TANZIL: JURNAL STUDI AL-QURAN
TREN-TREN PERGESERAN PEMAKNAAN
NASKH
DALAM
AL-QUR
’
AN: DARI PENGANULIRAN KE PENUNDAAN
Wardani
Fakultas Ushuluddin dan Humaniora
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Antasari, Banjarmasin
E-mail: [email protected]
Abstract
This article is aimed to explain trends in Moslem scholars’ understanding on abrogation (naskh) theory. The naskh has been commonly conceived as final abrogation of particular Quranic verse by other one. But, this term has transformed from naskh as final abrogation to postponement (nas’). There have been three trends in understanding the naskh as postponement. First, the concept of postponement does not differ basically from the substance of naskh as final abrogation in the sense that both naskh and nas` have same meaning, as the majority of Moslem scholars said. Second, the nas’ has own meaning which differs from the naskh, but both are regarded as complementary to each other, as argued by al-Zarkasyi, al-Biqa’i, and Ibn Asyur. Third, the idea that the postponement constitutes an alternative to the naskh as final abrogation, so its proponents, such as Muhammad ‘Abduh and Nashr Hamid Abu Zayd rejected the naskh as final abrogation and replaced it by the nas’
as postponement.
Keywords: abrogation (naskh), postponement (nas’), replacement (ibd l)
Volume 1
Nomor 1, Oktober 2015
Hal. 1-12
Abstrak
Artikel ini dimaksudkan untuk menjelaskan tren-tren pemahaman para ulama tentang teori
naskh. Naskh umumnya dikonsepsi sebagai penganuliran permanen ayat al-Qur’an tertentu dengan ayat lain. Namun, istilah ini kemudian berkembang dari naskh sebagai penganuliran final menjadi penundaan (nas’). Ada tiga tren dalam memahami naskh sebagai penundaan. Pertama, konsep penundaan pada dasarnya tidak berbeda dari substansi naskh sebagai penganuliran final dalam pengertian bahwa naskh dan nas’ memiliki makna yang sama, sebagaimana dinyatakan oleh mayoritas ulama. Kedua, nas’ memi-liki maknanya sendiri yang berbeda dengan naskh, tapi kedua dianggap saling melengkapi, sebagai-mana ditegaskan oleh al-Zarkasyi, al-Biqa’i, dan Ibn Asyur. Ketiga, ide tentang penundaan merupakan sebuah alternatif terhadap naskh sebagai penganuliran final, sehingga para pendukungnya, semisal Muhammad ‘Abduh dan Nashr Hamid Abu Zayd menolak naskh
sebagai penganuliran final dan meng-gantinya dengan nas’ sebagai penundaan.
Pendahuluan
Dalam studi ilmu-ilmu al-Qur’an (‘ulūm al-Qur’ n), persoalan penganuliran (naskh) meru-pakan salah satu persoalan yang sejak zaman klasik hingga modern tetap menjadi kontro-versi yang tak kunjung berujung dan tetap memicu kontroversi. Intensitas debat tentang persoalan ini tercermin, antara lain, dari ba-nyaknya karya tokoh Islam dan Barat tentang masalah ini. Al-Zarkasy (w. 794 H), penulis al-Burh n f ‘Ulūm al-Qur’ n,
misalnya, menyebut karya-karya yang ditulis hingga masanya tentang masalah ini seperti: karya Qat dah bin Di’ mah al-Sad s (w. 118 H), Ab ‘Ubayd al-Q sim bin Sall m (w. 224 H), Ab Ja’far al-Nahh s (w. 338 H), Hibatull h bin Sal mah (w.410 H), Ibn al -‘Arab (w. 546 H), Ibn al-Jawz (w. 597 H), dan Makk al-Q s (w. 313 H).1
Penelitian yang dilakukan oleh Mushthafa Zayd dalam al-Naskh f al-Qur’ n al-Kar m
menyebut sejumlah karya ulama di abad ke-2 H/ 8 M, termasuk yang masih dalam bentuk manuskrip tentang naskh.2 Fuat Sezgin dalam
Geshichte des Arabischen Schrifttums juga menye-butkan sejumlah karya-karya awal tentang naskh.3 Karya-karya tentang naskh terus saja bermunculan, seperti Nazhariyyat al-Naskh f al-Syar ’i‘ al-Sam wiyyah karya Sya’b n Muham-mad Ism ’ l,4 Dir s t f al
-Naskh karya Mu-hammad S lim Ab sh ,5
Istiن lat Wujūd al-Naskh bi al-Qur’ n karya h b Hasan ‘Abduh,6 dan Haq qat al-Naskh
wa Thal qat al-Nashsh f al-Qur` n karya Jam l Sh lih ‘Ath y .7
Kuantitas karya-karya tentang naskh ter-sebut sebanding dengan tingkat kontroversi
1Badr al-D n al-Zarkasy , al-Burh n f ‘Ulūm al -Qur’- n, ed. Muhammad Ab al-Fadhl Ibr h m, jil. 1 (Kai-ro: D r Ihy ’ al-Kutub al-‘Arab yyah, 1957 M/ 1376 H), 9.
2Lihat Mushthaf Zayd, al-Naskh f al-Qur’ n al -Kar m:Dir sah Tasyr ’ yah T r kh yah Naqd yah, vol. 1(Kairo: D r al-Yusr, 2007 M/ 1428 H), 306-418.
3Lihat Fuat Sezgin, Geshichte des Arabischen Schrift-tums, band I (Leiden: E. J. Brill, 1967), 20, 24, 31, 33, 38, 42, 47-49
4(Kairo: D r al-Sal m, 1988 M/1408 H).
5(Kairo: Maktabat Risyw n, 2000 M/1421 H).
6(Giza, Mesir: Makbat al-N fidzah, 2005 M/1425 H). 7(al-Mansh rah, Mesir: D r al-Waf ’ li al-Thib ’-ah
wa al-Nasyr wa al-Tawz ’, 2006).
yang dimunculkan oleh persoalan ini dalam diskusi para ulama sepanjang sejarah ‘ulūm
al-Qur’ n. Tidak berlebihan jika kita katakan bahwa tidak ada persoalan dalam ‘ulūm al -Qur’ n yang sebanding dengan persoalan ini, yang begitu menyedot perhatian para ulama dan memunculkan karya-karya yang begitu banyak. Diskusi-diskusi yang muncul dalam tulisan-tulisan kontemporer, kendati ditenga-rai berbasis alasan rasional seperti: mampu mengompromikan ayat-ayat yang diklaim teranulir (mansūkh) oleh para ulama terdahulu, tetapi tetap saja solusi yang dikemukakan tidak memuaskan semua pihak. Persoalan ini tetap debatable.
Kontroversi yang tak kunjung berkesuda-han tersebut dipicu oleh beberapa faktor, antara lain implikasinya yang serius terhadap keautentikan al-Qur’an. Faktor lain yang tidak kurang pentingnya adalah terjadinya pergeseran pemahaman tentang hakikat
naskh, sejak era para ulama generasi awal (mutaqa-ddimūn) hingga generasi belakangan (muta’a-khkhirūn). Pergeseran pemahaman tersebut menyebabkan para ulama generasi berbeda memahami konsep yang sama secara berbeda, sehingga perdebatan tidak terarah pada inti persoalan.
Sepanjang sejarah pemahaman para ulama, telah terjadi pergeseran pemahaman tentang persoalan ini dari semula dalam pengertian yang luas kemudian menyempit sebagai peng-anuliran; dari wacana ‘ulūm al -Qur’ n yang hanya berupa penganuliran antar-ayat menjadi penganuliran hukum yang instrumennya tidak lagi hanya ayat al-Qur’an, melainkan bisa juga hadis, ijm ’, bahkan pertimbangan rasional.
Kalangan ushūl yyūn sejak al-Sy fi’ telah meletakkan naskh sebagai metode penyimpu-lan hukum, sehingga naskh tidak hanya ber-geser dari makna generiknya ke penganuliran antar-ayat, tetapi juga bergeser dari sini penganuliran ayat ke penganuliran hukum. Pergeseran lain adalah pergeseran dari peng-anuliran (naskh,
خ ن
) ke penundaan (nas’,ءسن
).Teori naskh sebagai “penundaan” muncul dari pembacaan (qir ’ah) terhadap surah al-Baqarah [2]: 106:
َُِْن َْأ ٍَيآ ْنِم ْخََْن َم
ْمَ
لَأ َِِْم َْأ َّْ
ِم ٍ
ْيَِب ِ َْن
ْيَِق ٍءْيَش ِّلُك َََع َه ََأ ْمََْت
“Ayat mana pun yang Kami naskh atau Kami jadikan dilupakan, Kami datangkan yang lebih baik darinya atau yang setara dengannya. Ti-dakkah kamu mengetahui bahwa Allah atas segala sesuatu Mahakuasa?”
Pembacaan pertama dan yang menjadi
mainstream adalah dengan nunsih (
س ن
) yang dikemukakan oleh Ibn Mas’ d, Sa’d bin Ab Waqq sh, Ibn ‘Abb s (menurut salah satu dari dua riwayat), Sa’ d ibn al-Musayyib, al-Dahh k, penduduk Madinah dan Kufah, mayoritas tokoh qir ’ah tujuh (N fi’, Ibn ‘ mir, ‘ shim, Hamzah, dan al-Kis ’ ), dan qir ’ahsepuluh (Ya’q b, Ab Ja’far, dan Khalaf).8 Pembacaan ini dianggap tidak memuaskan penafsiran, sehingga muncul pembacaan alternatif oleh minoritas dengan nansa’h
(
َهََْْن
) yang dikemukakan oleh ‘Umar bin al-Khathth b, Ubay bin Ka’b, ‘Ath ’ bin Yas r, Muj hid bin Jabr, Ibn Kats r, Ab ‘Amr bin al-‘Al ’ shaykh al-ruw h (guru para perawi), dan penduduk Basrah.9 Alternatif lain adalah
8Ibn al-Jazar , al-Nashr f al-Qir ’ t al-‘Ashr, jil. 2
(Beirut: D r al-Fikr, t.th.), 219-220; Ab Th hir Is-m ’l bin Khalaf al-Muqri’ al-Ansh r , Kit b al-‘Unw n f al-Qir ’ t al-Sab’, ed. Zuhayr Z hid dan Khal l al-‘Athyah (Beirut: ‘ lam al-Kutub, 1986), 71; Muha-mmad S lim Muhaysin, al-Mughn f Tawj h al-Qir ’ t al-‘Ashr al-Mutaw tirah, jil. 1 (Beirut: D r al-J l dan Kairo: Maktabat al-Kull y t al-Azhar yah, 1993), 173-174; idem, al-Muhadzdzab f al-Qir ’ t al’Ashr wa Tawj hih min Thar q Thayyibat al-Nashr (Kairo: al-Maktabah al-Azha-r yah li al-Tur ts, 1997), 69; Ab ‘Ubayd, Kit b al-N sikh wa al-Mansūkh, 4-5; al-Suy th, al-Durr al-Mantsūr f al-Tafs r bi al-Ma’tsūr, ed. ‘Abdull h bin ‘Abd al-Muhsin al-Turk , vol. 1 (Kairo: Markaz li al-Bu ts wa al-Dir s t al-‘Arab yah wa al-Isl m yah, 2003), 542 -546.
9Ibn al-Jazar , al-Nashr, jil. 2, 219-220; Ab Th hir
Ism ’l bin Khalaf al-Muqri’ al-Ansh r , Kit b al-‘
Un-w n f al-Qir ’ t al-Sab’, 71; Muhammad S lim
nunsi’uh (
َُُِْن
) atau nunsi’h (َُِْْن
) yang juga menjadi dasar teori “penundaan”.10Tiga Tren Pemaknaan
Tren PertamaYaitu teori penundaan yang diintegrasikan dengan makna naskh sebagai pembatalan, sehingga memunculkan teori naskh-nas’
secara bersamaan. Pada umumnya, kaum Muslim generasi awal pendukung qir `ah kedua seperti: Ibn Mas’ d, dengan formulasi penafsiran berbeda, memaknai kedua istilah tersebut sebagai menegaskan hal yang sama, yaitu pembatalan.11
Tren Kedua
Yaitu penundaan yang dimaknai sebagai teori yang memiliki perbedaan prinsipil dan arah yang berbeda dengan pembatalan, na-mun tidak menjadikan teori naskh sebagai pembatalan tertolak, karena meski keduanya dianggap berbeda, tapi saling menopang.
Muhaysin, al-Mughn, jil. 1, 173-174; idem, al-Muhadzdzab, 69; Ab ‘Ubayd, Kit b N sikh wa al-Mansūkh, 4-5; al-Suy th, al-Durr al-Mantsūr, jil. 1, 542-546. Menurut keterangan Ibn Kats r (Tafs r al-Qur’ n al-‘Azhm, vol. 2, 9), kelompok to-koh qir ’ah
kedua ini dikatakan membacanya dengan “nansa`ah ”. Namun, “nansa`h ” lebih bisa diterima dari segi makna dan gramatika. Lihat juga Ignaz Goldziher, Die Richtungen der islamischen Koranauslegung, terj. ‘Abd al-Hal m al-Najj r ke bahasa Arab dengan judul Madz hib Tafs r al-Isl m (Beirut: D r Iqra`: 1403 H/ 1983), 38.
10Pembacaan (qir ’ah) ini disebutkan
keberadaan-nya dalam al-Bahr al-Muh th, tanpa penjelasan pemba-canya (q ri’). Lihat Ab Hayy n al-Andalus , al-Bahr al-Muh th f al-Tafs r, ed. Shidq Muhammad Jam l, jil. 1 (Beirut: D r al-Fikr, 1992), 550-551; Ahmad Mukht r ‘Umar dan ‘Abd al-‘ l S lim Mukram, Mu’jam al-Qir ’ t al-Qur’ n yyah, vol. 1 (Beirut: ‘ lam al-Kutub, 1997), 244. Namun, belakangan, alternatif pemba-caan ini diadopsi oleh M. Quraish Shihab dengan pembacaan nunsi`uh dan Mahm d Muhammad Th h dengan nunsi’h (lihat uraian berikut).
11Lihat, misalnya, penafsiran Ibn ‘Abb s, Ibn
Posisi pendapat ini, antara lain, ditegaskan Al-Zarkasy menjelaskan adanya perintah yang didasarkan suatu alasan (sabab), kemudian dianulir karena alasan tersebut hilang, seperti perintah berperang ketika kaum Muslim me-miliki kekuatan dan perintah bersabar ketika mereka tidak memiliki kekuatan (QS.45/65: 14).14
Al-Biq ’ melihat konsep “penundaan” se-bagai prinsip yang sangat penting dalam konteks dinamika hukum yang berinteraksi dengan ruang-waktu dan pertimbangan. Pe-ngertian substansial yang membedakannya dengan naskh adalah sebagai berikut:
ل تق نع يخ ت ءس ل
Al-nas’ yaitu penundaan dari satu ke waktu yang lain. Di dalamnya terkan-dung pengertian sirkulasi (perputaran) antara (hukum) yang terdahulu dan yang kemudian. Ini berbeda dengan al-naskh, karena al-naskh membatalkan (hu-kum) yang terdahulu, sementara al-nas’ beredar menuju ke (hukum) yang di-tunda. Al-nas’ ialah tipe khith b yang bernilai tinggi, arah kecenderungannya tersembunyi, yang maknanya hampir tidak bisa dibedakan oleh kebanyakan ulama, kecuali para imam dari keluarga Nabi Muhammad saw., karena tersem-bunyinya perbedaan antara yang sifat-nya memvonis hukum secara final dan yang sifatnya bersirkulasi (berputar). Setiap yang sifatnya tidak bisa diterap-kan pada suatu waktu karena suatu alasan apa pun, kemudian diterapkan kembali pada waktu yang lain karena alasan tersebut sudah tidak ada lagi, termasuk persoalan yang ditunda ( al-mansa’), dimana pengetahuan tentang hal ini diabaikan oleh kebanyakan pemikir. Barangkali mereka mengang-gap kebanyakan kasus seperti ini seba-gai tipe al-naskh karena adanya perbe-daan yang tersembunyi antara keduanya. Benar bahwa ayat ini termasuk ayat-ayat al-Qur’an yang singkat dan padat. Ini ketentuan tentang penundaan (al-nas’, al-ins ’) dan dari segi ilmu, ketentu-an ini selevel dengan keadaan prinsip-prinsip umum (al-fushūl) yang saling me-nopang, karena di dalamnya terkandung
hal-hal lain yang saling berkaitan secara sirkular sebagai keseluruhan.
Dengan demikian, perbedaan antara naskh
dan nas’ adalah sebagai berikut:
1. Dari substansinya, naskh adalah pembata-lan atau penganuliran ketentuan sebelum-nya, dan ketentuan yang dibatalkan atau dianulir tersebut tidak akan berlaku lagi, sedangkan nas’ adalah penundaan suatu ketentuan karena alasan mashlahah yang relevan dengan konteks ruang-waktu seka-rang tidak membutuhkan ditetapkannya ketentuan tersebut, tapi ketentuan tersebut bisa ditinjau lagi dari perspektif mashlahah
untuk diterapkan;
2. Dari sifatnya, naskh bergerak linear ke “belakang” membatalkan ketentuan yang ditetapkan sebelumnya (mu‘ qabah), semen-tara nas’ bergerak sirkular (mud walah), ka-rena ketentuan yang tertunda sekarang pada waktu yang akan datang, bisa diberlakukan lagi atas dasar suatu pertimbangan;
3. Karena sifatnya yang linear dan merupa-kan vonis final, naskh menjadi tampak statis, sedangkan nas’ lebih dinamis karena poros perubahan ketentuan sesungguhnya adalah alasannya (ma’n ), seperti halnya ‘illah menentukan hukum. Belakangan, Mu-hammad B qir al-Shadr menguatkan poin ini bahwa sebenarnya,
naskh pada sub-stansinya adalah berakhirnya batas mash-lahah dan waktu yang ditentukan untuk keberlakuannya
(
تق ل ) ح
ل ( ه ح ء
ن
م أ نم ل تق ل
),17 suatudefinisi naskh yang lebih dekat dengan nas’.
17Definisi ini dimaksudkan B qir al-Shadr sebagai
definisi naskh secara metapor (maj z), karena dari pers-pektif teologis, naskh secara hakiki tidak mungkin ter-jadi karena kemahatahuan Tuhan tentang kemungki-nan masa akan datang. Namun, atas dasar asumsi lain yang juga teologis bahwa
mashlahah dikehendaki oleh Tuhan hingga pada
suatu masa tertentu, maka masuk akal naskh bisa terjadi, sehingga naskh pada hakikatnya bukan sekadar pembatalan hukum, tapi pada subs-tansinya adalah mashlahah yang terkandung dalam suatu hukum telah berakhir seperti dikehendaki Tuhan
Ibn ‘ sy r mengemukakan kompromi pe-nafsiran serupa secara lebih ekstensif dengan mengemukakan tiga makna “penundaan”.18 Terdapat sebelas poin “kompromi” penafsiran terapan naskh, nas’, dan nisy n. “Pembatalan” (naskh) diterapkan dalam pengertian berikut:
1. Pembatalan syariat dengan syariat yang lebih baik, seperti naskh ajaran Taurat dan Injil dengan al-Qur’an;
2. Pembatalan syariat dengan syariat yang setara, seperti naskh syariat Hud dengan syariat Shalih;
3. Pembatalan hukum pada suatu syariat dengan hukum yang lebih baik, seperti
naskh dimakruhkannya khamr (QS. al-Baqa-rah [2]: 219) dengan hukum haram (QS. al-M ’idah [5]: 90) dan naskh
haramnya makan dan minum serta menggauli istri pada malam Ramadhan setelah berbuka puasa, jika orang yang puasa tertidur sebelum makan malam (QS. al-Baqarah [2]:187);
4. Pembatalan hukum pada suatu syariat dengan hukum yang setara, seperti naskh
kewajiban berwasiat harta peninggalan untuk kedua orang tua dan para kerabat
sebelumnya. Muhammad B qir al-Shadr, Durūs f ‘Ilm al-Ushūl (Qom: Mu’assasat Nashr Isl m al-T -bi’ah li Jam ’at al-Mudarris n bi Qom al-Musyarra-fah, 1981), 359-360.
18Pertama, “penundan” semakna dengan “
pemba-talan” dengan pengandaian hipotetis yang sebenar-nya tidak terdapat dalam al-Qur’an, yaitu Rasul tidak memperingatkan umatnya melaksanakan hukum yang disyariatkan dan juga tidak menyuruh orang yang meninggalkannya untuk menunaikannya di waktu lain, sehingga hal ini kemudian dilupakan dan men-jadi suatu pembatalan. Penjelasan Ibn ‘ sy r ini tampak tidak logis jika dilihat dari fakta kenabian yang tidak mungkin mengabaikan hal-hal yang dipe-rintahkan.
dengan hukum pembagian yang jelas se-perti dalam hukum far ’idh. 19
Adapun “penundaan” (nas’) diterapkan da-lam pengertian berikut:
1. Penundaan syariat yang lebih baik, yaitu kedatangan Islam sebagai syariat terbaik, meskipun setiap syariat sebelumnya juga baik untuk konteks umatnya, sehingga kelebihbaikan di sini bersifat relatif;
2. Penundaan syariat untuk masa tertentu yang diiringi dengan syariat yang setara, seperti penundaan syariat Isa ketika masih berlakunya syariat Musa;
3. Penundaan hukum yang sejak dari semula ingin diterapkan, tetapi hukum yang dite-rapkan sekarang sudah lebih baik, sekali lagi secara relatif, dilihat dari konteks umatnya seperti: penundaan hukum haram
khamr dalm rangka transformasi secara perlahan terhadap praktik minum khamr
yang sudah menjadi kesukaan dan tradisi; 4. Penundaan syariat dalam pengertian bah-wa syariat tersebut tidak dibatalkan hingga batas waktu tertentu, yaitu dengan meng-hadirkan syariat lain yang lebih baik atau setara dalam konteks kebermanfaatan (mash-lahah) dan ganjaran, tapi pada umat yang lain;
5. Penundaan ayat al-Qur’an dalam penger-tian bahwa ayat tersebut tidak dibatalkan hingga batas waktu tertentu, disertai de-ngan menurunkan ayat lain yang lebih baik dari aspek tertentu, atau yang setara, seperti penundaan hukum haram khamr
pada waktu salat, dan dalam waktu itu pula turun ayat tentang hukum haram jual-beli pada waktu salat Jum’at.20
“Pelupaan” (nisy n) diterapkan dalam pe-ngertian berikut:
1. Dilupakannya (punahnya) suatu syariat seperti: syariat Adam dan Nuh dengan munculnya syariat Musa;
2. Dilupakannya hukum pada suatu syariat karena munculnya hukum yang lebih baik atau setara, seperti ketentuan sepuluh atau lima kali menyusu pada seorang wanita yang menyebabkan ketidakbolehan meni-kah dengannya, dibatalkan dengan
19Ibn ‘ sy r, al-Tahr r wa al-Tanw r, jil. 1, 660. 20Ibn ‘ sh r, al-Tahr r, 660-661.
secara mutlak dengan hanya hubungan sama-sama pernah menyusu (QS. al-Nis ’ [4]: 23).21
“Kompromi” penafsiran juga dikemuka-kan oleh M. Quraish Shihab (lahir 1944). Ketika mengkritik analogi “setengah-benar” al-Mar gh (w. 1945 M) tentang syariat Nabi dengan resep obat dokter,22 dalam artikelnya, “N sikh dan Mansūkh dalam al-Qur’an” (1987) dalam karyanya, Membumikan al-Qur’an, ia men-jadikan konsep naskh ‘Abduh sebagai titik-tolak pandangannya tentang
naskh sebagai “pergantian atau pemindahan dari suatu wa-dah ke wadah yang lain” dalam pengertian bahwa semua ayat al-Qur’an tetap berlaku. Yang terjadi hanya pergantian hukum yang diterapkan pada individu atau masyarakat ter-tentu karena konteks yang berbeda. Hukum yang tidak berlaku dalam suatu konteks tetap bisa berlaku dalam konteks lain yang rele-van.23
Pandangan M. Quraish Shihab tentang
naskh dalam masterpiece-nya, Tafsir
al-Mishb h (mulai ditulis 1999), bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, naskh sebagai pembatalan antar-ayat tidak berarti pembatalan final yang menye-babkan ayat yang dibatalkan tidak mungkin berlaku lagi dalam konteks berbeda. Seperti halnya ‘Abduh, pembuktian terjadinya
naskh ayat-ayat hukum dimungkinkan dengan pem-bacaan kontekstual bukan oleh QS. al-Baqarah [2]:106, seperti argumen yang
21Ibn ‘ sh r, al-Tahr r, 661.
22Analogi ini dinilai keliru karena menyamakan
Nabi dengan dokter mengesankan bahwa Nabi bisa mengubah hukum, padahal ucapan dan tindakan be-liau harus selaras dengan wahyu. Namun, M. Qura-ish Shihab menerima analogi hukum dengan obat dalam hal perubahan resep yang dilihat dari kesesu-aiannya dengan pasien, sehingga obat yang tidak cocok untuk seorang pasien mungkin cocok untuk pasien lain. Bertolak dari kritik dan adopsi pendapat ini, ia menerima penjelasan ‘Abduh tentang tabd l. Lihat M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Bandung: Mizan, 1995), 145; A mad
Mushthaf al-Mar gh , Tafs r al-Mar gh , jil. 1 (Mesir: Maktabat wa Mathba’at Mushthaf B b y al-Halab wa Awl dih, 1946/ 1365), 179-180.
23M. Quraish Shihab, “Membumikan” al-Qur’an,
kembang umumnya, melainkan oleh QS.al-Nahl [16]: 101. Ayat yang disebut pertama berdasarkan konteks antarayat hanya men-dukung pengertian yah sebagai “bukti kenabian”.24 Sedangkan, ayat kedua—juga dengan pembacaan kontekstual antarayat— tidak memberi kemungkinan menafsirkan kata
yah sebagai “bukti kenabian”, seperti kecenderungan penafsiran modern,25 melain-kan sebagai ayat hukum al-Qur’an. Akan tetapi, meskipun ayat ini menjadi bukti pem-batalan/penganuliran (naskh) ayat hukum, tidak berarti bahwa pembatalan tersebut memastikan bahwa ayat yang dibatalkan tidak berlaku lagi (pembatalan final) dengan ala-san: (a) adanya pembatalan harus dibuktikan dengan adanya kontradiksi makna—ditopang dengan pembuktian “kesejarahan” tentang mana hukum yang terdahulu dan mana yang kemudian, seperti dengan instrumen makk
-madan—yang tidak bisa dikompromikan; (b) ayat tersebut turun dalam periode Makkah yang mengindikasikan bahwa belum banyak, untuk mengatakan tidak ada, ayat-ayat hu-kum yang dibatalkan, seperti halnya dalam periode Madinah, sebuah argumen yang per-nah dikemukakan, antara lain, oleh Muham-mad al-Ghazali;26 dan (c) kontradiksi antar-ayat sudah kian berkurang.27
duta besar Indonesia untuk Mesir dan terbit pertama kali pada Nopember 2000 M (Sha’b n 1421 H). Dalam konteks penafsiran ini, pandangannya tidak berbeda dengan pandangan sebelumnya (Membumikan al-Qur’an, 147).
25h b Hasan ‘Abduh, misalnya, menafsirkan kata
ini dengan “mukjizat rasional, ilmiah, kebahasaan, dan bersifat abadi seperti al-Qur’an” yang menggan-tikan mukjizat-mukjizat inderawi (hiss yah) Nabi-nabi terdahulu. Jadi, meski sama dengan penafsiran para
mufassir lain yang memaknai kata ini dengan “ayat al-Qur’an, penafsiran h b menekankan fungsinya seba-gai bukti kenabian. Lihat Istih lat Wujūd al-Naskh
(Kairo: Maktabat al-N fidhah, 2005), 295. Lihat juga tidak menolak kasus penganuliran dan peng-gantian ucapan “r ‘in ” dengan “unzhurn ”
(QS. 2/87:104) sebagai kasus naskh.28 Iden-tifikasi kasus ini sebagai kasus naskh pernah dikemukakan oleh al-Nahh s,29 al-Biq ’ ,30 yang tidak dianggap keliru, meski pendapat ini “tidak disukai” (bukan kategori
28Shihab, Tafsir al-Mishb h, vol. 1, 288.
29al-Nahh s, al-N sikh wa al-Mansūkh (edisi
al-Mak-tabah al-Azhar yah li al-Tur th), 30-31.
30al-Biq ’, Nazhm al-Durar, jil. 2, 90. Hasan Farh t (Jed-dah: D r al-Man rah, 1986), 107-108.
34Tentang al-bar ’ah al-ashliyyah atau juga
disebut al-ib hah al-ashliyyah, lihat, misalnya, al-Sy thib , al-Muw -faq t, jil. 2, 80; Ibn ‘ sh r, al-Tahr r wa al-Tanw r, jil. 1, 657.
35Ibn ‘ sy r, al-Tahr r, jil. 1, 656-658. 36Ibn ‘ sy r, al-Tahr r, 650-652.
37Menurut ‘Abduh, dengan mempertimbangkan
ayat lain (QS.4/92:46), kata “r ‘in ” (makna yang umum berlaku: “peliharalah kami”) secara etika dan teologis tidak layak diucapkan oleh seorang mu’min kepada Nabi, tidak hanya tidak sesuai dengan etika, melain-kan kata tersebut mendekati kekufuran (..muj wirah li alf zh al-kufr.. mūhimah wa kh rijah ‘an hudūd
al-adab al-l `iq bi al-mu`min n). Muhammad Rasy d
salah), oleh M. Quraish Shihab,38 sebelumnya dibantah oleh ‘Abduh.39
M. Quraish Shihab juga menerima konsep “pembatalan” antaragama (naskh eksternal), tapi bukan dalam pengertian bahwa agama yang lalu dianggap keliru atau tidak sem-purna, melainkan relevan dengan kondisi-nya,40 sebuah pandangan yang lebih dekat kepada konsep Ibn ‘ sy r tentang naskh dan
nas’ syar ’ah di atas. Kedua, konsep “ penun-daan” atas dasar pembacaan “nunsi’uh ”
(Kami tunda [pemberlakuan] ayat).41 Jadi, secara otomatis ia menerima penafsiran QS. al-Baqarah [2]:106 dengan: “Kami tidak meng-ganti atau mengalihkan hukum sesuatu untuk dilaksanakan oleh suatu kelompok kepada kelompok yang lain, atau suatu masa ke masa yang lain, kecuali pengalihan itu mengan-dung sesuatu yang sama dengannya atau lebih baik dalam manfaat dan ganjaran.”42 Begitu juga ketika menafsirkan QS. al-Nahl [16]:101, konsep tabd l dimaknai sebagai “peng-gantian”, “pengalihan”, atau “pemindahan” (dari suatu wadah ke wadah lain), sehingga ayat tersebut ditafsirkan sebagai menyatakan “ketetapan hukum atau tuntunan yang tadi-nya diberlakukan pada suatu masyarakat di-ganti dengan hukum yang baru bagi mereka tanpa membatalkan hukum atau tuntunan yang lalu”. Menurutnya, ayat yang dibatalkan dan yang membatalkan tidak mesti selalu ayat hukum.43 Dengan
38Shihab, Tafsir al-Mishb h, vol. 1, h. 290.
Panda-ngan bahwa kemungkinan Nabi lupa wahyu secara teoretis-doktrinal bisa terjadi, meski secara faktual tidak pernah terjadi dikemukakan oleh Ibn ‘ sy r ( al-Tahr r, jil. 1, 662).
39Pandangan Muhammad ‘Abduh tentang isu
teologis ini dikemukakan lebih intensif pada bagian perdebatan argumen tekstual al-Qur’an tentang ke-beradaan naskh.
penjelasan mengapa pembacaan ini dianggap paling tepat. Secara grama-tikal, seharusnya dibaca “nunsi’h ”, karena posisi ung-kapan ini sebagai terhubung (ma‘thūf) dengan partikel aw (atau) dengan ungkapan “nansakh” sebelumnya. Lihat pembacaan Mahm d Muhammad Th h dalam urai-an berikut.
42Shihab, Tafsir al-Mishb h, vol. 1, 289. 43Shihab, Tafsir al-Mishb h, vol. 7, 352.
demikian, ia menolak konsep naskh sebagai pembatalan final antar-ayat, baik dari segi redaksinya (mansūkh al-til wah) maupun kandungan hukumnya (mansūkh al-hukm).44 Jadi, meski semula bertolak dari penafsiran ‘Abduh, terjadi pergeseran penafsiran dalam kedua karyanya tersebut: dari konsep “penundaan” model ‘Abduh se-bagai alternatif konsep naskh sebagai “pembatalan” ke “kompromi” penafsi-ran (naskh, nas’, dan nisy n).
Upaya rekonsiliasi berbagai aliran (
al-taqr b bayn al-madz hib)45 yang dilakukan M. Quraish Shihab tampak menjadi benang merah yang menghubungkan “kompromi” penafsiran ter-sebut, termasuk pandangannya tentang “naskh eksternal”. Meskipun tidak seluruhnya sama, penafsiran ini bisa ditipologi mendekati tren kedua di atas yang didukung oleh al-Zarkasy , al-Biq ’ dan Ibn ‘Asy r.
Tren Ketiga
Teori ini dijadikan sebagai alternatif ter-hadap teori naskh sebagai pembatalan final. Pendapat ini, antara lain, dikemukakan oleh Muhammad ‘Abduh dalam Tafs r al-Man r
dan Nashr H mid Ab Zayd (lahir 1943 M) dalam Mafhūm al-Nashsh. ‘Abduh menolak QS.2/87:106 dijadikan dasar pembenaran
naskh al-Qur’an, karena kata yah di dalamnya lebih relevan ditafsirkan dengan “tanda (ayat) kenabian”, bukan “ayat-ayat hukum” ( y t al-ahk m). Penafsiran ini atas dasar pertimba-ngan berbagai konteks
44Perlu dicatat di sini bahwa dalam karyanya,
Sunnah-Syiah, uraiannya tentang mansūkh al-til wah
ada-lah dalam konteks menjelaskan pendapat yang ber-kembang di kalangan mayoritas Sunni, tidak mencer-minkan pendapat M. Quraish Shihab. Menurutnya, seandainya kritik Sunni terhadap pandangan Sy’ah berkaitan dengan isu naskh
seperti ini, keduanya bisa dipertemukan karena mayoritas Sunni juga meneri-ma konsep naskh ini. Tapi, kritik itu berkaitan dengan penilaian bahwa al-Qur’an memiliki kekurangan Surat al-Khumus dan al-Hafd, yang sebenarnya hanya dianut oleh minoritas Sy’ah, bukan Sy’ah Itsn ‘Asyr yah dan Zayd yah yang memiliki pengikut terbesar. Lihat Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?: Kajian atas
Konsep Ajaran dan Pemikiran (Jakarta: Lentera Hati,
Juni 2007), 133-136.
45Lihat uraian M. Quraish Shihab tentang hal ini,
keserasian (mun sabah) antar ayat. 46 Sebaliknya, QS. al-Nahl [16]:101, juga atas dasar konteks keserasian antarayat, tidak memiliki kemungkinan penafsiran lain yang lebih reasonable, kecuali konteks “ peng-gantian” (tabd l) “ayat-ayat hukum”.47 Namun, konsepnya ini harus dipahami secara inte-gratif dengan ide besarnya (master-idea) bahwa al-Qur’an memiliki kandungan ajaran yang semuanya koheren, tidak saling kontradiksi. Atas dasar ini, ia menawarkan konsep “peng-gantian” hukum pada ayat dengan hukum pada ayat lain dalam pengertian bahwa hukum ayat yang diganti hanya “ditunda” (ta’kh r, ta’j l) keberlakuannya sesuai dengan konteks mashlahah, sehingga semuanya bisa diterapkan.
Bagi Ab Zayd, naskh adalah “mengganti suatu nashsh dengan nashsh lain, dengan tetap mempertahankan keberadaan kedua
nashsh tersebut” (
عم ّص ب
ّصن
ب
نيّ ل ء ب
).48 Pada hematnya, naskhadalah suatu keniscayaan karena selama
nashsh tersebut adalah nashsh yang diproyeksikan ke realitas, maka nashsh
tersebut mesti tunduk kepada ketentuan-ke-tentuan realitas, antara lain, adalah peruba-han yang menjadi sifat tetapnya.49
Meski menggunakan istilah yang sama, konsep naskh Ab Zayd sama sekali tidak
menegaskan kembali naskh konvensional seba-gai pembatalan final, karena mempertahan-kan kedua nashsh tetap ada dan tetap berlaku secara bertukar sesuai tuntutan realitas adalah substansi teori “penundaan”. Dengan berto-lak dari konsep
46Konteks yang menjadi pertimbangan adalah
pe-nyebutan kata “kekuasaan” (qudrah), kerajaan langit dan bumi, serta pertanyaan menyangkal berkaitan permin-taan bukti kenabian seperti pada umat M s as. Lihat Muhammad Rasy d Ridh , Tafs r al-Man r, jil. 1, 416-419.
47Konteks yang menjadi pertimbangan adalah
pe-nyebutan kata “pengetahuan”, “pewahyuan”, dan mun-culnya tuduhan rekayasa (iftir `) yang hanya relevan de-ngan “ayat-ayat hukum”. Muhammad Rasy d Ridh , Tafs r al-Man r, vol. 1, 416.
48Nashr H mid Ab Zayd, Mafhūm al-Nashsh: Dir -sah f ‘Ulūm al-Qur’ n (Kairo: al-Hay’ah al-Mishriyyah al-‘ mmah li al-Kit b, 1993), 134.
49Ab Zayd, Mafhūm al-Nashsh, 135.
tabd l dalam QS. al-Nahl [16]:101, seperti halnya Muhammad ‘Abduh dalam al-Man r
sebelumnya juga pernah me-ngemukakan, dan dengan merujuk kepada penjelasan al-Zarkash di atas tentang “penun-daan” atas dasar pembacaan “nansa’h ” pada QS.2/87:106,50 Ab Zayd mengembangkan teori naskh sebagai “penggantian” (ibd l, tabd l). Sebagaimana dijelaskan di atas dalam Lis n al-‘Arab, apa yang disebut sebagai “penggantian” mengenai dua hal berbeda, baik berupa suatu nashsh diganti dengan
nashsh lain, atau suatu hukum dengan hukum lain.
Akan tetapi, konsep ibd l Ab Zayd atau tabd l ‘Abduh tidak sama dengan pembatalan atau penganuliran final naskh konvensional, di-mana nashsh atau hukum yang dianulir tidak berlaku lagi, tetapi hanya “ditunda” (itu artinya masih bisa dipertimbangkan kembali) keberla-kuannya sesuai dengan konteks mash-lahah.51
Pergeseran Cara Berpikir
Tiga tren pergeseran di atas pada dasarnya merepresentasikan tren pergeseran pendeka-tan dalam memahami naskh:
1. Tradisional-tekstual yang bertumpu pada riwayat penafsiran individual para sahabat; 2. Moderat-rasional yang bertumpu pada
mun sabah yang ditandai dengan masih ter-jadinya “kompromi” penafsiran yang meru-pakan jejak ciri pola pikir mufasir klasik;52
3. Liberal-rasional yang meski menerapkan pendekatan mun sabah, pertimbangan rasio-nal bisa menjadi tolok-ukur
50Ab Zayd, Mafhūm al-Nashsh, 134.
51Bandingkan kesimpulan ini dengan kesimpulan
dalam memahami konsep naskh Muhammad ‘Abduh yang dikemukakan oleh Muhammad Salim Abu ‘Ashi,
Dir sah f al-Naskh (Kairo: Mathba’at Rishw n,
2000), 51-53.
52Lihat uraian berikut (tentang argumen
penaf-siran tentang naskh) yang berkaitan dengan beberapa kecenderungan “kompromistis” yang menjadi pola pikir mufasir klasik, seperti dalam kasus kompromi beberapa riwayat tentang sabab al-nuzūl. Begitu juga, kemunculan ilmu mukhtalaf al-had ts di kalangan ahl al-had ts sebagai respon atas kritik ahl
al-ra`y berkaitan dengan hadis-hadis yang
kebenaran riwayat. Pendekatan mun sabah adalah se-buah pendekatan tafsir rasional yang diterapkan, baik oleh para mufassir klasik maupun kontemporer, dengan tingkat rasionalitas yang berbeda.53
Di sisi lain, pergeseran itu juga menandai pergeseran dalam melihat naskh: dari feno-mena ke substansi; naskh semula dilihat hanya sebagai fenomena pembatalan ayat
53Penerapan mun sabah merupakan karakteristik
se-buah pendekatan rasional dalam tafsir. Tidak hanya para mufasir klasik, seperti Fakhr D n al-R z dan al-Al s , melainkan juga mufassir aliran rasional modern menerapkannya lebih intensif dalam tafsir melalui konsep “unit topikal” (wahdat
al-(www.waqfeya.com). Me-tode ini bertolak dari asumsi bahwa memahami pesan ayat adalah dengan menangkap tujuan atau tema po-kok yang dalam dalam surat (ahd f/maq sid al-sūrah), poros atau tema sentral surah (mihwar al-sūrah), atau ide utama (main idea) di mana ide-ide lain “ber-pusat” ke sana. Farahi dan Ishlahi memperkenalkan istilah ‘amūd
(poros) yang semakna dengan istilah-istilah ter-sebut. Pandangan serupa dengan formulasi berbeda juga muncul dalam tulisan-tulisan modern seperti pada al-Mawd d , Muhammad Mahm d Hij z , dan Fazlur Rahman. Lihat Mustansir Mir, Coherence in the Qur’an: A Study of Ishl ن’s Concept of Nazhm in
Tadabbur-i Qur’an (USA: American Trust
Publications, 1986). Bahkan, Rahman mengatakan bahwa al-Qur’an memiliki sebuah “cohesive out-look xxviii) juga menyatakan metode ini diterapkan selama nama-nama terkenal, seperti al-Biq ’, juga oleh alasan yang menyebabkan terjadinya perubahan hukum, maka akhirnya dilihat bahwa naskh sesungguhnya adalah perubahan mashlahah.
Kesimpulan
Dengan demikian, ada tiga tren pergeseran pemaknaan tentang naskh di kalangan ulama. Pergeseran itu menunjukkan sekaligus perge-seran pendekatan yang diterapkan dalam memahami persoalan ini. Mayoritas mufasir klasik menerima naskh
sebagai “pembatalan” dengan “pelupaan” (nisy n), sedangkan kon-sep “penundaan” hanya menjadi anutan minoritas mufasir dan umumnya dimaknai sealur dengan “pembatalan”. Kritik-kritik yang ditujukan kepada penafsiran ini me-munculkan tren kedua (al-Zarkasyi, al-Biqa’i, Ibn ‘Ashur dan M. Quraish Shihab) yang mengkompromikan penafsiran dengan menge-mukakan konsep “penundaan” untuk menye-lesaikan berbagai kasus “kontradiksi” antar-ayat al-Qur’an yang selama ini dianggap sebagai kasus naskh. Generasi ini memiliki kesadaran akan fakta koherensi al-Qur’an melalui pendekatan ‘ilm al-mun sabah. Akan tetapi, bagi mereka (kecuali yang terakhir), konsep koherensi tersebut tidak bertentangan dengan konsep
naskh antar-ayat. Meskipun pandangan ini tampak lebih maju dengan mengajukan, semisal “penundaan hukum” sebagai solusi “pembatalan ayat”, pandangan tren kedua ini tampak masih ambigu dilihat dari perspektif tren ketiga (‘Abduh dan Abu Zayd).
yang, misalnya, dibuktikan mela-lui sabab
al-nuzūl yang cenderung membuat “sekat waktu” secara terpisah, sebagaimana pemahaman yang berkembang selama ini, dari koherensi teks melalui mun sabah.
Metode ini menguatkan fakta lain bahwa
naskh tidak didukung oleh pembacaan kon-tekstual terhadap QS. al-Baqarah [2]: 106 yang dijadikan dasar klaimnya, melainkan ter-hadap QS. al-Nahl [16]:101 tentang “penggan-tian”.[]
DAFTAR RUJUKAN
Abduh, h b Hasan. Istiن lat Wujūd al-Naskh.
Kairo: Maktabat al-N fidhah, 2005.
Ath y , Jam l Sh lih. Haq qat al-Naskh wa
Thal qat al-Nashsh f al-Qur’ n. Mesir: D r al-Waf ’ li al-Thib ’ah wa al-Nashr wa al-Tawz ’, 2006.
Ab ‘ sh , Muhammad S lim. Dir sah f al -Naskh. Cairo: Mathba’at Rishw n, 2000. Ab Zayd, Nashr mid. Mafhūm al-Nashsh:
Dir sah f ‘Ulūm al-Qur’ n. Kairo: al-Hay’ah al-Mishriyyah al-‘ mmah li al -Kit b, 1993.
Al-Al s . Rūh al-Ma‘ n . Beirut: D r I y ’ al-Tur th al-‘Arab , t.th.
Al-Andalus , Ab Hayy n. Al-Bahr al-Muhth f al-Tafs r, ed. Shidq Mu ammad Jam l.
Beirut: D r al-Fikr, 1992.
Al-Ansh r , Ab Th hir Ism ’ l bin Khalaf al -Muqri`. Kit b al-‘Unw n f al-Qir ’ t al -Sab’, ed. Zuhayr Z hid dan Khal l al -‘Ath yah. Beirut: ‘ lam al-Kutub, 1986. Al-Ghaz l , Muhammad. Nazhar t f al-Qur’
-n. Mesir: D r Kutub al-Had tsah, 1961. Goldziher, Ignaz. Die Richtungen der
islamischen Koranauslegung, terj. ‘Abd al-Halm al-Najj r ke bahasa Arab dengan judul Ma-dh hib al-Tafs r al
-Isl m .Beirut: D r Iqra’: 1403 H/ 1983. Ibn al-Jazar . Al-Nashr f al-Qir ‘ t al-‘Ashr.
Bei-rut: D r al-Fikr, t.th.
Ibn Kats r. Tafs r al-Qur’ n al-‘Azh m (Tafs r Ibn Kats r), ed. Mushthaf al-Sayyid Muha-mmad et.al. Cairo: Mu’assasat Qurtubah dan Maktabat Awl d al-Shaykh li al-Tu-r th, t.th.
Iy z , Muhammad ‘Al . Al-Mufassirūn: Hay -tuhum wa Manhajuhum. Teheran: Mu’assa-sat al-Thaq fah wa al-Irsy d al -Isl m , 1372 H.
Al-Mar gh , Ahmad Mushthaf . Tafs r al
-Mar gh . Mesir: Maktabat wa Mathba’at al-Mushthaf al-B b y al-Halab wa Aw -l dih, 1946/1365.
Muhaysin, Muhammad S lim. Al-Mughn f
Tawj h al-Qir ’ t al-‘Ashr al-Mutaw tirah.
Beirut: D r al-J l dan Kairo: Maktabat al -Kull y t al-Azhar yah, 1993.
---.Al-Muhadzdzab f al-Qir ’ t al’Ashr wa Taw-j hih min Thar q Thayyibat al-Nashr.
Kairo: Maktabah al-Azhar yah li al-Tur ts, 1997.
Mustansir Mir. Coherence in the Qur’an: A
Study of Ishl h’s Concept of Nazhm in Tadabburi Qur’an. USA: American Trust Publications, 1986.
Al-Qays , Ab Muhammad Makk bin Ab Th lib. Al-dh h li N sikh al-Qur’ n wa
Mansūkhih wa Ma‘rifat Ushūlih wa Ikhtil f
al-N shsh fh, ed. Ahmad Hasan Farh t. Jed-dah: D r al-Man rah, 1986.
Ridh , Muhammad Rasy d. Tafs r al-Man r.
Mesir: D r al-Man r, 1946 M/1366 H. Al-R m , Fahd bin ‘Abd al-Rahm n bin Su
-laym n. Manhaj al-Madrasah al-‘Aql yyah al-Had tsah f al-Tafs r. Riyadh: Id r t al -Bu-h ts al-‘Ilm yah wa al-Ift ’ wa al-Da’wah wa al-Irsy d, 1983/1403.
Al-Sharq w , A mad bin Mu ammad.
Nazha-r yat al-Wahdat al-Mawdhū’ yah f Tafs r li al-Qur` n al-Kar m min Khil l al-As s f al-Tafs r li al-Shaykh Sa’ d Haww ` Rahimahull h, tesis, Universitas al-Azhar, 1425 H.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1995.
---.Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkin-kah?: Kajian Atas Konsep Ajaran dan Pemikiran. Jakarta: Lentera Hati, Juni 2007.
---.Tafsir al-Mishb h: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Al-Suy th , Jal l al-D n. Al-Durr al-Mantsūr f al-Tafs r bi al-Ma’tsūr, ed. Abdull h bin
al-Buh ts wa al-Dir s t al-‘Arab yah wa al-Isl m yah, 2003.
Al-Shadr, Mu ammad B qir. Durūs f ‘Ilm
al-Ushūl. Qom: Mu’assasat al-Nashr al-Is-l m aal-Is-l-T bi’ah li Jam ’at al-Mudarris n bi Qom al-Musharrafah, 1981.
Al-Tabb ’, Iy d Kh lid. Muنammad al-Th hir ibn ‘ shūr, ‘All mat al-Fiqh wa Ushūlih wa al-Tafs r wa ‘Ulūmih. Damaskus: D r al-Qa-lam, 2005.
Umar, Ahmad Mukht r dan ‘Abd al-‘ l S lim Mukram. Mu’jam al-Qir ` t al-Qur’ n yah.
Beirut: ‘ lam al-Kutub, 1997.