dr. Ragil Nur Rosyadi, SpJP
CARDIAC ARREST
CARDIAC ARREST
CARDIAC ARREST
CARDIAC ARREST
IHCA
IHCA
In Hospital Cardiac Arrest
In Hospital Cardiac Arrest
17%-31%
17%-31%
OHCA
OHCA
Out Hospital Cardiac Arrest
Out Hospital Cardiac Arrest
69%-83%
Angka kejadian henti jantung masih cukup Angka kejadian henti jantung masih cukup tinggi meskipun perkembangan dunia tinggi meskipun perkembangan dunia kesehatan kita saat ini sudah cukup maju, kesehatan kita saat ini sudah cukup maju, angka kejadian henti jantung masih angka kejadian henti jantung masih
mencapai sekitar 300-350 ribu per
mencapai sekitar 300-350 ribu per
tahunnya di Amerika Serikat. tahunnya di Amerika Serikat.
Di Indonesia, diperkirakan ada sekitar 30 Di Indonesia, diperkirakan ada sekitar 30 orang mengalami henti jantung setiap orang mengalami henti jantung setiap harinya. Henti jantung ini dapat kita bagi harinya. Henti jantung ini dapat kita bagi menjadi dua, yaitu yang terjadi di dalam menjadi dua, yaitu yang terjadi di dalam Rumah Sakit dan yang terjadi di luar Rumah Rumah Sakit dan yang terjadi di luar Rumah Sakit.
CARDIAC ARREST
3. Others
OHCA
Out Hospital Cardiac Arrest
69%-83%
1. Coronary Heart Disease
Henti jantung yang terjadi di luar Rumah Sakit lebih banyak yaitu sekitar 69-83%, dimana henti jantung yang terjadi di luar Rumah Sakit sebagian besar disebakan kasus-kasus kardiovaskuler.
Penyebab utama henti jantung adalah coronary heart disease. Yang kedua Cardiomyopathy, dan yang ketiga baru penyebab-penyebab lainnya.
Hal ini menjadi dasar mengapa klinisi
penting untuk belajar bagaimana
penanganan dari kasus-kasus emergency cardiac.
Untuk mempermudah proses belajar, kita akan bahas beberapa kasus untuk dianalisis bersama.
Seorang pasien datang ke IRD diantar oleh
keluarga. Pasien tidak sadar dan tidak
bernafas. Anda mencoba meraba nadi
karotis dan tidak ada.
Kita masuk pada ilustrasi kasus yang pertama, ada seorang pasien datang ke IRD pasiennya lelah bekerja pasiennya tidak sadar dan tidak bernafas.
Kemudian anda meraba nadi karotis ternyata nadi karotis tidak teraba. Oke, jadi kita setuju bahwa pasien ini jatuh pada kondisi henti jantung, dan henti jantungnya terjadi di luar rumah sakit.
Jadi bagaimana penanganannya?
Saya disini akan mengambil guideline AHA 2015, yang merupakan guideline terupdate ketika ebook ini ditulis.
Ada beberapa perubahan dari guideline sebelumnya, tapi yang utama dari guideline 2015 ini adalah banyak sekali didukung trial, bukti-bukti ilmiah berbeda dengan guideline sebelumnya yang lebih minim bukti ilmiah.
Algoritma di atas adalah panduan tatalaksana henti jantung (AHA 2015).
Jadi apabila ada henti jantung yang datang ke anda apalagi henti jantung yang terjadi di luar Rumah Sakit, yang pertama harus kita lakukan adalah early CPR, segera kita lakukan RJP.
Kemudian segera berikan oksigen dan memasang monitor, baca irama EKG pasien tersebut.
Perhatikan, apakah iramanya shockable (VT/VF) atau non-shockable (Asistole/PEA)? Jika iramanya shockable segera lakukan DC shock (perhatikan algoritma). Kemudian tetap dilanjutkan CPR atau RJPO sambil memonitor dari kualitas CPR kita.
Kemudian mengecek lagi iramanya setiap dua menit untuk memastikan iramanya masih shockable atau tidak.
Selama melakukan RJPO, jangan lupa memasang IV line untuk memberikan epinephrine setiap 3-5 menit.
Dan juga kita mencoba mencari tahu kira-kira penyebab yang mendasari henti jantung sehingga kita bisa menerapi pasien
Satu aspek baru dari guideline AHA 2015 adalah pemasangan alat Capnography.
Memang alat ini masih belum umum di Indonesia, bahkan di tempat saya bekerja saat ini di Rumah Sakit tipe A alat ini masih belum familiar untuk kita gunakan.
Dan jika pasien sudah Return of
Spontaneous Circulation (ROSC), segera lakukan penanganan Post Cardiac Arrest.
Gambar di atas merupakan flowchart secara detail penanganan henti jantung.
Pertama kita harus melakukan early CPR dengan memberikan oksigen dan monitor cek EKG-nya, apabila shockable segera kita lakukan DC shock.
Kemudian lanjutkan CPR, apabila iramanya masih shockable tetap kita berikan DC shock.
Cek irama setiap dua menit dan pada DC shock yang ketiga coba pertimbangkan untuk pemberian Amiodaron apabila kita dapatkan VT/VF yang membandel.
Kemudian apabila pasien kita cek iramanya pada kondisi yang non-shockable, yaitu irama yang asistole atau PEA, kita cukup lakukan RJPO dengan memberikan obat-obatan berupa adrenalin tiap 3-5 menit
Kemudian tetap melakukan RJPO dan apabila pasien kita pada kondisi ROSC atau Return of Spontaneous Circulation, kita lakukan perawatan pasca cardiac arrest.
Ini beberapa perbedaan dari guideline sebelumnya dimana kualitas CPR yang disarankan pada guideline 2015 ini adalah
“push hard”, yaitu melakukan tekanan adalah sebesar mungkin
Yaitu apabila kita ukur kedalamannya sekitar 5-6 cm, dengan jumlah pijatan sekitar 100-120 kali/menit. Ini yang mungkin sedikit berbeda dari guideline sebelumnya.
Guideline AHA sebelumnya menyarankan
untuk “push hard” dan “ push fast”, tetapi
pada guideline AHA 2015 frekuensi cukup sekitar 100 - 120 kali pijatan tanpa meninggalkan kualitas recoil.
Kualitas pijatan harus kuat tetapi, tidak boleh meninggalkan kualitas recoil dari pijatan kita.
Hiperventilasi harus dihindari dan jika ada alat capnography sebaiknya alat tersebut bila memungkinkan
Dari aspek farmakoterapi, obat-obatan yang digunakan masih sama dengan obat-obatan pada guideline AHA sebelumnya.
Yaitu diberikan epinephrine 1 mg yang kita berikan 3-5 menit. Amiodaron 300 mg bolus dilanjutkan 150 mg bolus juga untuk kasus VT/VF yang membandel.
Jika di Rumah Sakit ada fasilitas untuk memasangkan alat bantu nafas yang lebih
advance seperti ETT, kita dapat
pertimbangkan untuk pemasangan ETT.
Selanjutnya kita bahas Return of
Spontaneous Circulation (ROSC), yaitu kondisi ketika pasien henti jantung mulai dapat diraba nadi kembali. Kondisi itu umum disebut sebagai ROSC.
Berdasar guideline AHA 2015, capnography juga dapat digunakan untuk mengevaluasi apakah pasien tersebut sudah ROSC. Indikator yang dipakai adalah PETCO2, tapi memang masih belum cukup familiar di negara kita.
Berapa besar energi dari DC shock yang kita butuhkan? Kalau kita apakai alat biphasic kita bisa menggunakan sekitar 120-200 Joule, kalau pakai alat monophasic bisa digunakan 360 Joule.
Tapi, Bagaimana kalau kita tidak mengetahui alat yang dipakai bifasik atau monofasik?
Gunakan energi paling tinggi, itu kuncinya. Gunakan energi paling tinggi dari alat yang
kita punya, segera lakukan DC shock,
karena utamanya CPR pada guideline AHA 2015 adalah early CPR, early defibrilasi.
Dan, apa yang dimaksud sebagai reversible causes?
Coba kita lihat pada guideline tadi, reversible causes itu bisa karena 5H-5T.
5 H: hipovolemia, hipoksia, asidosis atau
hydrogen ion, hipo atau hiperkalemia,
hipotermia
5 T: tension pneumothorax, tamponade jantung, toksin atau thrombosis dari
ASYSTOLE VF
VT PEA
SHOCKABLE
UNSHOCKABLE
Ini merupakan contoh dari gambaran irama EKG yang shockable dan irama yang non-shockable.
Jika kita mendapati irama EKG yang non-shockable (asistole/PEA), kita tidak boleh
melakukan DC shock karena akan
memperburuk kondisi pasien.
Sedangkan jika irama yang didapatkan shockable (VT/VF), lakukan DC shock segera.
Pengobata irama VT/VF adalah DC shock segera, dan kita harus segera melakukan DC shock
Sederhana jika teman-teman menemukan gambaran seperti rumput yang ada tumpulnya dan runcingnya segera lakukan DC shock agar temen-temen tidak bingung di daerah nantinya.
Setelah dilakukan CPR dan defibrilasi,
dilakukan perekaman ECG 12 lead dan
menunjukkan adanya ST Elevasi pada lead
V1-V6
Kita masih pada kasus yang pertama. Ilustrasinya kasus yang pertama ternyata setelah temen-temen melakukan CPR, melakukan early defibrilasi, temen-temen
berhasil mengembalikan pasien pada
kondisi ROSC.
Temen-temen segera melakukan ECG 12 lead dan ternyata dari ECG 12 lead temen-temen mendapatkan gambaran elevasi pada V1 hingga V6, apa yang harus kita lakukan?
Kita kembali pada flowchart henti jantung. Pada guideline AHA disebutkan pada pasien-pasien yang sudah kembali pada kondisi Return of Spontaneous Circulation atau ROSC maka yang perlu kita lakukan adalah menjaga ventilasi dan oksigenasi dari pasien tersebut yang bisa kita lakukan adalah mempertahankan saturasi di atas 94 % dan juga perlu diingat jangan dilakukan hiperventilasi pada pasien tersebut.
Kemudian yang tidak kalah penting adalah mengatasi kondisi hipotensi, karena pada pasien-pasien henti jantung hampir selalu akan terjadi suatu kondisi hipotensia.
Dimana bisa kita lakukan dengan
pemberian cairan kemudian pemberian inotropic, serta diatasi penyakit-penyakit
yang menyebabkan kondisi hipotensi
Yang tidak kalah penting adalah melakukan perekaman ECG 12 lead, karena kita tahu kalau penyebab paling sering dari henti jantung adalah coronary artery disease,
Dan apabila di tempat teman-teman ada fasilitas dari kateterisasi jantung (PCI),
segera kirim pasien tersebut untuk
dilakukan kateresasi jantung dan dilakukan perawatan intensive care.
Di atas merupakan slide berupa dosis-dosis
obat-obatan yang bisa teman-teman
gunakan di daerah berupa obat-obatan
seperti epinephrine, dopamine,
norepinephrine dan juga bagaimana cara pemberian dari cairan-cairan yang mungkin nanti teman-teman bisa baca dari slide berikut.
Jadi disini kita masuk pada flowchart STEMI atau ST Elevasi Myocardial Infarction, jadi apabila teman-teman mendapatkan pasien dengan kecurigaan myocardial infarction yang harus dilakukan adalah temen-temen segera memberikan aspirin dengan dosis 160 hingga 320 mg, kemudian memberikan oksigen yang teman-teman punya untuk mempertahankan saturasi di atas 94%.
Kemudian dilakukan perekaman ECG 12 lead dan apabila di tempat teman-teman ada fasilitas untuk kateterisasi jantung (PCI) segera aktivasi tim PCI. Dan yang tidak kalah penting adalah pain control untuk pasien.
Dalam waktu kurang dari 10 menit kita harus segera melakukan
1. cek vital sign dari pasien tersebut 2. segera pasang IV access
3. lakukan pemeriksaan fisik
Apabila ada fasilitas kateterisasi jantung
1. segera aktivasi fasilitas kateterisasi jantung
2. periksa ECG 12 lead
3. periksa cardiac marker
Selanjutnya berikan obat-obatan seperti tadi
1. Oksigen
2. aspirin, atau kalau ada dual antiplatelet (aspirin+klopidogrel)
3. Morphine => Paling aman untuk pain control, namun tidak rutin diberikan
Pemberian morphine bukan tanpa
kontra-indikasi. Pada pasien-pasien dengan
tekanan darah yang rendah ataupun dengan distress nafas, hati-hati sekali dalam pemberian morphine ini mengingat efek samping morphine dalam depresi napas.
Setelah kita melakukan perekaman ECG 12 lead, kita lakukan interpretasi, untuk teman-teman cukup bedakan apakah pasien tersebut kita dapatkan gambaran ST Elevasi atau tidak ST Elevasi,
Itu cukup teman, apabila teman-teman dapatkan gambaran ST Elevasi berarti pasien tersebut jatuh pada kondisi STEMI. Penjelasan lebih lanjut kamu bisa simak di DVD Mahir Baca EKG Non Aritmia.
Tetapi apabila gambarannya tidak ada ST Elevasi sama sekali kita bisa melanjutkan pada flowchart kedua dan ketiga, yaitu mungkin pasien tersebut jatuh pada kondisi
Unstable Angina atau NSTEMI atau
mungkin memang pasien tersebut bukan sindroma koroner akut
Pada STEMI poin pentingnya kita harus tahu onset-nya kapan, dimana apabila onsetnya, angkanya 12 jam, apabila kurang dari 12 jam berarti teman-teman harus segera
melakukan primary PCI atau trombolitik.
Apabila di daerah teman-teman ada dokter ahli, yaitu dokter SpJP atau SpPD mungkin bisa dikonsulkan pada dokter ahlinya.
Kemudian apabila teman-teman menemukan bahwa onsetnya lebih dari 12 jam, maka yang bisa dilakukan oleh teman-teman adalah melakukan perawatan secara
konservatif dengan pemberian
obat-obatan.
Jangan lupa dievaluasi apakah ada nyeri dada yang berkelanjutan atau kondisi hemodinamik pasien tidak stabil, serta adanya ventrikular takikardi dan beberapa poin-poin yang ada pada slide.
Apabila teman-teman dapatkan kondisi-kondisi tersebut sebenarnya pasien-pasien tersebut masih memerlukan tindakan untuk PCI atau kateterisasi jantung. Tapi apabila tidak ada kondisi-kondisi tersebut di atas, kita bisa berikan obat-obatan untuk penanganan sindroma koroner akut berupa nitrogliserin, heparin baik UFH maupun LMWH kemudian pemberian clopidogrel yaitu dual antiplatelet (aspirin+ clopidogrel)
Kemudian apabila pasien tersebut Unstable Angina atau NSTEMI, teman-teman dapat tatalaksana seperti pada flowchart STEMI yang teman-teman dapatkan onset lebih dari 12 jam.
Tetapi apabila pasien yang teman-teman dapatkan adalah pasien yang kemungkinan kecil adalah sindroma koroner akut, tetap kita evaluasi penyebabnya apa dari tersebut hingga jatuh pada kondisi cardiac arrest.
Kemudian kita evaluasi ECG yang rutin,
ECG
yang
ulangan,
apabila
kita
dapatkan perubahan dari ECG maka
segera kita pikirkan bahwa pasien itu
memang mungkin jatuh pada sindroma
koroner akut.
Ini satu slide untuk teman-teman mungkin
membedakan kapan sih kita harus
melakukan fibrinolisis kapan melakukan PCI.
Intinya adalah apabila onsetnya kurang dari 12 jam, kita lakukan tindakan PCI atau fibrinolisis, tetapi ternyata fibrinolytic sebenarnya jauh lebih efektif apabila kejadiannya tidak lebih dari 3 jam.
Setelah 3 jam, fibrinolitik kemanfaatannya masih diragukan, karena manfaat dengan
kerugiannya (eg perdarahan) masih
debatable. Tetapi untuk primary PCI onset kurang dari 12 jam masih bisa kita lakukan.
Dalam perjalanannya pasien mengalami
shock. Dari pemeriksaan didapatkan tekanan
darah 80/50 dengan perfusi perifer yang
dingin. Apa yang harus dilakukan?
Cairan? Inotropik? Dopamin? NE?
Dobutamin?
Apakah yang harus kita lakukan? apakah kita berikan cairan? ataukah kita berikan inotropic? dan pilihannya inotropic apa? apakah dominan? norepinephrine? atau dobutamine?
Jadi, untuk kasus ini kita dapat menggunakan flowchart yang saya ambil dari PERKI 2015 pada buku ACLS. Dimana apabila kita dapatkan pasien dengan kondisi shock atau hipoperfusi atau gagal jantung kongestif, edema paru akut, coba
Ada 4 penyebab yang paling sering menyebabkan pasien jatuh pada kondisi shock yaitu
1. Edema paru akut
2. Ada masalah pompa 3. Masalah volume
4. Masalah irama.
Teman-teman bisa merujuk pada diagram selanjutnya untuk membedakan keempat
Pasien edema paru akut selalu datang ke teman-teman pasti dengan kondisi distress nafas. Distress nafas adalah kondisi dimana pasien sesak dan pasti gelisah, karena edema paru bersifat akut.
Pasti pasiennya gelisah dan jatuh pada kondisi distress nafas dengan oksigen yang sangat kurang dan pasti saturasi pada pasien ini turun signifikan.
Jadi apabila pasien datang ke teman-teman pada kondisi dengan shock tanpa adanya gelisah maupun sesak mungkin kita bisa memikirkan penyebab lain.
Penyebab kedua yang mungkin adalah masalah volume, pompa atau irama. Pada masalah irama ini dapat teman-teman exclude dengan tes ECG 12 lead atau pemasangan monitor.
Dan apabila teman-teman dapatkan kondisi
bradikardia atau masalah takikardia
mungkin memang shock dari pasien ini disebabkan bradikardia atau takikardianya yang nanti akan kita bahas pada slide-slide selanjutnya.
Kemudian, bagaimana meng-exclude
shocknya karena masalah volume atau pompa? Meskipun sebenarnya penanganan
kedua masalah tersebut tidak jauh
Perbedaan penanganan kedua masalah di atas terletak pada pemberian cairan. Jika teman-teman dapatkan shock karena masalah pompa, pemberian cairannya harus lebih hati-hati pada pasien.
Jika masalah ada pada masalah volume, penanganannya hampir sama dengan syok secara umum yaitu pemberian inotropic.
Yang perlu diperhatikan dalam pemberian inotropic pada pasien-pasien dengan shock adalah, pertama perhatikan tekanan darah sistolik dari pasien tersebut.
Jika tekanan darah sistolik pasien antara 70-100 mmHg, yang dievaluasi selanjutnya adalah akral dari pasien tersebut, hangat atau dingin.
Apabila akralnya dingin maka pilihan inotropic yang paling sesuai dengan pasien tersebut adalah dopamine dengan dosis 2-20 mikrogram/kgBB/menit.
Tetapi apabila didapatkan pasien dengan tekanan darah 70-100 mmHg dengan akral yang hangat, pilihan yang paling tepat adalah pemberian dobutamine dengan dosis yang sama dengan dopamine yaitu 2 hingga 20 mikrogram/kgBB/menit,
Tetapi apabila teman-teman mendapatkan pasien dengan tekanan darah sistolik yang kurang dari 70-100 mmHg, pilihan yang paling tepat untuk pasien tersebut adalah
norepinephrine dengan dosis 0,5-30
mikrogram/kgBB/menit.
Teman-teman bisa perhatikan flowchart dari PERKI 2015 di atas untuk lebih jelasnya.
Seorang pasien datang ke UGD tempat anda
bekerja. Pasien mengeluhkan pusing hampir
pingsan dengan keringat dingin. Dari
pemeriksaan anda dapatkan pasien dengan
TD : 140/90, nadi : 40, RR : 20. Apa yang
harus dilakukan?
Kita masuk pada ilustrasi kasus yang kedua, kita sudah pada ilustrasi kasus yang pertama selesai. Lanjut!
Ada seorang pasien sekarang datang ke teman-teman di UGD tempat anda bekerja, pasien tersebut mengeluh pusing dan hampir pingsan.
Kemudian dari pemeriksaan teman-teman, teman-teman mendapatkan hasil tekanan darah yang masih cukup bagus, mungkin sedikit agak tinggi yaitu 140/90 mmHg dengan nadi 40 kali per menit, dan respiratory rate yang masih cukup bagus 20 kali/menit.
Jadi apa yang harus kita lakukan ?
mungkin dari kasus tadi sudah bisa kita lihat permasalahan dari pasien ini yaitu:
Kita masuk pada flowchart bradikardia. Poin penting dari flowchart bradikardia ini adalah, pertama tentu saja kita harus evaluasi nadi dari pasien tersebut.
Kalau ada kesesuaian klinis antara nadi yang kurang dari 50 kali per menit dengan kondisi klinis yang turun, kita evaluasi, pasien tersebut pada kondisi stabil atau tidak. Apa yang dimaksud stabil?
Ada kriteria yang dikeluarkan oleh AHA, Kondisi bradikardia dikatakan stabil bila: 1. Hipotensi (-)
2. Perubahan status mental (-) 3. Tanda-tanda syokk (-)
4. Keluhan chest discomfort (-) 5. Tanda gagal jantung akut (-)
Jika teman-teman mendapatkan kasus
bradikardia yang stabil, teman-teman
cukup melakukan monitoring dan
observasi, dan selanjutnya bisa dikonsulkan ke ahlinya.
Tetapi apabila teman-teman mendapatkan salah satu dari lima kondisi tersebut (bradikardia tidak stabil), maka teman-teman harus melakukan sesuatu untuk pasien tersebut.
Saya punya tips untuk mempermudah mengingat lima kondisi bradikardia yang tidak stabil tersebut.
Yang perlu diingat, sebenarnya lima kondisi
tersebut adalah bradikardia yang
menyebabkan hemodinamik tidak stabil, sehingga karena bradikardia cukup berat akhirnya pasien sampai pada kondisi hipotensi.
Atau karena bradikardia berat, akibatnya pasokan darah ke otak menurun hingga terjadi perubahan status mental, atau tanda-tanda shock (+).
Kemudian apabila aliran darah ke koroner berkurang, akan terjadi suatu tanda-tanda iskemia, atau apabila perfusi darah ke perifer juga menurun, akan terjadi suatu tanda-tanda gagal jantung akut.
AV BLOCK
FIRST DEGREE
SECOND DEGREE type 1
SECOND DEGREE type 2
Apabila didapatkan tanda-tanda bradikardia teman-teman harus segera memberikan sulfas atropin.
Sulfat atropin dosis yang diberikan adalah 0,5 mg bolus. 1 ampul itu sekitar 0,25 jadi dapat langsung menggunakan 2 ampul.
Sulfas atropin 0,5 mg bisa kita ulangi 3-5 menit tergantung kondisi pasien, respon terhadap terapi atau tidak.
Jika sulfas atropin tidak response, teman-teman bisa pertimbangkan untuk diberikan travscutaneous pacing. Jika transcutaneous pacing tidak ada, dapat diberikan dopamine atau epinephrine untuk pasien tersebut.
Meskipun, sebenarnya yang paling efektif memang transcutaneous pacing, sayangnya memang kurag umum digunakan di daerah.
Kalau teman-teman punya alat DC schock, sebenarnya pada alat DC shock tersebut ada paketan untuk transcutaneous pacing, tapi sering sekali tidak dibuka oleh teman-teman di daerah biasanya.
Jadi mungkin nanti teman-teman ketika balik ke tempat kerja, coba dicek di tempat kerjanya, apabila ada alat DC shock mungkin di dalam alat DC shock tersebut, ada paketan berupa transcutaneous pacing.
Sehingga jika teman-teman mendapatkan pasien kondisi bradikardia dengan second degree AV block, tipe 2 dan total dari AV block segera dapat dipasang permanent maupun temporary pacemaker
Namun, jika tidak bisa dipasang
transcutaneous pacing, jika teman-teman mendapatkan AV block derajat 2 tipe 2 ataupun total AV block, maka harus segera untuk dirujuk ke ahlinya (SpJP atau SpPD).
Seorang pasien datang dengan keluhan
mendadak terjatuh saat bersepeda dengan
teman-temannya. Pasien mengeluh berdebar
hebat hingga sulit bernafas. Setelah
diberikan oksigen, dilakukan pemeriksaan
dengan hasil, TD : 110/70, nadi: 150, RR : 24.
Tindakan selanjutnya yang harus dilakukan?
Kita masuk ke ilustrasi yang ketiga. Saat
ini ada pasien yang datang ke
teman-teman, ternyata dari riwayatnya kita
dapat informasi pasien terjatuh ketika
bersepeda dengan teman-temannya,
pasien mengeluhkan berdebar yang
sangat, sehingga seperti sulit bernafas.
Setelah diberikan oksigen, selanjutnya
teman-teman melakukan pemeriksaan
fisik. Didapatkan tekanan darah 110/70
mmHg per menit dengan nadi yang
cukup cepat yaitu 180 kali/menit
dengan respiratory rate 22 kali/menit.
Jadi masalahnya adalah takikardia (nadi
180 kali/menit)
Mari kita lihat flowchart dari guideline AHA 2015 kembali, perhatikan bahwa pasien dengan nadi lebih dari 150 kali per menit kita anggap sebagai takikardia.
Tips untuk teman-teman, sebenarnya flowchart takikardia dan bradikardia tidak
jauh berbeda. Hanya yang perlu
diperhatikan adalah kondisi pasien stabil atau tidak stabil. Dua kondisi ini yang akan menentukan pilihan obat yang dapat diberikan.
Penentuan pasien masuk kriteria stabil atau tidak stabil, kriterianya sama yaitu
1. Hipotensi
2. Perubahan mental status, 3. Tanda-tanda shock
4. Keluhan chest discomfort 5. Tanda gagal jantung akut
Jika ada minimal satu tanda di atas, berarti takikardia tidak stabil. Apa yang harus dilakukan?
Takikardia dengan gangguan hemodinamik, harus segera dilakukan kardioversi. Alatnya sama dengan alat DC shock, tetapi kita rubah modenya menjadi mode yang synchronized.
Berapa dosisnya? Tergantung jenis
takikardianya, kalau QRS-nya sempit
dengan rate yang regular, QRS ke QRS-nya sama, maka dosisnya tidak perlu terlalu besar. Cukup 50-100 Joule. Jika tidak berubah, dapat kita lakukan kardioversi lagi
Kemudian apabila kita dapatkan QRS yang Kemudian apabila kita dapatkan QRS yang sempit, tetapi QRS ke QRS-nya tidak regular sempit, tetapi QRS ke QRS-nya tidak regular atau irregular, atau irama seperti atrial atau irregular, atau irama seperti atrial fibrilasi dosis yang kita butuhkan sedikit fibrilasi dosis yang kita butuhkan sedikit lebih tinggi yaitu sekitar 120-200 Joule, lebih tinggi yaitu sekitar 120-200 Joule, yang kita dapat ulang sampai pasien yang kita dapat ulang sampai pasien convert kembali ke irama sinus maupun convert kembali ke irama sinus maupun convert tidak takikardia lagi.
convert tidak takikardia lagi.
Jika pasien jatuh ke ventrikel takikardia Jika pasien jatuh ke ventrikel takikardia dengan QRS yang lebar-lebar dan rata-rata dengan QRS yang lebar-lebar dan rata-rata adalah regular, dosisnya cukup 100 Joule.
Saya punya tips untuk teman-teman, jadi Saya punya tips untuk teman-teman, jadi ingat saja dosis untuk kardioversi ini sekitar ingat saja dosis untuk kardioversi ini sekitar 100 Joule. Entah itu nanti dia QRS-nya 100 Joule. Entah itu nanti dia QRS-nya sempi
sempit atau t atau lebarlebar..
Kita masih bisa naikkan dosisnya
Kita masih bisa naikkan dosisnya
(escalating), jika memang kardioversi yang (escalating), jika memang kardioversi yang kita lakukan tidak direspon pada pasien kita lakukan tidak direspon pada pasien tersebut.
Apabila kita dapatkan pasien tersebut pada Apabila kita dapatkan pasien tersebut pada kondisi tidak stabil, segera kita lakukan kondisi tidak stabil, segera kita lakukan kardioversi, tetapi apabila tidak ada kardioversi, tetapi apabila tidak ada tanda-tanda tadi yang saya sebutkan ada 5 tadi, tanda tadi yang saya sebutkan ada 5 tadi, maka tatalaksana sama seperti bradikardia. maka tatalaksana sama seperti bradikardia. Yaitu kita evaluasi, QRS-nya sempit atau Yaitu kita evaluasi, QRS-nya sempit atau lebar? apabila QRS-nya sempit maka kita lebar? apabila QRS-nya sempit maka kita beikan obat-obatan. Biasanya yang paling beikan obat-obatan. Biasanya yang paling respon adalah adenosine, namun ada respon adalah adenosine, namun ada pilihan lain jika adenosine tidak tersedia pilihan lain jika adenosine tidak tersedia yaitu beta blocker atau calcium channel yaitu beta blocker atau calcium channel blocker.
Jika QRS-nya lebar, pilihannya adalah tetap adenosine atau amiodaron. Jadi sebenarnya ketersediaan obat-obat tersebut di tempat praktek teman-teman sangat penting.
Saya punya tips untuk mempermudah teman-teman. Tanpa melihat QRS-nya sempit atau lebar, pilihan obat pertama adalah adenosine. Jika tidak tersedia, amiodarone bisa menjadi pilihan alternatif, meskipun QRS-nya sempit maupun lebar.
Daftar di atas adalah dosis-dosis yang biasa kita gunakan untuk penanganan pasien-pasien dengan tachycardia. Adenosine biasanya diberikan dengan dosis 6 mg dan diberikan secara cepat.
Caranya: adenosine diinjeksikan ke botol infus pasien melalui IV, tangan pasien diangkat agar adenosine segera masuk ke jantung pasien, dan segera diflush dengan
Amiodarone diberikan dengan urutan sebagai berikut. Pertama loading dose. Karena memang amiodarone ini obat dengan volume distribusi yang cukup luas, jadinya harus kita lakukan loading, biasanya dengan loading 1 ampul masih belum cukup, sehingga sering kali butuh kita ulang.
Dosis Amiodarone sekitar 150 mg diberikan sekitar 10-15 menit, bisa diulang beberapa kali sampai convert ke irama sinus
Di luar negri sering juga digunakan sotalol IV, tapi, masih belum cukup umum di Indonesia, karena bentukan beta blocker IV ini masih belum tersedia di Indonesia.
Teman-teman perlu membedakan apakah takikardia yang dialami pasien adalah sinus takikardia atau takiaritmia. Karena jika yang ditemukan adalah sinus takikardia, teman-teman tidak perlu mengobati takikardianya, cukup diobati penyakit dasarnya.
Jangan sampai teman-teman memberikan obat-obatan anti aritmia pada pasien dengan sinus takikardia, karena justru dapat mencetuskan aritmia pada pasien tersebut.
Inti dari sinus takikardia ini adalah QRS-nya pasti sempit dan pasti iramanya reguler. Ciri yang kedua, biasanya pasien-pasien dengan takikardia yang masih sinus takikardia rate-nya tidak lebih dari 150 kali/menit.
SINUS TACHYCARDIA
ATRIAL FLUTTER
ATRIAL FIBRILATION
SVT
Insiden di tiap orang sebenarnya bervariasi. Pada pasien-pasien yang lebih muda biasanya bisa mencapai 150 kali/menit. Tetapi pada pasien-pasien tua jarang sekali rate sinus takikardia ini mencapai angka 150 kali/menit.
Rumusnya adalah (220-umur). Misalnya
umurnya 20, sinus maksimal bisa
melakukan percepatan dari nadinya
maksimal adalah 200 kali/menit. Tetapi pada pasien-pasien dengan usia 70, maksimal dia hanya 150 kali/menit
Coba perhatikan gambar EKG di atas. Di sebelah kiri ini adalah contoh dari atrial flutter dan atrial fibrilasi, kalau dari atrial fibrilasi kuncinya adalah iramanya ireguler yaitu QRS ke QRS-nya bervariasi.
Atrial flutter ini agak sulit, sering mirip dengan sinus takikardia karena atrial flutter QRS ke QRS-nya sama. Tetapi kuncinya adalah gelombang P. Pada atrial flutter gelombang P-nya tampak seperti gergaji. Jadi sangat berbeda dengan sinus takikardia
Perhatikan gambar EKG di atas. Gambar di sebelah kanan ini adalah contoh SVT. SVT mirip dengan atrial flutter tadi dengan QRS ke nya yang regular, dan bentuk QRS-nya sempit. Namun rate SVT ini biasanaya cepat sekali dan gelombang P seringkali tidak tampak.
Gelombang VT tampak lebih khas karena
teman-teman bisa lihat bahwa
gelombangnya QRS sangat lebar dengan jarakk QRS ke QRS yang reguler.
Take Home Message….
1
CARDIAC ARREST EARLY CPR EARLY DEFIBRILATOR3
STEMI PPCI TROMBOLYTIC DRUG2
POST ARREST OXYGENATION HYPOTENSION CATHETERIZA TION???12
<
>
Kita sudah selesai dari ilustrasi-ilustrasi kasus yang telah kita bahas tadi, mungkin untuk teman-teman Take home message-nya adalah,
1. Kalau teman-teman mendapatkan
caridiac arrest atau henti jantung yang harus teman-teman lakukan adalah early CPR, early defibrilasi, tetap dengan melakukan penanganan-penanganan yang lain seperti pemberian IV line, oksigen, dsb
Tetapi yang paling utama tatalaksana henti jantung adalah early CPR dan early defibrilasi. Untuk tatalaksana post arrest rescucitation yang paling penting adalah oksigenasi dan penanganan hipotensi.
2. Jika di tempat teman-teman ada fasilitas
keteterisasi jantung segera lakukan
3. Jika teman-teman mendapatkan pasien dengan ST elevasi, kuncinya adalah angka 12. Yaitu kalau onsetnya kurang dari 12 segera lakukan primary PCI atau trombolitik (lebih baik sebelum 3 jam), tetapi apabila onsetnya lebih dari 12 mungkin kita cukup dengan memberikan obat-obatan.
Take Home Message….
5
BRADI CARDIA SULFAS ATROPIN 2AMP DOPAMIN TPM CARDIVERSION ADENOSIN AMIODARONE6
TACHY CARDIA STABLE ? STABLE ?N
Y
WARMNE
4
SHOCK70-100
<70
COLD DOBUTAMIN DOPAMIN4. Jika teman-teman mendapatkan kondisi shock, kita evaluasi penyebab dari kondisi
shock tersebut. Pemilihan inotropiknya kita
bagi jadi dua yaitu apabila tekanan darahnya 70-100 kita lihat perfusinya hangat atau dingin, apabila hangat pilihan inotropiknya yang paling bagus adalah dobutamine, apabila perfusinya dingin pilhan yang paling bagus adalah dopamine, tetapi kalau tekanan darahnya kurang dari 70 mmHg paling rasional adalah kita memberikan norepinephrine.
5. Tatalaksana bradikardia hampir sama dengan takikardia. Yang kita evaluasi adalah
pasiennya stabil atau tidak. Kalau
bradikardia stabil anda bisa tenang-tenang saja. Cukup mengkonsulkan ke ahlinya, tetapi apabila kondisinya tidak stabil kuncinya adalah sulfas atropin 2 ampul
Dan apabila tidak respon, baru teman-teman pikirkan untuk pemberian dopamine atau pacing (Jika tersedia di tempat teman-teman) dan segera dirujuk
6. Kuncinya tatalaksana takikardia adalah dievaluasi pasiennya stabil atau tidak. Kalau tidak stabil pilihannya kardioversi. Kalau pasien tersebut stabil teman-teman bisa
memberikan obat-obatan. Pilihannya
adalah adenosine, jika tidak ada pikirkan pemberian amiodarone.
PESAN DARI DOKTER POST
Sudah paham kan Tatalaksana Henti Jantung, Bradiaritmia dan
Takiaritmia?
Kalau mau lebih paham, kamu harus mahir baca EKG deh^^
Tanggal 01 Juni 2017 Paket DVD Mahir Baca EKG Sudah Lengkap.