BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akhir-akhir ini kenakalan remaja mendapat sorotan yang cukup tajam dari
kalangan masyarakat yang memperhatikan masalah ini. Kenakalan remaja yang
sering terjadi dewasa ini, tampaknya sudah kehilangan ciri nakalnya dan sudah
menjurus pada tindakan-tindakan brutal yang membahayakan keselamatan, baik
harta maupun nyawa orang lain. Pada awalnya, kenakalan remaja hanyalah
merupakan perilaku “nakal” dari kalangan remaja yang sering dikatakan sedang
mencari identitas diri. Kenakalan remaja yang demikian ini tidak menimbulkan
kekhawatiran dikalangan masyarakat luas. Beberapa peristiwa yang terjadi di
kota-kota besar menunjukkan beberapa kenakalan remaja yang menjurus pada
tindakan kriminalitas.1|
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa para remaja melakukan
perilaku yang mengarah pada kriminalitas. Tulisan ini berusaha menjelaskan
secara teoritis tentang hal ini, kenakalan remaja dalam kaitannya dengan
perbuatan-perbuatan yang menjurus pada kriminalitas yang dilakukan secara
bersama-sama . Pada awalnya kenakalan remaja dikatakan sebagai perbuatan
deviasi yang tidak perlu dikhawatirkan. Inilah yang dikatakan sebagai deviasi
primer. Setiap orang, yang telah melewati masa remaja, pasti pernah melakukan
deviasi primer. Ada beberapa kriteria yang dapat dikategorikan sebagai deviasi
primer yaitu perbuatan tersebut tidak dilakukan secara terus-menerus dan
perbuatan deviasi yang dilakukan secara disorganisasi dan tidak dilakukan secara
lihai, pada dasarnya perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai perbuatan oleh
yang berwajib.2
Di kalangan remaja, melakukan perbuatan-perbuatan yang menjurus pada
kriminalitas tidaklah mudah. Perbuatan tersebut secara teoritis memerlukan
dukungan dari kawan-kawan mereka. Mengapa demikian?
Edwin.H Sutherland menyatakan bahwa semua perilaku termasuk perilaku jahat merupakan perbuatan hasil dari proses belajar. Hal ini berarti ia
menolak teori yang menyatakan bahwa kejahatan merupakan sifat bawaan yang
diperoleh sejak lahir, yang berasal dari keturunan. Oleh karena itulah ia dalam
proporsisinya menyatakan bahwa perilaku jahat dipelajari dari orang lain melalui
interaksi. Selain proses interaksi, maka yang terpenting perilaku tersebut
diperoleh melalui pergaulan yang akrab. Apa artinya semua ini? Menurut
Sutherland, orang tidak akan mempelajari tingkah laku jahat hanya melalui
interaksi yang tidak akrab. Kejahatan hanya bisa dipelajari kalau ada hubungan
yang akrab antara para pihak. Di sinilah kemudian muncul indikasi bahwa
kejahatan selalu mempunyai jaringan, selalu mempunyai dukungan. Tanpa adanya
dukungan, seseorang akan khawatir untuk melakukan kejahatan seorang diri.
Dengan demikian dalam mempelajari kejahatan tidak hanya menyangkut
teknik/cara melakukan kejahatan saja tetapi juga hal-hal yang mendorong serta
alasan pembenar dalam melakukan kejahatan.3
Berdasarkan uraian di atas maka dukungan orang lain untuk terjadinya
suatu kejahatan tidak dapat diabaikan keberadaannya. Steven Box dalam bukunya yang berjudul Deviance, Reality, and Society mengemukakan bahwa ada anak-anak remaja yang mempunyai kemauan untuk melakukan kejahatan tetapi tidak
pernah terwujud. Untuk mewujudkan keinginan tersebut, ada beberapa hal yang
diperlukan yaitu : Pertama, keahlian. Anak-anak remaja yang mempunyai
keinginan untuk melakukan kejahatan, mungkin harus menunda keinginannya
mengingat mereka tidak mempunyai tingkat pengetahuan yang khusus atau
keahlian. Keahlian dalam melakukan kejahatan merupakan proses belajar, yang
diperoleh dari teman-teman sekelompok. Kedua, adalah perlengkapan. Seseorang
yang mempunyai keinginan melakukan kejahatan akan mengabaikan
keinginannya bila tidak mempunyai perlengkapan yang memadai. Perlengkapan
ini pun tidak mudah diperoleh. Hanya mereka yang dikenal dan termasuk dalam
kelompoklah yang mudah memperoleh perlengkapan. Ketiga, adalah adanya
dukungan sosial. Mereka yang mempunyai keinginan untuk melakukan kejahatan
baru dapat melaksanakan keinginannya bila terdapat dukungan kelompok.4
Meningkatnya kenakalan remaja dewasa ini disebabkan oleh kepribadian
anak yang belum terkontrol, jika anak remaja tidak mampu mengoreksi perbuatan
yang salah maka ini akan sangat membahayakan anak itu sendiri. remaja
misalnya, membentuk kelompok-kelompok yang mengarah kepada tindakan
kriminal seperti tawuran, mencuri bahkan merampok.
Pada kehidupan bermasyarakat sering terdapat adanya
penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan hidup masyarakat terutama yang
dikenal dengan nama norma hukum. Penyimpangan norma hukum di masyarakat
disebut dengan kejahatan. Sebagai salah satu bentuk penyimpangan dari norma di
tengah-tengah masyarakat dimana pelaku dan korbannya adalah anggota
masyarakat juga. Kejahatan yang merupakan suatu bentuk dari timbulnya gejala
sosial itu tidak berdiri sendiri, melainkan ada hubungan dengan berbagai
perkembangan baik kehidupan sosial, ekonomi, hukum, maupun teknologi.
Kejahatan ini juga ditimbulkan dari perkembangan-perkembangan lain sebagai
akibat sampingan yang negatif dari setiap kemajuan atau perkembangan sosial di
masyarakat.
Saat ini, dunia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dan
modernisasi. Perkembangan dan modernisasi tersebut terutama dapat dirasakan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena perkembangan tersebut
juga telah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan
pertumbuhan perekonomian.
Satjipto Raharjo menulis bahwa modernisasi menekankan pada rasio, penampilan manusia secara individual, kebebasan manusia, orientasi kepada dunia
serta penggunaan rasio sebagai alat untuk memecahkan berbagai masalah.5 Sutan Takdir Alisyahbana dalam bukunya “ Hukum dan proses Modernisasi di Indonesia” menulis antara lain bahwa proses modernisasi menyangkut perubahan
5 Nanda Agung Dewantara, Kemampuan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi
kelakuan dan nilai-nilai kebudayaan yang sejalan dengan perubahan sikap hidup
dan cara berfikir manusia.6
Pada dasarnya pertumbuhan perekonomian yang terjadi belakangan ini
mengalami perkembangan yang tidak seimbang. Hal ini dapat di lihat dimana
pertumbuhan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan taraf hidup masyarakat
sehingga jumlah masyarakat miskin semakin bertambah di indonesia.
Diketahui bahwa keadaan masyarakat yang berada dibawah garis
kemiskinan tersebut menyebabkan sangat rendahnya tingkat daya beli masyarakat.
Hal ini berdampak pada ketidakmampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, yang kemudian akan dapat menjadi penyebab atau latar belakang dari
setiap kejahatan atau tindak pidana dalam masyarakat, dimana salah satu
bentuknya adalah pencurian.
Kejahatan adalah suatu masalah sosial yang terjadi dalam kehidupan
bermasyarakat, dimana setiap masalah sosial dapat berbeda-beda dari setiap
masyarakat, tergantung dari kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat
tersebut. Adapun faktor lain yang menjadi penyebab dari terjadinya masalah
sosial tersebut adalah berasal dari faktor lingkungan, sifat dari masyarakat
tersebut, serta keadaan dari setiap orang yang menjadi anggota penduduk dari
masyarakat tersebut. Terkait dengan hal tersebut diatas, maka dapat kita ketahui
bahwa perkembangan kejahatan adalah merupakan suatu fakta yang tidak dapat
dipungkiri lagi, baik pada masyarakat sederhana maupun modern.
Salah satu jenis kejahatan yang semakin berkembang baik dari segi
frekuensi maupun dari segi cara melakukannya adalah kejahatan pencurian. Telah
dijelaskan bahwa pencurian terjadi disebabkan oleh banyaknya kalangan
masyarakat yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya karena daya beli
yang sangat rendah. Memang pencurian tetaplah bentuk pencurian, akan tetapi
alangkah baiknya jika disesuaikan dengan kejahatan pencuriannya apakah
memang pantas untu disidang di Pengadilan atau masih bisa diselesaikan secara
musyawarah kekeluargaan.
Saat ini kejahatan pencurian memang sangat marak terjadi, baik yang
terjadi di pinggir jalan, di perumahan, bahkan di dalam pasar. Pencurian itu
sendiri dapat dilakukan pada siang hari, malam hari, dengan kekerasan, tidak
dengan kekerasan, ataupun terhadap keluarganya sendiri. Sanksi yang dijatuhi pun
berbeda atas jenis pencurian yang berbeda pula.
Pencurian merupakan tindakan kriminalitas yang sengaja mengganggu
kenyamanan rakyat. Tindakan konsisten diperlukan dalam penegakan hukum,
sehingga terjalin kerukunan. Kemiskinan yang banyak mempengaruhi perilaku
pencurian adalah kenyataan yang terjadi ditengah masyarakat, dibuktikan dari
rasio pencurian yang makin meningkat ditengah kondisi objektif pelaku di dalam
melakukan aktifitasnya.7
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan dari apa yang telah dipaparkan dalam bagian pendahuluan
pada penulisan skripsi ini, dan juga untuk memberikan pembatasan dari ruang
lingkup pembahasan yang kemudian akan diangkat sebagai bahan materi dalam
skripsi ini, maka dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang akan
diangkat, yaitu sebagai berikut :
1. Apa faktor-faktor penyebab terjadinya kenakalan anak?
2. Bagaimana pengaturan hukum anak yang melakukan tindak pidana
pencurian dengan kekerasan?
3. Apa yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan vonis
terhadap anak tindak pidana pencurian pemberatan pada (putusan
No.03/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn) ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Pada dasarnya tujuan adalah merupakan salah satu alasan penting bagi kita
dalam melakukan suatu pekerjaan, oleh sebab itulah perlu dirumuskan apakah
yang menjadi tujuan dari penulisan dan penyelesaian skripsi ini.
Adapun yang menjadi tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah :
a. Untuk mengetahui secara teori perbedaan unsur-unsur kejahatan jenis
tindak pidana pencurian, yaitu unsur-unsur tindak pidana pencurian
biasa dengan unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan pemberatan.
b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan bagi jaksa dalam membuat
tuntutan dan dasar hakim dalam pertimbangan bagi membuat putusan.
2. Manfaat Penelitian
Hasil dari pelaksanaan penelitian sudah selayaknya akan dapat bermanfaat
terkait dalam penulisan skripsi ini, untuk itu saya memaparkan tentang hal-hal
yang menurut saya akan memberikan manfaat dari hasil penelitian dan penulisan
skripsi ini, yaitu antara lain :
a. Manfaat Teoritis
Diharapkan agar kiranya hasil dari penelitian ini dapat menyumbangkan
pemikiran di bidang hukum, khususnya dalam disiplin ilmu hukum
pidana mengenai kejahatan pencurian yang dilakukan pada waktu
malam hari.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat
bagi seluruh pengambil kebijakan dan para pelaksana hukum di bidang
hukum pidana, khususnya mengenai kejahatan pencurian dengan
kekerasan, dengan mengetahui unsur-unsur tindak pidana pencurian
serta dasar pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan.
D. Keaslian Penulisan
Proses penulisan skripsi berjudul “Tindak Pidana Membantu melakukan Pencurian Dengan Kekerasan oleh Anak di bawah Umur’’ terhadap perkara kasus
Pencurian dengan Kekerasan Pasal ini, sejauh pengamatan dan pengetahuan
penulis tentang materi yang diangkat dalam skripsi ini, belum ada penulis lain
yang mengemukakannya, sehingga saya tertarik untuk mengangkat judul tersebut
serta pokok permasalahannya sebagai judul dan pembahasan yang akan diangkat
dan dikembangkan dalam skripsi ini. Apabila di kemudian hari ada judul yang
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Tindak Pidana
Kata strafbaarfeit diterjemahkan dalam berbagai terjemahan dalam bahasa
indonesia. Beberapa kata yang digunakan untuk menterjemahkan kata strafbaarfeit
oleh sarjana-sarjana Indonesia antara lain : tindak pidana, delik, perbuatan pidana.
Sementara dalam berbagai perundang-undangan sendiri digunakan berbagai
istilah untuk menunjuk pada pengertian kata strafbaarfeit.8
Istilah yang digunakan dalam undang-undang di atas antara lain :
1. Peristiwa pidana, istilah ini antara lain digunakan dalam
Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 khususnya dalam Pasal 14.
2. Perbuatan pidana, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1951 tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan
kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil.
3. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, istilah ini digunakan dalam
Undang-Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1951 tentang Perubahan
Ordonantie Tijdelijke Byzondere Strafbepalingen
4. Hal yang diancam dengan hukum, istilah ini digunakan dalam
Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan.
5. Tindak pidana, istilah ini digunakan dalam berbagai undang-undang,
misalnya :
a. Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan
Umum
b. Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang
pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi.
c. Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1964 tentang Kewajiban Kerja
Bakti Dalam Rangka Pemasyarakatan bagi Terpidana karena
melakukan tindak pidana yang merupakan kejahatan.9
Istilah tindak pidana menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah laku
dan gerak-gerik jasmani seseorang. Hal-hal tersebut terdapat juga seseorang untuk
tidak berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak
pidana. Oleh karena itu, setelah melihat berbagai definisi diatas, maka dapat
diambil kesimpulan bahwa yang disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan
yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, dimana pengertian
perbuatan disini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang
sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat
sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).10
Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih mendalam dari
tindak pidana itu sendiri, maka didalam tindak pidana tersebut terdapat
unsur-unsur tindak pidana, yaitu :
a. Unsur objektif
9Ibid., halaman 102
Unsur yang terdapat diluar si pelaku. Unsur-unsur yang ada hubungannya
dengan keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan di mana tindakan-tindakan si
pelaku itu harus dilakukan. Terdiri dari :
- Sifat melanggar hukum
- Kualitas dari si pelaku
- Kausalitas
Yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu
kenyataan sebagai akibat.
b. Unsur subjektif
Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang
dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang
terkandung di dalam hatinya.
Unsur ini terdiri dari :
- Kesengajaaan atau ketidaksengajaan
- Maksut pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam Pasal 53 ayat
(1) KUHP
- Macam-macam maksut seperti terdapat dalam kejahatan-kejahatan
pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya
- Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam Pasal 340
KUHP, yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu
- Perasaan takut seperti terdapat di dalam pasal 308 KUHP.11
2. Pengertian Membantu Melakukan
Penyertaan adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta
/terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengan
melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana.
Orang-orang yang terlibat dalam kerja sama yang mewujudkan tindak pidana,
perbuatan masing-masing dari mereka berbeda satu dengan yang lain, demikian
juga bisa tidak sama apa yang ada dalam sikap batin mereka terhadap tindak
pidana maupun terhadap peserta yang lain. Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang
ada pada masing-masing itu terjalinlah suatu hubungan yang demikian rupa
eratnya, dimana perbuatan oleh yang satu menunjang perbuatan oleh yang lainnya
yang semuanya mengarah pada satu terwujudnya tindak pidana.12
Pembagian “Peserta” inilah yang dipergunakan KUHPidana, ialah :
a. Pasal 55 KUHPidana ayat (2) menyebutkan “peristiwa pidana”, jadi baik kejahatan maupun pelanggaran.
1) Yang melakukan (pleger)
Ia sendiri telah berbuat dan perbuatan itu memenuhi unsur-unsur dari
delik yang bersangkutan.
2) Yang menyuruh melakukan (doen pleger)
Minimal ada 2 orang yaitu menyuruh melakukan dan yang disuruh
melakukan. Jadi bukan orang itu sendiri yang melakukan suatu delik,
melainkan ia menyuruh orang lain, walaupun demikian tetap
dipandang dan dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri. Agar
supaya masuk dalam pengertian “menyuruh melakukan” maka orang yang disuruh itu harus hanya merupakan alat saja, maksutnya ia tidak
dapat dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya.
3) Yang turut melakukan (medepleger), yang berarti “bersama-sama melakukan”, jadi sedikit-dikitnya harus ada dua orang ialah yang
melakukan dan turut melakukan.
4) Yang membujuk (uitlokker), minimal 2 orang, yaitu yang membujuk
dan yang dibujuk. Dan caranya membujuk harus dengan jalan seperti
yang tercantum dalam pasal 55 ayat (1) 2e KUHPidana dan tidak
boleh dengan cara lainnya
b. Pasal 56 :
Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan :
1) Barang siapa dengan membantu melakukan kejahatan itu.
2) Barang siapa dengan sengaja memberi kesempatan, dan upaya atau
keterangan untuk melakukan kejahatan itu.13
Pelajaran umum “Turut Serta” termasuk diatas dibuat untuk menuntut
pertanggungjawaban mereka yang memungkinkan pembuat melakukan suatu
delik, walaupun perbuatannya sendiri tidak memuat semua unsur delik tersebut.
Menurut pendapat VAN HATTUM, pasal 55 dan 56 KUHPidana itu memuat
ketentuan-ketentuan yang memperluas lingkungan orang-orang yang
bertanggungjawab menurut Hukum Pidana atas terjadinya atau percobaan
melakukan suatu delik yang unsur-unsurnya disebut dalam Undang-Undang
Pidana. Seseorang dapat dipersalahkan membantu melakukan jika ia sengaja
memberikan bantuan tersebut dan waktu atau sebelum delik itu dilakukan.14
Pertimbangan bahwa pembantu pembuat itu bukan pembuat dalam suatu
perbuatan pidana, yaitu bahwa peranannya jauh lebih santun dibandingkan dengan
semua peserta lainnya. Kedudukan yang lebih menguntungkan diri si pembantu
pembuat terungkap dalam pengurangan maksimum pidana dan dalam ketentuan
bahwa pembantuan dalam pelanggaran-pelanggaran tak dapat dipidana.15
Tetapi apakah yang membedakan peranan pembantu pembuat dari peranan
peserta-peserta lainnya, sehingga kedudukan yang menguntungkan itu dibenarkan/
Bagaimanapun juga, adalah pasti bahwa prakarsa si pembuat harus sudah ada
pada saat si pembantu pembuat dalam tahap pembuatan rencana-rencana atau
dalam tahap pelaksanaannya tercampur dalam perkara. Oleh karena itu
pembantuan itu secara singkat dapat didefinisikan sebagai kalau diminta,
memberikan bantuan pada atau, dalam suatu bentuk tertentu yang ditetapkan oleh
undang-undang, supaya orang lain dapat berbuat kejahatan. Dalam hal ini si
pembantu pembuat berdiri sendiri, yaitu semua peserta lainnya, jadi yang tersebut
pada 2, 3 dan 4 telah mengambil prakarsa sendiri.16
3. Pengertian Kejahatan
Salah satu persoalan yang sering muncul ke permukaan dalam kehidupan
Kejahatan merupakan suatu fenomena yang komplek yang dapat dipahami dari
berbagai sisi yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita menangkap
14Ibid., halaman 118
berbagai komentar tentang suatu peristiwa kejahatan yang berbeda satu dengan
yang lain.17
Dalam pengalaman kita ternyata tak mudah untuk memahami kejahatan itu
sendiri. Usaha memahami kejahatan ini sebenarnya telah berabad-abad lalu
dipikirkan oleh para ilmuan terkenal. Plato misalnya menyatakan dalam bukunya
‘Republik’ menyatakan antara lain bahwa emas, manusia adalah merupakan
sumber dari banyak kejahatan. Sementara Aristoteles menyatakan bahwa
kemiskinan menimbulkan kejahatan dan pemberontakan. Kejahatan yang besar
tidak diperbuat untuk memperoleh apa yang perlu untuk hidup, tetapi untuk
kemewahan. Thomas Aquino memberikan beberapa pendapatnya tentang
pengaruh kemiskinan atas kejahatan. Orang kaya yang hidup untuk kesenangan
dan memboros-boroskan kekayaannya, jika suatu kali jatuh miskin, mudah
menjadi pencuri.18
Pada dasarnya istilah kejahatan ini diberikan kepada suatu jenis perbuatan
atau tingkah laku manusia tertentu yang dapat dinilai sebagai perbuatan jahat.
Kejahatan ditinjau dari sudut yuridis, merupakan jenis-jenis kejahatan yang sudah
definitif atau menimbulkan akibat hukum karena unsur deliknya. Maksutnya telah
ditentukan secara tertentu dalam suatu ketentuan Undang-Undang bahwa
perbuatan jenis-jenis tertentu dianggap sebagai perbuatan jahat, dengan kata lain
17 Topo Santoso, Eva Achjani Zulva, Kriminologi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, halaman 1
dalam norma hukum tertentu dalam suatu masyarakat telah ditetapkan berbagai
jenis perbuatan yang merupakan kejahatan.19
Pengertian kejahatan dalam hukum pidana menganut asas legalitas,
maksutnya kejahatan pidana harus ditentukan oleh suatu aturan Undang-Undang
yang definitif. Kejahatan adalah delik hukum, dan pelanggaran merupakan delik
Undang-Undang. Menurut beberapa ahli hukum, pengertian kejahatan adalah :
a. Paul Mudikdo Muliono menyatakan bahwa kejahatan adalah
perbuatan manusia yang merupakan pelanggaran norma, yang dirasa
merugikan, menjengkelkan, sehingga tidak boleh dibiarkan.
b. W. A. Bonger menyatakan bahwa kejahatan adalah merupakan
perbuatan yang immoral dan asosial yang tidak dikehendaki oleh
masyarakat dan harus dihukum oleh masyarakat.
c. Utrecht mengemukakan bahwa kejahatan adalah perbuatan karena
sifatnya bertentangan dengan ketertiban hukum, sedangkan
pelanggaran adalah perbuatan yang oleh undang-undang dicap sebagai
suatu perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban hukum.20
4. Pengertian Anak
Berbicara mengenai anak adalah sangat penting karena anak merupakan
potensi nasib manusia hari mendatang, dialah yang ikut berperan menentukan
sejarah bangsa sekaligus cermin sikap hidup bangsa pada masa mendatang.
Sistem penilaian anak-anak ini dengan bantuan usaha pendidikan harus bisa
dikaitkan atau disesuaikan dengan sistem penilaian manusia dewasa. Namun
19 Chainur Arrasjid, Suatu Pemikiran tentang Psikologi Kriminil, Kelompok Study Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 1998, halaman 28
demikian adalah salah apabila menerapkan kadar nilai orang dewasa pada diri
anak-anak. Untuk memudahkan dalam mengerti tentang anak dan menghindari
salah penerapan kadar penilaian orang dewasa kepada anak, maka perlu diketahui
bagaimana pertumbuhan dan perkembangan anak.
Adapun proses perkembangan anak terdiri dari beberapa fase pertumbuhan
yang bisa digolongkan berdasarkan pada paralelitas perkembangan jasmani anak
dengan perkembangan jiwa anak. Penggolongan tersebut dibagi ke dalam 3 (tiga)
fase, yaitu :
1. Fase pertama adalah dimulainya pada usia anak 0 tahun sampai dengan 7
(tujuh) tahun yang bisa disebut sebagai masa anak kecil dan masa
perkembangan kemampuan mental.
2. Fase kedua adalah dimulai pada usia 7-14 tahun disebut sebagai masa
kanak-kanak, dimana dapat digolongkan ke dalam 2 periode, yaitu :
a. Masa anak sekolah dasar mulai dari usia 7-12 tahun adalah periode
intelektual. Periode intelektual ini adalah masa belajar awal dimulai
dengan memasuki masyarakat di luar keluarga, yaitu lingkungan
sekolah kemudian teori pengamatan anak dan hidupnya perasaan,
kemauan serta kemampuan anak dalam berbagai macam potensi.
b. Masa remaja/pra-pubertas atau pubertas awal. Pada periode ini,
terdapat kematangan fungsi jasmaniah ditandai dengan
berkembangnya tenaga fisik yang melimpah-limpah yang
menyebabkan tingkah laku anak kelihatan kasar, canggung, berandal,
3. Fase ketiga adalah dimulai pada usia 14-21 tahun, yang dinamakan masa
remaja, dalam arti sebenarnya yaitu fase pubertas, dimana terdapat masa
penghubung dan masa peralihan dari anak menjadi orang dewasa. Masa
remaja pubertas bisa dibagi dalam 4 (empat) fase, yaitu :
a. Masa awal pubertas, disebut pula sebagai masa pra pubertas
b. Masa menentang kedua, fase negatif
c. Masa pubertas sebenarnya, mulai kurang lebih 14 tahun. Masa
pubertas pada anak wanita pada umumnya berlangsung lebih awal dari
pada masa pubertas anak laki-laki
d. Fase adolescence, mulai kurang lebih usia 17 tahun sampai sekitar
19-21 tahun.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012
tentang sitem Peradilan Pidana Anak secara umum dikatakan, Anak adalah anak
yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan
anak yang menjadi saksi pidana. Anak yang berkonflik dengan hukum selanjutnya
disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum
berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.21
Anak perlu mendapat perlindungan dari dampak negatif perkembangan
pembangunan yang cepat, arus globalisasi dibidang komunikasi dan informasi,
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perubahan gaya dan cara hidup
sebagian orang tua yang telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam
kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak.
Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan
oleh anak, antara lain disebabkan oleh faktor di luar diri anak tersebut.
5. Pengertian Hakim Anak
Hakim Anak adalah hakim yang khusus ditetapkan sebagai hakim anak,
baik di tingkat Pertama (Pengadilan Negeri), Tingkat Banding (Pengadilan
Tinggi), dan Tingkat Kasasi (Mahkamah Agung). Pada Tingkat Pertama, Hakim
Anak ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul
Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi.22
Untuk menjadi Hakim Anak, harus memenuhi syarat-syarat berdasarkan
undang-undang (Pasal 10 ayat (2) UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
yaitu :
a. Telah berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum
b. Mempunyai minat, dedikasi, dan memahami masalah anak.23
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa hakim yang memeriksa
dan mengadili perkara anak adalah Hakim Tunggal, namun dalam hal tertentu
Ketua Pengadilan Negeri dapat menunjuk Hakim Majelis apabila ancaman pidana
atas tindak pidana yang dilakukan anak yang bersangkutan lebih dari 5 (lima)
tahun dan sulit pembuktiannya.
22 Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, halaman 113
6. Pertanggungjawaban Pidana
Pada bagian terdahulu telah dijelaskan bahwa pengertian perbuatan pidana
tidak termasuk pengertian pertanggungjawaban pidana. Perbuatan pidana hanya
menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu ancaman
pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian dijatuhi pidana,
tergantung apakah dalam melakukan perbuatan itu orang tersebut memiliki
kesalahan. Dengan demikian, membicarakan pertanggungjawaban pidana mau
tidak mau harus didahului dengan penjelasan tentang perbuatan pidana. Sebab
seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana tanpa terlebih dahulu ia
melakukan perbuatan pidana. Tidak adil rasanya jika tiba-tiba seseorang harus
bertanggungjawab atas suatu tindakan, sedang ia sendiri tidak melakukan tindakan
tersebut.24
Dalam hukum pidana konsep “pertanggungjawaban” itu merupakan
konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran
kesalahan dikenal dengan istilah mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada
suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran
orang itu jahat.25
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika
telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah
ditentukan oleh udang-undang. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab
maka hanya orang yang mampu bertanggungjawab yang dapat diminta
pertanggungjawaban.
24 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2011, halaman 155
Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang
objektif yang ada pada perbuatan pidana secara subjektif yang ada memenuhi
syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan
pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah
asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana
jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. Kapan
seseorang dikatakan mempunyai kesalahan menyangkut masalah
pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana adalah
pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya,
yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya.
Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pida pada hakikatnya merupakan
suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap
pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kesalahan
merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memidana seseorang. Tanpa itu,
pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada. Makanya tidak heran jika
dalam hukum pidana dikenal asas “tiada pidana tanpa kesalahan”. Asas kesalahan
ini merupakan asas yang fundamental dalam hukum pidana, demikian
fundamentalnya asas tersebut.
Sehubungan dengan kemampuan bertanggungjawab ini, dalam
menentukan apakah seseorang itu salah atau tidak, menurut hukum ditentukan
1. keadaan batin orang yang melakukan itu, erat berkait dengan
kemampuan bertanggungjawab. Yang dimaksutkan dengan keadaan
batin orang yang melakukan perbuatan ialah apabila pelaku tidak
menyadari bahwa perbuatannya itu merupakan perbuatan yang dilarang
oleh undang-undang.
2. Adanya hubungan batin antara pelaku dengan perbuatan yang
dilakukannya. Yang dimaksutkan dengan hubungan batin antara pelaku
dengan perbuatan yang dilakukannya itu dapat berupakesengajaan,
kealpaan/kelalaian.
3. Tidak adanya alasan pemaaf. Yang dimaksutkan dengan alasan pemaaf
ialah dalam hal misalnya pembelaan diri dalam hal melampaui batas.26
F. Metode penelitian
1. Spesifikasi penelitian
Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian
hukum normatif terdiri dari :
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum.
Penelitian terhadap asas-asas hukum ini seperti misalnya penelitian
terhadap hukum positif yang tertulis atau penelitian terhadap
kaidah-kaidah hukum yang hidup dalam masyarakat.
b. Penelitian terhadap sistem hukum.
Penelitian terhadap sistem hukum dapat dilakukan pada
perundang-undangan tertentu ataupun hukum tercatat. Tujuan pokoknya adalah
untuk mengadakan identifikasi terhadap pengertian-pengertian
pokok/dasar dalam hukum, yakni masyarakat hukum, subyek hukum,
hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum dan objek
hukum. Penelitian ini sangat penting oleh karena masing-masing
pengertian pokok / dasar mempunyai arti tertentu dalam kehidupan
hukum.
c. Penelitian sinkronisasi hukum.
Penelitian terhadap sinkronisasi baik vertikal maupun horizontal, maka
yang diteliti adalah sampai sejauh manakah hukum positif tertulis yang
ada serasi. Hal ini dapat ditinjau secara vertikal, yakni apakah peraturan
perundang-undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu
tidak saling bertentangan, apabila dilihat dari sudut hirarki
perundang-undangan tersebut, sedang apabila dilakukan penelitian taraf
sinkronisasi secara horizontal, maka yang ditinjau adalah
perundang-undangan yang sederajat yang mengatur bidang yang sama.
d. Penelitian terhadap sejarah hukum.
Penelitian terhadap sejarah hukum merupakan penelitian yang lebih
dititik beratkan pada perkembangan-perkembangan hukum. Biasanya
dalam perkembangan demikian, pada setiap analisa yang dilakukan
akan menggunakan perbandingan-perbandingan terhadap satu atau
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji
penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif mengenai
pengaturan anak dalam suatu tindak pidana dari perspektif Undang-Undang No.
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Hal ini ditempuh dengan
melakukan penelitian kepustakaan.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan
dengan mempelajari berbagai literatur yang berhubungan dengan objek penelitian
dan melakukan penelitian terhadap putusan yang dibuat oleh hakim di Pengadilan
Negeri Medan. Putusan pengadilan yang menjadi isu hukum yang dihadapi
tersebut merupakan bahan hukum primer yang dirujuk oleh peneliti hukum.
4. Analisis Data
Pada penulisan skripsi ini, analisis data yang digunakan adalah dengan
cara kualitatif, Dari penelitian tersebut diatas, kemudian dapat memenuhi
pembahasan skripsi ini secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari fakta yang
bersifat representatif (sesungguhnya, nyata, sesuai keadaan).
G. Sistematika Penulisan
Sistematikan penulisan dalam skripsi ini terdiri dari 5 bab, yaitu sebagai
berikut :
BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang berisikan latar belakang,
kepustakaan (yang terdiri dari Pengertian Tindak Pidana, Pengertian Membantu
Melakukan, Pengertian Kejahatan, Pengertian Anak, Pengertian Hakim Anak,
Pertanggungjawaban Pidana), metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Merupakan bab yang membahas anak sebagai pelaku tindak
pidana pencurian dengan kekerasan (yang terdiri dari pengertian restoratif justice
dan diversi menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem
peradilan pidana anak, pengaturan lembaga pemasyarakatan anak, dan faktor
penyebab timbulnya kenakalan anak).
BAB III : Merupakan bab yang membahas pengaturan tentang tindak
pidana pencurian dengan kekerasan (dalam kasus yang terdapat dalam putusan PN
Medan No. 03/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn).
BAB IV : Merupakan bab yang membahas studi putusan dengan melakukan
analisis hukum terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang berisi
kasus posisi ( yang terdiri dari dakwaan, fakta-fakta hukum, putusan pengadilan
negeri), dan pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana pada putusan No.
03/Pid.Sus-Anak/2014/PN.Mdn