• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN YURIDIS EMPIRIS DAN SOCIO LEGAL A

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KAJIAN YURIDIS EMPIRIS DAN SOCIO LEGAL A"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN YURIDIS EMPIRIS DAN SOCIO-LEGAL ANALYSIS: Pengembangan Kerjasama Kawasan guna Penyempurnaan Tata Kelola dalam Perubahan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

Oleh: Kodrat Wibowo, SE, Ph.D

ABSTRACT

In the theory of development, investment is one of the most effective ways to optimize the management of existing potentials and resources. It opens more jobs, improves productivity, increases income per capita, and encourages economic growth. Formation of investment attractiveness has been decreasing continuously over time and is influenced by many aspects: Economic factors, political and institutional, social, and culture, are believed to be some of the key factors forming investment attractiveness of an area. Primary Regulation related to investments is Law No. 25 Year 2007 regarding Investment (UUPM) which has now covered all important aspects in investments. UUPM is to increase investment from the point of view of government and certainty to invest in terms of entrepreneurs/investors perspective. Though, inconsistencies between investment policy and policies in other sectors are very disturbing.

After decentralization era with a more regional autonomy, the authority in capital investment is very difficult to implement within a spirit of unity and cooperation both among regions, horizontally and between governments vertically. With the inconsistency and lack of synchronized of UUPM with the other legislation, as well as obstacles to the effort to promote investments that have a spirit of cooperation in the development of the region, this study provides recommendations to policy makers to improve the UUPM and its supporting regulations in order to support the acceleration of national development, but without sacrificing the political and economic sovereignty of Indonesia, and of course supporting sustainability by applying Empirical-Juridical and Socio-Legal Analysis.

Keywords: Investment, Regulation, Juridical, Socio-Legal.

1. Latar Belakang

Apabila iklim investasi di daerah; provinsi dan kota/kabupaten, berjalan dengan dinamis maka akan ada implikasi positif bagi stabilitas ekonomi di tingkat nasional, sebab dalam teori pembangunan, investasi merupakan salah satu cara efektif untuk mengoptimalkan pengelolaan potensi yang ada, membuka lebih banyak lapangan kerja, meningkatkan produktivitas, meningkatkan pendapatan per kapita, dan mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Artinya, apabila terjadi pertumbuhan ekonomi yang positif di daerah maka kondisi perekonomian nasional pun akan dengan sendirinya ikut terjamin.

(2)

Regulasi utama yang terkait dengan Investasi adalah UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pada undang-undang tersebut tujuan dari penanaman modal adalah untuk :

1. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional; 2. Menciptakan lapangan kerja;

3. Meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan;

4. Meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional; 5. Meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional; 6. Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan ;

7. Mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal dari baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

UU PM No.25 tahun 2007 dapat dikatakan sudah mencakup semua aspek penting (termasuk soal pelayanan, koordinasi, fasilitas, hak dan kewajiban investor, ketenagakerjaan, dan sektor-sektor yang bisa dimasukin oleh investor) yang terkait erat dengan upaya peningkatan investasi dari sisi pemerintah dan kepastian berinvestasi dari sisi pengusaha/investor. Namun Wibowo (2013) menyatakan bahwa inkonsistensi kebijakan penanaman modal dengan kebijakan di sector lain sangatlah mengganggu.1

Dengan diserahkannya kewenangan atas sejumlah urusan pemerintahan, termasuk di bidang ekonomi kepada pemerintah daerah, maka para pelaku usaha akan lebih banyak berhubungan langsung dengan pemerintah daerah, daripada dengan pemerintah pusat. BKPMD bertugas melakukan koordinasi antara seluruh departemen atau instansi pemerintah lainnya, termasuk dengan pemerintah kabupaten, kota, serta propinsi yang membina bidang usaha penanaman modal. Tetapi pada kenyataannya hal ini tidak berjalan dengan baik karena berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 yang telah direvisi dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Otonomi Daerah Kabupaten/Kota terlalu kuat walaupun sudah dikeluarkan kebijakan posisi Propinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2010 Jo. PP No 23 Tahun 2011 tentang Penguatan peran gubernur sebagai kepala daerah sekaligus sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi. Lebih parah lagi, ijin penanaman modal tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi harus menjadi satu kesatuan terintegrasi dengan kebijakan aturan ijin-ijin lain yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kegiatan penanaman modal dan usaha.

Terlebih lagi masalah penanaman modal tidak mudah dijalankan kebijakannya terkait dengan fakta bahwa pasca desentralisasi dan otonomi daerah kewenangan dalam hal penanaman modal sangat sulit dilaksanakan dalam semangat kebersamaan dan kerjasama antar daerah dan antar pemerintahan baik vertikal maupun horizontal. Secara eksplisit penyelenggaraan urusan penanaman modal seperti tertuang dalam UU Penanaman Modal sebenarnya cukup jelas didistribusikan sesuai dengan UU No. 23 tahun 2014 tentang

(3)

Pemerintahan Daerah yang diadopsi dari PP No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota yaitu untuk kasus dimana bentuk penanaman modal di daerah merupakan penanaman modal yang kepentingannya lintas wilayah secara horizontal khususnya Kabupaten/Kota maka peran dan posisi pemerintah pusat dan propinsi sangatlah dominan. Namun seperti sudah diketahui secara umum, pertentangan atau konflik kepentingan khususnya politik antar pemerintahan kabupaten/kota menyebabkan bentuk penanaman modal yang sebenarnya berguna dalam upaya pembangunan kawasan sangat sulit kita temukan. Penguatan peran gubernur seakan-akan tidak ampuh dalam mengatasi hambatan kerjasama ini. Dengan ketidak-konsistenan dan ketidak-singkronan UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dengan peraturan perundang-undangan lainnya, beserta hambatan-hambatan yang nyata dalam upaya menggalakkan penanaman modal yang memiliki semangat kerjasama dalam pembangunan kawasan disadari kebutuhan adanya upaya menyempurnakan UU ini guna mendukung percepatan pembangunan nasional namun tanpa mengorbankan kedaulatan politik serta ekonomi Indonesia dan tentunya bernafaskan keberlanjutan.

1.1. Permasalahan

Penanaman modal dalam pembangunan ekonomi dalam skala domestik seringkali dikaitkan dengan peran intermediasi perbankan dalam sector ekonomi. Sebenarnya sumber permodalan yang ada di pasar sangatlah beragam, mulai dari perbankan, financing, koperasi simpan pinjam, pasar saham, reksadana, dll. Dalam data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tahun 2013 tercatat pada tabel 1 hanya 5,54% dari total permodalan perbankan komersil (Bank Umum) mendanai sektor pertanian (termasuk perburuan dan kehutanan), yaitu sebesar Rp117.16 triliun; angka ini tidak jauh berbeda dengan data tahun 2011 di mana kredit yang disalurkan perbankan komersil ke sektor pertanian hanya sebesar 5,21%. Jumlah penyaluran kredit pada tahun 2013 tersebut sangat jauh lebih kecil dibanding dana kredit yang disalurkan perbankan umum ke sektor industri pengolahan (17,4%), sektor perdagangan, hotel, dan restoran (20,04%), apalagi sektor non usaha berupa kredit konsumtif, kendaraan bermotor, dan perumahan (27,88%). Pada tahun yang sama, dari sisi permodalan perbankan asing hanya 10% saja dari total dana kredit yang disalurkan digunakan untuk mendanai sektor pertanian .

(4)

menjalankan usahanya oleh peraturan perundang-undangan yang jelas karena keputusan investor untuk menanamkan modalnya pada suatu negara tidak terlepas dari perhitungan bisnis yang identik dengan untung dan rugi. Disinilah diperlukan penyempurnaan UU penanaman modal dalam hal ini UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal untuk mengantisipasi kegiatan investasi di Indonesia agar dapat berkompetisi dalam menarik investor namun tetap mempertimbangkan aspek-aspek penting lainnya yang tidak melanggar kedaulatan Negara dan tidak mengorbankan kepentingan masyarakat secara umum.

1.2. Tujuan Kajian

Tujuan dari kajian ini adalah menyediakan rekomendasi kebijakan penyempurnaan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal terkait Kerjasama Kawasan dengan pendekatan Yuridis Empiris dan Socio-Legal Analysis

sehingga kedepan akan tersedia regulasi tentang penanaman modal yaang mempertimbangkan aspek pembangunan berkelanjutan sekaligus sebagai jawaban atas konsep pasar bebas yang tetap berpedoman pada filosofi ekonomi Indonesia yang mengarahkan negara pada bentuk negara kesejahteraan.

1.3. Metode Kajian

Dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan ialah metode penelitian

sosio-Legal dan yuridis empiris yang merupakan penelitian untuk menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan proses bekerjanya hukum di dalam masyarakat, karena itu metode ini menekankan pada data-data primer yaitu persoalan-persoalan yang dianalisis dalam hubungannya dengan realita empiris yang berupa hubungan timbal balik antara hukum dengan realita yang ada.

Secara umum Kajian Yuridis Empiris dan Socio-Legal Analysis: Pengembangan Kerjasama Kawasan guna Penyempurnaan Tata Kelola dalam Perubahan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal akan dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu analisis literatur dan kebijakan serta analisis kualitatif. Analisis literatur dan kebijakan merupakan kegiatan ekploratif yang mencoba untuk mendalami dan mengkaji lebih jauh dasar teori mengenai investasi dan penanaman modal serta mencoba menjelaskan latarbelakang kebijakan yang terkait dengan pentingnya peran penanaman modal dalam implementasi pembangunan pusat dan daerah yang singkron dan bersinergi tanpa mematikan semangat desentralisasi dan otonomi daerah yang telah ada. Kedua kegiatan ini diharapkan mampu menjadi dasar pijakan dari kebijakan penanaman modal terkait Kerjasama Kawasan seperti apa di masa yang akan datang yang tetap mengedepankan prinsip pembangunan yang berkelanjutan dan aspek kedaulatan dalam perekonomian nasional.

2. Pengertian Sosio Legal-Yuridis Empiris

(5)

diatasnya adalah Undang-Undang dan Kebiasaan, dan diatasnya lagi adalah Konstitusi, dan diatasnya lagi adalah Grundnorm yaitu dasar atau basis sosial dari hukum yang merupakan salah satu obyek pembahasan didalam sosiologi hukum. Kemudian dipengaruhi pula oleh perkembangan Ilmu Hukum yang menganggap bahwa hukum sebagai gejala sosial, banyak mendorong pertumbuhan sosiologi hukum. Hukum bersifat represif diasosiasikan seperti dalam hukum pidana. Sedangkan solidaritas organik yaitu terdapat dalam masyarakat modern, hukumnya bersifat restitutif yang sering diasosiasikan seperti dalam hukum perdata dan hukum administratif.2

Dengan demikian dalam upaya pembangunan hukum harus memperhatikan Konsitusi dan Kebiasaan yang hidup di dalam masyarakat, karena jika hukum positif yang diberlakukan didalam masyarakat tidak sejalan dan bertentangan dengan hukum yang hidup didalam masyarakat maka dapat dipastikan hukum positif atau undang-undang tersebut tidak dapat berjalan dengan efektif. Hal ini terkait dengan dua dari 8 (delapan) prinsip Hukum menurut Fuller (1965) yang harus terpenuhi agar hukum memiliki esensi moral yaitu aturan-aturan hukum tidak boleh bertentangan di dunia nyata dan aturan-aturan hukum dibuat dengan pertimbangan masyarakat dapat mematuhinya.3

Analisa sosiologi yang berdasarkan metode pendekatan dan fungsi hukum, pada pokoknya terdapat unsur-unsur seperti sosiologi hukum pendekatan intrumental, pendekatan hukum alam dan karakteristik kajian sosiologi hukum. Dengan menggunakan metode pendekatan sosiologi hukum, perbandingan yuridis empris dan yuridis normatif, hukum sebagai sosial kontrol serta hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat, merupakan tolak ukur terhadap norma-norma atau kaidah-kaidah yang hidup didalam masyarakat, apakah norma atau kaidah tersebut dipatuhi atau untuk dilanggar, apabila dilanggar bagaimana penerapan sanksi, bagi yang melakukan pelanggaran tersebut. Norma atau kaidah yang hidup didalam masyarakat tersebut dipengaruhi oleh kondisi internal maupun eksternal dari masyarakat itu sendiri.

2.1. Hubungan Ekonomi Dengan Sosiologi Hukum

Menganalisis isu penanaman modal secara sosiologi hukum tentunya tidak akan lepas dari Ilmu Ekonomi, dimana ilmu ekonomi adalah juga ilmu sosial yang hubungannya dengan ilmu sosiologi sangat jelas. Pengertian yaitu : Ekonomi juga merupakan salah satu ilmu sosial yang mempelajari aktivitas –aktivitas manusia yang berhubungan dengan konsumsi, produksi, distribusi barang dan jasa. Secara garis besar ekonomi diartikan sebagai “aturan rumah tangga” atau “manajemen rumah tangga.” Manusia tidak lepas dari perekonomian dalam hidupnya dan ekonomi apabila tidak ada manusia tidak akan muncul yang namanya ekonomi.

2 Sistem Hukum Pidana Indonesia telah mengalami pembaharuan. Salah satu bentuk pembaharuan yang ada dalam Hukum Pidana Indonesia adalah pengaturan tentang hukum pidana dalam perspektif dan pencapaian keadilan kepada perbaikan maupun pemulihan keadaan setelah peristiwa dan proses peradilan pidana yang dikenal dengan keadilan restoratif (restoratif justice) yang berbeda dengan keadilan retributif (menekankan keadilan pada pembalasan) dan keadilan restitutif (menekankan keadilan pada ganti rugi).

(6)

Pengembang dari dua disiplin ilmu dasar yaitu: ilmu sosiologi dan ilmu ekonomi menciptakan analisa dan kajian baru untuk pengetahuan serta menciptakan analisa baru tentang ilmu ekonomi yang bersudut pandang sosiologis serta perilaku manusia. Hubungan Ekonomi Dengan Sosiologi contohnya di pasar, dan di tempat perbelanjaan yang lain, yang mana pada hal itu kita juga memerlukan analisa sosiologi selain memerlukan ilmu ekonomi, jadi Aliran neo klasik manganggap bahwa setiap pelaku ekonomi mempunyai informasi yang lengkap dan sifatnya sangat rasional. Informasi yang dimiliki oleh para pelaku ekonomi tersebut tidak memiliki nilai namun faktanya dalam perkembangan ekonomi modern, informasi yang dimiliki dianggap sebagai biaya dan selalu menuntut biaya. Informasi yang didapat dari orang yang menjalankan ekonomi mampu memberikan kemungkinan atas resiko dan peluang dari transaksi ekonomi itu sendiri. Keterkaitan lainnya tentunya dengan melihat kentalnya aspek empiris dalam analisis ekonomi yang berarti bahwa analisis ekonomi akan juga bersama-sama memperkaya kajian socio-legal dan yuridis empiris tentang Pengembangan Kerjasama Kawasan guna Penyempurnaan Tata Kelola dalam Perubahan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

3. Review Terhadap Regulasi tentang Penamanan Modal Dan Kerjasama Kewilayahan Di Indonesia

3.1. Permasalahan Umum

UU No.25 Tahun 2007 tentang PM dapat dikatakan sudah mencakup semua aspek penting (termasuk soal pelayanan, koordinasi, fasilitas, hak dan kewajiban investor, ketenagakerjaan, dan sektor-sektor yang bisa dimasuki oleh investor) yang terkait erat dengan upaya peningkatan investasi dari sisi pemerintah dan kepastian berinvestasi dari sisi pengusaha/investor. Dua dua hal tersebut merupakan aspek-aspek yang selama ini merupakan masalah serius yang dihadapi pengusaha, dan oleh karena itu akan sangat berpengaruh positif terhadap kegiatan penanaman modal di Indonesia.

Tabel 1. Beberapa UU/Peraturan yang Berpengaruh terhadap Efektivitas UU PM No.25/2007

UU/ Peraturan Tahun Materi

UU No. 23 2014 Pemerintahan Daerah

Perpres No. 39 2014 Daftar Bidang Usaha Tertutup & Terbuka dgn Persyaratan di Bidang Penanaman Modal

Perpres No. 32 2011 Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)

Peraturan Mendag No.

37/M-DAG/Per/9 2007 Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan Peraturan Mendag No.

36/M-DAG/Per/9

2007 Penerbitan SIUP

UU No. 40 2007 Perseroan Terbatas UU No. 39 2007 Cukai

UU No. 17 2006 Kepabeanan

(7)

UU No. 13 2003 Ketenagakerjaan UU No. 22 2001 Investasi Sektor Migas

UU No. 5 1999 Anti Monopoli dan Praktek Persaingan Tidak Sehat

Sumber: Dari berbagai sumber data.

Sejumlah UU dan peraturan menteri yang sangat berpengaruh terhadap kelancaran proses mulai dari awal investasi hingga menjadi suatu perusahaan yang siap beroperasi dan menghasilkan keuntungan. Jika UU yang tertera di Tabel 3.1 berbenturan dengan UU PM No.25/ 2007, sangat kecil harapan bahwa kehadiran UU PM ini akan memberi hasil optimal. Misalnya, kontradiksi selama ini antara upaya pemerintah meningkatkan investasi lewat salah satunya mempermudah pengurusan izin penanaman modal dengan UU Migas No 22 tahun 2001 yang menyatakan bahwa investasi di sektor migas harus melalui tiga pintu, yaitu izin dari Dirjen Migas pada Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha (BP) Migas dan Dirjen Bea Cukai (Depkeu). Juga seorang pengusaha asing kemungkinan besar akan tetap membatalkan niatnya berinvestasi di Indonesia walaupun proses pengurusan ijin investasi menjadi lebih lancar dan lebih murah setelah dilaksanakannya UU PM No.25 2007 tersebut, jika UU mengenai kepabeanan dirasa tidak menguntungkannya karena pengusaha tersebut akan banyak melakukan impor, atau pasar tenaga kerja di Indonesia dirasa tidak fleksibel akibat berlakunya UU No.13 tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan.

Di sektor perhotelan, sebagai contoh, jumlah ijin yang diperlukan mencapai 37 buah, karena setiap bagian dari hotel harus memiliki ijin khusus dari kementrian, dinas, badan, dan lembaga terkait. Untuk membangun restoran di dalam hotel perlu ijin dari Kementrian Kesehatan karena menyangkut makanan yang sehat dan aman bagi konsumen, sedangkan untuk membangun kolam renang harus dapat ijin dari Kementrian Olah Raga, dan untuk pemakaian tenaga kerja harus dapat ijin dari Kementrian Tenaga Kerja, dan seterusnya. Dapat dibayangkan, jika izin penanaman modal sudah keluar, seorang investor yang akan membangun sebuah hotel di sebuah kota akan tetap skeptis apabila beberapa atau semua dari izin-izin lainnya itu tidak jelas atau prosedurnya sangat bertele-tele.

3.2. Masalah Regulasi Penanaman Modal Daerah

Telah terbit Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2007 tentang Investasi Pemerintah. Seiiring waktu pelaksanaannya pada tanggal 4 Februari 2008 pemerintah telah mengganti Peraturan Pemerintah tersebut dengan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah”. ”Pasal 30 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah mengamanahkan kepada Menteri Dalam Negeri untuk menyusun Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Investasi Pemerintah Daerah”.

(8)

investasi yang signifikan. Persepsi yang kuat tentang pentingnya investasi telah mendorong pemerintah daerah untuk melakukan berbagai upaya, mulai dari promosi investasi yang gencar hingga kunjungan pejabat daerah keluar negeri. Meskipun investasi sangat penting bagi daerah, namun mendatangkan investasi ke daerah bukanlah pekerjaan sederhana. Bagaimanapun, investasi memiliki logikanya sendiri. Secara umum, investasi, baik dalam bentuk penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA), akan masuk ke suatu daerah tergantung dari daya tarik daerah tersebut terhadap investasi serta adanya iklim investasi yang kondusif.

Pemerintah telah mencanangkan tiga kebijakan dasar yaitu: (i) mempertahankan penanaman modal yang sudah ada melalui peningkatan check and balanced system yang mampu menampung keluhan dari kegiatan investasi yang ada serta menindaklanjuti secara cepat dan efektif; (ii) meningkatkan daya tarik perekonomian yang mampu menarik minat investor melalui penanganan aksi teror dan konflik, peningkatan kepastian hukum, penyederhanaan proses perijinan, peningkatan produktivitas tenaga kerja, dan penyempurnaan system perpajakan; dan (iii) mendorong terwujudnya kerjasama antar daerah (kawasan) guna pemenuhan skala ekonomis jenis usaha yang didanai oleh investor.

Selanjutnya adalah masalah koordinasi. Dalam hal ini pemerintah Pusat harus tegas bahwa koordinasi nasional mengenai penanaman modal di Indonesia adalah BKPM. Koordinasi antara pemerintah pusat (dalam hal ini BKPM) dan pemerintah daerah demikian juga antar daerah yang buruk telah menjadi faktor disinsentif bagi pertumbuhan investasi di daerah. Buruknya koordinasi antar pemerintah daerah telah menciptakan ekstra ekonomi biaya tinggi (diseconomies of scale). Hal ini jelas disebabkan tidak adanya visi dan pemahaman yang sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, maupun antar sesama pemerintah daerah mengenai pembangunan atau pentingnya kerjasama dalam investasi.

Selanjutnya mengenai Daftar Negatif Investasi (DNI). Persyaratan untuk menentukan bidang-bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka bagi kegiatan penanaman modal ditentukan oleh persyaratan terbaru berdasarkan Perpres No. 39 Tahun 2014. Berdasarkan Perpres tesebut, maka terdapat 6 bidang-bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal termasuk penanaman modal asing dan 17 bidang usaha yang diperbolehkan:

 29 bidang-bidang usaha yang dicadangkan untuk mikro, kecil, menengah

dan koperasi (dari 43 bidang sebelumnya dalam PP No. 76 Tahun 2007 dan No.77 Tahun 2007),

 46 bidang usaha yang harus bermitra (dari 36 bidang sebelumnya dalam PP No. 76 Tahun 2007 dan No.77 Tahun 2007),

 82 bidang usaha yang diatur besarnya nilai modal asing (dari 120 bidang

sebelumnya dalam PP No. 76 Tahun 2007 dan No.77 Tahun 2007),

 1 bidang usaha yang diatur lokasinya (dari 19 bidang sebelumnya dalam

(9)

 30 bidang usaha yang harus memiliki izin khusus (dari 25 bidang

sebelumnya dalam PP No. 76 Tahun 2007 dan No.77 Tahun 2007),

 4 9 bidang usaha yang modal dalam negeri 100% (dari 48 bidang

sebelumnya dalam PP No. 76 Tahun 2007 dan No.77 Tahun 2007), dan

 22 bidang usaha yang diatur pemilik modal dan lokasinya (tetap jumlahnya seperti aturannya sebelumnya PP No. 76 Tahun 2007 dan No.77 Tahun 2007),

 21 bidang dengan perizinan khusus dan kepemilikan modal asing.

 4 bidang dengan perizinan khusus dan kepemilikan modal dalam negeri

100%.

 3 Persyaratan kepemilikan modal asing dan/atau lokasi bagi penanam

modal dari negara-negara ASEAN.

Terdapat 4 (empat) persoalan utama yang menjadi keprihatinan dunia usaha dari aturan ini. Pertama, adanya “gray areas” yang sangat membutuhkan kejelasan informasi yang lebih tegas dan jernih. Sebagai contoh, dalam DNI terdapat berbagai kasus dimana industri yang sama memiliki tingkatan kepemilikan modal asing yang berbeda. Atau pada industri yang sama terdaftar sebagai bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal pada lampiran yang pertama, sedangkan pada lampiran yang lainnya dinyatakan sebagai bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan tertentu. Kesulitan lain adalah membedakan penanam modal dari negara ASEAN dan non ASEAN karena pada era globalisasi seperti sekarang sangatlah sulit dapat menahan para penanam modal dari negara-negara ASEAN yang sebenarnya secara kepemilikan modal perusahaanya sendiri memperoleh dana dari luar negaranya melalui pasar uang dan pasar saham.

Kedua, dunia usaha juga masih memiliki berbagai pertanyaan berkenaan dengan dasar pemikiran rasional, nilai atau filosofi yang melatarbelakangi keputusan penentuan kriteria khususnya persentase yang berbeda untuk kepemilikan modal asing maksimum yang diijinkan. dan apa yang melatarbelakangi perbedaan persentase ini? Beberapa perbedaan persentase ini masih belum menyediakan insentif bagi dunia usaha dan mungkin tidak memberikan daya tarik bagi ekonomi nasional. Ini tentunya hak pemerintah untuk menyusun dan menetapkan tingkat kepemilikan modal asing, tetapi dunia usaha dan masyarakatr umum harus pula memahami landasan filosofi ini.

Ketiga, ketidakpastian mengenai proses perubahan dan transisi serta bagaimana perubahan DNI ini dapat diaplikasikan dimasa depan. Sebagai contoh, apa yang terjadi bila sebuah perusahan yang telah berdiri ingin melakukan ekspansi? Apakah mereka harus mengikuti peraturan DNI yang baru atau mengikuti peraturan yang berlaku pada saat perusahaan tersebut berdiri?

(10)

kawasan yang selama ini memiliki paradigma tentang pengembangan kawasan ekonomi secara kekhususan.

3.3. Masalah Regulasi Penanaman Modal Asing

Peran penting dari Penanaman Modal Asing (PMA) sebagai salah satu sumber penggerak pembangunan ekonomi yang pesat selama era Orde Baru tidak bisa disangkal. Selama periode tersebut, pertumbuhan arus masuk PMA ke Indonesia memang sangat pesat, terutama pada periode 80-an dan bahkan mengalami akselerasi sejak tahun 1994. Indonesia selama era Soeharto tersebut didorong oleh stabilitas politik dan sosial, kepastian hukum, dan kebijakan ekonomi yang kondusif terhadap kegiatan bisnis di dalam negeri, yang semua ini sejak krisis ekonomi 1997 hingga saat ini sulit sekali tercapai (Tambunan, 2007).

Penanaman Modal sangat penting sebagai motor utama perkembangan dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Harus diakui bahwa PMA, khususnya dari negara-negara maju, tetap lebih penting daripada Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), terutama untuk negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini disebabkan tiga alasan utama yaitu pertama, PMA membawa teknologi baru dan pengetahuan lainnya yang berguna bagi pembangunan di dalam negeri. Kedua, pada umumnya PMA mempunyai jaringan kuat dengan lembaga-lembaga keuangan global, sehingga tidak tergantung pada dana dari perbankan di Indonesia. Ketiga, bagi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia yang berorientasi ekspor, biasanya mereka sudah memiliki jaringan pasar global yang kuat, sehingga tidak ada kesulitan dalam ekspor (Tambunan, 2009).

Permasalahan-permasalahan utama yang dihadapi para penanam modal asing di Indonesia adalah infrastruktur dan birokrasi pemerintah yang tidak efisien, perijinan dan kurangnya koordinasi antar Kementrian dan lembaga. Undang-Undang Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007 dikeluarkan dengan maksud menyelesaikan permasalahan-permasalahan dan ketidakpastian dalam penanaman modal. Tetapi dalam pelaksanaanya tetap saja timbul berbagai ketidakpastian terutama dalam aspek hukum sehingga penanam modal asing enggan untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

(11)

Kedua, permasalahan yang berkaitan dengan persoalan pembebasan tanah. Dalam pelaksanaan penanaman modal dilapangan menunjukan bahwa kegiatan berinvestasi menjadi terhambat, dibatalkan atau penanam modal asingnya mengundurkan diri untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini berarti masalah pembebasan tanah harus masuk di dalam paket perijinan investasi seperti yang dimaksud di atas. UU No.25 tahun 2007 tentang Penanam modal tidak akan efektif dalam meningkatkan penanaman modal di Indonesia apabila persoalan pembebasan tanah semakin menyulitkan, mahal dan menimbulkan risiko besar terhadap penanam modal serta keselamatan jiwa dan usaha bagi calon investor

Ketiga, permasalahan yang berkaitan dengan birokrasi yang tercerminkan oleh antara lain prosedur administrasi dalam mengurus investasi (seperti perizinan, peraturan atau persyaratan, dan lainnya) yang berbelit-belit dan langkah-langkah prosedurnya yang tidak jelas. Ini juga merupakan masalah klasik yang membuat investor enggan melakukan investasi di Indonesia.

3.4. Masalah Regulasi Penanaman Modal di Bidang Pertambangan4

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan memberikan izin kepada Pemerintah untuk melaksanakan pengusahaan bahan galian (tambang) baik secara langsung terlibat dalam kegiatan usaha maupun menunjuk kontraktor untuk melaksanakan pengusahaan bahan galian (tambang) apabila instansi pemerintahan tersebut tidak atau belum mampu untuk melaksanakan pengusahaan bahan galian (tambang) secara langsung. Apabila usaha pertambangan dilaksanakan oleh kontraktor, kedudukan Pemerintah adalah memberikan izin kepada kontraktor yang bersangkutan. Kuasa pertambangan merupakan wewenang yang diberikan kepada badan/perorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan. Kuasa pertambangan dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu: 9 (1) kuasa pertambangan penyelidikan umum; (2) kuasa pertambangan eksplorasi; (3) kuasa pertambangan ekploitasi; (4) kuasa pertambangan pengolahan dan pemurnian; dan (5) kuasa pertambangan pengangkutan dan penjualan.

Pengelolaan bahan galian tambang emas, perak maupun tembaga yang bekerjasama dengan investor asing umumnya menggunakan sistem kerja sama modal kontrak karya yang mulai dikenal pada tahun 1967 bersamaan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Perjanjian karya pengusahaan pertambangan memiliki pola yang berbeda antara pola perpajakan dengan pola pembagian hasil produksinya. Pola perpajakan perjanjian karya pertambangan menggunakan pola kontrak karya sementara pola pembagian hasil tambang menggunakan pola

production sharing. Berdasarkan skema Kontrak Karya, perusahaan diwajibkan untuk membayar sejumlah pajak mineral, diantaranya royalti yang nilainya

(12)

berbeda-beda berdasarkan jenis mineral, sewa tanah dan berbagai jenis pajak berdasarkan tahapan setiap kegiatan Kontrak Karya, seperti pajak perusahaan yang sejak model Kontrak Karya (KK) diperkenalkan berkisar antara 35%-48%. Saat ini pajak perusahaan adalah 30% yang apabila dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti Philipina (32%) dan China (33%) sangat kompetitif.

Kegiatan penaman modal asing pada sektor pertambangan merupakan upaya untuk menggali sedalam-dalamnya potensi sumber daya alam Indonesia untuk memberikan keuntungan ekonomis bagi setiap pihak yang melibatkan diri di dalam kegiatan usaha tersebut dengan mengutamakan pemberian sumbangsih dari kegiatan usaha pertambangan kepada kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia sesuai dengan amanat konstitusi. Industri migas menduduki posisi penting dalam perkembangan perekonomian Indonesia, oleh karena itu daya saing dalam industri hulu migas sangat tinggi, salah satu faktor terpenting dalam peningkatannya saing ini adalah faktor kepastian hukum. Terdapat beberapa permasalahan yang krusial dalam pengelolaan sumber kekayaan alam yang berkaitan dengan persoalan kepastian hukum yaitu pertama, dampak Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 36/PUU-X/2012 tanggal 13 November 2012 mengenai putusan pengujian terhadap Undang-undang No 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi yang berujung pada pembubaran Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).

Untuk mencegah kekosongan hukum pasca putusan MK pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 95 Tahun 2012 tentang Pengalihan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Adapun tujuan Perpres Nomor 95 Tahun 2012 ini dikeluarkan agar menjamin kelangsungan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi atau mencegah

rechtsvacuum.

Pada tahun 2013 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 9 tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Migas, yang kemudian dibentuk Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas sebagai pengganti fungsi BP Migas yang berada di bawah Kementerian Ekonomi Sumber Daya dan Mineral (ESDM). Adanya putusan tersebut belum menyelesaikan semua masalah berkaitan dengan keberadaan BP Migas, khususnya terkait dengan pengalihan kewenangan dari BP Migas kepada SKK Migas dibawah Kementerian ESDM, karena pembentukan SKK Migas oleh Pemerintah sifatnya sementara sampai adanya aturan yang baru atau merevisi UU Migas. Oleh karena itu pengganti BP Migas sebagai pelaku usaha harus ditetapkan sesuai dan berdasarkan konsep hukum.

(13)

yang menimbulkan benturan kewenangan antara pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Dengan adanya berbagai permasalahan tersebut menghambat gerak pelaku bisnis pertambangan, sehingga menimbulkan adanya ketidakpastian berbisnis dan ketidakpastian hukum.

3.5. Pembangunan Kawasan, Penanaman Modal, dan Kerjasama antar Daerah

Pemerintah pada tanggal 27 Mei 2011 telah mengeluarkan Perpres No. 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 dengan tujuan untuk mempercepat pelaksanaan proyek-proyek investasi, baik di sektor riil maupun infrastruktur yang telah melakukan groundbreaking di berbagai daerah. MP3EI memiliki semangat mempercepat pembangunan sektor pangan, energi, dan infrastruktur dengan berbasiskan pendekatan spasial yang membagi Indonesia menjadi 6 (enam) Koridor Ekonomi (KE) di mana pembangunan sektor pangan difokuskan pada 2 (dua) Koridor, yaitu Koridor Ekonomi Sulawesi dan Koridor Ekonomi Papua-Kepulauan Maluku.

Program ini dibangun atas dasar argumen tentang pentingnya membangun daya saing Indonesia di dunia, tetapi mengapa wilayah pembangunan sektor pangan dibatasi hanya di KE Sulawesi dan KE Papua-Kepulauan Maluku? Apakah daerah-daerah lain tidak memerlukan penguatan pembangunan pangan? Kemudian, bagaimana dengan komitmen negara untuk memastikan ketersediaan lahan pangan, sementara wilayah-wilayah lain di luar dua koridor tersebut boleh dialihfungsikan untuk pembangunan industri, pertambangan dan sektor lainnya yang padat modal? Wajar jika muncul dugaan adanya pengalihan lahan produktif di KE Sumatra, KE Jawa, KE Kalimantan, dan KE Bali-Nusa Tenggara.

Memang terasa bahwa MP3EI ini sepertinya tidak akan dijadikan semangat pembangunan kawasan dalam pembangunan ekonomi nasional dalam pemerintahan Jokowi sampai dengan tahun 2019. Ini sangat jelas terlihat dari bertentangannya isi Perpres No. 39 Tahun 2014 tentang tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup dan Bidang Usaha Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal yang jelas tidak memberlakukan persyaratan lokasi untuk bidang-bidang usaha yang boleh dijadikan obyek investasi kecuali peternakan babi yang tentu disadari karena factor sentimen agama dan kesehatan. Hampir semua jenis industry usaha selain peternakan babi dalam bidang pertanian dan kehutanan terkait pangan tidak mensyaratkan lokasi, dan hal ini jelas bertentangan dengan semangat Penetapan K.E Sulawesi dan K.E Papua-Kepulauan Maluku sebagai koridor pembangunan sektor pangan nasional dalam MP3EI.

Berdasarkan kebutuhan kerjasama kewilayahan dengan prinsip kebersamaan dan terkait dengan penyediaan pelayanan public dan infrastruktur, Pemerintah telah merumuskan kebijakan sebagai pedoman penyelenggaraan Kerjasama Antar Daerah (KAD). yaitu PP No. 50 Tahun 2007 tentang Tatacara Pelaksanaan Kerjasama Antar Daerah.

(14)

a. Pemerintah Daerah masih belum cukup mempertimbangkan KAD sebagai salah satu inovasi dalam penyelenggaraan pembangunan. Salah satu penyebabnya adalah adanya persaingan dan ego daerah dimana semangat otonomi masih dipandang sempit dan kedaerahan. Setiap daerah memacu perkembangan daerahnya sendiri tanpa menimbang kemampuan dan kebutuhan wilayah lain.

b. Belum tersedia mekanisme insentif untuk daerah-daerah yang bekerja sama dalam peningkatan efektivitas/efisiensi penyelenggaraan pelayanan publik c. Untuk daerah-daerah pemekaran, ada kecenderungan lebih enggan untuk

bekerja sama dengan daerah lain, termasuk daerah induk, karena euphoria

baru menjadi sebuah daerah otonom.

d. Di pemerintah pusat sendiri, KAD belum menjadi satu inovasi prioritas untuk di-diseminasikan ke daerah. Selama ini KAD biasanya terbentuk atas inisiatif daerah sendiri.

4. Rekomendasi ke Depan

4.1. Rekomendasi Umum Penanaman Modal.

Hal utama yang perlu dilakukan oleh DPD-RI adalah mendorong pemerintah pusat untuk mengkaji ulang semua peraturan, Kepres, atau UU yang berlaku yang mengatur faktor-faktor tersebut (terkecuali investasi karena sudah diatur sendiri dengan UU PM No.25 Tahun 2007) untuk melihat apakah semua peraturan, Kepres atau UU tersebut konsisten dengan UU PM yang baru tersebut. Yang tidak konsisten atau tidak mendukung tujuan dari UU PM tersebut harus segera dirubah/direvisi. Ini yang dimaksud dengan kebijakan investasi dalam satu paket (Tambunan, 2007).

4.2. Rekomendasi Penanaman Modal di Daerah

Khusus untuk implementasi kebijakan penanaman modal di daerah, untuk meningkatkan iklim investasi dan mendorong investasi daerah, terdapat sejumlah agenda yang layak dipertimbangkan oleh DPD-RI untuk memfasilitasi pemerintah daerah untuk mengembangkan antara lain perumusan kebijakan investasi daerah, memperbaiki regulasi, penyederhanaan prosedur perijinan, mengembangkan infrastruktur, melakukan promosi daerah, mengembangkan

regional management, dan lain-lain. Meski agenda-agenda tersebut bukanlah sesuatu yang baru, namun tetap menarik untuk didiskusikan mengingat bahwa selama ini agenda-agenda tersebut belum diimplementasikan secara optimal.

4.3. Rekomendasi Penanaman Modal Sektor Pertambangan dan Migas

(15)

dalam sistem hukum nasional. BUMN akan membawa manfaat yang lebih besar sepanjang BUMN tersebut tersebut konsisten melaksanakan prinsip-prinsip hukum, karena kehadiran BUMN pun diserahi amanat sesuai yang ditentukan dalam Pasal 33 UUD 1945.

Selain DPD-RI dapat mengusulkan secara inisiatif atau menyiapkan aturan tentang pembentukan lembaga atau badan khusus yang harus segera dibentuk oleh pemerintah dalam rangka menjamin kepastian hukum baik bagi penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing, juga pemerintah harus segera membuat kebijakan membuat UU Migas atau merevisi UU No 22 Tahun 2001 sesuai dengan konstitusi yang mencantumkan dengan jelas, terang dan tidak samar-samar tentang tujuan pembangunan. Selain itu pelaksanaan UU Migas demi tercapainya kepastian hukum yang mendasarkan segala pada perundang-undangan berdasakan pada hukum harus didukung oleh moral yang tinggi dari para pelaksana atau birokrat. Dalam hal penyelesaian permasalahan dalam pengelolaan sumber daya alam mineral dan batu bara diperlukan suatu harmonisasi peraturan lintas kementerian dan harmonisasi peraturan pusat dan daerah.

4.4. Rekomendasi Kerjasama Kawasan dalam Penanaman Modal. Dengan fakta yang tak terbantahkan ini maka beberapa langkah harus dilakukan khususnya oleh pengambil kebijakan legislasi (DPR dan DPD) dengan masing-masing kewenangannya:

a. Memastikan UUPM dan peraturan-peraturan pelengkap lain yang menjadi impementasi teknis harus sinergi dengan semangat efisiensi dan pemerataan dalam pelaksanaan otonomi daerah.

b. Memastikan UUPM dan peraturan yang menjadi impementasi teknis harus fleksibel atau dibuat secara sistemik dinamika perubahannya secara berkala (tahunan atau 4-tahunan sesuai RPJM) berdasarkan pencapaian realisasi pembangunan infrastruktur terutama tol laut dan infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, pelabuhan, Bandar udara dan air bersih..

c. Mengajukan usulan revisi peraturan kerjasama antar daerah pengganti PP No. 50 Tahun 2007 tentang Tatacara Pelaksanaan Kerjasama Antar Daerah yang lebih bernafaskan “kolaborasi” dan “semi professional” ketimbang semangat “kerjasama konvensional” yang sarat dengan muatan dan kendala politik terutama semangat primordialisme/kedaerahan terkait masalah penanaman modal. Revisi ini Harus juga memberika skema insentif-disinsentif guna mengakselarasi terlaksananya kerjasama kewilayahan terkait penanaman modal ini.

(16)

e. Melakukan upaya perbaikan aturan yang lebih mendorong Pemerintah daerah untuk melakukan reorientasi peran, dari peran tradisional menuju peran kewiraswastaan, terlebih karena penanaman modal sangat erat dengan semangat swasta dalam mencari keuntungan maksimum. Karena telah tersedia data pemetaan potensi daerah, maka revisi perundang-undangan khususnya tentang penanaman modal yang harmonis dengan UU Tata Ruang dan Wilayah serta semangat konsep Kerjasama kawasan harus diupayakan.

Untuk masalah penyediaan pelayanan publik khususnya infrastruktur jalan dan listrik yang memang menjadi pertimbangan utama para penanam modal selain potensi pasar dan insentif fiscal, kerjasama konvensional mungkin masih relevan dipraktekkan, namun dalam rangka pengembangan perekonomian wilayah terkait penanaman modal, penekanan model kerjasama yang dapat dijalankan adalah Bentuk/model kerjasama berupa badan kerjasama yang independen atau terpisah dari kelembagaan pemerintah daerah, dan dikelola secara profesional dengan prinsip manajemen bisnis murni dan semangat kolaborasi. Hal ini karena badan semacam ini dapat bergerak lebih fleksibel dan terpisah dari birokrasi yang kadang menghambat inovasi-inovasi strategi perdagangan.5 Model kerjasama ini perlu didukung juga dengan strategi-strategi tertentu dalam menghadapi era globalisasi, karena peningkatan daya saing daerah pada hakikatnya saat ini tidak hanya diperlukan dalam konteks daya saing diantara wilayah lain, melainkan juga dalam konteks global.

DAFTAR PUSTAKA

An An Chandrawulan, Kepastian Hukum dalam Peningkatan Daya Saing Ekonomi Indonesia dalam Rina Indiastuti dan Arief Anshory Yusuf, Sumbangsih Unpad Bagi Pemimpin Bangsa, Unpad Press, 2013.

Fuller, Lon L. The Morality of Law, New Haven Connecticut: Yale University Press, 1964. Pp. viii, 2002.

Kodrat Wibowo, “Indonesia dan Kebutuhan Akan Konsistensi Kebijakan Ekonomi Nasional, Artikel dalam buku: “Sumbangsih Unpad Bagi Pemimpin Bangsa”, Unpad Press, 2013.

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan. (Bandung : Alumni. 2002).

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: Universtitas Indonesia Press, 1999).

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). (Jakarta: Rajawali Press, 2003).

Tulus Tambunan, Pembangunan Industri Nasional sejak Era Orde Baru Hingga Pasca Krisis, Jakarta: Trisakti Press, 2007

______, Industrialisasi di Negara Sedang Berkembang. Ghalia Indonesia, Jakarta,2009.

Gambar

Tabel 1. Beberapa UU/Peraturan yang Berpengaruh terhadap Efektivitas UUPM No.25/2007

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengkaji tentang peran SMK Negeri 2 Sewon sebagai SMK Pusat Layanan TIK se Kabupaten Bantul. Penelitian ini

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa perbandingan jumlah bak budidaya cacing sutra dengan memanfaatkan limbah budidaya lele sistem intensif terhadap kualitas air

88 Emilia Ramadhani Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Penelitian Terapan Unggulan Perguruan

Skenario : diuji satu huruf misalnya huruf zay lalu nanti keluar suara perintah untuk menyebutkan suara huruf zay selanjutnya di tes dengan huruf yang lain yang

Quantum Teaching (DePorter , et al., 2002). Pembelajaran TANDUR merupakan pembelajaran yang memberdayakan potensi siswa, ini berarti memberikan kesempatan kepada siswa

Tabel Mahasiswa, Kuliah, Dosen, dan Nilai hasil dekom posisi dari t abel universal yang sudah disebut kan pada bagian 5.3, t elah m em enuhi 2NF. Cont oh pelanggaran 2NF : Cont

Prasarana Penerangan Jalan Umum 1 kegiatan APBD jalan di Kabupaten Kendal biaya operasional pemeliharaan lampu penerangan jalan dan pemeliharaan alat alat pemeliharaan

Dalam kurun waktu 6 (enam) tahun terakhir, pengembangan agribisnis kelapa sawit baik usaha budidaya (on farm) maupun unit pengolahannya (off farm) secara bertahap