• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KEBIJAKAN KRIMINAL TERHADAP TINDAK PIDANA PEROSES PERADILAN MENURUT RUU KUHP TAHUN 2015 (Jurnal) RANI SALPIANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS KEBIJAKAN KRIMINAL TERHADAP TINDAK PIDANA PEROSES PERADILAN MENURUT RUU KUHP TAHUN 2015 (Jurnal) RANI SALPIANA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KEBIJAKAN KRIMINAL TERHADAP TINDAK PIDANA PEROSES PERADILAN MENURUT RUU KUHP TAHUN 2015

(Jurnal)

RANI SALPIANA NPM 1412011352

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

ANALISIS KEBIJAKAN KRIMINAL TERHADAP TINDAK PIDANA PEROSES PERADILAN MENURUT RUU KUHP TAHUN 2015

OLEH

Rani Salpiana, Eddy Rifai, Rini Fathonah Email : Ranisalpiana@gmail.com

Upaya melakukan pembaharuan hukum dengan meyusun Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Pidana, untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan maka dibuat peraturan dalam Bab VI mengenai Tindak Pidana Terhadap Proses Peradilan. Permasalahan dalam penelitian ini mengenai Pasal 327 ayat 4 RUU KUHP 2015, mengapa perlu rumusan tindak pidana publikasi yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan menurut RUU KUHP 2015 mengenai tindak pidana proses peradilan? Bagaimanakah kebijakan kriminal tindak pidana proses peradilan khususnya publikasi yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan menurut RUU KUHP 2015 mengenai tindak pidana proses peradilan? Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan wawancara, serta data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa mengenai pasal tersebut, diperlukan guna menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penegak hukum khususnya bagi hakim, rumusan pasal tersebut masih perlu untuk dikaji, jika nantinya pengaturan tersebut diimplementasikan dikhawatirkan masyarakat merasa tidak memiliki hak kebebasan berpendapat. Saran dalam peneltian ini adalah: Para pembuat kebijakan pada tahap formulasi hukum pidana hendaknya mengklasifikasikan pula apa yang dimaksud dengan publikasi yang menimbulkan akibat yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan, agar masyarakat mengetahui batasan-batasan mana yang dilarang dan diperbolehkan karena masyarakat mempunyai hak kebebasan mengemukakan pendapat sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat 3 UUD 1945 dan kebebasan dalam menyampaikan informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28F UUD 1945.

(3)

ABSTRACT

ANALYSIS OF CRIMINAL POLICIES ON CRIMINAL OFFENSES OF THE JUDICIAL PROCESS ACCORDING TO THE DRAFT LAW ON THE

CRIMINAL LAW CODE OF 2015

By

Rani Salpiana, Eddy Rifai, Rini Fathonah Email : Ranisalpiana@gmail.com

Efforts to reform the law by drafting the Draft Law on Penal Code, In order to better ensure the best possible atmosphere for the administration of justice, a regulation in Chapter VI on Crime Against Judicial Process is made. Problems in this study on Article 327 paragraph 4 of the Draft Law of the Criminal Code 2015, Why is it necessary to formulate a publication of crime that may affect the impartial nature of judges in the trial according to the Bill on Criminal Procedure Code 2015 regarding a criminal offense of the judicial process? What is the criminal justice policy of the judicial process, especially the publications that may affect the impartial nature of judges in the trial according to the Criminal Code Bill of 2015 on criminal proceedings? The research method used is juridical normative and juridical empirical approach. The source and type of data in this study is the primary data obtained from field studies by conducting interviews, as well as secondary data obtained from literature studies. Based on the result of the research, that the article is needed to ensure the best atmosphere for law enforcers especially for the judge, the formulation of the article still needs to be studied, if the arrangement is implemented, it is feared that the community feels that they have no right to freedom of expression. Suggestions in this study are: Policymakers in the formulation stage of criminal law should also classify what is meant by publications that cause effects that may affect the impartial nature of judges in the trial, so that people know which restrictions are prohibited and allowed because the public has the right to freedom of expression of opinion as provided for in Article 28E paragraph 3 of the 1945 Constitution and the freedom to convey information as regulated in Article 28F of the 1945 Constitution.

(4)

I. PENDAHULUAN

Salah satu upaya untuk melakukan pembaharuan hukum pidana nasional adalah dengan meyusun Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi masyarakat sekarang dan nilai-nilai sesuai dengan kepribadian bangsa. Indonesia adalah Negara Hukum sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-4. Ketentuan pasal tersebut dengan tegas menjelaskan bahwa Indonesia merupakan Negara Indonesia sebagai Negara Hukum memiliki Lembaga Peradilan yang bertugas untuk melindungi kepentingan Hukum dan sekaligus menjalankan perintah undang-undang. Lembaga Peradilan di Indonesia sesuai dengan kewenangan yang telah diberikan oleh Undang-Undang terdiri atas Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Berdasarkan uraian diatas bahwa dalam melakukan pembaharuan hukum pidana harus menggali nilai-nilai dari bumi Indonesia dan selaras dengan kepentingan ideologi serta kebutuhan masyarakat Indonesia, sebagaimana pendapat Mahfud MD bahwa :

politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi :

1. Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap

materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan

2. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Menurut UUD 1945 dalam tata hukum yang berlaku bagi bangsa Indonesia, Pancasila berada dalam dua kedudukan yaitu sebagai cita hukum (Rechtsidee) maka pancasila berada dalam tata hukum Indonesia namun terletak diluar sistem norma hukum, dalam kedudukan yang demikian itu pancasila berfungsi secara konstitutif dan secara regulatif terhadap norma yang ada dalam sistem norma hukum. Selanjutnya sebagai norma yang tertinggi dalam sistem norma hukum Indonesia yang berasal dari pokok-pokok pikiran yang terkadung dalam pembukaan UUD 1945, Pancasila merupakan Norma Dasar (Grundnorm) menciptakan semua norma-norma yang lebih rendah dalam sistem norma hukum tersebut, serta menentukan berlaku atau tidaknya norma-norma dimaksud.1

(5)

Montesquieu dalam bukunya

“L’Esprit des Lois” sebagaimanna dikutip Sidarto telah mengemukakan prinsip-prinsip gaya bahasa dalam pembentukan undang-undang yaitu : (1) Gaya bahasanya singkat dan

sederhana tidak membingungkan (2) Istilah yang dipakai sedapatnya-dapatnya harus absolute dan tidak relatif, sehingga member sedikit kemungkinan untuk perbedaan pandangan,

(3) Undang-undang harus membatasi diri pada hal-hal yang nyata dan menghindarkan kiasan hipotesis, (4) Undang-undang harus jelas,

sebab ia diperuntukan orang-rang yang daya tangkapnya biasa, ia harus bisa dipahami oleh orang pada umumnya,

(5) Ia tidak boleh mengaburkan masalah pokoknya, pembatasan atau perubahan, kecuali apabila hal itu memang benar-benar diperlukan ,

(6) Ia tidak boleh terlalu banyak member alasan, adalah berbahaya untuk member alasan-alasan yang panjang lebar untuk undang-undang,, karena hal ini hanya membuka pintu untuk pertentangan,

(7) Yang paling penting iaalah bahwa ia harus dipertimbangkan secara matang dan mempunyai kegunaan praktis, dan ia tidak boleh menggoncangkan akal sehat dan keadilan dan “la

nature des choes” (apa yang sewajarnya), sebab undang-undang yang lemah, tidak bermanfaat dan tidak adil akan merusak seluruh sistem

perundangan dan melemahkan kewibawaan Negara.2

Dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2015 dalam Bab VI mengenai Tindak Pidana Terhadap Proses Peradilan menyatakan perlu adanya definisi yang dapat diterima umum mengenai patokan delik-delik yang dapat dimasukkan ke dalam golongan tindak pidana terhadap proses penyelenggaraan peradilan. Selaras dengan apa yang dicanangkan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dan,

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, pada butir 4 penjelasan umumnya, dinyatakan:

“Untuk memperoleh Hakim Agung

yang merdeka, berani mengambil keputusan dan bebas dari pengaruh, baik dari dalam maupun dari luar, diperlukan persyaratan sebagaimana diuraikan dalam undang-undang ini.”

Untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu pula dibuat suatu undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan

2 Sudarto,1983. Hukum pidana dan

(6)

yang dikenal sebagai contempt of court.

Yang dikedepankan ialah masalah sudahkah penambahan perumusan-perumusan baru tindak pidana proses peradilan yang mereformulasikan ketentuan-ketentuan contempt of court yang ada di dalam KUHP, selaras dengan tujuan untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penegak hukum penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Dalam rumusan-rumusan baru bab tindak pidana proses peradilan ini, terdapat pasal yang dapat mengakibatkan kebingungan dalam mengkategorikan maksud dari pasal tersebut jika diimplementasikan ke publik dalam menafsirkan pasal tersebut, yaitu pasal 327 ayat 4 menyatakan :

“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV bagi setiap orang yang melawan hukum Mempublikasikan atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam siding pengadilan.” Rumusan yang diatur dalam pasal 327 ayat 4 RUU KUHP terdapat kerancuan karena terdapat kata yang sulit dipahami untuk dirumuskan, seperti kategori publikasi yang seperti apa yang dapat dikatakan sebagai publikasi yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis ingin menulis

skripsi tentang “Analisis Kebijakan

Kriminal Terhadap Tindak Pidana

Proses Peradilan Dalam RUU KUHP

Tahun 2015”.

Berdasarkan llatar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapatdirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Mengapa perlu rumusan tindak pidana publikasi yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan menurut RUU KUHP 2015 mengenai tindak pidana proses peradilan?

2. Bagaimana kebijakan kriminal tindak pidana proses peradilan khususnya publikasi yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan menurut RUU KUHP 2015 mengenai tindak pidana proses peradilan?

(7)

II. PEMBAHASAN

A. Rumusan Tindak Pidana Publikasi Yang Menimbulkan Akibat Dapat Mempengaruhi Sifat Tidak Memihak Hakim Dalam Sidang Pengadilan Menurut RUU KUHP 2015 Mengenai Tindak Pidana Proses Peradilan.

Pembaharuan hukum pidana melalui perancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru harus ditempatkan dalam konteks pembangunan hukum nasional.

Pembaharuan hukum pidana dapat diartikan sebagai suatu usaha atau cara untuk menggantikan hukum pidana yang ada dengan keadilan dan perkembangan masyarakat.Ini berarti bahwa pembaharuan hukum pidana tidak dapat dilepaskan dari politik hukum pidana sesuai bagian dari politik hukum yang mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan perundang-undangan pidana yang baik, dalam pembaharuan hukum pidana dalam konteks pembangunan hukum nasional pertama-tama harus dilihat mengenai syarat-syarat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, antara lain :

1. Kejelasan tujuan, bahwa setiap Pembentukan perundangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

2. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi

hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.

3. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan, bahwa dalam Pembentukan perundangan harus memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan Perundang-undangannya.

4. Dapat dilaksanakan, bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pula harus memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.

5. Kedayagunaan dan hasilgunaan, bahwa Peraturan Perundang-undangan tersebut dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat.

6. Kejelasan rumusan, bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan,

7. Keterbukaan, bahwa dalam setiap proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari pencanaan,persiapan,penyusunan dan pembahasan pula bersifat transparan dan terbuka.

(8)

akan menimbulan ketidakpastian dalam hukum dalam penerapannya.

Perumusan BAB VI tentang tindak pidana proses peradilan dalam RUU KUHP Pasal 327 ayat 4, yang menyatakan :

“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV bagi setiap orang yang melawan hukum Mempublikasikan atau membolehkan untuk dipublikasikan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam sidang pengadilan.”

Arti dari kata “Publikasi” menurut

KBBI3 adalah “Pengumuman” atau

“Penerbitan”, sehingga dapat

dikatakan bahwa mempublikasi merupakan menerbikan konten yang diperuntukkan bagi publik atau umum biasanya diterapkan untuk teks atau gambar atau konten audio visual lainnya di media apapun, termasuk kertas (seperti surat kabar, majalah, katalog, dll) atau bentuk penerbitan elektronik seperti situs, buku elektronik, CD, dan MP3. Pembaharuan hukum pidana mengenai tindak pidana proses peradilan mesti mengindahkan hak-hak asasi manusia, untuk diharapkan hukum dapat mensejahtrakan bangsa Indonesia. Jika membicarakan mengenai publikasi maka kita juga berbicara mengenai kebebasan berpendapat, bahwa setiap warga negara berhak untuk mengemukakan pendapat seperti yang terdapat dalam Pasal 28E ayat 3 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan:

3 Depdikbud, 1996, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, Hlm. 865.

“Setiap orang berhak atas kebebasan

berserikat, berkumpul dan

mengeluarkan pendapat.”

Selain bebas untuk berpendapat, setiap warga negara pula memiliki hak untuk menyampaikan informasi, terdapat dalam Pasal 28F, yang menyatakan:

“Setiap orang berhak untuk

berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk memperoleh, mencari, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan

segala jenis saluran yang tersedia.”

Terdapat pula dalam deklarasi universal hak asasi manusia oleh PBB,dalam Pasal 19 yang menyatakan :

“ Setiap orang bebas berpendapat, menganut pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima, menyampaikan ketrangan-keterangan pendapat dengan cara apapun tanpa

memandang batas.”

(9)

salah satunya merupakan hak untuk kebebasan pendapat, hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta hak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan jenis saluran yang tersedia, untuk itu supaya dapat menghindari kesalah pahamaan mengenai arti kata publikasi, semestinya dirumuskan pula kategori seperti apa yang dimaksudkan sehingga jelas bagi masyarakat mengenai mana batasan-batasan yang dimaksudkan, agar masyarakat tidak merasa terintimidasi dalam kebebasannya mengemukakan pendapat.

B. Kebijakan Kriminal Tindak Pidana Proses Peradilan Khususnya Publikasi Yang Dapat Memengaruhi Sifat Tidak Memihak Hakim Dalam Persidangan

Upaya menanggulangi kejahatan menggunakan sarana penal maka penggunaannya harus dilakukan secara selektif dan limitatif dengan memerhatikan rambu-rambu penggunaannya.4 Hal ini penting karena jika tidak demikian maka penggunaan hukum pidana akan mmenimbulkan dampak negatif, pembuatan peraturan perundang-undangan pidana tanpa memerhatikan hal tersebut akan menghasilkan peraturan perundangan pidana yang hilang sifat hukum pidananya, bukan perundang-undangan dimaksud dapat dijadikan sarana untuk melakukan kejahatan

4

Bosu, Bonediktus. 1982. Sendi-Sendi Kriminologi. Surabaya: Usaha

Nasioal.Hlm.87.

atau secara terselubung melegalisasikan kejahatan.

Pendekatan yang berorientasi pada politik sosial dalam mengatasi masalah sentral dalam hukum pidana yang sering disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut :5

a. Penggunaan hukum pidana harus memerhatikan tujuan nasional, yaitu meciptakan masyarakat yang adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan pancasila.

Sehubungan dengan itu, maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengangguran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan dan pengaoman masyarakat.

b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah dan ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang medatangkan kerugian baik material maupun spiritual atas warganya

c. Penggunaan hukum pidana harus pula memerhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum yaitu jangan kelampauan beban tugas.

Keputusan untuk melakukan kriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu yang

5

Dirdjono Dirdjosiswono. 1990.Doktrin-doktrin Kriminologi. Bandung:

(10)

perlu memerhatikan bermacam - macam faktor termasuk :

a. Keseimbangan sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil yang dicari atau yang ingin dicapai

b. Analisis biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan yang dicari

c. Penilaian atau penaksiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber-sumber tenaga manusia

d. Pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkana dengan pengaruh-pengaruhnya yang sekunder.

Kebijakan kriminal tindak pidana proses peradilan dalam rangka pembaharuan hukum nasional hal ini dilatar belakangi dengan apa yang dicanangkan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, pada butir 4 penjelasan umumnya, dinyatakan:

“Untuk memperoleh Hakim Agung

yang merdeka, berani mengambil keputusan dan bebas dari pengaruh, baik dari dalam maupun dari luar, diperlukan persyaratan sebagaimana diuraikan dalam undang-undang ini.”

Untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu pula dibuat suatu undang-undang yang mengatur

penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap/dan atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai Contempt of Court.

Kitab undang-undang hukum pidana hanya mengatur bagian kecil saja apa yang dimaksud dengan Contemp of Court, seperti yang terdapat dalam Pasal 207, Pasal 208, Pasal 209, Pasal 210, Pasal 211, Pasal 217, Pasal 224, Pasal 233, dan Pasal 420 KUHP. Oleh karena pengaturannya hanya sedikit yang mengatur mengenai pasal yang dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggara peradilan, maka diatur dalam konsep RUU KUHP 2015 sebagai upaya penanggulangan hukum.

Kebijakan kriminal tindak pidana proses peradilan dalam RUU KUHP merupakan upaya yang dilakukan dalam bentuk pemidanaan dari suatu kebijakan kriminal dengan menggunakan hukum pidana objektif berisi tentang berbagai macam perbuatan yang dilarang, terhadap perbuatan-perbuatan itu telah ditetapkan ancaman pidana kepada barangsiapa yang melakukannya.6 Pembahasan mengenai kebijakan kriminal tindak pidana proses peradilan dalam RUU KUHP, penulis akan memberikan penjelasan bahwa kebijakan kriminal tindak pidana proses peradilan dalam RUU KUHP adalah salah satu upaya penanggulangan kejahatan melalui sarana penal. Dua masalah sentral

6

(11)

dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan: 7 1. Perbuatan apa yang seharusnya

dijadikan tindak pidana

2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar

Sistem peradilan pidana dalam menjalankan peraturan tersebut. Erna Dewi,8 menyatakan jika bicara mengenai contemp of court, jika dalam KUHP terdapat sedikit pasal yang mengatur, utuk apakah perlu diatur adanya pengaturan khususnya mengennai tindak pidana proses peradilan sepertinya masih menuai pro dan kontra, mengenai hal tersebut tidak masalah karena sudah ada didalam konsep RUU yang baru mengartikan bahwa pemerintah dalam hal ini sudah ada upaya untuk adanya kebijakan kriminal mengenai contemp of court, tahap formulasi sebaiknya dalam upaya menentukan kebijakan kriminal sebaiknya perlu memerhatikan prosedur dan mengkriminalisasikan perbuatan menjadi suatu tindak pidana yang diatur dalam RUU KUHP. Untuk pasal 327 ayat 4 mengenai publikasi yang dapat menimbulkan sifat tidak memihak hakim, seharusnya dipertegas bahasanya agar tidak membingungkan.

Unila Triani,9 menyatakan adanya pengaturan tindak pidana proses

7

Purniati dan Moh. Kemah Dermawan. 1994. Mazhab dan Penggolongan Teori dalam riminologi. Bandung: PT Citra Adiya Bakti

8 Wawancara Erna Dewi, Dosen Bagian

Hukum Pidana Universitas Lampung. 2 November 2017

9 Wawancara Unila Triani, Hakim

Pengadilann Metro Kelas 1B. 22 September 2017

peradilan dalam RUU KUHP 2015 diperlukan guna melindungi penegak hukum selama menjalani tugas sebagai praktisi hukum, pengaturan mengenai publikasi yang dapat mengakibatkan sifat tidak memihak hakim perlu ditambahkan kedalam bab mengenai tindak pidana proses peradilan guna menjamin suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelnggara peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, namum semestinya ditambahkan kata-katanya agar tidak membuat kebingungan mengenai kejelasan tujuan jika peraturan tersebut dijalankan, sebaiknya pengaturan tindak pidana proses peradilan juga memperhatikan perlindungan badan penegak hukum agar terhindar dari ancaman oleh orang-orang yang berkepentingan, seperti kebebasan hakim dalam hal memutus suatu perkara agar tidak merasa dibawah tekanan baik dari dalam persidangan maupun dari luar persidangan.

pembaharuan pidana harus memperhatikan pula perlindungan terhadap lembaga penegak hukum agar terhindar dari ancaman-ancaman yang dapat mengganggu penegak hukum ketika sedang melaksanakan tugasnya. Untuk itu diperlukan pengaturan yang mengatur mengenai tindak pidana proses peradilan namun dalam menentukan kebijakan kriminal tersebut harus pula dilihat prosedur mengkriminalisasikan tindak pidana agar pengaturan yang dihasilkan bisa mengakomodir kejahatan untuk masa sekarang dan masa yang akan datang.

(12)

proses peradilan hendaknya berkarakteristik Indonesia atau bersistem hukum pancasila, sehingga dituntut untuk mengartikan hukum tidak hanya terpaku dengan kerja logika-dedukti semata yang masuk ranah legalistik-dogmatik dan empirik-provistik, melainkan juga hukum harus dibangun secara humanis-partisiparotis, bermoral, hukum bukan untuk hukum melainkan hukum manusia dan masyarakat(logika-deduktif). Selain itu agar cita hukum Pancasila dapat terwujud dalam setiap produk perundang-undangan Indonesia,maka proses pembentukannya tidak hanya melalui pendekatan yuridis, melainkan juga harus memerhatikan pendekatan sosiologis dan politis bahkan filosofis.

III. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan pembahasan terhadap hasil penelitian mengenai permasalahan yang diajukan dalam skripsi ini, sebagai penutup skripsi ini penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Perlunya rumusan Pasal 327 ayat 4 mengenai tindak pidana proses peradilan yang menyebutkan mempublikasi atau membolehkan untuk dipublikasi segala sesuatu yang menimbulkan akibat yang dapat memengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam persidangan dipenjara 5 tahun atau denda paling banyak kategori IV, mengenai pasal tersebut, diperlukan guna menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penegak hukum khususnya bagi

hakim dalam proses penyelenggaraan peradilan. 2. Pengaturan tindak pidana proses

peradilan diperlukan guna melindungi badan penegak hukum dalam menjalani tugas peradilan, meliputi hakim, jaksa, penasihat hukum, penyidik, penyelidik, dikarenakan para penegak hukum dalam menjalankan tugas rentan mendapat ancaman dari orang yang merasa kepentingannya terancam maka dari itu diperlukan tindak pidana proses peradilan yang mengatur mengenai perlindungan penegak hukum. Dikaitkan dengan kata publikasi yang dapat menimbulkan akibat yang dapat memperngaruhi sifat tidak memihak hakim dalam persidangan bahwa rumusan pasal tersebut masih perlu untuk dikaji rumusannya, karena dalam rumusan pasal tersebut tidak menyebutkan kategori seperti apa yang dimaskudkan sehingga jika nantinya pengaturan tersebut diimplementasikan

dikhawatirkan akan membuat masyarakat merasa tidak memiliki kebebasan berpendapat.

B. Saran

Penulis memberikan beberapa saran atau masukan yang mudah-mudahan dapat bermanfaat:

(13)

memihak hakim dalam sidang pengadilan, sehingga membuat masyarakat tahu mengenai batasan-batasan mana yang dilarang dan mana yang diperbolehkan dikarenakan masyarakatpun mempunyai hak kebebasan mengemukakan pendapat agar tidak membuat masyarakat merasatidak kehilangan hak dalam kebebasan mengemukakan pendapat.

2. Para pembuat kebijakan hendaknya menyelaraskan antara rumusan pasal 327 ayat 4 dengan pengaturan mengenai hak kebebasan mengemukakan pendapat yang diatur dalam Pasal 28E ayat 3 Undang-Undang Dasar 1995 dan pengaturan mengenai kebebasan dalam menyampaikan informasi yang diatur dalam Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1995.

DAFTAR PUSTAKA

Attamimi, A. Hamidd S. 1991. Pancasila Cita Hukum Dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia. Dalam Panncasila Sebagai Indeologgi: Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. BP 7 Pusat

Sudarto,1983. Hukum pidana dan perkembangan masyarakat: kajian terhadap pembaharuann hukum pidana. Bandung: Penerbit sinar Baru.

Depdikbud, 1996, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Bonediktus, Bosu. 1982. Sendi-Sendi Kriminologi. Surabaya: Usaha Nasioal.

Dirdjosiswono, Dirdjono. 1990. Doktrin-doktrin Kriminologi. Bandung: Alumni.

Bonger, W.A. 1992. Pengantar Tentang Kriminologi, terjemahan R.A.Koesman. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Purniati dan Moh. Kemah Dermawan. 1994. Mazhab dan Penggolongan Teori dalam riminologi. Bandung: PT Citra Adiya Bakti

Referensi

Dokumen terkait

Dalam fragmen lain, Mangunwijaya juga menyebutkan peran Sutan Sjahrir sebagai perdana menteri pada masa tersebut.. Peran sebagai perdana menteri yang terdapat dalam Burung-burung

4 Tekan , untuk mengirim pesan Multimedia. Catatan: Gambar dan suara yang dilindungi hak cipta tidak dapat dikirim melalui MMS. Mengirim E-mail 1 Pergi ke E-mail > Profil

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Nuril sebagai Manager Bisnis Kantor Wilayah PT Pegadaian (Persero) Renon menyatakan penaksir bertanggung jawab secara pribadi

Simulasi magnetostatics, B-H (kepadatan magnetik fluks vs besar luasan yang digunakan) kurva magnet untuk dua MRFs diperoleh dari spesifikasi pabrik dan kurva B-H untuk

Belum terbitnya peraturan yang jelas mengenai status pembangunan Kawasan Wisata di Sarirejo dalam Rencana Detail Tata Ruang Wilayah menjadi permasalahan dan juga

Seseorang anak yang telah termotivasi untuk belajar sesuatu, akan berusaha mempelajarinya dengan baik dan tekun, dengan harapan memperoleh hasil yang baik. Dalam hal

[r]

sama dengan nama Panitia Pengadaan Barang/Jasa yang mengadakan pelelangan. g) Paket pekerjaan yang dijamin sama dengan paket pekerjaan yang dilelangkan. h) Jaminan Penawaran