• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DISPARITAS PENJATUHAN PIDANA TERHADAP PESERTA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Putusan Nomor 150/Pid.B/2015/PN.Met)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS DISPARITAS PENJATUHAN PIDANA TERHADAP PESERTA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Putusan Nomor 150/Pid.B/2015/PN.Met)"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DISPARITAS PENJATUHAN PIDANA TERHADAP PESERTA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

(Studi Putusan Nomor 150/Pid.B/2015/PN.Met)

(Jurnal)

Oleh Ayu Purba Sari NPM. 1412011064

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

ANALISIS DISPARITAS PENJATUHAN PIDANA TERHADAP PESERTA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

(Studi Putusan Nomor 150/Pid.B/2015/PN.Met) Oleh

Ayu Purba Sari, Eddy Rifai, Diah Gustiniati email : ayuprbs5@gmail.com

Penyertaan dalam Pasal 55 KUHP di klasifikasikan atas 4 (empat) bagian yaitu, pleger, doen pleger, medepleger, uitlokker. Suatu penyertaan dikatakan terjadi jika dalam suatu peristiwa tindak pidana terlibat lebih dari satu orang. Keterlibatan seseorang dalam peristiwa pidana ini dapat dilakukan secara psikis maupun pisik, sehingga harus dicari pertanggungjawaban masing-masing orang yang terlibat dalam peristiwa pidana tersebut. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pertanggungjawaban pidana peserta tindak pidana pembunuhan dan apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana yang berbeda terhadap peserta tindak pidana pembunuhan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris dengan menggunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka, kemudian data primer diperoleh melalui studi lapangan dengan cara observasi dan wawancara.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa pertanggungjawaban pidana peserta tindak pidana pembunuhan dalam Putusan Pengadilan Negeri Metro Nomor 150/Pid.B/2015/PN.Met di mana dalam hal pertanggungjawaban pidananya hakim menganggap bahwa para pelaku mampu bertanggung jawab, ada kesalahan dan tidak ada alasan pemaaf. Selanjutnya hakim menjatuhkan sanksi kepada pelaku berdasarkan Pasal 339 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta menjatuhkan sanksi pidana terhadap kedua pelaku yaitu Terdakwa 1. Agus Andika Saputra alias Andi Bin M. Yusuf selama 18 (delapan belas) tahun dan Terdakwa 2. Ridwan Firdaus alias Iwan Bin Sulaiman selama 16 (enam belas) tahun. Kemudian pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana yang berbeda terhadap peserta tindak pidana pembunuhan didasarkan pada teori keseimbangan yaitu adanya keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang terkait, keseimbangan itu berkaitan dengan kepentingan terdakwa, korban atau keluarga korban dan kepentingan masyarakat. Perbedaan yang melatarbelakangi pertimbangan hakim sehingga Agus Andika Saputra mendapatkan sanksi pidana yang lebih berat dikarenakan Agus Andika Saputra yang menjadi pelaku utama dengan melakukan sendiri pembunuhan sekaligus residivis, sedangkan Terdakwa Ridwan Firdaus merupakan peserta dalam tindak pidana pembunuhan dan belum pernah dihukum. Saran dalam penelitian ini adalah hakim harus bersih dan bebas dari pengaruh pihak lain sehingga setiap putusan yang diambil benar-benar murni berdasarkan hasil pemeriksaan di dalam sidang yang menjadi dasar penentuan-penentuan kesalahan terdakwa. Kemudian Jaksa Penuntut Umum harus teliti dan cermat dalam menyusun surat dakwaan, mengingat surat dakwaan merupakan dasar bagi hakim untuk menjatuhkan atau tidak menjatuhkan pidana terhadap pelaku yang dihadapkan di muka persidangan.

(3)

ABSTRACT

THE DISPARITY ANALYSIS OF CRIMINAL PENALING ON PARTICIPANTS OF CRIMINAL ACCIDENTS (Study of Decision Number 150/Pid.B/2015/PN.Met)

Inclusion in Article 55 of the Criminal Code is classified into 4 (four) sections namely, pleger, doen pleger, medepleger, uitlokker. An inclusion is said to occur if in an event a criminal act involves more than one person. Involvement of a person in this criminal incident can be done psychically or physically, so that should be sought accountability of each person involved in the criminal event. The problem in this research is how the criminal responsibility of the crime killer and what is the basis of judge's consideration in imposing different criminal punishment on the murderer.

The method used in this research is normative juridical and empirical juridical research using secondary data and primary data. Secondary data obtained through literature study, then primary data obtained through field study by way of observation and interview.

The results of the study and discussion show that the criminal liability of the participants of the murder crime in the Decision of the Metro District Court Number 150/Pid.B/2015/PN Met where in the case of criminal liability the judge considers that the perpetrators are capable of responsibility, there are errors and no excuses . Furthermore the judge imposed sanctions on the perpetrators under Article 339 jo Article 55 paragraph (1) to the 1st Criminal Law Code and impose criminal sanctions on the two perpetrators namely Defendant 1. Agus Andika Saputra alias Andi Bin M. Yusuf for 18 (eighteen) year and Defendant 2. Ridwan Firdaus aka Iwan Bin Sulaiman for 16 (sixteen) years. Then the judge's consideration in imposing different criminal offenses on the murder offender is based on balance theory. The difference is the background of the judge's consideration so that Agus Andika Saputra get heavier penal sanctions due to Agus Andika Saputra who became the main perpetrator by doing his own murder as well as the recidivist in the case of theft in the incriminating circumstances, while Defendant Ridwan Firdaus is a participant in murder and not yet had been punished.

Suggestion in this research is judge must be clean and free from influence of other party so that every decision taken purely purely based on result of examination in session which become base of determination of defendant's mistake. The imposition of a sentence is not merely a retaliation tool for the defendant's wrongdoing but his intention to influence the behavior of the perpetrators not to repeat his actions in the future, to free the guilt of the perpetrator, to socialize the perpetrator and to assure a better life after serving. Then the Public Prosecutor should be careful and thorough in preparing the indictment, since the indictment is the basis for the judge to drop or not to impose a criminal sanction against the perpetrator faced before the court. In addition, must also have the knowledge or science of law well, not only the law in formal but also the law materially so as not wrong in determining where the deeds in accordance with the elements that are indicted.

(4)

I. PENDAHULUAN

Pembunuhan merupakan suatu perbuatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa (jiwa) seseorang, di mana nyawa tersebut merupakan hakekat hidup manusia. Masalah pembunuhan tidak hanya menyangkut perbuatan pidana saja, tetapi juga menyangkut hak asasi manusia karena dianggap bertentangan dengan rasa keadilan. Tindak pidana pembunuhan dengan berbagai alasan sudah menjadi problematika sosial yang semakin meluas, baik di pedesaan hingga di perkotaan dan tindak pidana pembunuhan tidak memandang status gender dan strata sosial. Tindak pidana pembunuhan yang terjadi seringkali dijumpai dengan adanya perbarengan tindak pidana (concursus), di mana seorang pelaku melakukan dua atau lebih tindak pidana lainnya di samping tindak pidana pembunuhan. Perbarengan atau gabungan tindak pidana (concursus realis) pada tindak pidana pembunuhan yang seringkali terjadi misalnya yang dibarengi dengan tindak pidana pencurian, pemerkosaan atau penganiayaan. Sehubungan dengan tindak pidana pembunuhan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP) telah mengaturnya dalam Pasal 338 sampai dengan Pasal 450 KUHP, yang ancamannya berbeda-beda tergantung dari jenis pembunuhan yang dilakukan.

Penyertaan (deelneming) dalam hukum positif yaitu ada dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan perkataan ada dua orang atau lebih mengambil bagian untuk mewujudkan suatu tindak pidana dapat disebutkan bahwa seseorang tersebut turut serta dalam

hubungannya dengan orang lain (diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHP).1

Penyertaan dalam Pasal 55 KUHP di klasifikasikan atas 4 (empat) bagian yaitu,

pleger, doen pleger, medepleger, uitlokker. Suatu penyertaan dikatakan terjadi jika dalam suatu peristiwa tindak pidana terlibat lebih dari satu orang. Keterlibatan seseorang dalam peristiwa pidana ini dapat dilakukan secara psikis maupun pisik, sehingga harus dicari pertanggungjawaban masing-masing orang yang terlibat dalam peristiwa pidana tersebut. Harus dicari sejauh mana peranan masing-masing, sehingga dapat diketahui sejauh mana pertanggungjawabannya. Adapun pada Pasal 56 KUHP mengatur mengenai orang digolongkan sebagai orang yang membantu melakukan tindak pidana (medeplichtig) atau pembantu.

Hakim memiliki pendapat yang berbeda-beda baik dari segi pertimbangan yuridis maupun pertimbangan sosiologis yang disebut sebagai pertimbangan hakim. Mengenai pertimbangan hakim sendiri diatur di dalam Pasal 197 ayat (1) KUHP yang menentukan pertimbangan disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan-penentuan kesalahan terdakwa. Hal tersebut berdampak terhadap penerapan sanksi pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same offense) dalam prakteknya di pengadilan atau biasa disebut dengan disparitas putusan hakim. Putusan pengadilan atau biasa juga disebut dengan putusan hakim sangat diperlukan untuk menyelesaikan suatu perkara pidana.

1 Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, Refika

(5)

Dengan adanya putusan hakim diharapkan para pihak yang berperkara khususnya bagi terdakwa dapat memperoleh kepastian hukum tentang statusnya sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya antara lain menerima putusan, melakukan upaya hukum banding, kasasi, grasi dan sebagainya. Adapun bagi korban atau keluarga korban, sanksi pidana yang dijatuhkan oleh hakim kepada terdakwa dapat memberikan rasa keadilan akibat kejahatan yang dilakukan terdakwa.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana peserta tindak pidana pembunuhan ?

2. Apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana yang berbeda terhadap peserta tindak pidana pembunuhan ?

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.

II. PEMBAHASAN

A. Pertanggungjawaban Pidana Peserta Tindak Pidana Pembunuhan

Hukum pidana mensyaratkan bahwa untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal Ini berarti harus diperhatikan dahulu yang dinyatakan sebagai pembuat untuk suatu tindak pidana. Soalnya apakah pertanggungjawaban itu diminta atau tidak yang terpenting adalah pada kebijakan pihak yang berkepentingan untuk memutuskan apakah merasa perlu atau tidak menurut pertanggungjawaban tersebut. Masalah ini menyangkut subjek tindak pidana yang pada umumnya oleh si

pembuat undang-undang untuk tindak pidana yang bersangkutan. Namun dalam kenyataannya, tidaklah mudah untuk memastikan siapakah si pembuatnya karena untuk menentukan siapa yang bersalah harus sesuai dengan proses yang ada yaitu melalui proses sistem peradilan pidana. Seseorang yang melakukan tindak pidana baru boleh dihukum apabila si pelaku sanggup mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah diperbuatnya, masalah penanggungjawaban erat kaitannya dengan kesalahan, oleh karena adanya asas pertanggungjawaban yang menyatakan dengan tegas "Tidak dipidana tanpa ada kesalahan" untuk menentukan apakah seorang pelaku tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana, akan dilihat apakah orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan. Secara doktriner kesalahan diartikan sebagai keadaan psikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan tindak pidana dan adanya hubungan antara kesalahan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan dengan sedemikian rupa, sehingga orang tersebut dapat dicela karena, melakukan perbuatan pidana.

Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang, ia akan diminta pertanggungjawaban apabila perbutan tersebut melanggar hukum. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya orang yang mampu bertanggung

jawab yang dapat diminta

pertanggungjawaban.

(6)

badan hukum), ada perbuatan (baik aktif maupun pasif), ada kesalahan (baik sengaja maupun kelalaian), mampu bertanggung jawab (tidak ada alasan pemaaf dan tidak ada alasan pembenar) serta bersifat melawan hukum (sesuai dengan asas legalitas).2

Untuk dapat didakwanya seseorang sebagai pelaku tindak pidana, maka disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang

dilarang, seseorang akan

dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan-tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggungjawablah yang dapat mempertangungjawabkan perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan.3

Sejalan dengan hal tersebut, Octiawan Basri kemudian menjelaskan bahwa pertanggungjawaban pidana mempunyai unsur-unsur yang terdiri dari :

1. Mampu bertanggung jawab. Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan terhadap pelaku, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya

2 Hasil Wawancara dengan Octiawan Basri, Hakim

Pengadilan Negeri Metro, Pada Tanggal 20 Maret 2018, Pkl. 11.24

3 Hasil Wawancara dengan Santi Purba, Jaksa

Kejaksaan Negeri Metro, pada Tanggal 20 Maret 2018, Pkl. 09.14

yang telah ditentukan dalam undang-undang.

2. Kesalahan dianggap ada, apabila dengan sengaja atau karena kelalaian telah melakukan perbuatan yang menimbulkan keadaan atau akibat yang dilarang oleh hukum pidana dan dilakukan dengan mampu bertanggung jawab.

3. Tidak ada alasan pemaaf. Hubungan pelaku dengan tindakannya ditentukan oleh kemampuan bertanggung jawab dari pelaku. Ia menginsyafi hakekat dari tindakan yang akan dilakukannya, dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan dan dapat menentukan apakah akan dilakukannya tindakan tersebut atau

tidak. Tiada terdapat “alasan pemaaf”,

yaitu kemampuan bertanggung jawab, bentuk kehendak dengan sengaja atau alpa, tiada terhapus keselahannya atau tiada terdapat alasan pemaaf, adalah termasuk dalam pengertian kesalahan.4 Menurut penjelasan Octiawan Basri bahwa di dalam KUHP masalah kemampuan bertanggung jawab ini terdapat dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP yang berbunyi :

“Barangsiapa melakukan perbuatan yang

tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat,

tidak dipidana.”

Pelaku tindak pidana (Dader) menurut doktrin adalah barang siapa yang melaksanakan semua unsur-unsur tindak pidana sebagai mana unsur-unsur tersebut dirumuskan di dalam undang-undang menurut KUHP.

Seperti yang dijelaskan di dalam Pasal 55 (1) KUHP yang berbunyi:

(1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:

4 Hasil Wawancara dengan Octiawan Basri, Hakim

(7)

1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; 2. mereka yang dengan memberi atau

menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP (1) di atas, bahwa pelaku tindak pidana itu dapat dibagi dalam 4 (empat) golongan sebagai berikut :

1. Orang yang melakukan sendiri tindak pidana (pleger)

Dari berbagai pendapat para ahli dan dengan pendekatan praktik dapat diketahui bahwa untuk menentukan seseorang sebagai yang melakukan

(pleger)/pembuat pelaksana tindak pidana secara penyertaan adalah dengan 2 kriteria:

a. perbuatannya adalah perbuatan yang menetukan terwujudnya tindak pidana,

b. perbuatannya tersebut memenuhi seluruh unsur tindak pidana.

2. Orang yang menyuruh orang lain untuk melakukan tindak pidana (doen pleger) Undang-undang tidak menjelaskan tentang siapa yang dimaksud dengan yang menyuruh melakukan itu. Untuk mencari pengertian dan syarat untuk dapat ditentukan sebagai orang yang melakukan (doen pleger), pada umumnya para ahli hukum merujuk pada keterangan yang ada dalam MvT WvS Belanda, yang berbunyi bahwa “yang menyuruh melakukan adalah dia

juga yang melakukan tindak pidana, tapi tidak secara pribadimelainkan dengan perantara orang lain sebagai alat di dalam tangannya apa bila orang lain itu melakukan perbuatan tanpa

kesengajaan, kealpaan atau tanpa tanggungjawab, karena sesuatu hal yang tidak diketahui, disesatkan atau

tunduk pada kekerasan”.

a. Orang lain sebagai alat di dalam tangannya

Yang dimaksud dengan orang lain sebagai alat di dalam tangannya adalah apabila orang/pelaku tersebut memperalat orang lain untuk melakukan tindak pidana. Karena orang lain itu sebagai alat, maka secara praktis pembuat penyuruh tidak melakukan perbuatan aktif. Dalam doktrin hukum pidana orang yang diperalat disebut sebagai

manus ministra sedangkan orang yang memperalat disebut sebagai

manus domina juga disebut sebagai

middelijke dader (pembuat tidak langsung).

Ada tiga konsekuensi logis, terhadap tindak pidana yang dilakukan dengan cara memperlalat orang lain: 1) Terwujudnya tindak pidana

bukan disebabkan langsung oleh pembuat penyuruh, tetapi oleh perbuatan orang lain (manus ministra);

2) Orang lain tersebut tidak bertanggung jawab atas perbuataH nnya yang pada kenyataannya telah melahirkan tindak pidana;

3) Manus ministra ini tidak boleh dijatuhi pidana, yang dipidana adalah pembuatan penyuruh. b. Tanpa kesengajaan atau kealpaan

(8)

inisiatif perbuatan datang dari pembuat penyuruh, demikian juga niat untuk mewujudkan tindak pidana itu hanya berada pada pembuat penyuruh (doen pleger). c. Karena tersesatkan

Yang dimaksud dengan tersesatkan disini adalah kekeliruan atau kesalahpahaman akan suatu unsur tindak pidana yang disebabaklan oleh pengaruh dari orang lain dengan cara yang isinya tidak benar, yang atas kesalahpahaman itu maka memutuskan kehendak untuk berbuat. Keadaan yang menyebabkan orang lain itu timbul kesalahpahaman itu adalah oleh sebab kesengajaan pembuat penyuruh sendiri.

d. Karena kekerasan

Yang dimaksud dengan kekerasan

(geweld) di sini adalah perbuatan yang dengan menggunakan kekerasan fisik yang besar, yang in casu ditujukan pada orang, mengakibatkan orang itu tidak berdaya. Di dalam hukum orang yang disuruh melakukan ini dikategorikan sebgai manus ministra, sementara orang menyuruh melakukan dikategorikan manus domina.

Menurut Moeljatno, kemungkinan-kemungkinan tidak dipidananya orang yang disuruh, karena:

1) tidak mempunyai kesengaaan, kealpaan ataupun kemampuan bertanggung jawab;

2) berdasarkan Pasal 44 KUHP; 3) daya paksa Pasal 48 KUHP; 4) berdasarkan Pasal 51 ayat 2

KUHP; dan

5) orang yang disuruh tidak mempunyai sifat/kualitas yang disyaratkan dalam delik, misalnya Pasal 413-437 KUHP).

3. Orang yang turut melakukan tindak pidana (mede pleger)

KUHP tidak memberikan rumusan secara tegas siapa saja yang dikatakan turut melakukan tindak pidana, sehingga dalam hal ini menurut doktrin untuk dapat dikatakan turut melakukan tindak pidana harua memenuhi dua syarat : a. harus adanya kerja sama secara fisik b. harus ada kesadaran bahwa mereka

satu sama lain bekerjasama untuk melakukan tindak pidana

Yang dimaksud dengan turut serta melakukan (medepleger), oleh MvT dijelaskan bahwa yang turut serta melakukan ialah setiap orang yang sengaja berbuat (meedoet) dalam melakukan suatu tindak pidana. Penjelasan MvT ini, merupakan penjelasan yang singkat yang masih membutuhkan penjabaran lebih lanjut. Dari berbagai pandangan para ahli tentang bagaimana kategori untuk menentukan pembuat peserta

(medepleger), maka dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk menentukan seseorang sebagai pembuat peserta yaitu apabila perbuatan orang tersebut memang mengarah dalam mewujudkan tindak pidana dan memang telah terbentuk niat yang sama dengan pembuat pelaksana (pleger) untuk mewujudkan tindak pidana tersebut. Perbuatan pembuat peserta tidak perlu memenuhi seluruh unsur tindak pidana, asalkan perbuatannya memiliki andil terhadap terwuudnya tindak pidana tersebut, serta di dalam diri pembuat peserta telah terbentuk niat yang sama dengan pembuat pelaksana untuk mewujudkan tindak pidana.

(9)

a) harus adanya seseorang yang mempunyai kehendak untuk melakukan tindak pidana

b) harus ada orang lain yang digerakkan untuk melakukan tindak pidana

c) cara menggerakan harus menggunakan salah satu daya upaya yang tersebut didalam Pasal 55 ayat (1) sub 2e (pemberian, perjanjian, ancaman, dan lain sebagainya)

d) orang yang digerakan harus benar-benar melakkan tindak pidana sesuai dengan keinginan orang yang menggerakan

Ditinjau dari sudut pertanggung-jawabannya maka Pasal 55 ayat (1) KUHP tersebut di atas kesemua mereka adalah sebagai penanggung jawab penuh, yang artinya mereka semua diancam dengan hukuman maksimum pidana pokok dari tindak pidana yang dilakukan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Octiawan Basri bahwa adanya peserta tindak pidana atau yang biasa disebut penyertaan atau deelneming terjadi apabila dalam suatu tindak pidana terlibat lebih dari satu orang. Sehingga harus dicari pertanggungjawaban masing-masing orang yang tersangkut dalam tindak pidana tersebut sebagaimana berikut :

1. Pelaku

Keterlibatan seseorang dalam suatu tindak pidana dapat dikategorikan sebagai:

a. Yang melakukan.

b. Yang menyuruh melakukan. c. Yang turut melakukan.

d. Yang menggerakkan/menganjurkan untuk melakukan.

e. Yang membantu melakukan.

Penyertaan diatur di dalam Pasal 55, 56, dan 57 KUHP.

Dalam Pasal 55 KUHP dijelaskan bahwa klasifikasi pelaku adalah :

1) Mereka yang melakukan

Yaitu pelaku tindak pidana yang pada hakekatnya memenuhi semua unsur dari tindak pidana. Dalam arti sempit, pelaku adalah mereka yang melakukan tindak pidana. Sedangkan dalam arti luas meliputi keempat klasifikasi pelaku diatas yaitu mereka yang melakukan perbuatan, mereka yang menyuruh melakukan, mereka yang turut serta melakukan dan mereka yang menganjurkan.

2) Mereka yang menyuruh melakukan Yaitu seseorang ingin melakukan suatu tundak pidana, akan tetapi ia tidak melaksanakannya sendiri. Dia menyuruh orang lain untuk melaksanakannya. dalam penyertaan ini orang yang disuruh tidak akan dipidana, sedang orang yang menyuruhnya dianggap sebagai pelakunya. Dialah yang bertanggung jawab atas peristiwa pidana karena suruhannyalah terjadi suatu tindak pidana.

3) Mereka yang turut serta

Yaitu mereka yang ikut serta dalam suatu tindak pidana. Terdapat syarat dalam bentuk mereka yang turut serta, antara lain:

a) Adanya kerja sama secara sadar dari setiap peserta tanpa perlu ada kesepakatan, tapi harus ada kesengajaan untuk mencapai hasil berupa tindak pidana. b) Ada kerja sama pelaksanaan

secara fisik untuk melakukan tindak pidana.

c) Setiap peserta pada turut melakukan diancam dengan pidana yang sama.

4) Mereka yang menggerakkan/ menganjurkan/membujuk

(10)

sendiri, melainkan menggerakkan orang lain untuk melaksanakan niatnya itu.

Syarat-syarat penggerakkan yang dapat dipidana :

a) Ada kesengajaan menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana.

b) Menggerakkan dengan upaya-upaya yang ada dalam Pasal 55 ayat (1) butir ke-2 KUHP :

pemberian, janji,

penyalahgunaan kekuasaan atau pengaruh kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, memberi kesempatan, alat, keterangan. c) Ada yang tergerak untuk

melakukan tindak pidana akibat sengaja digerakkan dengan upaya-upaya dalam Pasal 55 ayat (1) butir ke-2 KUHP.

d) Yang digerakkan melakukan delik yang dianjurkan atau percobaannya

e) Yang digerakkan dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana

Kemudian klasifikasi menurut Pasal 56 dan 57 KUHP yaitu membantu melakukan yaitu dengan adanya pembantuan akan terlibat lebih dari satu orang di dalam suatu tindak pidana. Ada orang yang melakukan yaitu pelaku tindak pidana dan ada orang lain yang membantu terlaksananya tindak pidana itu.

2. Pembantuan

Dalam pembantuan akan terlibat lebih dari satu orang di dalam suatu tindak pidana. Ada orang yang melakukan tindak pidana yakni pelaku tindak pidana itu dan ada orang lain yang lagi membantu terlaksananya tindak pidan itu. Hal ini diatur dalam Pasal 56

KUHP, yang menyebutkan “Dipidana

sebagai pembantu kejahatan kejahatan”

:

(1) Mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada saat kejahatan yang dilakukan.

(2) Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Sehubungan dengan hal membantu dalam delik pelanggaran tidak dipidana. Hal ini dipertegas dalam Pasal 60 KUHP. Membantu dalam delik pelanggaran tidak dipidana karena dianggap demikan kecil kepentingan hukum yang dilanggar.

Melihat Pasal 56 KUHP bahwa pembantuan dapat dibedakan berdasarkan waktu diberikannya suatu bantuan terhadap kejahatan, antara lain: 1. Apabila bantuan diberikan pada saat

kejahatan dilakukan, tidak dibatasi jenis bantuannya. Berarti jenis bantuan apapun yang diberikan oleh orang yang membantu dalam suatu kejahatan dapat dipidana.

2. Apabila bantuan diberikan sebelum kejjahatan dilakukan, jenis bantuan dibatasi yaitu kesempatan, sarana dan keterangan.

Mengenai pertanggungjawaban pembantu termasuk ancaman pidananya, termuat dalam Pasal 57 KUHP yang berbunyi: (1) Dalam hal pembantuan, maksimum

pidana pokok terhadap kejahatan dikurangi sepertiga.

(2) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

(3) Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri. (4) Dalam menentukan pidana bagi

(11)

Berdasarkan hasil wawancara dengan Erna Dewi diperoleh penjelasan bahwa dalam menguraikan penyertaan melakukan tindak pidana, harus diketahui lebih dahulu siapa pelaku tindak pidana, sebab pada hakikatnya penyertaan dalam suatu tindak pidana akan mencari siapa yang bertanggung jawab atas terjadinya suatu tindak pidana. Dalam hal ini pelaku tindak pidana dibedakan antara pelaku menurut doktrin dan pelaku menurut KUHP. Pelaku tindak pidana menurut doktrin adalah mereka yang telah memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang dituduhkan. Sedangkan pelaku menurut KUHP adalah sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam KUHP, sehingga terjadi kemungkinan seseorang yang tidak memenuhi unsur dari tindak pidana dapat diklasifikasikan sebagai pelaku. Penyertaan terjadi apabila dalam suatu peristiwa pidana terdapat lebih dari satu orang, sehingga harus dicari pertaunggungjawaban dan peranan masing-masing peserta dalam persitiwa tersebut. Hubungan antar peserta dalam menyelesaikan delik tersebut dapat berupa bersama-sama melakukan kejahatan, seorang mempunyai kehendak dan merencanakan suatu kejahatan sedangkan ia mempergunakan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut atau seorang saja yang melaksanakan tindak pidana, sedangkan orang lain membantu melaksanakan.5

Menurut hasil wawancara dengan Santi Purba, bahwa surat dakwaan merupakan dasar bagi Jaksa Penuntut Umum untuk menyusun sebuah surat tuntutan dan merupakan dasar bagi hakim untuk menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Oleh karena itu, dalam membuat surat dakwaan, Penuntut umum dituntut untuk mengaplikasikan ilmunya sebagai sarjana hukum dalam pembuatan

5 Hasil Wawancara dengan Erna Dewi, Dosen

Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, Pada Tanggal 19 Maret 2018, Pkl. 09.48

surat dakwaan tersebut, bukan saja keahlian di bidang hukum pidana formil tapi juga mengenai hukum pidana materiil seperti unsur-unsur dari perbuatan yang akan didakwakan apakah telah terpenuhi atau tidak. Dalam membuat surat dakwaan ada beberapa syarat yang harus terpenuhi agar suatu dakwaan dianggap sah.6

Syarat tersebut terdapat dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP yang dirumuskan sebagai berikut: Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi :

a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka.

b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Octiawan Basri berpendapat bahwa sebagaimana perbuatan yang dilakukan oleh tersangka, di mana kemudian berdasarkan dakwaan Jaksa terhadap tersangka, Hakim kemudian bersepakat bahwa terhadap apa yang dilakukan oleh Agus Andika Saputra alias Andi Bin M. Yusuf dan Ridwan Firdaus alias Iwan Bin Sulaiman yang mengakibatkan orang meninggal dunia terdapat perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 339 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Penerapan pasal ini disebabkan bahwa semua unsur-unsur sebagaimana pada dakwaan Jaksa telah terpenuhi sehingga kemudian berdasarkan pertimbangan hakim termasuk terhadap hal-hal yang memberatkan maupun meringankan terhadap Terdakwa dijatuhkan sanksi pidana penjara Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa 1. Agus Andika Saputra alias Andi Bin M. Yusuf selama 18

6 Hasil Wawancara dengan Santi Purba, Jaksa

(12)

(delapan belas) tahun dan Terdakwa 2. Ridwan Firdaus alias Iwan Bin Sulaiman selama 16 (enam belas) tahun sehingga dalam hal ini putusan pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa lebih berat daripada tuntutan jaksa.7

Menurut analisis penulis bahwa suatu pembunuhan digolongkan dalam tindak pidana dari sudut yuridis, di mana tindak pidana adalah perbuatan yang bertentangan dengan moral kemanusiaan, merugikan masyarakat yang telah dirumuskan dan ditentukan oleh perundang-undangan pidana. Perbuatan menghilangkan nyawa orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 338 KUHP, harus memenuhi syarat seperti adanya wujud perbuatan, adanya akibat berupa kematian (orang lain) dan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara perbuatan dengan akibat yang berupa kematian. Kemudian selanjutnya berdasarkan kasus di atas penulis setuju bahwa terhadap pelaku didakwa dengan Pasal 339 KUHP di mana terjadinya pembunuhan tersebut diikuti, disertai, atau didahului oleh kejahatan dan yang dilakukan dengan maksud untuk memudahkan perbuatan itu, jika tertangkap tangan, untuk melepaskan diri sendiri atau pesertanya daripada hukuman, atau supaya barang yang didapatkannya dengan melawan hukum tetap ada dalam tangannya, di mana sanksinya pelaku dapat dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun. Penulis berpendapat bahwa sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri Metro Nomor 150/Pid.B/2015/PN.Met, pelaku yang terbukti melakukan perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 339 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Penulis sepakat bahwa terhadap para pelaku dijatuhi sanksi

7 Hasil Wawancara dengan Octiawan Basri, Hakim

Pengadilan Negeri Metro, Pada Tanggal 20 Maret 2018, Pkl. 11.29

pidana lebih berat daripada dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Hal ini dengan mempertimbangkan bahwa tiada alasan pemaaf bagi para pelaku, sedangkan hal-hal yang meringankan yaitu terdakwa bersikap sopan dan mengakui perbuatannya tidaklah sebanding dengan hal yang memberatkan di mana perbuatan terdakwa sangat keji dan berbahaya dengan menggunakan senjata api rakitan, perbuatan tersebut juga sangat meresahkan masyarakat, menimbulkan trauma yang mendalam bagi keluarga akibat korban yang meninggal dunia sehingga istri dan anak-anak kehilangan tulang punggung keluarga, di samping itu terdakwa termasuk dalam sindikat pencurian kendaraan bermotor yang telah berulang kali melakukan perbuatan pidananya dan khusus bagi Terdakwa I merupakan seorang residivis dalam perkara pencurian dalam keadaan memberatkan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dianalisis bahwa pertanggungjawaban pidana peserta tindak pidana pembunuhan, di mana dalam hal pertanggungjawaban pidananya hakim menganggap bahwa para pelaku mampu bertanggung jawab, ada kesalahan dan tidak ada alasan pemaaf.

B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana yang Berbeda Terhadap Peserta Tindak Pidana Pembunuhan

(13)

diberikan kewenangan menunjukkan suatu perkara tidak sewenang-wenang dalam memberikan putusan. Sifat arif, bijaksana serta adil harus dimiliki oleh seorang hakim, karena hakim adalah sosok yang masih cukup dipercaya oleh sebagian masyarakat dan diharapkan mampu mengayomi dan memutuskan suatu perkara dengan adil. Pada hakekatnya dari seorang hakim diharapkan memberikan pertimbangan tentang salah tidaknya seseorang atau benar tidaknya peristiwa bersangkutan dan juga pertimbangan hakim dalam menjatuhkan suatu putusan semata-mata harus didasari rasa keadilan tidak semata-mata hanya berlandaskan pertimbangan melainkan juga sesuai dengan fakta-fakta yang ada dalam persidangan.

Pasal 183 KUHP menyebutkan bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa lah yang bersalah melakukannya. Kemudian ketentuan mengenai pertimbangan hakim diatur dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang menentukan pertimbangan disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan-penentuan kesalahan terdakwa. Hal yang sama dikemukakan oleh Lilik Mulyadi yang menyatakan bahwa pertimbangan hakim terdari dari pertimbangan yuridis dan fakta-fakta dalam persidangan. Selain itu, majelis hakim haruslah menguasai atau mengenal aspek teoritik dan praktik, pandangan doktrin, yurisprudensi dan kasus posisi yang sedang ditandatangani kemudian secara limitatif menerapkan pendiriannya.8

8 Lilik Mulyadi, Op Cit, hlm. 193 - 194.

Pertimbangan hakim juga dalam menjatuhkan putusan dapat dilihat berdasarkan pertimbangan yuridis dan sosiologis sebagai berikut :

1. Pertimbangan yuridis

Pertimbangan hakim atau ratio decidendi adalah argumen atau alasan yang dipakai oleh hakim sebagai pertimbangan hukum yang menjadi dasar sebelum memutus perkara. Dalam praktik sebelum pertimbangan yuridis ini dibuktikan, maka hakim terlebih dahulu akan menarik fakta-fakta dalam persidangan yang timbul dan merupakan konklusi kumulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa dan barang bukti.

Lilik Mulyadi mengemukakan bahwa hakikat pada pertimbangan yuridis hakim merupakan pembuktian unsur-unsur dari suatu delik, apakah perbuatan terdakwa tersebut memenuhi dan sesuai dengan delik yang didakwakan oleh penuntut umum/dictum putusan hakim.9 Muhammad Rusli kemudian mengemukakan bahwa pertimbangan hakim dapat dibagi menjadi 2 (dua) kategori, yakni pertimbangan yuridis dan pertimbangan non-yuridis. Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh Undang-Undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan misalnya dakwaan Jaksa Penuntut Umum, keterangan terdakwa, keterangan saksi, barang-barang bukti dan pasal-pasal dalam peraturan hukum pidana. Sedangkan pertimbangan non-yuridis dapat dilihat dari latar belakang, akibat perbuatan terdakwa, kondisi diri terdakwa dan agama terdakwa.10

9Ibid, hlm. 194

(14)

Apabila fakta-fakta dalam persidangan telah diungkapkan, barulah hakim mempertimbangkan unsur-unsur delik yang didakwakan oleh penuntut umum. Pertimbangan yuridis dari delik yang didakwakan juga harus menguasai aspek teoritik, pandangan doktrin, yurisprudensi, dan posisi kasus yang ditangani, barulah kemudian secara limitatif ditetapkan pendiriannya.

2. Pertimbangan Sosiologis

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Jadi, hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Oleh karena itu, ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Achmad Ali menjelaskan bahwa di kalangan praktisi hukum, terdapat kecenderungan untuk senantiasa melihat pranata peradilan hanya sekedar sebagai pranata hukum belaka, yang penuh dengan muatan normatif, diikuti lagi dengan sejumlah asas-asas peradilan yang sifatnya sangat ideal dan normatif, yang dalam kenyataannya justru berbeda sama sekali dengan penggunaan kajian moral dan kajian ilmu hukum (nomatif).11

Kemudian Bismar Siregar menyatakan bahwa seandainya terjadi dan akan terjadi benturan bunyi hukum antara yang dirasakan adil oleh masyarakat dengan apa yang disebut kepastian hukum, jangan hendaknya kepastian

11 Achmad Ali, Op Cit, hlm. 200

hukum dipaksakan dan rasa keadilan masyarakat dikorbankan.12

HB. Sutopo kemudian mengungkapkan bahwa terdapat faktor-faktor yang harus dipertimbangkan secara sosiologis oleh hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara, antara lain : 1. Memperhatikan sumber hukum tak

tertulis dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

2. Memperhatikan sifat baik dan buruk dari terdakwa serta nilai-nilai yang meringankan maupun hal-hal yang memberatkan terdakwa.

3. Memperhatikan ada atau tidaknya perdamaian, kesalahan, peranan korban.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.13

Menurut Mackenzie, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat digunakan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan dalam suatu perkara yaitu :

a. Teori Keseimbangan

Yang dimaksud dengan keseimbangan adalah di sini adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antar lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat dan kepentingan terdakwa.

b. Teori Pendekatan Seni dan Institusi Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan

(15)

pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni sering dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan, lebih ditentukan oleh intuisi daripada pengetahuan dari hakim.

c. Teori Pendekatan Keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan keputusan-keputusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau insting semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.

d. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan, yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat. e. Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok prkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim yang harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan

hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

f. Teori Kebijaksanaan

Teori ini diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti, di mana sebenarnya teori ini berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara di Pengadilan Anak. Aspek ini menekankan bahwa pemerintahan, masyarakat, keluarga dan orang tua ikut bertanggung jawab untuk menimbang, membina, mendidik dan melindungi anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan bagi bangsanya.14

Menurut penjelasan Erna Dewi, bahwa seorang hakim harus meyakini bahwa apakah seorang terdakwa melakukan tindak pidana atau tidak dengan berpedoman dengan pembuktian untuk menentukan kesalahan dari perbuatan yang dilakukan oleh seorang pelaku pidana atau untuk menentukan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh salah satu pihak yang berperkara. Hakim juga diharapkan sikap tidak, memihak dalam menentukan siapa yang benar dan siapa yang tidak dalam suatu perkara dan mengakhiri perkaranya melalui suatu putusan yang bersifat mengikat. Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, baik yang bersifat formal maupun materil sampai dengan kecakapan teknik membuatnya. Jika seorang hakim akan menjatuhkan suatu putusan, maka ia akan selalu berusaha agar putusannya nanti seberapa mungkin dapat diterima masyarakat, setidak-tidaknya berusaha agar lingkungan orang yang akan dapat menerima putusannya seluas mungkin.15

14 Ahmad Rifai, Op Cit, hlm. 104-105

15 Hasil Wawancara dengan Erna Dewi, Dosen

(16)

Berdasarkan hasil wawancara dengan Octiawan Basri bahwa dalam kasus sebagaimana di atas, pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan itu berpijak pada teori keseimbangan yaitu adanya keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang terkait, keseimbangan itu berkaitan dengan kepentingan terdakwa, korban atau keluarga korban dan kepentingan masyarakat. Hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan di mana hal-hal yang memberatkan bagi para terdakwa adalah bahwa perbuatan Para Terdakwa tergolong keji dan berbahaya karena dilakukan dengan senjata api rakitan, perbuatan Para Terdakwa meresahkan masyarakat, perbuatan Para Terdakwa dilakukan saat masyarakat dan penegak hukum sedang gencar-gencarnya memberantas kejahatan yang sedang marak dan meningkat di Lampung, kemudian perbuatan Para Terdakwa menimbulkan trauma yang mendalam terhadap keluarga korban, terlebih perbuatan Para Terdakwa mengakibatkan isteri dan anak-anak korban yang masih kecil menjadi kehilangan kasih sayang bapaknya, serta korban adalah sebagai tulang punggung keluarganya sehingga kelangsungan masa depan isteri dan anak-anak korban menjadi terancam. Di samping itu para Terdakwa telah beberapa kali melakukan pencurian kendaraan bermotor atau terlibat dalam sindikat pencurian kendaraan bermotor di Lampung dan khusus Terdakwa 1 pernah dihukum dalam perkara pencurian dalam keadaan memberatkan. Sedangkan hal-hal yang meringankan antara lain para Terdakwa bersikap sopan di persidangan dan para Terdakwa mengakui perbuatannya.16

Octiawan Basri menambahkan bahwa dalam putusannya terhadap kedua pelaku

16 Hasil Wawancara dengan Octiawan Basri, Hakim

Pengadilan Negeri Metro, Pada Tanggal 20 Maret 2018, Pkl. 11.30

peserta pembunuhan ini terdapat perbedaan lamanya sanksi pidana yang dijatuhkan. Di mana terhadap Terdakwa 1 yaitu Agus Andika Saputra dijatuhkan pidana selama 18 (delapan belas) tahun dan Terdakwa 2 yaitu Ridwan Firdaus selama 16 (enam belas ) tahun. Perbedaan utama yang melatarbelakanginya adalah adanya pertimbangan hakim bahwa Terdakwa Agus Andika Saputra merupakan residivis dalam perkara perkara pencurian dalam keadaan memberatkan, sedangkan Terdakwa Ridwan Firdaus belum pernah dihukum sehingga hal ini lah kemudian yang menyebabkan Agus Andika Saputra mendapatkan sanksi pidana yang lebih lama dibandingkan Ridwan Firdaus.17

Menurut analisis penulis bahwa suatu proses peradilan berakhir dengan putusan akhir (vonis) yang di dalamnya terdapat penjatuhan sanksi pidana (penghukuman), dan di dalam putusan itu hakim menyatakan pendapatnya tentang apa yang telah dipertimbangkan dan apa yang menjadi amar putusannya. Dalam upaya membuat putusan serta menjatuhkan sanksi pidana, hakim harus mempunyai pertimbangan yuridis yang terdiri dari dakwaan penuntut umum, keterangan terdakwa, keterangan saksi, barang-barang bukti, dan pasal-pasal perbuatan hukum pidana, dan pertimbangan non yuridis yang terdiri dari latar belakang perbuatan terdakwa, akibat perbuatan terdakwa, kondisi terdakwa, ditambah hakim haruslah meyakini apakah terdakwa melakukan perbuatan pidana atau tidak sebagaimana yang memuat dalam unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Pengambilan keputusan sangat diperlukan oleh hakim dalam menentukan putusan yang akan dijatuhkan kepada terdakwa. Hakim harus dapat mengolah dan memproses data-data yang diperoleh selama

17 Hasil Wawancara dengan Octiawan Basri, Hakim

(17)

proses persidangan dalam hal ini bukti-bukti, keterangan saksi.

Penulis berpendapat bahwa pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap para pelaku sudah tepat. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana yang berbeda terhadap peserta tindak pidana pembunuhan yaitu didasarkan pada teori keseimbangan yaitu adanya keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang terkait, keseimbangan itu berkaitan dengan kepentingan terdakwa, korban atau keluarga korban dan kepentingan masyarakat. Hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Adapun Perbedaan yang melatarbelakangi pertimbangan hakim sehingga Agus Andika Saputra mendapatkan sanksi pidana yang lebih berat dikarenakan Agus Andika Saputra merupakan residivis dalam perkara pencurian dalam keadaan memberatkan, sedangkan Terdakwa Ridwan Firdaus belum pernah dihukum sehingga hal ini lah kemudian yang menyebabkan Agus Andika Saputra mendapatkan sanksi pidana yang lebih berat/lama dibandingkan Ridwan Firdaus.

III. PENUTUP A. Simpulan

Berdasarkan uraian dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut : 1. Pertanggungjawaban pidana peserta

tindak pidana pembunuhan dalam Putusan Pengadilan Negeri Metro Nomor 150/Pid.B/2015/PN bahwa hakim menganggap bahwa para pelaku mampu bertanggung jawab, ada kesalahan dan tidak ada alasan pemaaf. Hakim menjatuhkan sanksi kepada pelaku berdasarkan Pasal 339 Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta menjatuhkan sanksi

pidana terhadap kedua pelaku yaitu Terdakwa 1. Agus Andika Saputra alias Andi Bin M. Yusuf selama 18 (delapan belas) tahun dan Terdakwa 2. Ridwan Firdaus alias Iwan Bin Sulaiman selama 16 (enam belas) tahun.

2. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana yang berbeda terhadap peserta tindak pidana pembunuhan didasarkan pada teori keseimbangan yaitu adanya keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang terkait, keseimbangan itu berkaitan dengan kepentingan terdakwa, korban atau keluarga korban dan kepentingan

masyarakat. Hakim juga

mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Adapun Perbedaan yang melatarbelakangi pertimbangan hakim sehingga Agus Andika Saputra mendapatkan sanksi pidana yang lebih berat dikarenakan Agus Andika Saputra merupakan residivis dalam perkara perkara pencurian dalam keadaan memberatkan, sedangkan Terdakwa Ridwan Firdaus belum pernah dihukum sehingga hal ini lah kemudian yang menyebabkan Agus Andika Saputra mendapatkan sanksi pidana yang lebih berat/lama dibandingkan Ridwan Firdaus.

B. Saran

Berdasarkan hasil kesimpulan, maka saran yang dapat dikemukakan sebagai alternatif penyelesaian permasalahan di masa yang akan datang adalah sebagai berikut :

(18)

Kemudian hukuman yang diberikan bukan merupakan semata-mata sebagai alat pembalasan atas kesalahan terdakwa tetapi tujuannya agar dapat mempengaruhi perilaku para pelaku untuk tidak mengulangi perbuatannya dikemudian hari, membebaskan rasa bersalah pada diri pelaku, memasyarakatkan pelaku dan dapat menjamin kehidupan yang lebih baik selepas dari menjalani hukuman.

2. Maraknya tindak pidana pencurian kendaraan sepeda motor di mana pelakunya membawa senjata api sangatlah mengkhwatirkan masyarakat. Oleh karena itu hendaknya sebagai tindakan preventif, masyarakat tidak meletakkan sepeda motornya di tempat-tempat yang dapat mengundang pelaku untuk melakukan pencurian. Di samping itu pihak kepolisian harus terus melakukan tindakan represif guna meminimalisir peredaran senjata api agar tidak disalahgunakan oleh para pelaku tindak pidana sehingga dapat menimbulkan korban jiwa lagi di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA A. BUKU-BUKU

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009.

Adami Chazawi, Stelsel Pidana Indonesia, BKBH Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 1999.

______, Kejahatan terhadap Tubuh dan Nyawa, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010.

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2010. Bambang Waluyo, Pidana dan

Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.

Bismar Siregar, Bunga Rampai Karangan Tersebar, Rajawali, Jakarta, 1989.

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil,

Pokok-pokok Hukum Pidana, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2007.

Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia,

Refika Aditama, Bandung, 2011.

H. Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, Badan Penerbit Iblam, Jakarta, 2006.

HB. Sutopo, Metodologi Penelitian Kualitatif, Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian, Universitas Sebelas Maret Press, Surakarta, 2002.

Leden Marpaung, Tindak Pidana terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberantasan dan Prevensinya), Cetakan 3, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatitf, Rineka Cipta, Jakarta, 2005.

Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.

Marlina, Hukum Penitensier, PT. Refika Aditama, Bandung, 2011.

Muhammad Rusli, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

(19)

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Cetakan V, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.

Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, CV. Sinar Grafika, Jakarta, 2007.

Soedjono Dirdjosisworo, Sosio-Kriminologi, Ilmu-ilmu Sosial dalam Studi Kejahatan, Sinar Baru, Bandung, 1985.

Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1975.

______, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum terhadap Masalah-masalah Sosial, Alumni, Bandung, 1981.

______, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986.

Tim Grahamedia Press, KUHP & KUHAP, Grahamedia Press, Surabaya, 2012.

Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana

Indonesia dalam Perspektif

Pembaharuan, Universitas

Muhammadiyah Malang, Malang, 2008.

Tri Andrisman, Delik Tertentu dalam KUHP, Penerbit Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2011.

Yesmil Anwar Adang, Kriminologi, PT Refika Aditama, Cetakan Kedua, Bandung, 2013.

B. UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN LAINNYA

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hasil Amandemen.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman RI.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang

Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

C. SUMBER-SUMBER LAIN

J.C.T. Simorangkir, Rudi T. Erwin dan J.T. Prasetyo, Kamus Hukum, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.

Referensi

Dokumen terkait

Siti Rahayu Hassan, Mohammad Syuhaimi Ab-Rahman, Aswir Premadi and Kasmiran Jumari. The Development of Heart Rate Variability Analysis Software for Detection of Individual

Jika nilai piksel pada citra lebih besar dari nilai threshold yang ditentukan maka nilai piksel tersebut akan diubah menjadi warna putih dan diinisialkan dengan

Desa Adi Jaya Kecamatan Terbanggi Besar Kabupaten Lampung Tengah sudah menerima alokasi dana desa sejak tahun 2015 untuk mewujudkan pengelolaan keuangan desa yang

Softcopy proposal lengkap dalam format PDF ( 1 proposal lengkap dengan maksimum besar file 5 MB ) diunggah oleh pengusul secara mandiri. Dalam proposal lengkap tersebut juga telah

- Jawaban dibuktikan dengan dokumen rapat kelulusan seperti undangan, daftar hadir, notula rapat) yang dihadiri oleh guru kelas, guru mata pelajaran,

Berdasarkan pada hasil analisis dan pembahasan, maka kesimpulan pada penelitian ini adalah : (1) Untuk dimensi percaya diri berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa

I shall begin by mentioning some of the obvious possible diagnoses of what is going on when someone says ‘I see that doing such-and-such is desirable but I don’t want to do it.’

Writing is the one of skills in English that should be mastered by student. Through writing they can express their view and thoughts that can not be