• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat

Empowerment yang dalam bahasa Indonesia berarti “pemberdayaan”, adalah sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat kebudayaan Barat, utamanya Eropa. Kartasasmita (1996), mengemukakan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memajukan dan memandirikan masyarakat. Lebih lanjut dikemukakan bahwa pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan hidup modern seperti ini kerja keras, hemat, keterbukaan, bertanggung jawab adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan lembaga-lembaga sosial dan pengintegrasiannya kedalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya.

Selanjutnya Simuh (1999) yang dikutip oleh Syukani (1999), mengemukakan pemberdayaan adalah sebuah konsep falsafah pembangunan yang mengakulturasikan antara nilai-nilai kegotong royongan masyarakat tradisional dengan teknologi modern serta meningkatkan peranserta masyarakat dalam pembangunan. Didalam pemberdayaan ini terdapat unsur yang memungkinkan suatu masyarakat dapat mengembangkan diri sendiri dan memanfaatkan nilai yang ada untuk mencapainya kehidupan yang lebih baik. Chambers (1995) yang dikutip oleh Kartasasmita (1996), mengemukakan pemberdayaan masyarakat adalah suatu konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru berkembang, yaitu yang bersifat “people-centered, participatory, empowering, and sustainable.”

Para ilmuwan sosial dalam memberikan pengertian pemberdayaan mempunyai rumusan yang berbeda-beda dalam berbagai konteks dan bidang kajian, artinya belum ada definisi yang tegas mengenai konsep tersebut. Namun demikian, bila dilihat secara lebih luas, pemberdayaan sering disamakan dengan

(2)

perolehan daya, kemampuan dan akses terhadap sumber daya untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, agar dapat memahami secara mendalam tentang pengertian pemberdayaan maka perlu mengkaji beberapa pendapat para ilmuwan yang memiliki komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat.

Pemberdayaan dapat diartikan sebagai suatu pelimpahan atau pemberian kekuatan (power) yang akan menghasilkan hierarki kekuatan dan ketiadaan kekuatan, seperti yang dikemukakan Simon (1999) dalam tulisannya tentang Rethinking Empowerment. Simon menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu aktivitas refleksi, suatu proses yang mampu diinisiasikan dan dipertahankan hanya oleh agen atau subyek yang mencari kekuatan atau penentuan diri sendiri (selfdetermination). Sementara proses lainnya hanya dengan memberikan iklim, hubungan, sumber-sumber dan alat-alat prosedural yang melaluinya masyarakat dapat meningkatkan kehidupannya. Pemberdayaan merupakan sistem yang berinteraksi dengan lingkungan sosial dan fisik. Dengan demikian pemberdayaan bukan merupakan upaya pemaksaan kehendak, proses yang dipaksakan, kegiatan untuk kepentingan pemrakarsa dari luar, keterlibatan dalam kegiatan tertentu saja, dan makna-makna lain yang tidak sesuai dengan pendelegasian kekuasaan atau kekuatan sesuai potensi yang dimiliki masyarakat.

Sulistiyani (2004) menjelaskan lebih rinci bahwa secara etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar "daya" yang berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan dimaknai sebagai proses untuk memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan, dan atau proses pemberian daya, kekuatan atau kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya.

Berdasarkan beberapa pengertian pemberdayaan yang dikemukakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya pemberdayaan adalah suatu proses dan upaya untuk memperoleh atau memberikan daya, kekuatan atau kemampuan kepada individu dan masyarakat lemah agar dapat mengidentifikasi, menganalisis, menetapkan kebutuhan dan potensi serta masalah yang dihadapi dan sekaligus memilih alternatif pemecahnya dengan mengoptimalkan sumberdaya dan potensi yang dimiliki secara mandiri.

(3)

2.2. Proses Pemberdayaan

Kartasasmita (1996) menyatakan bahwa proses pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga proses yaitu: Pertama, Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Titik tolaknya adalah bahwa setiap manusia memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya tidak ada sumberdaya manusia atau masyarakat tanpa daya. Dalam konteks ini, pemberdayaan adalah membangun daya, kekuatan atau kemampuan, dengan mendorong (encourage) dan membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi

yang dimiliki serta berupaya mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi

atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empower-ing), sehingga diperlukan langkah yang lebih positif, selain dari iklim atau suasana. Ketiga, memberdayakan juga mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurang berdayaannya dalam menghadapi yang kuat.

Proses pemberdayaan warga masyarakat diharapkan dapat menjadikan masyarakat menjadi lebih berdaya berkekuatan dan berkemampuan. Sumardjo (1999) menyebutkan ciri-ciri warga masyarakat berdaya yaitu: (1) mampu memahami diri dan potensinya, mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan), (2) mampu mengarahkan dirinya sendiri, (3) memiliki kekuatan untuk berunding, (4) memiliki bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama yang saling menguntungkan, dan (5) bertanggungjawab atas tindakannya.

Slamet (2003) menjelaskan lebih rinci bahwa yang dimaksud dengan masyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu, mengerti, faham termotivasi, berkesempatan, memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai dengan situasi. Proses pemberdayaan yang melahirkan masyarakat yang memiliki sifat seperti yang diharapkan harus dilakukan secara berkesinambungan dengan mengoptimalkan partisipasi masyarakat secara bertanggungjawab.

Adi (2003) menyatakan bahwa meskipun proses pemberdayaan suatu masyarakat merupakan suatu proses yang berkesinambungan, namun dalam

(4)

implementasinya tidak semua yang direncanakan dapat berjalan dengan mulus dalam pelaksanaannya. Tak jarang ada kelompok-kelompok dalam komunitas yang melakukan penolakan terhadap ”pembaharuan” ataupun inovasi yang muncul. Adi (2003) menyatakan beberapa kendala (hambatan) dalam pembangunan masyarakat, baik yang berasal dari kepribadian individu maupun berasal dari sistem sosial:

a. Kepribadian Individu; kestabilan (Homeostatis), kebiasaan (Habit), seleksi Ingatan dan Persepsi (Selective Perception and Retention), ketergantungan

(Depedence), Super-ego, yang terlalu kuat, cenderung membuat seseorang

tidak mau menerima pembaharuan, dan rasa tak percaya diri (Self Distrust) b. Sistem Sosial; kesepakatan terhadap norma tertentu (Conformity to Norms),

yang mengikat sebagian anggota masyarakat pada suatu komunitas tertentu, kesatuan dan kepaduan sistem dan budaya (Systemic and Cultural Coherence), kelompok kepentingan (vested Interest), hal yang bersifat sacral (The Sacrosanct), dan penolakan terhadap orang luar (Rejection of Outsiders)

Maka dapat disimpulkan bahwa proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan yaitu kecendrungan pertama dimana proses pemberdayaan menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan, kekuasaan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya. Sedangkan kecenderungan kedua menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog.

2.3. Konsep Pemberdayaan Masyarakat

Hikmat (2004) menjelaskan konsep pemberdayaan dapat dipandang sebagai bagian atau sejiwa sedarah dengan aliran yang muncul pada paruh abad ke-20 yang lebih dikenal sebagai aliran postmodernisme. Aliran ini menitik beratkan pada sikap dan pendapat yang berorientasi pada jargon antisistem, antistruktur, dan antideterminisme yang diaplikasikan pada dunia kekuasaan. Pemahaman konsep pemberdayaan oleh masing-masing individu secara selektif dan kritis

(5)

dirasa penting, karena konsep ini mempunyai akar historis dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan barat. Priyono dan Pranarka (1996) membagi dua fase penting untuk memahami akar konsep pemberdayaan, yakni: pertama, lahirnya Eropa modern sebagai akibat dari dan reaksi terhadap alam pemikiran, tata masyarakat dan tata budaya Abad Pertengahan Eropa yang

ditandai dengan gerakan pemikiran baru yang dikenal sebagai Aufklarung atau

Enlightenment, dan kedua, lahirnya aliran-aliran pemikiran eksistensialisme, phenomenologi, personalisme yang lebih dekat dengan gelombang Neo-Marxisme, Freudianisme, strukturalisme dan sebagainya.

Konsep pemberdasyaan masyarakat ini (Kartasasmita, 1996), lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic need) akan menyediakan mekanisme untuk mencegah kemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap pertumbuhan dimasa lalu. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang antara lain oleh Friedmann (1992) yang dikutip oleh Kartasasmita (1996), dalam alternative developmen, yang menghenaki “ inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality and intergenerational equity”.

Maka dalam upaya mengakulturasikan konsep pemberdayaan tersebut sesuai dengan alam pikiran dan kebudayaan Indonesia. Perkembangan alam pikiran masyarakat diawali dengan proses penghilangan harkat dan martabat manusia (dehumanisasi). Proses penghilangan harkat dan martabat manusia ini salah satunya banyak dipengaruhi oleh kemajuan ekonomi dan teknologi yang

nantinya dipakai sebagai basis dasar dari kekuasaan (power). Power adalah

kemampuan untuk mendapatkan atau mewujudkan tujuan. Dalam pandangan mereka, power yang dilakukan A hanya dilakukan dalam hubungan individu atau kelompok B untuk memenuhi kebutuhan. Pemenuhan kebutuhan yang diberikan oleh B yang rela melakukan pilihan atas sanksi yang ada atau akan kehilangan sesuatu yang lebih tinggi (kekuasaan atau uang). Ironisnya, kekuasaan itu kemudian membuat bangunan yang cenderung manipulatif, termasuk sistem pengetahuan, politik, hukum, ideologi dan religi. Akibat dari proses ini, manusia yang berkuasa menghadapi manusia yang dikuasai. Dari sinilah muncul keinginan

(6)

untuk membangun masyarakat yang lebih manusiawi dan menghasilkan sistem alternatif yang menemukan proses pemberdayaan.

2.4. Tujuan Pemberdayaan Masyarakat

Jamasy (2004) mengemukakan bahwa konsekuensi dan tanggungjawab utama dalam program pembangunan melalui pendekatan pemberdayaan adalah masyarakat berdaya atau memiliki daya, kekuatan atau kemampuan. Kekuatan yang dimaksud dapat dilihat dari aspek fisik dan material, ekonomi, kelembagaan, kerjasama, kekuatan intelektual dan komitmen bersama dalam menerapkan prinsip-prinsip pemberdayaan. Kemampuan berdaya mempunyai arti yang sama dengan kemandirian masyarakat. Salah satu cara untuk meraihnya adalah dengan membuka kesempatan bagi seluruh komponen masyarakat dalam tahapan program pembangunan. Setiap komponen masyarakat selalu memiliki kemampuan atau yang disebut potensi. Keutuhan potensi ini akan dapat dilihat apabila di antara mereka mengintegrasikan diri dan bekerja sama untuk dapat berdaya dan mandiri.

Terkait dengan tujuan pemberdayaan, Sulistiyani (2004) menjelaskan bahwa tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah individu dan masyarakat yang mandiri meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya/kemampuan yang dimiliki. Daya kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik dan afektif serta sumber daya lainnya yang bersifat fisik/material.

Kondisi kognitif pada hakikatnya merupakan kemampuan berpikir yang dilandasi oleh pengetahuan dan wawasan seseorang dalam rangka mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. Kondisi konatif merupakan suatu sikap atau perilaku masyarakat yang terbentuk dan diarahkan pada perilaku yang sensitif terhadap nilai-nilai pemberdayaan masyarakat. Kondisi afektif merupakan perasaan yang dimiliki oleh individu yang diharapkan dapat diintervensi untuk mencapai keberdayaan dalam sikap dan perilaku. Kemampuan psikomotorik

(7)

merupakan kecakapan keterampilan yang dimiliki masyarakat sebagai upaya mendukung masyarakat dalam rangka melaku-kan aktivitas pembangunan.

Terjadinya keberdayaan pada empat aspek tersebut (kognitif, konatif, afektif dan psikomotorik) akan dapat memberikan kontribusi pada terciptanya kemandirian masyarakat yang dicita-citakan. Karena dengan demikian, dalam masyarakat akan terjadi kecukupan wawasan, yang dilengkapi dengan kecakapan keterampilan yang memadai, diperkuat oleh rasa memerlukan pembangunan dan perilaku sadar akan kebutuhannya.

Kemandirian masyarakat dapat dicapai sebuah proses belajar. Masyarakat yang mengikuti proses belajar yang baik, secara bertahap akan memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan yang bermanfaat dalam proses pengambilan keputusan secara mandiri. Sebagaimana dikemukakan oleh Montagu & Matson dalam Suprijatna (2000) yang mengusulkan konsep The Good Community and Competency yang meliputi sembilan konsep komunitas yang baik dan empat komponen kompetensi masyarakat. The Good Community and Competency itu adalah; (1) setiap anggota masyarakat berinteraksi satu sama lain berdasarkan hubungan pribadi atau kelompok; (2) komunitas memiliki kebebasan atau otonomi, yaitu memiliki kewenangan dan kemampuan untuk mengurus kepentingannya sendiri secara mandiri dan bertanggung jawab; (3) memiliki viabilitas yaitu kemampuan memecahkan masalah sendiri; (4) distribusi kekuasaan secara adil dan merata sehingga setiap orang mempunyai berkesempatan dan bebas memiliki serta menyatakan kehendaknya; (5) kesempatan setiap anggota masyarakat untuk berpartsipasi aktif untuk kepentingan bersama; (6) komunitas memberi makna kepada anggota; (7) adanya heterogenitas/beda pendapat; (8) pelayanan masyarakat ditempatkan sedekat dan secepat mungkin kepada yang berkepentingan; dan (9) adanya konflik dan manajemen konflik.

Melengkapi sebuah komunitas yang baik perlu ditambahkan kompetensi yang harus dimiliki masyarakat yaitu : (1) mampu mengidentifikasi masalah dan kebutuhan komunitas, (2) mampu mencapai kesempatan tentang sasaran yang hendak dicapai dalam skala prioritas, (3) mampu menemukan dan menyepakati cara dan alat mencapai sasaran yang telah disetujui, dan (4) mampu bekerjasama

(8)

dalam bertindak mencapai tujuan. Kompetensi-kompetensi tersebut merupakan kompetensi pendukung untuk mengantarkan masyarakat agar mampu memikirkan, mencari dan menentukan solusi yang terbaik dalam pembangunan sosial.

Maka dapat ditarik kesimpulan bahwasanya tujuan dari pemberdayaan masyarakat adalah pembentukan masyarakat yang memiliki kemampuan yang memadai untuk memikirkan dan menentukan solusi yang terbaik dalam pembangunan tentunya tidak selamanya harus dibimbing, diarahkan dan difasilitasi. Berkaitan dengan hal tersebut, pemberdayaan tidak bersifat selamanya, melainkan sampai target masyarakat mampu untuk mandiri, dan kemudian dilepas untuk mandiri, meskipun dari jauh tetap dipantau agar tidak jatuh lagi.

2.5. Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) merupakan bagian dari sistem pengelolaan hutan yang ditempatkan pada daerah aliran sungai. Rehabilitasi mengambil posisi untuk mengisi kesenjangan ketika sistem perlindungan tidak dapat mengimbangi hasil budidaya hutan dan lahan, sehingga terjadi deforestasi dan degradasi fungsi hutan dan lahan. Rehabilitasi hutan dan lahan dapat diimplementasikan pada semua kawasan hutan kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional. Sitem RHL dicirikan oleh komponen sebagai berikut : (1) komponen obyek rehabilitasi hutan dan lahan, (2) komponen teknologi dan (3) komponen institusi.

Sistem RHL merupakan sistem yang terbuka, yang melibatkan para pihak yang berkepentingan dengan penggunaan hutan dan lahan. Dengan demikian pada prinsipnya RHL diselenggarakan atas inisiatif bersama para pihak. Dengan kata lain, ke depannya RHL dilaksanakan oleh masyarakat dengan kekuatan utama dari masyarakat sendiri.

Terdapat beberapa pendapat untuk mengatasi degradasi dan mempercepat proses pemulihan ekosistem (recovery). Pendekatan pertama adalah restorasi (restoration) yang didefinisikan sebagai upaya untuk memulihkan kembali (recreate) ekosistem hutan aslinya melalui penanaman dengan jenis tanaman asli

(9)

yang ada pada kawasan atau lahan tersebut sebelumnya. Pendekatan kedua melalui rehabilitasi yang diartikan sebagai penanaman hutan dengan jenis asli dan jenis exotic. Dalam hal ini tidak ada upaya untuk menata ulang ekosistem asli. Tujuannya hanya untuk mengembalikan hutan pada kondisi stabil dan produktif. Oleh karena itu ekosistem hutan yang terbentuk adalah campuran termasuk jenis asli. Alternatif akhir adalah reklamasi yang berarti pengunaan jenis-jenis exotic untuk menstabilkan dan meningkatkan produktivitas ekosistem hutan. Dalam hal ini tidak ada sama sekali upaya perbaikan biodiversitas asli dari suatu areal yang terdegradasi.

Upaya dalam penanggulangan kerusakan hutan dan lahan yang telah dilaksakan pada dasarnya belum sebanding dengan laju kerusakan hutan yang terjadi. Sehingga belum banyak dampak nyata dalam pemulihan lingkungan hidup. Selanjutnya disadari pula bahwa pelaksanaan program rehabilitasi pada masa lampau memiliki berbagai kelemahan diantaranya belum terintegrasinya sistem perencanaan di daerah/wilayah sehingga sinergi antar sektor belum optimal, tidak terjaminnya kesinambungan pemeliharaan tanaman hutan dan lahan yang telah direhabilitasi serta peranan stakeholder sebagai inisiator dan pengelola rehabilitasi hutan dan lahan belum muncul.

2.6. Agroforestri

Agroforestri bersal dari kata agro yang berarti pertanian dan forest yang berarti hutan. Jadi berdasarkan asal katanya agroforestri adalah usaha kehutanan yang dipadukan dengan usaha pertanian. Menurut Lundgren dan Raintree (1982), agroforestri adalah istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi-teknologi penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu dll.) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang dilakukan pada waktu yang bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada.

Definisi ilmiah bagi istilah agroforestri harus mengandung penekanan terhadap dua karakter yang umumnya oleh semua bentuk agroforestri, dan menjadikannya berbeda dengan bentuk pemanfaatan lahan yang lain, yaitu :

(10)

1) Pertumbuhan tanaman berkayu pada unit lahan yang sama dengan tanaman pertanian dan/atau ternak, baik berupa campuran spasial maupun berurutan.

2) Harus terjadi interaksi yang signifikan (positif dan/atau negatif) antara

komponen kayu dan non kayu dalam sistem, secara ekologis maupun ekonomis.

Nair (1993) menyatakan bahwa definisi agroforestri dari Luhdgren dan Raintree menyiratkan hal-hal sebagai berikut :

1) Agroforestri umumnya mencakup dua atau lebih spesies tanaman (atau

tanaman dan hewan), paling tidak salah satunya adalah tanaman berkayu. 2) Sistem agroforestri selalu memiliki dua atau lebih output.

3) Siklus/daur dari suatu sistem agroforestri selalu lebih dari satu tahun.

4) Sistem agroforestri yang paling sederhana pun, secara ekologi (struktur dan fungsi) dan ekonomis, lebih kompleks dari pada sistem tanaman satu jenis.

Dari seminar agroforestri dan perladangan tahun 1981 di Jakarta disepakati satu definisi tentang agroforestri sebagai berikut : bentuk pemanfaatan lahan secara optimal dalam suatu tapak, yang mengusahakan produksi biologi berdaur pendek dan berdaur panjang atau merupakan kombinasi kegiatan kehutanan dengan kegiatan pertanian lainya, berdasarkan kelestaian, baik secara serempak atau secara berurutan didalam dan atau di luar kawasan hutan, untuk kesejahteraan masyarakat (Soerjono, 1984).

Sifat utama dari sistem agroforestri adalah bahwa sistem ini memberikan keluaran ganda (multiple output) dari suatu unit lahan secara berkesinambungan (Huxley, 1983). Agroforestri, pendapatan masyarakat bertambah karena adanya diversifikasi usaha dan resiko kegagalan panen total dapat dihindarkan (Dephut, 1999).

Nair (1991) menyatakan ada tiga atribut yang secara teoritis dimiliki oleh semua sistem agroforestry yaitu :

1) Produktifitas (productivity) : sebagian besar sistem agroforestri ditujukan untuk meningkatkan hasil (komoditi) dan meningkatkan produktivitas (lahan). Agroforestri dapat memperbaiki produktivitas dalam beberapa cara yang berbeda, meliputi : peningkatan hasil dari produksi kayu, memperbaiki

(11)

hasil panen tanaman pertanian/pangan, menurunkan input pada sistem tanaman pangan, dan meningkatkan efesiensi penggunaan tanaga kerja.

2) Kelestarian (sustainability) : melalui efek positif tumbuhan berkayu terhadap kondisi tanah, agroforestri dapat menjaga kelestarian tingkat kesuburan.

3) Adoptabiltas (adoptability) : fakta bahwa agroforestri sebenarnya merupakan istilah baru untuk hal yang telah lama dilakukan menggambarkan bahwa agroforestri, pada beberapa kasus, telah diterima oleh masyarakat pertanian. Namun, penerapannya dengan menggunakan teknologi baru pada daerah tertentu perlu mempertimbangkan praktek pertanian yang telah ada di situ.

Nair (1991) juga mengatakan bahwa agroforestri cocok untuk diterapkan pada lahan kritis. Selain itu, dalam agroforestri, nilai-nilai sosial budaya lebih diperhatikan jika dibandingkan dengan metode penggunaan lahan yang lain. Agroforestri sebagai suatu istilah mencakup beberapa bentuk (Notohadiprawiro, dalam Tim Arupa, 2003) :

1) Agri-Silvikultur, yaitu gabungan tanaman kehutanan atau pertanian-kehutanan-pertanakan yang ternak tidak digembalakan.

2) Silvopastoral yaitu gabungan tanaman kehutanan-peternakan yang ternaknya digebalakan.

3) Agro-Silvo-Pastoral, yaitu gabungan tanaman pertanian-kehutanan-peternakan yang ternaknya digembalakan.

4) Sistem Perhutanan Serbaguna, yaitu budidaya pohon hutan untuk

menghasilakan kayu dan atau juga pangan dan atau makanan ternak berupa daun dan atau buah.

Menurut Suharjito et al (2003), terdapat empat aspek dasar yang mempengaruhi keputusan petani untuk menerapkan atau tidak menerapkan agroforestri, yaitu : kelayakan (feasibility), keuntungan (profitabilility), dapat tidaknya diterima (acceptability), dan kesinambungan (sustainability), kelayakan berkaitan dengan sumberdaya yang tersedia, teknologi pendukung, orientasi produksi, pengetahuan lokal petani, dan kebijakan pendukung. Keuntungan berkaitan dengan aspek ekonomi. Kemudahan untuk diterima berkaitan dengan resiko usaha, identitas sosial budaya, masalah gender dan kesempatan untuk

(12)

bekerja di luar sektor pertanian. Jaminan kesinambungan berkaitan dengan penguasaan lahan, penguasaan atas pohon, dan aspek hubungan sosial.

Dari beberapa definisi tentang agroforestri maka dapat disimpulkan bahwa agroforestri merupakan bentuk usaha tani dalam rangka pengelolaan hutan serbaguna yang menyelaraskan antara kepentingan produksi dengan kepentingan pelestarian, berupa pengusahaan secara bersama atau berurutan jenis-jenis tanaman pelestarian, bentuk lahan pengembalaan, jenis tanaman kehutanan pada suatu lahan. Pola penanaman agroforestri pada umumnya tidak homogen, tidak seumur, dan terdiri atas berbagai macam tanaman yang mempunyai dua strata atau lebih. Pola ini memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat desa karena dapat dijadikan sumber pendapatan tambahan serta dapat menjamin terjadinya kontinuitas produksi sepanjang masa luas lahan yang ada. Disamping itu pola agroforestri memiliki berbagai macam fungsi yang tidak ternilai, seperti fungsi keindahan, fungsi perlindungan tata air, fungsi keseimbangan lingkungan hidup, dan berbagai fungsi sosial lainya.

2.7. Partisipasi

Secara sederhana partisipasi biasanya diartikan sebagai peranserta seseorang atau kelompok anggota masyarakat dalam suatu kegiatan yang bila dikaitkan dengan pembangunan maka yang dimaksud adalah peranserta dalam pembangunan. Partisipasi merupakan bentuk perilaku. Untuk dapat berperilaku tertentu ada dua hal yang mendukungnya, yaitu : (1) ada dua unsure yang mendukung untuk berperilaku tertentu itu pada diri seseorang (person inner determinant) dan (2) terdapat iklim atau lingkungan (environmental factors) yang memungkinkan terjadinya perilaku tertentu (Ndraha, 1987).

Partisipasi merupakan masukan dalam proses pembangunan dan sekaligus menjadi keluaran atau sasaran dari pelaksanaan pembangunan. Dalam kenyataannya partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat bersifat vertikal dan dapat pula horisontal. Rahardjo dalam Ndraha (1987) menyatakan bahwa partisipasi vertikal berlangsung bilamana masyarakat berperan serta dalam suatu program yang dari atas, yaitu masyarakat pada posisi sebagai bawahan atau pengikut, sedangkan partisipasi horisontal bilamana masyarakat mampu

(13)

berprakarsa, yaitu setiap orang masyarakat secara horisontal satu dengan yang lain berperanserta dalam kegiatan-kegiatan pembangunan.

Pembangunan adalah proses partisipasi, dan harus dipahami sebagai proses yang berdimensi jamak yang melibatkan perubahan berbagai aspek dalam masyarakat. Secara luas partisipasi dipandang sebagai suatu proses yang dinamis dan berdimensi jamak. Partisipasi dalam pembangunan berarti peranserta seseorang atau kelompok masyarakat dalam proses pembangunan baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan dalam masukan berupa pikiran, tenaga, waktu, keahlian, model dan atau materi sertaikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan (Anwar, 1986).

Terwujudnya kegiatan partisipasi dalam proses pembangunan dapat disebabkan oleh adanya paksaan/sanksi, ajakan atau pihak lain ataupun kesadaran dirisendiri. Kesadaran berpartisipasi dipengaruhi oleh tingkat pemanhaman atas objek partisipasi (program pembangunan). Oleh sebab itu masyarakat perlu diberi pengertian dan pemahaman tentang objek partisipasi termasuk cara aktivitas partisipasi itu dilaksanakan (Depdagri, 1994).

Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan akan terwujud sebagai suatu keadaan nyata apbila terpenuhi adanya tiga faktor utama yang mendukungnya yaitu : (1) kemauan, (2) kemampuan, dan (3) kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi (Slamet, 1989). Keberadaan, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan akan dipengaruhi oleh berbagai faktor diseputar kehidupan manusia yang saling berinteraksi satu dengan lainnya, terutama faktor-faktor : psikologis individu, terpaan informasi, pendidikan, keterampilan, kondisi permodalan yang dimiliki, teknlogi, kelembagaan, struktur dan stratifikasi sosial, budaya lokal, serta pengaturan dan pelayanan pemerintah. Kemauan partisipasi bersumber pada faktor psikologis individu yang menyangkut emosi dan perasaan yang mekat pada diri manusia. Faktor-faktor yang menyangkut emosi dan perasaan ini sangat kompleks sifatnya, sulit diamati dan diketahui dengan pasti, dan tidak mudah dikomunikasikan, akan tetapi selalu ada pada setiap individu dan merupakan penggerak perilaku manusia.

(14)

2.8. Interpretative Structural Modelling (ISM)

Salah satu teknik permodelan yang dikembangkan untuk perencanaan kebijakan strategi adalah Teknik Permodelan Interpretasi Struktural (Interpretative Structural Modelling - ISM). Menurut Eriyatno (2003) teknik ISM merupakan suatu proses pengkajian kelompok dimana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafik serta kalimat.

Prinsip dasarnya adalah identifikasi dan struktur didalam suatu sistem akan memberikan nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif dan pengambilan keputusan yang lebih tinggi. Dalam teknik ISM, program yang ditelaah perjenjangan strukturnya dibagi menjadi elemen-elemen dimana setiap elemen selanjutnya diuraikan menjadi sejumlah sub elemen. Studi dalam perencanaan program yang terkait memberikan pengertian mendalam terhadap berbagai elemen dan peranan kelembagaan guna mencapai solusi yang lebih baik dan mudah diterima. Teknik ISM memberikan basis analisa dimana informasi yang dihasilkan sangat berguna dalam formulasi kebijakan serta perencanaan strategis. Menurut Saxena (1992) dalam Marimin (2004) bahwa program dapat dibagi menjadi sembilan elemen yaitu :

1. Sektor masyarakat yang terpengaruh

2. Kebutuhan dari program

3. Kendala utama

4. Perubahan yang dimungkinkan

5. Tujuan dari program

6. Tolok ukur untuk menilai setiap tujuan

7. Aktivitas yang dibutuhkan untuk pencapaian tujuan.

8. Ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas. 9. Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program.

Teknik ISM disusun berdasarkan hubungan kontekstual dengan menggunakan simbol V,A,X dan O dimana :

V ... hubungan dari elemen Ei terhadap Ej, tetapi tidak sebaliknya. A... hubungan dari elemen Ej terhadap Ei, tetapi tidak sebaliknya.

(15)

X... hubungan interrelasi antara Ei dan Ej (dapat sebaliknya) O ..Ei dan Ej tidak ada hubungan.

Hubungan tersebut diterjemahkan kedalam matriks biner dengan aturan konversi sebagai berikut :

1) Jika hubungan Ei terhadap Ej = V didalam SSIM, maka elemen Eij = 1 dan

Eji = 0.

2) Jika hubungan Ei terhadap Ej = A didalam SSIM, maka elemen Eij = 0 dan

Eji = 1

3) Jika hubungan Ei terhadap Ej = X didalam SSIM, maka elemen Eij = 1 dan

Eji = 1

4) Jika hubungan Ei terhadap Ej = O didalam SSIM, maka elemen Eij = 0 dan

Eji = 0

Marimin (2004) menguraikan bahwa metodologi dan teknik ISM dibagi menjadi dua bagian yaitu penyusunan hirarki dan pengelompokan sub elemen. Untuk menentukan klasifikasi sub elemen digunakan nilai driver power dan dependence yang digolongkan dalam empat sektor yaitu :

1) Sektor 1 : weak driver – weak dependent variabel (Autonomous). Sub elemen

yang masuk dalam sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat.

2) Sektor 2 : weak driver – strongly dependent variables (dependent). Sub

elemen yang masuk dalam sektor ini umumnya sub elemen yang tidak bebas. 3) Sektor 3 : strong driver – strongly dependent variabel (linkage). Sub elemen

yang masuk dalam sektor ini harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan antara sub elemen tidak stabil. Setiap tindakan pada sub elemen akan memberikan dampak terhadap sub elemen lainnya dan pengaruh umpan baliknya dapat memperbesar dampak.

4) Sektor 4 : stong driver – weak dependent variables (Independent). Sub elemen yang masuk dalam sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut juga peubah bebas.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian perubahan sosial adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat yang mencakup peubahan dalam aspek-aspek

Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 10/PUU-X/2012, Pemerintah Daerah diberikan Kewenangan untuk menentukan Wilayah Pertambangan, Wilayah Usaha Pertambangan,

Preferensi Petani Terhadap Karakteristik Beberapa Varietas Bawang Merah Sebelum mengetahui tingkat preferensi total maka terlebih dahulu mencari tingkat preferensi rerata dan rerata

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan objek penelitian adalah tiga sumber mata air di Desa Wonoharjo yang terdapat di Dusun I (Sriwidodo), Dusun II (Sridadi),

Možemo sada lako uočiti da se naš zlatni pravokutnik zapravo sastoji od dva manja lika – kvadrata koji je zapravo konstruiran nad manjom stranicom pravokutnika, i drugog

Dapat disimpulkan bahwa konsentrasi yang tepat untuk digunakan sebagai pestisida nabati daun sirsak adalah konsentrasi 25% karena kandungan senyawa acetogenin, pada pada

Sesuai latar belakang tersebut, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah apa saja Nilai-Nilai Karakter yang Dapat Di Tiru Dari Wanita-wanita Yang Dekat dengan Nabi

Menggunakan teknik eksplorasi literatur dengan data yang diperoleh dari buku dan jurnal yang berkaitan dengan teori kewirausahaan sosial, Hasil penelitian menunjukkan