• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASPEK PSIKOSOSIAL EPILEPSI

Anna MG. Sinardja, Ira Hawari

Masalah psikososial pada penyandang epilepsi dapat timbul akibat serangan/bangkitan epileptik, pemakaian OAE, dan stigma masyarakat.

Tipe, lokasi, dan frekuensi bangkitan dapat memberikan dampak psikososial dan mempengaruhi kualitas hidup.1,2 Penyandang epilepsi memiliki masalah psikososial yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum, seperti isolasi sosial, kurang kepercayaan diri, kecemasan, dan depresi. Rasa takut dan cemas pada penyandang epilepsi dapat timbul sebagai reaksi saat individu tersebut didiagnosis epilepsi, atau dapat juga sebagai bagian dari bangkitan epileptik, bahkan pada beberapa kasus merupakan akibat efek samping dari bangkitan pengobatan epilepsi. Jadi, kecemasan dapat timbul tidak semata – mata akibat psikologis/psikososial, tetapi dapat juga muncul sebagai akibat langsung dari faktor neurobiologis dan akibat serangan itu sendiri. Terjasinya depresi dapat merupakan akibat proses intrinsik yang secara langsung berhubungan dengan perubahan – perubahan neurokimia dan neurofisiologis pada struktur limbik, iatrogenik akibat pemberian obat antiepilepsi, atau proses reaktif akibat gangguan atau kelainan kronis.3

Masalah psikososial menjadi sangat penting karena sangat penting karena berdampak pada berkurangnya kualitas hidup penyandang terutama pada mereka yang mengalami kelainan atau gangguan neurologis.4,5

STIGMA DAN KUALITAS HIDUP

Kendala pada hubungan sosial penyandang epilepsi dapat disebabkan oleh adanya :

 Kekeliruan persepsi masyarakat terhadap penyakit epilepsi : kutukan, keturunan, kerasukan, menular;

 Kekeliruan perlakuan keluarga terhadap penyandang epilepsi: over-proteksi, penolakan, dimanjakan;

 Kekeliruan perlakuan masyarakat terhadap penyandang epilepsi : penolakan, direndahkan, diisolasi;

78

 Keterbatasan penyandang epilepsi akibat penyakit : gangguan kognitif, cacat fisik, pencapaian dalam bidang pendidikan yang rendah, sulit mencari pekerjaan dan bermasyarakat;

 Pembatasan melakukan berbagai aktivitas olahraga dan seni;

 Berat dan sering kambuhnya bangkitan serta kronisitas penyakit;

 Adanya komorbiditas.

STRATEGI PEMECAHAN MASALAH DENGAN ADANYA STIGMA DI MASYARAKAT :

Penyuluhan :

 Menyebarluaskan informasi yang benar mengenai epilepsi ke masyarakat, sehingga dapat menghapus mitos.

 Penyandang epilepsi membutuhkan orang lain selain keluarga sebagai pendamping dan penuluh dalam berbagai hal yang berkaitan dengan proses adaptasi terhadap dampak medik dan sosial dari epilepsi.

 Perlu adanya penyebarluasan pengetahuan mengenai epilepsi bagi orang tua, anggota keluarga, calon suami atau istri, dan terutama lingkungan terkait seperti guru, tempat kerja, POLRI, asuransi, pemerintah serta masyarakat umumnya.

 Yang perlu diperhatikan adalah penjelasan bahwa epilepsi ini tidak menular, dapat dikontrol, dapat menikah, hamil dan menyusui, serta merencanakan keluarga berencana.

 Menjelaskan pengaruh epilepsi dan efek OAE pada ibu dan anak dan berbagai tipe bangkitan yang dapat terjadi pada penyandang epilepsi dan apa yang dilakukan saat terjadi bangkitan.

 Penyebarluasan informasi dengan cara membuat tulisan di berbagai media cetak dan elektronik, film cerita pendek, seminar awam, kunjungan ke sekolah.

Hubungan Dengan Teman Dan Lingkungan Sekitar

Penyandang epilepsi harus diberi kesempatan untuk bersosialisasi dan menikmati pergaulan. Rasa malu, cemas, depresi, rendah diri, kurang percaya diri, perasaan membawa aib dalam keluarga membuat penyandang mengisolasi diri dari pergaulan. Hal ini akan menambah gangguan mental dan makin memperburuk sosialisasi serta kurang berprestasi secara optimal. Adanya komunitas antar penyandang dan keluarga sangat bermanfaat sebagai wadah untuk berkumpul berbagi pengalaman sehingga

79 mereka tidak merasa ―sendiri‖ dan dapat membantu meningkatkan kepercayaan diri. Pemberdayaan penyandang dapat melalui organisasi PERPEI ( Perhimpunan Penanggulangan Epilepsi Indonesia dan YEI (Yayasan Epilepsi Indonesia).

Pilihan Pekerjaan6,7

Pilihan pekerjaan menjadi penting dalam hubungannya dengan perbaikan kualitas hidup penyandang epilepsi. Prinsip pilihan pekerjaan adalah sebagai berikut :

 Disesuaikan dengan jenis, frekuensi, dan waktu timbul bangkitan

 Risiko kerja yang minimal

 Tidak bekerja sendiri dan dibawah pengawasan

 Jadwal kerja yang teratur

 Lingkungan kerja (atasan atau teman kerja) tahu kondisi penyandang epilepsi dan dapat memberikan pertolongan awal dengan baik, maka epilepsi jangan dirahasiakan

 Bila memungkinkan perusahaan memfasilitasi asrama bagi penyandang yang dekat dengan tempat kerja

 Ada komunikasi yang baik antara atasan dengan dokter yang merawat Pilihan Jenis Olahraga

Pilihan jenis olahraga yang diperbolehkan dengan pertimbangan :

 Dilakukan di lapangan / gedung olahraga

 Olahraga yang dilakukan di jalan umum (balap, lari maraton, bersepeda) dan diketinggian (naik gunung, panjat tebing) sebaiknya dihindari

 Pengawasan khusus dan atau alat bantu diperlukan untuk beberapa jenis olahraga, seperti renang, atletik, senam

ASPEK MENGEMUDI

Kekhawatiran tentang kemungkinan terjadinya kecelakaan lalu lintas bagi penyandang epilepsi yang mengemudi kendaraan bermotor merupakan hal yang wajar. Rasa khawatir tadi terutama disebabkan oleh kemungkinan munculnya bangkitan sewaktu penyandang epilepsi sedang mengemudi, sementara kendaraan melaju dengan kecepatan tinggi. Sehubungan dengan hal ini, maka tiap negara menerapkan peraturan khusus tentang hal penyandang epilepsi untuk memperoleh surat izin mengemudi (SIM), sesuai dengan hukum yang berlaku di negara tersebut.

80 Pemberian SIM kepada penyandang epilepsi didasarkan atas prinsip telah bebas bangkitan minimal 3 tahun berdasarkan surat keterangan dokter spesialis saraf. Larangan mutlak bagi penyandang epilepsi untuk mengoperasikan transportasi umum. KESIMPULAN

Keadaan masalah psikososial mengakibatkan kesulitan penyandang epilepsi untuk menentukan masa depannya dan berinteraksi secara sosial. Dengan demikian, perlu adanya peningkatan pengetahuan masyarakat luas mengenai epilepsi yang ditinjau dari berbagai aspek sehingga kualitas hidup orang dengan epilepsi dapat ditingkatkan semaksimal mungkin. Disarankan menggunakan kalung tanda pengenal bagi penyandang epilepsi setiap saat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Jacoby A. Theoritical and methodological issues in measuring quality of life. Dalam : Quality of life in epilepsi chapter 4. University of Liverpool, UK, Harwood academic Publisher, 2010; hlm 43-51.

2. Shackleton DP, Kasteleijin DGA, de Craen AJM. Vandenbroucke JP, Watendrop RGJ. Living with epilepsi, longterm prognosis and psychosocial outcomes. Neurology 2003; 61:64-70.

3. Hermanm B, Bishop M. Impact of epilepsi on quality of life in adults : a review. Dalam : Quality of life in epilepsi chapter 4. University of Liverpool, UK, Harwood academic Publisher, 2010; hlm 10-115.

4. Austin JK, de Boer HM, Shafer PO. Disruption in social functioning and services facilitating adjustment for the child and adult. In : Engel J Jr, Pedley TA 9eds0. Epilepsi: a comphrehensive texbook. 2nd ed. Vol 3. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2008.

5. Jerome Engel, Jr., M.D., AMA‘s Science News Department at 312-464-2410, the AAN Press Room at 415-978-3521 or email kstone@aan.com

6. Betts Tim. Managing the person with epilepsi. In : Dam.M(ed). Practical approach to epilepsi. Pergamon Press, Inc. 1991. P.137-160.

7. Devinsky OA. Guide to understanding and living with epilepsi. Philadelphia : FA Davis Company 1994; p.3-5,201-216,290-294.

81

Dokumen terkait