• Tidak ada hasil yang ditemukan

Barometer Sosial 2015 Persepsi Warga Ten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Barometer Sosial 2015 Persepsi Warga Ten"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Persepsi Warga Tentang Kualitas Program

Sosial, Sumber dan Faktor Ketimpangan

Sosial

(4)
(5)

Daftar Isi

Daftar Isi Kata Pengantar Ringkasan

1. Mengapa mengukur Barometer Sosial dan Ketimpangan Sosial Dari Perspektif Warga 2. Barometer Sosial

2.1. Kebutuhan Akan Program Sosial 2.2. Indeks Barometer Sosial Nasional

2.3. Penilaian Warga Mengenai Program Sosial Nasional

2.4. Penilaian Warga Mengenai Program Sosial Yang Diselenggarakan Oleh Kementerian, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kota/Kabupaten 3. Ketimpangan Sosial

3.1. Sumber Ketimpangan Sosial 3.2. Derajat Ketimpangan

3.3. Indeks Ketimpangan Sosial 2015

3.4. Penyebab Ketimpangan Pihak Yang Harus Bertanggung Jawab 3.5. Cara Mengatasi Ketimpangan

(6)
(7)

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME, sehingga kami berhasil menyelesaikan Laporan Survei Barometer Sosial. Laporan yang ada di tangan teman-teman semua, merupakan salah satu wujud komitmen INFID dalam meningkatkan kualitas pembangunan di Indonesia.

Survei Barometer Sosial merupakan sebuah produk produk pemantauan dan audit sosial terhadap kinerja dan capaian pembangunan dengan menggunakan kebijakan-program sosial sebagai indikatornya. Survei ini merupakan bentuk akuntabilitas sosial dimana warga menilai berbagai program kebijakan sosial yang telah dijalankan Pemerintah selama ini, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Subsidi Pupuk, Jaminan Persalinan (Jampersal), dan sebagainya. Tidak hanya itu, Laporan Survei Barometer Sosial tahun ini juga dilengkapi dengan pengukuran persepsi warga mengenai sumber, faktor dan cara mengatasi ketimpangan sosial.

(8)

Hasil Survei Barometer Sosial ini, kiranya dapat digunakan oleh para pengambil kebijakan untuk meningkatkan kualitas program-program sosial yang telah dijalankan selama ini dan menambah jenis-jenis program sosial bagi warga di masa mendatang. Pengambil kebijakan diharapkan juga bisa memanfaatkan metode Survei Barometer Sosial sebagai salah satu alat untuk mengukur kinerja pembangunan yang telah dijalankan, sebagai bentuk akuntabilitas pembangunan dari pemerintah. Bagi masyarakat sipil, hasil survei ini bisa menjadi rujukan dalam melakukan kajian lebih lanjut dan kerja-kerja advokasi kebijakan pembangunan ke depan.

Akhir kata, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu pelaksanaan Survei Barometer Sosial.

(9)

Barometer Sosial sebagai produk pemantauan dan audit sosial terhadap kinerja dan capaian pembangunan dengan menggunakan kebijakan-program sosial sebagai indikatornya sudah dua kali diadakan. Setelah pengukuran Barometer Sosial 2014 yang mengukur kinerja capaian pembangunan melalui program sosial tahun 2013, kini INFID melakukan pengukuran Barometer Sosial 2015 yang mengukur kinerja capaian pembangunan tahun 2014. Keduanya dilakukan dengan metode survey menggunakan kuesioner. Pengukuran Barometer Sosial 2015 melibatkan 2500 responden dari 34 provinsi di Indonesia.

Kali ini selain pengukuran Barometer Sosial, dilakukan juga pengukuran persepsi warga mengenai sumber, faktor dan cara mengatasi ketimpangan sosial. Baik Barometer Sosial maupun Ketimpangan Sosial merupakan indikator dari keadilan sosial. Keduanya berangkat dari konsep dasar perlunya keadilan sosial diperjuangkan. Barometer Sosial yang menjadi indikator dari seberapa jauh negara mengupayakan keadilan sosial melalui bantuan-bantuan sosial dapat juga dipahami sebagai upaya untuk mengetahui seberapa jauh upaya pemerintah dalam mengurangi ketimpangan sosial.

Di sisi lain, pengukuran ketimpangan sosial menurut warga dapat memberikan pemahaman mengenai makna ketimpangan sosial menurut warga, di ranah mana berlangsungnya, faktor yang berperan, dan cara untuk mengatasinya menurut warga.

(10)

Secara keseluruhan, Indeks Barometer Sosial yang diperoleh Indonesia tahun 2015 adalah 5,56 (dari skala 1-10) yang masuk dalam kategori “agak mengupayakan Pencapaian Keadilan Sosial”. Indeks ini lebih tinggi sedikit dari yang diperoleh pada tahun 2014 yang juga mencapai skor 5,3 meski kategorinya tidak berbeda. Indeks Barometer Sosial 2015 mengindikasikan bahwa pada tahun 2014 Pemerintah Indonesia sudah menjalankan beberapa program sosial tetapi dalam penilaian warga pelaksanaan program itu belum optimal karena masih ada ketidakkesesuaian dengan kebutuhan warga, sasaran penerima bantuan yang belum tepat, prosedur pelaksanaan yang sulit dan berbelit-belit, serta ketidaksesuaian barang/jasa/uang dengan kebutuhan dan pelaksana yang menyimpang dari aturan. Warga pun menilai program sosial yang diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia masih sulit diperoleh dan informasinya tidak jelas.

(11)

Ada banyak kesulitan bagi mereka yang memerlukan bantuan untuk bisa mendapatkannya. Kebanyakan warga juga menilai barang/uang/jasa yang diterima dari program sosial tidak sesuai dengan yang semestinya serta belum dapat memenuhi kebutuhan. Kesesuaiannya di bawah 50%. Selain itu, warga menilai prosesnya lambat dan sulit, serta pada praktiknya membebani penerima bantuan mulai dari pendaftaran hingga saat menerima bantuan. Ditambah lagi, pelayanannya tidak memuaskan.

Berdasarkan persepsi warga, ada indikasi bahwa sebagian besar kriteria keadilan distributif belum terpenuhi. Program sosial yang diselenggarakan pemerintah memang dinilai bermanfaat, tetapi belum mencapai target orang yang membutuhkan dan belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan. Dengan demikian program sosial belum dapat memenuhi kebutuhan. Akses terhadap bantuan tidak merata, proses sulit, panjang, berbelit-belit, membebani, dan pelayanan tidak memuaskan juga mengindikasi masih belum terpenuhinya kriteria keadilan distributif.

(12)

Instansi pemerintah dipersepsi sudah menyelenggarakan program sosial oleh kebanyakan warga, kecuali Kementerian Pertanian. Kualitas penyelenggaraan program sosial oleh instansi pemerintah dipersepsi sudah baik atau sangat baik oleh kebanyakan warga, kecuali yang diselenggarakan Kementerian Pertanian. Secara umum program sosial yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah dinilai bermanfaat oleh kebanyakan warga.

Dari survey yang mengukur persepsi warga mengenai ketimpangan diperoleh hasil bahwa hal yang paling berperan menghasilkan ketimpangan sosial adalah perbedaan penghasilan, disusul dengan perbedaan kepemilikan harta benda, perbedaan kesejahteraan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesempatan pekerjaan. Warga mempersepsi masih ada ketimpangan dalam berbagai ranah yang berlangsung di sekitar mereka disertai dengan perlakuan diskriminatif. Itu menyumbang pada berlangsungnya ketimpangan sosial secara keseluruhan.

(13)

Warga mempersepsi penyebab ketimpangan sosial yang utama adalah pendidikan yang tidak merata, kesempatan kerja tidak merata, pemerintah tidak bekerja dengan baik, dan hukum yang tidak berfungsi dengan baik. Menurut warga yang harus bertanggungjawab mengatasi ketimpangan sosial adalah pemerintah, setiap individu, kepala keluarga, pemilik perusahaan, partai politik, orang kaya dan lembaga keuangan internasional. Sedangkan cara untuk mengatasi ketimpangan menurut warga adalah pemberantasan korupsi, pemerintah bekerja dengan baik, pemerataan pendidikan, pemerataan kesempatan kerja, penegakan hukum, jaminan keamanan bagi warga, dan pemerataan penghasilan.

(14)

Dapat disimpulkan juga bahwa penentuan program sosial apa yang diselenggarakan oleh pemerintah nasional, kementerian, provinsi, dan kabupaten/kota belum berdasarkan analisis kebutuhan yang memadai. Berdasarkan hasil pengukuran ini, tampak belum ada konsep, standar, dan prosedur yang jelas dari program sosial yang dijalankan Pemerintah Indonesia. Untuk memperbaiki keadaan ini diperlukan audit independen dari pihak di luar pemerintah untuk mengevaluasi dan menghasilkan usulan perbaikan pelaksanaan program sosial.

(15)

MENGAPA MENGUKUR BAROMETER

SOSIAL DAN KETIMPANGAN SOSIAL

DARI PERSPEKTIF WARGA?

(16)

Barometer Sosial adalah produk pemantauan dan audit sosial tahunan terhadap kinerja dan capaian pembangunan yang berupaya mengukur kinerja dan capaian itu dari kacamata warganegara. Seperti yang sudah dicanangkan, hasil pengukuran akan dilansir setiap tahun. Setelah pengukuran Barometer Sosial 2014 yang mengukur kinerja capaian pembangunan melalui program sosial tahun 2013, kini INFID melakukan pengukuran Barometer Sosial 2015 yang mengukur kinerja capaian pembangunan tahun 2014. Kali ini selain pengukuran Barometer Sosial, INFID bekerja sama dengan Oxfam Indonesia juga akan mengukur ketimpangan sosial menurut pandangan warga Indonesia.

Baik Barometer Sosial maupun Ketimpangan Sosial merupakan indikator dari keadilan sosial. Keduanya berangkat dari konsep dasar perlunya keadilan sosial diperjuangkan. Barometer Sosial yang menjadi indikator dari seberapa jauh negara mengupayakan keadilan sosial melalui bantuan-bantuan sosial dapat juga dipahami sebagai upaya untuk mengetahui seberapa jauh upaya pemerintah dalam mengurangi ketimpangan sosial. Di sisi lain, pengukuran ketimpangan sosial menurut warga dapat memberikan pemahaman mengenai apa makna ketimpangan sosial menurut warga, di ranah mana dan apa saja

(17)

Dari pemahaman itu dapat juga diperoleh pemahaman mengenai upaya apa saja yang perlu dilakukan untuk mengatasi ketimpangan yang kemudian perlu ditindak-lanjuti dengan kebijakan program sosial yang tepat. Hasil pengukuran ketimpangan sosial ini melengkapi hasil pengukuran Barometer Sosial sehingga dapat memberikan pemahaman secara lebih komprehensif mengenai keadilan sosial dan usaha-usaha untuk mencapainya.

Variabel sikap atau persepsi ketimpangan ketika dihadapkan dengan variabel yang ketimpangan “nyata” dapat memperkirakan ketimpangan seperti pendapatan dan kondisi hidup. Menurut Han, Janmaat, Hoskins, dan Green (2012), persepsi ketimpangan penting untuk setidaknya tiga alasan. Pertama, situasi tempat individu merasa ada kesenjangan dalam masyarakat mereka, kesadaran itu dapat mempengaruhi sikap dan tingkah laku mereka. Proses pengaruh ini bersifat kompleks, dan dipengaruhi oleh banyak faktor tetapi dalam berbagai studi dibuktikan adanya hubungan pengaruh antara persepsi ketimpangan dengan sikap dan tingkah laku individu. Bersamaan dengan persepsi ketimpangan, budaya dan ideologi yang berbeda di waktu dan tempat tertentu juga mempengaruhi bagaimana individu memandang ketidaksetaraan.

(18)

Akibatnya, masyarakat yang paling tidak setara mungkin tidak memiliki tingkat tertinggi kemarahan publik sebagai reaksi terhadap ketimpangan yang mereka hadapi. Terlepas dari apakah persepsi ketimpangan akurat atau tidak, persepsi ini cenderung mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang.

Alasan kedua pentingnya persepsi ketimpangan adalah bahwa secara teoretik ini sangat terkait dengan kohesi sosial seperti partisipasi sipil dan politik. Jika orang menganggap bahwa ada masalah sosial yang perlu ditangani, misalnya ketimpangan yang mereka nilai tidak adil, mereka lebih mungkin terlibat dalam tindakan sipil atau politik dalam upaya untuk mengubah situasi menjadi lebih baik (Haste 2004, Meyer 2007). Persepsi ketimpangan relevan dengan proses politik dan mempengaruhi tingkah laku memilih dalam Pemilu. Jika politikus dihadapkan dengan ketidakpuasan yang meluas tentang ketimpangan, mereka memiliki insentif untuk bertindak atas masalah (Luebker, 2004).

(19)

Dengan pertimbangan ini, ada kebutuhan mendesak untuk mengatasi kekurangan pengetahuan dalam permasalahan ini. Studi lain yang dilakukan oleh Niehues (2014) menunjukkan bahwa pesepsi ketimpangan atau penilaian subyektif mengenai ketimpangan sosial seringkali tidak sejalan dengan ketimpangan aktual.

Tetapi persepsi subyektif terhadap ketimpangan lebih menentukan usaha dan praktik distribusi sumber daya ke seluruh warga. Persepsi subyektif mengenai ketimpangan berkorelasi dengan terbentuknya pandangan kritis mengenai ketimpangan yang menggugah perubahan cara dan jenis distribusi sumber daya. Bahkan, dalam studi itu tidak ditemukan korelasi antara ketimpangan aktual dan pandangan kritis mengenai ketimpangan. Dengan dasar ini, pengukuran persepsi ketimpangan warga adalah hal penting dan perlu dilakukan.

(20)

Survey ini ingin menggali aspek-aspek ini sehingga pemahaman yang lebih komprehensif mengenai pelaksanaan program sosial di Indonesia dapat diperoleh. Survey ini juga ingin mengetahui persepsi warga terhadap ketimpangan yang ada di Indonesia. Dengan pemahaman itu evaluasi dan perbaikan program sosial dan kebijakan mengatasi ketimpangan sosial dapat dilakukan secara lebih memadai.

Pengukuran indeks Barometer Sosial dan Ketimpangan Sosial ini merupakan bagian dari tugas INFID sebagai organisasi masyarakat sipil yang memiliki mandat memantau pembangunan, dan berdasarkan hasil pemantauan itu, berupaya mengubah kebijakan dan program pembangunan agar menjadi lebih inklusif, bermanfaat, imparsial, dan tidak diskriminatif. Dalam menjalankan mandatnya, INFID menaruh perhatian besar terhadap kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan belum adanya jaminan kesehatan dan jaminan pensiun.

(21)

Tujuan pengukuran Barometer Sosial dan Ketimpangan Sosial dari perspektif warga adalah:

1. Menghasilkan alat advokasi pembangunan yang kuat dan secara bersama melibatkan partisipasi anggota INFID di berbagai kota di Indonesia;

2. Menghasilkan laporan pemantauan pembangunan yang reguler dan mudah dimengerti dan dipahami oleh publik, media massa dan pengambil kebijakan;

3. Menyediakan feedback dan evaluasi mengenai kinerja dan capaian kebijakan-program sosial bagi pengambil kebijakan di nasional dan daerah mengenai kinerja serta capaian program sosial.

(22)
(23)

2.

(24)

2.1 Kebutuhan Akan Program Sosial

Secara umum kebutuhan akan program sosial di Indonesia hingga di tahun 2015 ini masih tergolong sangat tinggi. Sama dengan di tahun 2013, warga masih sangat membutuhkan program sosial, terutama di bidang pelayanan kesehatan, pembiayaan pendidikan, penyediaan pekerjaan, bantuan usaha, pinjaman ringan, subsidi pertanian dan program pensiun. Bahkan kebutuhannya meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Adanya kebutuhan tersebut cukup merata di hampir semua provinsi. Dua graik berikut ini memperlihatkan persentase kebutuhan akan bantuan masyarakat.

(25)

Graik 2: Program sosial yang dibutuhkan masyarakat

N= 2500

(26)

2.2 Indeks Barometer Sosial Nasional

Seberapa jauh usaha Pemerintah Indonesia dan pemerintah provinsi mengupayakan pencapaian keadilan sosial melalui program-program sosial di tahun 2014? Bagaimana jika dibandingkan dengan tahun 2013?

Secara keseluruhan, Indeks Barometer Sosial yang diperoleh Indonesia tahun 2015 adalah 5,6 (dari skala 1-10) yang masuk dalam kategori “agak mengupayakan Pencapaian Keadilan Sosial”. Indeks ini lebih tinggi sedikit dari yang diperoleh pada tahun 2014 yang juga mencapai skor 5,3 meski kategorinya tidak berbeda.

Pengukuran Barometer Sosial 2015 menunjukkan bahwa pada tahun 2014 usaha Pemerintah Indonesia masih tergolong “agak mengupayakan pencapaian keadilan sosial”. Artinya, beberapa program sosial sudah dijalankan tetapi dalam penilaian warga pelaksanaan program itu belum optimal, baik dalam kesesuaian dengan kebutuhan warga, prosedur pelaksanaannya, maupun manfaat yang diperoleh warga.

(27)

Graik 3 : Skor IBS 2015 Nasional dan perbandingannya dengan provinsi

(28)

2.3 Penilaian Warga Mengenai Program Sosial Nasional

Bagaimana penilaian warga mengenai kinerja program sosial nasional, mencakup PNPM, PKH, Jampersal, Jamkesmas, Subsidi Pupuk, dan BOS? Bagaimana pelaksanaan program-program itu?

Apakah program-program itu sudah memenuhi kriteria keadilan distributif yang mencakup manfaat, tepat sasaran, sesuai dengan dan memenuhi kebutuhan, barang/jasa/uang yang diterima sesuai dengan yang semestinya, adanya akses terhadap bantuan, dan proses yang mudah?

Apakah program-program itu memenuhi kriteria keadilan distributif yang mencakup adanya aturan yang jelas, transparan dan melibatkan stake-holder, pelaksanaan sesuai aturan, serta informasinya jelas?

(29)

Graik 4 : Kebermanfaatan program sosial

N= 2500

(30)

Graik 5 : Ketepatan sasaran program sosial

N= 2500

(31)

Graik 6 : Kesesuaian barang/uang/jasa yang diterima dari program sosial

N= 2500

(32)

Graik 7: Kecepatan proses program sosial

N= 2500

(33)

Selain itu, masih banyak warga yang sulit untuk mendapatkan bantuan melalui program sosial. Lebih dari 50% responden menilai proses mendapatkan bantuan sulit atau sangat sulit. Selain prosedur yang panjang dan berbelit-belit, data warga yang membutuhkan bantuan tidak sesuai dengan apa yang ada di masyarakat. Akibatnya banyak warga yang harus mendaftar ulang dari awal dan mengalami kesulitan untuk memperoleh bantuan.

Graik 8 : Kemudahan mendapatkan bantuan dari program sosial

(34)

Graik 9: Keterbebanan warga oleh program sosial

N= 2500

(35)

Kebanyakan warga menilai pelayanan dalam program sosial tidak memuaskan. Tingkat kepuasan terhadap pelayanan program sosial tergolong rendah. Dalam pelaksanaannya, program sosial diberikan di tempat-tempat tidak nyaman untuk didatangi banyak orang pada saat bersamaan karena ruangnya terlalu sempit dan jaraknya jauh. Pengaturan waktu pemberian bantuan juga tidak efektif. Warga harus mengantri lama, berdesak-desakan, dan banyak yang tidak mendapat kejelasan kapan mereka akan menerima bantuan.

Graik 10 : Kepuasan terhadap pelayanan program sosial

(36)

Berdasarkan persepsi warga yang sudah dipaparkan, sebagian besar kriteria keadilan distributif pelaksanaan program sosial di Indonesia tahun 2014 belum terpenuhi. Meski program sosial yang diselenggarakan pemerintah dinilai bermanfaat namun belum mencapai target orang yang membutuhkan. Program sosial yang dijalankan belum sesuai sepenuhnya dengan kebutuhan dan belum dapat memenuhi kebutuhan warga.

Akses terhadap bantuan pun tidak merata, ditambah lagi dengan proses sulit, panjang, berbelit-belit, dan membebani. Pelayanan yang diberikan para petugas pelaksana pun dinilai tidak memuaskan warga.

Untuk kriteria keadilan prosedural, pada survey ini digali persepsi warga mengenai kejelasan informasi mengenai program sosial dan kesesuaian pelaksanaan dengan aturan yang sudah ditentukan. Kejelasan informasi mencakup kejelasan infomasi mengenai tujuan, sasaran, persyaratan, prosedur dan waktu pelaksanaan program sosial.

(37)

Informasi mengenai keberadaan program sosial masih dinilai tidak jelas oleh warga. Persentase responden yang menilai informasi program sosial jelas atau sangat jelas masih rendah (rata-rata di bawah 50%).

Graik 11 : Kejelasan informasi mengenai program sosial

(38)

Graik 12: Kesesuaian pelaksanaan program sosial dengan aturan

N= 2500

(39)

Berdasarkan persepsi warga, kriteria keadilan prosedural pada pelaksanaan program sosial di Indonesia tahun 2014 belum terpenuhi. Aturan program sosial belum jelas dan pelaksanaannya masih banyak yang tidak sesuai dengan aturan. Warga menilai ada penyimpangan pelaksanaan program sosial dari aturan yang sudah ditentukan. Selain itu konsep dan perencanaan program sosial tidak matang, serta penentuan program sosial belum melibatkan semua stake-holder. Informasi mengenai program sosial tidak. Banyak warga tidak terpapar informasi itu sehingga mereka tidak mengetahui seluk-beluk program sosial dan bagaimana mendapatkannya.

2.3 Penilaian Warga Mengenai Program Sosial

yang Diselenggarakan Oleh Kementerian, Pemerintah

Provinsi, dan Pemerintah Kota/Kabupaten

(40)

Graik-graik berikut ini memaparkan penilaian warga mengenai kinerja program sosial yang diselenggarakan oleh kementerian tersebut, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Apakah kementerian berikut ini, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota menyelenggarakan program sosial?

Instansi pemerintah dipersepsi sudah menyelenggarakan program sosial oleh kebanyakan warga, kecuali Kementerian Pertanian. Graik 12 memaparkan jawaban “Ya” responden atas pertanyaan “Apakah instansi pemerintah berikut ini menyelenggarakan program sosial?”

(41)

Bagaimana kualitas program sosial yang dilakukan instansi pemerintah?

Kualitas penyelenggaraan program sosial oleh instansi pemerintah dipersepsi sudah baik atau sangat baik oleh kebanyakan warga, kecuali yang diselenggarakan Kementerian Pertanian. Graik 13 memaparkan jawaban “baik atau sangat baik” responden atas pertanyaan “Bagaimana kualitas program sosial yang diselenggarakan instansi pemerintah berikut?”

Graik 14: Kualitas program sosial yang diselenggarakan oleh intansi pemerintah

(42)

Seberapa bermanfaat program sosial yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah?

Secara umum program sosial yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah dinilai bermanfaat oleh kebanyakan warga. Graik 14 memaparkan jawaban “bermanfaat atau sangat bermanfaat” responden atas pertanyaan “Apakah program sosial yang diselenggarakan instansi pemerintah berikut bermanfaat?”.

(43)

3.

(44)

3. Ketimpangan Sosial

Di bab ini akan dipaparkan hasil survey persepsi warga terhadap ketimpangan sosial di Indonesia. Secara sederhana kesenjangan sosial adalah perbedaan pendapatan, sumber daya, kekuasaan dan status di dalam dan di antara masyarakat (Naidoo dan Wills 2008). Lebih rinci lagi, kesenjangan sosial merujuk pada cara di mana kategori sosial orang (menurut karakteristik seperti jenis kelamin, usia, kelas dan etnis) diposisikan berbeda-beda berkaitan dengan akses ke berbagai kemaslahatan sosial, seperti tenaga kerja pasar dan sumber pendapatan, sistem pendidikan dan kesehatan, dan bentuk-bentuk representasi dan partisipasi politik.

Konsep ketimpangan sosial dikembangkan untuk dapat memberikan gambaran perbedaan antara pendapatan rata-rata, dan apa yang didapatkan oleh orang miskin dan kaya atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Dengan konsep ketimpangan sosial dapat dikenali seberapa baik warga negara yang berbeda mendistribusikan atau berbagi pendapatan yang mereka peroleh.

(45)

3. Penyebab ketimpangan sosial di Indonesia

4. Pihak yang seharusnya bertanggung jawab mengatasi ketimpangan sosial yang ada di Indonesia

5. Cara mengurangi ketimpangan di Indonesia 6. Ketimpangan gender di Indonesia

7. Perlakuan diskriminatif di Indonesia

Pertanyaan yang diajukan dalam Survey Ketimpangan Sosial dalam IBS 2015 terdiri atas:

1. Ranah/aspek/hal apa yang berperan menghasilkan ketimpangan sosial di daerah anda?

2. Dalam setiap ranah/aspek/hal yang berperan itu, seberapa besar ketimpangan sosial yang terjadi di daerah anda?

3. Apa yang menyebabkan ketimpangan di daerah anda?

4. Siapa yang seharusnya bertanggung jawab mengatasi ketimpangan sosial yang ada di daerah anda?

5. Apa yang perlu dilakukan untuk mengurangi ketimpangan sosial di daerah anda?

(46)

3.1 Sumber Ketimpangan Sosial

Apa sumber ketimpangan sosial menurut warga? Dalam persepsi mereka, seberapa jauh ketimpangan dan perlakuan diskriminatif berlangsung di masyarakat Indonesia? Bagaimana penyebaran ketimpangan di wilayah Indonesia? Survey ini hendak menjawab pertanyaan-pertanyaan ini melalui persepsi warga mengenai hal-hal tersebut. Ranah yang menjadi sumber ditentukan berdasar ranah kepuasan hidup yang mempengaruhi kesempatan, kapabilitas, kepuasan hidup dan kebahagiaan individu. Dalam pengukuran ini ranah itu terdiri atas penghasilan, harta benda yang dimiliki, kesejahteraan keluarga, pendidikan, pekerjaan, rumah/tempat tinggal, lingkungan tempat tinggal, hukum, kesehatan, dan aktivitas politik. Warga diminta menilai apakah sepuluh ranah ini merupakan sumber ketimpangan dan sejauh mana ketimpangan yang ada di setiap ranah. Hasilnya, menurut warga kesepuluh ranah itu merupakan sumber ketimpangan sosial.

(47)

3.2 Derajat Ketimpangan

Warga mempersepsi ketimpangan terjadi di kebanyakan ranah yang dinilai. Derajat ketimpangannya pun tergolong besar, rata-rata di atas 20% responden menilai setiap ranah sangat timpang.

Graik 17: Persentase ketimpangan di setiap ranah

(48)

Khusus untuk penghasilan, diajukan pertanyaan mengenai kesesuaian penghasilan responden dengan yang diharapkan oleh mereka. Penghasilan dipersepsi oleh warga sebagai ranah yang paling timpang dan paling besar peranannya dalam menghasilkan ketimpangan sosial. Kebanyakan (50,7%) responden menilai menilai penghasilan mereka tidak sesuai dengan harapan dan tidak layak.

Lebih dari 50% responden menilai penghasilannya tidak layak. Jika ini ditarik ke populasi, dapat dikatakan bahwa lebih dari setengah warga Indonesia dewasa menilai penghasilan yang mereka dapatkan tidak layak. Penghasilan yang mereka dapatkan tidak dapat memenuhi kebutuhan primer mereka atau hanya dapat memenuhi kebutuhan primer mereka. Hanya 4,9% responden yang menilai penghasilan mereka lebih dari yang mereka harapkan.

(49)

Dari sini dapat diperoleh indikasi adanya ketimpangan besar pada ranah penghasilan. Masyarakat Indonesia terbagi tiga kelompok, terdiri atas (1) warga yang berpenghasilan tidak layak, (2) warga yang berpenghasilan layak; dan (3) warga yang berpenghasilan lebih dari yang dibutuhkan.

Kelompok dengan proporsi terbesar adalah kelompok warga yang berpenghasilan tidak layak. Lalu kelompok warga yang berpenghasilan layak di urutan kedua. Kemudian yang kelompok paling kecil proporsinya adalah kelompok warga yang berpenghasilan tinggi di atas kebutuhan yang mereka miliki. Keadaan ini tersebar hampir merata di seluruh wilayah Indonesia.

Graik 19: Distribusi persepsi kesesuaian penghasilan dengan harapan per wilayah

(50)

Kebanyakan responden (56,4%) menilai penghasilan yang mereka peroleh

sesuai dengan usaha mereka. Dalam arti mereka bekerja untuk mendapatkan penghasilan itu. Sebesar 40% responden menilai bahwa usaha mereka tak sebanding dengan penghasilan yang mereka peroleh. Mereka menilai penghasilan mereka jauh dari harapan dan kecukupan pemenuhan kebutuhan mereka. Kurang dari 5% responden yang menilai bahwa penghasilan mereka lebih besar dibandingkan dengan usaha yang mereka lakukan. Persepsi ini relatif merata di berbagai wilayah kecuali di wilayah Sumatera yang lebih banyak menilai penghasilan mereka tidak sesuai dengan usaha dan menilai bahwa

Graik 20: Distribusi persepsi kesesuaian penghasilan dengan usaha yang dilakukan per wilayah

(51)

Persepsi responden mengenai perbedaan penghasilan yang ada di Indonesia pun digali dalam pengukuran ini. Kepada responden dipaparkan data kasar rata-rata penghasilan orang Indonesia serta penghasilan sebagian profesi dan posisi jabatan di Indonesia sebagai berikut:

1. Rata-rata penghasilan orang Indonesia: Rp 2.290.587,24 per bulan; 2. 50 Juta orang Indonesia berpenghasilan Rp 20 juta per bulan; 3. Rata-rata penghasilan pilot di Indonesia Rp 50 juta per bulan;

rata-rata penghasilan dokter spesialis di Indonesia Rp 50 juta per bulan; 4. Rata-Rata penghasilan anggota DPR di Indonesia Rp 46 juta per bulan; 5. Rata-rata gaji direktur utama BUMN besar di Indonesia Rp 400 juta per bulan;

6. 7-10 orang direktur perusahaan besar di Indonesia bergaji Rp 6-8 milyar per bulan.

Lalu mereka ditanya, “Menurut Anda seberapa wajar perbedaan penghasilan antara orang di Indonesia tersebut?” Mereka diminta menilai dengan opsi pilihan jawaban dari “sangat tidak wajar (1)” hingga “sangat wajar (7)”. Sebesar

(52)

Graik 21: Persepsi mengenai ketidakwajaran perbedaan penghasilan antara orang Indonesia per wilayah

N= 2500

Perbedaan penghasilan antar orang Indonesia ini sejalan dengan hasil persepsi terhadap ketimpangan penghasilan yang ditangkap warga, bahwa

(53)

Graik 22: Persepsi mengenai ketidakadilan perbedaan penghasilan antara orang Indonesia per wilayah

N= 2500

(54)

3.3 Indeks Ketimpangan Sosial 2015

Indeks ketimpangan di sini ditentukan berdasarkan banyaknya ranah yang dinilai warga mengalami ketimpangan. Semakin besar indeks maka semakin banyak ranah yang dinilai mengalami ketimpangan. Indeks ketimpangan sosial adalah angka yang mengindikasikasi berapa banyak ranah dalam kehidupan sosial yang dinilai warga mengalami ketimpangan.

Dengan dasar itu indeks ketimpangan sosial ini mengindikasikan berapa banyak ranah dari 10 ranah sumber ketimpangan yang dinilai timpang oleh seluruh responden.

Rentang Indeks: 1-10

0 = tidak ada ranah yang timpang 10 = ada ketimpangan di 10 ranah

(55)

Graik 23: Persepsi ketimpangan sosial setidaknya pada satu ranah

N= 2500

Dilihat per wilayah, lebih dari 75% responden di Indonesia Timur, Sumatera, dan Jawa-Bali, dan Sulawesi merasakan ketimpangan setidaknya di satu ranah. Persentase paling rendah terjadi di Kalimantan, yaitu 42% responden tidak merasakan ketimpangan di ranah apapun.

(56)

Pada ranah lingkungan tempat tinggal, ketimpangan dipersepsi oleh 44% responden. Ketimpangan di ranah ini dirasakan oleh lebih dari setengah responden di tiga wilayah, 51%-54%, yaitu di Sumatera, Jawa-Bali, dan Indonesia Timur. Sedangkan di Kalimantan ketimpangan dipersepsi oleh 28% responden dan di Sulawesi ketimpangan dipersepsi oleh 35% responden.

Di ranah kesejahteraan keluarga, ketimpangan dipersepsi oleh 49.8% responden. Setengah responden, berkisar 49%-59%, di empat wilayah mempersepsi adanya ketimpangan yaitu Sumatera, Jawa-Bali, Sulawesi, Indonesia Timur. Sedangkan sebesar 33% responden di Kalimantan mempersepsi ketimpangan di ranah ini.

Di ranah kesehatan, ketimpangan dirasakan oleh 31.8% responden. Ketimpangan pada ranah ini lebih dirasakan oleh responden di wilayah Sumatera (39.1%), Jawa-Bali (39.9%) dan Sulawesi (35%). Kurang dari seperempat responden di wilayah Kalimantan (22.7%) merasakan ketimpangan di ranah kesehatan. Ketimpangan di ranah kesehatan merupakan ketimpangan yang dipersepsikan paling rendah (tidak ada ketimpangan) oleh responden di kelima wilayah.

(57)

Pada ranah kesempatan mendapatkan pekerjaan, lebih dari setengah responden (53.8%) merasakan ketimpangan ini. Ditinjau per wilayah, ketimpangan dipersepsi paling tinggi di Sumatera (64%) dan Indonesia Timur (66%). Di kedua wilayah tersebut, dua per tiga responden mempersepsi adanya ketimpangan di ranah ini. Walau demikian, setengah responden di Jawa-Bali merasakan ketimpangan di ranah ini, dan lebih dari sepertiga merasakannya di Kalimantan dan Sulawesi.

Pada ranah pendidikan, ketimpangan dirasakan oleh 45,9% responden. Jika ditinjau per wilayah, maka lebih dari sepertiga responden di lima wilayah di Indonesia mempersepsi adanya ketimpangan di ranah pendidikan. Ketimpangan pendidikan paling dirasakan oleh responden di Sumatera, lebih dari setengah (54%) mempersepikan adanya ketimpangan ini.

(58)

Pada ranah hukum, ketimpangan dirasakan oleh 49.1% responden. Ketimpangan pada ranah hukum sangat dirasakan oleh responden Indonesia Timur. Hampir tiga perempat responden (70%) merasakan ketimpangan di ranah ini. Lebih dari setengah responden Sumatera (59%) dan Jawa-Bali (51%) mempersepsi adanya ketimpangan di ranah ini. Sedangkan di Kalimantan dan Sulawesi sekitar sepertiga masyarkat merasakan ketimpangan di ranah hukum.

3.4. Penyebab Ketimpangan dan Pihak Yang Harus

Bertanggung Jawab

Apa saja penyebab ketimpangan sosial? Keadaan dan kondisi apa yang dipersepsi menyebabkan terjadinya ketimpangan di Indonesia?

(59)

Graik 24: Penyebab ketimpangan

N= 2500

(60)

Siapa yang harus bertanggungjawab mengatasi ketimpangan sosial?

Pertanyaan ini menghasilkan banyak jawaban warga seperti yang dipaparkan dalam Graik 24. Jawaban warga ini bisa jadi mengindikasikan pandangan yang berbeda mengenai peran negara dan individu dalam mengatasi persoalan kemiskinan dan menghasilkan kesejahteraan warga. Ada yang berpendapat bahwa pemerintah saja yang bertanggung jawab mengatasi ketimpangan sosial. Ada yang berpendapat bahwa setiap orang dan kepala keluarga yang bertanggung jawab mengatasi ketimpangan sosial. Ada juga yang berpendapat bahwa orang berpendidikan tinggi, partai politik, pemilik perusahaan, orang kaya dan lembaga keuangan internasional yang bertanggung jawab mengatasi ketimpangan sosial. Ada juga responden yang menyatakan bahwa semua pihak itu bertanggung jawab mengatasi ketimpangan sosial. Persepsi warga ini juga menarik untuk dikaji tersendiri lebih lanjut.

(61)

3.5 Cara Mengatasi Ketimpangan

Upaya apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi ketimpangan sosial?

Pemberantasan korupsi menempati urutan pertama sebagai cara yang perlu dilakukan untuk mengatasi ketimpangan sosial. Ada indikasi bahwa warga menilai ketimpangan yang ada di berbagai ranah yang menjadi sumber ketimpangan disebabkan oleh tidak meratanya distribusi sumber daya. Sebagian besar sumber daya dinikmati oleh kelompok oran tertentu melalui korupsi. Ini terkait dengan upaya kedua yang perlu dilakukan untuk mengatasi ketimpangan menurut warga, yaitu pemerintah bekerja dengan baik.

(62)

Graik 26: Upaya yang perlu dilakukan untuk mengatasi ketimpangan sosial

(63)

3.6 Ketimpangan Antara Perempuan dan Laki-laki

Dalam survey ini diukur juga persepsi terhadap ketimpangan antara perempuan dan laki-laki di Indonesia. Persepsi terhadap ketimpangan antara perempuan dan laki-laki tergolong rendah. Sebesar 28,72% responden menilai ada ketimpangan antara perempuan dan laki-laki. Hasil ini menarik untuk dikaji lebih lanjut karena tidak sejalan dengan penilaian beberapa ahli yang berkecimpung dalam permasalahan gender. Persepsi ketimpangan gender tertinggi diperoleh di Indonesia Timur, yaitu sebesar 50,6% responden mempersepsi adanya ketimpangan antara perempuan dan laki-laki. Di Kalimantan persepsi terhadap ketimpangan antara perempuan dan laki-laki sangat rendah, hanya 2,4% responden yang mempersepsi adanya ketimpangan gender.

(64)

Graik 28: Ketimpangan antara perempuan dan laki-laki di setiap ranah/aspek

(65)

Dalam mempersepsikan ketimpangan sosial, tidak ada perbedaan yang signiikan antara persepsi perempuan dan laki-laki (Graik 29). Proporsi perempuan yang mempersepsi adanya ketimpangan relatif sebanding dengan proporsi laki-laki yang mempersepsi adanya ketimpangan. Ketimpangan sosial di Indonesia sama-sama dirasakan baik oleh perempuan maupun laki-laki. Dalam mempersepsikan kesesuaian penghasilan dengan usaha dan kebutuhan pun perempuan dan laki-laki tidak berbeda secara signiikan (Graik 30). Begitu pula tidak ada perbedaan signiikan antara persepsi perempuan dan laki-laki terhadap ketimpangan di setiap ranah yang menjadi sumber ketimpangan (Graik 31).

(66)

Graik 30: Perbandingan persepsi akan penghasilan antara perempuan dan laki-laki

N= 2500

(67)

3.7 Perlakuan Diskriminatif

Menanggapi pertanyaan “Apakah anda mengalami perlakuan diskriminatif

di daerah tempat anda tinggal?” kebanyakan responden menjawab tidak.

Sebesar 15,5% responden mengaku mendapatkan perlakuan diskriminatif. Persentase jawaban ini relatif setara antara Indonesia Bagian Barat, Indonesia Bagian Tengah dan Indonesia Bagian Timur.

(68)

Graik 33: Perlakuan diskriminatif yang dialami orang di lingkungan tempat tinggal

Ketika responden ditanya “Apakah warga di daerah tempat anda tinggal mengalami perlakuan diskriminatif?” lebih banyak responden yang menjawab “Ya”. Sebesar 30,6% responden menjawab “Ya”.

(69)

Graik 34: Perlakuan diskriminatif yang dialami orang di lingkungan tempat tinggal

N= 2500

(70)
(71)

KESIMPULAN

(72)

4. Kesimpulan

1. Kebutuhan warga akan program sosial hingga awal tahun 2015 tergolong tinggi. Warga membutuhkan bantuan, terutama di bidang kesehatan, pendidikan, kesempatan kerja dan bantuan usaha.

2. Masih ada deprivasi kebutuhan dasar dan kurangnya pemenuhan hak Ekosob pada warga Indonesia. Program sosial yang diselenggarakan di Indonesia belum didasari oleh hasil analisis kebutuhan program sosial. Alasan pemilihan program-program itu tidak jelas.

3. Secara keseluruhan, Indeks Barometer Sosial yang diperoleh Indonesia tahun 2015 adalah 5,6 (dari skala 1-10) yang masuk dalam kategori “agak mengupayakan Pencapaian Keadilan Sosial”. Indeks Barometer Sosial 2015 sedikit lebih tinggi dari Indeks Barometer 2014 tetapi kategorinya tidak berbeda, sama-sama “agak mengupayakan Pencapaian Keadilan Sosial”. Dalam penilaian warga ada peningkatan kualitas pelaksanaan program sosial pada tahun 2014 dibandingkan dengan tahun 2013.

(73)

sesuai dengan semestinya, pelayanannya tidak memuaskan, serta pelaksanaannya masih banyak yang menyimpang dari aturan.

5. Penentuan program sosial apa yang diselenggarakan oleh pemerintah nasional, kementerian, provinsi, dan kabupaten/kota belum berdasarkan analisis kebutuhan yang memadai.

6. Hal yang paling berperan dalam menghasilkan ketimpangan sosial adalah perbedaan penghasilan, disusul dengan perbedaan kepemilikan harta benda, dan lingkungan tempat tinggal.

7. Warga mempersepsi masih ada ketimpangan dalam berbagai ranah yang berlangsung di sekitar mereka disertai dengan perlakuan diskriminatif. Hal ini menyumbang pada berlangsungnya ketimpangan sosial secara keseluruhan.

(74)

9. Warga mempersepsi penyebab ketimpangan sosial yang utama adalah pendidikan yang tidak merata, kesempatan kerja tidak merata, pemerintah tidak bekerja dengan baik, dan hukum yang tidak berfungsi dengan baik. Pihak yang harus bertanggungjawab mengatasi ketimpangan sosial mencakup pemerintah, setiap individu, kepala keluarga, orang berpendidikan tinggi, pemilik perusahaan, partai politik, orang kaya, dan lembaga keuangan internasional.

10. Cara untuk mengatasi ketimpangan menurut warga adalah pemberantasan korupsi, pemerintah bekerja dengan baik, penegakan hukum, pemerataan pendidikan, pemerataan kesempatan kerja, pemerataan penghasilan, dan jaminan keamanan bagi warga.

11. Berdasarkan penilaian warga, keadilan sosial sebagai perwujudan kesempatan dan peluang hidup yang setara belum menjadi prioritas utama bagi pemerintah pusat, kementerian, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.

(75)

13. Masih ada banyak pengaruh latar belakang sosial dan ketidaksamaan titik awal terhadap kesempatan untuk mengejar arah kehidupan dan kesejahteraan warga Indonesia.

(76)
(77)

REKOMENDASI

(78)

5. Rekomendasi

1. Perlu dilakukan analisis kebutuhan program sosial untuk menentukan program apa yang perlu dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia, baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota. Analisis kebutuhan juga perlu dilakukan di sektor-sektor khusus, seperti pendidikan, pertanian, kesehatan, dan perdagangan. Selain itu perlu dikaji lebih jauh jenis bantuan apa yang sebaiknya diberikan, apakah bantuan yang berorientasi pada penguatan orang atau pemberian barang, atau apakah bantuan kepada komunitas atau kepada orang perorang.

2. Perlu dibuat standar pelaksanaan program sosial, mencakup di antaranya prosedur operasional, durasi, frekuensi, besaran bantuan, proses pemberian bantuan, target penerima bantuan, pelaksana program, serta aktivitas pemantauan dan evaluasi. Standar itu perlu diberlakukan di setiap kementerian terkait program sosial, provinsi, dan kabupaten/kota.

(79)

provinsi, dan kabupaten/kota.

4. Diperlukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program sosial, dimulai dari perumusan konsep dan desain program, proses, serta hasil, manfaat dan efek program. Pemantauan dan evaluasi dilakukan terhadap jalannya program sosial mencakup perencanaan, sosialisasi dan mobilisasi, penerapan, dan integrasi program sosial. Jadi evaluasi tidak hanya dilakukan pada akhir pelaksanaan program, melainkan perlu dilakukan dalam keseluruhan rentang pelaksanaan program, sejak awal, pertengahan hingga akhir program. Metode, teknik, dan prosedur evaluasi perlu dikembangkangkan agar bersifat komprehensif, mencakup rencana, evaluasi, seleksi instrumen, pengumpulan data, analisis data, dan pelaporan hasil. Hasil pemantauan dan evaluasi perlu ditindak-lanjuti dengan perbaikan program sedang berlangsung maupun perbaikan program berikutnya.

5. Perlu studi mengenai sumber, penyebab dan cara mengatasi ketimpangan sosial yang didukung oleh data yang kuat dan dilakukan secara berkelanjutan.

(80)

birokrasi. Reformasi birokrasi tidak dapat mengubah itu semua karena sekadar meningkatkan efektivitas dan eisiensi cara pikir dan cara kerja yang sudah ada. Perubahan prioritas pemerintahan dan pembangunan, serta pemahaman dan penghayatan pelaksanaan program sosial yang memadai tidak akan dapat berlangsung dengan hanya meningkatkan efektivitas dan eisiensi. Selama kerangka pikir dan mindset yang digunakan masih sama, perubahan substansial tidak akan berlangsung.

Justru persoalannya terletak pada kerangka pikir dan mindset yang digunakan, bahwa keadilan sosial dan program sosial untuk mencapainya bukan prioritas utama, sehingga pengadaan dan pelaksanaannya tidak menjadi perhatian penting. Revolusi birokrasi dengan paradigma yang menjadikan keadilan sosial sebagai sentral dari tujuan pembangunan akan mengubah kerangka pikir dan mindset yang ada sekarang, menjadikan usaha pencapaian keadilan sosial menjadi lebih komprehensif dan sungguh-sungguh.

(81)

Keberadaan perangkat demokrasi sepertinya tidak diiringi kualitas pada saat pelaksaanan. Tingginya ketimpangan di ranah keterlibatan politik di wilayah Indonesia Timur menunjukkan perlu penanganan khusus di wilayah ini.

9. Ketimpangan di ranah pendidikan masih tinggi. Hal ini kontras dengan biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah dari APBN untuk pendidikan. Maka dibutuhkan evaluasi yang mendalam mengenai pelaksanaan pendidikan baik pada skala nasional, maupun spesiik per wilayah.

10. Dibutuhkan evaluasi terhadap ketimpangan di ranah kesehatan, karena walaupun dipersepsikan paling rendah diantara semua ranah ketimpangan, perlu dilakukan pengecekan kondisi ril oleh pemerintah.

(82)
(83)

Daftar Pustaka

Han, C., Janmaat, J.G., Hoskins, B. and Green, A. (2012) Perceptions of Inequalities: implications for social cohesion, published by the Centre for Learning and Life Chances in Knowledge Economies and Societies at: http://www.llakes.org

Haste, Helen (2004) ‘Constructing the Citizen’, Political Psychology, 25, 3, pp. 413-439.

Keller, T., Medgyesi, M., & Tóth, I.G. (2010) Analysing the link between measured and perceived income inequality in European countries. European Commission; Directorate-General “Employment, Social Affairs and Equal Opportunities” Unit E1 - Social and Demographic Analysis.

Kelley, J. & Evans, M.D.R. (1993) “The Legitimation of Inequality: Attitudes Towards Inequality in Nine Nations.” American Journal of Sociology 99 (July): 75-125.

Luebker, M. (2004) ‘Globalization and perceptions of social inequality’, Working Paper No. 32. International Labour Ofice, Geneva. Online: http://www. rrojasdatabank.info/inequality/SSRN-id655762.pdf, accessed 14 Jan 2011.

Meyer, D. S. (2007) “Building Social Movements”. In S. Moser and L. Dilling (eds) Creating a climate for change: communicating climate change and facilitating social change. Cambridge University Press, Cambridge, pp. 451-460.

(84)

Niehues, J. (2014) “Subjective Perceptions of Inequality and Redistributive Preferences: An International Comparison”. Cologne Institute for

Economic Research (IW), Konrad-Adenauer-Ufer 21, Cologne, Germany, niehues@iwkoeln.de and IZA Bonn

Osberg, L. and Smeeding, T. (2006) ‘“Fair” Inequality? Attitudes towards

Pay Differentials: The United States in Comparative Perspective’, American Sociological Review, 71, pp. 450-473.

(85)

Lampiran 1: Kerangka Teoretik

1. Barometer Sosial Sebagai Turunan Konsep Keadilan Sosial

Barometer Sosial merupakan turunan dari konsep social justice (keadilan sosial) yang dikemukakan oleh Wolfgang Merkel. Konsep keadilan sosial secara umum diartikan sebagai perwujudan kesempatan dan peluang hidup yang setara. “Keadilan sosial” adalah elemen konstitutif pusat legitimasi dan stabilitas dari setiap komunitas politik. Pada intinya konsep keadilan sosial didasari oleh postulat bahwa setiap individu harus diberdayakan untuk mengejar arah kehidupan yang ditentukannya sendiri, dan untuk terlibat dalam partisipasi sosial yang luas. Latar belakang sosial tertentu, seperti keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu atau ketidaksamaan titik awal, tidak diizinkan mempengaruhi secara negatif rencana kehidupan pribadi.

Dimensi Keadilan Sosial adalah sebagai berikut:

1. Pencegahan kemiskinan (Poverty prevention) 2. Akses ke pendidikan (Access to education)

3. Inklusi pasar tenaga kerja (Labor market inclusion)

4. Kohesi sosial dan diskriminasi (Social cohesion and discrimination)

5. Kesehatan (Health)

(86)

Konsep keadilan ini peduli dengan penjaminan setiap kesempatan individu yang benar-benar sama untuk realisasi diri melalui investasi yang ditargetkan dalam pengembangan “kapabilitas” individu. Yang dikejar bukan “penyetaraan” keadilan distributif atau hanya kesetaraan kesempatan hidup formal dengan aturan main dan kode prosedur yang diterapkan sama. Keadilan sosial dapat dipahami sebagai kerangka aturan dan pedoman bagi masyarakat partisipatif yang mengaktifkan dan memampukan anggotanya. Penerapannya mensyaratkan negara kuat dipimpin oleh aktor yang mengerti kebutuhan akan kesetaraan sosial sebagai alat untuk memastikan kesempatan partisipasi.

Konsep barometer sosial berfokus pada karakteristik dan usaha-usaha untuk menegakkan keadilan sosial serta dampaknya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Secara operasional, pemahaman mengenai barometer sosial dilakukan dengan mencermati program-program sosial pemerintah, usaha departemen terkait dan partai dalam penegakan keadilan sosial di Indonesia.

(87)

2. Ketimpangan Sosial

Ketimpangan sosial dideinisikan sebagai ketidakmerataan distribusi sumber daya dalam masyarakat. Konsep ketimpangan sosial dikembangkan untuk dapat memberikan gambaran perbedaan antara pendapatan rata-rata, dan apa yang didapatkan oleh orang miskin dan kaya atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Dengan konsep ketimpangan sosial dapat dikenali seberapa baik warga negara yang berbeda mendistribusikan atau berbagi pendapatan yang mereka peroleh.

Turner (1986, 34-35) mengidentiikasi empat jenis kesetaraan. Yang pertama adalah kesetaraan ontologis atau kesetaraan mendasar orang. Kedua, kesetaraan kesempatan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Ketiga, kesetaraan kondisi di mana ada upaya untuk membuat kondisi kehidupan yang sama bagi kelompok-kelompok sosial yang relevan. Keempat ada kesetaraan hasil atau kesetaraan hasil.

2.1. Ketimpangan Sosial Berdasarkan Konsep Kapabilitas Dari

Amartya Sen

(88)

kondisi baik), dan Agency of Freedom atau kebebasan perlakukan atau kebebasan untuk mencapai sesuatu yang dianggap baik. Dua hal ini mengartikan kebebasan karena adanya kesempatan (opportunity) dan ada proses yang mendukung.

Pendekatan Sen kemudian diterjemahkan pentingnya melihat ketimpangan kesempatan (kapabilitas dasar: pendidikan, kesehatan) dan ketimpangan karena proses (demokrasi, kemampuan mengontrol sumber daya dan lingkungan).

2.2. Ketimpangan Sosial dari Sudut Pandang Ekonomi

Ketimpangan sosial dapat dilihat juga dari sudut pandang ekonomi berdasarkan pengukuran pendapatan dan aset, mencakup tabungan, properti, tanah, dan lain-lain. Pendekatan ini digunakan oleh banyak ekonom yang menulis mengenai ketimpangan seperti Thomas Piketty (Capital in the Twenty-First Century), Branco Milanovic (The Haves and the Have-Nots), J. E. Stiglitz (The Price of Inequaity), Nancy Birdshall (The World is not Flat: Inequality and Injustice in Our Global Economy).

(89)

2.3. Ketimpangan Sosial dari Sudut Pandang Kelembagaan atau

institutional oleh Daron Acemoglu & James Robinson (Why

Nation Fails)

(90)

Lampiran 2: Metode

1. Pendekatan

Secara umum, survei ini akan mengadopsi perspektif keadilan sosial sebagaimana disusun dalam Indeks Keadilan Sosial yang disusun oleh Wolgang Merkel/ Bertlleman Stiftung. Tetapi software itu disadur dan dimodiikasi sesuai dengan kebutuhan Indonesia dan metode survei. Metode itu antara lain mengukur dan menilai kebijakan mengatasi kemiskinan, ketimpangan, kinerja pelayanan kesehatan, pasar kerja dan sebagainya.

2. Waktu Pelaksanaan

Pengukuran dilaksanakan selama 3 bulan dengan perincian satu bulan untuk persiapan, satu bulan pengambilan data lapangan dan satu bulan untuk pengolahan data serta pembuatan laporan.

3. Permasalahan

Empat Pertanyaan mengenai program sosial yang diajukan adalah:

a. Kebijakan-Program sosial apa yang dianggap penting dan bermanfaat bagi warganegara?

(91)

e. Apa sebab terjadinya ketimpangan menurut persepsi masyarakat? f. Usulan perbaikan apa yang diajukan oleh masyarakat mengenai kebijakan yang tepat untuk menurunkan atau mengurangi ketimpangan?

Keterangan

• “Kebijakan dan program sosial” adalah 6-7 program yang kini tengah dijalankan oleh pemerintah,di antaranya PNPM, PKH, Jampersal, Jamkesma, Subsidi Pupuk, BOS.

• “Kementrian dan lembaga pemerintah” meliputi 6-7 lembaga yang mencakup kementrian kesehatan, keentrian sosial, kementrian

pertanian, pemerintah propoinsi, dan pemerintah daerah. •“Kebijakan-program sosial” adalah program-program yang

berpotensi meningkatkan kesejahetraan dan menegakkan keadilan sosial, antaranyajaminan kesehatan,jaminanpensiun, dan subsidi.

Jawaban warga negara terhadap empat pertanyaan tersebut akan dikelompokkan ke dalam empat kelompok/kategori jawaban kualitatif dan nantinya akan dikuantiikasi dan diinterpretasikan sebagai berikut:

• Penting dan bermanfaat/sangat baik (8-10) • Baik/sedang (5-7)

(92)

Indikator dari masing-masing pertanyaan adalah sebagai berikut.

1. Kebijakan sosial yang penting dan bermanfaat: informasi tersedia/ diterima, barang dan jasa tersebut benar diterima, tidak memberi beban/ mudah dijangkau, menerima pelayanan dengan mudah, bermanfaat, tidak diskriminatif, tidak berbelit-belit, mekanisme pengaduan, dan lain-lain.

2. Lembaga pemerintah yang berkinerja baik: programnya sesuai kebutuhan, penyaluran tepat waktu, sasarannya tepat, tidak ada pemotongan, tidak menambah beban, tidak ada korupsi, pelayanan mudah, transparans, partisipasi, dan mekanisme pengaduan.

3. Kebijakan program sosial: program sosial yang dianggap penting dan mendesak untuk mengurangi beban atau memperluas kesempatan sosial warga tetapi belum ada dan belum dijanjikan, seperti jaminan kesehatan, subsidi pupuk, bantuan beasiswa, dan jaminan tunai tidak bersyarat.

Indikator ketimpangan sosial:

(93)

Selain hendak menggali sumber dan seberapa jauh ketimpangan sosial terjadi menurut warga, dalam pengukuran ini juga digali persepsi warga mengenai penyebab ketimpangan sosial. Di sini juga digali persepsi warga tentang pihak yang semestinya bertanggungjawab atas ketimpangan sosial dan cara untuk mengatasi ketimpangan sosial. Untuk melengkapi pemahaman mengenai ketimpangan sosial, dalam pengukuran ini juga digali persepsi warga mengenai ketimpangan sosial antara perempuan dan laki-laki, serta ada atau tidak perlakuan diskriminatif yang dialami warga. Dalam pengolahannya, dianalisis juga perbedaan persepsi mengenai ketimpangan sosial antara perempuan dan laki-laki.

Pertanyaan yang diajukan mengenai ketimpangan sosial terdiri atas:

1. Ranah/aspek/hal apa yang berperan menghasilkan ketimpangan sosial di daerah anda?

2. Dalam setiap ranah/aspek/hal yang berperan itu, seberapa besar ketimpangan sosial yang terjadi di daerah anda?

3. Apa yang menyebabkan ketimpangan di daerah anda?

4. Siapa yang seharusnya bertanggung jawab mengatasi ketimpangan sosial yang ada di daerah anda?

5. Apa yang perlu dilakukan untuk mengurangi ketimpangan sosial di daerah anda?

(94)

4. Metode Riset

Pengukuran Barometer Sosial dan Ketimpangan Sosial 2015 ini termasuk dalam jenis riset kuantitatif. Metode riset yang digunakan adalah metode kuantitatif yang mengandalkan peroleh data pada wawancara, observasi dan kuesioner. Data yang diperoleh adalah data kuantitatif atau data yang diberi kode angka berdasarkan skala ordinal dan interval sehingga dapat dianalisis menggunakan perhitungan matematik.

(95)

5. Jumlah Responden dan Teknik Sampling

Jumlah responden mencakup 2500 orang. Mencakup responden di 34 provinsi di Indonesia. Metode survei yang digunakan adalah survei dengan menggunakan kuesioner. Teknik sampling yang digunakan adalah multistage random sampling, yaitu pengambilan sampel secara bertingkat, pertama dengan menentukan kelompok-kelompok sampel, kemudian sampel dipilih secara random dari kelompok-kelompok itu. Multistage random sampling seperti cluster sampling, tetapi melibatkan pemilihan sampel dalam cluster yang dipilih. Dengan teknik ini, pemilihan sampel dilakukan paling sedikit pada dua tahap (stage).

6. Penyusunan Instrumen Pengukuran

Instrumen yang digunakan dalam pengukuran barometer sosial dan ketimpangan sosial ini adalah alat ukur berupa skala dan kuesioner. Penyusunan alat ukur itu mengikuti langkah-langkah berikut ini.

1. Identiikasi tujuan utama penggunaan alat ukur: Memperoleh Indeks Barometer Sosial dan Ketimpangan Sosial.

2. Penentuan konstruk pengukuran: Komponen-komponen Barometer Sosial dan Ketimpangan Sosial.

3. Identiikasi indikator yang mewakili konstruk dan mendeinisikan ranah (domain) Barometer Sosial dan Ketimpangan Sosial yang akan diukur.

(96)

yang akan dibuat berkaitan dengan tingkah laku yang akan diukur dari konstruk.

5. Konstruksi sejumlah item (items pooling).

6. Review item, uji keterbacaan, expert judgment dan revisi.

7. Tryout: Pengambilan data lapangan pada sejumlah sampel representatif dari populasi yang dituju oleh alat ukur.

8. Analisis item: Pengujian statistik terhadap item-item alat ukur; jika diperlukan, menghilangkan item-item yang tidak memenuhi kriteria item yang baik atau melakukan revisi terhadap item-item itu.

9. Uji reliabilitas dan validitas bentuk alat ukur inal.

10. Membuat manual administrasi, skoring, dan interpretasi terhadap skor alat ukur (di antaranya membuat tabel norma, standard performa, dan cutting scores).

7. Teknik Analisis Data

(97)
(98)
(99)
(100)

Referensi

Dokumen terkait

Siswa yang melakukan perilaku bullying pada remaja di SMP Muhammadiyah 2 Gamping Sleman Yogyakarta memiliki perilaku bullying paling banyak dengan kategori sedang sebanyak

Tokoh Utama Melur dalam novel peREmpuan karya Maman Suherman, dapat memenuhi kebutuhan pencapaian aktualisasi diri dan mampu mengaktualisasikan dirinya sesuai

Kimono merupakan pakaian tradisional Jepang yang menjadi simbol bagi bangsa Jepang sendiri juga merupakan identitas bahwa salah satu budaya yang terdapat juga di dalam

data Migrasi Neto yang didapat dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI). Berbagai data yang merupakan asumsi dan parameter digunakan untuk mendapatkan

Julian said she was daft to think she had some mind power to know things, like the old woman what lived back in the hills and came down when she knew something and

Hal yang menandakan karakter yang dapat diamati bahwa bayi Sengkuni meskipun dilahirkan dalam wajah yang tampan tetapi ia bertaring seperti halnya ayahnya yang bertaring.Dalam

Setelah jawa, pulau berikutnya yang memiliki penyebaran penduduk yang banyak adalah pulau sumatera dengan jumlah penduduk kurang lebih 50 juta atau sekitar 20% dari

Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan akurasi dari sistem pengenalan suku kata bahasa Indonesia menggunakan metode Linier