• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN OBSERVASI HUKUM ADAT MASYARAKAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "LAPORAN OBSERVASI HUKUM ADAT MASYARAKAT"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN OBSERVASI HUKUM ADAT SUKU BATAK (PATRINILINEAL)

Dosen Pengampu: Puji Wulandari Kuncorowati, S.H.,M.Kn dan

Setiati Widihastuti, S.H.,M.Hum

Disusun Oleh

Devita Lili Oktaviana 15401244004

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HUKUM

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)

DAFTAR ISI

Halaman Sampul...i

Daftar Isi...ii

Kata Pengantar...iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1

B. Rumusan Masalah...2

C. Tujuan...2

D. Waktu dan Tempat ...3

E. Narasumber...3

BAB II PEMBAHASAN A. Sistem Kekerabatan Dalam Suku Batak...4

B. Sistem Perkawinan Dalam Suku Batak...8

C. Sistem Pewarisan Dalam Suku Batak...10

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan...14

DAFTAR PUSTAKA...15

(3)

Kata Pengantar

Puji Syukur kehadirat Tuhan YME, atas kemudahan dan kelancaran yang diberikan oleh-Nya, kami dapat menyelesaikan laporan “Observasi Hukum Adat Suku Batak (Patrilineal)” yang diampu oleh Dosen kami yaitu Ibu Setiati Widihastuti, S.H.,M.Hum dan Ibu Puji Wulandari Kuncorowati, S.H.,M.Kn, laporan ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Adat

Ucapan terimakasih kami berikan kepada Dosen Pengampu Mata Kuliah Hukum Adat Ibu Setiati Widihastuti, S.H.,M.Hum dan Ibu Puji Wulandari Kuncorowati, S.H.,M.Kn yang telah memberikan bimbingan serta rambu-rambu dalam penyusunan laporan observasi Hukum Adat. Ucapan terimakasih tidak lupa kami berikan kepada teman-teman PKnH B 2015 yang telah memberikan masukan, serta saran demi terselesaikannya laporan ini.

Laporan Observasi Hukum Adat pada suku Batak ini, disusun berdasarkan hasil observasi, beberapa buku maupun Jurnal yang berkaitan dengan suku Batak yang kami jadikan pembahasan dalam laporan ini.

Kritik dan saran sangat kami harapkan, dari teman-teman, Ibu/Bapak Dosen, serta para pembaca laporan ini. Semoga laporan hasil observasi Hukum Adat Suk Batak ini dapat menjadi bahan referensi, maupun kajian akademik. Mohon maaf apabila dalam penyampaian hasil laporan masih terdapat banyak kekurangan, semoga laporan kami dapat lebih baik lagi dihari selanjutnya.

Penyusun,

(4)

BAB I adanya pulau-pulau tersebut Indonesia lebih dikenal dengan negara maritim, dimana wilayah Indonesia sebagian besar adalah perairan.

Salah satu pulau yang menjadi pusat perhatian Kolonial pada masa penjajahan dahulu adalah pulau Sumatera, dimana dipulau tersebut banyak ditemukan rempah-rempah serta hasil bumi yang digunakan para penjajah untuk memenuhi kebutuhan dinegaranya. Selain itu dipulau Sumatera juga memiliki berbagai macam kebudayaan. Kebudayaan tersebut hingga kini masih dipertahankan dan dijaga kelestariannya.

Kebudayaan yang masih terlihat dipulau Sumatera salah satunya adalah sistem kekerabatan yang mereka anut atau gunakan hingga sampai saat ini. Dimana sistem kekerabatan tersebut termasuk dalam sistem kekerabatan yang ditarik dari garis ketutrunan laki-laki atau ayah, sering disebut dengan sistem kekerabatan Patrilineal.

Sistem kekerabatan Patrilineal dianut oleh salah satu suku di Sumatera, salah satunya adalah suku Batak. Suku batak menganut sistem kekerabatan yang ditarik dari garis keturunan Ayah atau Bapak. Kebudayaan masyarakat yang menganut sistem patrilineal di era modern saat ini, menjadi salah satu topik yang menarik untuk diperbincangkan, dimana adat-adat yang mereka gunakan masih memiliki norma-norma yang sesuai dengan adat istiadat yang dijaga hingga turun temurun.

Namun ada permasalahan yang terjadi dalam sistem kekerabatan Patrilineal menyangkut dengan beberapa bidang kehidupan, seperti dalam perkawinan dan pewarisan. Hal itu terjadi karena mereka memiliki syarat-syarat tersendiri dimana mereka diwajibkan untuk menjalankan syarat-syarat adat yang telah berlaku pada sistem kekerabatan mereka yaitu Patrilineal.

(5)

terpengaruh oleh kebudayaan baru diluar dari kebudayaan lokal. Selain itu kebudayaan saat ini juga dipengaruhi dengan kebutuhan zaman yang kian kompleks serta menuntut seseorang untuk berubah.

Bagaimana posisi seorang laki-laki dalam sistem kekerabatan Patrilineal dalam masyarakat modern memang menjadi pertanyaan. Masyarakat modern berpandangan bahwa setiap individu tanpa mamandang gender, berhak untuk mendapatkan perlakuan yang sama baik kewajiban dan maupun hak-hak dalam setiap bidang kehidupan. Hal itulah yang menjadi pertanyaan, apakah sistem kekerabatan patrilineal pada masyarakat modern ini masih memegang teguh adat istiadat mereka dalam memberikan hak yang `istimewa` kepada laki-laki.

Berdasarkan keingintahuan tersebut kami melakukan observasi pada masyarakat garis keturunan patrilineal, dengan mengambil salah satu contoh yaitu suku Batak. Dalam suku Batak sesuatu dapat dikatakan ideal apabila sesuai dengan adat yang telah mereka tetapkan sebelumnya, baik perkawinan, pewarisan, hak dan kewajiban serta hal-hal yang berkenaan dengan hubungan kekeluargaan. Laporan Hukum Adat dalam Suku Batak akan membahas bagaimana kebudayaan suku Batak yang menganut sistem kekerabatan Patrilineal.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah yang dapat dirumuskan antara lain adalah:

D. Bagaimana sistem kekerabatan dalam Suku Batak? E. Bagaimana sistem perkawinan dalam suku Batak? F. Bagaimana sistem pewarisan dalam suku Batak? C. Tujuan Laporan

Berdasarkan rumusan masalah diatas dapat ditarik tujuan dari pembuatan laporan ini antara lain:

(6)

D. Waktu dan Tempat

Wawancara lapangan yang kami lakukan pada: Hari : Jumat, 28 April 2017

Tempat :di Kebon Laras, Jalan Sorowajan Baru, Banguntapan, Bantul, DIY, Pukul : 19.00-21.00 WIB

E. Narasumber

Semua narasumber yang kami wawancarai berasal dari Batak Mandailing yang tergabung dalam Komunitas Batak Mandailing di Yogyakarta. Berikut adalah narasumber yang kami wawancarai :

1. Nur Aminah Nasution : Batak Mandailing, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

2. Umar Pulungan : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

3. Nikmah Lubis : Batak Mandailing, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta F. Metode Observasi

(7)

BAB II PEMBAHASAN A. Sistem Kekerabatan Suku Batak

Kekerabatan adalah Istilah untuk menyebut atau menyapa orang yang terikat kepada diri sendiri karena hubungan keturunan, darah, atau perkawinan1. Pada masyarakat adat Batak menganut sistem kekerabatan Patrilineal dimana anak melanjutkan garis keturunan dari satu pihak yaitu ayah saja. Pada masyarakat Batak yang menganut sistem kekerabatan Patrilineal memiliki ciri khas yang menandai bahwa mereka menganut sistem Patrilineal yaitu dengan adanya marga. Pada masyarakat Batak terdapat banyak marga tetapi yang kami wawancarai adalah masyarakat Batak Mandailing terdiri dari marga Lubis, Pulungan, Batu Bara, Nasution, dan Rangkuti. Pada masyarakat Batak penurunan nama marga akan secara otomatis diberikan oleh ayahnya secara turun temurun. Marga ini memiliki fungsi sebagai identitas masyarakat Batak.

Dalam prekteknya nama marga tidak akan terputus jika masih memiliki anak laki-laki yang dapat meneruskan marga tetapi jika dalam sebuah keluarga tidak terdapat anak laki-laki maka marga tersebut akan berhenti pada anak perempuan yang terakhir karena tidak dapat meneruskan marga. Dalam hal ini apabila masih ingin meneruskan marga maka dapat ditempuh dengan cara membeli marga. Pada dahulu membeli marga harus dilakukan dengan cara meminum darah kambing atau kerbau akan tetapi pada saat ini membeli marga dilakukan hanya dengan perjanjian hitam di atas putih di saksikan satu marga. Selain itu seseorang yang membeli marga harus taat pada aturan-aturan yang berlaku pada marga tersebut.

Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam marga, kemudian Marga. Artinya misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah Marga Harahap vs Marga lainnya. Berhubung bahwa Adat

(8)

Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis yang seringkali disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar daerah.

Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul. merupakan suatu filosofi agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan Adat.

Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah yang disebut dengan marga. Suku bangsa Batak terbagi ke dalam enam kategori atau puak, yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Masing-masing puak memiliki ciri khas nama marganya. Marga ini berfungsi sebagai tanda adanya tali persaudaraan di antara mereka.Satu puak bisa memiliki banyak marga.

Marga pada Batak Karo terdapat 5 marga, yaitu marga Karo-karo, Ginting, Sembiring, Tarigan, dan Parangin-angin. Dari lima marga tersebut terdapat submarga lagi. Total submarganya ada 84. Adapun Batak Toba, dikatakan sebagai marga ialah marga-marga pada suku bangsa Batak yang berkampung halaman (marbona pasogit) di daerah Toba. Salah satu cotoh marga pada suku bangsa Batak Toba yaitu Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, dan Pardede.

Pada suku Batak Pakpak, mereka diikat oleh struktur sosial yang dalam istilah setempat dinamakan sulang silima yang terdiri dari lima unsur, yaitu Sinina tertua (Perisang-isang, keturunan atau generasi tertua), Sinina penengah (Pertulan tengah, keturunan atau generasi yang di tengah), Sinina terbungsu (perekur-ekur, keturunan terbungsu), Berru yakni kerabat penerima gadis, dan Puang yakni kerabat pemberi gadis2.

Lalu pada Batak Simalungun terdapat empat marga asli suku Simalungun yang populer dengan akronim SISADAPUR, yaitu Sinaga, Saragih, Damanik, dan Purba.Keempat marga ini merupakan hasil dari Harungguan Bolon

(permusyawaratan besar) antara empat raja besar dari masing-masing raja tersebut, untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan.

(9)

Untuk menentukan seorang bangsa Batak berasal garis keturunan mana, mereka menggunakan Torombo.Dengan tarombo seorang Batak mengetahui posisinya dalam sebuah marga.Orang Batak meyakini, bahwa kekerabatan menggunakan Torombo ini dapat diketahui asal-usulnya yang berujung pada Si Raja Batak.

Menurut Narasumber kami, sulit untuk menemukan asal usul dalam sebuah marga, karena untuk menemukan asal-usul tersebut memerlukan waktu yang panjang walaupun dapat menggunakan Torombo, seperti yang dijelaskan diatas, hal itu karena pada era modern saat ini beberapa marga suku batak sudah bercampur dengan marga lain, karena adanya perkawinan campuran akibat pengaruh dari luar.

Bagi Batak Toba, Si Raja Batak adalah anak perempuan dari keturunan Debata Muljadi Nabolon, Tuhan pencipta bumi dan isinya. Tuhan ini memerintah ibu Si Raja Batak untuk menciptakan bumi, dan ibunya tinggal di daerah bernama Siandjurmulamula. Daerah tersebut menjadi tempat tinggal Si Raja Batak dan keturunannya.Daerah ini adalah tanah Batak, dimana tempat seluruh orang Batak berasal.

Selanjutnya dalam masyarakat Batak hubungan berdasarkan satu ayah disebut sada bapa (bahasa Karo) atau saama (bahasa Toba). Adapun kelompok kekerabatan terkecil adalah keluarga batih (keluarga inti, terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak) yang disebut jabu, dan ripe dipakai untuk keluarga luas yang virilokal (tinggal di rumah keluarga pihak laki-laki). Dalam masyarakat Batak, banyak pasangan yang sudah kawin tetap tinggal bersama orang tuanya. Adapun perhitungan hubungan berdasarkan satu kakek atau satu nenek moyang disebut sada nini (pada masyarakat Karo) dan saompu (pada masyarakat Toba). Keluarga sada nini atau saompu merupakan klen kecil. Adapun klen besar dalam masyarakat Batak adalah merga (dalam bahasa Karo) atau marga(dalambahasaToba).

Masyarakat Batak memiliki falsafah, asas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni yang dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu. Berikut penyebutan Dalihan Natolu menurut keenam puak Batak

(10)

2. Dalian Na Tolu (Mandailing dan Angkola) - Hormat Marmora - Manat Markahanggi - Elek Maranak Boru

3. Tolu Sahundulan (Simalungun) Martondong Ningon Hormat, Sombah -Marsanina Ningon Pakkei, Manat - Marboru Ningon Elek, Pakkei

4. Rakut Sitelu (Karo) - Nembah Man Kalimbubu - Mehamat Man Sembuyak - Nami-nami Man Anak Beru

5. Daliken Sitelu (Pakpak) -Sembah Merkula-kula - Manat Merdengan Tubuh - Elek Marberru

Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak) sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).

Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya kadang-kadang saling gesek. Namun, pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.

Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.

Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual.

(11)

kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raja ni Dongan Tubu dan Raja ni Boru3.

B. Sistem Perkawinan Adat Suku Batak

Pada masyarakat Batak khususnya Batak Mandailing yang kami wawancarai sudah terbuka tidak harus menikah dengan sesama marga ataupun sesama dengan Batak. Dalam prakteknya banyak masyarakat Batak yang kawin dengan orang diluar marga. Batak Mandailing sendiri tidak memiliki aturan-aturan yang sangat ketat dalam hal perkawinan. Karena penerusan marga tetap dapat dilakukan dengan membeli marga. Tetapi menurut responden kami ada daerah yang bernama Padang Bolak yang mengharuskan perkawinan hanya dilakukan oleh dua marga saja yaitu marga Harahap dan marga Siregar karena mereka hanya akan melangsungkan perkawinan dengan marga tersebut tidak dengan marga yang lain ataupun masyarakat diluar Batak.

Hukum perkawinan yang ada di Batak lebih didominasi oleh hukum Islam karena sebagain besar masyarakat Batak terutama Batak Mandailing yang mayoritas menganut agama Islam maka menggunakan hukum kesakralan tersebut harus disertai dengan sebuah adat perkawinan.Dikatakan sakral karena bermakna pengorbanan bagi pihak pengantin perempuan.Ia “berkorban” memberikan satu nyawa manusia yang hidup yaitu anak perempuan kepada orang lain pihak paranak, pihak penganten pria. Pihak pria juga harus menghargainya dengan mengorbankan atau mempersembahkan satu nyawa juga berupa penyembelihan seekor sapi atau kerbau. Hewan

3"Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia 2011"

(12)

tersebut akan menjadi santapan atau makanan adat dalam ulaon unjuk (adat perkawinan Batak).

Terdapat beberapa rangkaian upacara adat perkawinan bangsa Batak. Rangkaian pertama sebagai pembuka adalah Mangariksa dan Pabangkit Hata. Mangariksa adalah kunjungan dari pihak mempelai laki-laki kepada pihak wanita, lalu dilanjutkan dengan proses Pabangkit Hata atau lamara. Rangkaian kedua adalah Marhori-Hori Dinding, yaitu membicarakan lebih lanjut mengenai rencana perkawinan serta pestanya.Ketiga adalah Patua Hata, yakni para orang tua memberikan petuah atau nasihat sebagai bekal kepada kedua mempelainya nanti. Proses ini merupakan proses yang amat serius.

Perkawianan adat batak memiliki aturan-aturan yang sampai saat ini masih diataati. Masyarakat Batak menganggap bahwa perkawinan ideal adalah perkawinan antara orang-orang rumpal (Toba: marpariban) ialah antara seorang anak laki-laki dengan anak perempuan saudara laki-laki ibunya. Dengan demikian, seorang pria batak sangat pantang kawin dengan seorang wanita dari marganya sendiri dan juga anak perempuan ayah4.

Idealnya perkawinan adat batak dapat dilakukan oleh wanita batak dengan laki-laki batak. Dalam perkembangannya, perkawinan adat batak dapat pula dilakukan oleh wanita batak dengan laki-laki diluar batak atau laki-laki batak dengan wanita diluar batak. Menurut hukum adat Batak, apabila akan diselenggarakan perkawinan campuran antarsuku, adat dan agama yang berbeda, maka dilaksanakan dengan “Marsileban” yaitu laki-laki atau perempuan yang bukan warga adat Batak harus diangkat dan dimasukkan terlebih dahulu sebagai warga adat batak dalam ruang lingkup “dalihan natolu”. Jika calon suami merupakan orang luar maka ia harus diangkat masuk ke dalam warga adat “hula-hula”, dan apabila calon isri berasal dari luar, maka ia harus diangkat kedalam warga adat “namboru”. Dengan solusi adat tersebut perkawinan adat tetap dalam jalur “asymmetrisch connubium”. Apabila perkawinan tersebut terjadi antara wanita batak dengan laki-laki diluar batak, maka laki-laki tersebut diberikan marga agar dapat diterima oleh masyarakat adat dan dapat ikut upacara adat batak. Pemberian marga dalam pelaksanaan perkawinan merupakan bagian yang tidak

(13)

terpisahkan dari aturan adat perkawinan itu sendiri. Penyatuan acara adat ini dilakukan untuk menghemat biaya, tenaga, dan waktu.

Perkawinan yang telah dilangsungkan antara kedua belah pihak membawa akibat-akibat tertentu baik terhadap pihak kerabat maupun terhadap para pihak yang merupakan pihak kodrati. Suku batak menganut sistem kekeluargaan patrilineal. Awalnya perkawinan didefinisikan sebagai pembelian seorang wanita, di mana perempuan dibebaskan dari keluarga mereka setelah transaksi pembayarannya telah disepakati sebelumnya. Transaksi dapat berupa pembayaran dengan barang-barang berharga, hewan (babi, kerbau, sapi) atau sejumlah uang untuk diberikan pada pihak perempuan. Corak utama dari perkawinan pada sistem kekeluargaan patrilineal ini adalah disertai dengan pembayaran perkawinan (uang jujur). Uang jujur tersebut diberikan dari pihak laki-laki kepada keluarga pihak perempuan yang merupakan pertanda bahwa hubungan kekeluargaan si istri dengan orang tuanya dan saudara-saudaranya bahwa masyarakatnya telah diputuskan5.

C. Sistem Pewarisan Suku Batak

Pada masyarakat batak Mandailing yang kami wawancarai hukum perwarisan yang ada didasarkan pada hukum Islam. Semua pembagian warisan sama seperti masyarakat yang menganut agama Islam yaitu menggunakan hukum Islam yang telah ada.

Akan tetapi dalam sistem kekerabatan Patrilineal anak laki-laki dianggap sebagai pembawa keturunan ataupun penerus yang membawa marga dari orang tuanya, sehingga anak laki-laki saja yang berhak mewaris karena anak laki-laki dianggap sebagai generasi penerus marga/clan. Terhadap anak perempuan, adanya hambatan dalam mewaris dari harta peninggalan orang tuanya karena adanya perkawinan jujur yang berarti perkawinan dimana anak perempuan dilepaskan dari marganya dan dimasukkan ke dalam marga suaminya, dengan membayar jujur. Dengan dibayarnya jujur maka status si anak perempuan

5 Relinda Meisa & Ririn Putri, 20xx. Kedudukan Wanita Suku Batak Toba Yang Melakukan

(14)

dilepaskan dari paguyuban hidup kerabatnya (bapaknya) ke dalam marga suaminya, sehingga anak perempuan tidak dapat menuntut hak waris

Ada beberapa alasan atau argumentasi yang melandasi sistem Hukum Waris Adat pada masyarakat Batak Toba dengan sistem kekerabatan

Patrilineal, sehingga keturunan laki-laki saja yang berhak mewaris harta peninggalan orangtuanya yang meninggal, sedangkan anak perempuan sama sekali tidak mewaris. Hal ini didasarkan pada anggapan kuno yang memandang rendah kedudukan wanita dalam masyarakat Batak. Titik tolak anggapan tersebut adalah6

1. Emas kawin, yang membuktikan bahwa perempuan dijual.

2. Adat levirat yaitu yang membuktikan bahwa perempuan diwarisi oleh saudara dari suaminya yang meninggal.

3. Perempuan tidak mendapat warisan.

Pada dasarnya menurut hukum adat hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan dalam perorangan adalah sama, hak dari seorang istri sama saja dengan suaminya, isteri dapat bertindak sendiri dalam bidang hukum tanpa bantuan ataupun pemberian kuasa dari suaminya. Artinya isteri dapat mengikatkan sendiri dalam perbuatan hukum tanpa bantuan ataupun kuasa suaminya7.

Namun dalam sistem kekerabatan Patrilineal masyarakat Batak Toba, anak laki-laki dan anak perempuan memilki tanggung jawab yang berbeda terhadap clannya. Anak laki-laki sepanjang hidupnya hanya mengenal clan

ayahnya sedangkan anak perempuan mengenal dua clan yaitu clan ayahnya dan clan suaminya. Dengan demikian dalam rangka hubungannya dengan kedua clan tersebut maka posisi perempuan adalah ambigu atau tidak jelas karena meskipun berhubungan dengan keduanya tetapi tidak pernah menjadi anggota penuh dari kedua clan tersebut8.

Di dalam masyarakat adat Batak Toba dikenal ada beberapa istilah yang merendahkan martabat anak perempuan antara lain9 :

6 Tamakiran, S, Asas-Asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum (Bandung: Pionir Jaya,

1992), hal 68

7 Syafera Mairita Achmad, Tinjauan Yuridis Mengenai Hak dan Kedudukan Janda dan Anak Perempuan di Bidang Kewarisan Menurut Hukum Adat dan Hukum Perdata, Tesis Mahasiswa Magister keotariatan Universitas Indonesia, 2003, hal 25

8 Sulistyowati Irianto, Perempuan Diantara Berbagai Pilihan Hukum, Disertasi Antropologi

Universitas Indonesia, 2000, hal 9

(15)

1. Sigoki jabu ni halak do ianggo boru (anak perempuan adalah untuk mengisi rumah orang),

2. Mangan tuhor niboru (anak perempuan dianggap barang dagangan yang diperjualbelikan),

3. Holan anak do sijalo teanteanan (zaman dahulu ada tuntutan untuk mendahulukan anak laki-laki dalam melestarikan marga, sehingga anak lakilaki berhak memiliki serta berbicara mengenai ikatan adat secara hukum.

Jadi yang dapat dianggap sebagai ahli waris dan yang berhak atas harta warisan berdasarkan urutan-urutan penerima warisan adalah10 :

1. Anak laki-laki dari pewaris

9. Seseorang yang satu nenek dengan pewaris/satu marga 10. Kasta/kesain

Perjuangan untuk mendapatkan kedudukan yang sama khususnya dalam hal pewarisan banyak dilakukan wanita, bahkan telah ada dalam berbagai putusan hakim di berbagai tingkat pengadilan, yang telah menjadi yurisprudensi, yang memberikan hak mewaris kepada anak perempuan Batak. Hukum adat selalu menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang senantiasa terus berubah yang dapat dilihat dari substansinya melalui sumber-sumber hukum yang tersedia yang dapat tercermin dalam doktrin, perundang-undangan, kebiasaan, dan perumusan dalam hukum positif dilakukan melalui yurisprudensi. Yurisprudensi11.

10 Rehngena Purba, Perkembangan Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Karo (Medan, 1977), hal

3

11 Soerjono Soekanto, Masalah Kedudukan Dan Peranan Hukum Adat, (Jakarta: Academica,

(16)

Salah satu sifat hukum adat termasuk hukum waris adat adalah dinamis artinya selalu mengalami perubahan seiring dengan perkembangan pewarisan pada masyarakat sebagai suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Istilah ini dipakai untuk menyatakan perbuatan meneruskan harta kekayaan yang akan ditinggalkan pewaris atau perbuatan melakukan pembagian harta warisan kepada para warisnya, jadi ketika pewaris masih hidup, pewarisan berarti penerusan atau penunjukan dan setelah pewaris wafat pewarisan berarti pembagian harta warisan.

BAB III PENUTUP

(17)

1. Dalam prekteknya nama marga tidak akan terputus jika masih memiliki anak laki-laki yang dapat meneruskan marga tetapi jika dalam sebuah keluarga tidak terdapat anak laki-laki maka marga tersebut akan berhenti pada anak perempuan yang terakhir karena tidak dapat meneruskan marga. Dalam hal ini apabila masih ingin meneruskan marga maka dapat ditempuh dengan cara membeli marga.

2. Pada masyarakat Batak khususnya Batak Mandailing yang kami wawancarai sudah terbuka tidak harus menikah dengan sesama marga ataupun sesama dengan Batak. Dalam prakteknya banyak masyarakat Batak yang kawin dengan orang diluar marga. Batak Mandailing sendiri tidak memiliki aturan-aturan yang sangat ketat dalam hal perkawinan. Karena penerusan marga tetap dapat dilakukan dengan membeli marga. 3. Pada masyarakat batak Mandailing yang kami wawancarai hukum

perwarisan yang ada didasarkan pada hukum Islam. Semua pembagian warisan sama seperti masyarakat yang menganut agama Islam yaitu menggunakan hukum Islam yang telah ada.

DAFTAR PUSTAKA

(18)

Jurnal Unnes “Sistem Kekerabatan Suku Batak”

J.C.Vergouwen.1986.Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba.Jakarta:PustakaAzet

KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)

"Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia 2011" (PDF)

Putri, Ririn dan Relinda. 20xx. Kedudukan Wanita Suku Batak Toba Yang Melakukan Perkawinan Dengan Pria Suku Diluar Suku Batak Toba Dalam Hukum Adat Batak Toba. Jurnal Hukum

Purba, Rahenga.1977.Perkembangan Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Karo

(Medan).

Soerjono Soekanto, 2011. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Soerjono Soekanto, Masalah Kedudukan Dan Peranan Hukum Adat, (Jakarta: Academica, 1979)

Tamakiran, S, Asas-Asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum (Bandung: Pionir Jaya,

1992)

(19)

Organisasi Mahasiswa Batak Mandailing di Yogyaka

(20)
(21)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan buku pelajaran biologi berbasis pendekatan kontekstual pada materi sistem pernapasan

Kandungan serat pada produk fig bar kacang kedelai, kacang hijau dan kacang dieng hampir sama dan tertinggi terdapat pada produk fig bar kacang kedelai.Nilai kalori

a) Pelayanan yang berkualitas dapat memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap loyalitas nasabah. Artinya semakin baik kualitas pelayanan yang diberikan bank semakin

(2001), e-procurement adalah aplikasi sistem informasi untuk mengkoordinasikan proses pembelian, pengiriman, pengelolaan inventory, pemilihan supplier dan proses persetujuan

Permainan mencari harta karun merupakan permainan yang dilakukan dengan tujuan mencari benda yang disembunyikan (Hidden Object). Secara umum permainan mencari harta

Tujuan penelitian ini adalah untuk membangun sebuah model yaitu goal program- ming dalam meminimumkan debit air irigasi dan meminimumkan penyimpangan pelepasan waduk pada

Penyuluhan kesehatan masyarakat adalah upaya memberikan pengalaman belajar atau menciptakan kondisi bagi perorangan# kelompok dan masyarakat dalam berbagai tatanan

Lemo atau kilemo (Litsea cubeba Persoon L.) termasuk ke dalam marga Lauraceae dengan nama daerah Kilemo (Jawa Barat), Krangean (Jawa Tengah) dan Antarasa (Sumatera