonesia dari potensi pengenaan pajak berdasar UU PPh.

4. Penghasilan Negara ketiga

Dalam pengembangan sayap usaha dan kegiatannya, dapat terjadi bahwa cabang usaha atau kegiatan luar Negara (di negeri X) WPDN Indonesia memperluas usahanya ke Negara ketiga (di Negara Y) atau menerima penghasilan pasif berupa dividen, bunga dan sebagainya dari Negara lain (Negara Z). Kalau ketentuan Pasal 24 (3)(e) UU PPh menyatakan bahwa sumber penghasilan BUT (cabang) adalah Negara BUT menjalankan usaha atau kegiatan, dapat muncul pertanyaan apabila penghasilan dari Negara ketiga dan keempat tersebut dianggap diperoleh melalui BUT dinegara kedua (Negara X) atau dianggap tidak diperoleh BUT di Negara X tetapi langsung diperoleh WPDN Indonesia dari Negara Y dan Z atau dianggap diperoleh BUT di Negara X (sebagai secondary source country) dari Negara Y dan Z (sebagai primary source country)

Walaupun Indonesia menerapkan territorial taxation terhadap BUT milik WPLN namun sudah sepantasnya bahwa terhadap WPDN Indonesia tetap konsisten menerapkan pemajakan basis global. Apakah penghasilan dari Negara Y dan Z akan dianggap merupakan penghasilan yang terkoreksi efektif dengan BUT di Negara X (non transparan approach) atau dianggap langsung dialokasi kepada WPDN domisili di Indonesia akan mempengaruhi skedul pemajakan dan pemberian keringanan pajak luar negeri.

(11)

Misalnya, penghasilan cabang di Negara X (dengan tariff 25%) WPDN adala 1000, penghasilan dari sub cabang di Negara Y (dengan tariff pajak 20%) adalah 500 dan penghasilan bunga dari Negara Z (dengan tariff potongan pajak 15%) adalah 400, dengan penghasilan domestic 2000 (tariff pajak maksimal 30%) perhitungan pajak WPDN tersebut dengan pendekatan Juch (globalisasi BUT) dan Ovebasch (non globalisasi BUT) Nampak sebagai berikut :

Globalisasi BUT Non Globalisasi BUT Negara Z Penghasilan Pajak 15% Negara Y Penghasilan Pajak 20% Negara X Penghasilan domestic Penghasilan LN (Y,Z) Pajak terutang 25% Kredit pajak Kurang bayar Negara domisili Penghasilan domestic Penghasilan LN Negara X Negara Y Negara Z Pajak terutang Kredit pajak Negara X Negara Y 400 500 1000 900 1900 2000 60 100 475 160 315 1170 475 -400 500 1000 -1000 2000 1000 500 400 3900 60 100 250 -250 1170 250 100

(12)

Negara Z

Pajak kurang dibayar

Pajak atas penghasilan domestik

Tambahan pajak dari penghasilan LN -695 600 95 60 160

Dari perhitungan diatas Nampak bahwa pendekatan globalisasi pemajakan BUT (pendekatan Juch) memberikan potensi atau 5%(30%-25%)x 1900, sedangkan pendekatan non globalisasi BUT (pendekatan Overbasch) memberikan tambahan potensi pajak Indonesia sebesar 160[(30%x100%)-250)+ [(30%x500)-100]+ [(30%x400)-60)]. Selaras dengan pendekatan territorial terhadap pemajakan BUT di Indonesia milik WPLN, dari segi netralitas penerapan ketentuan dan potensi penerimaan tampaknya Indonesia sebaiknya menerapkan pendekatan Overbasch (non globalisasi BUT).

III. PENGHASILAN DARI ANAK PERUSAHAAN

Terhadap beberapa badan yang berada dalam satu kesatuan ekonomis (economic entity), di beberapa negara manca diberlakukan pendekatan konsolidasi pemajakan atau penyatuan pemajakan. Pada umumnya, jumlah kepemilikan dipakai sebagai dasar (kriteria) penentu konsolidasi tersebut. Karena dianggap sebagai satu kesatuan ekonomis, walaupun dengan kesatuan legal terpisah, untuk lebih memberikan manfaat ekonomis, beberapa badan tersebut, untuk tujuan pemajakan dianggap sebagai satu kesatuan pemajakan. Sementara di Amerika Serikat pendekata tersebut disebut “tax return consolidation”, di negeri Belanda dikenal sebagai “fiscal unity”. Untuk keperluan administratif dan konsistensi, badan – badan yang tergabung dalam kesatuan pemajakan tersebut dianggap bergabung untuk masa sekurang – kurangnya lima tahun. Selain kesederhanaan administrasi pemajakan, salah satu keuntungan ekonomis sistem tersebut adalah eliminasi penghasilan antarbadan dari jaringan pemajakan. Hal ini akan memberikan penghematan pajak (tax saving) kepada grup.

(13)

Dalam sistem perpajakn Indonesia, pendekatan konsolidasi pemajakan dan akrualisasi pemajakan “current taxation” pada umumnya. Selain menganut sistem klasikal, Indonesia menerapkan pemajakan dengan pendekatan entitas legal terpisah “separate legal entity” . dengan mengesampingkan faktor adanya kesatuan ekonomis, beberapa badan yang dipertalikan berdasarkan kepemilikan dikenakan pajak secara individual tanpa eliminasi penghasilan antarbadan (kecuali dividen).

Untuk mengeliminasi pajak berganda ekonomis atas dividen, Pasal 4(3)(f) UU PPh memberikan eksemsi pajak atas dividen antar badan dengan beberapa persyaratan. Persyaratan dimaksud antara lain adalah (1) penerima dividen merupakanbadan (termasuk koperasi) WPDN, dan (2) pembagi dividen harus badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, (3) dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan, (4) penerima dividen harus memiliki saham badan pembagi dividen paling sedikit 25% dari jumlah modal disetor, dan (5) penerima dividen harus mempunyai usaha aktif di luar pemilikan saham. Karena keringan pajak tersebut bersifat teritorial dan tidak diperluas ke mancanegara, maka tiap dividen yang diperoleh atau diterima dari investasi saham pada badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di luar Indonesia tetap dikenakan pajak penghasilan. Pengenaan pajak tersebut dilakukan pada saat dividen tersebut diterima oleh WPDN. Karena pada prinsipnya WPDN dikenakan pajak per basis neto, semua pengeluaran untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan (dividen luar negeri) tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak. Sehubungan denga konsep “match – link” antara biaya dan pengahasilan yang dilperkenalkan dalam penjelasan Pasal 6 (1) (a) UU PPh serta pendekatan limitasi per negara dalam pemberian keringan kredit pajak luar negeri, nampaknya biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dividen luar negeri tersebut merupakan beban langsung (direct

expense) atas penghasilan dimaksud.

Dalam pemajakan terhadap badan hukum terdapat berbagai model integrasi antara pajak penghasilan personal dengan pajak korporate sehubungan dengan distribusi penghasilan korporat kepada personal dalam bentuk dividen.

Diantara beberapa negara telah menginegrasikan pemajakan korporat dengan personal dalam sistem imputasi (imputation system) atau integrasi penuh (full integration). Dalam sistem imputasi (credit system), badan dianggap sebagai sarana ekonomi untuk memperoleh penghasilan maka pajak penghasilan badan dapat dikreditkan atas pajak penghasilan orang pribadi. Di Indonesia hanya pajak atas dividen saja yang dapat dikreditkan.

(14)

Otonomi sistem pemajakan, selain memberikan netralitas ekspor modal dan konsistensi pada sistem domestik (walaupun menyimpang dari sistem di negara sumber) dapat memberikan tambahan potensi penerimaan pajak Indonesia.

IV. DIVIDEN, BUNGA, SEWA DAN ROYALTI

Pemajakan atas dividen sumber luar negeri baik dari pemiliksaham mayoritas (anak perusahaan) atau saham minoritas (portofolio) adalah sama, semuanya dikenakan pajak pada saat penerimaan (on remittance basis) dividen tersebut oleh pemegang saham WPDN, begitu juga dengan bunga, sewa dan royalti. Pemindahbukuan antarrekening di bank atau perusahaan dapat merupakan petunjuk adanya penerimaan atau perolehan penghasilan. Demikian juga kalau terjadi assignment atau factoring atas penghasilan atas hak penerimaan atas beberapa penghasilan tersebut.

Sebagai penghasilan WPDN, yang dikenakan per basis neto, biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut boleh dikurangkan dari penghasilan mancanegara tersebut. Penjelasan Pasal 4 (1) UU PPh menyatakan bahwa kerugian dari luar negeri tidak boleh dikonsolidasikan dengan penghasilan lainnya (walaupun UU PPh menganut sistem pemajakan global). Walaupun di batang tubuh Pasal 4 (1) tidak membatasi globalisasi penghasilan, namun dalam penjelasan dinyatakan bahwa kompensasi kerugian horizontal tidak termasuk “kerugian yang diderita di luar negeri”. Kerugian atau penghasilan kapital atau pasif negatif luar negi tidak dapat diperhitungkan dalam gunggungan penghasilan global. Perlakuan sama (equal treatment) diterapkan baik terhadap penghasilan dan kegiatan maupun dividen, bunga, sewa, dan rooyalti.

V. PENGHASILAN LAINNYA

Selain penghasilan dari usaha dan kegiatan, serta dividen, bunga, sewa dan royalti terdapat kemungkinan bahwa WPDN memeperoleh atau menerima penghasilan lainnya dari sumber di luar Indonesia. Seperti, keuntungan dari penjualan harta (sekuritas, harta bergerak maupun tak bergerak), keuntungan dari pengalihan hak atau atas kekayaan intelektual

(intelectual property rights), hadiah undian, olahraga, honorarium dari pemberian jasa dan

kegiatannya lainnya, pembayaran berkala, ganti rugi dan sebagainya. Semua penerimaan dan perolehan dari sumber luar negeri yang menambah kemampuan ekonomis WPLN tersebut merupakan penghasilan kena pajak, tidak peduli apakah penghasilan tersebut di negara manca dikenakan pajak atau tidak. jika penghasilan tersebut dikenakan pajak secara final, maka sesuai

(15)

dengan sistem self assessment adalah merupakan kewajiban wajib pajak untuk melaporkan penghasilan dan potongan pajaknya dalam SPT pajaknya, karena pengertian pengenaan pajak final di mancanegara belum tentu langsung dipersamakan (equal treatment) dengan pemajakan final WPDN penghasilan Indonesia (tanpa melaporkan dalam SPT tahunan). Pajak yang dibayar atau dipotong di luar negeri walaupun dianggap final tetap dapat dikreditkan dengan pajak Indonesia karena sistem final tersebut berlaku di negara sumber terhadap WPLN (dalam hal ini adalah WPDN Indonesia). Namun apabila Indonesia dengan berpegang pada prinsip persamaan perlakuan dan menganggap bahwa, selaras dengan ketentuan domestik, potongan pajak final di luar negeri tidak perlu lagi dilaporkan dalam SPT tahunan, hal tersebut akan lebihy memperlonggar iklim investasi dan mobilitas dana (ke luar) walaupun, dalam hal ini Indonesia boleh jadi harus mengorbankan potensi penerimaannya (tax expenditures) dan sekaligus melanggar prinsip netralitas ekspor modal (capital export neutrality) dan lebih memilhak pada prinsip netralitas impor modal (capital impor neutrality). Karena Indonesia tidak memberlakukan eksensi pajak (tax exemption) yang didasari oleh kebijakan netralitas impor modal, selaras dengan kebijakan kerdit pajak luar negeri (yang didasari oleh kebijakan netralitas ekspor modal) dan mempertimbangkan pula akn kebutuhan modal (investasi) untuk pembangunan dalam negeri dan keterbatasan dana pembiayaan pemerintah kiranya pemberlakuan pengenaan pajak atas semua penghasilan luar negeri WPDN dalam kondisi dan keadaan apapun merupakan pilihan yang bijaksana.

VI. ASPEK PERJANJIAN PERPAJAKAN

Apabila Indonesia telah menutup P3B dengan negara tempat WPDN Indonesia menjalankan usaha atau melakukan kegiatan ekonomi atau menerima penghasilan lainnya, hak pemajakan dari negara mitra runding tersebut akan dibatasi oleh P3B dimaksud.

Pembatasan tersebut dapat berupa mempersempit definisi (kriteria) ambang batas pemajakan penghasilan usaha dan kegiatan profesionil (BUT) sehingga semakin memperbesar porsi pemajakan Indonesia. Demikian juga dengan pengalokasian hak pemajakan atas suatu kategori penghasilan juga menambah potensi penerimaan pajak Indonesia. Pengurangan tarif potongan pajak atas penghasilan pasif yang berupa dividen, bunga dan royalti akan menaikkan potensi penerimaan dari residual – taxing right Indonesia sebagai negara domisili. Fasilitas pertukaran informasi tentang kegiatan ekonomi atau perolehan penghasilan WPDN Indonesia oleh negara mitra runding akan semakin meningkatkan transparansi dan disklosur SPT wajib pajak serta kepatuhan WPDN dimaksud.

(16)

VII. PENUTUP Kesimpulan

UU PPh menganut sistem pemajakan global terhadap WPDN dan pemajakan teritorial terhadap WPLN. Dengan demikian, semua penghasilan yang diperoleh WPDN dari sumber di luar Indonesia juga dikenakan pajak oleh negara tersebut. Dalam Pasal 4(1) dinyatakan bahwa cakupan geografis sumber penghasilan adalah meliputi baik dari dalam maupun dari luar Indonesia. Pengenaan pajak terhadap WPDN dilakukan berdasarkan pertalian subjektif (subjective allegiance) yaitu bahwa subjek pajak (orang atau badan yang bersangkutan) berada dalam wilayah yurisdiksi Indonesia. Oleh karenanya, berbeda dengan pemajakan terhadap WPLN yang dikenakan pajak berdasar pertalian objektif, apakah penghasilan WPDN mempunyai sumber dari luar atau malahan dari dalam Indonesia nampak agak kurang relevan. Relevansi penentuan sumber penghasilan (dari luar Indonesia) hanya diperlukan dalam rangka pemberian kredit pajak luar negeri, karena kredit terutama bukan diberikan berdasarkan ada tidaknya pajak luar negeri yang terutang atau dibayar atas penghasilan melainkan dari apakah penghasilan dimaksud berasal dari sumber di luar Indonesia. Walaupun penghasilan tersebut berasal dari sumber di luar Indonesia, namun selanjutnya apabila tidak ada pajak yang terutang atau dibayar di sana, penghasilan dimaksud akan dikenakan pajak penuh (tanpa kredit pajak) seperti penghasilan dalam negeri.

VIII. DAFTAR PUSTAKA

Gunadi. 2007. Pajak Internasional. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

(17)

Referensi

Dokumen terkait

Pengenaan perpajakan untuk dividen sebagaimana diuraikan di atas menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak atas dividen yang

Ketentuan dalam PPh 23 UU PPh mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal

Yang dimaksud dengan penghasilan adlah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi atau

– Jumlah pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri. – Penghasilan luar negeri : Seluruh penghasilan Kena. Pajak) X PPh atas seluruh Penghasilan yang dikenakan tarif

Pengertian penghasilan yang merupakan obyek dari Pajak Penghasilan, menurut Pasal 4 UU PPh dirumuskan ”setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh

dengan konsep pajak atas penghasilan baik yang diperoleh di negara5. itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri

Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan

Penghasilan yang merupakan objek pajak menurut Pasal 4 ayat (1) UU PPh yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal