• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. kecepatan menyampaikan informasi kepada khalayak luas. Masing-masing media

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. kecepatan menyampaikan informasi kepada khalayak luas. Masing-masing media"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Perkembangan teknologi komunikasi massa terus dilakukan seiring maraknya industri media massa. Salah satu dampak dari gencarnya perkembangan teknologi komunikasi massa dan ketatnya persaingan industri media massa adalah kecepatan menyampaikan informasi kepada khalayak luas. Masing-masing media massa berlomba menjadi yang tercepat dan terdepan dalam hal menyiarkan hasil liputan. Tentu saja dalam hal kecepatan menyampaikan informasi, media elektronik dan online jelas lebih unggul dibanding media cetak seperti surat kabar dan majalah. Saat masyarakat sudah bisa mendapat informasi dari laporan langsung di televisi atau mengakses berita terbaru di media online, surat kabar dan majalah harus menunggu waktu cetak dan waktu terbit secara berkala. Hal ini mendorong masyarakat lebih mengunggulkan media elektronik dan online ketimbang media cetak. Yang kemudian terjadi adalah masyarakat hanya mendapat informasi selintas dan tidak mendalam.

Seperti pada konflik Aceh, pemberitaan di media senantiasa menampilkan kejadian sepotong-sepotong. Aceh sendiri memang sudah bergejolak sejak Hasan Di Tiro mendirikan GAM pada tahun 1974, setelah sebelumnya pemberontakan Darul Islam yang dipimpin Tengku Daud Beureueh usai pada 1962. Pemerintah lalu memberlakukan “Operasi Jaring Merah” atau yang biasa disebut DOM

(2)

(Daerah Operasi Militer) sejak 1989 sampai 1998. Forum Peduli HAM Aceh mencatat ada 1.321 kasus orang tewas atau terbunuh, 1.958 kasus orang hilang, 3.430 kasus penyiksaan, 128 kasus pemerkosaan, dan 597 kasus pembakaran selama operasi ini (KontraS, 2006: 56).

Selama pemberlakuan DOM di Aceh, sumber berita media nasional dan lokal mayoritas berasal dari pihak TNI. Ini terjadi karena pihak GAM tidak terbuka pada media nasional yang dianggap berpihak pada Indonesia dan militer. Informasi ini juga disajikan dalam bentuk straight news atau terkadang indepth news. Semua media baik surat kabar, televisi, hingga online hanya sekadar memberitahu sebuah kejadian tanpa merunut kejadian sebelumnya. Padahal suatu kejadian terjadi akibat ada penyebabnya. Pemberitaan terus-menerus dari sebuah pihak tanpa ada keberimbangan tentu mengkonstruksi pemikiran dan pemahaman masyarakat.

Nurudin mengungkapkan media massa hendaknya tak sekadar memberitakan peristiwa semata. Namun juga bisa mengevaluasi dan menganalisis setiap kejadian lewat keahlian wartawan mengintepretasikan pesan dan fakta-fakta dari lapangan. Media massa juga harus mampu memberikan data pendukung yang berguna untuk melakukan interpretatif pesan (Nurudin, 2003:93).

Media massa kini menghadapi tantangan menyajikan sebuah pemberitaan mendalam dan menyeluruh atas fakta peristiwa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Praktik jurnalisme di media cetak sebenarnya bisa menjadi lahan yang tepat bagi praktik jurnalisme yang memungkinkan evaluasi, analisis, dan intepretatif atas fakta peristiwa. Di sinilah letak keunggulan media cetak

(3)

dibanding media elektronik dan online yang cenderung hanya mengejar aktualitas. Sayangnya, media cetak masih menyajikan laporan mendalamnya dengan bentuk

indepth news yang kaku. Padahal pemberitaan yang mendalam akan

membosankan jika ditulis secara berat.

Salah satu bentuk penulisan yang bisa menyajikan berita mendalam secara lebih menarik adalah jurnalisme narasi atau lazim disebut jurnalisme sastrawi. Genre ini sebenarnya sudah dikenalkan di Amerika pada 1960-an oleh wartawan Amerika, Tom Wolfe (Harsono, 2008: vii). Hingga kini, gaya penulisan serupa digunakan di sejumlah media Amerika seperti The New Yorker, Atlantic Monthly, dan Harper's.

Jurnalisme sastrawi sejatinya adalah sebuah gaya penulisan. Ia membungkus berita berat dan mendalam secara naratif dan panjang, lengkap dengan deskripsi yang mendetail. Meskipun memakai kata ‘sastrawi’ dan ‘narasi’, jurnalisme ini tetap jurnalisme yang menyucikan fakta (Harsono, 2008: xii).

Banyak yang menyalahartikan jurnalisme sastrawi dalam perkembangannya di Indonesia. Seperti Septiawan Santana Kurnia dalam bukunya Jurnalisme Sastra yang mengatakan bahwa feature bisa dijadikan medium penerapan jurnalisme sastrawi (Kurnia, 2002: 201). Padahal feature dan jurnalisme sastrawi adalah dua hal yang berbeda. Kedua hal ini sangat berbeda secara substansi, meskipun feature juga bisa menerapkan beberapa hal yang ada dalam jurnalisme sastrawi, seperti deskripsi atau penyusunan adegan. Feature merupakan jenis berita yang tergolong dalam kategori soft news, sedangkan

(4)

jurnalisme sastrawi adalah gaya pengemasan untuk berita keras atau hard news dengan gaya sastra atau bernarasi.

Ada juga yang berpendapat kalau apa yang disajikan Tempo dalam Catatan Pinggir atau laporan utama sudah merupakan jurnalisme sastrawi. Padahal jelas, Catatan Pinggir yang ditulis Goenawan Mohamad merupakan kolom atau esai yang hanya berupa opini, meskipun didukung dengan literatur yang kuat, bahkan ada sedikit liputan. Sedangkan laporan utamanya, meski menggunakan deskripsi yang membuat tulisan jadi hidup, masih belum memenuhi syarat untuk disebut sebagai jurnalisme sastrawi.

Jurnalisme sastrawi memang membutuhkan deskripsi yang kuat. Deskripsi di sini bukan berarti harus mendayu-dayu, tapi deskripsi yang memang mendukung cerita supaya cerita lebih hidup. Tapi bukan cuma deskripsi, jurnalisme sastrawi juga juga memerlukan apa yang sebuah karangan sastra perlukan, seperti penokohan, kronologis, alur yang kuat, konflik dan antiklimaks serta akhir yang memikat. Semuanya harus kuat, bukan hanya di pembuka tulisan seperti yang ditampilkan Tempo.

Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft adalah salah satu contoh tulisan yang dikemas dengan gaya penulisan sastrawi. Tulisan ini dimuat pada buku Jurnalisme Sastrawi, Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Buku ini sendiri pertama kali diterbitkan oleh Yayasan Pantau pada tahun 2005 dan cetakan keduanya diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia pada tahun 2008. Tulisan sepanjang hampir 12 ribu kata atau delapan puluh ribu karakter ini menceritakan tentang salah satu kejadian pada konflik Aceh yang menelan banyak korban jiwa.

(5)

Kejadian ini dikenal dengan sebutan Tragedi Simpang KKA yang merupakan singkatan dari Kertas Kraft Aceh. Data dari NGO’s Coalition for Human Right mencatat ada 46 warga Aceh yang meninggal, 156 terluka parah dan

10 orang menghilang

Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat ini terjadi di Simpang Pabrik KKA Krueng Geukueh, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara.

Kejadian ini dikisahkan ulang secara rinci dan runut, juga memiliki penokohan dan deskripsi yang detail. Tentu saja berita sepanjang ini sangat berbeda dengan berita yang biasa dikonsumsi masyarakat yang hanya menampilkan sebuah kejadian secara sepintas. Tulisan ini termasuk salah satu tulisan terbaik jurnalisme sastrawi yang dihasilkan oleh wartawan Indonesia. Berbeda dengan tulisan lain dari genre ini yang terkadang sedikit membosankan dan bertele-tele, tulisan ini benar-benar kuat dalam alur, konflik cerita, dan mampu membuat pembaca hanyut. Tulisan ini bahkan dibuat menjadi cerita pertama dalam buku Jurnalisme Sastrawi, Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Kuatnya unsur jurnalisme sastrawi yang ada dalam tulisan ini membuat tulisan ini sangat layak untuk diteliti dibanding beberapa tulisan lain yang ada di buku tersebut. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat konstruksi konflik Aceh dalam laporan jurnalisme sastrawi Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

(6)

”Bagaimanakah konstruksi konflik Aceh dalam laporan jurnalisme sastrawi Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft?”

I.3 Pembatasan Masalah

Agar tidak terjadi ruang lingkup penelitian yang terlalu luas dan akan mengaburkan penelitian, maka perlu dibuat pembatasan masalah. Pembatasan masalah yang akan diteliti adalah:

1. Penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif, bertujuan untuk melihat bagaimana sebuah naskah berita panjang mengkonstruksi sebuah isu. 2. Penelitian ini menggunakan analisis framing dengan menggunakan

model analisis Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki.

3. Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk meneliti konflik Aceh secara keseluruhan, tapi hanya meneliti sebuah naskah jurnalisme sastrawi yang membahas konflik Aceh khusunya tragedi Simpang KKA.

I.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis sebuah naskah jurnalisme sastrawi tentang sebuah kejadian pada konflik Aceh. 2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konstruksi pada makna isi

pesan yang terkandung pada naskah berita Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.

(7)

3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana berita panjang bisa mengkonstruksi sebuah isu.

I.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan berguna untuk memperkaya khazanah penelitian tentang media dan bidang jurnalistik, khususnya tentang jurnalisme sastrawi dan konstruksi berita oleh media massa. 2. Secara akademis, penelitian ini dapat disumbangsihkan kepada

Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya bahan penelitian dan sumber bacaan.

3. Secara praktis, diharapkan bermanfaat bagi pembaca agar lebih kritis terhadap informasi yang disajikan media dan memberikan masukan pemikiran kepada pihak-pihak yang membutuhkan.

I.6 Kerangka Teori

Setiap penelitian sosial membutuhkan teori, karena salah satu unsur yang paling besar peranannya dalam penelitian adalah teori (Singarimbun, 1995: 37). Teori berguna untuk menjelaskan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalah. Untuk itu, perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti (Nawawi, 1995: 40).

(8)

Menurut Kerlinger, teori merupakan suatu himpunan konstruk atau konsep yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi di antara variabel untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat, 2004: 6). Dalam hal ini, teori juga berfungsi untuk memberi bantuan dalam mempertajam analisis peneliti dalam meneliti pokok permasalahan. Teori-teori yang relevan dengan penelitian ini adalah:

I.6.1 Jurnalisme Sastrawi

Jurnalisme sastrawi pertama kali dicetuskan oleh wartawan Amerika Serikat, Tom Wolfe, dengan nama new journalism. Beberapa pemikir jurnalisme kemudian mengembangkan temuan Wolfe. Ada yang menggunakan nama narrative reporting, ada juga yang memakai nama passionate journalism. Pulitzer Prize menyebutnya explorative journalism.

Roy Peter Clark (dalam Harsono, 2008: viii), seorang guru menulis dari Poynter Institute, Florida, mengembangkan pedoman standar 5W+1H menjadi pendekatan baru yang naratif. 5W+1H adalah singkatan dari who (siapa), what (apa), where (di mana), when (kapan), why (mengapa), dan how (bagaimana). Pada narasi, menurut Clark dalam sebuah esai Nieman Reports, who berubah menjadi karakter, what menjadi plotataualur, where menjadi setting, when menjadi kronologi, why menjadi motivasi, dan how menjadi deskripsi narasi.

Majalah The New Yorker bahkan pernah menerbitkan sebuah laporan hanya dalam satu edisi majalah karena panjangnya karya tersebut. Judulnya Hiroshima karya John Hersey yang dimuat pada 31 Agustus 1946 tentang korban bom atom Hiroshima. Karya ini dipilih oleh sebuah panel wartawan dan akademisi Universitas Columbia sebagai naskah terbaik Jurnalisme Amerika abad ke-20 (Hersey, 2008: viii). Kini karya

(9)

ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan dalam bentuk buku yang juga berjudul Hiroshima oleh Komunitas Bambu pada tahun 2008.

Robert Vare (dalam Harsono, 2008: xii) yang pernah bekerja untuk majalah The New Yorker dan Rolling Stones menjelaskan bahwa setidaknya ada tujuh pertimbangan dalam menulis tulisan bergenre ini. Tujuh hal tersebut ialah:

1. Fakta. Setiap detail yang dilaporkan harus berupa fakta. Walaupun menggunakan kata dasar “sastra” tapi ia tetap jurnalisme yang mementingkan fakta.

2. Konflik. Sebuah tulisan panjang lebih mudah dipertahankan daya pikatnya bila ada konflik.

3. Karakter atau penokohan. Fungsinya adalah untuk membantu mengikat cerita.

4. Akses. Maksudnya di sini adalah, akses pada masing-masing narasumber yang menjadi karakter di tulisan. Akses juga bisa berupa wawancara, dokumen, korespondensi, foto, buku harian, gambar, kawan, musuh, dan sebagainya.

5. Emosi. Segala emosi akan membantu pembaca tetap tertarik untuk menghabiskan tulisan.

6. Perjalanan waktu. Robert Vare mengibaratkan laporan surat kabar dengan sebuah potret atau foto. Laporan panjang adalah sebuah film atau video. Ranah waktu jadi penting. Ini juga yang

(10)

membedakan narasi dari feature. Feature hanya memotret sebuah kejadian atau kondisi, sedangkan jurnalisme sastrawi berupa video yang merekam secara runut dan detail.

7. Unsur kebaruan. Media lain mungkin telah menceritakan kondisi atau data dari sebuah kejadian, untuk itu jurnalisme sastrawi harus memberikan apa yang pembaca belum tahu. Tentu saja apa yang lebih dalam dari yang mereka dapatkan dari media lain.

I.6.2 Media Massa dan Konstruksi Sosial

Realitas sosial adalah hasil konstruksi sosial dalam proses komunikasi tertentu. Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak bisa terlepaskan dari bangunan teoritik yang telah dikemukakan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann.

Berawal dari istilah konstruktivisme, konstruksi realitas sosial terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in The Sociological of Knowledge tahun 1966. Menurut mereka, realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan (Bungin, 2008: 192).

Bagi kaum konstruktivisme, realitas (berita) itu hadir dalam keadaan subjektif. Realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang dan ideologi wartawan. Secara singkat, manusialah yang membentuk imaji dunia. Sebuah teks dalam sebuah berita tidak dapat disamakan sebagai cerminan dari realitas, tetapi ia harus dipandang sebagai konstruksi atas realitas.

(11)

Substansi teori konstruksi sosial media massa terletak pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial tersebut berlangsung dengan sangat cepat dan sebarannya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis (Bungin, 2008: 203). Menurut perspektif ini tahapan-tahapan dalam proses konstruksi sosial media massa itu terjadi melalui: tahap menyiapkan materi konstruksi; tahap sebaran kostruksi; tahap pembentukan konstruksi; tahap konfirmasi (Bungin, 2008: 188). Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Tahap menyiapkan materi konstruksi: Ada tiga hal penting dalam tahapan ini yakni: keberpihakan media massa kepada kapitalisme, keberpihakan semu kepada masyarakat, keberpihakan kepada kepentingan umum.

2. Tahap sebaran konstruksi: prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara tepat berdasarkan agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media massa, menjadi penting pula bagi pemirsa atau pembaca.

3. Tahap pembentukan konstruksi realitas. Pembentukan konstruksi berlangsung melalui: (1) konstruksi realitas pembenaran; (2) kedua kesediaan dikonstruksi oleh media massa; (3) sebagai pilihan konsumtif.

(12)

4. Tahap konfirmasi. Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun penonton memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam pembentukan konstruksi.

Pada kenyataannya, realitas sosial itu berdiri sendiri tanpa kehadiran individu baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknai secara subyektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara obyektif. Individu mengkostruksi realitas sosial dan merekonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya. Melalui konstruksi sosial media, dapat dijelaskan bagaimana media massa membuat gambaran tentang realitas.

Konstruksi realitas terjadi ketika wartawan atau media melakukan proses pembingkaian (framing) berita setelah nilai berita (news values) dan unsur kelayakan berita (news worthy) dipenuhi. Wartawan tidak melakukan pembingkaian dalam keseluruhan teks berita. Hanya di beberapa bagian saja dalam struktur berita yang dibingkai dan selanjutnya menentukan wacana yang dikonstruksi oleh wartawan.

Ada empat teknik framing yang biasa dipakai wartawan untuk membingkai ketiga bagian tersebut, yaitu: (1) Cognitive dissonance (ketidaksesuaian sikap dan perilaku); (2) Empathy (membentuk pribadi khayal); (3) Packing (daya tarik yang melahirkan ketidakberdayaan); dan

(13)

(4) Association (menggabungkan kondisi, kebijakan dan objek yang sedang aktual dengan fokus berita).

(14)

I.6.3 Pendekatan Politik Ekonomi Media

Pendekatan ini berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan media. Faktor seperti pemilik media, modal dan pendapatan media dianggap lebih menentukan bagaimana wujud isi media. Faktor-faktor inilah yang menentukan peristiwa apa saja yang bisa atau tidak bisa ditampilkan dalam pemberitaan, serta ke arah mana kecenderungan pemberitaan sebuah media hendak diarahkan (Sudibyo, 2001: 2).

Secara lebih sederhana, pengertian ekonomi politik adalah hubungan kekuasaan (politik) dalam sumber-sumber ekonomi yang ada di masyarakat. Pendekatan ekonomi politik merupakan cara pandang yang dapat membongkar dasar atas sesuatu masalah yang tampak pada permukaan

Dalam studi media massa, penerapan pendekatan ekonomi politik memiliki tiga konsep awal, yaitu: komodifikasi, spasialisasi dan strukturasi. Komodifikasi adalah upaya mengubah apapun menjadi komoditas atau barang dagangan sebagai alat mendapatkan keuntungan. Dalam media massa tiga hal yang saling terkait adalah: isi media, jumlah audiens dan iklan. Berita atau isi media adalah komoditas untuk menaikkan jumlah audiens atau oplah. Jumlah audiens atau oplah juga merupakan komoditas yang dapat dijual pada pengiklan. Uang yang masuk merupakan profit dan dapat digunakan untuk ekspansi media. Ekspansi media menghasilkan kekuatan yang lebih besar lagi dalam mengendalikan masyarakat melalui sumber-sumber produksi media berupa teknologi.

(15)

Spasialisasi adalah cara-cara mengatasi hambatan jarak dan waktu dalam kehidupan sosial. Dengan kemajuan teknologi komunikasi, jarak dan waktu bukan lagi hambatan dalam praktik ekonomi politik. Spasialisasi berhubungan dengan proses transformasi batasan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial. Dapat dikatakan juga bahwa spasialisasi merupakan proses perpanjangan institusional media melalui bentuk korporasi dan besarnya badan usaha media.

Akhirnya, komodifikasi dan spasialisasi dalam media massa menghasilkan strukturasi atau menyeragaman ideologi secara terstruktur. Media yang sama pemiliknya akan memiliki ideologi yang sama pula. Korporasi dan besarnya media akan menimbulkan penyeragaman isi berita dimana penyeragaman ideologi tak akan bisa dihindari. Dengan kata lain, media dapat digunakan untuk menyampaikan ideologi pemiliknya.

Sementara itu, dalam memberitakan suatu peristiwa, media massa dipengaruhi oleh beragam pengaruh. Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese mengemukakan ada lima level dalam media yang memengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan, yaitu:

1. Level Individu/Pekerja Media

Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana pengaruh aspek-aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak.

(16)

Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung setiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk.

3. Level Organisasi Media

Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang yang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia sebaliknya hanya bagian kecil dari organisasi media itu sendiri.

Dialektika dalam level organisasi media ini dapat menjelaskan munculnya kecenderungan pers era reformasi untuk mengedepankan berita-berita politik yang tajam, sensasional, bahkan bombastis.

4. Level Ekstra Media

Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Meskipun berada di luar organisasi media, hal-hal di luar organisasi media ini sedikit banyak dalam banyak kasus memengaruhi pemberitaan media. 5. Level Ideologi

Ideologi adalah world view sebagai salah satu kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Berbeda dengan elemen

(17)

sebelumnya yang tampak konkret, level ideologi ini abstrak. Ia berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas. Pada level ideologi akan lebih dilihat kepada yang berkuasa di masyarakat dan bagaimana media menentukannya.

I.6.4 Analisis Framing

Analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam beberapa disiplin ilmu dan berbagai pengertian. Titik singgung dari setiap pengertian tersebut adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa atau pemakaian bahasa. Kalau analisis isi kuantitatif lebih menekankan pada pertanyaan ‘apa’ (what), analisis wacana lebih melihat pada ‘bagaimana’ (how). Lewat analisis wacana, kita bukan hanya mengetahui isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan strukur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks (Eriyanto, 2001: xv).

Salah satu pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana adalah analisis framing yang tergolong dalam pandangan konstruktivisme. Aliran ini menolak pandangan positivis-empiris yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya.

Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955 (Sobur, 2004: 161). Mulanya frame dimaknai sebagai struktur

(18)

konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisasi pandangan politik, kebijakan dan wacana serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Tetapi akhir-akhir ini, konsep framing telah digunakan secara luas dalam literatur ilmu komunikasi untuk menggambarkan proses penyeleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realitas oleh media massa.

Framing secara sederhana adalah membingkai sebuah peristiwa. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang tersebut yang pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan bagian mana yang dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut (Sobur, 2004: 162).

Menurut Imawan (dalam Sobur, 2004: 162) pada dasarnya framing adalah pendekatan yang digunakan untuk melihat bagaimana media mengkonstruksi realitas. Untuk melihat bagaimana cara media memaknai, memahami dan membingkai kasus atau peristiwa yang diberitakan. Sebab media bukanlah cerminan realitas yang memberitakan apa adanya. Namun, media mengkonstruksi realitas sedemikian rupa, ada fakta-fakta yang diangkat ke permukaan, ada kelompok-kelompok yang diangkat dan dijatuhkan, ada berita yang dianggap penting dan tidak penting. Karenanya berita menjadi manipulatif dan bertujuan untuk

(19)

mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu yang legitimate, objektif, alamiah, wajar atau tak terelakkan.

Membuat frame adalah menyeleksi beberapa aspek dari suatu pemahaman atas realitas dan membuatnya lebih menonjol dalam suatu teks yang dikomunikasikan sedemikian rupa hingga mempromosikan sebuah definisi permasalahan yang khusus, interpretasi kausal, evaluasi moral dan merekomendasi penanganannya (Entman, 1993:52). Framing secara esensial, menurut Robert M. Entman meliputi penyeleksian dan penonjolan. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa fungsi frame adalah mendefinisikan masalah, mendiagnosis penyebab, memberikan penilaian moral dan menawarkan penyelesaian masalah dengan tujuan memberi penekanan tertentu terhadap apa yang diwacanakan.

Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis framing milik Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Model analisis framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki adalah salah satu model analisis yang banyak dipakai dalam menganalisis teks media. Bagi Pan dan Kosicki, analisis framing dilihat sebagaimana wacana publik tentang semua isu atau kebijakan dikonstruksi dan dinegosiasikan. Framing didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol, menempatkan informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak lebih tertuju pada pesan itu (Eriyanto, 2002: 252).

(20)

I.7 Kerangka Konsep

Konsep adalah istilah yang mengekspresikan sebuah ide abstrak yang dibentuk dengan menggeneralkan objek atau hubungan fakta-fakta yang diperoleh dari pengamatan. Konsep dibentuk dengan menggeneralkan hal-hal khusus. Jadi, konsep merupakan sejumlah ciri atau standar umum suatu obyek (Kriyantono, 2008: 17).

Konsep merupakan penggambaran secara tepat fenomena yang hendak diteliti, yakni istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 1995:34). Untuk itu, peneliti harus menetapkan variabel-variabel penelitian sebelum melakukan pengumpulan data. Hal ini tertuang dalam kerangka konsep karena dengan menetapkan variabel, akan mempermudah penelitian. Kerangka sebagai suatu hasil pemikiran yang rasional merupakan uraian yang bersifat kritis dalam memperkirakan segala kemungkinan hasil yang dicapai (Nawawi, 1995:33).

Variabel dalam penelitian ini adalah bentuk analisis framing dengan model milik Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki yang terdiri dari empat struktur besar yaitu:

1. Struktur Sintaksis yang berhubungan dengan bagaimana wartawan menyusun peristiwa ke dalam bentuk susunan umum berita. Dapat diamati dari bagian berita (lead yang dipakai, latar, headline, kutipan yang diambil, dan pernyataan penutup).

(21)

2. Struktur skrip berhubungan dengan bagaimana wartawan mengisahkan peristiwa ke dalam bentuk berita.

3. Struktur tematik berhubungan dengan bagaimana wartawan mengungkapkan pandangannya atas peristiwa ke dalam proposisi, kalimat atau hubungan kalimat yang membentuk teks secara keseluruhan.

4. Struktur retoris, berhubungan dengan bagaimana wartawan menekankan arti tertentu ke dalam berita. Struktur ini akan melihat bagaimana wartawan memakai pilihan kata, idiom, grafik, dan gambar yang dipakai bukan hanya mendukung tulisan, melainkan juga menekankan arti tertentu kepada pembacanya. (Eriyanto, 2002: 255)

(22)

PERANGKAT FRAMING 1. Skema berita 2. Kelengkapan berita 7. Leksikon 8. Grafis 9. Metafora 3. Detail 4. Koherensi 5. Bentuk Kalimat 6. Kata Ganti STRUKTUR SINTAKSIS Cara wartawan menyusun fakta SKRIP Cara wartawan mengisahkan fakta TEMATIK Cara wartawan menulis fakta RETORIS Cara wartawan menekankan fakta UNIT YANG DIAMATI Headline, lead, latar informasi, kutipan sumber, pernyataan, penutup 5 W + 1H Paragraf, proporsi, kalimat, hubungan antar kalimat Kata, idiom, gambar/foto, grafik

Perangkat Framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki yang Diterapkan dalam Penelitian Ini

Referensi

Dokumen terkait

Permasalahan tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian terhadap perbedaan model-model latihan dribbling antara Wiel Coever dengan Richard Widdows terhadap hasil

untuk melikuidasi persekutuan, seperti penagihan piutang, konversi aset non kas menjadi kas, pembayaran kewajiban  persekutuan, dan distribusi laba bersih yang

Dari hasil penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa, melalui hasil kuisioner yang telah dibagikan kepada seluruh pegawai yang bekerja di Lakeview hotel

Adapun peneliti menjadikan likers di MCI untuk menjadi informan dalam penelitian ini agar peneliti mengetahui bagaimana motif mereka bergabung dalam komunitas dan

Jadi, konsumen yang menjadi sasaran dari retailing adalah konsumen akhir yang membeli produk untuk dikonsumsi sendiri, tidak jauh berbeda dengan pendapat Kotler (2007; 592)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama, adab guru dapat diklasifikasikan ke dalam 6 kategori, yakni adab yang terkait dengan perilaku batin, doa dan amaliyah

Strategi kelemahan-peluang adalah strategi yang bertujuan memperbaiki kelemahan dengan memanfaatkan peluang eksternal. INTIRUB diharapkan dapat mengusahakan pembukaan investasi baru

Pada kegiatan pelatihan ini, target sasaran adalah seluruh pelatih di Daerah Istimewa Yogyakarta yang memperoleh rekomendasi dari Pengcab IPSI Kabupaten/Kota dan mantan atlet