• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pedoman Tatalaksana Epilepsi 2014 (Perdossi)"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

2

Diketik ulang oleh Dokter Muda Bagian Penyakit Syaraf FKUR-

RSUA Arifin Achmad Perode 7 Juli -9 Agustus 2014

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)

10

EPIDEMIOLOGI EPILEPSI

Fitri Oktaviani, Herlyani Khosama

PENDAHULUAN

Epilepsi mnerupakan salah satu penyakit neurologi tertua, ditemukanb pada semua umur dan dapat menyebabkan hendaya serta mortalitas. Diduga terdapat sekitar 50 juta orang dengan epilepsi didunia(WHO, 2012). Populasi epilepsi aktif (penderita dengan bangkitan tidak terkontrol atau yang memerlukan pengobatan) diperkirakan antara 4 hingga 10 /.1000 penduduk /tahun, dinegara berkembang diperkirakan 6 hingga 10/1000 penduduk.

PREVALENSI

Prevalensi dinegara sedang berkembang ditemukan lebih tinggi dari pada negara maju. Dilaporkan prevaqlensi dinegara maju berkisar antara 4-7 /1000 orang dan 5-74/1000 orang dinegara sedang berkembang. Daerah pedalaman memiliki angka prevalensi lebih tinggi dibendingkan daerah perkotaan yaitu 15,4/1000 (4,8-49,6) dipedalaman dan 10,3 (2,8-37,7) diperkotaan.

Pada negara maju, prevalensi median epilepsi yang aktif (bangkitan dalam 5 tahun terakhir) adalah 4,9/1000 (2,3-10,3), sedanglkan pada negara berkembang dipedalaman 12,7 /1000(3,5-45,5) dan diperkotaan 5,9 (3,4-10,2).2 dinegara Asia, prevalensi epilkepsi aktif tertinggi dilap[orkan divietnam 10,7/1000 orang, dan terendah ditaiwan 2,8/1000 orang.3,4

Prevalensi epilepsi pada usia lanjut (>65 tahun) dinegara maju diperkirakan sekitar >0,9%, lebih dari decade 1 dan 2 kehidupan. Pada usia >75 tahun prevalensi meningkat 1,5%. Sebaliknya prevalensi epilepsi dinegara berkembang lebih tinggi pada usia decade 1-2 dibandingkan pada usia lanjut. Kemungkinan penyebabnya adalah insiden yang rendah dan usia harapan hidup rata-rata dinegara maju lebih tinggi. Prevalensi epilepsi berdasarkan jenis kelamin dinegara-negara asia, dilaporkan laki-laki sedikit lebih tinggi daripada wanita.3

Kelompok studi epilepsi perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Pokdi Epilepsi PERDOSSI) mengadakan penelitian pada 18 rumah sakit di 15 kota pada tahun 2013 selama 6 bulan. Didapatan 2288 pasien terdiri atas 487 kasus baru dan 1801 kasus BAB 1

(11)

11 lama. Rerata usia kasus baru adalah 25,06 ± 16,9 tahun, sedangkan rerata usia pada kasus lama adalah 29,2 ± 16,5 tahun. Sebanyak 77,9% pasien berobat pertama kali ke dokter spesialis saraf, 6,8% berobat ke dokter umum, sedangkan sisanya berobat ke dukun dan tidak berobat.

INSIDENSI

Insidensi median epilepsi di dunia 50,4 per 100.000/tahun (33,6-75,6). Pada negara dengan pendapatan per kapita yang tinggi, insidensi median 45,0 (30,3-66,7) dan paada negara dengan pendapatan per kapita menengah dan rendah adalah 81,7 (28,0-239,5).5

Di Asia, contohnya adalah insidensi epilepsi di Cina adalah 35/100.000 orang per tahun, dan di India 49,3/100.000 orang per tahun.3,6 Puncak insiden di negara Cina (Shanghai) pada usia 10-30 tahun dan >60 tahun, sedangkan di India puncaknya pada usia 10-19 tahhun.3

Insidens epilepsi di negara maju mengikuti distribusi bimodal dengan puncak pertama pada usia balita dan puncak kedua pada usia 65 tahun.7Angka insiden di negara maju dilaporkan >130/100.000 orang/tahun pada usia > 65 tahun, 160/100.000 orang/tahun pada usia >80 tahun. Insiden status epileptikus dilaporkan sebesar 60-80/100.000 orang/tahun setelah usia 60 tahun, dengan angka mortalitas 2 kali lebih besar dibandingkan dewasa muda. Sekitar 35% kasus epilepsi yang baru ditemukan pada usia lanjut (>75 tahun) adalah status epileptikus.8,9

Pada negara sedang berkembang insidens epilepsi lebih tinggi sekitar (100-190/100.000 orang/tahun). Distribusi bimodal tidak tampak pada negara berkembang. Beberapa negara berkembang melaporkan puncak insiden epilepsi tertinggi pada usia dewasa muda, tanpa peningkatan pada usia tua. 8,9,10

BEBAN SOSIAL DAN EKONOMI

Epilepsi memberikan beban kesehatan di dunia secara global sebesar 0,5%. Di India, beban biaya pengobatan diperkirakan sebesar USD 344 per tahun per kasus epilepsi (atau 88% dari rerata pendapatan per kapita penduduk). Biaya total yang diperlukan untuk biaya pengobatan 5 juta kasus epilepsi adalah sama dengan 0,5% anggaran belanja negara di India.1 Di negara maju seperti Amerika Serikat, biaya pengobatan

(12)

12 epilepsi mencapai USD 12,5 triliun per tahun, 14% adalah biaya pengobatan langsung dan 86% biaya tidak langsung.11

Di negara sedang berkembang, diperkirakan ¾ pasien epilepsi tidak mendapatkan pengobatan yang diperlukan. Sekitar 9 dari 10 pasien epilepsi di Afrika tidak mendapatkan pengobatan (treatment gap). Di beberapa negara dengan pendapatan rendah dan menengah, ketersediaan obat antiepilepsi (OAE) sangat rendah dan harga OAE relative mahal. Ketersediaan OAE generic sekitar kurang dari 50%.1

MORTALITAS

Angka mortalitas akibat epilepsi di negara berkembang dilaporkan lebih tinggi dibandingkan negara maju. Di Laos dilaporkan case fatality rate mencapai 90,0 per 1000 orang pertahun . Angka mortalitas epilepsi pada anak di Jepang dilaporkan 45 per 1000 orang pertahun. Di Taiwan 9 per 1000 orang pertahun , dimana orang dengan epilepsi memiliki resiko kematian 3 kali lebih tinggi dibandingkan populasi normal.3

Insiden SUDEP (Sudden Unexpected Death) mencapai 1,21/1000 pasien, wanita leboih tinggi darai laki-laki. Jenis bangkitan dengan risiko SUDEP tertinggi adalah tonik klonik.10

(13)

13 DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Epilepsi. WHO fact sheet October 2012; number 999. Available at: http:// www.who.int/mediacentre/factsheet/fs 999/en/. Diunduh pada tanggal 28 Februari 20014.

2. Ngugi AK, Bottomley C, Kleinschmidt I, Sander JW, Newton C.Estimation of the burden of active and life epilepsi: A meta analytic approach. Epilepsi 2010; 51(5): 883-90.

3. Li SC, Schoenberg BS, Wang CC, Cheng XM, Zhou SS, Bolis CL. Epidemiology of epilepsi in urban areas of people‘s republic of China. Epilepsia 1985; 26(5): 391-4.

4. Mac TL, Tran DC, Quet F, Odermatt P, Peux PM, Tan CT. Epidemiolog, aetology, and clinical management of epilepsi in Asia: A systematic review. Lancet Neurol 2007; 6: 533-43.

5. Kelompok Studi Epilepsi PERDOSSI. Epidemiuologi pasien epilepsi di 18 rumah sakit di Indonesia. 2003 (data primer)

6. Ngugi AK, Kariuki SM, Bottmley C, Kleinshmidt I, Sander JW, Newton CR. Incidence of Epilepsi: A Systematic review and meta analysis. Neurology 2011; 77: 1005: 31-2.

7. Lim SH. Seizures and epilepsi in the elderly: Epidemiology and etiology of seizures and epilepsi in the elderly in Asia. Neurology Asia 2004; 9 (Suppl.1): 31-2

8. Banerjee PN, Filipi D, Hauser WA, The descriptive epidemiogy of epilepsi- a review. Epilepsi Res. 2009; 85(1): 31-45.

9. Li S, Wang X, Wang J. Cerebrovascular disease and post-traumatic epilepsi. Neurol Asia 2004; 9(suppl): 12-3.

10. Hui AC, Kwan P. Epidemiology and management of epilepsi in Hong Kong: an overview. Seizure 2004; 13: 244-6

11. Cardarelli WJ, Pharm D, Smith BJ. The burden of epilepsi to patiens and payer. Am J Manag Care 2010 Dec; 16 (12 Suppl): S331-6.

(14)

14

DEFINISI, KLASIFIKASI DAN ETIOLOGI EPILEPSI

Kurnia Kusumastuti, Mudjiani Basuki DEFINISI

 Definisi konseptual:1 o Epilepsi:

Kelainan otak yang ditandai dengan kecendrungan untuk menimbulkan bangkitan epileptic yang terus menerus, dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial.

Definisi ini mensyaratkan terjadinya minimal 1 kali bangkitan epileptic. o Bangkitan epileptik:

Terjadinya tanda/gejala yang bersifat sesaat akibat aktivitas neuronal yang abnormal dan berlebihan di otak.

 Definisi operasional/definisi praktis 1

Epilepsi adalah suatu penyakt otak yang ditandai dengan kondisi/gejala berikut: 1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan

jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam.

2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan kemungkinan terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan (minimal 60%) bila terdapat 2 bangkitan tanpa profokasi/ bangkitan refleks (misalkan bangkitan pertama yang terjadi 1 bulan setelah kejadian stroke, bangkitan pertama pada anak yang disertai lesi structural dan epileptiform dischargers) 3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi.

Bangkitan refleks adalah bangkitan yang muncul akibat induksi oleh faktor pencetus spesifik, seperti stimulasi visual, auditorik, somatosensitf, dan somatomotor.2

KLASIFIKASI

Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsi (ILAE) terdiri atas dua jenis klasifikasi, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi dan klasifikasi untuk sindrom epilepsi.

(15)

15 Klasifikasi ILAE 1981 untuk tipe bangkitan epilepsi3

1. Bangkitan parsial/fokal

1.1 Bangkitan parsial sederhana 1.1.1. Dengan gejala motorik

1.1.2. Dengan gejala somatosensorik 1.1.3. Dengan gejala otonom

1.1.4. Dengan gejala psikis 1.2 Bangkitan parsial kompleks

1.2.1. Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran 1.2.2. Bangkitan yang disertai gangguan kesadaran sejak awal bangkitan 1.3 Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder

1.3.1. Parsial sederhana yang menjadi umum 1.3.2 Parsial kompleks menjadi umum

1.3.3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, lalu menjadi umum 2. Bangkitan umum 2.1 Lena (absence) 2.1.1 Tipikal lena 2.1.2 Atipikal lena 2.2 Mioklonik 2.3 Klonik 2.4 Tonik 2.5 Tonik-klonik 2.6 Atonik/astatik

3. Bangkitan tak tergolongkan

Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi4 1. Fokal/partial (localized related)

1.1 Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)

1.1.1 Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal (childhood epilepsi with centrotemporal spikesI)

1.1.2 Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah oksipital. 1.1.3 Epilepsi prmer saat membaca (primary reading epilepsi)

1.2 Simtomatis

1.2.1 Epilepsi parsial kontinua yang kronis progresif pada anak-anak (Kojenikow’s Syndrome)

(16)

16 1.2.2 Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan (kurang tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi, refleks epilepsi, stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)

1.2.3 Epilepsi lobus temporal 1.2.4 Epilepsi lobus frontal 1.2.5 Epilepsi lobus parietal 1.2.6 Epilepsi oksipital 1.3 Kriptogenik

2. Epilepsi umum

2.1 Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan) 2.1.1 Kejang neonates familial benigna

2.1.2 Kejang neonates benigna

2.1.3 Kejang epilepsi mioklonik pada bayi 2.1.4 Epilepsi lena pada anak

2.1.5 Epilepsi lena pada remaja 2.1.6 Epilepsi mioklonik pada remaja

2.1.7 Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat terjaga 2.1.8 Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas 2.1.9 Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang spesifik 2.2 Kriptogenik atau simtomatis (berurutan sesuai dengan peningkatan usia)

2.2.1 Sindrom West (spasme infantile dan spasme salam) 2.2.2 Sindrom Lennox-Gastaut

2.2.3 Epilepsi mioklonik astatik 2.2.4 Epilepsi mioklonik lena 2.3 Simtomatis

2.3.1 Etiologi nonspesifik

 Ensefalopati mioklonik dini

 Ensefalopati pada infantile dini dengan dengan burst suppression

 Epilepsi simtomatis umum lainnya yang tidak termasuk di atas 2.3.2 Sindrom spesifik

2.3.3 Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain. 3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum

(17)

17 3.1 Bangkitan umum dan fokal

3.1.1 Bangkitan neonatal

3.1.2 Epilepsi mioklonik berat pada bayi

3.1.3 Epilepsi dengan gelombang paku kontinu selama tidur dalam 3.1.4 Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner) 3.1.5 Epilepsi yang tidak termasuk klasifikasi di atas

3.2 Tanpa gambaran tegas fokal atau umum 4. Sindrom khusus

4.1 Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu 4.1.1 Kejang demam

4.1.2 Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali isolated 4.1.3 Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut, atau

toksis, alkohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi nonketotik. 4.1.4 Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesfik (epilepsi refrektorik)

ETIOLOGI EPILEPSI

Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, sebagai berikut:5

1. Idiopatik: tidak terdapat les structural di otak atau deficit neurologis. Diperkirakan mempunyai predisposisi genetic dan umumnya berhubungan dengan usia.

2. Kriptogenik: dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui. Termasuk di sini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.

3. Simtomatis: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi structural pada otak, misalnya; cedera kepala, infeksi SSP, kelainan congenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat), metabolic, kelainan neurodegeneratif.

(18)

18 DAFTAR PUSTAKA

1. Fisher S.G; Acevedo C; Arzimanoglou A et.al. A Practical Clinical Definition of Epilepsi. Epilepsia 2014: 1-8

2. Rudolf G; Valenti MP; Hirsch E. Genetic Reflex Epilepsies. Orphanet Encyclopedia, March 2004. http//www.orpha.net/data/patho/GB/uk-GeneticReflexEpilepsies.pdf 3. Commission on Classification and Terminology of the International Leage Against

Epilepsi. Proposal for Revised Clinical and Electroencephalographic Classification of Epileptic Seizure. Epilepsia 1981; 22: 489-501

4. Commission on Classification and Terminology of International Leage Against Epilepsi. Proposal for Revised Classsification of Epilepsies and Epileptic Syndrome. Epilepsia July-August 1989; 30(4):389-99.

5. Panayiotopoulus CP. The Epilepsies Seizure, Syndrome and Management. Blandom Medical Publishing. UK; 2005; 1-26.

(19)

19

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING

Astri Budikayanti, Wardah Rahmatul Islamiyah, Nova Dian Lestari

DIAGNOSIS

Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.1

Ada tiga langkah dalammenegakkan diagnosis epilepsi, yaitu sebagai berikut:1 1. Langkah pertama: pastikan adanya bangkitan epileptic

2. Langkah kedua: tentukan tipe bangkitan berdasarkan klasifikasi ILAE 1981

3. Langkah ketiga: tentukan sindroma epilepsi berdasarkan klasifikasi ILAE 1989

Dalam praktik klinis, langkah-langkah dalam penegakkan diagnosis adalah sebagai berikut:

1. Anamnesis: auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata mengenai hal-hal terkait dibawah ini:2

a. Gejala dan tanda sebelum, salam, dan pascabangkitan:

 Sebelum bangkitan/ gajala prodomal

o Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya bangkitan, misalnya perubahan prilaku, perasaan lapar, berkeringat, hipotermi, mengantuk, menjadi sensitive, dan lain-lain.

 Selama bangkitan/ iktal:

o Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal bangkitan?

o Bagaimana pola/ bentuk bangkitan, mulai dari deviasi mata, gerakan kepala, gerakan tubuh , vokalisasi, aumatisasi, gerakan pada salah satu atau kedua lengan dan tungkai, bangkitan tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat, dan lain-lain. ( Akan lebih baik bila keluarga

(20)

20 dapat diminta menirukan gerakan bangkitan atau merekam video saat bangkitan)

o Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?

o Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya o Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan, misalnya saat

tidur, saat terjaga, bermain video game, berkemih, dan lain-lain.

Pasca bangkitan/ post- iktal:

Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah, Todd’s paresis.

b. Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologis, alkohol.

c. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antara bangkitan, kesadaran antara bangkitan.

d. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya i. Jenis obat antiepilepsi

ii. Dosis OAE

iii. Jadwal minumOAE iv. Kepatuhan minum OAE

v. Kadar OAE dalam plasma vi. Kombinasi terapi OAE

e. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis psikiatrik maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun komorbiditas.

f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga

g. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh kembang h. Riwayat bangkitan neonatal/ kejang demam

i. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat (SSP), dll.

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis2 Pemeriksaan fisik umum

(21)

21 - Trauma kepala

- Tanda-tanda infeksi - Kelainan congenital

- Kecanduan alcohol atau napza

- Kelainan pada kulit (neurofakomatosis) - Tanda-tanda keganasan.

Pemeriksaan neurologis3

Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah bangkitan, maka akan tampak pascabangkitan terutama tanda fokal yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi, seperti:

- Paresis Todd

- Gangguan kesadaran pascaiktal - Afasia pascaiktal

3. Pemeriksaan penunjang

 Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG)

Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan suatu bangkitan untuk:

o Membantu menunjang diagnosis

o Membantu penentuan jenis bangkitan maupun sintrom epilepsi. o Membatu menentukanmenentukan prognosis

o Membantu penentuan perlu/ tidaknya pemberian OAE.

 Pemeriksaan pencitraan otak

Berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik diotak. MRI beresolusi tinggi ( minimal 1,5 Tesla) dapat mendiagnosis secara non-invasif berbagai macam lesi patologik misalnya mesial temporal sclerosis, glioma, ganglioma, malformasi kavernosus, DNET ( dysembryoplastic neuroepithelial tumor ), tuberous sclerosiss.4

Fuctional brain imaging seperti Positron Emission Tomography (PET), Singel Photon Emission Computed Tomography (SPECT) dan Magnetic

(22)

22 Resonance Spectroscopy (MRS) bermanfaat dalam memberikan informasi tambahan mengenai dampak perubahan metabolik dan perubahan aliran darah regional di otak berkaitan dengan bangkitan.4 Indikasi pemeriksaan neuroimaging( CT scan kepala atau MRI kepala) pada kasus kejang adalah bila muncul kejang unprovoked pertama kali pada usia dewasa. Tujuan pemeriksaan neuroimaging pada kondisi ini adalah untuk mencari adanya lesi structural penyebab kejang. CT scan kepala lebih ditujukan untuk kasus kegawatdaruratan, karena teknik pemeriksaannya lebih cepat. Di lain pihak MRI kepala diutamakan untuk kasus elektif. Bila ditinjau dari segi sensitivitas dalam menentukan lesi kasus elektif. Bila ditinjau dari segi sensitivitas dalam menentukan lesi structural, maka MRI lebih sensitive dibandingkan CT scan kepala.5

 Pemeriksaan laboratorium o Pemeriksaan hematologis

Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung jenis, hematokrit, trombosit, apusan darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium), kadar gula darah sewaktu, fungsi hati (SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan albumin.

- Awal pengobatan sebagai salah satu acuan dalam menyingkirkan diagnosis banding dan pemilihan OAE - Dua bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi

samping OAE

- Rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor samping OAE, atau bila timbul gejala klinis akibat efek samping OAE.6

o Pemeriksaan kadar OAE

Pemeriksaan ini idealnya untuk melihat kadar OAE dalam plasma saat bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis terapi maksimal atau untuk memonitorkepatuhan pasien.6

 Pemeriksaan penunjang lainnya5

Dilakukan sesuai dengan indikasi misalnya: o Punksi lumbal

(23)

23 o EKG

DIAGNOSIS BANDING6

Ada beberapa gerakan atau kondisi yang menyerupai kejang epileptic, seperti pingsan (Syncope), reaksi konversi, panik dan gerakan movement disorder. Hal ini sering membingungkan klinisi dalam menentukan diagnosis dan pengobatannya. Tabel 3.1 menunjukkan beberapa pembeda antara kejang epileptic dengan berbagai kondisi yang menyerupainya.

(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)

31 DIAGNOSIS BANDING SINDROM EPILEPSI8,9,10

Apabila diagnosis epilepsi sudah dapat ditegakkan, maka kita akan dihadapkan pada berbagai sindromepilepsi. Penentuan sindrom yang tepat sangat mempengaruhi keberhasilan terapi.sindrom epilepsi memiliki beberapa perbedaan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Panayiotopoulos CP. The Epilepsies Seizure, Syndromes and Management. Blandom Medical Publishing. UK; 2005; 1-26

2. Steinlein, OK. Genetic Mechanisms That Underlie Epilepsi. Neuroscience 2004; 400-408.

3. Engel J. Fejerman N, Berg AT, Wolf P. Classification of Epilepsi. In Engel J, Pedley TA. Epilepsi A Comprehensive Textbook 2nd Ed. Voln one. Lippincott Williams & Wilkins. USA; 2008; 767-772.

4. Molshe SL, Pedley TA. Overview: Diagnostik Evaluation In Epilepsi, A comprehensive Texbook/ editors Jerome Engel JR. Tomothy A. Pedley, 2nd ed, Vol I, Lippincott Williams & Wilkins, 2008, pp: 783-784.

5. Leppik, IE. Laboratory Tests. In Epilepsi A Comprehensive Textbook/ editors Jerome Engel JR. Tomothy A Pedley, 2nd ed, Vol I. Lippicott Williams & Wilkins, 2008, pp: 791-796.

6. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Diagnosis and Management of Epilepsi in Adults A national Clinical Guideline. SIGN.2003.

7. NICE. The Epilepsies: The diagnosis and management of the Epilepsies in adult and children in primary and secondary care. NICE Clinical Guideline. 2012. pp 76-79.

8. Harsono. Klasifikasi Bangkitan Epilepsi dan Penjelasannya dalam Epilepsi. Edisi Kedua. Gadjah Mada University Press. 2007. Hal: 26-35.

9. Wyllie E. Appendix Proposal for Revised classification of Epilepsies and Epileptic Syndrome in the Treatment of Epilepsi; Principles and Practice, Philadelphia/Lodon, 1993, pp: 494-497.

10. Khalil BA, Misulis KE. Pattern of EEG Activity in Certain Forms of Epilepsi in Atlas of EEG and Sezure Semiology, Philadelphia, 2006, pp: 153-154.

TERAPI

(32)

32 Suryani Gunadharma, Endang Kustiowati, Machlusil Husna

Setelah membuat diagnosis yang tepat, hal yang perlu diperhatikan sebelum menentukan terapi obat anti epilepsi (OAE) adalah berapa besar kemungkinan terjadinya bangkitan berulang, berapa besar kemungkinan terjadinya konsekuensi psikososial, masalah pekerjaa, atau keadaan fisik akibat bangkitan selanjutnya dan pertimbangkan untung rugi antara pengobatan dan efek samping yang ditimbulkan. Ketepatan diagnosis merupakan dasara terapi, diagnosis yang kurang tepat dapat menyebabkan terapi yang tidak tepat juga.1,2,3

TUJUAN TERAPI

Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan penyandang epilepsi dapat hidup normal dan tercapai kualitas hidup optimal untuk penyandangmental yang dimilikinya. Harapannya adalah ‖bebas bangkitan, tanpa efek samping‖. Untuk tercapainya tujuan tersebut diperlukan beberapa upaya, antara samping/dengan efek samping yang minimal, menurunkan angka kesakitan dan kematian.4-6

Terapi pada epilepsi dapat berupa terapi farmakologi dan nonfarmakologi.

PRINSIP TERAPI FARMAKOLOGI 3-9

 OAE diberikan bila

o Diagnosis epilepsi sudah dipastikan

o Terdapat minimum dua bangkitan dalam setahun

o Penyandang dan atau keluarganya sudah menerima penjelasan tentang tujuan pengobatan.

o Penyandang dan/ atau keluarga telah diberitahu tentang kemungkinan efek samping yang timbul dari OAE.

o Bangkitan terjadi berulang walaupun factor pencetus sudah dihindari (misalnya: alcohol, kurang tidur, stress, dll)

 Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis bangkitan (Tabel 1) dan jenis sindrom epilepsi (Tabel 2).

 Pemberian obat dimulai dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping (Tabel 3).

(33)

33 o Bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif

o Diduga ada perubahan farmakokinetik OAE (disebabkan oleh kehamilan, penyakit hati, penyakit ginjal, gangguan absorpsi OAE)

o Diduga penyandang tidak patuh pada pengobatan o Setelah penggantian dosis/regimen OAE

o Untuk melihat interaksi antara OAE atau obat lain.

 Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis maksimum tidak dapat mengontrol bangkitan, maka diganti dengan OAE kedua. Caranya bila OAE telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap (tapering off). Bila terjadi bangkitan saat penurunan OAE pertama maka kedua OAE tetap diberikan. Bila responsyang didapat buruk, kedua OAE hareus diganti dengan OAE yan g lain. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan bila terdapat respons dengan OAE kedua, tetapi respons tetap suboptimal walaupun pergunaan kedua OAE pertama sudah maksimal.9

 OAE kedua harus memiliki mekanisme kerja yang berbeda dengan OAE pertama

 Penyandang dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi bila kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu bila:10,11

o Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG

o Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi dengan bangkitan; misalnya meningioma, neoplasma otak, AVM, abses otak ensafalitis herpes.

o Pada pemeriksaan neurologis dijumpai kelainan yang mengarah pada adanya kerusakan otak

o Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang tua) o Riwayat bangkitan simtomatis

o Terdapat sindrom epilepsi yang berisiko kekambuhan tinggi seperti JME (Juvenile Myoclonic Epilepsi)

o Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran stroke, infeksi SSP

(34)

34

 Efek samping OAE perlu diperhatikan (Tabel 4.4), demikian pula halnya dengan profil farmakologis tiap OAE (Table 4.5) dan interaksi farmnakokinetik antar-OAE (Tabel 4.6)

 Strategi untuk menceghah efek samping:

o Pilih OAE yang paling cocok untuk karakteristik penyandang

o Gunakan titrasi dengan dosis terkecil dan rumatan terkecil mengacu pada sindrom epilepsi dan karakteristik penyandang.

JENIS OBAT ANTIEPILEPSI DAN MEKANISME KERJANYA

Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, dosis OAE, efek samping OAE, profil farmakologi, interaksi antara OAE.

Tabel 4.1 Pemilihan OAE berdasarkan bentuk bangkitan 13,14

OAE Bangkitan fokal Bangkitan umum sekunder Bangkitan tonik klonik Bangkitan lena Bangkitan Mioklonik

Phenytoin + (A) + (A) + (C) - -

Carbamazepine + (A) + (A) + (C) - -

Valproic acid + (B) + (B) + (C) + (A) +(D)

Phenobarbital + (C) + (C) + (C) 0 ? +

Gabapentin + (C) + (C) ?+ (D) 0 ?-

Lamotrigine + (C) + (C) + (C) + (A) +-

Topiramate + (C) + (C) + (C) ? ? + (D)

Zonisamide + (A) + (A) ?+ ? + ? +

Levetiracetam + (A) + (A) ?+ (D) ? + ? +

Oxcarbamazepine + (C) + (C) + (C) - -

Clonazepam + (C) - - - -

Level of confidence:

A: efektif sebagai monoterapi; B: sangat mungkin efektif sebagai monoterapi; C: mungkin efektif sebagai monoterapi; D: berpotensi untuk efektif sebagi monoterapi

(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)

43 PENGHENTIAN OAE5,6,18

Pada dewasa; penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 3-5 tahun bebas bangkitan. OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan pada 60% pasien. Dalam hal penghentian OAE, maka ada hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu syarat umum untuk menghentikan OAE dan kemungkinan kambuhan bangkitan setelah OAE dihentikan.

Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai berikut:

 Setelah minimal 3 tahun bebas bangkitan dan gambaran EEG normal

 Penghentian OAE disetujui oleh penyandang atau keluarganya.

 Harus dilakukan secara bertahap, 25% dari dosis semula setiap bulan dalam jangkat waktu 3-6 bulan

 Bila dilakukan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang bukan utama.

Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinannya pada keadaan sebagai berikut:5,19,20

 Semakin tua usia kemungkinan timbul kekambuhan semakin tinggi

 Epilepsi simtomatis

 Gambaran EEG yang abnormal

 Bangkitan yang sulit terkontrol dengan OAE

 Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita, sangat jarang pada sindrom epilepsi benigna dengan gelombang tajam pada daerah sentrotemporal, 5-25% pada epilepsi lena masa anak kecil,25-75%, epilepsi parsial kriptogenik/simtomatis, 85-95% pada epilepsi mioklonik pada anak, dan JME.

 Penggunaan lebih dari satu OAE.

 Telah mendapat terapi 10 tahun atau lebih (kemungkinan kekambuhan lebih kecil pada penyandang yang telah bebas bangkitan selama 3-5 tahun, atau lebih dari lima tahun).20

Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum pengurangan dosis OAE), kemudian dievaluassi kembali.

Rujukan ke spesialis epilepsi perlu ditimbangkan bila:6

 Tidak responsive terhadap 2 OAE pertama

(44)

44

 Berencana untuk hamil

 Dipertimbangkan untuk penghentian terapi.

TERAPI TERHADAP EPILEPSI RESISTEN OAE

Yang dimaksud dengan epilepsi resisten OAE adalah kegagalan setelah mencoba dua OAE pilihan yang dapat ditoleransi, dan sesuai dosis ( baik sebagai monoterapi atau kombinasi) yang mencapai kondisi bebas bangkitan.21

Sekitar 25-30% penyandang akan berkembang menjadi epilepsi resisten OAE.22 Penanganan epilepsi resisten OAE mencakup hal-hal sebagai beriku:23

 Kombinasi OAE

Mengurangi dosis OAE ( pada OAE induced seizure)

 Terapi bedah (dibicarakan di Bab 8)

 Dipikirkan penggunaan terapi nonfarmakologis. Terapi NonFarmakologis

 Stimulasi N.Vagus8,32

 Terapi ajuvan untuk mengurangi frekuensi bangkitan pada penyandang epilepsi refrakter usia dewasa dan anak-anak yang tidak memenuhi syarat operasi. Dapat digunakan pada bangkitan parsial dan bangkitan umum.

Deep Brain Stimulation

 Diet ketogenik8

Intervensi Psikologi

 Relaksasi, behavioral cognitive therapy, dan biofeedback

Tabel 4.7 Kombinasi OAE yang dapat digunakan pada epilepsi resisten OAE

Kombinasi OAE Indikasi

Sodium Valproat+etosuksimid Karbamasepin+sodium valproat Sodium Valproat+Lamotrigin Topiramat+Lamotrigin

Bangkitan Lena

Bangkitan parsial/ kompleks

Bangkitan parsial/ Bangkitan umum Bangkitan parsial/ Bangkitan umum

STATUS EPILEPTIKUS Definisi

Status epileptikus (SE) adalah bangkitan yang berlangsung lebuh dari 30 menit, atau adanya dua bangkitan atau lebih dan diantara bangkitan-bangkitan tadi tidak terdapat

(45)

45 pemulihan kesadaran. Namun demikian penanganan bangkitan konvulsif harus dimulai bila bangkitan konvulsif sudah berlangsung lebih dari 5-10 menit. SE merupakan keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan penanganan dan terapi segera guna menghentikakn bangkitan ( dalam waktu 30 menit).24-26 Dikenal dua tipe SE; SE konvusif (terdapat bangkitan motorik) dan SE non-konfusif (tidak terdapat bangkitan motorik).

Definisi Operasional Status Epileptikus Konvulsif8

Status epileptikus konvulsif adalah bangkitan dengan durasi lebih dari 5 menit, atau bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran diantara bangkitan. Definisi Status Epileptikus Nonkonvulsif8

Status epileptikus nonkonvulsif adalah sejumlah kondisi saat aktivitas bangkitan elektrografik memanjang (EEG status) dan memberikan gejala klinis nonmotorik termasuk perubahan perilaku atau “ awareness”.

SE dibedakan dari bangkitan serial ( frequent seizures), yaitu bangkitan tonik klonik yang berulang tiga kali atau lebih dalam satu jam.

Klasifikasi Status Epileptikus Berdasarkan klinis:

- SE fokal - SE general Berdasarkan durasi:

- SE Dini( 5-30 menit)

- SE menetap/ Established(>30 menit)

- SE Refrakter ( bangkitan tetap ada setelah mendapat dua atau tiga jenis antikonvulsan awal dengan dosis adekuat )

Status epileptikus nonkonvulsivus (SE-NK) dibagi menjadi dua kelompok utama: - SE-NK Umum

- SE-NK fokal

PENGELOLAAN STATUS EPILEPTIKUS KONVULSIF Pengelolaan sebelum sampai di Rumah Sakit

Pemberian benzodiazepine rectal/midazolam buccal merupakan terapi yang utama selama diperjalanan menuju rumah sakit.

(46)

46 - Bangkitan berlanjut 5 menit setelah obat emergensi diberikan

- Penderita memiliki riwayat sering mengalami bangkitan serial/bangkitan konvulsivus.

- Terdapat kesulitan monitor jalan napas, pernapasan, sirkulasi, atau tanda vital lain.

Terapi OAE harus diberikan bersama sama dengan terapi emergensi. Pilihan obat tergantung dari terapi sebelumnya, tipe epilepsi, dan klinis. Apapun OAE yang digunakan sebelumnya, harus dilanjutkan dengan dosis penuh. Bila phenitoin atau Phenobarbital telah diberikan pada terapi emergensi, dosis rumatan dapat diberikan secara oral atau intravena dengan monitor kadar obat dalam serum. OAE rumatan lain dapat diberikan dengan dosis loading peroral. Bila pasien sudah bebas bangkitan selala 12-24 jam dan terbukti kadar obat dalam plasma adekuat, maka obat anestesi dapat diturunkan perlahan.8

Tabel 4.8 Protokol penanganan status epileptikus konvulsif8 Pemeriksaan Umum

Stadium 1 (0-10 menit) SE Dini Pertahankan patensi jalan napas dan resusitasi

Berikan oksigen

Periksa fungsi kardiorespirasi Pasang infuse

Stadium 2 (0-30 menit) Monitor pasien

Pertimbangkan kemungkinan kondisi non epileptic Terapi antiepilepsi emergensi

Pemeriksaan emergensi (lihat di bawah)

Berika glukosa (D50% 50 ml) dan/atau thiamine 250 mg i.v bila ada kecurigaan penyalahgunaan alkohol atau defisiensi nutrisi

Terapi asidosis bila terdapat asidosis berat

Stadium 3(0-60 menit) SE Menetap Pastikan etiologi

Siapkan untuk rujuk ke ICU

Identifikasi dan terapi komplikasi medis yang terjadi Vasopressor bila diperlukan

Stadium 4 (30-90 menit) Pindah ke ICU

Perawatan intensif dan monitor EEG

Monitor tekanan intrakranial bila dibutuhkan Berikan antiepilepsi rumatan jangka panjang

(47)

47 Lanjutan Tabel 4.8.

Pemeriksaan Umum Pemeriksaan emergensi

Pemeriksaan gas darah, glukosa, fungsi liver, fungsi ginjal, kalsium, magnesium, darah lengkap, faal hemostasis, kadar obat antiepilepsi. Bila diperlukan pemeriksaan toksikologi bila penyebab status epileptikus tidak jelas. Foto toraks diperlukan untuk evaluasi kemungkinan aspirasi. Pemeriksaan lain tergantung kondisi klinis, bisa meliputi pencitraan otak dan dan pungsi lumbal

Pengawasan

Observasi status neurologis, tanda vital, ECG, biokimia, gas darah, pembekuan darah, dan kadar OAE. Pasien memerlukan fasilitas ICU penuh dan dirawat oleh ahli anestesi bersama ahli neurologi.

Monitor EEG perlu pada status epileptikus refrakter. Pertimbangkan kemungkinankan status epilepsi nonkonvulsif. Pada status epileptikus konvulsif refrakter, tujuan utama adalah supresi aktivitas epileptik pada EEG, dengan tujuan sekunder adalah munculnya pola burst suppression.

Tabel 4.9 OAE untuk status epileptikus konvulsif8,30,31 Stadium premonitor (sebelum ke rumah sakit) SE Dini SE Menetap SE Refraktera

Diazepam 10-20 mg per rektal, dapat diulangi 15 menit kemudian bila kejang masih berlanjut, atau midazolam 10 mg diberikan intrabuccal( belum tersedia di Indonesia. Bila bangkitan berlanjut, terapi sebagai berikut.

Lorazepam (intravena) 0,1 mg/kgBB( dapat diberikan 4 mg bolus, diulang satu kali setelah 10-20 menit).

Berikan OAE yang biasa digunakan bila pasien sudah pernah mendapat terapi OAE

Bila bangkitan masih berlanjut terapi sebagai berikut dibawah ini.

Phenytoin i.v dosis of 15-18 mg/kg dengan kecepatan pemberian 50 mg/menit dan/atau bolus Phenobarbital 10-15 mg/kg i.v dengan kecepatan pemberian 100 mg/menit. Anestesi umum dengan salah satu obat dibawah ini:

- Propofol 1-2 mg/KgBB bolus, dilanjutkan 2-10 mg/kg/jam dititrasi naik sampai SE terkontrol

- Midazolam 0,1-0,2 mg/kg bolus, dilanjutkan 0,05-0,5 mg/kg/jam dititrasi naik sampai SE terkontrol

- Thiopental sodium 3-5 mg/kg bolus , dilanjut 3-5 mg/kg/jam dititrasi naik sampai terkontrol

Setelah penggunaan 2-3 hari kecepatan harus diturunkan karena saturasi pada lemak.

Anastesi dilanjutkan sampai 12-24 jam setelah bangkitan klinis atau ektrografis terakhir, kemudian dosis diturunkan perlahan

a

(48)
(49)
(50)

50 STATUS EPILEPTIKUS NON KONVULSIF27

 Dapat ditemukan pada 1/3 kasus SE

 Dapat dibagi menjadi SE lena, SE Parsial kompleks, SE nonkonvulsivus pada penyandang dengan koma, dan SE pada penyandang dengan gangguan belajar

 Pemilihan terapi untuk status epileptikus nonkonvulsivus bermacam macam sesuai jenis bangkitan (tabel 10).

Tabel 4.10 Terapi status epileptikus (SE) non konvulsivus

Tipe Terapi pilihan Terapi lain

SE Lena SE Parsial kompleks SE Lena atipikal SE Tonik SE nonkonvulsivus pada penyandang koma

Benzodiazepin I.V./ oral Clobazam oral

Valproate oral

Lamotrigine oral Phenytoin i.v. atau Phenobarbital Valproate i.v Lorazepam/Phenytoin/ Phenobarbital i.v. Benzodiazepine Lamotrigine, topiramate, methylphenidate, steroid oral methylphenidate, steroid Anestesia dengan thiopentone, Phenobarbital, propofol atau midazolam Dosis OAE pada SE Non Konvulsif8,29

SE lena biasanya bisa dihentikan dengan benzodiazepine intravena: diazepam 0,2-0,3 mg/kg, atau clonazepam 1 mg (0,25-0,5 mg pada anak-anak) atau lorazepam 0,07 mg/kg(0,1 mg/kg pada anak), dapat diulangi bila diperlukan. Bila terapi ini tidak efektif, mungkin bisa diberikan fenitoin atau valproat intravena. Pada epilepsi lena pada anak, terapi rumatan dengan valproat atau ethosuximide diberikan setelah status terkontrol. Kondisi ini sering disebabkan oleh putus obat( khususnya obat psikotropik atau benzodiazepine), dan dapat dietrapi dengan diazepam atau lorazepam intravena. Terapi rumatan jangka panjang biasanya tidak diperlukan.

SE parsial kompleks paling baik diterapi dengan benzodiazepine. Terdapat kontroversi tentang perlunya pemberian intravena pada kasus ini, pada kebanyakan kasus terapi oral member hasil yang cukup baik. Beberapa rekomendasi terapi SE-NK dapat dilihat pada tabel11.

(51)
(52)
(53)

53 DAFTAR PUSTAKA

1. David W. Chadwick, Roger J. Porter, Emilio Perucca, John M. Pellock: Overview: General approaches to treatment. In Engel J, Pedley TA. Epilepsi A Comprehensive Textbook 2nd Ed.Vol one. Lippincott Williams & Wilkins. USA 1117-1118.

2. John M. Freeman, Timothy A. Pedley. Indications for treatment. In Engel J, Pedley TA. Epilepsi A Comprehensive Textbook 2nd Ed.Vol one. Lippincott Williams & Wilkins. USA 1119-1123.

3. Panayiotopoulos CP.General Aspects on the Diagnosis of Epileptic Seizures and Epileptic Syndrome in Clinical Guide to Epileptic syndrome and their Treatment. Based on the new ILAE diagnostic cheme. Ozfordshire: Blandon Medical Publishing, 2010, pp: 172-199

4. Lawrence J, Hirsch, Timothy A. Pedley. Goals of Therapy. In A Comprehensive Textbook 2nd Ed.Vol.1. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia.2008; 1125-1128.

5. Dulac O, Leppik IF. Initiating and Discontinuing Treatment in Comprehensive Textbook Epilepsi. Lippincott-Raven 1st ed. Philadelphia.1998; 1237-46

6. Brodie MJ,Schacter SC,Kwan P. Fast Facts: Epilepsi 3rd Ed. Health Press Limited. UK 2005:37-84

7. Cockerell OC.Shorvon OD.Epilepsi current concepts. London: current Medical Literature 1996.

8. National institute of clinical Excellence. The epilepsies: the diagnosis and management of the epilepsies in adult and children in primary and secondary car. NICE Clinical guideline 137. London January,2012

9. KwanP, Schacter SC, Brodie MJ. Drug resistant epilepsi. New England Journal Medicine 2011: 365: 919-26. (Supplementary appendix)

10. Gummit RJ. The Epilepsi Handbook: The practical management of seizure. 2nd ed

. New York: Raven Press 1995: 12-22

11. Perucha E. General Principles of Mediacal Treatment. In Sorvon S, Perucha E, Fish D, Dodson E. The Treatment of Epilepsi 2nd ed. Blacwell science. USA 2004; 139-160

(54)

54 12. Walker MC.Shorvon SD. Emergency Treatment of seizures and status epilepticus. In the Treatment of Epilepsi 2nd ed. Blackwell science. USA 2004; 227-43

13. Menachem EB, French JA. Choice of antiepileptic drug. In in epilepsi A Comprehensive Textbook /editors Jerome Engel JR., Tomothy A. Pedley, 2nd ed, vol 1, Lippincot Williams & Wilkins, 2008,pp: 1295-1300

14. Tracy Glauser, Elinor Ben-Menachem, blaise burgeois, Avital Cnaan, CARLOS Guerreiro , Reeta Ka‘‘lvia‘‘inen, RICHARD matson, Jacquiline A. French, Emilio Perruca, Torbjorn Tomson for the ILAE subcommission of AED Guideline updated ILAE evidence review of antiepileptic drug efficacy and effectiveness as initial monotherapy for epileptic seizure drug syndromes. Epilepsia: 1-13,2013.

15. Ballaban Gill K, Jacquiline A. French. Selection of antiepileptic Drugs. Continum, August 2004.10(4); 80-89

16. Roger J, Porter, David C. Overview: General approach to treatment, in: Engel J, Pedley TA. epilepsi A Comprehensive Textbook Lippincot Raven , Philadelphia. 1997; 1101-6

17. Brodie MJ, Dicter MA. Antiepileptic Drug . N Eng J Med.1996;334:168-175 18. Sorvon S Handbook Epilepsi of Treatment. Blacwell science. Toronto

2000;34-84

19. Devinsky O. Patient with Refractory seizures. N Eng J Med. 1999;340:1565-70 20. Medical Research Council anti epileptic dryg withdrawal in patients in

remission. Lancet 1991;337:1175-80

21. Patrick Kwan, Alexis Arzimanoglou, Anne T berg, Martin J. Brodie w, Allen Hauser, Gary Mathern, Solomon L. Moshe‘, Emilio Perucca, Samuel Wiebe, Jacqqquiline French. Definition of drug resistant epilepsi: Consensus Proposal by the ad hoc Task Force of the ILAE commission of theraupetic strategies epilepsia, 51(6): 1069-1077, 2010.

22. Leppik IE. Intractable Epilepsi In adult in intractable seizure. Diagnosis treatment and prevention. Advances in experimental medicine and biology.2002. Vol 497:1-7

(55)

55 23. Alving j. what is Intractable Epilepsi? In Johannesen si, gram I, Sillapa M, Thomson T, Intractable Epilepsi. UK. Wrigton Biomedical Publishing 1995;1-12

24. Manford M. Status epilepticus in practical guide to epilepsi. Burlington. Butterworth Heinemann Elsevier sciences 2003:243-64

25. Fountain n. Treatment of status epilepticus. American Academy of Neurology, 55th annual meeting 2003.

26. Working group on status epilepticus. Treatment of convulsive status epilepticus Reccomendations of the epilepsi Foundations of america‘s working group on status epilepticus. JAMA1993;270:854-9

27. Shorvon OD. Status epilepticus its clinical features and treatment in children and adult. Cambridge university press; 1995

28. Chen jw, Wasterlain CG. Status Epilepticus: pathofiology and Management in adult. Lancet Neurol 2006; 246-56

29. Rueg S. Non convulsive status epilepticus in adult-an overview, Schweizer archive fur neurologie und psychiatrie.2008

30. Holtkamp M. Treatment strategies for refractory status epilepticus: current opinion in critical care 2011,17:94-100

31. shorvon s, Ferlisis M. The treatment of super refractory status epilepticus critical review of available therapies and clinical treatment protocol.Brain 2011:1-17 32. Morris GI, Gloss D. Buchhalter J, Mack KJ, Nickels K, Harden c. Evidence –

based guideline update: Vagus nerve stimulation for the treatment of epilepsi. report of guideline development subcommittee of the American Academy of Neurology 2013: 81:1-7

(56)

56

EPILEPSI PADA PEREMPUAN

Diah Kurnia Mirawati, Karema Winifred, Meiti Frida

Epilepsi pada perempuan memperlihatkan hal yang unik terkait dengan interaksi antara hormone endokrin dan mekanisme epilepsi. Kedua hal tersebut saling mempengaruhi, yaitu hormon endokrin berpengaruhi, yaitu hormon endokrin berpengaruh terhadap epilepsi, demikian pula sebaliknya.1

Berdasarkan perubahan fisiologis yang terjadi pada perempuan, akan dibahas :

 Epilepsi pada pubertas

 Epilepsi pada menstruasi (epilepsi katamenial)

 Epilepsi pada kehamilan

 Epilepsi pada persalinan

 Epilepsi pada menyusui

 Epilepsi pada penggunaan kontrasepsi

 Epilepsi pada menopause

EPILEPSI PADA PUBERTAS

Beberapa jenis bangkitan epilepsi terjadi pertama kali pada saat pubertas, sementara jenis epilepsi yang lain membaik. Hal ini kemungkinan terkait dengan yang terjadi saat pubertas.1,2

Pemilihan obat antiepilepsi (OAE) pada masa pubertas harus memperhatikan efek OAE terhadap hormon endokrin yang berakibat gangguan reproduksi. Gangguan reproduksi tersebut akibat dari beberapa kelainan seperti gangguan menstruasi, sindrom polikistik ovarium, gangguan fertilitas dan gangguan seksualitas. 3

EPILEPSI PADA MENTRUASI ( EPILEPSI KATAMENIAL )

Defenisi epilepsi katamenial adalah peningkatan bangkitan epilepsi dua kali lebih sering dibanding rata-rata frekuensi bangkitan epilepsi harian yang terjadi pada saat perimenstrual, sekitar fase ovulasi atau selama fase luteal yang inadekuat.4 Catatan harian tentang bangkitan epilepsi dan siklus mentruasi serta pengukuran suhu tubuh basal harian dapat digunakan untuk diagnosis epilepsi pada katamenial. Kadar progesterone dapat digunakan untuk mengidentifikasi fase luteal yang inadekuat.5,6 Terapi Epilepsi Katamenial

(57)

57 Sampai saat ini belum ada terapi yang spesifik untuk epilepsi katamenial. Beberapa terapi yang bias membantu mengurangi frekuensi bangkitan epilepsi adalah sebagai berikut.

 Tambahkan OAE yang bekerja cepat seperti Klobazam. Dosis Klobazam 20-30 mg/hari diberikan 10 hari selama periode mentruasi,7,8

 Asetazolamid, dosis 250-500 mg perhari, diberikan pada 5-7 hari sebelum dan selama menstruasi.6,9.

 Terapi hormone menggunakan progesterone, metabolit progesterone, dan antagonis estrogen.6

EPILEPSI PADA KEHAMILAN

Kehamilan berkaitan dengan peningkatan kadar estrogen dan progesterone yang bermakna serta perubahan metabolism hormone dan obat antiepilepsi. Kedua hal tersebut akan memengaruhi frekuensi bangkitan.1 Epilepsi pada kehamilan dapat menyebabkan komplikasi maternal dan fetal/neonatal. Komplikasi maternal yang dapat terjadi, yaitu : bangkitan berulang (hipoksia), status epilepstikus, bangkitan saat persalinan, hipertensi kehamilan, persaliunan preterm. Sedangkan komplikasi pada fetal/neonatal yang bias terjadi adalah : keguguran (2 kali lebih sering dari normal), kelainan congenital (2-3 kali lebih sering dari normal), hipoksia, kurangnya usia kehamilan dan berat badan lahir, kelahiran premature , IQ rendah dan perilaku abnormal.11

TERATOGENITAS

Tidak ada OAE yang dianggap pasti aman pada kehamilan . Malformasi congenital mayor meningkat 2-3 kali pada bayi dari ibu yang mendapatkan obat antiepilepsi monoterapi. Terdapat peningkatan efek teratogenisitas yang lebih tinggi pada ibu menggunakan asam valproat serta penggunaan politerapi.12

Oleh karena itu, direkomendasikan pemberian asam folat pada perempuan yang merencanakan kehamilan pada saat hamil terutama pada trimester pertama dengan dosis 1-5 mg perhari untuk mencegah defek neural tube.5,10,11,14,16,17.

Pemberian asam folat perikonsepsial juga berhubungan positif dengan IQ anak yang lahir dari perempuan menggunakan obat antiepilepsi. 13 Beberapa obat antiepilepsi

(58)

58 generasi kedua yang relative kecil menimbulkan teratogenitas adalah lamotrigin, leviteracetam, oxcarbazepin, dan topiramat.5,14.

TATALAKSANA SEBELUM KEHAMILAN

 Berikan penyuluhan kepada setiap perempuan yang menggunakan OAE dalam masa reproduksi tentang berbagai risiko dan keuntungan akibat pengguanaan OAE terhadap kehamilan dan janin.

 Terapi OAE diberikan dalam dosis optimal sebelum konsepsi (bila memungkinkan periksa kadar obat dalam darah sebagai basis pengukuran.)15,16

 Bila memungkinkan diganti OAE yang kurang teratogenik, dan dosis efektif harus tercapai sekurang-kurangnya 6 bulan sebelum konsepsi.15,16

 Hindari penggunaan OAE politerapi.5,16

 Apabila memungkinkan, hindari penggunaan valproat. Apabila harus menggunakan valproat, berikan dosis terkecil (kurang dari 750mg) dan gunakan bentuk lepas lambat.

Tatalaksana Saat Hamil

 Ibu diberikan informasi bahwa bagi yang mengalami bebas bangkitan minimal 9 bulan sebelum kehamilan, kemungkinan besar (84-92%) akan tetap bebas bangkitan selama kehamilannya. Demikian juga kemungkinan terjadinya persalinan premature atau kontraksi prematur terutama pada perempuan yang merokok.19

 Jenis OAE yang sedang digunakan jangan diganti bila tujuannya hanya untuk mengurangi resiko teratogenik.5,15

 Pada pengguna asam valproat atau OAE politerapi, dianjurkan utnuk dilakukan:15

o Pemeriksaan kadar alfa-fetoprotein serum (pada minggu 14-16 kehamilan)

o Pemeriksaan ultrasonografi (pada minggu 16-20 kehamilan)

o Amnionsentesis untuk pemeriksaan kadar alfa-fetoprotein dan antikolinesterase dalam cairan amnion)

Apabila terdapat abnormalitas pada pemeriksaan diatas, merupakan bahan pertimbangan untuk meneruskan kehamilan atau tidak.

(59)

59

 Kadar OAE diperiksa awal setiap trimester dan pada bulan terakhir kehamilan. Juga dapat dipantau bila ada indikasi (misalnya bila terjadi bangkitan atau ragu dengan ketaatan minum obat)

 Dosis OAE dapat dinaikkan apabila kadar OAE turun dibawah kadar OAE sebelum kehmailan, atau sesuai kebutuhan klinik.5,16

Persalinan Pada Penyandang Epilepsi

 Harus dilakukan di klinik atau rumah sakit dengan fasilitas untuk perawatan epilepsi dan untuk unit intensif untuk neonatus.5,16

 Persalinan dapat dilakukan secara normal per vaginam.15,16

 Selama persalinan, OAE harus tetap diberikan. 5,15,16

 Terapi kejang saat melahirkan dianjurkan sebaiknya digunakan diazepam 10 mg i.v atau fenitoin 15-20 mg/kg bolus i.v diikuti dosis 8mg/kg/hari diberikan 2 kali/hari secara intravena atau oral. 15

 Vitamin K 1 mg intramuscular diberikan pada neonatus saat dilahirkan oleh ibu yang menggunakan OAE penginduksi-enzim untuk mengurangi risiko terjadinya perdarahan.16,18

Tata Laksana Setelah Persalinan

 Bila dosis OAE dinaikkan selama lehamilan, maka turunkan kembali secara bertahap sampai dosis sebelum kehamilan untuk menghindari toksisitas. Kadar OAE perlu dipantau sampai minggu ke-8 pasca persalinan.14,15

 Perlu diberikan penyuluhan kemungkinan kekambuhan bangkitan akibat kurang tidur dan kelelahan karena merawat bayi sehingga diperlukan pendampingan.5

 Merawat bayi sebaiknya dilakukan dilantai untuk menghindari bayi terjatuh disaat ibu mengalami kekambuhan.5

EPILEPSI PADA MENYUSUI

 Semua OAE terdapat pada air susu ibu )ASI) walaupun dalam proporsi yang berbeda-beda. Konsentrasi plasma OAE pada bayi tidak hanya ditentukan oleh jumlah obat dalam ASI, namun juga fungsi hepar yang belum sepenuhnya berkembang dan eliminasi obat yang lebih lambat.15,16,18

(60)

60

 Levetiracetam kemungkinan ditransfer kedalam ASI dalam jumlah yang cukup bermakna secar klinis. Valproat, fenobarbital, fenitoin, dan karbamazepin kemungkinan tidak ditransfer ke dalam ASI dalam jumlah yang bermakna secara klinis.15,16,18

 Apabila bayi dari ibu yang menggunakan fenobarbital terlihat mengantuk, maka dianjurkan untuk memberikan susu botol berseling dengan ASI.16

PENGGUNAAN KONTRASEPSI PADA EPILEPSI

 Perempuan dengan epilepsi dianjurkan menggunakan kontrasepsi nonhormonal.20

 Penggunaan suntikan (Depo Provera) dilaporkan dapat mengurangi bangkitan, terutama pada perempuan dengan bangkitan katamenial. Pemberian suntikan ini dianjurkan untuk diulangi setiap 10 minggu dari yang biasanya setiap 12 minggu oleh karena secara teoritis OAE tersebut di atas dapat megurangi keefektifan depopropeva.15

 Bila menggunakan kontrasepsi oral, sebaiknya tidak menggunakan OAE yang mengakibatkan enzim mikrosomal.15

Tabel 5.1 Dampak OAE terhadap kontrasepsi hormonal:5,20 Terbukti mengurangi

efek anti kontrasepsi

Ada kemungkinan mengurangi

Tidak berdampak pada kontrasepsi berdasarkan penelitian Fenitoin Fenobarbital Karbamazepin Primidon Oxkarbazepin Topiramat (400 mg/hari, kombinasi dengan valproat) Lamotrigin Gabapentin Pregabalin Valproat Ethosuximid* LAcosamid Levetiracetam (<1000mg/hari) Zonisamid Topiramat <200 mg EPILEPSI PADA MENOPAUSE

 Sebagian besar pasien epilepsi melaporkan peningkatan kekambuhan pada saat perimenopause. Hal ini kemungkinan akibat peningkatan rasio estradiol terhadap progesterone, terutama pada awal perimenopause. Setelah menopause, ketika estradiol terhadap progesterone menjadi rendah dan stabil, pasien epilepsi melaporkan penurunan bangkitan, terutama yang mengalami epilepsi katamenial.1,4,5.

(61)

61

 Dianjurkan menggunakan OAE noninduksi enzim (zonisamid, lamotrigin, gabapentin, levetiracetam dan pregabalin) karena tidak mempengaruhi metabolism kalsium dan tidak menekan produksi bentuk vitamin D aktif yang akan meningkatkan resiko gangguan pada tulang seperti osteoporosis, osteopeni, osteomalasia, dan fraktur.5

 Pasien yang menggunakan terapi sulih hormone (hormone replacement therapy) kemungkinan akan terjadi bangkitan yang lebih sering.5

DAFTAR PUSTAKA

1. Harden CL.Interaction Between Epilepsi and Endocrine Hormones: Effect on The Lifelong Health of Epileptic Women. AdvStudMed.2001 ; 3(8A); S720-S725.

2. WHELESS JW , KIM HL. Adolescent seizures and epilepsi syndromes. Epilepsia. 43(Suppl.3 ): 33-52, 2002.

3. Appleton RE, Neville BGR. Teenagers with epilepsi. Arch Dis Child 1999; 81: 76-79

4. Harden CL, Frye CA. Hormone changes in epilepsi.In Engel J, Pedley TA. Epilepsi A Comprehensive textbook 2nd Ed. Vol 1. Lippincott Williams & Wilkins. USA; 2008, p.2037-2041

5. Weil S, Deppe C, Noachtar S. The Treatment of women with epilepsi.Dtsch Arzteble Int 2010; 107(45) :787-93.DOI: 10.3238/arztebl.2010.0787

6. Verrotti A, D‘Egidio C, Agostinelli S, Verrotti C, Pavavone P. Diagnosis and management of catamenial seizures : a review. International Journal of women Health 2012; 4: 535-541.

7. Feely M, Gibson J. Intermittent clobazam for catamenial epilepsi: tolerance avoided.Journal of Neurology, Neurosurgery, and Psychiatry 1984; 47; 1279-1282

8. Camfield P, Camfield C. Benzodiazepines used primarily for chronic treatment (clobazam, clonazepam, clorazepate and nitrazepam). In shorvon S, Perucca E, Engel J. The treatment of epilepsi 3rd edition. Wiley-Blackwell. USA, 2008,p.421-430.

9. Neufeld MY. Acetazolamide. In shorvon S, Perucca E, Engel J. The treatment of epilepsi 3rd edition. Wiley-Blackwell. USA, 2009, p. 399-410.

10. Morel MJ. Epilepsi in women. Am Fam Physician 2002,66: 1489-94.

11. Hart LA,sibai BM. Seizures in pregnancy: Epilepsi, eclampsia, and stroke. Seminars in perinatology; 2013.37: 207-224.

12. Mawer G, Briggsa M, Bakerb GA, Bromleyb R, Coylea H, Eatockb J, et al. Pregnancy with epilepsi : obstetric and neonatal outcome of a controlled study. Seizure.2010 March ; 19 (2): 112-119.

(62)

62 13. Kimford J Maedor, Gus A baker, Nancy Browning, Morris J Cohen, Rebecca L

Bromley et al for the NEAD study Group. Fetal antiepileptic drug exposure and cognitive outcomes at age 6 years (NEAD study): a Prospective observational study. Lancet Neurol.2013 March; 12 (3): 244-252.

14. Reimers A, Brodtkorb E. Second-generation antiepileptic drugs and pregnancy : a guide for clinicians. Expert Rev. Neurother; 2012; 12 (6): 707-717.

15. Kimford Jay Meador. Women and epilepsi.AAN 2007.

16. Crawford P. Best Practice Guidelines for the Management of women with Epilepsi. Epilepsia, 2005; 46 (suppl.9): 117-124.

17. Harden CL, Meador KJ, Pennel PB, et al. Practice Parameter update: Management issues for women with epilepsi—Focus on pregnancy (an evidence-based review): Teratogenesis and perinatal outcomes: Report of the Quality Standars Subcommittee and Therapeutics and Technology Assesment Subcommittee of the American Academy of Neurology and American Epilepsi Society. Neurology, 2009; 73: 133-141.

18. Harden CL, Meador KJ, Pennel PB,et al. Practice Parameter update: Management issues for women with epilepsi—Focus on Pregnancy (an evidence-based review): vitamin K, folicacid, blood levels, and Therapeutics and Technology and American Academy of Neurology and American Epilepsi Society. Neurology, 2009; 73; 142-149.

19. Harden CL, Hopp J, Ting TY, Pennell PB, French JA, Hauser WA, et all. Management issues for women with epilepsi-Focus on pregnancy (an evidence-based review) : I. Obstetrical complications and chage in seizure frequency. Epilepsia, 2009; 50 (5): 1229-1236.

20. Reddy DS. Clinical pharmacokinetic interactions between antiepilepstic drugs and hormonal contraceptives. Expert Rev Clin Pharmacol. 2010; 3 (2): 183-192.

(63)

63 EPILEPSI PADA ANAK

Susi Aulina, Reggy Panggabean, Uni Ganayami Epidemiologi

Dinegara berkembang, insidensi epilepsy pada anak lebih tinggi disbanding Negara maju, berkisar antara 35-150/100.000 penduduk pertahun. Prevalensi yang pasti untuk epilepsy pada anak sulit ditemukan.1

LANGKAH-LANGAKAH DIAGNOSIS PADA ANAK DENGAN EPILEPSI Anamnesis

Lihat: langkah-langkah diagnosis pada bab 3 PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGIS

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan fisik dan neurologis pada anak adalah sebagai berikut:

lingkar kepala

mencari tanda-tanda dismorfik

kelainan kulit

pemeriksaan jantung dan organ lain

gangguan respirasi(hiperventilasi) evaluasi psikologis deficit neurologis pemeriksaan funduskopis PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. EEG4.5

2. Pencitraan : CT-scan, MRI,MR spektroskopis

3. Laboratorium: pemeriksaan metabolic, genetic dan lain-lainsesuai indikasi6 BEBRAPA SINDROMA EPILEPSI PADA ANAK YANG SERING DITEMUKAN Sindroma Ohtahara

Awitan pada hari pertama setelah lahir, sampai usia 3 bulan. Laki-laki le3bih banyak dari pada perempuan dengan perbandingan 9:7.7

 ETIOLOGI tersering adalah malformasi otak pada saat tumbuh kembang atau adanya lesi diotak

 MANIFESTASI KLINIS bangkitan utama berupa spasme tonik, lama bangkitan 1-10 detik, frekuensi 10-300 kali dalam 24 jam, dapat juga disertai kejang motorik parsial atau hemikonvulsi pada ½ sampai1/3 kasus.8.9

GAMBARAN EEG: brust suppression asimetris. Lamanya fase supresi 3-5 detik. Interval dari brust ke brust 5-10 detik.

 PEMERIKSAAN PENUNJANG LAIN:

o Pencitraan untuk mencari cerebral dysgenesis,keruakaan otak atau atrofi otak

o Laboratorium : pemeriksaan kromosom, analisis generic, kelainn metbolik berup hiperglikemia nonketotik, defisiensi cytochrome c.oxidase atau laktik asidosis.9

(64)

64

 TATALAKSANA

o Tidak ada terapi efektif.10

o Dapat dipertimbangkan operasi bila terdapat dysplasia serebri fokal.10

 PROGNOSIS

o Morbiditas dan mortalitas tinggi. Lima puluh persen penyandang hidup dengan gngguan psikomotor dan defisit neurogis berat.

o Sindrom ini dapat berlanjut menjadi sindroma west (75 %), dan selanjutnya sindroma lennox gastaut(12%).10,11

SINDROMA WEST

Awitan pad usia 4-6 bulan, jarang sebelum usia3 bulan atau setelah 12 bulan, laki-laki lebih banyak dari pada perempuan dengan perbandingan 3:2 insiden 3-5/10.000 kelahiran hidup12

 ETIOLOGI o Idopatik

o Kriptogenik (10-40%) o Simtomatis (70-80%):

 Prenatal: atrofi otak 50%, malformasi SSP seperti agenesis corpus callosum, polimikrogilia, lissensefali, hemimegaensefali, dysplasia kortikal fokal, schizencephaly dan termasuk sindroma neurokutan seperti tuberous sclerosis complex (TSC), sturge-Weber atau foetopathy, sindroma Down. Gangguan metaboliki seperti penyakit Menkes, fenilketonuri atau gangguan mitokondria seperti mutasi NARP.

 Perinatal: ensefalopati hipoksik-iskemik, hipoglikemia saat masa perinatal atau komplikasi terjadinya hipotrofi fetal akibat perdarahan intra uterin atau suatu toksemia, trauma, perdarahan intracranial, infeksi.

 Postnatal: iskemia, trauma, infeksi dan tumor papiloma pleksus Khoroid13

 MANIFESTASI KLINIS

o Spasme infantile berupa gerakan aksial singkat dan mendadak lebih sering fleksi disbanding ektensi ektremitas atau berupa campuran fleksi ektremitas atas dengan ektensi ektremitas bawah, simetris/asimetris, diikuti dengan teriakan. Dapat terbatas pada leher saja atau kontraksi aksial diikuti spasme tonik selama 10 detik. Pada umumnya terjadi 20-40 kadang sampai 100 spasme dengan interval waktu antaranya 5-30 detik13,14

 GAMBARAN EEG

o interiktal : hypsarrhythmia berupa gelombang tajam multifocal dengan amplitudo tinggi dengan irama dasar tidak beraturan,simetris pada 2/3 kasus, asimetris pada 1/3 kasus.

(65)

65 o Iktal: pola elektro-dekrimental berupa gelombang lambat menyeluruh

dengan amplitudo tinggi, diikuti aktivitas amplitude rendah.13

 PENCITRAAN

o CT scan kepala : hidraensefali, schizencephaly dan agenesis corpus collusum

o MRI: disgenesis kortikal, gangguan migrasi neorun, gangguan mielinasi.13,14

 TATALAKSANA

o Belum ada terapi yang efektif o ACTH dengan dosis 150 unit/m2

/hari atau 20-40 unit/.m2/hari dapat menurunkan kejang pada 60-80% kasus. Dosis diturunkan perlahan dalam 4-8 minggu. Observasi kemungkinan efek samping berupa: edema, perdarahan lambung, berat badan meningkat, hipertensi, iritasi atau infeksi didaerah injeksi, lebih mudah sakit, dan kematian. Bangkiatan dapat timbul kembali8 pada 1/3 kasus, tetapi kemungkinan dapat berespons pada pemberian kembali ACTH atau menggunakan dosis yang tinggi (dan kemudian perlahan diturunkan kembali).

o Valproate, Zonisamide, Vigabatrin, Topiramate dapat digunakan. o Diet ketogenik

o Dapat dipertimbangkan operasi bila terdapat lesi structural fokal.13,15

 PROGNOSIS

o Sangat tergantung etiologi, kematian pada 50% kasus sebelum usia 10 tahun. Retardasi mental pada 80-90 % kasus, pada kriptogenik prognosis lebih baik.6,15

Sindroma lennox-gastaut

Awitan 1-7 tahun, puncak pada usia 1-5 tahun, laki-laki banding perempuan 20:14. Insidensi 2,8/10.000 kelahiran hidup, 5-10% pada anak dengan epilepsi yang intraktabel.

Etiologi

o Cacat otak structural

o Gangguan metabolisme otak.16,17

Manifestasiklinis

o Mioklonik, lena atipikal, atonik, tonik dan tonik klonik atau status epileptikus non-konvulsif (se-nk)

o Retardasi mental.16.17

Gambarabeeg

o Eeg interiktal :slow spike wave complex (sswc) menyeluruh dengan irama dasar lambat.

o Eegiktal : bangkitan tonik, tampak aktivitas cepat> 10 hz; lena atipikal, swc; mioklonik : polyspikes; atonik : seluruh aktivitas eeg menunjukkan amplitude yang rendah (flattening of all eeg activity).9,18,19

(66)

66

Pencitraan: malformasikortikal, sturge weber, tumor lobus frontal, hamartoma hipotalamus, hipoksik ensepalopati.18,19

Tatalaksana

o Asam valproate, klonazepam( untuk mioklonik), dan fenitoin (untuktonik), lamotrigin, levetir asetam, zonisamid atau topiramat.

o Diet ketogenik

o Terapi operatif pada kasus reprakter bilater dapat lesi structural yang jelas. Corpus collosumpada refractory drop attacks.18,19

Prognosis

o Kemungkinan besar bangkitan tidak dapat dikontrol dengan obat.

o Buruk bila sebelumnya terdapat sindroma-west, gangguan kognitif atau neurologis.2.17

Epilepsi lena pada anak

Awitanusia 2-10 tahun, puncakusia 5-6 tahun, 60-70% adalah anak perempuan. 20.21 Etiologi; faktor genetic, eca1 dikaitkan dengan kromosom 8q24, eca2 oleh mutasi gen gabrg2 pada band 5q311, eca2 oleh mutasi gen saluran ion klorida clcn2 pada band 3q26.22

Kriteria diagnosis

1. Status perkembangan dan neurologii normal.

2. Bangkitan selama 4-20 detik dan sering, mendadak dan disertai dengan gangguan kesadaran. Sering disertai dengan automatism.

3. Eegikat : spike danduble spike wavecomplex3hz, menyeluruh dengan amplitude tinggi, kemudian melambat, berlangsung 4-20 detik.21

Manifestasiklinis

1. Hanya gangguan kessadaran (10%)

2. Lena disertai dengan komponik klonik ringan, biasanya melibatkan mata (50%) 3. Lena dengan kelainan atonia menyebabkan kelemahan bertahap kepala dan

lengan (20%)

4. Lena dengan kelompok klonik (rotasi mata keatas)

5. Lena denagan komponen otomatisme (pasien tetap dengan apa yang dilakukan) atau de novo berupa menggigit bibir atau menelan (60%)

6. Lena dengan komponen otonom (misalnya dilatasi pupil, flusing,takikardia).23 Eeg

Eeg interiktal: irama dasar normal atau irama delta-areaposterior yang, sinusoidal, dapat bersifat simetris atau sering asinetris pada oksipito parietal dan oksipital (oirda).

Tatalaksana: monoterapi dengan sodium valproate, etosuksimid, atau lamotigrin. Levetiracetam dan topiramat dapat digunakan. Pada kasus yang resisten, asam valproate dapat ditambah dengan lamotigrin dalam dosis kecil.

Prognosis o Baik

Gambar

Tabel 4.1 Pemilihan OAE berdasarkan bentuk bangkitan  13,14
Tabel 4.10 Terapi status epileptikus (SE) non konvulsivus
Tabel 5.1  Dampak OAE terhadap kontrasepsi hormonal: 5,20  Terbukti mengurangi

Referensi

Dokumen terkait