• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rumah Adat Sebagai Mikrokosmos (Studi Mengenai Makna Rumah Adat menurut Masyarakat Praijing di Sumba Barat) oleh, Amilde Laja Bata TUGAS AKHIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Rumah Adat Sebagai Mikrokosmos (Studi Mengenai Makna Rumah Adat menurut Masyarakat Praijing di Sumba Barat) oleh, Amilde Laja Bata TUGAS AKHIR"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

i

“Rumah Adat Sebagai Mikrokosmos”

(Studi Mengenai Makna Rumah Adat menurut Masyarakat Praijing di Sumba Barat)

oleh,

Amilde Laja Bata

712013095

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Program Studi Ilmu: Teologi, Fakultas: Teologi

Guna Memenuhi Sebagian dari prasyaratanmencapai Gelar Sarjana Sains Teologi

( S.Si-Teol )

Fakultas Teologi

Universitas Kristen Satya Wacana

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi

MOTTO

Pengharapanitusudahtersediadi depankita, namunbutuhperjuanganuntukmewujudkannya.

Supaya oleh dua kenyataan yang tidak berubah-ubah, tentang mana Allah tidak mungkin berdusta, kita yang mencari perlindungan, beroleh dorongan yang kuat untuk menjangkau pengharapan yang

terletak di depan kita.Pengharapan itu adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita, yang telah dilabuhkan sampai ke belakang tabir

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji syukur kepada Tuhan yang telah mengaruniakan berkat dan kasih sayang-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini yang berjudul “Rumah Adat Sebagai Mikrokosmos” (Studi Mengenai Makna Rumah Adat menurut Masyarakat Praijing di Sumba Barat). Penulis menyadari bahwa terselesainya tugas akhir ini tidak terlepas dari dukungan, perhatian, doa, bimbingan, kasih dan ilmu dari berbagai pihak. Karena itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo sebagai pembimbing 1 dan Dr. David Samiyono, sebagai pembimbing 2 yang telah membimbing penulis dengan penuh ketulusan dan kesabaran. Terimakasih kepada bapak Eben dan bapak David yang selalu memotivasi dan mendukung penulis dalam menyelesaikanTugasAkhir. Kiranya Hikmat Kristus selalu menyertai. 2. Bapak, Mama, Mama 3, kaka, adik dan seluruh keluarga besar Praijing dan

Prairame yang sudah mendukung penulis dalam doa, dana dan semangat. Kristus memberkati selalu.

3. Seluruh Dosen Fakultas Teologi UKSW yang sudah memberikan ilmunya selama penulis belajar di Fakultas Teologi hingga selesainya tugas akhir ini, dan Para Pegawai dan Tata Usaha FakultasTeologi. KiranyaTuhan sumber segalanya selalu menyertai.

4. KTB GIFT (Kak Indah, Kak Ati, kak Chandra, Sarah, Merry dan Wasty), parasahabat Unny beama, Neny Ngade, Geleh-geleh, Eyang ulus, Satra sambal kemangi,kak Fero, kak kenanga teman-teman angkatan 2013, teman kost kauman (Wende Mesak, Kak Ithakz, ma Evi, ma Leni, Kak Hory, Vera, Thalia, mbak Ani), Keluarga PMK salatiga (Perkantas) dan Bagaya mati yang selalu memberikan kata-kata motivasi. Terimakasih atas kebersamaan selama ini dan terimakasih segala kata-kata motivasi dan dukungan semangat kepada penulis dalam proses menyelesaikan tugas akhir ini. Kiranya kasih dan Hikmat Kristus selalu menyertai.

Salatiga, 06 Juni 2018 Penulis

(8)

viii

ABSTRAK

Rumah dijadikan sebagai mikrokosmos, karena rumah bukan hanya sebagai tempat tinggal atau berlindung dari gangguan luar tetapi rumah harus dijadikan sebagai tempat manusia berelasi dengan Tuhan, sesame manusia dan ciptaan lainnya, serta sebagai tempat terbentuknya nilai dan norma yang akan mengatur pola hidup masyarakat.

Tempat penelitian terletak di kampung adat Praijing. Kampung adat Praijing terletak di desa Tebara, kecamatan Waikabubak, kabupaten Sumba Barat, pulau Sumba, provinsi Nusa Tenggara Timur.Masyarakat pulau Sumba menganut agama Islam, Kristen, Hindu, Katolik dan agama suku, yakni Marapu.

Hasil penelitian dari rumah adat sebagai mikrokosmos (Studi mengenai makna rumah adat menurut masyarakat Praijing di Sumba Barat) adalah pemaknaan dari rumah adat sebagai mikrokosmos kampung Praijing di Sumba Barat adalah sebagai tempat penyembahan kepada arwah leluhur dan nenek moyang masyarakat setempat (marapu), tempat melangsungkan kehidupan sosial berkeluarga dan kehidupan sosial dengan masyarakat, sebagai tempat menyimpan hasil pertanian, serta tempat binatang. Dampak dari pemaknaan rumah adat bagi kehidupan sosialdan kemasyarakatan di KampungPraijing yaitu pembagian ruang dari rumah adat merupakan lambang dari pembagian gender sosial masyarakat Sumba. Selain itu, pemaknaan rumah adat sebagai mikrokosmos adalah manusia dapat menjalin relasi yang baik antar sesama manusia, Tuhans erta ciptaan lainnya, manusia melakukan rutinitas dengan mempercayai adanya Tuhan yang memiliki otoritas untuk melihat setiap tindakan manusia.

(9)

ix

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Lembar Pengesahan ... ii

Pernyataan Tidak Plagiat ... iii

Pernyataan Persetujuan Akses ... iv

Pernyataan Persetujuan Publikasi Tugas Akhir Untuk Kepentingan Akademis ... v

Motto ... vi

Kata Pengantar ... vii

Abstrak ... ix DAFTAR ISI ... x I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 6 1.3 Tujuan Penelitian ... 6 1.4 Manfaat Penelitian ... 6 1.5 Metode Penelitian... 6 1.6 Sistematika Penulisan ... 6 II. TEORI ... 2.1 . Teori Kebudayaan ... 7

2.2 Teori Simbol dan kebudayaan sebagai simbol ... 10

III. HASIL PENELITIAN 3.1 Gambaran umum tempat penilitian ... 16

3.2 Bahan bangunan rumah adat kampung praijing ... 17

3.3 Makna rumah adat sebagai mikrokosmos menurut masyarakat kampung praijing ... 20

(10)

x

3.4 Dampak dari pemaknaan rumah adat bagi kehidupan sosial dan

kemasyarakatan kampung praijing ... 22

3.5 Analisa... 23

IV. KESIMPULAN DAN SARAN ... 25

(11)

xi

“Rumah Adat Sebagai Mikrokosmos”

(Studi Mengenai Makna Rumah Adat menurut Masyarakat Praijing di Sumba Barat)

ABSTRAK

Rumah dijadikan sebagai mikrokosmos, karena rumah bukan hanya sebagai tempat tinggal atau berlindung dari gangguan luar tetapi rumah harus dijadikan sebagai tempat manusia berelasi dengan Tuhan, sesama manusia dan ciptaan lainnya, serta sebagai tempat terbentuknya nilai dan norma yang akan mengatur pola hidup masyarakat.

Tempat penelitian terletak di kampung adat Praijing. Kampung adat Praijing terletak di desa Tebara, kecamatan Waikabubak, kabupaten Sumba Barat, pulau Sumba, provinsi Nusa Tenggara Timur. Masyarakat pulau Sumba menganut agama Islam, Kristen, Hindu, Katolik dan agama suku, yakni Marapu.

Hasil penelitian dari rumah adat sebagai mikrokosmos (Studi mengenai makna rumah adat menurut masyarakat Praijing di Sumba Barat) adalah pemaknaan dari rumah adat sebagai mikrokosmos kampung Praijing di Sumba Barat adalah sebagai tempat penyembahan kepada arwah leluhur dan nenek moyang masyarakat setempat (marapu), tempat melangsungkan kehidupan sosial berkeluarga dan kehidupan sosial dengan masyarakat, sebagai tempat menyimpan hasil pertanian, serta tempat binatang. Dampak dari pemaknaan rumah adat bagi kehidupan sosial dan kemasyarakatan di Kampung Praijing yaitu pembagian ruang dari rumah adat merupakan lambang dari pembagian gender sosial masyarakat Sumba. Selain itu, pemaknaan rumah adat sebagai mikrokosmos adalah manusia dapat menjalin relasi yang baik antar sesama manusia, Tuhan serta ciptaan lainnya, manusia melakukan rutinitas dengan mempercayai adanya Tuhan yang memiliki otoritas untuk melihat setiap tindakan manusia.

(12)

1

1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Pulau Sumba sejak dahulu kala telah dikenal dengan nama Pulau Cendana. Pulau Sumba disebut demikian karena merupakan Pulau penghasil Kayu Cendana terbesar, tetapi jenis kayu ini sekarang telah punah. Pulau Sumba juga dikenal dengan beberapa sebutan antara lain; Tana Humba dan Tanah Marapu atau Tanah Leluhur. Tana Humba memiliki arti Tanah Sumba. Nama Sumba berasal dari nama istri nenek moyang orang Sumba yang pertama datang dan mendiami

Sumba yaitu bernama Humba.1 Sedangkan pemberian dengan sebutan Tanah

Marapu dikarenakan kepercayaan asli Suku Sumba disebut Marapu. Kata Marapu menurut A. A Yewangoe terdiri dari dua definisi yaitu (1) Marapu terdiri dari kata yaitu “ma” berarti yang dan “rappu” berarti tersembunyi. (2) Marapu terdiri dari kata “mera” yang berarti serupa dan “appu” yang berarti nenek moyang jadi merapu adalah serupa dengan nenek moyang. Kepercayaan Marapu adalah kepercayaan terhadap Dewa atau Ilah yang tertinggi, arwah nenek moyang,

makhluk-makhluk halus (roh-roh) dan kekuatan sakti.2Pulau Sumba pada awalnya

hanya memiliki 2 kabupaten yaitu; kabupaten Sumba Timur dan Sumba Barat. Namun dengan adanya pemekaran, Sumba terbagi menjadi 4 kabupaten yaitu, Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten Sumba Tengah, Kabupaten Sumba Barat Daya dan Kabupaten Sumba Barat. Kedua kabupaten tersebut merupakan pemekaran dari kabupaten Sumba Barat. Setiap Kabupaten memiliki budaya, adat istiadat dan bahasa yang berbeda, namun ada juga budaya yang sama.

Salah satu persamaan budaya di Sumba terlihat dari bentuk rumah adat yang sama di setiap kabupaten meskipun ada perbedaan dalam penyebutan setiap arsitektur rumah adat. Bangunan rumah adat Sumba berbentuk persegi empat, memiliki empat tiang utama yang menopang seluruh badan rumah.Setiap tiang

memiliki makna dan fungsi tersendiri.3 Rumah adat Sumba memiliki tiga tingkat,

di mana tingkat atas disebut Umma dana (loteng) yang berfungsi sebagai tempat

1F.D. Wellem, Injil dan Marapu (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2004), 15. 2

Wellem, Injil dan Marapu, 41-42.

3Yusak Soleiman, H. Ongirwalu dan Danang Kurniawan, Arsitektur dan Liturgi Gereja,

(13)

2

bersemayamnya dewa, marapu dan tempat penyimpanan hasil pertanian serta benda-benda pusaka lainnya. Tingkat bagian tengah yang disebut umma adalah tempat manusia beraktifitas dan beristirahat.Sedangkan tingkat bagian bawah yang disebut salikabunga berfungsi sebagai tempat binatang (kandang hewan). Pada umumnya di depan rumah adat Sumba terletak batu kubur dengan berbagai ukiran yang mempunyai makna tersendiri. Batu kubur yang ada di depan rumah adat dimaknai untuk menjaga kedekatan anggota keluarga yang masih hidup dengan para anggota keluarga yang telah meninggal. Salah satu keunikan batu

kubur ini terletak pada proses pembuatan yang rumit, teliti dan sampai pada

proses selesai pembentukkan batu kubur, di mana adanya ritual tarik batu kubur.4Ritual tarik batu kubur memerlukan kerjasama dari masyarakat, hal ini dikarenakan batu kubur pada umumnya memiliki ukuran yang besar sehingga diperlukan bantuan dari masyarakat. Kerjasama yang terjalin ini tidak hanya dilakukan pada waktu ritual tarik batu kubur, tetapi juga pada waktu pembuatan rumah adat,yang telah menjadi tradisi masyarakat Sumba sejak dahulu kala.

Rumah adat dibangun dengan posisi arah utara-selatan dan dibangun di antara sebuah lapangan yang merupakan tempat penguburan orang mati dan posisi rumah adatnya berhadap-hadapan.Atap rumah adat terbuat dari alang-alang.Rumah adat ada yang memiliki menara atau biasa disebut uma mbatangu dan ada yang tidak memiliki menara atau biasa disebut uma kamadungu. Tiang penopang rumah adat yang terletak di bagian depan di sebelah kanan merupakan tiang yang terpenting karena di sinilah tempat penyembahan kepada Marapu atau arwah para leluhur. Dalam ritual penyembahan kepada Marapu, imam menanyakan kehendak kepada Marapu dan ketika mendapatkan jawaban dari Marapu biasanya imam menancapkan sebuah tombak pada kambaniru uratungu (tiang penyembahan).Tiang penopang rumah adat yang terletak di bagian belakang di sebelah kanan disebut kambaniru mataku (tiang penyendok makanan) karena di sinilah perempuan menyediakan makanan persembahan kepada Marapu

4Jefri Amos, Uniknya Upacara Tarik Batu di Sumba, diakses

darihttps://jefryamos.wordpress.com/2014/12/23/uniknya-upacara-tarik-batu-di-sumba/ pada tanggal 06 November 2017 pukul 20.33.

(14)

3

atau arwah para leluhur. Rumah adat mempunyai dua pintu yakni pintu di sebelah

kiri dan pintu di sebelah kanan rumah, namun rumah adat tidak memiliki jendela.5

Rumah adat Sumba tidak hanya sebagai tempat tinggal akan tetapi berfungsi juga sebagai tempat penyembahan. Selain sebagai tempat membina persekutuan

keluarga dan juga sebagai tempat untuk mewujudkan persekutuan ibadah.6

Gambar 1. Rumah Adat Sumba

Sumber :Http://www..pu.go.id/publik/bencana/SIATI/simtradisional.html

Hal ini juga dilakukan oleh masyarakat di Loli Kota Waikabubak. Di Loli ada 13 kampung adat yaitu kampung Tarung, kampung Wetabar, kampung Bodo Ede, kampung Praijing, kampung Prairame, kampung Bodo Maroto, kampung Gollu, kampung Kanakata, kampung Galimara, kampung Lokoroda, kampung Tanarara, kampung Waigali, dan kampung Ubel. Salah satu dari ke tiga belas kampung adat ini yang masih mempertahankan keaslian rumah adat dan mempunyai daya tarik pengunjung yang tinggi ialah kampung Praijing.Rumah adat di kampung Praijing juga terdiri dari tiga tingkat yakni bagian bawah, tengah dan atas serta di rumah-rumah adat pada kampung ini terdapat batu kubur.

5Welem, Injil dan Marapu, 49.

6Soleiman, Ongirwalu dan Kurniawan, Arsitektur dan Liturgi, 98.

Tingakat pertama disebut umma dana (loteng) : Tempat bersemayamnya dewa, Marapu dan tempat penyimpanan hasil pertanian serta benda pusaka lainnya.

Tingkat bawah disebut salikabunga (tempat binatang)

Tingkat tengah disebut Umma (rumah) : tempat manusia beratifitas dan beristirahat

(15)

4

Gambar 2. Kampung Adat Praijing

Sumber: https://beritagar.id/artikel/piknik/makna-tiang-rumah-adat-praijing-sumba-barat

Pembagian rumah ini menggambarkan mikrokosmos orang Sumba. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mikrokosmos adalah dunia kecil, khususnya manusia dan sifat kemanusiaan yang merupakan contoh dalam ukuran kecil dari alam semesta. Rumah sebagai mikrokosmos juga diyakini oleh masyarakat Jawa. Dalam penelitian Pitana (2007) menjelaskan bahwa masyarakat Jawa juga meyakini rumah bukan hanya sebagai tempat tinggal atau tempat perlindungan dari binatang buas, tetapi lebih pada pemaknaan simbol dari setiap arsitektur rumah baik simbol materi (pola tata ruang, perwujudan bentuk bangunan, penggunaan material bangunan dan desain ornamen) maupun simbol perilaku (ritual-ritual, laku batin dan gugon tuhon dalam proses pembangunan

rumah).7Hasil penelitian Dewi (2003) di Bali, Rumah juga sebagai ekspresi jati

diri budaya masyarakat Bali.Hal ini dapat dilihat dari patokan terhadap tata ruang, pola bentuk, struktur bangunan maupun ornamen yang diikuti sejak zaman

dahulu.8Peneliti melihat bahwa penting untuk rumah dijadikan sebagai

mikrokosmos, karena rumah bukan hanya sebagai tempat tinggal atau berlindung

7Titis S. Pitana, “Reproduksi Simbolik Arsitektur Tradisonal Jawa”, Gema Teknik, 2:10,

(Surabaya, Juli 2007), 128.

8NI Ketut Agusinta Dewi, “ Wantah Geometri, Simetri, dan Religiusitas Pada Rumah

(16)

5

dari gangguan luar tetapi rumah harus dijadikan sebagai tempat manusia berelasi dengan Tuhan, sesama manusia dan ciptaan lainnya, serta sebagai tempat terbentuknya nilai dan norma yang akan mengatur pola hidup masyarakat.

Beberapa penelitian terdahulu yang meneliti tentang rumah adat Sumba antara lain (1) Wellem (2004) meneliti tentang Historis-Teologis perjumpaan injil masyarakat Sumba pada periode 1876-1990. Dalam penelitian ini menjelaskan bahwa rumah adat orang Sumba digunakan sebagai tempat penyembahan di mana ada dua jenis rumah sebagai tempat penyembahan yaitu

uma ndapataungu (rumah tidak berorang) dan uma bokulu (rumah besar). (2)

Penelitian Irene Umbu Lolo (2014) dalam buku Arsitektur dan Liturgi Gereja, membandingkan sejauh mana Gereja Kristen Sumba mengkontekstualisasikan rumah adat Sumba pada arsitektur gereja. Dalam penelitian ini juga hendak meneliti tentang rumah adat Sumba namun perbedaan penelitian ini dengan sebelumnya adalah memfokuskan makna rumah adat Sumba sebagai mikrokosmos dan dampak terhadap pemaknaannya.

Dengan berkembangnya zaman tidak menutup kemungkinan terjadinya perubahan dan bencana kebakaran yang mengakibatkan keaslian rumah adat hilang, mengingat arsitektur rumah adat terbuat dari alang, bambu dan kayu yang merupakan bahan mudah terbakar.Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan informasi kegenerasi muda tentang makna dari setiap arsitektur rumah adat Sumba yang dibangun serta memberikan gambaran bahwa rumah adat Sumba bukan hanya sebagai tempat tinggal tetapi juga sebagai dunia kecil atau mikrokosmos.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apamakna rumah adatsebagai mikrokosmos menurut masyarakat Praijing?

2. Apakah dampak dari pemaknaan rumah adat bagi kehidupan sosial dan kemasyarakatan di kampung Praijing.

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan maknarumah adat Sumba sebagai mikrokosmos menurut masyarakat Praijing.

(17)

6

2. Mendeskripsikan dampak dari pemaknaan rumah adat bagi kehidupan sosial dan kemasyarakatan di Kampung Praijing.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Memberikan pemahaman bagi muda-mudi di Loli betapa pentingnya makna setiap arsitektur rumah adat Sumba.

2. Memberikan pemahaman bagi muda-mudi di Loli tentang budaya Sumba agar tetap terjaga kelestarian dari budaya Sumba (makna arsitektur rumah adat).

1.5 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif.Metode penelitian deskriptif merupakan suatu metode yang mendskripsikan sejumlah variabel yang berkenanan dengan masalah dan unit yang

diteliti.9Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kualitatif.10 Teknik pengumpulan data berupa wawancara yakni proses tanya

jawab dari peneliti terhadap orang yang diteliti. 1.6 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan Tugas Akhir terdiri dari empat bagian.Bagian pertama membahas pendahuluan yang berupa latar belakang, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika

penulisan.Bagian kedua membahas teori tentang kebudayaan sebagai simbol dan makna, arsitektur rumah dalam budaya serta mikroskosmos.Bagian ketiga membahas data penelitian lapangan dan membahas analisis.Bagian keempat membahas penutup berupa kesimpulan dan saran.

9Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,

2003), 20.

10Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

(18)

7

2. Arsitektur Rumah Adat dalam Kebudayaan sebagai Simbol

Bagian landasan teori merupakan acuan teori dalam penelitian ini, teori yang dipakai berupa kebudayaan, unsur-unsur budaya, simbol, rumah sebagai simbol, rumah sebagai unsur budaya, serta arsitektur rumah adat dalam kebudayaan dan mikrokosmos.

2.1. Kebudayaan

Kebudayaan memiliki beberapa pengertian.Menurut Kroeber dan

Kluckhon terdapat enam pemahaman pokok mengenai kebudayaan. Pemahaman yang pertama, definisi deskriptif yang cenderung melihat budaya sebagai totalitas komprehensif yang menyusun keseluruhan hidup sosial sekaligus menunjukkan sejumlah ranah yang membentuk budaya. Kedua, definisi historis yang cenderung melihat budaya sebagai warisan dari generasi satu ke generasi berikutnya.Ketiga, definisi normatif yang melihat budaya sebagai aturan atau jalan hidup yang membentuk pola-pola perilaku dan tindakan yang konkret. Menurut definisi normatif budaya menekankan peran gugus nilai tanpa mengacu pada perilaku.

Keempat, definisi psikologis yang cenderung memberi tekanan pada peran budaya

sebagai piranti pemecahan masalah yang membuat orang bisa berkomunikasi, belajar, atau memenuhi kebutuhan material maupunemosional.Kelima, definisi struktural yang menunjuk pada hubungan antara aspek-aspek yang terpisah dari budaya sekaligus menyoroti fakta bahwa budaya adalah abstraksi yang berbeda dari perilaku konkret.Keenam, definisi genetis yang melihat asal usul bagaimana budaya itu bisa eksis atau tetap bertahan.Definisi ini cenderung melihat budaya lahir dari interaksi antar manusia dan tetap bisa bertahan karena ditransmisikan

dari satu generasi ke generasi berikutnya.11

Istilah kebudayaan berasal dari kata dasar “budaya” yang berarti pikiran,

akal budi, hasil budaya, adat istiadat, menyelidiki bahasa dan budaya.Istilah kebudayaan disebutkan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin manusia, seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat. Selain itu, kebudayaan disebut juga sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya, dan menjadi

11Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, Teori-Teori Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius,

(19)

8

pedoman tingkah lakunya.12Menurut Van Peursen kebudayaan bukan merupakan

pemberian kodrat, melainkan suatu konstruksi manusia yang terjadi dari sebuah

pergulatan hidup dari waktu ke waktu, dari satu tempat ketempat lainnya.13

Budaya adalah gaya hidup unik suatu kelompok manusia tertentu. Budaya bukanlah sesuatu yang dimiliki oleh sebagian orang dan tidak dimiliki oleh sebagian orang lainnya – budaya dimiliki oleh seluruh manusia dan dengan

demikian merupakan suatu faktor pemersatu.14Budaya membantu kita memahami

wilayah planet atau ruang yang kita tempati.Suatu tempat hanya asing bagi

orang-orang asing, tidak bagi orang-orang-orang-orang yang menempatinya.15Contohnya,

kebudayaan masyarakat Sumba tentu tidak asing bagi masyarakat Sumba dan asing bagi orang-orang dari luar Sumba.

2.1.1. Unsur-unsur Budaya dan wujudnya

Unsur-unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat secara universal terdiri dari (1) sistem religi dan upacara keagamaan, (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan, (3) sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem mata

pencaharian hidup, (7) sistem teknologi dan peralatan16. Menurut

Koentjaraningrat juga ada tiga wujud budaya yaitu;

1) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai dan peraturan. Wujud yang pertama mempunyai sifat abstrak, tidak dapat diraba atau difoto namun berupa pemikiran yang bersumber dari pikiran masyarakat setempat dimana kebudayaan itu berlangsung.

2) Wujud kebudayaan sebagai suatu aktivitas kompleks kelakuan yang berpola dari manusia dalam suatu masyarakat. Wujud ini sering disebut sistem sosial yang mana terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lain dalam periode tertentu berdasarkan adat tata kelakuan.

12Jannes Alexander Uhi, Filsafat Kebudayaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), 3. 13Uhi, Filsafat Kebudayaan, 23.

14

Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasia Antarbudaya (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2010), 56.

15Mulyana dan Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya, 57.

16Koentjaraningrat, Kebudayaan,Mentalized dan Pembangunan (Jakarta: PT.

(20)

9

3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ini disebut kebudayaan fisik karena dapat diraba, dilihat dan difoto.

Ketiga wujud diatas dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat tidak terpisah satu dengan lainya.Kebudayaan ideal dan adat istiadat mengatur dan memberi arah terhadap perbuatan dan karya manusia.Baik pikiran, ide-ide, perbuatan dan karya manusia, menghasilkan pola pikir dan benda-benda kebudayaan fisik sebaliknya kebudayaan fisik membentuk suatu lingkunagn hidup tertentu yang makin lama semakin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya, sehingga mempengaruhi juga pola perbuatannya bahkan

mempengaruhi cara berpikirnya.17Penulis berpendapat bahwa Pola pikir manusia

membentuk gagasan, perbuatan dan menghasilkan karya, karya manusia berupa kebudayaan fisik. Kebudayaan adalah proses belajar manusia secara berkelanjutan yang pada akhirnya terbentuklah kebiasaan dan kebiasaan itu digunakan sebagai adat dari suatu lingkungan tertentu. Kebudayaan dari suatu lingkungan mempengaruhi pola pikir dan perbuatan manusia

Pandangan sosiokultural difokuskan pada dua aspek yakni kekuatan sosial dan budaya. Pandangan ini menegaskan pada kekuatan yang bekerja di luar individu dalam suatu masyarakat.Kekuatan sosial dan budaya menciptakan aspek perilaku manusia. Menurut Psikolog budaya, peninjauan terhadap cara peraturan dan nilai budaya baik yang eksplisit maupun implisit memberi

dampak terhadap perkembangan perilaku.18 Secara harafiah kebudayaan adalah

keseluruhan kemampuan manusia tentang pengetahuan terhadap makhluk sosial yang digunakan untuk mengetahui dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi bentuk landasan untuk menciptakan dan mendorong teciptanya tindakan. Manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk budaya dalam berbagai kondisi objektif melalui perjalanan historis memberi

dampak terhadap pengembangan sistem sosial dan sistem budaya secara khas.19

17Koentjaraningrat, Kebudayaan,Mentalized dan Pembangunan (Jakarta: PT.

Gramedia, 1974), 12-17.

18Carole Wade, Carol Tavris, Psikologi (Jakarta: Erlangga, Edisi 9 Jilid 1), 22. 19Ngakan Ketut Acwin Dwijendra, “Perumahan dan Permukiman Tradisional Bali”,

(21)

10

2.1.2. Simbol dan kebudayaan sebagai simbol

Simbol adalah kesatuan sebuah kelompok, seperti semua nilai budayanya, pasti diungkapkan dengan simbol.Simbol sekaligus merupakan sebuah pusat perhatian yang tertentu, sebuah sarana komunikasidan landasan pemahaman bersama.Setiap komunikasi, dengan bahasa atau sarana yang lain, menggunakan

simbol-simbol.Masyarakat hampir tidak mungkin ada tanpa

simbol-simbol.20Sebuah simbol tidak identik dengan objek yang disimbolkannya.

Seandainya demikian halnya, simbol tersebut tidak akan menjadi simbol barang itu, melainkan barang itu sendiri. Erwin Goodenough mengemukakan bahwa simbol adalah benda atau bentuk yang memiliki pengaruh terhadap manusia, melebihi pengakuantentang apa yang disajikan secara harafiah dalam bentuk

tersebut.21Simbol dapat menunjuk kepada sebuah barang, suatu peristiwa, atau

seseorang di dunia yang dibatasi oleh kelima indra atau dapat menunjuk pada

suatu dunia yang lain dan pada isi yang dibayangkan.22Sebuah simbol merupakan

lambang yang mewakili suatu benda dan kekuatan semangat yang berpusat pada

dirinya sendiri yang tergambar pada hasil akhir23

Kebudayaan penuh dengan simbol, dalam bentuk-bentuk bumi,

kebudayaan mencerminkan Surga, menggambarkan dunia yang lain.24Kebudayaan

dan simbol saling berkaitan, di mana kebudayaan dapat menunjukkan simbol dan sebaliknya simbol dapat menunjukkan kebudayaan. Sebagai contoh di masyarakat Sumba, rumah adat menunjukkan sebagai tempat persekutuan antar manusia dan Tuhan, manusia dengan sesamanya dan manusia bersama ciptaan lainnya. Penyambutan tamu dengan sirih pinang menjadi simbol persaudaraanyang bermakna menganggap tamu yang datang sebagai saudara.

2.1.3. Rumah sebagai Simbol

Karakter ruang dan bentuk rumah tinggal sebagai material budaya yang dihasilkan oleh manusia dapat digunakan untuk mengukur tingkat peradaban dan kebudayaan manusia pada saat itu.Rumah sebagai tempat berlindung pada awal

20F.W. Dillistone, The Power Of Symbols (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 15. 21

Dillistone, The Power Of Symbols, 19.

22Dillistone, The Power Of Symbols, 39. 23

Dillistone, The Power Of Symbols, 39.

24

(22)

11

terbentuknya adalah sangat sederhana dan terus berkembang makin rumit sejalan dengan peradaban manusia, contohnya dulu manusia zaman purbakala hidup dalam goa dan berkembang membuat bangunan yang penuh dengan simbol-simbol. Bentukan yang tercipta merupakan ekspresi dari imajinasi dan kebutuhan yang dimiliki oleh orang yang menempati rumah. Menurut Kartono (1999), diperlukan adanya perencanaan dan pemikiran yang benar-benar dalam menciptakan ruang. Pengubahan konsep-ruang merupakan akibat dari pembaharuan yang berlangsung secara terus menerus. Rumah tinggal adalah kumpulan ruang yang menjadi tempat berlangsungnya aktifitas kehidupan sehari-hari bagi penghuninya, selain itu rumah tinggal merupakan tipe bangunan dasar dan media yang paling memungkinkan untuk mengungkapkan imajinasi dan

ekspresi yang diinginkan oleh penghuninya.25

Rumah bukan hanya sebagai tempat tinggal melainkan simbol tata dunia dan tata sosial. Penataan rumah menekankan pada satu makna yang hendak diucapkan tanpa mempertimbangkanakan seni atau fungsi. Dalam hal ini ketentuaan bentuk, letak, arah, jumlah, dan lain-lain, semuanya mengungkapkan makna tertentu.Bentuk dari berbagai unsur penataan diungkapkan dengan tradisi dengan tradisi peristilahan masing-masing dan sifat peristilahan itu bersifat asosiatif-imaginatif.Arah rumah tidak penting, yang perlu mendapat perhatian adalah letak, jumlah dan bentuk ruma. Letak antar rumah yang satu dengan yang

lain selalu memiliki jarak yang dekat.26

Penelitian terdahulu yang meneliti tentang rumah adat Sumba antara lain (1) Wellem (2004) meneliti tentang Historis-Teologis perjumpaan injil masyarakat Sumba pada periode 1876-1990. Dalam penelitian ini menjelaskan bahwa fungsi rumah adat orang Sumba adalah sebagai tempat penyembahan, di mana ada dua jenis rumah sebagai tempat penyembahan yaitu uma ndapataungu (rumah tidak berorang) dan uma bokulu (rumah besar), (2) Irene Umbu Lolo

25J. Lukito Kartono, “Ruang, Manusia dan rumah Tinggal”, Jurnal Dimensi Teknik

Arsitektur, 27:2, (Surabaya, Desember 1999), 6-14.

2626

Eben Nuban Timo, Pemberita Firman Pecinta Budaya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 57.

(23)

12

(2014) menegaskan bahwa fungsi rumah adat Sumba sebagai tempat tinggal,

tempat membina persekutuan keluarga dan penyembahan.27

2.1.4. Rumah sebagai Unsur Budaya

Dalam lingkungan bermasyarakat ada dua macam komponen arsitektur yaitu komponen fisik dan non fisik. Dimana komponen fisik arsitektur yang lebih ditujukan kepada tampilan dan wujud benda fisik dalam lingkungan tersebut yang dibentuk oleh jalinan massa dan ruang, dalam skala waktu (sejarah perkembangan masyarakat) dan skala spasial (watak dan penampilan ruang). Sedangkan komponen non fisik merupakan kehidupan sosial dan budaya masyarakat yang melatarbelakangi pembentukan fisik, cara memanfaatkan lingkungan dan hubungan antara manusia dengan fisik lingkungan masyarakat. Dalam usaha untuk mencapai kesatuan antara komponen fisik suatu lingkungan masyarakat, perlu memahami tentang budaya yang menjadi ciri khas dari lingkungan masyarakat tersebut,sehingga ruang akan bermakna sebagai tempat

bagi masyarakat yang menggunakannya.28

Indonesia memiliki beragam sumber daya alam, budaya dan tradisi serta arsitektur rumah adat dan mencerminkan identitas budaya dari tiap suku atau daerah.Davison menjelaskan bahwa kebudayaan Indonesia, terutama dari segi persamaan arsitektur rumah adat di Indonesia berasal dari kebudayaan rumpun Austronesia. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Austronesia merupakan wilayah geografis yang berada dikepulauan selatan, mencakup pulau Formosa, kepulauan Nusantara, Mikronesia, Melanesia, Polinesia dan pulau

Madagaskar.29Secara harafiah hal yang mendasari adanya persamaan

kebudayaan terletak pada cirikhas bentuk rumah adat di Indonesia yang berupa rumah panggung (kecuali rumah-rumah tradisional Jawa dan Bali), penggunaan

bahan alam dan dilatar belakangi kepercayaan serta kebudayaan setempat.30

27Yusak Soleiman, H. Ongirwalu dan Danang Kurniawan, Arsitektur dan Liturgi Gereja,

(Jakarta: Persetia, 2015),97.

28M. M. Sudarwani, “Simbolisasi Rumah Tinggal Etnis Cina”, Jurnal Momentum, 8:2,

(Semarang, Oktober 2012), 21.

29Dilihat di https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/austronesia pada, 03 April 2018. 30Dilihat di

(24)

13

Arsitektur rumah yang dibangun memiliki makna dan fungsi tersendiri bagi masyarakat, letak sebuah rumah memiliki arti penting, dikarenakanrumah tersebut memiliki hubungan dengan manusia yang hidup didalamnya.Menurut

Nobas dalam buku Gregor Neonbasu (2013), jika letak rumah menghadap ke

selatan maka haluan harus berada di bagian timur, dan jika rumah berada menghadap ke utara maka haluan berada di sebelah barat. Lokasi perumahan telah ditetapkan bersama dengan lokasi untuk peternakan, pertanian, juga untuk

kegiatan-kegiatan upacara adat.31Bentuk arsitektur rumah tradisional yang

berasal dari kelompok Austronesia yaitu pembagian ruang secara simbolik dan rumah adat menunjukkan kelompok sosial.Menurut Tjahjono (1999) bahwa secara simbolik ruang terbagi menjadi luar-dalam, depan-belakang, atas-bawah, kiri-kanan, barat-timur, dan hidup dan mati digambarkan dalam stratifikasi sosial yang berkaitan dengan gender, keluarga dan keturunan, generasi senior dan junior, bahkan antara hidup dan mati, untuk menggambarkan hubungan sosial di suatu masyarakat. Ukuran dan unsur formal sebuah rumah menggambarkan tingkatan sosial dari pemilik rumah sehingga rumah dapat dipahami sebagai simbol dari identitas spiritual dan sebagai warisan dari

generasi ke generasi.32

2.2.Arsitektur Rumah Adat dalam Kebudayaan dan mikrokosmos Arsitektur tradisional merupakan gambaran dari identitas masyarakat suatu kebudayaan. Arsitektur tradisional tergambar dari wujud-wujud kebudayaan.Wujud ideal merupakan gagasan, nilai-nilai, serta cita-cita yang dihayati oleh suatu kelompok manusia yang tercermin dalam bentuk, susunan, ragam hias, serta upacara-upacara yang dilakukan dalam kebudayaan arsitektur

ml&id=112558&ftyp=potongan&potongan=-2017-372904-introduction.pdf pada selasa, 03 April 2018.

31Gregor Neonbasu SVD, Kebudayaan: Sebuah Agenda (Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utara, 2013),223.

32

Dilihat di

http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=download&sub=DownloadFile&act=view&typ=ht ml&id=112558&ftyp=potongan&potongan=S2-2017-372904-introduction.pdf pada selasa, 03 April 2018.

(25)

14

tradisional.33Kebudayaan arsitektur tradisional dalam kehidupan bermasyarakat

misalnya bentuk rumah dari masyarakat Sumba Barat memiliki nilai dan makna tertentu bagi masyarakat setempat, nilai dan makna tersebut diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi sehingga masyarkat Sumba Barat menjaga keaslian bentuk rumah yang tetap dari daerah ini. Salah satu arsitektur bangunan memiliki fungsi sebagai tempat berlindung yang aman dari pengaruh hujan, panas. Arsitektur bangunan memiliki bentuk, struktur, fungsi, ragam hias, serta cara pembuatan yang diwariskan turun temurun. Arsitektur tradisional antara lain terdiri dari rumah tempat tinggal, rumah ibadah, rumah tempat musyawarah

dan rumah tempat menyimpan.34Arsitektur kontekstual adalah arsitektur bangunan

yang dirancang dan dibangun dengan mempertimbangkan beragam konteks kehidupan yang mengelilinginya berupa konteks sosial, budaya, agama, ekonomi, ekologi, bahkan sejarah.Arsitektur rumah adat adalah arsitektur yang kontekstual

pada jamannya.35

Bagi masyarakat Sabu, Rumah adalah kebutuhan pokok manusia. Bangunan rumah masyarakat sabu ditempatkan dalam ritus yang memiliki tiga dimensi yaitu (1) dimensi ilahi (membangun rumah sebagai berkat ilahi, tempat Yang Ilahi itu berada dibagian loteng rumah yang disimbolkan oleh tiang layar, baik di buritan maupun haluan), (2) dimensi sosial (rumah selain sebagai milik keluarga, juga tempat pertemuan keluarga besar yang diatur sebagai periodik dalam kalender adat seperti ritus pengesahan anak-anak kedalam warga, suku/klan (hapo), (3) dimensi politik (rumah dirancang untuk mengatur kebutuhan laki-perempuan mulai kebutuhan kodrat, ekonomi, geneologi, spiritual) mulai dari penetapan lokasi, pengumpulan bahan-bahan, fungsi/makna dan strukturnya.

Mikrokosmos adalah benda-benda yang memiliki ukuran yang sangat

kecil36.Dalam KBBI dijelaskan bahwa mikrookosmos merupakan dunia kecil,

khususnya manusia dan sifat kemanusiaan yang merupakan contoh dalam ukuran

33Christoffel Kana et al., Arsitektur Tradisional Daerah Nusa Tenggara Timur (Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1986), 1.

34

Christoffel Kana et al., Arsitektur Tradisional, 3.

35Soleiman, Ongirwalu, Kurniawan, Arsitektur dan Liturgi Gereja, 95. 36

Dilihat di https://intanramandaputri.wordpress.com/2014/04/28/alam-semesta-makrokosmos-dan-mikrokosmos/ , selasa 03 April 2018.

(26)

15

kecil dari alam semesta.37Makrokosmos menurut KBBI berarti alam

semesta.Secara harafiah makrokosmos berarti segala sesuatu yang berukuran besar, memiliki ruang dan keseluruhan dari lingkungan tertentu. Makrokosmos memiliki hubungan yang tidak bisa terpisahkan dengan mikrokosmos karena mikrokosmos merupakan bagian kecil dari makrokosmos, makrokosmos penting untuk dipelajari dalam hubungannya dengaan mikrokosmos, karena makrokosmos adalah kesatuan ruang, aspek, dan nilai dari mikrokosmos. Rumah adat kampung Praijing dengan kesatuan ruang, makna dan nilai yang terkandung di dalamnya merupakan salah satu hal yang membudaya di Pulau Sumba.Masyarakat Sumba memahami rumah sebagai mikrokosmos dalam makrokosmos (alam semesta). Pemahaman tersebut, terlihat pada bagian rumah adat yang tersusun atas bagian yakni: bagian atas, bagian tengah dan bagian bawah.

37

(27)

16

3. Hasil Penelitian

3.1 Gambaran Umum Tempat Penelitian

Tempat penelitian terletak di kampung adat Praijing. Kampung adat Praijing terletak di desa Tebara, kecamatan Waikabubak, kabupaten Sumba Barat, pulau Sumba, provinsi Nusa Tenggara Timur.Masyarakat pulau Sumba berjumlah 768.824 jiwa, terdiri dari masyarakat pribumi dan masyarakat pendatang. Masyarakat di kampung adat Praijing sendiri terdiri dari 60 KK. Mata pencaharian utama masyarakat pulau Sumba ialah bertani, beternak, menganyam serta menenun. Masyarakat pulau Sumba menganut agama Islam, Kristen, Hindu, Katolik dan agama suku, yakni Marapu.

Pulau Sumba terbagi menjadi 4 kabupaten yakni, Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten Sumba Tengah, Kabupaten Sumba Barat Daya dan Kabupaten Sumba Barat. Pulau sumba dikenal dengan nama pulau Cendana. Pulau ini dijuluki sebagai Pulau Cendana dikarenakan pada zaman dahulu pulau Sumba merupakan pulau penghasil kayu cendana terbesar. Pulau sumba juga dikenal dengan beberapa sebutan diantaranya, Tana Humba yang berarti Tanah sumba (sumba berasal dari nama istri nenek moyang orang Sumba yang pertama) dan Tana Marapu yang berarti serupa dengan nenek moyang.

Masyarakat pulau Sumba memiliki beragam tradisi turun temurun yang sampai saat ini masih terus dilestarikan. Tradisi tersebut yakni, pertama: kepercayaan Marapu. Kepercayaan Marapu merupakan kepercayaan tertua di pulau Sumba. Kepercayaan Marapu adalah kepercayaan terhadap Dewa atau Ilah yang tertinggi, arwah nenek moyang, makhluk-makhluk halus (roh-roh) dan kekuatan sakti.Kepercayaan Marapu merupakan kepercayaan terhadap nenek moyang.Masyarakat percaya bahwa Marapu dapat menjaga dan melindungi kehidupan mereka.Marapu dipercaya sebagai yang aktif bekerja memantau manusia serta menyampaikan semua perilaku serta permohonan manusia kepada Tuhan. Selain itu Marapu adalah perantara antara manusia dan Tuhan yang tidak disebutamanya yakni yang hanya diam atau dapa teki

ngara dapa api wiwi(Ama wolu ama Rawi) atau pencipta. Masyarakat Sumba

mempercayai bahwa kepercayaan terhadap marapu menggambarkan relasi antara nenek moyang yang sudah meninggal dan keluarga yang masih hidup,

(28)

17

selain itu mereka menjaga dan melindungi keluar masuk keluarga manusia yang masih hidup. Marapu dipercaya oleh masyarakat Sumba sebagai sosok yang aktif bekerja melihat manusia dan nanti menyampaikan segala perilaku serta permohonan manusia kepada Tuhan yang tidak disebut nama-Nya yakni yang hanya diam. Marapu merupakan perantara antara manusia dan Tuhan yang tak disebut Namanya atau dapa teki ngara dapa api wiwi ( Ama wolu

ama Rawi) atau pencipta.38Kedua: belis. Belis atau yang lebih dikenal dengan sebutan mahar oleh masyarakat Indonesia merupakan tradisi seserahan dalam pernikahan masyarakat sumba. Belis dari masyarakat Sumba berupa hewan yakni kuda, kerbau dan sapi.Belis biasanya diberikan oleh keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan dan belis tersebut, jumlahnya ditentukan dari keluarga calon mempelai perempuan.Ketiga: pasola. Pasola merupakan tradisi yang dilakukan setiap tahun, tepatnya di bulan februari sampai maret. Pasola dilakukan di beberapa tempat secara bergantian yakni di Kodi ( Sumba Barat Daya) serta Wanokaka, Lamboya dan Gaura ( Sumba Barat). Atraksi utama dalam upacara pasola ialah adegan saling serang antar kampung sambil menunggang kuda.Pemuda menunggang kuda sambil menghunuskan parang atau yang disebut katopo.Keempat: kede. Kede merupakan tradisi pemberian seserahan dari keluarga kepada keluarga lain yang memiliki ikatan darah ketika salah satu dari keluarga tersebut mengadakan acara-acara tertentu, misalnya syukuran dan kedukaan.

3.2 Rumah Adat Kampung Praijing

BahanBangunanRumahAdatKampungPraijing

Pembangunan rumah adat di kampung Praijing memanfaatkan bahan-bahan alami dan bahan-bahan-bahan-bahan itu diambil ketika bulan sabit dikarenakan masyarakat mempercayai secara turun temurun bahwa kualitas kayunya lebih bagus atau tdak cepat rusak pada bulan ini. Bahan-bahan tersebut diantaranya alang-alang yang digunakan sebagai atap rumah, kayu (biasanya menggunakan kayu mahoni, kayu jati, kayu nangka atau kayu lain yang berukuran besar dan kuat) yang berukuran besar yang digunakan sebagai tiang utama atau tiang

(29)

18

penyangga rumah; bambuyang digunakan sebagai tiang keliling yang berfungsi sebagai tembok rumah, lantaidan bahan pembuatan kandang hewan; serta tali lontar yang digunakan untuk mengikat antara satu bambu dengan bambu yang lain serta bambu dengan alang-alangdan kayu penyangga rumah serta tiang keliling yang didirikan sebagai pengganti tembok.

Proses PembangunanRumahAdatKampungPraijing

Proses pembangunan rumah adat di kampong Praijing dimulai dengan mempersiapkan lahan bangunan. Dalam mempersiapkan lahan bangunan, ada ritual yang dilakukan yakni, ritual nobba (sembahyang)yang bertujuan untuk memohon restu kepada Marapu (para leluhur). Keharusan melaksanakan ritual tersebut dilatarbelakangi oleh kepercayaan masyarakat yang menganggap mori

tana (tuan tanah) adalah setan. Oleh karena itu, ritual tersebut dijalankan

dengan tujuan mencaritahu apakah mori tana (tuan tanah) baik atau jahat serta memohon izin untuk menggunakan lahan tersebut agar proses pembangunan rumah berjalan dengan baik. Kemudian dilanjutkan dengan mempersiapkan bahan-bahan yang akandigunakanuntukmembangunrumah.Biasanya rumah adat dibangun pada bulan-bulan tertentu, yakni bulan Juli, Agustus dan September karena pada bulan ini merupakan musim kemarau sehingga tidak terganggu proses pembuatan rumah, selain itu pada musim ini adalah musim panen daerah setempat sehingga memiliki persediaan makanan untuk menjamu masyarakat yang datang bergotong-royong mengerjakan rumah. Alasan lain yang melatar belakangi pembuatan rumah pada bulan tersebut adalah setelah bulan juli-september yakni bulan Oktober merupakan bulan pahit (wulla

poddu) atau hari raya tahun baru bagi masyarakat yang masih menganut agama

marapu, jika mereka membangun rumah pada bulan ini akan ada sanksi dari tua adat dan rumah yang sementara dibangun akan langsung tersambar petir secara alamiah.

Setelah proses persiapan bahan dilakukan, dilanjutkan dengan membangun rumah tetapi sebelum itu dilakukan ritual nobba agar terhindar dari kecelakaan saat pembuatan rumah. Proses pelaksanaaan ritual ini dipimpin oleh rato atau tua adat. Dalam ritual ini ada hewan yang dipersembahkan yakni ayam, anjing atau babi. Persembahan yang diberikan kepada Marapu dilakukan dengan cara

(30)

19

hewan persembahan disembeli dandibakar. Selain sebagai persembahan, ayam atau babi juga adalah media komunikasi antara Marapu dan ua adat. Tua adat mengetahui petunjuk dari Marapu melalui hati hewan. Setelah hewan dibakar, hewan tersebut dibelah dan dilihat hatinya (hanya tua adat yang mengetahui respon dari Marapu melalui hati hewan) kemudian tua adat menyampaikan respon Marapu kepada keluarga yang hendak membangun rumah. Setelah ritual nobba, pembangunan rumah dilakukan.

Pembagian tingkat rumah adat kampung Praijing

Rumah adat kampung Praijing terdiri dari tiga tingkat. Tingkat Pertama biasa disebut salikabunga; Tingkat kedua biasa disebut umma; Tingkat ketiga biasa disebut umma dana. Tingkat Pertama atau biasa disebut salikabunga merupakan bagian rumah paling bawah merupakan tempat tinggal hewan. Kandang hewan terbuat dari bambu. Hewan-hewan tersebut diantaranya babi, kuda, kambing, ayam.

Tingkat kedua atau biasa disebut umma merupakan tempat tinggal manusia. Pada tingkat kedua terdapat tempat tidur dan tempat duduk yang terbuat dari bambu. Tingkat kedua terbagi atas beberapa bagian. Bagian pertama terletak disebelah kanan yang disebut Balikatonga. Bagian ini adalah tempat laki-laki menjalankan aktivitasnya (misalnya: ritual, tempat istirahat dan lain sebagainya). Bagian kedua terletak disebelah kiri yang disebut

Kerepadalu. Pada bagian ini biasanya kaum perempuan menyimpan bahan

makanan, tempat penyimpanan bahan makanan dan tempat menyediakan makanan. Bagian ketiga terletak dibelakang yang disebut Tutu ngaba. Bagian ini merupakan tempat beristirahatnya orang tua serta tempat penyimpanan pakaian. Bagian keempat terletak didepan yang disebut Tutu aro. Bagian ini merupakan tempat beristirahatnya kaum perempuan yang belum menikah dan para tamu. Bagian kelima, terletak ditengah yang terbagi dalam dua bagian, yang biasa disebut rabbuka dan leki. Rabbuka atau biasa dijuluki “hati dari rumah”. Bagian ini merupakan tempat masak dan tempat pertemuan antara laki-laki dan perempuan (tetapi tetap pada dalam area masing-masing). Leki

(31)

20

atau biasa dijuluki “jantung rumah”. Bagian ini merupakan tempat penyimpanan garam dan daging yang diawetkan.

Tingkat ketiga atau biasa disebut umma dana (loteng) merupakan tempat bersemayamnya dewa, Marapu dan tempat penyimpanan hasil pertanian serta benda-bendas akti. Pada bagian luar, tepatnya diatas atap terdapat dua tiang kecil, yang sebelah kanan melambangkan laki-laki dan sebelah kiri melambangkan perempuan. Selain itu, kedua tiang juga berfungsi sebagai antene yang mengantarkan suara manusia kepada pencipta atau biasa disebut

ama wolu ama rawi.39

3.3 Makna Rumah Adat Sebagai Mikrokosmos Menurut Masyarakat Kampung Praijing.

Menurut Kusumawati, dkk. (2007) bahwa masyarakat Sumba memiliki 3 jenis rumah adat yaitu: rumah adat(uma)atau rumah induk yang berfungsi sebagai pusat dan awal kehidupan keluarga dari sebuah suku (kabisu), dan tempat berlangsungnya ritual kepercayaan terhadap marapu, rumah dusun:sebagai tempat tinggal sehari-hari, rumah kebun: sebagai tempat tinggal saat berkebun atau bercocok tanam. Menurut Penulis, masyarakat Sumba Barat khususnya kampung Praijing memiliki dua jenis rumah yaitu: rumah adat yang berfungsi sebagai tempat berkumpulnya keluarga besar yang berasal dari satu suku (kabisu)dan tempat berlangsungnya ritual adat dan rumah ini ditempati oleh seorang anak laki-laki sulung atau bungsu dari keluarga mereka yang dipilih. rumah dusun adalah rumah yang ditempati masyarakat yang tinggal di sekitar kampung, rumah kebun adalah rumah yang berada jauh dari kampung dan orang yang menempatinya adalah laki-laki yang dipilih dari keluarga mereka untuk bercocok tanam di Kebun.

Bentuk rumah dusun dan rumah kebun merupakan hasil penjiblakan dari rumah adat, ketiga rumah tersebut memiliki susunan yang sama yakni tingkatatas, tingkat tengah, dan tingkat bawah.Pada penelitian ini, penulis memfokuskan penelitiannya pada rumah adat karena rumah adat mencerminkan dari tatanan dunia yakni dunia atas, dunia tengah dan dunia

(32)

21

bawah. Dari tiga dunia ini, menggambarkan mikrokosmos rumah adat Sumba.Selain itu, rumah adat Praijing merupakan mikrokosmos dari kampung Praijing dan bentuk mini dari dunia alam semesta.

Keberadaan Rumah adat masyarakat Kampung Praijing diawali melalui pembangunan rumah yakni mendirikanempat tiang utama yang menopang seluruh badan rumah, tiang keliling, tiang serambi, lantai rumah, atap rumah dan diakhiri dengan pembuatan kandang hewan.

Masyarakat Kampung Praijing memiliki kepercayaan bahwa empat tiang utama atau tiang penopang dari Rumah adat tersebut, memiliki makna masing-masing. Tiang penopang yang pertama disebut pari’i urrata. Tiang ini terletak di bagian depan di sebelah kanan. Tiang ini merupakan tiang yang terpenting karena disinilah tempat penyembahan kepada Marapu atau arwah para leluhur dilakukan. Ritual penyembahan kepada Marapu, rato (tua adat) menanyakan kehendak Marapu dan ketika mendapatkan jawaban dari Marapu biasanya rato (tua adat) menancapkan sebuah tombak di pari’i urrata. Tiang penopang yang kedua disebut kiku katonga. Tiang ini terletak di bagian belakang sebelah kanan.Tiang ini merupakan tiang tempat menggantungkan barang-barang persembahan (uang, parang, kain, sirih-pinang dan lain sebagainya), ketika salah satu anggota keluarga hendak bepergian jauh dalam waktu yang lama atau ketika keluarga selesai melakukan ritual nobba. Tiang penopang yang ketiga disebut pari’i kerepadalu. Tiang ini terletak dibagian depan sebelah kiri. Bagian ini merupakan tempat perempuan menyiapkan makanan. Tiang penopang yang keempat disebut pari’i tutu ngaba.Tiang ini terletak di bagian belakang sebelah kiri. Bagian ini merupakan tempat penyimpanan bahan

pangan.40

(33)

22

3.4 Dampak dari Pemaknaan Rumah Adat Bagi Kehidupan Sosial dan Kemasyarakatan di Kampung Praijing.

DampakdaripemaknaanrumahadatbagikehidupansosialdanKemasyarakatan di KampungPraijing yaitu pembagiantingkat dan bentuk rumah adat kampung Praijing yang terbagi menjadi beberapa ruang merupakan lambang dari adanya pembagian gender sosial masyarakat Sumba. Masyarakat Sumba Barat masih mengenal adanya stratifikasi sosial dan adanya perbedaan gender wanita dan pria. Perbedaan gender terlihat dalam kehidupan sosial misalnya dalam hal pengambilan keputusan, suara laki-laki lebih dinomor satukan daripada suara perempuaan. Pembagian Stratifikasi Sosial pada kampung Praijing tergambar dalam bentuk rumah adat yang memiliki ruang khusus pada wanita dan laki-laki, hal ini merujuk pada Tjahjono (1999) melaporkan bahwa secara simbolik ruang terbagi menjadi luar-dalam, depan-belakang, atas-bawah, kiri-kanan, barat-timur, dan hidup dan mati digambarkan dalam stratifikasi sosial yang berkaitan dengan gender, keluarga dan keturunan, generasi senior dan junior, bahkan antara hidup dan mati, untuk menggambarkan hubungan sosial di suatu masyarakat. Ukuran

dan unsur formal sebuah rumah menggambarkan tingkatan sosial.41

Mross (1995)melaporkan bahwa pembagian ruang dipisahkan berdasarkan pria- wanita (male-female) dan formal-informal.Bagian kanan merupakan ruang yang berfungsi lebih sakral sedangkan bagian kiri digunakan untuk kegiatan sehari-hari dan kebutuhan domestik dalam rumah tangga.Bagian kanan dianggap sebagai area pria sedangkan bagian kiri dianggap sebagai area wanita.Perapian ditengah digunakan untuk memasak sehari-hari atau untuk kebutuhan upacara adat. Bagian depan rumah, termasuk beranda atau teras merupakan area formal sedangkan bagian belakang merupakan area informal. Beranda/teras untuk kaum

41Dilihat di

http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=download&sub=DownloadFile&act=view&typ=ht ml&id=112558&ftyp=potongan&potongan=S2-2017-372904-introduction.pdf pada selasa, 03 April 2018.

(34)

23

wanita terletak dikiri rumah, sehari-hari bersifat informal tetapi menjadi formal

saat ada uppacara adat atau pemakaman.42

Pemaknaan rumah adat sebagai mikrokosmos adalah manusia dapat menjalin relasi yang baik antar sesama manusia, Tuhan serta ciptaan lainnya, masyarakat melakukan rutinitas dengan mempercayai adanya Tuhan yang memiliki otoritas untuk melihat setiap tindakan manusia yang benar atau tidak.Kehidupan sosial dalam satu komunitas atau dalam dunia kecil bisa tercipta relasi atau komunikasi yang baik antara manusia dan ciptaan lainnya yakni hewan dan juga manusia dan kepercayaannya yaitu marapu.Rumah adat Sumba adalah bentuk kepercayaan para masyarakat Sumba yang masih menghormati arwah

leluhur atau nenek moyang mereka.43

3.5 Analisa

Analisa terhadap landasan teori dan hasil penelitian ini terdiri dari dua poin utama yakni makna rumah adat Sumba sebagai mikrokosmos menurut masyarakat Praijing dan dampak dampak dari pemaknaan rumah adat bagi kehidupan sosial dan kemasyarakatan di Kampung Praijing.

Beberapa penelitian terdahulu yang meneliti tentang rumah adat Sumba antara lainWellem (2004) meneliti tentang Historis-Teologis perjumpaan injil masyarakat Sumba pada periode 1876-1990. Dalam penelitian ini menjelaskan bahwa rumah adat orang Sumba digunakan sebagai tempat penyembahan di mana ada dua jenis rumah sebagai tempat penyembahan yaitu uma ndapataungu (rumah tidak berorang) dan uma bokulu (rumah besar).Penelitian lain adalah Irene Umbu Lolo (2a014) dalam buku Arsitektur dan Liturgi Gereja, membandingkan sejauh mana Gereja Kristen Sumba mengkontekstualisasikan rumah adat Sumba pada arsitektur gereja. Dari penelitiannya dilaporkan bahwa rumah adat Sumba bukan

42http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=download&sub=DownloadFile&act=view&typ=

html&id=112558&ftyp=potongan&potongan=S2-2017-372904-introduction.pdf pada senin , 30 April 2018.

(35)

24

hanya sebagai tempat melaksanakan penyembahan ibadah tetapi juga sebagai tempat mempererat persekutuan hubungan keluarga dan sosial.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis melalui wawancara dengan masyarakat setempat, dapat mengambil kesimpulan bahwa makna dari rumah adat kampung praijing adalah sebagai tempat penyembahan kepada arwah

leluhur dan nenek moyang masyarakat setempat (marapu), tempat

melangsungkan kehidupan sosial berkeluarga dan kehidupan sosial dengan masyarakat, sebagai tempat menyimpan hasil pertanian, serta tempat binatang.

Dampakdaripemaknaanrumahadatbagikehidupansosialdankemasyarakatan di KampungPraijing yaitu pembagian ruang dari rumah adat merupakan lambang dari pembagian gender sosial masyarakat Sumba pembagian gender sosial masyarakat Sumba.Selain itu,pemaknaan rumah adat sebagai mikrokosmos adalah manusia dapat menjalin relasi yang baik antar sesama manusia, Tuhan serta ciptaan lainnya, manusia melakukan rutinitas dengan mempercayai adanya Tuhan yang memiliki otoritas untuk melihat setiap tindakan manusia.

(36)

25

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

a. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Makna dari rumah adat kampung praijing bagi masyarakat Sumba Barat adalah sebagai tempat penyembahan kepada arwah leluhur dan nenek moyang masyarakat setempat (marapu),

tempatmelangsungkankehidupan sosial berkeluarga dan

kehidupan sosial dengan masyarakat, sebagai tempat menyimpan hasil pertanian, serta tempat binatang.

2. Dampak dari pemaknaan rumah adat bagi kehidupan sosial dan kemasyarakatan di Kampung Praijing yaitu pembagian ruang dari rumah adat merupakan lambang dari pembagian gender sosial masyarakat Sumba. Selain itu, pemaknaan rumah adat sebagai mikrokosmos adalah manusia dapat menjalin relasi yang baik antar sesama manusia, Tuhan serta ciptaan lainnya, manusia melakukan rutinitas dengan mempercayai adanya Tuhan yang memiliki otoritas untuk melihat setiap tindakan manusia.

b. Saran

1. Hasil penelitian ini diharapkan masyarakat setempat dan masyarakat dari daerah luar dapat mengerti makna dan dampak dari pemaknaaanadat bagi kehidupan sosial, serta adanya sikap membudidayakan yang berkelanjutan rumah adat Praijing Sumba Barat.

2. Diharapkan peneliti selanjutnya meneliti lebih fokus kepada dampak dari pemaknaaan rumah adat bagi kehidupan sosial serta hubungan dengan doktrin gereja di Sumba Barat.

(37)

26

DAFTAR PUSTAKA

Amos, Jefri. Uniknya Upacara Tarik Batu di Sumba, diakses dari

https://jefryamos.wordpress.com/2014/12/23/uniknya-upacara-tarik-batu-di-sumba/, pada tanggal 06 November 2017 pukul 20.33

Dewi, NI Ketut Agusinta. Wantah Geometri, Simetri, dan Religiusitas Pada Rumah Tradisional di Indonesia. Jurnal Pemukiman “Natah” Vol 1 Nomor 1.Bali, Februari 2003.

Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin, Perumahan dan Permukiman Tradisional Bali, Jurnal Permukiman Natah Vol 1 Nomor 1. Bali, Februari 2003.

Faisal, Snapiah. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

Kana Christoffel, Andre Z. Soh, M. A. Patty, H. Bunga dan S. P. Manao.

Arsitektur Tradisional Daerah Nusa Tenggara Timur. Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1986.s

Kartono, J. Lukito. Ruang, Manusia dan rumah Tinggal.Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur, Vol 27 Nomor 2. Surabaya, Desember 1999.

Koentjaraningrat.Kebudayaan, Mentalited dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia, 1974

Koentjaraningrat. Metode–metodePenelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997.

Mulyana Deddy dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi antar Budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010.

Neonbasu, Gregor SVD. Kebudayaan: Sebuah Agenda. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utara. 2013

Pitana, Titis S. Reproduksi Simbolik Arsitektur Tradisonal Jawa, Gema Teknik-

Nomor 2 Tahun X. Surabaya. 2007. 126-133.

Soleiman, Yusak, H Ongirwalu, Danang Kurniawan. Arsitektur dan Liturgi

Gereja. Jakarta:Persetia, 2015.

Strisno Mudji dan Hendar Putranto. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius, 2005.

Sudarwani, M. M. Simbolisasi Rumah Tinggal Etnis Cina. Jurnal Momentum, Vol 8 Nomor 2. Semarang, Oktober 2012.

(38)

27

Timo, Eben Nuban. Pemberita Firman Pecinta Budaya. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.

Timo, Eben Nuban. Sidik Jari Allah dalam Budaya. Yogyakarta: Ledalero,2009. Uhi, Jannes Alexander. Filsafat Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016.

Wade Carole dan Carol Tavris, Psikologi . Jakarta: Erlangga, Edisi 9 Jilid 1. Welem, F.D.Injildan Masyarakat. Jakarta: PT. BPK GunungMulia, 2004.

Gambar

Gambar 1. Rumah Adat Sumba
Gambar 2. Kampung Adat Praijing

Referensi

Dokumen terkait

(a) The amount of the GEF Trust Fund Grant may be withdrawn from the GEF Trust Fund Grant Account in accordance with the provisions of Schedule l to this Agreement for

Pada hakekatnya SHU yang dibagi kepada anggota adalah yang bersumber dari anggota sendiri. Sedangkan SHU yang bukan berasal dari hasil transaksi dengan anggota

Berdasarkan nilai adjusted R 2 yang diperoleh, dapat diartikan bahwa seluruh variabel bebas yang digunakan dalam penelitian, yaitu produksi kopi Jawa Tengah, volume ekspor

This study is conducted to determine the supply chain of disposable medical devices from the two procurement systems that is in the strategic quadrant.. From the study with

Odre đ ene grupe AB i antimikotici su poznati da stupaju u interakcije sa mnogim drugim lekovima, ali potencijal za stupanje u interakcije unutar istih klasa lekova je razli č

RAWATAN KANSER PESAKIT LUAR TAHUNAN Jika Orang Yang Diinsuranskan didiagnosis menghidap kanser seperti yang tertakluk di dalam Definasi Penyakit Kritikal, Syarikat akan

Bersama ini kami sampaikan bahwa berdasarkan hasil penelitian administrasi bakal calon anggota PPK Kecamatan Koto Balingka diumumkan nama-nama yang memenuhi

Wasiat Wajibah bagi Ahli Waris beda Agama menurut Perspektif Hukum Positif di Indonesia .... Pendapat ulama mengenai wasiat wajibah bagi ahli waris beda