• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Tresia (2006), jumlah anak didefinisikan sebagai banyaknya anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Tresia (2006), jumlah anak didefinisikan sebagai banyaknya anak"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jumlah Anak

Menurut Tresia (2006), jumlah anak didefinisikan sebagai banyaknya anak kandung yang pernah dilahirkan dalam keadaan hidup oleh seorang ibu pada saat pencacahan baik tinggal bersama-sama maupun tinggal di tempat lain.

Jumlah anak yang diinginkan dikategorikan berdasarkan jumlah anak lahir hidup . Keluarga dikatakan sebagai keluarga kecil, jika maksimal memiliki dua anak. Dengan demikian, pengkategorian jumlah anak yang diinginkan menjadi: 1) sedikit, jika keluarga menginginkan sebanyak banyaknya memiliki dua anak; 2) sedang, jika keluarga menginginkan anak sebanyak tiga hingga lima anak; 3) banyak, jika keluarga menginginkan sedikitnya memiliki enam anak (BPS, 2011)

Menurut Hartoyo, dkk (2011), jumlah anak yang diinginkan pada kelompok non akseptor KB berkisar antara 1 sampai 12, dengan rata-rata sebesar 3,80 jiwa. Sementara itu, pada kelompok akseptor KB, kisaran jumlah anak yang diinginkan adalah 2 sampai 6 dengan rata-rata sebesar 3,47 jiwa. Kelompok keluarga akseptor memiliki rata-rata jumlah anak yang diinginkan relatif lebih kecil dibanding dengan . Berbeda dengan pengkategorian yang dilakukan Muchtar dan Purnomo (2009) yaitu bahwa jumlah anak sedikit adalah jika memiliki 1-2 anak, dan jumlah anak banyak jika memiliki > 2 anak.

(2)

dengan kelompok keluarga non akseptor KB, namun perbedaannya tidak signifikan (p > 0,05).

2.2 Faktor – faktor yang Memengaruhi Jumlah Anak

Menurut Hartoyo, dkk, (2011) faktor - faktor yang memengaruhi jumlah anak yaitu usia ibu, pendidikan ibu, status pekerjaan ibu, pendapatan perkapita keluarga, pendidikan kepala keluarga, dan nilai anak. Muchtar dan Purnomo (2009) menyatakan terdapat faktor komposisional yang terdiri dari umur ibu, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, jumlah anak yang diinginkan, indeks kekayaan kuantil, pendidikan suami, pekerjaan suami, agama, jumlah anak sekarang dan tempat tinggal.

Menurut Davis dan Blake (1974), faktor-faktor sosial, ekonomi dan budaya dapat berpengaruh terhadap fertilitas. Selanjutnya Easterlin ( 1975) mengemukakan tentang analisis ekonomi tentang fertilitas, dimana permintaan akan anak sebagian ditentukan oleh karakteristik latar belakang individu seperti agama, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal, pendapatan dan sebagainya. Setiap keluarga mempunyai norma-norma dan sikap fertilitas yang dilatarbelakangi oleh karakteristik diatas. Selain itu menurut Easterlin bahwa fertilitas alami sebagian tergantung pada faktor-faktor fisiologis atau biologis, dan sebagian lainnya tergantung pada praktek-praktek budaya.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Radifan (2007) tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas di Indonesia. menunjukkan bahwa, secara serempak seluruh variabel seperti pendapatan perkapita, angka harapan hidup saat

(3)

lahir, indeks pendidikan, persentase wanita 15-49 tahun yang berstatus kawin memakai alat kontrasepsi dan tingkat urbanisasi berpengaruh signifikan terhadap angka kelahiran total pada 33 provinsi di Indonesia. Secara parsial, hasil regresi menunjukkan bahwa indeks pendidikan dan persentase wanita 15-49 tahun berstatus kawin yang memakai alat kontrasepsi mempunyai pengaruh terhadap angka kelahiran total pada 33 provinsi di Indonesia pada tahun 2007 dan keduanya signifikan secara statistik pada 5% dan 1%.

2.2.1 Faktor Sosio Ekonomi

Pembangunan ekonomi berdasarkan teori Malthus peningkatan “income” lebih lambat daripada peningkatan kelahiran (fertilitas) dan merupakan akar terjerumusnya masyarakat ke dalam kemiskinan. Becker (1960) membuat model keterkaitan atau pengaruh income dan harga anak. Dilihat dari aspek permintaan bahwa harga anak lebih besar pengaruhnya dibandingkan dengan income. Berdasarkan aspek produksi, utilitas anak berbeda dengan aspek konsumsi, karena utilitas anak lebih dilihat dari aspek kuantitas dan bukan kualitas. Kondisi ini banyak dijumpai di daerah perdesaan atau daerah tingkat pertumbuhan ekonomi rendah.

Menurut Conyers (1991), kata sosial ekonomi mengandung pengertian sebagai sesuatu yang non moneter sifatnya yang bertalian dengan kualitas kehidupan insani. Sedangkan ekonomi dijelaskan sebagai lawan dari pengertian sosial yaitu dilibatkan kaitannya dengan uang. Dengan demikian kondisi sosial ekonomi berdasarkan pengertian di atas merupakan suatu kondisi yang terkait secara moneter dan non moneter. Kondisi sosial ekonomi keluarga didasarkan pada pendapatan

(4)

keluarga, tingkat pendidikan orang tua, pendapatan orang orang tua dan status sosial di dalam masyarakat seperti, hubungan dengan masyarakat, asosiasi dalam kelompok masyarakat, dan persepsi masyarakat atas keluarga.

Menurut Soesastro, dkk (2005), faktor sosioekonomi turut menentukan jumlah anak yang diinginkan maupun yang dilahirkan di dalam keluarga. Kemiskinan dapat mendorong ke arah pembatasan kelahiran, tetapi sebaliknya lebih banyak anak secara ekonomi dapat juga membawa keuntungan.

Menurut Elfindri (1989), bahwa faktor – faktor yang memengaruhi jumlah anak adalah diantaranya adalah faktor sosioekonomi rumah tangga yang meliputi pendapatan, pekerjaan, dan pendidikan. Faktor – faktor tersebut dapat kita jelaskan sebagai berikut :

1. Pendidikan

Pendidikan adalah proses menumbuh kembangkan seluruh kemampuan dan perilaku manusia melalui pengajaran. Tingkat pendidikan yang tinggi menjadi dasar keberhasilan dalam bisnis atau bidang profesi, yang akan membuka jalan bagi individu bersangkutan untuk menjalin hubungan dengan orang yang statusnya lebih tinggi. Implikasinya, semakin tinggi pendidikan hidup manusia akan semakin berkualitas (Hurlock, 2004).

Menurut Suandi (2001) yang mengutip teori human capital, kualitas sumberdaya manusia selain ditentukan oleh tingkat kesehatan juga ditentukan tingkat pendidikan. Pendidikan dipandang tidak hanya dapat menambah pengetahuan tetapi

(5)

dapat juga meningkatkan keterampilan (keahlian) seorang individu sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan mutu sumber daya manusia.

Suandi juga mengutip pendapat Ananta dan Hatmadji (1986), bahwa tingkat pendidikan merupakan salah satu tolak ukur yang sering digunakan untuk mengukur tingkat kemajuan suatu daerah atau masyarakat. Pendidikan tidak hanya mencerdaskan kehidupan masyarakat yang bersangkutan, melainkan juga meningkatkan mutu masyarakat tersebut. Dengan mutuyang tinggi dan baik, jumlah penduduk tidak lagi merupakan beban atau tanggungan masyarakat melainkan sebagai modal atau aset pembangunan.

Tingginya tingkat pendidikan yang dimiliki pasangan akan berdampak pada pembatasan jumlah anak yang dilahirkan, terutama disebabkan meningkatnya kesadaran dan tanggung jawab dalam hidup berumah tangga. Menurut Lukman (2008) umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin baik pula pengetahuannya.

Menurut Muchtar dan Purnomo (2009), faktor pendidikan sangat erat kaitannya dengan sikap dan pandangan hidup suatu masyarakat. Pendidikan jelas mempengaruhi usia kawin, dengan sekolah maka wanita akan menunda perkawinannya, yang kemudian berdampak pada penundaan untuk memiliki anak. Tingkat pendidikan disini adalah pendidikan yang ditamatkan, yang dalam analisis dikelompokkan menjadi lima, yaitu tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tidak tamat SMTA, dan SMTA+.

(6)

Berdasarkan hasil penelitian Puslitbang KB dan BKKBN (2009), diketahui bahwa hubungan antara tingkat pendidikan dan fertilitas menunjukkan hubungan yang negatif, semakin tinggi pendidikan maka fertilitas semakin rendah. Wanita pernah kawin yang tidak pernah sekolah mempunyai rata-rata jumlah anak lahir hidup 3,7 anak, sedangkan wanita tamat SD mempunyai 2,4 anak dan wanita yang berpendidikan tamat SMTA atau lebih mempunyai 1,9 anak. Pengaruh pendidikan terhadap fertilitas signifikan (p<0,005).

2. Pekerjaan

Menurut Labor Force Consept, yang digolongkan bekerja adalah mereka yang melakukan pekerjaan untuk menghasilkan barang atau jasa dengan tujuan untuk memperoleh penghasilan atau keuntungan, baik mereka bekerja penuh maupun tidak. Pekerjaan adalah suatu yang dilakukan untuk mencari nafkah atau mendapatkan nafkah. (Hardywinoto, 2007)

Pekerjaan ibu adalah kegiatan rutin sehari-hari ibu dengan maksud untuk memperoleh penghasilan. Setiap pekerjaan apapun jenisnya, apakah pekerjaan itu memerlukan kekuatan otot atau pemikiran, adalah beban bagi yang melakukan. Beban ini dapat berupa fisik, beban mental, ataupun beban sosial, sesuai dengan jenis pekerjaan ibu. (Notoatmodjo, 2007).

Berdasarkan hasil penelitian Muchtar dan Purnomo (2009), wanita yang bekerja mempunyai jumlah anak sedikit lebih tinggi dibanding wanita yang tidak bekerja (2,5 dibanding 2,3 anak), dan pengaruh pekerjaan terhadap jumlah anak signifikan (p<0,05). Bila dilihat menurut kelompok jumlah anak lahir hidup

(7)

menunjukkan bahwa umumnya wanita yang bekerja mempunyai jumlah anak lahir hidup 3 anak atau lebih, sedangkan wanita yang tidak bekerja umumnya belum mempunyai anak dan mempunyai antara 1-2 anak. Hal ini dapat disebabkan karena seseorang yang bekerja, menyebabkan pendapatannya lebih tinggi dibandingkan yang tidak bekerja, sehingga kemampuan untuk memberikan nutrisi atau gizi yang dibutuhkan selama hamil ataupun melahirkan lebih baik daripada yang tidak bekerja. 3. Pendapatan Perkapita Keluarga

Menurut Muchtar dan Pramono (2009), pendapatan mempunyai pengaruh negatif terhadap jumlah anak. Apabila pendapatan perkapita sebuah keluarga dinilai belum mampu untuk menanggung seluruh biaya sandang, pangan, papan dan pendidikan anak nantinya maka mempengaruhi jumlah anak dalam sebuah keluarga, perhitungan pendapatan keluarga yang tidak direncanakan terutama soal penyiapan dananya bisa juga berakibat fatal terhadap masa depan anak. Oleh karena itu persiapan pasangan dari segi kemampuan pendapatan perkapita keluarga sangatlah penting terhadap jumlah anak pada pasangan usia subur.

Hal lain dikemukan oleh Yuniarti, dkk (2012) yang mengutip Leibenstein (1956) mengatakan bahwa, mempunyai anak dapat dilihat dari dua segi ekonomi, yaitu segi kegunaan (utility) dan biaya (cost) yang harus dikeluarkan untuk membesarkan dan merawat anak. Apabila ada kenaikan pendapatan orang tua, maka aspirasi untuk mempunyai anak akan berubah, lebih menginginkan kualitas yang lebih baik daripada kuantitas.

(8)

justru menyebabkan turunnya permintaan jumlah anak. Salah satu jawabannya adalah bahwa dengan meningkatnya penghasilan, orang tua ingin agar anaknya berpendidikan lebih tinggi, sehingga mereka lebih memilih kualitas dari pada kuantitas anak (Jones dalam Lucas, dkk 1990).

Namun, hal yang berbeda dinyatakan oleh Rosidah, dkk (2012) yang mengutip Todaro dan Smith (2006), bahwa tingkat pendapatan yang rendah akan mendorong keluarga miskin untuk menambah anak, karena anak dianggap sebagai tenaga kerja yang murah dan dapat dijadikan sandaran hidup di hari tua.

Menurut Becker (1960), bahwa banyaknya anak yang dilahirkan oleh masyarakat miskin diharapkan dapat membantu orang tua pada usia pensiun atau tidak produktif lagi sehingga anak diharapkan dapat membantu mereka dalam ekonomi, keamanan, dan jaminan sosial (asuransi), karena pada masyarakat miskin umumnya orang tua tidak memiliki jaminan hari tua. Sementara pada masyarakat maju (kaya), nilai anak lebih ke arah barang konsumsi yaitu dalam bentuk kualitas. Dengan arti kata, anak sebagai human capital sehingga anak yang dilahirkan relatif sedikit namun investasi atau biaya yang dikeluarkan lebih besar baik biaya langsung maupun opportunity cost terutama untuk peningkatan kesehatan, pendidikan, gizi, keterampilan dan sebagainya sehingga anak diharapkan dapat bersaing di pasar kerja bukan difungsikan sebagai keamanan apalagi sebagai jaminan sosial bagi orang tua.

Menurut data Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Aceh, Upah Minimum Rakyat Tahun 2013 adalah Rp. 1.600.000. Pendapatan dalam penelitian ini menggabungkan pendapatan yang diperoleh suami dan istri, dan pendapatan lain di

(9)

luar upah minimum yang diterima, misalnya dari pekerjaan tambahan yag dilakukan suami dan istri.

2.2.2 Faktor Sosio Demografi

Penekanan pokok tentang konsep transisi demografi terletak pada pertumbuhan penduduk, khususnya pada proses penurunan fertilitas. Dengan demikian, konsep proses transisi demografi umumnya difokuskan pada perubahan jumlah, struktur, dan komposisi penduduk yang mengalami perubahan selama proses transisi berlangsung. Transisi Demografi adalah perubahan-perubahan tingkat kelahiran dan kematian dimulai dari tingkat kelahiran dan tingkat kematian tinggi, berangsur-angsur berubah menjadi tingkat kelahiran dan tingkat kematian rendah, dan tingkat kematian menurun lebih cepat dibandingkan dengan tingkat kelahiran. Bogue (1969) dalam Mantra, IB, (2000) membagi transisi demografi menjadi tiga tahap yaitu :

1) Pra-transisi (pre-transitional) ; dengan ciri-ciri tingkat kelahiran dan tingkat kematian sama-sama tinggi. Angka pertumbuhan penduduk alamiah sangat rendah (hampir mendekati nol) dan terjadi sebelum 1950.

2) Transisi (transitional), dicirikan dengan penurunan tingkat kelahiran dan tingkat kematian, tingkat kematian lebih rendah daripada tingkat kelahiran, mengakibatkan tingkat pertumbuhan penduduk alamiah sedang dan tinggi. Fase ini dibagi menjadi tiga yaitu :

(10)

a) Permulaan transisi (early transitional), terdapatnya tingkat kematian menurun, tetapi tingkat kelahiran tetap tinggi, bahkan ada kemungkinan meningkat karena perbaikan kesehatan ;

b) Pertengahan transisi (mid-transitional), tingkat kematian dan kelahiran kedua-duanya menurun, tetapi tingkat kematian menurun lebih cepat dari tingkat kelahiran; dan

c) Akhir transisi (late transitional), tingkat kematian rendah dan tidak berubah atau menurun hanya sedikit, dan angka kelahiran antara sedang dan rendah, dan berfluktuasi atau menurun. Pengetahuan tentang kontrasepsi meluas. 3) Pasca-transisi (Post-transitional), dicirikan oleh tingkat kematian dan tingkat

kelahiran kedua-duanya rendah; hampir semuanya mengetahui cara-cara kontrasepsi dan dipraktekkan. Tingkat kelahiran dan kematian (vital rate) mendekati keseimbangan. Pertumbuhan penduduk alamiah amat rendah dalam jangka waktu yang panjang

Menurut Muchtar dan Purnomo (2009), status sosial demografi yang turut mempengaruhi jumlah anak diantaranya adalah usia kawin pertama dan pernah atau saat ini sedang menggunakan kontrasepsi. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Usia Kawin Pertama

Berdasarkan hasil penelitian Eka (2010), makin panjang masa reproduksinya, maka diharapkan makin muda seseorang untuk melangsungkan perkawinannya makin banyak pula anak yang dilahirkan. Usia pernikahan yang dimaksud disini adalah umur pada waktu memasuki ikatan sosial, atau dengan istilah perkawinan, usia

(11)

konsumsi perkawinan (hubungan kelamin yang pertama kali dilakukan setelah menikah ). Seperti yang diketahui bahwa pada saat seseorang menikah pada usia yang relatif lebih muda, maka masa subur atau reproduksi akan lebih panjang dalam ikatan perkawinan sehingga mempengaruhi peningkatan fertilitas.

2. Penggunaan Alat Kontrasepsi

Menurut Davis dan Blake (1974) dalam teori fertilitas penggunaan alat kontrasepsi dapat memiliki pengaruh positip atau negatip terhadap fertilitas, artinya jika suatu masyarakat sedang menggunakan alat/cara KB, maka pengaruhnya terhadap fertilitas negatip. Sedangkan jika alat/cara KB tersebut tidak digunakan, maka pengaruhnya positip terhadap fertilitas.

Menurut Muchtar dan Purnomo (2009), penggunaan alat/cara kontrasepsi secara langsung dapat mempengaruhi fertilitas. Semakin tinggi persentase wanita yang menggunakan alat/cara kontrasepsi, semakin rendah tingkat fertilitasnya. Analisis ini akan dilihat pengaruh penggunaan alat/cara kontrasepsi terhadap tingkat fertilitas, baik untuk wanita yang pernah menggunakan alat/cara kontrasepsi, maupun saat ini sedang menggunakan alat/cara kontrasepsi.

Di Aceh umumnya, masalah KB masih sangat bertentangan dengan budaya yang ada. Kebanyakan dari masyarakat tidak menggunakan alat kontrasepsi. Tujuan memperbanyak anggota keluarga menurut masyarakat Aceh seolah-olah bertentangan dengan tujuan KB. Terdapat perbedaan pandangan di kalangan masyarakat Aceh, karena pengaruh agama, yaitu agama Islam, padangan tersebut membetuk pola

(12)

pemikiran masyarakat Aceh, bahwa nasib keturunan anak-anaknya akan dijamin Tuhan dan bersikap pasif terhadap takdir.

2.2.3 Budaya

Menurut Noorkasiani, dkk, (2009), budaya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “Budayyah” yang artinya budi atau akal. Hal ini diartikan bahwa budaya merupakan suatu perpaduan budi dan akal yang akan membentuk cipta, rasa dan karsa.

Menurut Luddin (2010), budaya dapat dipahami sebagai cara hidup seseorang atau sekelompok orang. Luddin (2010) yang mengutip pendapat Tylor, menyatakan bahwa budaya adalah keseluruhan yang kompleks yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, moral, kesenian, hukum adat istiadat dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat. Budaya menyatukan manusia dalam hubungan dan interaksi antara sesama, berdasarkan keyakinan dan nilai – nilai serta peraturan yang ada.

Hasdy (1995) mengatakan bahwa manusia menciptakan budaya tidak hanya sebagai suatu mekanisme adoptif terhadap lingkungan biologis dan geofisik mereka, tetapi juga sebagai alat untuk memberi andil kepada evolusi sosial mereka. Manusia lahir turun temurun, membawa zat – zat pembawa sifat dan sifat – sifat budaya generasi sebelumnya. Zat – zat pembawa sifat dan ciri – ciri budaya tersebut saling mempengaruhi dalam suatu kelompok sosial. Anak merupakan generasi penerus dalam sebuah keluarga, yang harus dibina agar dapat diharapkran menjadi pewaris

(13)

yang berpotensi, menjadi keturunan yang lebih ulet, dan berguna bagi keluarga, masyarakat dan bangsanya.

Menurut Siregar (2003), anak memiliki nilai universal namun nilai anak tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor sosio kultural dan lain-lain. Setiap keluarga umumnya mendambakan anak, karena anak adalah harapan atau cita-cita dari sebuah perkawinan. Berapa jumlah yang diinginkan, tergantung dari keluarga itu sendiri. Apakah satu, dua, tiga dan seterusnya. Dengan demikian keputusan untuk memiliki sejumlah anak adalah sebuah pilihan dimana pilihan tersebut sangat dipengaruhi oleh nilai yang dianggap sebagai satu harapan atas setiap keinginan yang dipilih oleh orang tua.

Hal ini sejalan menurut Ihromi (1999), nilai anak dapat dipandang berdasarkan budaya yang berlaku, hal ini dapat dicontohkan pada masyarakat Bali, dimana nilai anak pada masyarakat bali tidak dapat dipahami secara baik tanpa mengenal dulu sistem kemasyarakatannya, khususnya sistem kekerabatannya yang bercorak patrilineal, yang dijiwai oleh nilai – nilai dalam agama Hindu. Selanjutnya di Bali, pasangan suami istri yang tidak memproleh anak atau keturunan dipandang tidak beruntung. Hal tersebut tercermin dengan adanya julukan Nang Pocol atau Men Pocol atau Nang Bekung dan MenBekung (dalam bahasa Bali, pocol artinya rugi dan

bekung artinya mandul, Nang berarti laki – laki dan Men berarti perempuan), oleh karena itu lahirnya anak dalam suatu perkawinan sangat diharapkan. Ihromi (1999) yang mengutip pendapat Esphenshade 1977), mengartikan nilai anak adalah fungsi – fungsi yang dilakukan atau dipenuhinya kebutuhan orang tua oleh anak.

(14)

Lain halnya dengan masyarakat Aceh, menurut Hasdy (1995), pandangan masyarakat aceh mengenai anak dipengaruhi dengan ajaran agama yang mereka anut. Hal ini dapat dipahami karena pada masyarakat Aceh terdapat ungkapan yang berbunyi "adat ngon hokum lagee zat ngon sifeut" (adat dengan hukum seperti zat dengan sifatnya), yaitu dua unsur yang tidak dapat dipisahkan. Ungkapan ini mempunyai makna bahwa keputusan-keputusan adat selalu diinterpretasikan kedalam hukum agama (agama Islam). Mereka percaya bahwa setiap anak dari dalam rahim telah cukup rezeki yang dititipkan oleh ALLAH, dan memiliki garis hidup masing-masing.

Hartoyo, dkk (2011) mengutip pendapat Hoffman, dkk (1978) mendefinisikan nilai anak sebagai kepuasan psikologis orang tua atas jasa yang diberikan anak (child service). Kepuasan psikologis tersebut merupakan keuntungan orang tua karena memiliki anak. Terdapat sembilan dimensi nilai anak, yaitu (1) cinta dan kasih sayang

(primary group ties and affection), (2) stimulasi dan kebahagiaan (stimulation and fun), (3) ekspansi diri (expansion of the self), (4) status dewasa dan identitas sosial

(adult status and social identity), (5) penghargaan, kompetensi dan kreativitas

(achievement, competence and creativity), (6) manfaat ekonomi dan jaminan di masa tua (economic utility and security in old age), (7) moralitas (morality), (8) kekuatan dan pengaruh (power and influence), dan (9) perbandingan sosial (social comparison).

Operasionalisasi konsep tentang anak didasarkan pada rumusan yang diajukan oleh Arnold dan Fawcett dalam Lucas (1990). Menurut kedua ahli ini,

(15)

dengan memiliki anak, orang tua akan memperoleh hal-hal yang menguntungkan atau hal-hal yang merugikan. Salah satunya adalah anak dapat memberikan kerukunan dan sebagai penerus keluarga. Anak membantu memperkuat ikatan perkawinan antara suami istri dan mengisi kebutuhan suatu perkawinan. Mereka meneruskan garis keluarga, nama keluarga, dan tradisi keluarga.

Alasan orang tua memiliki anak adalah menghindar dari tekanan sosial budaya, seperti keluarga yang menuntut segera memiliki anak, agama dan kelompok etnis yang mendorong memiliki anak dalam jumlah banyak. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil keluarga yang tidak menjadikan faktor sosial budaya sebagai tekanan untuk memperoleh anak.

Di beberapa negara, termasuk Indonesia, umumnya anak laki-laki mempunyai arti khusus sehingga anak lelaki paling banyak dipilih. Orang tua dari golongan menengah lebih memilih anak perempuan yang dapat menjadi kawan bagi ibu. Perbedaan tanggapan yang relatif kecil antara suami dan istri ada hubungannya dengan peranan mereka dan pembagian tugas dalam keluarga. Misalnya, wanita yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengasuh anak, mempunyai lingkungan kehidupan sosial yang lebih sempit, menitikberatkan anak sebagai teman dan kebutuhan emosional serta fisik dari pengasuhan anak. Di lain pihak, para suami lebih mementingkan kebutuhan akan keturunan untuk melanjutkan garis keluarga dan lebih prihatin terhadap biaya anak (Oppong, 1983).

Menurut Soesastro (2005), penurunan tingkat fertilitas di Indonesia harus disertai dengan perubahan mengenai nilai – nilai mengenai anak, fungsi sosial dari

(16)

anak dan lain – lain. Pasangan suami istri harus menentukan pilihan dalam hal jumlah anak.

Menurut Becker (1960), banyaknya anak dilahirkan oleh masyarakat miskin diharapkan dapat membantu orang tua pada usia pensiun atau tidak produktif lagi sehingga anak diharapkan dapat membantu mereka dalam ekonomi, keamanan, dan jaminan sosial (asuransi), karena pada masyarakat miskin umumnya orang tua tidak memiliki jaminan hari tua. Sementara pada masyarakat maju (kaya), nilai anak lebih ke arah barang konsumsi yaitu dalam bentuk kualitas. Dengan arti kata, anak sebagai

human capital sehingga anak yang dilahirkan relatif sedikit namun investasi atau biaya yang dikeluarkan lebih besar baik biaya langsung maupun opportunity cost

terutama untuk peningkatan kesehatan, pendidikan, gizi, keterampilan dan sebagainya sehingga anak diharapkan dapat bersaing di pasar kerja bukan difungsikan sebagai keamanan apalagi sebagai jaminan sosial bagi orang tua.

2.3 Landasan Teori

Landasan teori dalam penelitian menggunakan teori yang dikemukakan oleh Davis dan Blake (1956), Easterlin (1975), serta Muchtar dan Purnomo (2009).

Menurut Davis dan Blake (1974), faktor-faktor sosial, ekonomi dan budaya dapat berpengaruh terhadap fertilitas. Menurut Easterlin (1975), permintaan akan anak sebagian ditentukan oleh karakteristik individu seperti agama, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal, pendapatan dan sebagainya. Setiap keluarga mempunyai norma-norma dan sikap fertilitas yang dilatarbelakangi oleh karakteristik diatas.

(17)

Fertilitas alami sebagian tergantung pada faktor-faktor fisiologis atau biologis, dan sebagian lainnya tergantung pada praktek-praktek budaya. Selanjutnya, menurut Muchtar dan Purnomo (2009), status sosial demografi yang turut mempengaruhi jumlah anak diantaranya adalah usia kawin pertama dan pernah atau saat ini sedang menggunakan kontrasepsi.

Berdasarkan beberapa landasan teori tersebut, penelitian ini hanya menggunakan faktor pendidikan, pekerjaan, pendapatan serta budaya. Faktor lain yang tidak diteliti seperti agama dan tempat tinggal sifatnya homogen sehingga kalau digunakan dapat menimbulkan bias penelitian. Selanjutnya untuk faktor fisiologis dan biologis juga tidak diteliti karena penilitian ini bukanlah untuk melihat proses kelahiran hidup seorang anak melainkan hanya melihat faktor yang memengaruhi seseorang memiliki anak berdasarkan jumlahnya.

(18)

2.4 Kerangka Teori

Skema 2.2 Kerangka Teori Menurut Davis dan Blake (1956), Easterlin (1975), Muchtar dan Purnomo (2009).

Jumlah Anak karakteristik individu 1. Agama 2. Pendidikan 3. Pekerjaan 4. Tempat tinggal 5. Pendapatan 6. Fertilitas alami 7. Faktor fisiologis 8. Biologis 9. Praktek Budaya 1. Faktor sosial 2. Faktor Ekonomi 3. Faktor Budaya Status sosial demografi 1. Jumlah anak

2. Usia kawin pertama 3. Kontrasepsi.

(19)

2.5 Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori diatas, maka pada penelitian ini dirumuskan kerangka konsep penelitian sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian

Jumlah Anak

Faktor Sosial Ekonomi • Pendidikan Istri • Pendidikan Suami • Pekerjaan Istri • Pekerjaan Suami • Pendapatan Keluarga Keluarga Faktor Budaya • Nilai Anak

Gambar

Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

manufaktur sektor industri dasar dan kimia yang terdaftar di Bursa Efek. Indonesia

Masalah tersebut tentu mencakup pada hal yang luas berupa keterlibatan BPD serta masyarakat sebagai objeknya, adminitrasi Desa secara umum tertuang dalam buku

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : (1) Tingkat kemampuan berpikir kreatif dan berpikir kritis siswa dengan menggunakan model kombinasi NHT-STAD, (2) Perbedaan kemampuan

Selain itu hal ini sesuai dengan hasil penelitian Cahyanti,dkk (2016) yang menyatakan bahwa profitabilitas perusahaan tidak berpengaruh terhadap audit delay , namun

Berdasarkan beberapa hal yang terkait dengan pembelajaran matematika yaitu siswa tidak hanya diharapkan dapat memiliki keterampilan menyelesaikan soal menggunakan

telah memperluas kegiatannya ke berbagai peralatan laut yang lebih luas untuk melengkapi sistem propulsi dan untuk memberikan keahlian teknis dalam pemasangan paket sistem

Kemudian batasan masalah digunakan agar pembahasan tidak menyimpang dari akar masalah dan apa yang menjadi tujuan dari penyelesain masalah tersebut, batasan pertama yaitu,

Untuk mengetahui kemampuan siswa dalam aspek sujud ketika sholat, indikator yang digunakan adalah kaki ditekuk, lutut diletakkan pada alas sholat, permukaan telapak tangan