ANALISIS BIOMASSA DAN CADANGAN KARBON BAMBU BELANGKE
(Gigantochola pruriens Widjaja) DI HUTAN TANAMAN RAKYAT DESA DURIN SERUGUN,
KECAMATAN SIBOLANGIT, KABUPATEN DELI SERDANG Sehat Martua Pasarbu1, Siti Latifah2 dan Muhdi3
1Mahasiswa Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Jln. Tridarma Ujung No.1 Kampus USU Medan 20155
(Penulis Korespondensi, E-mail: Yunuspasarib99@gmail.com)
2Staf Pengajar Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT
Bamboo is a group of plants that have the ability to absorb CO2 in high concentrations because having the
number of stomata on bamboo leaves relatively tight and has are more than 500 stomata per mm2. Thus
bamboo plant can be used as an effective bioakumulator which can reduce carbon emissions in the
atmosphere. The purpose of this study was to determine the biomass content of bamboo, and (carbon stocks) in the public forests of bamboo and analyze the uptake of CO2 in bamboo plantations
community forest Belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja). The method used in this study is a destructive method. Sampling was done by purposive sampling felling. The results showed the best allometric equations for mass content of the biomass and carbon was W = 173.889-533.233D+4.262D2 for biomass content and C = 54.606-D-16.386+1.297D2 for carbon mass. The potential of biomass and carbon stocks in Forest Community Durin Serugun village, Sibolangit sub-district, Deli Serdang District is 16.59 tonnes / ha and 6.08 tons C / ha.
Keywords: Biomass analisys, Carbon stock, Bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja), Community Forest, Desa Durin Serugun.
PENDAHULUAN Latar belakang
Indonesia memiliki Sumber Daya Alam
dan keanekaragaman hayati (biodiversity) yang
cukup tinggi, salah satu contoh yaitu keanekaragaman jenis bambu. Tumbuhan yang bisa diolah untuk berbagai kebutuhan ini, juga
memiliki peran penting menyelamatkan
lingkungan dan mempunyai manfaat tersembunyi di masa depan, ditinjau dari segi lingkungan bambu dapat menjaga sistem hidrologis sebagai pengikat tanah dan air, sehingga mampu mengurangi erosi, sedimentasi, dan longsor. Selain itu, bambu juga berperan penting untuk menyimpan air dan karbon, menahan kebisingan serta mempunyai nilai ekonomis. Dari hasil
peneltian (Wicaksono, 2012) besarnya gas CO2
yang dapat diserap oleh bambu petung adalah
sebesar 26,028±6.064 kg/m2/th atau sekitar
260,028±60,64 ton/ha/th. Salah satu permasalah penting yang dihadapi Indonesia mulai sekarang ini adalah pemanasan global akibat dari efek rumah kaca dan eksploitasi sumber daya alam yang kurang terkendali. Namun demikian keuntungan Indonesia dibandingkan negara
lainnya adalah relatif masih luasnya
hutan hujan tropis yang tersisa, walaupun luasan hutan tersebut semakin menurun
seiring dengan menigkatnya eksploitasi
(Mahdalifah dkk, 2014).
Bambu merupakan salah satu jenis hutan homogen, dengan persentasi tutupan lahannya lebih dari 75 % didominasi oleh tumbuhan bambu. Dalam buku Berlian dan Estu (1995), bambu merupakan tanaman tahunan dan sudah dikenal sejak lama di Indonesia. Bambu dapat tumbuh di daerah iklim basah sampai kering dari dataran rendah hingga daerah pegunungan. Tanaman bambu banyak di temukan di daerah tropika, benua Asia, Afrika, dan Amerika. Benua Asia merupakan daerah penyebaran bambu terbesar, meliputi wilayah Indoburma, India, Cina, dan Jepang. Selain daerah Tropis bambu juga menyebar kedaerah Subtropik dan daerah iklim sedang di dataran rendah sampai dataran tinggi.
Menurut Tambaru (2012), dalam
Arniaty dkk (2014), mengatakan bahwa bambu merupakan sekelompok tumbuhan yang memiliki
kemampuan untuk menyerap CO2 dalam
konsentrasi yang tinggi dikarenakan, memiliki jumlah stomata pada daun bambu yang relatif rapat dan banyak yaitu lebih dari 500 stomata
per mm2. Dengan demikian bambu dapat
dijadikan sebagai tumbuhan bioakumulator yang efektif yang dapat mengurangi peningkatan emisi karbon di atmosfer. Melalui tahapan proses fotosintesis, bambu berperan penting dalam
siklus karbon sehingga dapat mereduksi CO2 di
dapat meningkatkan kadar oksigen dan
menurunkan suhu di sekitarnya. Manfaat bambu sebagai penyerap
karbon belum banyak dibicarakan padahal menurut Sutiyono (2010), bambu memiliki daya
serap karbondioksida (CO2) yang besar. Hal ini
karena bambu memiliki mekanisme fotosintesis C4, sedangkan pohon jenis lainnya C3. Artinya, fotosintesis bambu lebih efisien, yaitu menyerap
kembali sebagian karbondioksida yang
dihasilkan.. Tanaman bambu merupakan tanaman yang mudah dibudidayakan dan memiliki potensi ekonomi yang tinggi. Tanaman bambu dapat dijadikan milik pribadi yang ditanam di atas lahan milik perorangan yang juga diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Hutan Tanaman Rakyat.
Desa Durin Serugun merupakan salah satu desa didalam Kecamatan Sibolangit yang berada disekitar kawasan hutan. Masyarakat Desa Durin Serugun ini memiliki ketergantungan akan hutan dan areal hutan rakyat yang berada disekitarnya. Tanaman yang mereka tanam dan kelola adalah bambu
Belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja). Dari
segi ekonomi bambu ini dikelola menjadi keranjang untuk dijual, dan dapat menghasilkan
pendapatan bagi masyarakat sebesar
Rp. 1.000.000 – Rp. 1.500.000/ ha/bulan. Selain dari segi manfaat ekonomi, ternyata bambu juga memiliki manfaat dari segi lingkungan yang berpotensi sebagai penyerap karbon. Dari pernyataan diatas maka dilakukan penelitian dengan judul “Analisis Biomassa dan Cadangan
Karbon Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens
Widjaja) di Hutan Tanaman Rakyat Desa Durin Serugun, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang”.
Tujuan Penelitian
1. Menganalisis kandungan biomassa, dan
cadangan karbon bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja)
2. Mengetahui persamaan allometrik terbaik
biomassa dan karbon bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja).
3. Mengetahui potensi biomassa dan
cadangan karbon tanaman bambu
belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja).
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat bermanfaat untuk memberi informasi bagi civitas, para peneliti, masyarakat secara umum, dan pihak-pihak yang membutuhkan terkait dengan kandungan biomassa dan karbon pada bambu
Belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja) di
Hutan Tanaman Rakyat, Desa Durin Serugun, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang.
METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei- Juni 2015, dengan perincian bulan Mei 2015 adalah kegiatan pengumpulan data di lapangan dan bulan Juni 2014 adalah kegiatan menganalisis data. Penelitian akan dilaksanakan di Hutan Rakyat Desa Durian Serugun, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Luas areal penelitian seluas 2 Ha. Dengan Intensitas sampling minimal
0,05%. Analisis data akan dilakukan
di Laboratorim Kimia Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Alat dan Bahan
Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah GPS, meteran, pita diameter, gergaji, parang, tali rafia, kompas, timbangan, gunting tanaman, kamera, dan alat tulis menulis. Alat pendukung terdiri dari kantong plastik, label, dan alat tulis.Bahan dalam penelitian ini meliputi, data tutupan lahan Hutan Rakyat Desa Durian Serugun, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, contoh uji
bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja)
dewasa berumur 3-4 tahun. Bagian yang diambil terdiri dari batang, cabang, ranting, dan daun.
Jenis Data
Jenis – jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Data luas Hutan Rakyat Desa Durin
Serugun, Kecamatan Sibolangit,
Kabupaten Deliserdang, Provinsi
Sumatera Utara. Data ini diperoleh
dengan menggunakan peta
administrasi Deli Serdang.
b. Data inventarisasi bambu dewasa di
lapangan untuk menghitung biomassa dan cadangan karbonnya yaitu jumlah rumpun dalam setiap plot, jumlah batang bambu dewasa setiap rumpun, diameter, dan tinggi.
c. Data pengukuran di laboratorium
meliputi pengukuran kadar air, penentuan kadar abu dan penentuan kadar zat terbang bambu untuk menghitung kadar karbon.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan 2 metode
Metode destructive adalah cara yang digunakan untuk pengambilan sampel bambu dewasa dengan melakukan pengerusakan/penebangan
pada tegakan bambu. Metode sampling yaitu
dengan bentuk sampling jalur, digunakan untuk
menduga cadangan karbon tegakan bambu pada areal hutan rakyat. Untuk intesitas sampling yang
akan diambil adalah minimal 0,05%
(Permenhut P.67/Menhut-II/2006).
Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian ini meliputi pengumpulan data dan informasi yang
dibutuhkan, serta menganalisis sesuai
kebutuhan. Tahapan kegiatannya sebagai berikut:
1. Pengumpulan Data A. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh dari lapangan. Data tersebut antara lain, jumlah plot (sebanyak 3 plot), jumlah rumpun tiap plot, diameter, tinggi dan berat basah masing-masing fraksi tegakan bambu tebang untuk dianalisis, dan diperoleh model alometrik terbaik.
Hm-1 Keterangan :
A1, A2 : Pengabilan sampel
Hm-1 : Ukuran plot
Gambar 1. Bentuk petak pengukuran bambu Pengukuran parameter tegakan yang penting dilakukan pada setiap petak contoh penelitian (PCP) dengan metode jalur berpetak. Setiap PCP dibuat dengan ukuran 20 m x 20 m dengan jarak antar petak contoh 10 m x 10 (Kiyoshi, 2002).
B. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang telah ada sebelumnya, baik data yang dikeluarkan instansi terkait, penelitian sebelumnya, maupun literatur pendukung lainnya yaitu peta administrasi Kabupaten Deli Serdang.
2. Analisis Data di Lapangan A. Inventarisasi Luas Hutan Rakyat
Inventarisasi luas hutan rakyat dilakukan dengan menggunakan data tutupan lahan Hutan Rakyat Desa Durin Serugun, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara.
B. Pengukuran Plot Untuk Penebangan Bambu
1. Dibuat 3 plot berukuran masing-masing
20 m x 20 m. Peletakan setiap plot
dilakukan secara Purpossive, dengan
jarak antar petak 10 m x 10 m.
3. Dari masing-masing plot diambil 3
tegakan bambu yaitu bambu dewasa sebagai sampel. Selanjutnya diambil data DBH, tinggi bebas ranting, dan tinggi total.
4. Penebangan dilakukan pada ketinggian
1 m dari atas permukaan tanah. Pengukuran tinggi total bambu juga dilakukan setelah tegakan contoh bambu rebah. Tinggi total merupakan panjang total tegakan bambu contoh yang telah rebah hingga ujung tajuk
C. Pemilihan Bagian Tegakan Bambu dan Penimbangan Berat Basah
1. Sebelum dilakukan pembagian fraksi
tegakan bambu, terlebih dahulu dilakukan penimbangan terhadap berat total batang dan daun.
2. Pembagian fraksi tegakan bambu
contoh dilakukan untuk memisahkan bagian-bagian biomassa batang, dan
daun yang bertujuan agar analisa laboratorium lebih mewakili.
3. Sampel batang diambil pada
ketinggian 1,3 m dari atas permukaan tanah dimulai dari tunggak yang tersisa pada permukaan tanah.
4. Masing-masing sampel batang tiap
tegakan tebang dibuat 3 ulangan, dimana tiap ulangan diambil sebanyak 200 gram.
5. Untuk sampel daun dibuat 3 ulangan
saja sebanyak 200 gram.
3. Pengumpulan Data di Laboratorium Pengukuran Kadar Air
Pengambilan contoh tegakan dilakukan dengan menebang bambu masak (dewasa) di tebang sebanyak 9 batang. Bambu dipisahkan berdasarkan bagian-bagian bambu yang dibagi menjadi empat bagian utama yaitu batang sampai pada ujung dengan ukuran diameter ≥ 3 cm, bagian cabang meliputi cabang, ranting dan ujung bambu dengan diameter ≤ 3 cm, dan daun. Kemudian ditimbang sehingga diketahui berat basahnya. Setiap bagian bambu diambil contoh
uji berukuran ± (4 x tebal bambu) cm2 untuk
mengetahui kadar airnya. Untuk contoh uji daun, cabang, ranting diambil minimal sebanyak 200 gram selanjutnya dihitung kadar airnya.
A1
Pengukuran kadar air contoh uji dilakukan berdasarkan standar TAPPI T268 OM 88. Nilai kadar air dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
%
100
Bkt
Bkt
-Ba
(%)
Ka
Dimana :Ka = Kadar air yang diukur (dalam persen terhadap berat kering tanur bambu). Ba = Berat awal contoh uji bambu sebelum
dikeringkan dalam tanur.
Bkt = Berat contoh uji bambu kering tanur, yaitu berat konstan contoh uji bambu setelah disimpan selama 15 menit dalam desikator.
(Baharuddin, 2013).
Pengukuran Biomassa/Berat Kering
Besarnya biomassa dapat diketahui dengan menggunakan perhitungan berat kering.
Berat kering dapat dihitung dengan
menggunakan rumus:
BK = 𝐵𝐵
1 + (%100𝐾𝑎) Keterangan :
BK = Berat kering tanur (kg) BB = Berat basah (kg) Ka = Persen kadar air (%). (Haygreen dan Bowyer, 1996).
Penentuan Kadar Zat Terbang
Prosedur penentuan zat terbang yang
digunakan berdasarkan American Society
for Testing Material (ASTM) D 5832-98 adalah sebagai berikut : Sampel dari tiap bagian batang dipotong menjadi bagian-bagian kecil sebesar batang korek api, sedangkan sampel bagian daun dicincang, sampel kemudian dioven pada
suhu 80 oC selama 48 jam, sampel kering digiling
menjadi serbuk dengan mesin penggiling (willey
mill), serbuk hasil gilingan disaring dengan alat
penyaring (mesh screen) berukuran 40-60 mesh.
Dihitung dengan rumus :
Kadar Zat Terbang = 𝐴−𝐵
𝐴 𝑥 100%
Dimana :
A = Berat kering tanur pada suhu 1050 C
B = Berat contoh uji dikurangi berat berat cawan dan sisa contoh uji berat cawan dan sisa
contoh uji pada suhu 9500 C
Penentuan Kadar Abu
Serbuk contoh uji sebanyak 2 gram dimasukkan ke dalam cawan porselen yang ditetapkan beratnya, kemudian dimasukkan ke dalam tanur pada suhu mulai 0°C - 700°C selama 5 jam. Selanjutnya cawan dikeluarkan
dari tanur, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai beratnya tetap. Untuk mengetahui kadar abu dihitung berdasarkan ASTM D 28866-94. Penentuan kadar abu ini dilakukan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Institut Pertanian Bogor. Kadar abu dinyatakan dalam persen dengan rumus sebagai berikut :
Kadar abu = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ 𝑢𝑗𝑖 𝑥 100%
Penentuan Kadar Karbon
Penentuan kadar karbon terikat (fixed
carbon) ditentukan berdasarkan Standar
Nasional Indonesia (SNI) 06-37-301995 dengan rumus sebagi berikut ini:
Kadar karbon terikat arang (%) = 100%-kadar zat terbang arang(%)-kadar abu(%)
Model Allometrik
Bambu yang ditebang secara
destructive sampling sebanyak 9 batang diukur diameternya dan panjangnya sebagai tinggi tegakan bambu. Hasil pengukuran diameter dan
tinggi tersebut dibuat model dengan
menggunakan software IBM SPSS versi 20 for
windows.
Model Penduga Biomassa dan Karbon Bambu
Dalam penelitian ini akan dibangun dengan model persamaan allometrik dengan
menggunakan program software IBM SPSS
statistic Version 22 windows. Bentuk analisis regresi allometrik dan persamaan polynominal adalah sebagi berikut :
Ŷ = β0+β1D+β2D2
Ŷ = β0Dβ1
Ŷ = β0+ β1D2H
Ŷ = β0Dβ1Hβ2
Keterangan:
Ŷ = Taksiran nilai biomassa (W) atau
karbon (C) bambu belangke (kh/batang)
D = Diameter batang (Dbh) (cm)
H = Tingg total batang (m)
β1β2β3 = Konstanta parameter regresi
Persamaan Regresi terbaik akan dipilih dari model-model hipotetik di atas dengan menggunakan berbagai kriteria statistik, seperti goodness of fit, koefisien determinasi (R2), analisis sisaan serta pertimbangan kepraktisan untuk pemakaian.
Analisis Potensi Biomassa dan Karbon Tegakan Bambu
Berdasarkan persamaan model
penduga biomassa yang terpilih maka kita dapat mengetahui besarnya total potensi biomassa dan karbon dari hutan bambu adapun cara
mengkonversinya ke dalam kg/ha yaitu dari seluruh bambu yang ditemukan pada petak penelitian.
𝑊𝑇 = ∑ 𝑊𝑖
(∑ 𝐿𝐶𝑃𝑖/10.000)
Keterangan:
WT = Total biomassa / karbon seluruh
tegakan (Kg/ha)
∑ 𝑊𝑖 = Jumlah biomassa/karbon ke-i (Kg)
∑ 𝐿𝐶𝑃𝑖 = Total luas petak contoh penelitian ke-i (m2)
(Baharuddin, 2013).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja)
Dari hasil inventarisasi bambu di lapangan, terdapat total 29 rumpun bambu, pada plot satu terdapat 11 rumpun, plot dua terdapat 9 rumpun dan plot tiga terdapat 9 rumpun. Dari Tabel 1. dapat dilihat diameter terkecil terdapat pada sampel tebang 1 plot 1, yaitu sebesar 5,30 cm dan tinggi total 15,60 m. Untuk diameter terbesar terdapat pada sampel tebang 2 plot 2, sebesar 6,80 cm dengan tinggi total 15,70 m. Sampel tebang paling tinggi terdapat pada sampel tebang 3 plot 3, yaitu sebesar 15,90 m dan memiliki diameter 5,4 5cm. Sampel tebang paling rendah terdapat pada sampel tebang 3 plot 1, yaitu sebesar 12,80 m dengan diameter 5,45 cm. Rataan tinggi total diperoleh 14,90 m, rataan diameter sebesar 5,61 cm, dan rataan
total bobot basahnya adalah sebesar 22,77 Kg. Tabel 1. Karakteristik Tanaman Bambu Belangke
(Gigantochloa pruriens W.)
No.
Plot Sampel Tebang H (m) DBH (Cm)
Berat Basah (Kg) Total Bobot Basah (Kg) Batang Ranting Daun 1 15,60 5,30 18,80 4,60 3,10 26,50 1 2 14,70 5,48 19,30 5,40 3,00 27,70 3 12,80 5,45 15,80 3,30 2,30 21,40 1 15,73 5,54 15,40 2,40 1,60 19,40 2 2 15,70 6,80 16,40 3,60 1,40 23,70 3 14,80 5,80 14,80 2,20 2,00 19,00 1 15,40 5,34 14,40 2,80 1,20 22,40 3 2 13,45 5,30 17,10 4,50 3,20 24,80 3 15,90 5,45 16,30 2,40 1,30 20,00 Total 134,08 50,46 148,30 31,20 19,10 204,9 Rataan 14,90 5,61 16,48 3,47 2,12 22,77
Sifat Fisis dan Kimia Tanaman Bambu Belangek (Gigantochloa pruriens W.)
1. Kadar Air
Bambu merupakan salah satu jenis tanaman yang memiliki kemampuan menyerap air yang tinggi. Dengan sifatnya yang higroskopis tersebut maka bambu ini mempunyai afinitas terhadap air, baik dalam bentuk uap maupun cair. Dengan kondisi tersebut membuat kadar air sangat berpengaruh terhadap sifat fisis dan mekanis bambu. Kadar air itu sendiri adalah persentase kandungan air yang terdapat dalam suatu bahan berdasarkan berat basah atau berat kering dan dinyatakan dalam persen.
Dari hasil uji laboratorium yang telah dilakukan, ternyata pada setiap bagian bambu memiliki persentase kadar air yang berbeda-beda. Berikut persentase kadar air bambu disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai Rata-rata Kadar Air Sampel Tebang Pada Berbagai Bagian
Tanaman Bambu Belangke
(Gigantochloa pruriens W.) Kadar Air % No.
Plot Sampel
Tebang Batang Ranting Daun
1 104,82 87,07 232,03 1 2 118,57 222,80 206,88 3 96,11 86,00 237,34 1 11,00 109,14 224,53 2 2 148,81 93,54 117,17 3 104,69 106,99 179,89 1 85,00 97,36 207,60 3 2 97,19 77,86 207,47 3 118,36 83,02 183,45 Total 984,55 963,78 1796,36 Rataan 109,40 107,09 199,60
Dari Tabel 2. menunjukkan adanya perbedaan kadar air pada setiap bagian bambu antara batang, ranting dan daun. Kadar air tertinggi terdapat pada daun dengan rata-rata sebesar 199,60 %. Persentase kadar air pada batang sebesar 109,40 %. Kadar air terendah terdapat pada bagian ranting yaitu sebesar 107,09%. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian Widyasari (2010) yang melakukan penelitian terhadap pendugaan biomassa dan potensi karbon terikat di atas permukaan tanah pada hutan rawa gambut bekas terbakar di Sumatera Selatan juga memperoleh hasil yang serupa yaitu jumlah kadar air tertinggi yang diperoleh terdapat pada bagian daun dengan rata-rata sebesar 59,65 – 68,66% diikuti bagian
ranting 39,69 – 63,18% dan bagian batang dengan rata-rata berkisar antara 5,28 – 13,34%.
Berbeda dengan hasil penelitian Malau (2015) yang melakukan penelitian pada bambu
tali (Gigantochloa apus K.) dengan persentase
kadar air tertinggi terdapat pada batang. Menurut Xiaobing (2007) mengatakan bahwa perbedaan kadar air bambu tergantung dari : 1) Spesies bambu : spesies yang berbeda memimiliki jumlah kadar air yang berbeda dari parenkim sel yang berkorelasi dengan kapasitas memegang air. 2) Bagian node atau ruas : node memiliki kadar air yang lebih rendah diabanding ruas (hingga 25%). 3) Musim : pada akhir musim hujan jauh lebih tinggi daripada akhir musim kemarau dan setelah panen kadar air bambu dapat dipengaruhi oleh kelembapan dan kekeringan lingkungan.
2. Kadar Zat Terbang
Zat terbang merupakan komponen senyawa organik dan anorganik yang terlepas kecuali komponen air, pada saat pemanasan suhu tinggi. Persentase zat terbang ini juga
disebut kadar zat mudah menguap (volatile
matter), yaitu persen zat yang terbuang dalam bentuk gas pada saat pembakaran. Hasil penelitian berikut juga menunjukkan adanya perbedaan rata-rata kadar zat terbang yang terdapat dalam setiap bagian-bagian bambu. Persentase rata-rata kadar zat terbang tersebut di sajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Nilai Rata-rata Kadar Zat Terbang Sampel Tebang Pada Berbagai Bagian
Tanaman Bambu Belangke
(Gigantochloa pruriens W.) Zat Terbang % No. Plot Sampel Tebang Batang Ranting Daun
1 55,70 66,15 66,97 1 2 56,94 62,97 69,56 3 62,17 62,26 65,20 1 58,70 63,45 65,15 2 2 60,70 62,47 66,20 3 57,70 61,53 64,70 1 57,08 63,89 66,86 3 2 64,22 63,70 68,50 3 58,74 63,84 66,50 Total 531,95 570,26 599,64 Rataan 59,11 63,36 66,63
Berdasarkan hasil uji laboratorium yang disajikan dalam Tabel 3. dapat dilihat bahwa adanya perbedaan rata-rata kadar zat terbang yang terdapat dalam setiap bagian-bagian bambu. Untuk rata-rata kadar zat terbang tertiggi
terdapat pada daun sebesar 66,63%, sedangkan kadar zat terbang terkecil terdapat pada bagian batang dengan rata-rata sebesar 59,11%. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Purwitasari (2011) yang melakukan penelitian pada tegakan Akasia mangium dan memperoleh hasil kadar zat terbang tertinggi terdapat pada daun sebesar 67,29% dan terkecil terdapat pada bagian batang sebesar 36,92%.
3. Kadar Abu
Menurut Rosintah (2015) mengatakan bahwa kadar abu itu sendiri merupakan jumlah abu yang tertinggal (mineral yang tidak dapat menguap) dengan pembakaran suatu serbuk menjadi abu. Berdasarkan hasil uji laboratorium dan analisis, maka diperoleh hasil rata-rata kadar abu yang disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Nilai Rata-rata Kadar Abu Sampel Tebang Pada Berbagai Bagian
Tanaman Bambu Belangke
(Gigantochloa pruriens W.) Kadar Abu % No. Plot Sampel Tebang Batang Ranting Daun
1 1,40 2,65 13,70 1 2 1,91 4,33 9,52 3 1,20 4,30 13,80 1 2,00 4,56 14,88 2 2 1,54 6,78 16,02 3 2.15 5,67 16,38 1 1,45 4,76 12,98 3 2 1,52 4,76 10,20 3 2,39 4,10 12,77 Total 15,56 41,91 120,25 Rataan 1,73 4,66 13,36
Dari hasil yang diperoleh, kadar abu pada setiap bagian yaitu (batang, ranting, dan daun) memiliki kandungan abu yang berbeda. Jumlah rata-rata kadar abu paling tinggi terdapat pada bagian daun yaitu sebesar 13,36% dan pada bagian ranting rata-rata kadar abunya sebesar 4,66%. Kadar abu terendah terdapat pada bagian batang dengan rata-rata 1,73%. Jika dibandingkan dengan penelitian lain, hasil ini juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Purwitasari (2011) pada tegakan Akasia mangium dan memperoleh kadar abu tertinggi terdapat daun sebesar 3,61% dan kadar abu terkecil terddapat pada batang sebesar 1,46%.
Penelitian lain yang mendukung berdasarkan hasil penelitian Alpian (2011) memperoleh hasil kadar abu pada batang kayu
Gelam (Melalleuca cajuputi) lebih rendah dibandingkan pada bagian tiang dan pancang. Hal yang menyebabkan rendahnya kadar abu pada batang disebabkan karena adanya perbedaan kandungan komponen anorganik dalam batang. Perbedaan ini terlihat sangat signifikan dengan kadar abu paling tertinggi terdapat pada daun sebesar 13,36%. Persentase kadar abu terendah terdapat pada bagian batang dengan rata-rata sebesar 1,73%. Dengan adanya perbedaan kandungan bahan anorganik pada setiap bagian bambu, menyebabkan adanya perbedaan kadar abu pada setiap bagian bambu.
4. Kadar Karbon
Nilai rata-rata kadar karbon sampel tebang pada berbagai bagian tanaman bambu
belangke (Gigantochloa pruriens W.) disajikan
pada Tabel 5.
Tabel 5. Nilai Rata-rata Kadar Karbon Sampel Tebang Pada Berbagai Bagian
Tanaman Bambu Belangke
(Gigantochloa pruriens W.) Kadar Karbon (%) No. Plot Sampel Tebang Batang Ranting Daun
1 42,90 31,11 19,34 1 2 41,16 32,70 20,92 3 36,62 33,45 21,00 1 38,13 32,00 19,97 2 2 37,77 30,75 17,77 3 40,15 32,80 18,93 1 41,46 31,35 20,17 3 2 34,26 31,54 21,30 3 39,88 32,05 20,74 Total 352,33 287,75 180,14 Rataan 39,15 31,97 20,02
Kadar karbon bagian bambu dari lokasi penelitian menunjukkan adanya perbedaan antara bagian batang, ranting, dan daun bambu. Kadar karbon tertinggi terdapat pada bagian batang dengan rataan sebesar 39,15% disusul dengan bagian ranting dengan rataan sebesar 31,97%. Kadar karbon terendah terdapat pada bagian daun dengan rataan sebesar 20,02%. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Suprihatno (2012) dimana jumlah kadar karbon pada batang lebih tinggi yaitu dengan rataan sebesar 53,84%. Hal ini menunjukkan adanya selisih yang cukup tinggi yaitu sebesar 14,69%. Hal lain yang dapat menyebabkan meningkatnya kadar karbon pada bagian batang adalah dengan
meningkatnya umur dan tinggi bambu. Rata-rata cadangan karbon tertinggi pada tanaman biasanya setelah bambu mencapai tinggi >11 m atau berumur lebih dari 10 minggu.
Selanjutnya bila dibandingkan dengan penelitian lain, penelitian ini juga sejalan dengan Yuniawati (2011) yang melakukan penelitian
pada tegakan A. crassicarpa dan memperoleh
hasil kadar karbon tertinggi terdapat pada batang umur 5 tahun sebesar 60,20% dan terendah terdapat pada bagian daun berumur 2 tahun sebesar 37,02%.
Aalisis Biomassa dan Karbon Tanaman Contoh
5. Biomassa (Berat Kering)
Pada umumnya biomassa dinyatakan sebagai kandungan berat kering bahan, karena setiap bagian tumbuhan memiliki kandungan air yang berbeda. Sutaryo (2009) mengatakan bahwa biomassa bambu memiliki tingkat variasi yang berbeda-beda tergantung dari jenis, tempat tumbuh, dan pengelolaannya. Secara spesifik setiap jenis bambu yang tumbuh di tempat tumbuh yang berbeda dan pengelolaan yang berbeda akan menghasilkan biomassa yang berbeda juga.
Tabel 6. Nilai Rata-rata Berat Kering (Biomassa) Sampel Tebang Pada Berbagai Bagian
Tanaman Bambu Belangke
(Gigantochloa pruriens W.)
Batang Ranting Daun Biomassa Total (Kg/btg) No.
Plot Sampel Tebang (Kg) BB (Kg) BK (Kg) BB (Kg) BK (Kg) BB (Kg) BK
1 21,80 9,18 3,40 2,46 1,30 0,93 12,57 1 2 22,30 8,83 3,60 1,67 1,80 0,98 11,48 3 18,80 8,06 2,00 1,77 1,60 0,69 10,51 1 17,00 7,30 1,40 1,15 1,00 0,49 8,94 2 2 18,70 6,59 3,60 1,86 1,40 0,51 8,96 3 16,80 7,23 1,20 1,06 1,00 0,71 9,01 1 18,40 7,78 2,80 1,42 1,20 0,39 9,59 3 2 19,10 8,67 3,70 2,53 2,00 0,87 12,07 3 17.70 7.47 1.40 1.31 0.90 0.46 9.24 Rataan 7,90 1,70 0,67 10,26
Dari Tabel 6. dapat dilihat perbedaan biomassa dari tiap bagian bambu tersebut. Rataan biomassa tertinggi terdapat pada bagian batang yaitu sebesar 7,90 kg, disusul dengan
bagian ranting sebesar 1,70 kg. Untuk rataan biomassa terendah terdapat pada daun bambu yaitu sebesar 0,67 kg. Selanjutnya untuk rata-rata total biomassa perbatang diperoleh rata-rataan sebesar 10,26 kg/btg. Berat biomassa tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Baharuddin (2013) yang melakukan penelitian pada bambu parring dan medapatkan rataan biomassa sebesar 14,3 kg/btg. Perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan diameter, tinggi, dan tempat tumbuh yang berbeda. Hal ini juga sesuai pendapat Sutaryo (2009) yang mengatakan bahwa adanya perbedaan biomassa dapat disebabkan oleh perbedaan tempat tumbuh.
6. Massa Karbon
Nilai rata-rata massa karbon sampel tebang pada berbagai bagian tanaman bambu
belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja)
disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Nilai Rata-rata Massa Karbon Sampel Tebang Pada Berbagai Bagian
Tanaman Bambu Belangke
(Gigantochloa pruriens W.) No.
Plot
Massa Karbon (Kg) Total Massa Karbon (Kg) Sampel
Tebang Batang Ranting Daun
1 3,94 0,76 0,18 4,88 1 2 3,63 0,55 0,20 4,39 3 2,95 0,59 0,14 3,69 1 2,78 0,37 0,10 3,25 2 2 2,49 0,57 0,09 3,15 3 2,90 0,35 0,14 3,39 1 3,23 0,44 0,08 3,75 3 2 2,97 0,80 0,19 3,95 3 2,98 0,42 0,10 3,49 Rataan 3,10 0,54 0,13 3,80
dengan rataan sebesar 0,54 kg. Massa karbon terendah terdapat pada daun dengan rataan sebesar 0,13 kg. Selanjutnya bila dilihat kandungan biomassa dari Tabel 6, dimana kandungan biomassa tertinggi terdapat pada batang sebesar 7,80 kg menunjukkan adanya hubungan antara kandungan biomassa dengan massa karbon pada bambu. Hasil penilitian ini menunjukkan semakin tingginya biomassa yang terdapat pada bambu ini, maka semakin tinggi pula massa karbon yang terdapat dalam bambu tersebut.
Hasil penelitian pada Tabel 7. menunujukkan bahwa massa karbon tertinggi
terdapat pada bagian batang dengan rataan sebesar 3,10 kg, disusul dengan bagian ranting
Model Allometrik
Model allometrik merupakan suatu metode pengukuran yang dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan tanaman dengan menghubungkan eksponensial atau logaritma anatar organ tanaman yang terjadi secara harmonis. Bagian tanaman yang sering dihubungkan dalam menentukan persamaan allometrik ini adalah diameter, tinggi, biomassa, serta massa karbon yang tedapat dalam bambu. Pada setiap tanaman yang berbeda maka cara untuk menentukan persamaan allometriknya juga berbeda.
Persamaan yang diperoleh tersebut merupakan hubungan antara biomassa atau massa karbon yang tedapat pada setiap bagian tanaman dengan diameter, tinggi total bambu
Belangke (Gigantochloa pruriens W.). Untuk
pendugaan biomassa serta massa karbon akan menggunakan pendekatan diameter, dan tinggi total tanaman sehingga nanti diperoleh model yang akan terpilih. Model yang terpilih dari sampel tebang bambu merupakan model terbaik persamaan allometrik yang telah di buat. Model allometrik yang berhasil dibangun dari sampel tebang untuk menduga biomassa dan massa karbon disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Model Allometrik Untuk Menduga Biomassa Setiap Bagian Tanaman dan Total Biomassa Dari Setiap Bagian
Bambu Belangke (Gigantochloa
pruriens W.)
Bagian Model Allometrik S P
R-Sq (%) Batang W= 78,186-22,327D+1,735D2 0,59635 0,490 63,5 W= 15,177D-1,298 0,63597 0,029* 51,6 W= 10,721-0,006D2H 0,63218 0,028* 52,2 W= 16,682 D-1,210 H-0,134 0,66731 0,095 54,3 Ranting W= 91,266-29,771D+2,445D2 0,36900 0,049* 63,5 W= 2,491 D-0,142 0,56080 0,744 1,6 W= 2,147-0,001D2H 0,55530 0,628 3,5 W= 4,329D-0,035H-0,164 0,57207 0,676 12,2 Daun W= 4,392-1,120D+0,081D2 0,24191 0,741 9,5 W=1,458D0,141 0,22445 0,429 9,1 W=1,065-0,001D2H 0,21645 0,295 15,5 W= 2,297 D-0,092 H-0,075 0,22477 0,477 21,9 Total Tanaman W=173,889-53,233D+4,262D2 1,15534 0,111 52,0 W=19,123 D-1,580 1,32106 0,154 26,8 W= 13,932-0,008D2H 1,28313 0,120 30,9 W= 23,306D-1,336 H-0,373 1,353309 0,285 34,2
Keterangan
W = biomassa
D = Diameter Setinggi Dada (Dbh) (cm)
H = Tinggi Total (cm)
P = Signifikansi
R-Sq = Koefisien Determinasi
S = Standart Error
Dari persamaan allometrik biomassa yang telah dibangun dapat di lihat hubungan antar bagian tanaman. Model allometrik biomassa dibangun dengan tujuan untuk mengetahui taksiran biomassa dari setiap bagian
bambu belangke
(
Gigantochloa pruriens
W.).
Model ini menghubungkan antara biomassa batang, ranting, dan daun dengan diameter setinggi dada (Dbh) dan tinggi total (H).
Model allometrik kandungan karbon dibangun dengan tujuan untuk mengetahui taksiran massa karbon yang terdapat pada setiap
bagian bambu belangke (Gingantochloa pruriens
Widjaja). Model ini akan menghubungkan massa karbon pada batang, ranting, daun dengan diameter setinggi dada (Dbh), dan tinggi total (H). Tabel 9. Model Allometrik Untuk Menduga Kandungan Karbon Setiap Bagian Tanaman dan Total Biomassa Dari Setiap Bagian Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens W.)
Bagian Model Allometrik S P R-Sq (%)
Batang C= 26,561-7,334D+1,569D2 0,39039 0,198 41,7 C= 6,296D-0,571 0,37542 0,081 37,1 C= 4,125-0,002D2H 0,40776 0,162 25,8 C= 5,208D-0,634H0,097 0,38799 0,191 32,5 Ranting C= 26,953-8,766D+0,719D2 0,11950 0,067 59,4 C= 0,855D-0,056 0,17127 0,674 2,7 C= 0,720+0,000D2H 0,16842 0,529 5,5 C= 1,526D-0,017H-0,060 0,17009 0,557 17,7 Daun C=1,093-0,286D+0,020D2 0,04975 0,594 15,9 C= 0,353D-0,039 0,04621 0,296 15,4 C= 0,240+0,000D2H 0,04369 0,177 24,3 C= 0,557D-0,027H-0,018 0,04474 0,314 32,0 Total Tanaman C= 54,606-16,386+1,2977D2 0,47524 0,152 46,6 C= 7,504D-0,666 0,44926 0,118 31,3 C= 5,085-0,003D2H 0,51769 0,160 26,1 C= 0,53878D-0,678H-0,019 0,53878 0,323 31,4 Keterangan C = Karbon
D = Diameter Setinggi Dada (Dbh) (cm)
H = Tinggi Total (cm)
P = Signifikansi
R-Sq = Koefisien Determinasi
S = Standart Error
Berdasarkan persamaan allometrik Tabel 8. dan Tabel 9. dapat dilihat bahwa model allometrik biomassa dan kandungan karbon yang telah dibentuk mengikuti fungsi logaritma dan regresi linier sederhana dengan menggunakan peubah bebas diameter (D), dan tinggi total (H). Pemilihan model terbaik dilakukan setelah menguji beberapa model dimana model-model tersebut dibagi menjadi beberapa model yang menggunakan satu peubah bebas, yaitu diameter dan model yang menggunakan dua peubah bebas yaitu diameter dan tinggi total. Berdasarkan kriteria statistik maka didapatkan persamaan allometrik terbaik untuk kandungan
biomassa dan massa karbon yaitu
W=β0+β1D+β2D2. Model penduga terbaik dalam
pendugaan biomassa bambu belangke adalah model allometrik dengan penduga diameter yaitu
W= 173,889-533,233D+4,262D2 dan model
penduga terbaik dalam pendugaan massa
karbon adalah C= 54,606-D-16,386+1,297D2.
Standard error (S) terkecil yaitu 1,1 untuk kandungan biomassa dan 0,4 untuk massa karbon. R-Square terbesar pada kandungan biomassa adalah 52% dan 46,6% untuk massa karbon.
Dari persamaan terbaik pada Tabel 8. dan Tabel 9. yang telah dipilih diatas menandakan bahwa model tersebut memiliki kebaikan dalam pendugaan biomassa dan karbon. Hal tersebut diartikan bahwa 52% dan 46,6% keragaman biomassa dan karbon bambu
belangke (Gigantochloa pruriens W.) dapat
dijelaskan oleh pengaruh peubah bebas diameter. Sisa 48% untuk biomassa di pengaruhi oleh lingkungan dan 43,4% untuk karbon dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Selanjutnya nilai korelasi antara parameter diameter terhadap biomassa pada Lampiran 8.1. yang diperoleh dari regresi linear menunjukkan nilai R sebesar 0,51. Nilai korelasi antara parameter tinggi terhadap biomassa pada Lampiran 8.2. menunjukkan nilai R sebesar 0,406. Nilai Korelasi antara parameter diameter terhadap biomassa tergolong sedang, dan korelasi antara parameter tinggi terhadap biomassa tergolong sedang.
Dari persamaan allometrik biomassa dan cadangan karbon pada Tabel 8. dan Tabel 9. sebaiknya dilakukan juga uji kenormalan dari nilai sisaan apakah terpenuhi sebagai salah satu asumsi model persamaan regresi tersebut dapat dipergunakan secara baik. Berikut gambar visualisasi kenormalan sisaan persamaan regresi terbaik yang telah dibentuk disajikan pada Gambar 3. dan Gambar 4.
Gambar 3. Visualisasi plot uji kenormalan sisaan model allometrik terpilih biomassa
bambu belangke (Gigantochloa
pruriens W.)
Gambar 4. Visualisasi plot uji kenormalan sisaan model allometrik terpilih massa karbon
bambu belangke (Gigantochloa
pruriens W.)
Dari Gambar 3. dan Gambar 4. terlihat visualisasi sebaran dimana nilai sebaran dikatakan menyebar secara normal apabila
antara nilai sisaan dengan probability normalnya
membentuk pola garis linier melalui pusat sumbu.
Potensi Biomassa Dan Cadangan Karbon Tanaman Bambu Belangke (Gigantochloa prurients W.)
Potensi biomassa dan cadangan
karbon bambu belangke (Gigantochloa pruriens
Widjaja) berdasarkan model allometrik yang
terpilih pada W=173,889-53,233D+4,262D2) dan
(C=54,606-16,36+1,2977D2) disajikan pada
Tabel 10.
Tabel 10. Potensi Biomassa dan Cadangan Karbon Pada Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens W.) No. Plot Total Biomassa (Kg) Total Biomassa (Ton/Ha Total Massa Karbon (Kg) Total Massa Karbon (Ton C/Ha) 1 711,92 16,51 260,93 6,52 2 660,60 15,45 242,49 6,06 3 617,92 49,76 226,25 5,66 Total 1990,44 49,76 729,67 18,24 Rataan 663,48 16,59 243,22 6,08
Berdasarkan Tabel 10. dapat dilihat rata-rata total biomassa dan masa karbon yang terkandung dalam bambu belangke. Rata-rata total biomassa yang didapat dalam penelitian ini adalah sebesar 16,59 ton/ha dan selanjutnya total massa karbon yang didapat sebesar 6,08 ton C/ha. Hasil penelitian ini lebih rendah bila
dibandingkan dengan hasil penelitian Baharuddin (2013) mengenai analisis potensi bambu parring
(Gigantochloa atter) sebagai penyerap dan
penyimpan karbon di HTR Tanralili Kabupaten Maros yang memperoleh jumlah biomassa 64,07 ton/ha dengan serapan karbon 31,33 ton C/ha dengan diameter rata-rata sebesar 7,5 cm. Perbedaan hasil biomassa dan cadangan karbon ini dikarenakan struktur dan perawakan serta lingkungan bambu yang diteliti sangat berbeda. Jika dilihat dari Tabel 1. diameter rata-rata bambu belangke yang diperoleh sebesar 5,61 cm.
Beberapa hasil penelitian biomassa dari beberapa jenis bambu di sajikan dalam Tabel 11. sebagai berikut :
Tabel 11. Hasil Penelitian Biomassa Beberapa Jenis Bambu
No. Jenis Bambu Penelitian Lokasi Biomassa Ton/Ha Peneliti
1 Belangke (Gigantochloa pruriens Widjaj) Desa Sirpang Sigodang, Kab. Simalungun 8,67 Yonri, 2015 2 Talang (Shizostachyum brachycladium K.) Desa Pertumbukan,
Kab. Langkat 5,85 Arinah, 2015
3 Tali (Gigntochloa apus Kurz.) Desa Sirpang Sigodang, Kab. Simalungun 10,91 Malau, 2015 4 Belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja) Desa Durin Serugun, Kab. Deli Serdang 16,59 Pasaribu,2015 Hasil penelitian ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian Malau (2015) yang memperoleh biomassa sebesar 10,91 ton/h pada bambu tali, Yonri (2015) pada bambu belangke memperoleh biomassa sebesar 8,67 ton/ha, dan Arinah (2015) pada bambu talang memperoleh biomassa sebesar 5,85 ton/ha. Kondisi lingkungan juga bisa dikatakan sangat berpengaruh terhadap jumlah kandungan biomassa dan massa karbon yang terdapat dalam bambu. Secara spesifik kandungan biomassa akan berbeda pula pada setiap jenis bambu yang berbeda, kondisi tempat tumbuh yang berbeda, serta pengelolaan yang berbeda.
Berdasarkan hasil penelitian Pebriandi (2013) yang melakukan penelitian pada hutan lindung Sentajo memperoleh hasil massa karbon sebesar 223,177 toh/ha, dengan serapan karbon 92,897 ton. Tingginya massa dan serapan karbon tersebut sangat berkaitan dengan diameter dan kerapatan serta faktor lingkungan pada hutan alam. Hutan tanaman rakyat khususnya tanaman bambu juga memiliki potensi yang baik dalam menyerap karbon. INBAR (2009) mengatakan hal in dikarenakan hutan tanaman bambu ini sifatnya dipanen sehingga tegakan terus beregenerasi.
W= 173,889-533,233D+4,262D2
Nilai Ekonomi
Saat diberlakukannya perdagangan karbon di bawah Protokol Kyoto (1997) dengan mekanisme berbasis pasar yang bertujuan untuk
membantu membatasi peningkatan CO2 di
atmosfer, potensi karbon bambu belangke ini akan dapat memberikan nilai ekonoimi serta memiliki nilai jual di pasar karbon dunia. Nilai ekonomi total yang terdapat pada suatu areal hutan tergantung pada harga persatuan. Pada Tabel 10. dapat dilihat secara keseluruhan total cadangan karbon yang diperoleh adalah sebesar 6,08 ton C/ha. Harga karbon persatuan dalam ton memiliki nilai yang berbeda-beda menurut sumber yang berbeda. Berikut nilai ekonomi
bambu belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja)
disajikan pada tabel 12.
Tabel 12. Nilai Ekonomi Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens Widjaja)
No Karbon/Ton Harga Sumber Total Karbon Ton C/Ha Nilai Karbon USD IDR 1 USD 5-6 Razak (2015) 6,08 36,48 474.240 2 USD 5 Vanbeukering et.al. (2003) 6,08 30,4 395,200 Keterangan : USD 1 = Rp. 13.000
Dari harga tersebut, dapat dihitung
harga jual karbon bambu belangke
(Gigantochloa pruriens Widjaja) berkisar antara Rp.395.200 per ton/ha sampai dengan Rp.474.240 per ton/ha. Dari hasil ini jika HTR bambu ini dikelola dengan baik, selain berpotensi bagi lingkungan sebagai penyerap karbon juga memiliki nilai jual dan menyumbang nilai ekonomi. Pemilik yang mengelola hutan atau lahan pertanian bisa menjual kredit karbon berdasarkan akumulasi karbon yang terkandung
dalam pepohonan di hutan mereka
(Razak, 2015).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
1. Kandungan biomassa yang terdapat
pada bambu belangke (Gigantochloa
pruriens Widjaja) adalah 10,26
kg/batang, dan kandungan karbon sebesar 39,15% pada batang, 31,97% pada ranting, dan 20,02% pada daun.
2. Persamaan allometrik yang berhasil
dibangun untuk menduga potensi biomassa dan cadangan karbon bambu
belangke (Gigantochloa pruriens
Widjaja) adalah
W=173,889-533,233D+4,262D2 untuk kandungan
biomassa, dan
C=55,606-16,386+1,297D2 untuk massa karbon.
2. Potensi biomassa dan cadangan
karbon bambu belangke (Gigantochloa
pruriens Widjaja) di Hutan Tanaman
Rakyat Desa Durin Serugun,
Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang masing-masing sebesar 16,59 ton/ha dan 6,08 ton C/ha.
Saran
Untuk mendapatkan total biomassa dan cadangan karbon secara keseluruhan, perlu adanya penelitian lanjutan tentang biomassa dan cadangan karbon pada serasah dan tumbuhan
bawah bambu belangke
(Gigantochloa pruriens Widjaja).
DAFTAR PUSTAKA
[ASTM]. American Society for Testing Material. 1990a. ASTM D 2866-94. Standart Test Method for Total ash Content of Activated Carbon. Philadelphia. [ASTM]. American Society for Testing Material.
1990b. ASTM D 5832-98. Standart Test Method for Total ash Content of Activated Carbon. Philadelphia. Arinah H. 2015. Pendugaan Cadangan Karbon
Pada Tanaman Bambu Talang (Shizostachyum brachycladum K.) di
Hutan Rakyat Bambu Desa
Pertumbukan Kecamatan Wampu
Kabupaten Langkat. Universitas
Sumatera Utara. Medan.
Arniaty dkk. 2014. Analisis Kemampuan Bambu
Ater (Gigantho atter) (Hassk.) Kurz
dalam Mengabsorpsi Karbon Dioksida di Kecamatan Buntao’ Rantebua Kabupaten Toraja Utara.
Baharuddin. 2013. Analisis Potensi Tegakan
Bambu Parring
(Gigantochloa atter) Sebagai Penyerap dan Penyimpan Karbon. Disertasi. Universitas Hasanuddin. Makassar. Hairiah, K., Ekadina A, Sari R, dan Rahayu, S.
2011. Pengukuran Cadangan Karbon dari Tingkat Lahan ke Bentang Lahan. Worid Agroforestry Centere, ICRAF SEA Regional Office. Universitas Brawijaya. Malang.
Haygreen JG dan Bowyer JL. 1996. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu. Edisi ke-4. Yogyakarta: University Gadjah Mada Press. INBAR. 2009. The Climate Chane Challenge and
Kiyoshi, M. 2002. Measurementof Biomass in Forest. JICA. Jepan.
Lusyiani. 2011. Analisis sifat fisik dan kimia briket arang dari campuran Kayu galam (Melaleuca leucadendron Linn) dan tempurung Kemiri (Aleurites moluceana Wild).
Mahdaliah dkk. 2014. Analisis Kemampuan
Bambu Tallang
(Schyzostachyum branchyladum kurz ).
Dalam Mengabsorpsi Karbondioksida di
Kecamatan Buntao’ Rantebua
Kabupaten Toraja Utara.
Malau S.M. 2015. Analisis Biomassa dan
Cadangan Karbon Bambu Tali
(Gigantochloa pruriens K.) di Hutan Tanaman Rakyat Desa Sirpang
Sigodang Kecamatan Panei,
Kabupaten Simalungun. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Malau Y. 2015. Pendugaan Cadangan Karbon Above Ground Biomass (AGB) Pada Tegakan Agroforestri di Kabupaten Langkat. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Pebriandi. 2013. Estimation of The Carbon Potential In The Above Ground at The Stand Level Poles and Trees in Sentajo Protected Forest. Universitas Riau. Riau.
Purwitasari, H. 2011. Model persamaan Allometrik Biomassa dan Massa karbon
Pohon Akasia Mangium (Acacia
mangium Willd.). Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rahayu, S., Lusiana, B, dan Van Noordwijk, M. 2004.Pendugaan Cadangan Karbon di Atas Permukaan Tanah pada Berbagai
Sistem Penggunaan lahan di
Kabupaten Nunukan, Kalimantan
Timur.World Agroforestry Centre.
Bogor.
Razak, A. 2015. Kelayakan Kompensasi Yang
Ditawarkan Dalam Perdagangan
Karbon. Makalah Manajemen Hutan Lanjutan (KTMK 612). Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Rosintah. 2015. Pendugaan Biomassa Karbon
Serasah dan Tanah Pada
HutanTanaman (Shorea leprosula Miq).
Sistem TPTII PT. SUka Jaya Makmur. Univeritas Tanjungpura. Pontianak. Situmorang Y. 2015. Model Allometrik Biomassa
dan Massa Karbon Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens W.) di Hutan Rakyat Desa Sirpang Sigodang,
Kecamatan Panei, Kabupaten
Simalungun. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Sulaiman, M. 2014. Analisis Kemampuan Bambu
Betung (Dendrocalamus asper Schult
F) Backer ex Eyne, Dalam Absorpsi
Karbondioksida di Kecamatan
Buntao’Rantebua, Kabupaten Toraja
Utara, Universitas Hasanuddin.
Makassar.
Suprihatno, B. Rasoel, H., dan Bintal, A. 2012. Analisis Biomassa dan Cadangan Karbon Tanaman Bambu Belangke (Gigantochloa pruriens). Program Studi Ilmu Lingkungan PPS Universitas Riau. Riau.
Sutaryo, D. 2009. Penghitungan Biomassa. Sebuah Pengantar Untuk Studi Karbon dan Perdagangan Karbon.
Wetlands International Indonesia
Programme. Bogor.
Van Beukering, P.J.H., H.S.J Cesara and M.A.
Janssen. 2003. Economic Valuation of
the Leuser National Park on Sumatera,
Indonesia. Internatonal Journal of Ecological Economics 44 (2003) 43-62. Doi 10.1016/S0378-1127(00)00460-6 Widyasari, N. A., E. 2010. Pendugaan Biomassa
dan Potensi Karbon Terikat di Atas Permukaan Tanah Pada Hutan
Rawa Gambut Bekas Terbakar di Sumatera selatan. Jurnal Ilmu
Pertanian Indonesia (hlm. 41-49 ISSN 0853-4217). Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Yuniawati. 2011. Estimasi Potensi Biomassa dan
Massa Karbon Hutan Tanaman Acacia
crassicarpa di Lahan Gambut (Studi Kasus di Areal HTI Kayu Serat di Pelalawan, Provinsi Riau). Institut Pertanian Bogor. Bogor.