• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN STIK SINT CAROLUS, JAKARTA BULAN FEBRUARI, TAHUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROGRAM STUDI KEPERAWATAN STIK SINT CAROLUS, JAKARTA BULAN FEBRUARI, TAHUN"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1 Mahasiswa

2 Pembimbing Materi 3 Pembimbing Metodologi

ANALISIS PERBEDAAN FAKTOR-FAKTOR PADA KEJANG

DEMAM PERTAMA DENGAN KEJANG DEMAM BERULANG

PADA BALITA DI RSPI PURI INDAH JAKARTA, 2014

DIFFERENCE FACTOR ANALYSIS OF FIRST FEBRILE SEIZURES

WITH RECCURENCE FEBRILE SEIZURES IN CHILDREN AT

PONDOK INDAH PURI INDAH HOSPITAL JAKARTA 2014

OLEH: Pasti Kurnia1 Lina Dewi Anggraeni2

Rustika3

ARTIKEL ILMIAH

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN STIK SINT CAROLUS, JAKARTA BULAN FEBRUARI, TAHUN 2015

(2)
(3)

[Type text]

Kejang demam merupakan penyakit yang cukup sering dijumpai pada balita. Setengah dari kejadian kejang demam terjadi kejang demam berulang, hal ini terjadi karena perkembangan otak anak masih belum cukup optimal dalam melakukan pertahanan diri terhadap adanya demam, sehingga terjadi bangkitan kejang demam, sehingga orang tua seringkali panik menghadapi peristiwa kejang demam. Penelitian ini menggunakan desain survey quisioner dengan pendekatan cross sectional di Rumah Sakit Pondok Indah Puri Indah dengan menggunakan data sekunder dari medical record 2008 – November 2014, berjumlah 161 responden, dengan cara total sampling, responden kelompok pasien kejang demam pertama berjumlah 107(66,5%), dan responden kelompok pasien kejang demam berulang berjumlah 54(33,5%). Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui perbedaan faktor faktor pada kejang demam pertama dengan kejang demam berulang. Faktor yang diteliti diantaranya; usia, jenis kelamin, suhu tubuh, durasi demam, diagnosa penyerta dan jenis kejanng demam. Hasil uji independent Mann Whitney adalah pada faktor usia sebesar 0.000 (p<0.05) dan faktor suhu 0.011 (p<0.05), artinya ada perbedaan makna faktor suhu dan usia pada kejang demam pertama dengan kejang demam berulang.

Kata Kunci : Anak, Kejang Demam Pertama, Kejang Demam Berulang

ABSTRACT

Febrile seizures are fairly common disease in infants . Half of the incidence of febrile seizures occur recurrent febrile seizures , this happens because the brain development of children is still not quite optimal in conducting a defense against the presence of fever , causing febrile seizures , so parents often panic face events febrile seizures . This study used a questionnaires survey design with cross sectional in Pondok Indah Puri Indah Hospital by using secondary data from medical records 2008 - November 2014 , amounted to 161 respondents , with a total sampling ,total of first febrile seizure patient groups are 107 ( 66.5 % ) , and total of recurrent febrile seizures patient group are 54 ( 33.5 % ) . The purpose of this study was to determine differences in factors on the first febrile seizure with recurrent febrile seizures . Factors examined include ; age , gender , body temperature , duration of fever , comorbid diagnoses and types kejanng fever . Independent test results Mann Whitney is the age factor of 0.000 ( p <0.05 ) and the temperature factor 0.011 ( p <0.05 ) , meaning that there are differences in the meaning of the temperature factors and age at first febrile seizure with recurrent febrile seizures .

Keywords : Children , First Febrile Seizures , Recurrence Febrile Seizures

Pendahuluan

Kejang Demam adalah terjadinya peristiwa kejang pada anak setelah usia satu bulan, terkait dengan penyakit demam, tidak disebabkan oleh infeksi pada sistem saraf pusat, tanpa kejang neonatal sebelumnya atau kejang neonatal tanpa alasan sebelumnya dan tidak memenuhi kriteria untuk gejala kejang akut lainnya (ILAE dalam Morais 2010). Gejala kejang akut artinya adalah kejang yang diikuti oleh gangguan akut metabolik, keracunan, infeksi sistem saraf pusat,

(4)

[Type text]

stroke, trauma kepala, perdarahan cerebral,keracunan obat obatan, kecanduan alkohol, kecanduan obat terlarang (Pohlmann, 2006).

Terjadinya bangkitan kejang demam pada bayi dan anak kebanyakan bersama dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat dapat disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat. Meningkatnya suhu sebesar 1 0 Fahrenheit atau kurang lebih sama dengan kenaikan 0,50 Celcius akan meningkatkan metabolisme basal sebesar kira-kira 7%. Sirkulasi darah orang dewasa ke otak adalah 18% sedangkan pada anak sebesar 65% dari sirkulasi tubuh, sehingga dapat disimpulkan keadaan demam tinggi mengurangi sebagian besar suplai darah ke otak pada anak-anak, sehingga dapat mencetuskan kejadian kejang (Prichard & Mc Greal dalam Lumbantobing, 2007).

Setengah kejadian kejang demam terjadi kejang demam berulang, dimana 32% akan mengalami kejang demam berulang 1 kali, berulang 2 kali (15%) atau lebih dari 2 kali (7%). Faktor resiko kejang demam berulang diantaranya adalah; kejang demam terjadi pada tahun pertama kehidupan anak, adanya riwayat kejang demam pada kerabat tingkat pertama(Panayiotopoulos, 2010), suhu demam semakin rendah nilainya, onset terjadinya kejang setelah demam diketahui (Berg dalam Lumbantobing 2007)

Adapun faktor yang dapat menyebabkan kejang demam diantaranya; suhu, infeksi (Millichap dalam Lumbantobing, 2007), genetik, vaksinasi, defisiensi Zn (Seinfeld & Pellock, 2013), anemia (Sultan, Fayaz & Khan, 2013), riwayat merokok dan minum alkohol selama kehamilan (Vahidnia, Eskenazi & Jewell, 2008).

Berdasarkan kunjungan sakit balita ke unit gawat darurat rumah sakit Pondok Indah Puri Indah selama bulan mei dan juni 2014 terdapat 303 kunjungan pasien balita dan 58% diantaranya adalah pasien demam, kemudian secara lebih detail peneliti memilah berdasarkan diagnosa masuk pada seluruh pasien demam. Pasien dengan kejang demam menempati urutan ke empat sebesar 7% setelah Observasi Febris, ISPA dan Gastroenteritis.

Diagram 1.2 Jumlah Pasien Kejang Demam pada Balita di RSPI Puri Indah (Sumber: Medical Record RSPI Puri Indah, 2014)

Peneliti mendapatkan perbandingan jumlah anak dengan kejang demam adalah sebesar ± 6 kali lipat pada januari - juni 2014 dibandingkan pada tahun 2008 , dalam intrepretasi diagram peneliti menyajikan data kunjungan per 2 tahun terjadi peningkatan yang cukup signifikan. Diantara kunjungan pasien dengan kejang demam ini total jumlah kejang demam adalah 171 anak, 66,5% mengalami kejang demam pertama dan 33,5% mengalami kejang demam berulang.

Kejang demam dapat menimbulkan komplikasi serius terhadap perkembangan otak anak apabila terjadi secara berulang kali ditambah resiko bahaya lain adalah tersedak . Pada penelitian di Afrika kultur budaya dan kondisi sosial ekonomi mempengaruhi penanganan kejang demam di rumah, dari 147 anak 40,1% mendapat penanganan yang

7 31 51 46 0 10 20 30 40 50 60 2008 2010 2012 JAN-JUNI 2014 Jumlah Pasien Kejang Demam/ 2 tahun

TOTAL KEJANG DEMAM/TH

(5)

[Type text]

berbahaya selama kejang demam berlangsung diantaranya; dengan menggunakan herbal, memasukkan suatu bentuk zat ke dalam mata, insisi bagian tubuh dan bahkan mencoba membakar bagian pantat dan kaki (Jarret,2012).

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian survey analitik dengan pendekatan cross sectional, dilakukan di Rumah Sakit Pondok Indah Puri Indah. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak dengan kejang demam yang berjumlah 171 anak, jumlah sampel yang diambil adalah seluruh sample. Tekhnik sampling yang digunakan adalah purposive sampling , data diambil secara retrospective dari Medical Record RSPI Puri Indah pada tahun 2008 sampai bulan november 2014. Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji statistik nonparametrik karena skala ukur variable independen yang akan diuji adalah nominal dan ordinal. Uji Mann-Whitney adalah uji non-parametrik yang menjadi alternatif dari uji t ( uji parametrik ) digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan dari dua himpunan data yang berasal dari sampel yang independen (Harinaldi, 2005). Pengujian menggunakan tingkat kepercayaan 95%.,, hasil uji statistik dikatakan ada perbedaan yang bermakna apabila nilai p-value lebih kecil dari 0,05 ( < 0,05) dan tidak ada hubungan bermakna apabila nilai p-value > 0,05( >0,05) (Hartono, 2001).

HASIL

Tabel 1

Distribusi Responden pada Kejang Demam Pertama dan Kejang Demam Berulang

Kategori Frekuensi Persentase (%)

Kejang Demam Pertama 107 66.5 Kejang Demam Berulang 54 33.5 Total 161 100

Berdasarkan Penelitian Huang (2002) mendapatkan responden kejang demam pertama 109 anak dan kejang demam berulang sebanyak 107 anak pada rentang usia 6 bulan sampai 6 tahun. Berdasarkan penelitian Dewati (2012) mendapatkan 86 anak mengalami kejang demam, dan 47,7% diantaranya mengalami kejang demam berulang.

Perbandingan kejadian kejang demam yang diperoleh peneliti pada kejang demam pertama dan kejang demam berulang adalah 2:1 sedangkan pada penelitian Huang (2002) di Taiwan menunjukkan perbandingan 1:1, tampak ada perubahan kejadian kejang demam berulang dimana pada penelitian ini angka kejadian kejang demam berulang lebih kecil jumlahnya, kemungkinan seiring berjalannya waktu angka kejadian berulangnya kejang demam semakin berkurang jumlahnya, namun perbandingan ini belum dapat menggambarkan resiko kejang demam berulang pada pasien kejang demam pertama, serta belum diketahui apakah perbedaan wilayah mempengaruhi angka kejadian kejang demam pertama dan kejang demam berulang.

(6)

[Type text]

Tabel 2

Deskripsi faktor-faktor pada pasien kejang demam pertama dan kejang demam berulang

Kejang Demam Pertama

Kejang Demam Berulang

Kategori Frekuensi % Frekuensi %

< 2 tahun 71 66.4 15 27.8 ≥ 2 tahun 36 33.6 39 72.2 Laki-laki 66 61.7 34 63 Perempuan 41 38.3 20 37 < 39˚ C 37 34.6 30 55.6 ≥ 39˚ C 70 65.4 24 44.4 ≤ 24 jam 72 67.3 36 66.7 >24 jam 35 32.7 18 33.3 Observasi Febris 42 39.3 19 35.2 Infeksi Saluran Pernapasan Atas 52 48.6 25 46.3 Gastroenteritis 9 8.4 3 5.6 Infeksi Saluran Kencing 2 1.9 6 11.1

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi 2 1.9 0 0 Thypus Abdominalis 0 0 1 1.9 Kejang Demam Sederhana 99 92.5 48 88.9 Kejang Demam Kompleks 8 7.5 6 11.1

Pada penelitian Huang (2002) memiliki perbedaan dimana jumlah kejang demam berulang 81% lebih banyak terjadi pada usia < 2 tahun sedangkan pada kejang demam pertama yaitu, 56% pada usia < 2 tahun.

Pada penelitian Fuadi (2010) usia kejang demam, yaitu 80,5% terjadi pada usia < 2 tahun. Pada penelitian Dewanti (2012) perbandingan jenis kelamin pada kejang demam berulang adalah 1:1 artinya laki-laki dan perempuan sama yang mengalami kejang demam.

Anak yang sudah mengalami kejang demam pada demam yang lebih rendah lebih besar mengalami kambuh dibanding dengan yang kejang pada demam yang lebih tinggi ( El Radhi dalam Lumbantobing, 2009 )

(7)

[Type text]

Pada penelitian Fuadi (2010) anak yang memiliki demam > 39˚C mempunyai resiko mengalami kejang demam dibanding anak yang mengalami demam kurang dari 39˚C , penelitian ini didukung oleh Berg et al (1992) bahwa 78% anak yang memiliki durasi ≤ 24 jam pada kejang demam berulang, eangkan menurut penelitian Fuadi dkk (2010) menunjukkan 58.5% mengalami kejang demam setelah mengalami demam kurang dari 2 jam.

Infeksi viral paling sering ditemukan pada kejang demam, demam yang disebabkan imunisasi juga dapat memprovokasi kejang demam, pada penelitiannya sendiri juga didapatkan bahwa Tonsilitis atau faringitis mempunyai persentasi 33,3% menjadi penyebab demam pada kejang demam menurut Lumbantobing (2009)

Pada penelitian Fuadi (2012) pada pasien kejang demam berulang 78,7% mengalami kejang demam kompleks. Pada penelitian yang dilakukan Dewanti (2012) 78% pasien kejang demam mengalami kejang demam sederhana.

Tabel 3

Hasil uji Nonparametrik “Mann-Whitney Test” Kategori Kejang Demam Pertama Kejang Demam Berulang p-value Modus Modus Usia 1 th 2 th dan 3 th 0.0000 Jenis Kelamin Laki-laki Laki-laki 0.875 Durasi Demam < 24 jam < 24 jam 0.937 Diagnosa Penyerta ISPA ISPA 0.354 Jenis Kejang Demam KDS KDS 0.441

Pada kategori usia, hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan Gunawan & Suharso ( 2012) dimana didapatkan p value 0.032 artinya usia adalah faktor yang bermakna terhadap kejadian kejang demam. Penelitian ini didukung pula oleh penelitian Fuadi dkk ( 2010) yang mempunyai hubungan bermakna antara usia dengan kejang demamdidapatkan bahwa anak usia < 2 th mempunyai resiko lebih besar untuk terjadi kejang, ditunjukkan pada nilai p-value 0.006

1,5 kasus kejang berulang terjadi pada usia 6 bulan, dan 90% nya terjadi pada usia 2 th.Anak yang memiliki faktor resiko 2 atau lebih diantara; riwayat kejang demam di keluarga, usia kejang demam pertama sebelum usia 18 bulan, suhu lebih rendah saat kejang dan durasi demam < 1 jam mempunyai resiko 30% pada usia 2 tahun, dan memiliki resiko kejang demam berulang 60% bila memiliki 3 atau lebih faktor resiko tersebut ( Bernard,2012). Usia kejang demam pertama terbanyak pada

(8)

[Type text]

kasus adalah 1 tahun , sesuai perkembangan otak pada mencapai perkembangan optimal pada usia 2 tahun sehingga reseptor GABA sebagai inhibitor kurang aktif, selain itu Corticotropin releasing hormone (CRH) di hipokampus tinggi ,berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam (Chen,Beder & Baram dalam Fuadi dkk,2010). Sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor usia sangat bermakna terhadap kejadian kejang demam pertama maupun kejang demam berulang yaitu pada usia 3 tahun pertama kehidupan anak, karena berkaitan dengan belum optimalnya perkembangan otak.

Pada Kategori Jenis Kelamin, perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan adalah 1.6:1 pada kejang pertama dan pada kejang demam berulang adalah 1.7:1 sedikit berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Gunawan & Saharso (2012) yang mendapatkan perbandingan 2:1, namun variabel jenis kelamin tidak memiliki perbedaan bermakna, ditunjukkan pada hasil p value 0.244. Hasil penelitian ini didukung pula oleh penelitian Jarrett, Fatunde, Osinusi & Lagunju ( 2012) bahwa anak laki laki memiliki rasio perbandingan 1.3:1 dibandingkan jenis kelamin perempuan namun secara statistik tidak mempunyai hubungan bermakna terhadap kejang demam dengan diperoleh nilai p value 0.305. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa anak laki-laki lebih banyak mengalami kejang demam baik kejang demam pertama maupun berulang, namun tidak ada perbedaan bermakna terhadap kejadian kejang demam.

Kategori durasi demam pada mayoritas kasus kejang demam timbul dalam kurun waktu 24 jam pertama mulainya demam ( Lumbantobing, 2009). Sedangkan pada faktor resiko terjadinya kejang demam berulang durasi demam menjadi salah satu faktor resiko namun pada onset demam kurang dari 24 jam pada kejang demam pertama. Pada penelitian yang dilakukan oleh Fuadi dkk (2010) mendapatkan ada hubungan bermakna pada lama demam, hasil p value 0.005 dimana waktu kurang dari 2 jam merupakan faktror resiko terjadinya kejang demam Penelitian ini juga dilakukan oleh Berg et all (1992) dimana didapatkan p value 0.001 pada durasi demam, bahwa durasi 1- 24 jam beresiko terjadinya kejang demam berulang, berdasarkan uraian tersebut berbeda dengan yang peneliti lakukan , dimana tidak ada perbedaan bermakna faktor durasi demam dengan kejang demam pertama dengan kejang demam berulang.

Peranan infeksi pada sebagian besar Kejang Demam adalah tidak spesifik dan timbulnya serangan terutama didasarkan atas reaksi demam yang terjadi (Lumbantobing, 2009), hal ini terbuksti dengan hasil penelitian yang telah dibuat bahwa tidak ada perbedaan bermakna faktor diagnosa penyerta terhadap kejadian kejang demam pertama dengan kejang demam berulang, berdasarkan uraian diatas maka disimpulkan bahwa faktor infeksi bukan menjadi faktor yang berperan terhadap kejadian kejang demam pertama maupun kejang demam berulang.

Kategori jenis kejang demam ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gunawan dan Suharso ( 2012) yang melakukan studi kohort retrospective dimana kejang demam kompleks ternyata bermakna pada kejadian kejang demam berulang hasil p value didapatkan 0.007. Pada penelitian ini didukung oleh Berg et all (1992) bahwa faktor kejang demam sederhana maupun kejang demam kompleks tidak terdapat hubungan bermakna terhadap kejang demam berulang. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa jenis kejang demam tidak ada perbedaan bermakna terhadap kejang demam pertama maupun berulang.

(9)

[Type text]

Tabel 4

Hasil uji “Mann Whitney Test” Perbedaan Faktor Suhu Antara Kelompok Kejang Demam Pertama dengan Kejang Demam Berulang

Variabel Kelompok N Mean SD SE Modus P value

Suhu Kejang Demam Berulang 54 39,05 0,864 0,11 38,5˚C 0.011 Kejang Demam Pertama 107 39,14 0,796 0,07 39˚C & 39,4˚C

Rata-rata suhu kejang demam berulang dengan nilai standar deviasi 0,86 menunjukkan hasil nilai suhu rata-rata minimum 38,19˚C dan nilai suhu rata-rata maksimal adalah 39,91. Pada kejang demam pertama dengan nilai standar deviasi 0,79 menunjukkan hasil nilai suhu rata minimum 38,35˚C dan nilai suhu rata-rata maksimal adalah 39,93˚C, hasil penelitian ini didukung oleh Gunawan & Suharso (2012) dimana suhu tubuh sangat bermakna terhadap kejadian kejang demam berulang dengan nilai p-value 0.020, hasil penelitian ini juga didukung oleh Dewati (2012) dimana suhu < 39˚C mempunyai resiko 2.99 kali terjadi kejang demam berulang.. Suhu yang berperan atau suhu yang dapat mencetuskan serangan kejang ialah suhu sebelum terjadinya serangan kejang (Lumbantobing, 2009). Keadaan kurangnya oksigen yang terjadi pada waktu demam mungkin penyebab dari kejang karena meningkatnya 1˚F atau setara dengan 0.5˚ C akan meningkatkan metabolisme basal sebesar kira-kira 7%. Sirkulasi otak anak usia 3 th adalah 65%, pada anak yang lebih muda bisa lebih tinggi persentasenya, sehingga bila kebutuhan oksigen dan glukosa meningkat ,maka berpotensi menyebabkan kejang demam.

SIMPULAN

1. Balita dengan kejang demam pertama lebih banyak jumlahnya yaitu 107 (66.5%) dibandingkan balita dengan kejang demam berulang, yaitu 2: 1

2. Usia balita < 2 th lebih banyak jumlahnya yaitu 71 anak ( 66.4%) pada kejang demam pertama, sedangkan pada kejang demam berulang usia balita ≥ 2 tahun lebih banyak yaitu 39 ( 72.2)%) dibanding kejang demam pertama

3. Jenis Kelamin rata rata jenis kelamin antara kejang demam pertama dan kejang demam berulang adalah pada jenis kelamin laki-laki, yaitu 66(61.7%) pada kejang demam pertama dan 34 ( 63%) pada kejang demam berulang.

4. Suhu ≥ 39˚ C lebih banyak yaitu 70 ( 65.4%) pada kejang demam pertama , sedangkan pada kejang demam berulang adalah pada suhu < 39˚C lebih banyak 55.6%

5. Durasi demam ≤ 24 jam sama sama besar antara kejang demam pertama yaitu 72 ( 67.3%) dengan kejang demam berulang yaitu 36 ( 66.7%)

(10)

[Type text]

6. Diagnosa Penyerta ,penyakit infeksi yang paling mendominasi adalah ISPA yaitu 52 ( 48.6) pada kejang demam pertama, dan pada kejang demam berulang sebanyak 25 ( 46.3%). Sedangkan jumlah yang paling sedikit pada kejang demam pertama adalah pada ISK yaitu 2 ( 1.9%) dan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi yatu 2 ( 1.9%) dan pada kejang demam berulang paling sedikit adalah pada typus abdominalis yaitu 1 (1.9%)

7. Jenis kejang yang paling mendominasi adalah kejang demam sederhana yaitu 99(92.5%) dan 48(88.9%) pada kejang demam berulng.

8. Usia balita mempunyai perbedaan bermakna pada kejang demam pertama dengan kejang demam berulang dimana nilai p-value 0.000

9. Faktor suhu Balita mempunyai perbedaan bermakna pada kejang demam prtama dengan kejang demam berulang dengan nilai p value 0,011

10. SARAN

1. Bagi Layanan Kesehatan Rumah Sakit

 Kegiatan edukasi kepada orang tua tentang pentingnya mengatasi demam pada anak,terutama yang mempunyai resiko terjadinya kejang. Kegiatan edukasi ini dapat berupa komunikasi antara petugas dan orang tua balita, memberikan contoh dan penjelasan yang kongkrit dalam upaya menangai demam dan kejang demam.

 Pemahaman tentang kejang demam dan penanganannya, karena orang tua sering panik dalam menangani anak kejang demam

 Pengkajian riwayat sakit anak yang komprehensif di rumah sakit berkaitan dengan pencegahan kejang demam berulang, sehingga kewaspadaan perlu ditingkatkan

2. Bagi Pendidikan

Meningkatkan pegetahuan mahasiswa keperawatan mengenai perbedaan faktor-faktor pada kejang demam pertama dan kejang demam berulang pada balita, sehingga dapat melakukan penelitian lanjutan dengan mengembangkan variabel-variabel lain yang tidak diteliti oleh peneliti.an.

3. Bagi Penelitian

Hasil penelitian ini semoga dapat berguna menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya yang lebih luas dan mendalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kejang demam dan kejang demam berulang pada anak balita di rumah sakit dengan metode cross sectional tentang bagaimana pengetahuan, sikap, kepercayaan dan perilaku orang tua dalam penanganan pertama kejang demam di rumah sehingga dapat mengetahui bagaimana orang tua menangani anak balita yang kejang demam.

DAFTAR PUSTAKA

AAP, Provisional Comittee on Quality Improvement. (1996).Practice parameter: The Neurodiagnostic evaluation of the child with a first simple febrile

(11)

[Type text]

seizure.Pediatrics,97,76974.http://pediatrics.aapublications.org/content/97/5 /76

Flury, T., Aebi, C & Donati, F.(2001). Febrile seizures and parental anxiety: DoesInformationhelp?.SwissMedWkly,131:556560.http://www.ncbi.nlm.nih. gov/pubmed/11759176

Fuadi, Bahtera T, Wijayahadi N. ( 2010 ). Faktor resiko Bangkitan kejang demam

pada anak .Jurnal Sari pediatri,

12(3),142-9.http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/12-3-2.pdf.

Graves, R.C., Oehler, K & Tingle, L.E.(2012). Febrile Seizures: Risks,Evaluation,and

Prognosis.Am Fam Physician,

85(2),149-153.http://www.aafp.org/afp/2012/0115/p149.html Diperoleh 31/7/2014 Harinaldi.(2005). Prinsip-Prinsip Statistik Untuk Teknik dan Sains. Erlangga. Jakarta. Huang, M., Liu, C., Huang, C., & Thomas, K. (2002). Parental responses to first and

recurrent febrile convulsions. Acta Neurologica Scandinavica, 105(4), 293299.http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&db=mnh&AN= 11939942&site=ehost-live

Lumbantobing, SM.(2007).Kejang Demam ( Febrile Convulsions ).FKUI,Jakarta. Morais.(2010). Febrile Seizure: Update on Diagnosis and Management. Association

Medical Brazil, 56(8): 489-92.

Okti, S.P., & Maliya, A.( 2008 ).Kegawatdaruratan Kejang Demam Pada Anak.Berita Ilmu Keperawatan, 01(2), 97-100.http://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/123456789/487

Østergaard, J.(2009). Febrile seizures. Acta Paediatrica, 98(5), 771-773. http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&db=mnh&AN=193891 19&site=ehost-live diperoleh pada 29 April 2014

Panayiotopoulos, C.P.,(2010).A Clinical Guide to Epileptic Syndromes and Their Treatment Second Edition.London:Springer. http://www.books.google.co.idDiperoleh 20 Juli 2014

Parmar, R.C., Sahu, D.R & Bavdekar, S.B.(2001). Knowledge attitude and practices of parents of children with febrile convulsion. J postgrad Med ,47,19-23http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11590285#

Pusponegoro HD, Widodo DP, Ismael S. ( 2006 ). Konsensus penanganan kejang demam. UKK Neurologi PP IDAI.Jakarta

Rudolph, C.D., Rudolph, A.M. (2011). Rudolph’s Pediatrics.The McGraw-Hill Company.China.

(12)

[Type text]

Seinfeld, S & Pellock.(2013).Recent research on Febrile Seizures:A Review.J Neurol Neurophysiol, 4(4). http://dx.doi.org/10.4172/2155-9562.1000165. Diperoleh 1 Agustus 2014

Soetomenggolo TS.(2000). Kejang Demam. In: Soetomenggolo TS, Ismael S, eds. Buku ajar neurologi anak. Jakarta: IDAI;244-52.

Sullivan, J. E., & Farrar, H. C. (2011 ). Fever and Antipyretic use in children. Official Journal of The American Academy of Pediatrics, 127 (3) : 580-587.

Sultan, A.,Fayaz, M.,Khan, A.N & Fayaz, A.(2013).Relationship Between Anaemia and Simple Febrile Convulsions.J Ayub Med Coll Abbottabad ,25(1-2),156-158.http://www.ayubmed.edu.pk/JAMC/25-1/Ambreen.pdf.Diperoleh 1 Agustus 2014.

Swaiman, K.F., Ashwal, S., Ferriero,D.M & Schor, N.F. (2012). Swaiman’s Pediatric Neurology fifth edition Principles and Practice vol 1.Elsivier Saunders.USA.

Warairu, C & Appleton, R.(2004). Febrile Seizures: an update. Archives of Disease in Childhood,89,751-756.

http://adc.bmj.com/content/89/8/751.full.html#related-urls Diperoleh 1 Agustus 2014

Jarrett,O.O.,Fatunde, O.J., Osinusi,K ., Lagunju, L.A.(2012).Pre-Hospital Management of Ferile Seizures in Children seen at the University College Hospital, Ibadan, Nigeria.Annal of Ibadan Postgraduate Medicine,10(2),6-10.

http://www.ajol.info/index.php/aipm/article/view/85133. Diperoleh 2 Agustus 2014

Proverawati & Wati.(2010). Ilmu Gizi Untuk Keperawatan dan Gizi Kesehatan. Nuha Medika,Yogyakarta.

Schacter,S.C.(2013).Types of Seizures.,http://www.epilepsy.com/learn/types-seizures.Diperoleh 2 Agustus 2014

Staf pengajar ilmu kesehatan anak.(2000).Ilmu Kesehatan Anak Buku Kuliah 2.Jakarta.FKUI.

Swarjana, I.K.(2012).Metodologi Penelitian Kesehatan.Yogyakarta.Andi Offset

Qu, L & Leung, L.S.(2009). Effects of temperature elevation on neuronal inhibition in hippocampal neurons of immature and mature rats.J Neurosci Res,87(12),2773-85.http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19396879

___________________.Boyce, R.(2010).Seizures in the developing brain result in a long-lasting decrease in GABA(B)inhibitory postsynaptic currents in the rat hippocampus.NeurobiolDis,37(3),704-10.

(13)

[Type text]

Referensi

Dokumen terkait

According to the research problem, this final project has the following scopes. a) The design calculation and strength analysis of vertical axis turbine shaft

Persaingan antara beberapa surat kabar kerap terjadi pada masa Demokrasi Liberal (1950-1959), diantaranya seperti Harian Rakjat dengan Pedoman, Abadi dengan Suluh Indonesia,

Pada model pembelajaran kolaboratif kewenangan dan fungsi guru lebih bersifat direktif atau manajer belajar, sebaliknya peserta didiklah yang harus lebih aktif. Guru

Penelitian ini dilakukan dari bulan November-Januari, penelitian lapangan pertama dilakukan pada bulan November, setelah itu peneliti melakukan analisis data dan

selaku ketua Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, serta sebagai dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan kepada penulis

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Bioekonomi Sumber Daya Ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurta)

Keadaan ini boleh berlaku apabila lapisan asfal yang tertanggal dari permukaan jalan, akibat daripada keadaan i katan diantara aggregat dan bitumen tidak kuat.. Ia mempengaruhi

Isoenzyme usus memiliki sangat pendek setengah-hidup dan tidak signifikan menambah tingkat ALP serum pada anjing dan kucing 1 Tikus memiliki aktivitas ALP tinggi