• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. tidak jarang dalam proses penyelesaiannya mengunakan cara-cara kekerasan baik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. tidak jarang dalam proses penyelesaiannya mengunakan cara-cara kekerasan baik"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1.1. Latar Belakang

Permasalahan sengketa tanah atau yang lebih dikenal dengan konflik agraria di Indonesia telah menjadi sebuah permasalahan yang kompleks saat ini. Banyaknya kasus konflik agraria antara masyarakat, pengusaha dan pemerintah di berbagai daerah tidak kunjung terselesaikan. Konflik agraria yang terjadi di Indonesia mendapat perhatian yang serius dari kalangan masyarakat. Sebab, konflik agraria ini melibatkan hampir seluruh lapisan masyarakat sebagai pemeran konflik dan tidak jarang dalam proses penyelesaiannya mengunakan cara-cara kekerasan baik itu yang terjadi antar kelompok masyarakat maupun dengan pihak aparat negara dalam hal ini kepolisian dan TNI. Banyaknya kasus konflik agraria ini pun tidak ditunjang dengan penyelesaian dibawah peradilan hukum yang baik. Sehingga menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara masyarakat, pengusaha dan pemerintah.

Konsorium Pembaharuan Agraria tahun 2013 (dalam ―Pelanggaran Hak Asasi Petani dan Warisan Buruk Masalah Agraria Di Bawah Rezim SBY‖) mencatat terdapat 369 konflik agraria dengan luasan mencapai 1.281.660.09 hektar (Ha) dan melibatkan 139.874 Kepala Keluarga (KK). Dengan jumlah korban mencapai 21 orang tewas, 30 tertembak, 130 menjadi korban penganiayaan serta 239 orang ditahan oleh aparat keamanan. Dengan kata lain, hampir setiap hari terjadi lebih dari satu konflik agraria di tanah air, yang melibatkan 383 KK (1.532 jiwa) dengan luasan wilayah konflik

(2)

sekurang-kurangnya 3.512 Ha. Selain itu, Sepuluh besar provinsi dengan wilayah yang mengalami konflik agraria di tanah air tahun ini adalah: Sumatera Utara (10,84%), Jawa Timur (10,57%), Jawa Barat (8,94%), Riau (8,67%), Sumatera Selatan (26 kasus), Jambi (5,96%), DKI Jakarta (5,69%), Jawa Tengah (4,61%), Sulawesi Tengah (3,52%) dan Lampung (2,98%). Data tersebut hanya menampilkan peta sebaran konflik yang terjadi pada tahun ini, dan belum sepenuhnya menunjukkan bahwa provinsi tersebut memiliki konflik agraria terbanyak. Sebab, bisa jadi provinsi lain mengalami konflik agraria yang tinggi namun tidak meletus (laten) dalam peristiwa konflik agraria di tahun ini.

Permasalahan agraria ini tidak pernah lepas dari sejarah panjang perkebunan yang dimulai oleh pemerintahan Belanda yang menjajah Indonesia kala itu. Munculnya perkebunan-perkebunan bentukan belanda yang terfokus pada monopoli dan kerja paksa menjadi titik awal munculnya persoalan ini. Pasca kemerdekaan, Indonesia menjadi sebuah negara baru yang dipimpin pemerintah Orde lama, mengalami kendala dalam berbagai bidang terutama perekonomian. Disisi lain, banyaknya kasus kepemilikan tanah yang sebelumnya masih dalam status ikatan penyewaan dengan pihak pemodal asing pada masa kolonial memberikan permasalahan baru dalam sistem agraria. Setelah 15 tahun merdeka, tepatnya 24 September 1960 lahirlah Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria yang kemudian dikenal dengan istilah UUPA (Gunawan Wiradi 2001:11).

Isi dari UUPA 1960 dengan tegas ingin melepaskan diri dari bentuk tata kelola sumber daya alam yang sebelumnya diatur oleh pihak kolonial yang bersifat imperialistis dan monopolistis. Namun hal ini hanya berlangsung hingga

(3)

akhir era Demokrasi Terpimpin yang ditandai dengan munculnya penerbitan UU Kehutanan, UU Pertambangan, dan UU Penanaman Modal pada tahun 1967 yang semangatnya kembali pada corak yang ditinggalkan UUPA 1960 yang dalam R.Deden Dani Saleh (2012:117)

Tumbangnya pemerintahan orde lama kemudian diganti dengan rezim orde baru mempunyai orientasi dalam hal peningkatan pertumbuhan perekonomian negara. Perekonomian negara yang stabil dipandang sebagai jaminan untuk membangun sebuah negara yang makmur dan kesejahteraan rakyat terjamin. Pemerintahan orde baru membuat sebuah kebijakan yang menitik beratkan pada sektor pertanian, migas, perkebunan dan kehutanan. Kebijakan ini kemudian memunculkan para pelaku ekonomi yang menginvestasikan modalnya diberbagai sektor tersebut.

Orientasi pemerintahan Orde Baru yang lebih menekankan kepada pertumbuhan ekonomi mendorong negara salah satunya memacu perkembangan sektor perkebunan dalam penguasaan tanah. Penguasaan tanah oleh pihak pemerintah maupun swasta dilakukan untuk perluas lahan perkebunan. Lahan dengan status Tanah Negara kemudian dijadikan perkebunan negara atau diberikan kepada perusahaan-perusahaan perkebunan dalam bentuk HGU, Hak Pakai maupun hak lainnya. Persoalan yang muncul kemudian adalah konflik agraria yang terjadi antara pengusaha yang mempunyai HGU dengan rakyat yang telah lama menguasai lahan tersebut atau sering disebut sebagai tanah adat mereka bahkan tanah yang mempunyai surat resmi yang diberikan pada masa orde lama kepada masyarakatpun tidak luput dari perampasan Negara dengan dalih pembangunan. Kemudian tanah tersebut digunakan sebagai proyek perkebunan

(4)

oleh pemerintah atau diberikan HGU kepada pengusaha swasta Dianto Bachriadi dalam Prinsip-Prinsip Reforma Agraria (2001:230).

Munculnya berbagai konflik agraria saat ini merupakan implikasi dari kebijakan-kebijakan pemerintah orde baru. Menurut Noer Fauzi dalam tulisannya yang berjudul ―Penghancuran Populisme dan Pembangunan Kapitalisme: Dinamika Politik Agraria Indonedia Pasca Kolonial‖ dalam Reformasi Agraria (1997:115) terdapat sejumlah konflik agraria yang disebabkan oleh beberapa hal. Beberapa sebab terjadinya konflik itu adalah:

1. Pemerintah yang mewajibkan petani untuk mempergunakan unsur-unsur Revolusi Hijau untuk tercapainya target swasembada beras.

2. Perkebunan-perkebunan yang mengambil alih lahan yang sebelumnya dikuasai oleh rakyat.

3. Pemerintah melakukan pengambilalihan tanah untuk yang dinyatakan sebagai program pembangunan baik oleh pemerintah sendiri maupun pihak swasta.

4. Konflik akibat industri pertambangan dan kehutanan.

Terkait dengan konflik agraria yang terjadi di Sumatera Utara khususnya Deli Serdang, pembahasan selanjutnya dikerucutkan pada poin ketiga yaitu pengambilalihan lahan oleh pemerintah dengan dalih program pembangunan. Hal ini terkait dengan awal terjadinya konflik agraria antara Petani Persil IV dengan PTPN II di daerah tersebut.

Seperti yang dikemukakan oleh Noer Fauzi selanjutnya, program pembangunan oleh pemerintahan orde baru membutuhkan tanah sebagai lahan untuk membangun pabrik, irigasi, pembangkit lstrik, real estate dan lain

(5)

sebagainya. Untuk itu dalam mendapatkan tanah yang luas pemerintah secara langsung turun tangan membersihkan rintangan yang menghalangi jalannya pembangunan. Campur tangan pemerintah memberi sedikit tekanan kepada para petani sehingga mereka menyerahkan tanah untuk digunakan oleh pemerintah dengan dalih pembangunan. Hal ini dikarenakan otoritarisme yang merupakan ciri politik rezim orde baru menghilangkan kekuatan politik masyarakat dan memusatkan kekuasaan hanya pada pemerintah. Bangkitnya otoritarisme di jaman orde baru berlaku menyeluruh, bukan hanya dibidang politik agraria. Menurut Mas‘oed 1989 dalam Reformasi Agraria (1997:89) kebangkitan otoritarisme masa Orde Baru dikarenakan oleh tiga hal pokok, pertama, kondisi struktural serta krisis politik dan ekonomi yang diwarisi rejim Soekarno; kedua, koalisi kekuasaan dominan yang mendukung rejim Orde Baru; dan ketiga cara pimpinan koalisi baru itu menantang dan menanggapi berbagai tantangan dan kesempatan tertentu.

Tumbangnya kekuasaan Rezim orde baru pada tahun 1998 ternyata memberikan angin segar bagi sebagian kelompok masyarakat yang selama ini hak-haknya dirampas tidak terkecuali para petani persil IV. Tanah para petani Persil IV yang sebelumnya digunakan oleh pemerintah orde baru kemudian diambil alih oleh petani yang dulunya adalah milik mereka. Namun, pengambilalihan lahan oleh Petani Persil IV ini tentu saja tidak berjalan lancar. Dalam mendapatkan kembali tanahnya, Petani Persil IV ini harus berseteru menghadapi PTPN II. Sebab tanah tersebut telah digunakan oleh PTPN II Yang jelas-jelas tidak termasuk dalam HGU. Perjuangan para petani ini dalam mendapatkan lahan pertanian mereka telah menggunakan jalur hukum sebagai

(6)

jalur perjuangan yang legal. Namun, jalur hukum yang mereka tempuh tidak membuahkan hasil yang baik. Sehingga para petani tersebut memilih alternatif lain dalam memperjuangkan haknya yaitu pendudukan lahan yang dilakukan hingga saat ini.

Pada tahun 1940 rakyat telah menguasai tanah dan mendirikan bangunan rumah sebagai tempat tinggal dan menanam berbagai tanaman seperti Pohon Durian, Jengkol, Petai, Pisang, Jagung, Padi dan berbagai tanaman lainnya sebagai mata pencaharian mereka sebagai petani. Selanjutnya oleh Negara tanah tersebut dilegalisasi menjadi milik rakyat dengan alas hak sebagai TANAH SUGUHAN Persil IV, seluas lebih kurang 600 Ha, yang meliputi diwilayah Desa Limau Mungkur, Dusun Batuktak Desa Lau Barus dan Dusun Tungkusan desa Tadukan Raga. Akan tetapi pada tahun 1972 masa pemerintahan rezim Orde Baru tanpa alasan yang sah secara hukum, sebagian besar tanah tersebut, yaitu seluas lebih kurang 525 Ha, telah diambil atau dikuasai oleh PTPN IX secara paksa (sekarang PTPN II) dengan cara mengusir bangunan rumah tempat tinggal rakyat hingga sampai hancur dan rata dengan tanah, menebang pohon dan tanaman-tanaman yang telah ditanam rakyat sebagai mata pencaharian hidup di atas tanah tersebut, yang mengakibatkan rakyat dan anak-anak mereka terlantar sebab kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian. Bahkan pihak PTPN II dengan seenaknya menanam pohon sawit dan karet dan hasilnya mereka nikmati tanpa mempedulikan alas hak dan kehidupan rakyat beserta keluarganya. Karena pada masa itu kondisi politik dalam negeri tidak memungkinkan untuk melakukan perlawanan atas tindakan semena-mena tersebut, akibatnya rakyat merasakan penderitaan yang cukup panjang. Setelah menunggu cukup lama sampai akhirnya

(7)

pecah reformasi tahun 1998 peluang untuk mengambil kembali tanah yang dirampas tersebut terbuka, dengan terlaksananya Pertemuan Dengar Pendapat Komisi A DPRD Tk. II Kabupaten Deli Serdang yang pada saat itu dihdiri oleh Kepala Kantor Pertanahan DS., ADM PTPN II (Persero) Kebun Limau Mungkur, Camat Kec. STM. Hilir, Kades. Tadukan Raga, Kades. Limau Mungkur, dan Kades. Lau Barus Baru tentang permasalahan tanah rakyat pada tanggal 27 Oktober 1998, dimana telah menyebutkan beberapa poin diantaranya yaitu tanah seluas lebih kurang 922 Ha tersebut tetap menjadi milik rakyat. Oleh karena tanah seluas 922 Ha yang menjadi sengketa berada diluar areal tanah Hak Guna Usaha (HGU) PTPN II , pada tahun 1999 tepatnya saat Replanting, tanah tersebut telah diusahakan oleh rakyat sebagai alat produksi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Beberapa bulan berselang PTPN II kembali mengambil alih paksa tanah dengan membabat habis tanaman palawija bahkan beberapa orang petani juga menjadi korban.

Melihat kejadian itu rakyat melakukan gugatan Perdata kepada pihak PTPN II untuk mengembalikan tanah serta membayar ganti rugi peminjaman yang ditaksir sebesar 2,5 milyar rupiah lebih per tahun sejak tahun 1972 sampai ganti rugi tersebut dipenuhi. Selain dari tuntutan diatas, rakyat juga menuntut ganti rugi sebesar 500 milyar rupiah karena dianggap telah melanggar Hak Azasi Manusia. Dengan tuntutan seperti itu maka PTPN II melakukan banding sampai akhirnya mereka mengajuakn Peninjauan Kembali atas putusan Mahkamah Agung. Pada tahun 2005 rakyat kembali melakukan gugatan melalui pengadilan negeri Lubuk Pakam dengan No. 69/PDT.G/2005?PN-LP yang memutuskan bahwa tanah tersebut adalah milik rakyat akan tetapi kembali lagi diajukan banding oleh PTPN

(8)

II dengan dalil bahwa pohon yang tumbuh diatas tanah tersebut adalah milik PT. Secara otomatis tanah tersebut belum dipastikan milik siapa (terperkara) sehingga kedua pihak tidak boleh menguasai lahan. Namun tindakan sepihak telah dilakukan PTPN II melalui Perjanjian dalam bentuk Kerja Sama Operasional (KSO) dengan Pihak Ketiga dengan isi perjanjian untuk memanen kelapa sawit diatas tanah terperkara tersebut. Hal ini adalah tindakan melawan hukum. Masyarakat yang merasa dirugikan segera memasuki lahan dan mencoba menguasai tanah yang mereka anggap adalah milik mereka dengan alas hak yang sah menurut hukum. Akan tetapi di lapangan masyarakat mendapat halangan dari pihak aparat kepolisian dan TNI yang belum jelas alasannya mereka berada di lokasi tersebut. Bahkan Aparat Kepolisian yang ada melakukan penangkapan beberapa warga yang mencoba memanen sawit. Dengan senjata lengkap aparat, akhirnya masyarakat dipaksa mundur dari lahan, dan pihak ketiga tersebut secara bebas melakukan aktivitas memanen. Masyarakat kembali melakukan perlawanan dengan menghadang truk pengangkut buah sawit dengan berbaris tanpa senjata. Karena supir takut menabrak masyarakat yang sebagian besar adalah kaum ibu, maka kendali diambil alih oleh salah satu aparat polisi dan serta merta menabrak masyarakat yang melakukan perlawanan dan akhirnya 3 orang ibu-ibu menjadi korban dan harus dibawa kerumah sakit. Kejadian ini lantas membuat masyarakat sekitar menjadi trauma untuk datang ke lahan, bahkan nyaris ingin melupakan haknya atas tanah. Sampai saat ini rakyat terus di intimidasi dengan aksi-aksi militerisme oleh kepolisiaan dan oknum TNI. ( Dokumentasi SMAPUR).

(9)

Sepanjang terjadinya konflik agraria di beberapa daerah, tentu saja perlawanan yang dilakukan para petani terhadap perampas tanah mereka berbeda. Tidak terkecuali pada konflik agraria yang terjadi di Kecamatan STM HILIR antara Petani Persil IV dengan PTPN II. Di mana konflik agraria ini melibatkan perempuan sebagai salah satu pelaku konflik. Keterlibatan kaum perempuan dalam konflik agraria antara Petani Persil IV dengan PTPN II menjadi sebuah perjuangan yang menarik untuk diperbincangkan. James C. Soutt dalam hasil penelitian sistematis STPN (2012:84) mengungkapkan bahwa perempuan sebagai pengelola rumah tangga yang tinggal di dalam rumah menerima dampak paling berat dari tekanan hidup akibat sengketa tanah. Selanjutnya James menjelaskan dengan ketiadaan penghasilan utama yang diakibatkan oleh hilangnya lahan pertanian mengharuskan perempuan untuk mencari siasat guna menyediakan kebutuhan pangan keluarganya. Penjelasan James tersebut tidak menutup kemungkinan hal itu menjadi salah satu dasar alasan perempuan untuk ikut serta sebagai salah satu pemeran dalam konflik agraria. Secara alami perempuan berpandangan bahwa ketika terjadi sengketa tanah yang melibatkan lahan pertanian mereka berdampak pada kebutuhan hidup keluarga. Sehingga sebagai salah satu anggota keluarga, perempuan juga mempunyai kewajiban untuk ikut serta dalam memperjuangkan hak atas tanah mereka.

Dalam banyak dokumentasi yang melibatkan perempuan dalam sengketa tanah dan penggusuran lahan saat ini, penempatan perempuan di garda terdepan menjadi sebuah bentuk perlawanan baru. Penempatan perempuan dijadikan sebagai salah satu upaya mengusir petugas yang berusaha mengambil lahan mereka. Dengan asumsi bahwa petugas pengambilalihan lahan adalah mayoritas

(10)

laki-laki maka ketika berhadapan dengan perempuan, kelelakian mereka merasa terganggu Dian Aries Mujiburohman dkk. dalam hasil penelitan sistematis STPN (2012:84). Kemudian perempuan menjadi sebuah senjata yang melibatkan aspek psikologis dan naluri laki-laki yang tentu saja mempunyai hubungan dengan perempuan sebagai anak, cucu, kakak dan adik. Sehingga dalam upaya pengambilan lahan petani oleh petugas mengalami penundaan. Peranan perempuan yang ikut menyuarakan perampasan tanah mereka merupakan salah satu bukti eksistensi gerakan perempuan Indonesia. Terlepas dari isu-isu kesetaraan gender, anti diskriminasi dan lain sebagainya yang disuarakan oleh gerakan feminis di dalam masyarakat. Hal positif yang terjadi adalah perempuan telah menjadi sebuah kekuatan baru bagi segenap perjuangan di dalam konflik agraria tersebut. Melalui gerakan ini pula, pandangan tentang perempuan setidaknya memberikan kesan yang berbeda. Perempuan tidak lagi dipandang sebagai penunggu yang berada di dalam rumah dari tetapi secara aktif mereka ikut berjuang bersama-sama.

Seperti halnya pada konflik agraria di Deli Serdang ini, keikutsertaan perempuan tidak hanya berada di balik layar yang hanya memberikan dukungan moral. Keterlibatan perempuan yang berperan dalam konflik agraria ini menggalang kekuatan mereka dengan bergabung bersama Petani Persil IV. Secara umum perempuan yang dipandang sebagai anggota masyarakat yang lemah berubah menjadi sebuah senjata baru dalam perlawanan mereka. Peranan perempuan sebagai salah satu anggota petani dilakukan dengan keikutsertaan mereka berdemonstrasi dan pendudukan lahan. Selain itu, perempuan yang tergabung dalam Petani Persil IV ini ikut serta dalam merumuskan bentuk

(11)

perlawanan yang mereka lakukan. Keberadaan perempuan yang bersama-sama menggalang kekuatan dengan kaum laki-laki yang tergabung dalam Petani Persil IV ini menjadi sebuah harapan untuk lebih didengarkan dalam menyuarakan permasalahan mereka.

Beberapa bentuk perjuangan perempuan dalam konflik agraria telah banyak didokumentasikan, namun sejauh ini belum banyak peneliti yang mengupas sejauh mana keterlibatan perempuan didalamnya. Untuk itu, penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran tentang bentuk peranan dan keterlibatan aktif perempuan di dalamnya. Selain itu penelitian ini hendaknya mampu pula memberikan uraian tentang berbagai kegiatan dan peranan dalam merumuskan perjuangan mereka ditengah-tengah para kaum laki-laki sebagai upaya dalam mempertahankan hak atas tanah mereka.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan pada latar belakang diatas, perlu dilakukan pembatasan masalah yang dirumuskan dalam beberapa pertanyaan, yaitu:

1. Bagaimanakah peranan perempuan dalam konflik agraria antara Petani Persil IV dengan PTPN II di Kecamatan STM Hilir Kabupaten Deli Serdang (Desa Limau Mungkur, Dusun Batuktak, Desa Lau Barus, dan Dusun Tungkusan Desa Tadukan Raga)?

2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi perempuan terlibat dalam konflik agraria Petani Persil IV dengan PTPN II di Kecamatan STM Hilir

(12)

Kabupaten Deli Serdang (Desa Limau Mungkur, Dusun Batuktak Desa Lau Barus dan Dusun Tungkusan Desa Tadukan Raga)?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian

Dalam sebuah penelitian tentunya mempunyai tujuan dilakukannya penelitian tersebut. Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk menganalisis peranan perempuan dalam konflik agraria Petani Persil IV dengan PTPN II di Desa Limau Mungkur, Dusun Batuktak, Desa Lau Barus dan Dusun Tungkusan Desa Tadukan Raga, Kecamatan STM Hilir Kabupaten Deli Serdang

2. Untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi perempuan terlibat dalam konflik agraria Petani Persil IV dengan PTPN II di Desa Limau Mungkur, Dusun Batuktak Desa Lau Barus dan Dusun Tungkusan Desa Tadukan Raga, Kecamatan STM Hilir Kabupaten Deli Serdang

1.3.2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan mafaat, antara lain: a. Manfaat teoritis:

1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang gerakan perempuan dalam konflik agraria.

2. Sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan terhadap penelitian sebelumnya mengenai peranan perempuan dalam konflik agraria.

(13)

3. Hasil penelitian ini daharapkan menjadi salah satu sumber informasi terhadap penelitian selanjutnya.

b. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan kemampuan penulis dalam membuat karya tulis ilmiah tentang peranan perempuan dalam konflik agraria.

Referensi

Dokumen terkait

sering dilakukan oleh masyarakat Pidie di setiap turun ke laut mencari kehidupan dengan peralatan yang sederhana Troen U Laot lebih merakyat dan berkembang di sanggar-sanggar

Berdasarkan uraian di atas, pada penelitian ini peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh protektif pemberian minyak zaitun murni atau Extra Virgin Olive Oil (EVOO) dan

Penegakan hukum terhadap pelanggaran peraturan daerah tidak hanya sebatas pada dilakukan upaya penyidikan saja, namun diperlukan upaya preventif oleh angota satuan

Hubungan Antara Dukungan Sosial Teman Sebaya dengan Identitas Diri Pada Remaja di SMA Pusaka 1 Jakarta.. Jakarta: Fakultas Psikologi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui motif mahasiswa Jawa di Universitas Padjadjaran mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa Lingkung Seni Sunda Universitas

Results of this experiment showed that there were effects of residue of Merapi volcanic ash, cow manure and mineral soil combination on potential P 2 O 5 and available P 2 O

Nelayan Bangka Jaya Tidak Lulus Teknis dikarenakan Tidak mencantumkan jadwal pelaksanaan dan jangka waktu pelaksanaan pekerjaan.. Evaluasi Harga dan

Permasalahan dan tantangan dalam pembangunan ketahanan pangan di Indonesia menyangkut pertambahan penduduk, terbatasnya sumber daya alam, terbatasnya sarana dan prasarana