• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANAH LOTRE DI KELURAHAN PAJANG SURAKARTA TAHUN 1951-1972 DALAM TINJAUAN HISTORIS DAN SOSIOLOGIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TANAH LOTRE DI KELURAHAN PAJANG SURAKARTA TAHUN 1951-1972 DALAM TINJAUAN HISTORIS DAN SOSIOLOGIS"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

SURAKARTA TAHUN 1951-1972 DALAM TINJAUAN

HISTORIS DAN SOSIOLOGIS

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Ilmu Sejarah

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh AGUNG ANDRI S

C.0507004

ILMU SEJARAH

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

commit to user

(3)

commit to user

(4)

commit to user

(5)

commit to user

v

Hari ini lebih baik daripada hari kemaren, hari kemaren dijadikan suatu pelajaran

untuk melangkah menuju hari esok

Do the best be the best god take the rest

“Seorang faqih (ahli ilmu agama) lebih ditakuti syetan daripada seribu ahli ibadah

(6)

commit to user

vi

Skripsi ini ku persembahkan untuk:

(7)

commit to user

vii

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana pada Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Dalam pelaksanaannya, skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik dorongan, bimbingan, dan pengarahan yang diberikan. Untuk itu sudah sepantasnya penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Drs. Riyadi Santosa, M.Ed, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah memberikan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini. 2. Dra. Sawitri Pri Prabawati, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah

Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah memberikan pengetahuan dan pengarahan kepada penulis.

3. Dra. Sri Wahyuningsih, M. Hum, selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah memberikan pengarahan kepada penulis.

4. Tiwuk Kusuma Hastuti,S.S, M.Hum, selaku dosen pembiming akademik dan pembimbing skripsi ini. Terima kasih atas bimbingan dan kesabaran yang telah diberikan.

5. Kepada dosen penguji yang telah meluangkan waktu untuk menguji skripsi penulis.

6. Segenap Dosen di Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis.

7. Bapak, (Almh) Ibu, Andi Purwanto, S.E dan Wiwik Widyawati, S.P serta Faustine yang selalu memberikan kasih sayang dan semangat dengan tulus ikhlas serta doa yang tak pernah putus kepada penulis.

(8)

commit to user

(9)

commit to user

BAB II STRUKTUR PEMILIKAN TANAH DI KELURAHAN PAJANG SEBELUM TAHUN 1951 A. Kondisi Geografis Kelurahan Pajang... 17

(10)

commit to user

x

2. Sistem Penguasaan Tanah di Pajang Pada Masa Pendudukan

Jepang ... 33

3. Sistem Penguasaan Tanah di Pajang Setelah Kemerdekaan Hingga Tahun 1950 ... 35

BAB III PEMBAGIAN TANAH NEGARA BERDASARKAN LOTRE DI KELURAHAN PAJANG TAHUN 1951-1952 A. Konfersi Tanah Negara Menjadi Tanah Milik Individu ... 41

B. Proses Pembagian Tanah Secara Lotre di Kelurahan Pajang ... 55

C. Dampak Sistem Lotre Terhadap Masyarakat ... 64

1. Dampak Sosial Terhadap Masyarakat yang Mendapatkan Tanah Lotre ... 64

2. Dampak Ekonomi Terhadap Rakyat yang Mendapatkan Tanah Lotre ... 68

BAB IV PROSES KEPEMILIKAN TANAH LOTRE DI KELURAHAN PAJANG TAHUN 1953-1972 A. Pemilikan Tanah Lotre Tahun 1953 hingga 1972 di Kelurahan Pajang ... 70

1. Pemanfaatan Dan Penguasaan Tanah Lotre ... 70

2. Proses Pendaftaran Tanah Lotre ... 79

B. Jual Beli Tanah Lotre ... 90

BAB V KESIMPULAN ... 96

DAFTAR PUSTAKA ... 98

DAFTAR NARASUMBER ... 102

(11)

commit to user

xi

Tabel 1. Pendudukan tanah perkebunan oleh rakyat ... 37 Tabel 2 Tentang tanah konversi di Vorstenladen Surakarta

dan Yogyakarta………. ... 45 Tabel 3 Tentang beberapa nama dan luas tanah yang menerima

(12)

commit to user

xii

Apanage : Tanah yang dipinjamkan kepada para

sentono selama mereka memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan raja

Bekel : Petani penghubung antara pemilik atau penguasa tanah dengan penggarap tanah.

Panganga : Ladang

Bau : Satauan hitungan luas tanah masa kerajaan

Tanah Lungguh : Tanah untukm gaji pegawi istana

Taker Turun :Permintaan para patuh

Raja pundut : Permintaan raja

Uba rampe : Perlengkapan

Hereendiensten : wajib menjalankan Rodi

Kerigan : Kerja wajib untuk membangun jembatan, jalan

Gugur gunung : Kerja wajib untuk memperbaiki infrastruktur desa yang disebabkan bencana alam

Cultuurdiensten : Kerja wajib di perkebunan

Pamajegan : Pajak

Narapraja : Pegawi Kerajaan

gladak : Daerah depan dari alun-alun utara kerajaan Surakarta

Swapraja : Daerah kerajaan seperti Kasunanan dan Mangkunegaran

Sikep : Petani pemilik sawah atau pekarangan

(13)

commit to user

xiii

Maro : Setengah

Mertelu : Sepertiga

Mrapat : Seperempat

Domein Verklaring : Hak milik

Gouvernements ordonantie : Peraturan Pemerintah

Anggaduh : Pinjaman sementara

Andarbe : Milik

Onderneming : Perkebunan asing

Komunal : Hak milik

Statement : Pernyataan

Conversi besluit : Hak milik komunal

Landhuur reglement : Hak sewa perkebunan

Ordonansi : Peraturan dalm perkebunan

Hypotheek : Hak kebendaan atas benda yang tak bergerak

(14)

commit to user

xiv

UUPA : Undang-Undang Pokok Agraria UUD 1945 : Undanng-Undang Dasar 1945 VDR : Vorstenlandsh Grondhuur Reglement

KUHS : Kitab Undang-undang Perdata (Sipil) PPKI : Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia DEPAG : Departemen Agraria

PKI : Partai Komunis Indonesia

PPTP : Pajak Penghasilan atas Tanah Pertanian PTMI : Pendaftaran Tanah Milik Indonesia

PERPU : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang DIT-IPEDA : Direktorat Iuran Pembangunan Daerah

PHB : Pajak Hasil Bumi

IPEDA : Iuran Pembangunan Daerah KEPRES : Keputusan Presiden

PP : Peraturan Pemerintah

PPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah

(15)

commit to user

xv

Lampiran 1 Surat Pengajuan Permohanan Hak Milik/Guna Bangunan/Pakai Kepada Direktorat Agraria Propinsi Jawa Tenggah Melalui Sub Direktorat Agraria Kotamadya Surakarta ... 105 Lampiran 2 Sertifikat Tanah Jitnowidjo ... 108 Lampiran 3 Surat Ketetapan Iuran Pembangunan Daerah dari Tahun 1967

hingga 1973 ... 110 Lampiran 4 Surat tentang Daftar Nama dan Gambaran Kasar Para Pemohon

Penyelesian Hak Milik Kepada Walikota Surakarta ... 116 Lampiran 5 Daftar Nama dan Gambar Para Pemohon Hak Milik ... 117 Lampiran 6 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 10 Tahun 1961

tentang Pendaftaran Tanah ... 143 Lampiran 7 Bagan Alir Preoses Permohonan Hak Milik ... 158 Lampiran 8 Surat Politik Tanah dalam Pembangunan Kota Kepada

(16)

commit to user

xvi

AGUNG ANDRI SAPUTRO. C.0507004. 2012. Tanah Lotre di Kelurahan Pajang Surakarta tahun 1951-1972 dalam Tinjauan Historis dan Sosiologis. Skripsi: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian Tanah Lotre di Kelurahan Pajang Surakarta tahun 1951-1972 dalam Tinjauan Historis dan Sosiologis ini bertujuan:1) Mengetahui stuktur pemilikan tanah di Kelurahan Pajang sebelum tahun 1951. 2) Mengetahui sistem pembagian tanah Negara berdasarkan Lotre di kelurahan Pajang tahuan 1951-1952. 3) Mengetahui proses kepemilikan tanah Lotre di kelurahan Pajang tahun 1951-1972

Penelitian menggunakan metode yaitu heuristik (pengumpulan sumber), kritik (intern dan ekstern), interpretasi (penafsiran), dan historiografi. Sumber penelitian dikumpulkan melalui studi dokumen, arsip, dan wawancara dengan para pelaku sejarah. Sumber primer yang digunakan antara lain wawancara dengan penerima tanah lotre tersebut yang masih hidup, arsip instansi pemerintah dan arsip pribadi sezaman. Adapun sumber skunder yang digunakan antara lain, buku-buku referensi, artikel, serta penelitian terdahulu yang berkaitan dengan tema penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis. Data-data yang terkumpul dianalisis kemudian disajikan dalam bentuk tulisan yang melukiskan suatu keadaan berdasarkan fakta-fakta yang telah terjadi dan tersedia. Analisa data ini diperoleh dari dokumen, studi pustaka, dan wawancara, lalu disusun dalam sebuah historiografi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setelah bangsa Indonesia merdeka terjadi perubahan yang besar. Salah satu perubahan yang terjadi yaitu tentang sistem agraria di Indonesia. Momentum kemerdakan dimanfaatkan rakyat untuk mengambil tanah-tanah meraka yang dikuasai oleh bangsa asing. Menghidari pengambilan tanah secara bebas pemerintah melakukan konversi tanah bekas asing atau tanah-tanah kosong menjadi tanah Negara. Pada tanggal 15 juli 1946 adanya penetapan pemerintah tentang penghapusan swapraja di daerah Surakarta maka semua tanah-tanah yang berada diluar dari wilayah dalam kraton statusnya telah berubah menjadi tanah Negara Republik Indonesia. Tanah Negara di daerah Pajang di manfaatkan oleh rakyat atas ijin dari kelurahan setempat.

(17)

commit to user

xvii

AGUNG ANDRI SAPUTRO. C.0507004. 2012. Lottery land in the Village Display 1951-1972 Surakarta in Historical and Sociological Review. Script: Department of History, Faculty of Literature and Fine Arts, University of Sebelas Maret Surakarta.

Research the Lottery Land in the Pajang Village Surakarta in 1951 -1972. Review in the Historical and Sociological for the aims: 1.) Knowing the structure of land ownership in the Village Display before 1951. 2.) Knowing the system of land distribution by the State Lottery in the Village Display 1951 -1972. 3.) Knowing the process of Lottery land ownership in the Pajang Village in 1951-1972.

Research using the heuristic method (collecting sources), criticism (internal and external), interpretation (interpretation), and historiography. Sources was gathered through the study of documents, archives, and interviews with the actors of history. Primary sources used an interviews with land lottery recipient is still alive, government archives and private archives a day. The secondary sources used, among other things, reference books, articles, and previous studies related to research themes. This research is descriptive analysis. The collected data were analyzed and presented in written form that describes in the condition based on facts that have occurred and available. Analysis of this data is obtained from documents, literature, and interviews, then arranged in a historiography.

These results indicate that after Indonesia became independent nation great changes. One of the changes that occur on the agrarian system in Indonesia. The momentum of freedom of the people used to take their lands controlled by foreign nations. Avoid making the land freely, to the convention of ex-government, foreign or vacant land into state land. On 15 July 1946 on the elimination of the establishment of autonomous government in the Surakarta area then all the lands that are outside of the palace in a state in the region has turned into the soil of the Republic of Indonesia. State land in the area Pajang used by people with permission from the local village.

(18)

commit to user

BAB IV

PROSES KEPEMILIKAN TANAH LOTRE DI KELURAHAN

PAJANG TAHUN 1953-1972

A.

Pemilikan Tanah Lotre

Tahun 1953 Hingga 1972 di Kelurahan

Pajang

1. Pemanfaat dan Penguasaan tanah lotre

Setelah adanya pembagian tanah lotre terjadi perubahan sistem penguasaan tanah, tanah-tanah tersebut berawal dari perubahan dari milik Negara menjadi milik individual atau milik perorangan. Walaupun diberikan tanah secara gratis masyarakat tetap dikenakan biaya untuk membayar pajak terhadap pemerintah setiap tanah luas tanah yang diberikan. Saat masyarakat menerima tanah tersebut kondisi perekonomian Indonesia sedang tidak stabil sehingga dalam pemanfaat tanah-tanah lotre tersebut berbeda-beda. Sebagian masyarakat ada yang langsung mendirikan bangunan yang sederhana, namun adapula yang tidak langung mendirikan bangunan melainkan memanfaatkan tanah untuk berkebun.1 Selama penerimaan hingga adanya UUPA tanah-tanah yang diberikan kepada rakyat tidak mengalami kendala-kendala dalam proses pemanfaatannya dan penerimaan tanah-tanah tersebut.

1

Data diolah dari Wawancara dengan Margono tanggal 25 Maret 2012

(19)

commit to user

Pada masa Nasionalisasi tahun 1957-1959 pemerintah Republik melakukan pengambilan kembali aset-aset Republik yang dikuasai oleh Belanda. Perusahaan-perusahaan asing serta perkebunan-perkebunan asing yang diutamakan untuk dinasionalisasikan menjadi aset Republik Indonesia. Nasionalisasi disini berarti bahwa bukan menyita atau merampok melainkan untuk menguasai dan kemudian dibayar atau diganti kerugian. Pada masa ini segala aset-aset pemerintah Kolonial maupun partikelir-partikelir Kolonial diambil alih untuk dikuasai oleh pemerintah Republik. Di masa ini juga muncul masalah internal di dalam bangsa Indonesia yaitu adanya pemberontakan yang dilakukakan oleh gerakan-gerakan separatis. Kondisi tersebut mempengaruhi permasalahan agraria yang ada di Indonesia sehingga penyusunan undang-undang agraria mengalami hambatan. Meskipun kondisi bangsa Indonesia mengalami gejolak-gejolak internal tidak mempengaruhi penguasaan tanah-tanah yang diberikan secara lotre.

Pembagian tanah secara lotre ini menyisakan beberapa lahan sisa tanah Negara yang telah dibagikan kepada rakyat. Tanah Negara yang masih tersisa kemudian oleh masyarakat di sekitar lahan tersebut untuk dimanfaatkan, namun berdasarkan ijin dari kelurahan.2 Pemanfaat lahan-lahan tersebut berlangsung hingga adanya UUPA tahun 1960. Sisa dari tanah Negara ini direncanakan untuk dibagikan kembali kepada rakyat hingga munculah Undang-Undang Pokok Agraria yang mengatur tentang redistribusi tanah. Pada Undang-Undang Pokok Agraria tersebut diatur tentang Redistribusi tanah yang dikhususkan pada para petani. Tanah Negara tersebut yang berada di daerah Pajang

2

(20)

commit to user

ini akan dibagikan setelah reditribusi tanah tahun 1961. Pembagian tanah Negara yang tersisa dari pembagian secara lotre tidak terlaksana disebabkan karena situasi politik tahun 1965 terjadi pemberontakan G 30 S/PKI atau disebut dengan Gestok. Situasi seperti itu menyebabkan pembagian tanah berhenti bahkan program redistribusi tanah juga terhenti.

Sejak terjadi kegoncangan-kegoncangan politik tahun 1965 yang berdampak dan mempengaruhi sistem penguasaan pemerintahan di Indonesia, yaitu peralihan dari masa orde lama ke orde baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto. Kondisi politik tersebut juga mempengaruhi sistem agraria di Indonesia. Melihat pengalaman dalam masa 1960-1965 sewaktu Partai Komunis Indonesia gigih mendorong pelaksanaan Landreform, mengakibatkan pemerintah orde baru lebih berhati-hati dalam menjaga stabilitas politik dengan ketat yang berefek memberikan status quo antara lapisan masyarakat daerah pedesaan.3

Pada masa orde baru permasalahan utama yang muncul adalah berawal dari tidak dilaksanakannya proses landreform secara tuntas setelah diterbitkanya UUPA. Hal ini dikarenakan permasalahan dan konstelasi politik nasional yang tidak kondusif dan tidak mungkin untuk melaksanakan hal tersebut.4 Kondisi tersebut juga berdampak pada tanah Negara di daerah Pajang yang seharusnya tanah tersebut dibagikan kepada rakyat namun tidak terlaksana. Pada masa orde baru UUPA seperti di peti es-kan, UUPA dianggap

3

Sediono M.P Tjondronegoro, Keping-Keping Sosiologi dari Pedesan, (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), hlm. 87.

4

(21)

commit to user

sebagai produk dari PKI sehingga tidak digunakan lagi walaupun sebenarnya UUPA bukan produk PKI, ketika itu PKI yang lebih gencar dalam pembentukan UUPA. Situasi tersebut menimbulkan banyak masalah tanah yang terjadi salah satunya yaitu penyerebotan tanah-tanah Negara.

Penyerobotan tanah (Occupatie Illegal) merupakan setiap perbuatan dengan nama apapun yang tujuannya dengan tanpa hak mengambil sebidang tanah yang telah dibebani suatu hak atas tanah orang lain, atau dengan kata lain menempati sebidang tanah tanpa suatu alasan hak (rechts titel) yang sah.5 Dalam hal ini yang dimaksud dengan alasan hak yaitu setiap hak baik yang diatur oleh undang-undang seperti hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha dan seterusnya atau hak-hak atas tanah yang diatur oleh hukum adat seperti hak gadai tanah, hak menumpang, hak usaha bagi hasil dan hak-hak lainnya yang bersifat sementara. Semua hak-hak atas tanah ini diatur oleh UUPA, karena dalam pengambilannya tanpa hak barang tentu mempunyai hak akan menuntut pengosongan tanahnya atau dengan ganti rugi.

Penyerobotan tanah sebenarnya sudah terjadi pada masa Kolonial namun jumlahnya tidak sebanyak atau seluas seperti pada masa kependudukan Jepang. Ketika masa kependudukan Jepang kebanyakan tanah-tanah yang diserobot oleh rakyat yaitu tanah-tanah perkebunan. Pada masa Jepang penyerobotan tanah-tanah oleh rakyat ini sebenarnya terjadi tanpa disadari oleh rakyat, maksudnya penyerobotan tanah oleh rakyat itupun terjadi karena ketidaktahuan rakyat yang membuka lahan pertanian di sekitar

5

(22)

commit to user

lahan perkebunaan yang sudah tidak terurus atau terlantarkan. Tanah-tanah seperti itu dimanfaatkan atau digunakan oleh rakyat tanpa seijin dari pemilik lahan tersebut. Pihak perkebunan sebagai pemilik lahan berusaha untuk mengambil kembali tanah-tanah perkebunan dari rakyat kemudian rakyat diwajibkan untuk membayar ganti rugi kepada pihak perkebunan. Pada masa kependudukan Jepang lahan-lahan perkebunan yang banyak di serobot oleh rakyat dan melibatkan banyak orang atau kelompok dalam melakukan penyerobotan lahan perkebunan.

(23)

commit to user

5.000,00.6 Adanya undang-undang tersebut mengurangi atau menghentikan terjadinya penyerobotan tanah, lahan-lahan perkebunan telah dikonversi menjadi milik Negara untuk melindungi dari penyerobatan tanah. Meskipun demikian pemerintah memberikan tanah kepada rakyat yaitu dengan adanya redistribusi tanah kepada rakyat agar rakyat memiliki tanah dan tidak melakukan penyerobotan tanah atau pemakaian tanah tanpa ijin. Pada masa setelah terjadinya pemberontakan PKI kondisi politik mulai mengalami perubahan serta terjadi perubahan kekuasaan, sehingga mempengaruhi sistem agraria yang telah ada. Kondisi tersebut menimbulkan penyerobotan tanah kembali terjadi. Tanah-tanah yang diserobot merupakan tanah Negara atau tanah kosong. Di daerah Pajang banyak lahan-lahan yang diserobat terutama tanah Negara yang dulunya akan dibagikan kepada rakyat tidak lepas dari penyerobatan tersebut. Penyerobotan tanah waktu itu dilakukkan para orang-orang yang memiliki kekuasaan seperti para kepala desa atau para lurah yang menjabat pada waktu itu.7 Pada waktu itu penguasa memanfaatkan kekuasaan untuk menguasai tanah-tanah kosong walapun tanah tesebut tanah Negara yang seharusnya dibagikan kepada rakyat. Pelaku penyerobotan saat itu bersifat individual bahkan rakyat tidak ada yang tidak berani untuk melakukan atau melaporkan hal tersebut. Penyerobotan tersebut dilakukan dengan cara menjadikan tanah tersebut sebagai milik mereka dan hal tersebut hanya bisa dilakukan oleh penguasa terutama oleh para lurah atau perangkat-perangkat yang ada di kelurahan. Masyarakat disekitar tanah

6

Bachsan Mustofa., op.cit., hlm.35

7

(24)

commit to user

tersebut hanya mengetahui tanah yang diserobot telah menjadi hak milik individual.8 Luas tanah Negara yang diserobat di daerah kampung Sidodadi seluas 800 m dan 600 m sedangkan di daerah Tunggul Sari sekitar luas hampir 1 ha. Kesemuanya dilakukan oleh para kepala dan pegawai pemerintah dalam hal ini kelurahan.9

Setelah tahun 1965 penguasaan tanah lotre mengalami perubahan tentang sistem agraria. Perubahan tersebut terjadi pada sistem pajak yang ada termasuk pajak untuk tanah lotre.Sejak awal abad 19, pada zaman Kolonial pajak tanah diberlakukan pada saat Pulau Jawa diperintah oleh Inggris yang dipimpin Letnan Jenderal Raffles. Pajak tanah tersebut dinamakan Landrent, yang artinya “sewa tanah”. Raffles meniru sistem pajak tanah yang ada di India. Ada 3 macam sistem pemungutan landrent yaitu :

a. Sistem zamindari atau zamindarars artinya landheer atau tuan tanah. Sistem ini mengenakan pajak tanah dengan suatu jumlah yang tetap pada kepada para tuan tanah. Pengenaan tarif pajak tersebut dengan dikenal dengan istilah “Permanent

Settlement”.

b. Sistem Pateedari atau Mauzawari merupakan sistem pajak bumi yang diberlakukan kepada desa yang dianggap sebagai satu kesatuan dengan kebijaksanaannya yang kemudian diserahkan kepada Kepala desa.

8

Data diolah dari wawancara dengan Parto tanggal 26 Desember 2011

9

(25)

commit to user

c. Sistem Rayatwari yaitu sistem pajak tanah atau bumi dikenakan berdasarkan pendapatan rata-rata dari tanah yang diusahakan oleh masing-masing petani.10

Pajak tanah diberlakukan di Pulau Jawa oleh Raffles pada tahun 1811 sampai dengan 1816. Landrent didasarkan pada suatu dalil bahwa “Semua tanah adalah milik Raja (souvereign), dan semua Kepala Desa dianggap sebagai “penyewa” (pachetrs). Oleh

karenanya mereka harus membayar “sewa tanah” (Landrent) dengan natura secara tetap. Ketika kekuasaan beralih pada Belanda, Landrent diubah menjadi “landrente”, sistem ini merubah sistem terdahulu dengan melakukan perubahan mengarah kepada keadilan dan kepentingan rakyat, yang berlangsung sampai dengan tahun 1942. Masa penjajahan Jepang tahun 1942 sampai tahun 1945, sistem pajak tanah yang dilaksanakan Belanda diambil alih sepenuhnya dan namanya diganti menjadi Pajak Tanah. Ketika bangsa Indonesia merdeka, pajak tanah diubah menjadi pajak bumi. Periode tahun 1945 sampai tahun 1951 untuk melaksanakan pajak bumi masih menggunakan cara lama yaitu:

a. Pajak Bumi di wilayah Negara Republik Indonesia dengan pusat pemerintahan di Yogyakarta dihapus, untuk wilayah federal pajak bumi terus berlaku.

b. Pajak Bumi di wilayah Negara Republik Indonesia dihapus dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1951. Hal ini disebabkan adanya desakan dari golongan yang dipimpin oleh Tauchid.

c. Desakan politik tersebut dikenal sebagai Mosi Tauchid, dan sebagai gantinya dikeluarkan pajak baru yaitu Pajak Penghasilan atas Tanah Pertanian (PPTP).11

10

(26)

commit to user

Tahun 1951 sampai tahun 1959, setelah dikeluarkannya UU. No. 14 tahun 1951 tentang Penghapusan Pajak Bumi di wilayah Negara Republik Indonesia, maka lahirlah Jawatan pendaftaran dan Pajak Penghasilan Tanah Milik Indonesia (P3TMI) yang bertugas melakukan pendaftaran atas tanah-tanah milik adat yang ada di Indonesia. P3TMI tugasnya hanya mengurus pendaftaran tanah saja, maka namanya diubah kembali menjadi jawatan Pendaftaran Tanah Milik Indonesia (PTMI) dan bertugas sama seperti sebelumnya ditambah dengan kewenangan untuk mengeluarkan Surat Pendaftaran sementara terhadap tanah milik yang sudah terdaftar.12

Tahun 1959 dengan adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) No. 11 tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi ( LN Th. 1959 Nomor 104. TLN. No. 1806) dengan Undang-Undang Nomor tahun 1 Tahun 1961 (LN Th. 1961 No.3 TLN No. 2124) telah ditetapkan menjadi Undang-Undang. Selanjutnya nama jawatan yang mengelola Pajak Hasil Bumi menjadi Direktorat Pajak Hasil Bumi. Dalam melaksanakannya dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Iuran Negara Nomor PMPPU 1-1-3 tanggal 29 Nopember 1965 yang menetapkan Direktorat pajak hasil Bumi diubah namanya menjadi Direktorat Iuran Pembangunan daerah (DIT-IPEDA). Pajak Hasil Bumi (PHB) menjadi Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA). Peraturan tersebut

11

http://www.penelitian elib unicom.ac.id, hlm 39 (diakses pada tanggal 5 juni 2012)

12

(27)

commit to user

diberlakukan pada tanah-tanah sektor pedesaan, perkotaan, perhutanan, perkebunan dan sektor pertambangan.13

Setelah ditetapkan iuran pembangunan daerah, maka tanah-tanah lotre tersebut juga diwajibkan untuk membayar iuran tersebut. Besarnya pembayaran tersebut berbeda seperti salah satu contoh dari pemilik tanah yang mendapatkan tanah secara lotre dikenakan biaya IPD pada tahun 1967 sebesar Rp 37,10, pada tahun 1968 biaya yang dikenakan sama pada tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp 37,10 dan pada tahun 1969 biaya yang dikenakan sebesar Rp 48,70 biaya lebih besar dari tahun sebelumnya disebabkan mengalami keterlambatan pembayaran, sehingga terkena denda sebesar 5%. Untuk pembayaran IPD pada tahun 1970 dan 1971 sebesar Rp 53,60. Pada tahun 1972 dan 1973 biaya yang dikenakan untuk pajak tersebut sebesar Rp 99,08.14 Pembayaran atau pelunasan IPEDA dilakukan lewat lurah atau kepala desa setempat. Ketika ada pemberitahuan hal-hal lain, lurah atau kepala desa wajib memberitahukannya seperlunya. Rata-rata biaya yang dikenakan hampir sama dengan penerima tanah lotre lainnya.

2. Proses pendaftaran tanah lotre

Ketika muncul Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1961 tentang pendaftaran tanah maka tanah-tanah di Indonesia belum terdaftar. Sebelum dikeluarkannya peraturan tentang pendaftaran tanah pada tahun 1960, pada tahun 1955 berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 55 Tahun 1955, Presiden Republik Indonesia membentuk

13 Ibid. 14

(28)

commit to user

Kementerian Agraria yang sederajat dengan kementerian lain dan dipimpin oleh Menteri Agraria. Adanya kepres tersebut tugas dari Kementerian Agraria adalah :

a. Mempersiapkan pembentukkan perundang-undangan agraria nasional;

b. Melaksanakan dan mengawasi perundang-undangan agraria pada umumnya serta memberi petunjuk tentang pelaksanaan agraria pada khususnya.

c. Menjalankan usaha untuk menyempurnakan kedudukan dan kepastian hak tanah bagi rakyat.15

Pendaftaran berasal dari kata cadaster (bahasa Belanda kadaster) suatu istilah teknis untuk suatu record (rekaman), menunjukan kepada luas, nilai dan kepemilikan atau atas hak yang terdapat di suatu bidang tanah. Cadaster adalah rekaman dari pada lahan-lahan, nilai dari tanah dan pemegang haknya dan untuk kepentingan perpajakan. Pendaftaran pada waktu itu yang dikenal hanyalah pendaftaran untuk hak-hak atas tanah yang tunduk kepada kitab Undang-Undang Hukum Perdata Barat. Ada juga orang-orang bumi putera yang mempunyai hak-hak atas tanah yang berstatus hak-hak barat, selain dari golongan Eropa dan golongan timur asing termasuk Cina. Untuk golongan bumi putera tidak ada suatu hukum pendaftaran tanah yang bersifat uniform, apabila itu ada itupun secara sporadis.

Kegiatan pendaftaran tanah di Indonesia sejak penjajahan Belanda telah ada, khususnya untuk mengelola hak-hak barat. Pada jaman Hindia Belanda pendaftaran tanah dimulai dari berdirinya kantor kadaster dan ketika pada zaman awal kemerdekaan

15

(29)

commit to user

pendaftaran tanah di Indonesia berada di Departemen Kehakiman yang bertujuan untuk menyempurnakan kedudukan dan kepastian hak atas tanah yang meliputi: pengukuran, pemetaan dan pembukuan semua tanah dalam wilayah Republik Indonesia, pembukuan hak atas tanah serta pencatatan pemindahan hak atas tanah tersebut. Kegiatan pendaftaran tanah tersebut merupakan sistem pendaftaran akte (regristration of deeds). Jawatan Pendaftaran Tanah pada saat itu hanya bertugas dan berkewenangan membukukan hak-hak tanah dan mencatat akte peralihan/pemindahan hak-hak, tidak menerbitkan surat tanda bukti hak yang berupa sertifikat tanah. Alat bukti kepemilikan tanah pada saat itu berupa akte (akte eigendom dan lain lain). Lahirnya UUPA pada tanggal 24 September 1960 maka sistem pendaftaran tanah mengalami perubahan menjadi sistem pendaftaran hak (registration of title). Hal tersebut ditetapkan dalam Pasal 19 UUPA yang antara lain berbunyi:

a. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah;

b. Pendaftaran tanah meliputi:

1. Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah;

2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;

3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.16

16

(30)

commit to user

Ketika munculnya UUPA maka tugas dari pendaftaran meliputi pendaftaran hak termasuk peralihan dan pembebanannya serta pemberian surat-surat tanda bukti sebagai alat pembuktian yang kuat, selain itu juga tugas untuk pemetaan, pengukuran, pembuatan buku tanah, pendaftaran hak-hak dan peralihan hak-hak. Adanya UUPA menjadikan perubahan sistem pendaftaran tanah yang dulunya sistem pendaftaran akte berubah menjadi sistem pendaftaran hak. Dikeluarkannya PP 10 tahun 1961 maka pendaftaran tanah yang dahulunya hanya berpusat dibeberapa kota atau di daerah masyarakat barat yang sudah berkembang menjadi lebih meluas cakupannya.

Keinginan untuk adanya kepastian tentang pemberian hak-hak tanah maka para kepala daerah membuat surat yang ditujukan kepada menteri agraria yang salah satu isinya masalah-masalah tanah untuk perkembangan di setiap kota.17 Surat tersebut berasal dari para walikota di Indonesia termasuk Walikota Surakarta dan Jogyakarta, hal ini menegaskan bahwa pemberian hak-hak kepada pemilik tanah disetiap daerah. Adanya surat tersebut maka tanah-tanah yang ada di daerah Surakarta didaftarkan ke kantor kadaster. Daerah Surakarta dan Yogyakarta pendaftaran tanahnya menggunakan sistem pendaftaran kadaster. Setelah pemberian tanah-tanah tersebut kepada rakyat selang beberapa tahun dan adanya pemberitahuan, maka tanah-tanah tersebut didaftarkan kepada kantor kadaster. Tugas untuk melakukan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia dibebankan kepada Pemerintah oleh Pasal 19 ayat (1) UUPA ditentukan bertujuan

17

(31)

commit to user

tunggal yaitu untuk menjamin kepastian hukum. Menurut penjelasan dari UUPA, pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah merupakan kewajiban dari Pemerintah bertujuan menjamin kepastian hukum yang bersifat rechtscadaster. Rechtscadaster artinya untuk kepentingan pendaftaran tanah saja dan hanya mempermasalahkan haknya apa dan siapa pemiliknya, bukan untuk kepentingan lain seperti perpajakan.

Sebelum dikeluarkannya peraturan tentang pendaftaran tanah tahun 1960 para pemilik tanah-tanah lotre melakukan pendaftaran tanah ke kantor kadaster untuk pengukuran kembali yang akan digunakan sebagai pembayaran pajak bukan pemberian buku tanah. Dalam proses pendaftaran ke kantor kadaster, rakyat hanya dibebani biaya adminitrasi sebesar 60 rupiah.18 Selain untuk pajak pendaftaran, rakyat juga mendapatkan surat keterangan tentang luas tanah mereka dan status tanah tersebut. Setelah mendaftarkan tanah mereka ke kantor kadaster status tanah mereka menjadi hak milik.19 Semua tanah-tanah di Indonesia kebanyakan belum terdaftar, sehingga selama itu masyarakat hanya memiliki surat-surat yang dibuat oleh camat dan lurah setempat. Situasi tersebut menimbulkan beberapa tanah-tanah yang dikuasai tanah melalui prosedur PP 10 tahun 1961. Tanah-tanah kosong tersebut ada yang belum dikonversikan maupun tanah-tanah yang belum dikuasai oleh Negara dan kemudian telah diduduki oleh rakyat baik disengaja maupun tidak disengaja atau pun diatur oleh kepala-kepala desa dan disahkan oleh camat menjadi hak milik. Tanah-tanah yang sudah disahkan oleh camat

18

Data diolah dari wawancara dengan Parto tanggal 26 Desember 2011

19

(32)

commit to user

tersebut telah menjadi hak seseorang atau pun termasuk kategori hak-hak adat. Tanah-tanah yang belum banyak terdaftar yaitu Tanah-tanah bekas barat dan Tanah-tanah adat.

Pendaftaran tanah untuk pertama kali (initial registration) meliputi tiga bidang kegiatan yaitu: bidang fisik atau “teknis kadastral”, bidang yurudis dan penerbitan dokumen tanda-bukti hak.20 Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali (initial registration) dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu secara sistematik dan secara sporadik. Pendaftaran tanah secara sistematik merupakan kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak, yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahan, umumnya prakarsanya datang dari Pemerintah. Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahan secara individual atau massal, yang dilakukan atas permintaan pemegang atau penerima hak atas tanah yang bersangkutan.

Fungsi pendaftaran tanah mempunyai peranan yang amat strategis, khususnya mengenai hak-hak atas tanah karena kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah hanya akan dapat dicapai apabila dilaksanakan pendaftaran atas tanah, prinsip ini merupakan hasil penafsiran terbalik dari pernyataan Pasal 19 ayat (1) UUPA, yaitu bahwa tanpa dilaksanakan pendaftaran tanah, maka kepastian hukum hak atas tanah tidak akan pernah tercapai. Kepastian hukum yang ingin dicapai melalui pendaftaran tanah,

20

(33)

commit to user

meliputi : kepastian hukum mengenai subyek hukum pemegang hak atas tanah, kepastian hukum mengenai obyek hukum yaitu mengenai tanahnya itu sendiri dan kepastian hukum mengenai hak yang melekat atas tanah tersebut yang menjadi alas hubungan hukum antara subyek hukum dan obyek hukum.

Sistem pendaftaran tanah setelah UUPA ada lembaga yang berwenang melakukannya. PPAT adalah satu-satunya pejabat yang berwenang untuk membuat akta-akta peralihan hak atas tanah, pemberian hak baru atas tanah dan pengikatan tanah sebagai jaminan utang (recording of deeds of conveyance), sedangkan Badan Pertanahan Nasional merupakan pejabat satu-satunya yang secara khusus melakukan pendaftaran tanah dan menerbitkan surat bukti haknya (recording of title and continuous recording).21

Tanah-tanah bekas konversi dan perkebunan-perkebunan yang telah dikonversi diutamakan untuk didaftarkan pada saat pendaftaran tanah tahun 1961. Sebelum adanya pelaksanaan pendaftaran tanah, yang lain sudah terjadi perubahan politik dan kekuasaan setelah tahun 1965, sehingga sebagian tanah-tanah yang lain belum terdaftar, termasuk tanah-tanah rakyat yang dberikan secara lotre. Rakyat yang mendapatkan tanah tersebut sebenarnya telah mendaftarkan tanahnya ke kantor kadaster, namun hal itu hanya untuk pengukuran tanah kembali yang digunakan untuk perhitungan pajak.

Proses pendaftaran tanah-tanah lotre berawal dari kebijakan pemerintah orde baru untuk tanah-tanah yang belum bersertifikat agar segera didaftarkan untuk mendapatkan hak milik atau buku tanah (sertifikat). Setelah pemberitahuan tentang pesertifikatan tanah

21

(34)

commit to user

maka masyarakat di Kelurahan Pajang mulai mendaftarkan tanah yang dilakukan pada tahun 1972.22 Pendaftaran tanah untuk tanah lotre ini dilakukan secara serentak, pada saat itu Lurah hanya memberitahukan kepada masyarakat tentang peraturan pesertifikatan tanah. Dalam pengajuan pendaftaran tanah masyarakat harus memenuhi persyaratan yaitu:

a. Salinan surat tanda kewarganegaran (akte /pendirian badan hukum) b. Salinan keputusan pengesahan badan hukum

c. Salinan sertifikat /skpt/kekitir d. Salinan surat ukur/gambar

e. Surat bukti perolehan hak secara beruntun.23

Sebelumnya kelurahan melakukan pengukuran, pemetaan secara menyeluruh terhadap tanah-tanah di Kelurahan Pajang sebagai salah satu persyaratan dalam pengajuan permohonan hak milik atau sertifikat tanah.24 Setelah pengukuran tersebut barulah dilaksanakan pendaftaran tanah, kemudian mengajukan surat permohonan hak tanah ke kantor Sub Direktorat Agraria Kotamadya Surakarta yang sekarang bernama Badan pertanahan Nasional Surakarta. Setelah proses pengajuan permohonan dan berkas-berkas persyaratan diajukan ke kantor agraria Surakarta, kemudian dari kantor agraria melakukan pengukuran kembali tanah-tanah yang akan menjadi hak milik. Pengukuran

22

Data diolah dari wawancara dengan Tumin tanggal 5 September 2011

23

Surat Pengajuan Permohanan Hak Milik/Guna bangunan/Pakai kepada Direkotarn Agraria Propinsi Jawa Tenggah melalui Sub direktorat Agraria Kotamadya Surakarta, Arsip pribadi dari Margono.

24

(35)

commit to user

tersebut untuk pengecekan kembali tanah yang diajukan menjadi hak milik. Setelah pengukuran dan pengumpulan berkas-berkas, kemudian data tersebut dikirim ke Direktorat Agraria Propinsi Jawa Tengah.

Pengajuan permohonan hak milik atau pensertifikatan tanah di Kelurahan Pajang dilakukan secara massal. Jumlah keselurah masyarakat yang mendaftarakan tanah di Kelurahan Pajang sebanyak 521 terbagi dalam 15 kampung yaitu: kampung Sidodadi, kampung Bendosari, kampung Wonorejo, kampung Tegalkeputren, kampung Tegalkembang, kampung Karangturi, kampung Suronalan, kampung Ledoksari, kampung Pajangan, kampung Cocok carikan, kampung Norowangsan, kampung Totosari, kampung Sogatan, kampung Tunggulsari.25

Kampung sidodadi masyarakat yang mendaftarakan tanah sebanyak 75 dengan luas tanah berkisar 120m hingga 890m.26 Untuk kampung Bendosari dan kampung Wonorejo sebanyak 64 dengan luas tanah berkisar 125m hingga 450m dengam rincian kampung Bendosari sebanyak 43 sedangkan kampung wonorejo sebanyak 21.27 Masyarakat kampung Sarimulyo yang mendaftarkan tanah sebanyak 49 debgan luas tanah berkisar 150m hingga 600m.28 Masyarakat kampung Tegalkeputren dan masyarakat Tegalkembang sebanyak 88 dengan rinciana kampung Tegalkeputren sebanyak 49 sedangkan kampung Tegalkembang 39 dengan luas tanah 120m hingga 500m.29

(36)

commit to user

Kampung Karangturi dan kampung Suronalan masyarakat yang mendaftakan tanah sebanyak 46 dengan rincian kampung Karangturi sebanyak 13 sedangkan kampung Suronalan 33 dengan luas tanah berkisar 100m hingga 775m. masyarakat kampung Ledoksari, kampung Pajangan dan kampung Corak-carikan sebanyak 39 dengan rincian sebagai berikut: kampung Ledoksari 19, kampung Pajangan 17 dan kampung 3 luas tana yang didaftrakan berkisar antara 150m hingga 450m. Masyarakat kampung norowangsan yang mendaftrakan tanah sebanyak 33 dengan luas tanah antara 40m hingga 300m. Kampung Totosari dan kampung Sogatan masyarakat yang mendaftakan tanah sebanyak 35 dengan rincian kampung Totosari sebanyak 19 sedangkan kampung Sogatan 16 dengan luas tanah berkisar 270m hingga 450m. Masyarakat kampung Tunggul sari yang mendaftrakan tanah sebanyak 99 dengan luas tanah antara 42m hingga 800m.30

Pada waktu itu keputusan tentang pengeluaran surat sertifikat tanah dilakukan oleh kantor Agraria Propinsi Jawa Tengah. Proses pengajuan permohonan hak milik atau sertifikat rakyat dikenakan biaya sebesar Rp 20.480.- dan Rp 10.240.-.31 Proses pengeluaran dari buku tanah atau sertifikat membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Pendaftaran tanah selain berfungsi untuk melindungi pemilik, juga berfungsi untuk mengetahui status sebidang tanah, pemilik tanah, hak tanah tersebut dan luas dari kepemilikan tanah. Tujuan pendaftaran tanah meliputi:

30

Lihat Lampiran 5.m hingga 5.y

31

(37)

commit to user

a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar mudah memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah yang sudah terdaftar.

c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan setiap bidang tanah termasuk peralihan, pembebanan dan hapusnya hak atas tanah wajib didaftar. Adanya pemberian kepastian dan perlindungan hukum, maka kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah, sedangkan untuk melaksanakan fungsi informasi, data yang berkaitan dengan aspek fisik dan yuridis dari bidang-bidang tanah yang sudah terdaftar, dinyatakan terbukti untuk umum (asas publisitas), sementara dalam hal mencapai tujuan tertib administrasi pertanahan, maka setiap bidang tanah atau satuan rumah susun, termasuk peralihan, pembebanan dan hapusnya hak atas tanah dan hak milik satuan rumah susun, wajib didaftar.32

Adanya buku tanah (sertifikat) dapat memberikan jaminan hukum dan pengesahan tanah bagi setiap individu. Pendaftaran tanah telah diatur dalam Undang-undang sehingga rakyat berkewajiban untuk mendaftarkan tanah-tanah mereka. Pengajuan permohonan hak milik di Kelurahan Pajang sebanyak 512 orang kesemuanya diterima dalam peromohanan hak milik atau sertifikat.

32

(38)

commit to user

B. Jual-beli tanah lotre

Bagi manusia uang merupakan suatu yang mempunyai nilai lebih, bagi mereka dengan mempunyai uang tunai dapat digunakan untuk memenuhi kehidupan terutama kebutuhan-kebutuhan yang mendadak. Adanya kebutuhan–kebutuhan yang bersifat mendadak mengharuskan penduduk untuk memperoleh dan mendapatkan sumber keuangan bagi mereka. Untuk mendapatkan uang tersebut jalan satunya yang dilakukan dengan menjual tanahnya atau barang berharga lainnya. Masalah pokok yang ada dalam masyarakat adalah adanya kekurangan uang perekonomian yang terjadi pada waktau itu sedang suklit. Kondisi tersebut berdampak terhadap masyarakat di kelurahan Pajang sehigga terjadi jual-beli tanah lotre.

(39)

commit to user

lain. Peralihan hak-hak pemilikan tanah atas tanah tersebut tidak hanya meliputi jual-beli saja tetapi pengalihan hak pemilikan ini dapat juga karena hibah, tukar menukar. Pemberian dengan maksud wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang bermaksud memindahkan hak pemilikan atas tanah. Pengertian jual-beli tanah dalam hukum adat adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah dengan pembayaran harganya pada saat yang bersaaman dilakukan secara tunai. Penyerahan tanahnya kepada pembeli dan pembayaran harganya kepada penjual pada saat jual-beli dilakukan, dalam hal ini pembeli telah menjadi pemegang hak yang baru.

Jual beli33 menurut ketentuan yang berlaku sebelum pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 dihadapan

“Overschhrijvingsambtenaar” atau yang disebut sebagai pejabat balik nama berdasarkan

Overshrijving ordonnatie.34 Sebelum berlakunya UUPA, terdapat dualisme dan pluralism yaitu hukum tanah barat, hukum tanah adat dan hukum tanah antar golongan. Ketiga hukum tersebut merupakan hukum tanah yang memberikan pengaturan atau pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum antar golongan mengenai tanah hukum.35 Pada waktu itu telah dilangsungkan pendaftaran tanah yang berdasarkan Ordonansi balik nama (Overschrijvings Ordonnantie) yang termuat dalam Stb. 1834 Nomor 27. Peralihan

33

Menurut Pasal 1457 KHUPerd yang disebut ”jual beli tanah” adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang mempunyai tanah, yang disebut ”penjual”, berjanji

dan mengikatkan diri untuk menyerahkan haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain, yang disebut pembeli.

34

Haraun Al Rashid, Sekilas tentang Jual Beli Tanah (berikut peraturan-peraturannya), (Jakarta: Ghalai Indonesia,1987), hlm. 53

35

(40)

commit to user

hak berdasarkan Ordonansi Balik Nama (Overschrijvings Ordonnantie) ini dilakukan untuk tanah-tanah dengan hak barat dan tunduk kepada ketentuan-ketentuan KUHPerd dan pendaftarannya dilakukan berdasarkan Ordonansi balik nama ( Overschrijvings Ordonnantie).

Pihak pembeli berjanji dan mengikatkan diri untuk membayar harga yang telah disetujui. Dijual belikan menurut ketentuan Hukum Barat ini adalah apa yang disebut

”tanah-tanah hak barat’, yaitu tanah-tanah Hak Eigendom, Erfpacht, Opstal dan lain-lain.36 Sebelum berlakunya Ordonansi Balik Nama (Overschrijvings Ordonnantie), peralihan hak dari penjual kepada pembeli terjadi sebelum peralihan hak itu didaftar pada dua orang saksi dari Dewan Schepen. Dengan adanya ketentuan Pasal 20 Ordonansi Balik Nama ( Overschrijvings Ordonnantie ), maka jual beli tidak lagi merupakan salah satu sebab dari peralihan hak, jual beli hanya merupakan salah satu dasar hukum (titel, causa) dari penyerahan, sedang peralihan hak baru terjadi setelah pendaftaran dilaksanakan.

Adapun prosedur jual beli tanah itu diawali dengan kata sepakat antara calon penjual dengan calon pembeli mengenai objek jual belinya yaitu tanah hak milik yang akan dijual dan harganya. Hal ini dilakukan melalui musyawarah di antara mereka sendiri. Setelah mereka sepakat akan harga dari tanah itu, biasanya sebagai tanda jadi, diikuti dengan pemberian panjer. Pemberian panjer tidak diartikan sebagai harus dilaksanakannya jual beli itu. Panjer di sini fungsinya adalah hanya sebagai tanda jadi akan dilaksanakannya jual beli. Adanya panjer, para pihak akan merasa mempunyai

36

(41)

commit to user

ikatan moral untuk melaksanakan jual beli tersebut. Apabila telah ada panjer, maka akan timbul hak ingkar. Bila yang ingkar si pemberi panjer, maka panjer tersbut menjadi milik si penerima panjer. Sebaliknya, bila keingkaran tersebut ada pada pihak penerima panjer, maka panjer harus dikembalikan kepada pemberi panjer. Jika para pihak tidak menggunakan hak ingkar tersebut, dapatlah diselenggarakan pelaksanaan jual beli tanahnya, dengan calon penjual dan calon pembeli menghadap Kepala Desa (Adat) untuk menyatakan maksud mereka itu. Inilah yang dimaksud dengan terang. Kemudian oleh penjual dibuat suatu akta bermaterai yang menyatakan bahwa benar ia telah menyerahkan tanah miliknya untuk selama-lamanya kepada pembeli dan bahwa benar ia telah menerima harga secara penuh. Akta tersebut turut ditandatangani oleh pembeli dan Kepala Desa (Adat). Telah ditandatanganinya akta tersebut, maka perbuatan jual beli itu selesai.

Setelah berlakunya UUPA, terjadilah unifikasi hukum tanah Indonesia sehingga hukum yang berlaku untuk tanah adalah hukum tanah nasional dan sudah tidak dikenal lagi tanah yang tunduk kepada KUHPerd atau tanah hak barat dan tanah yang tunduk kepada hukum adat atau tanah hak adat. Berlakunya UUPA dapat menghilangkan sifat dualistis yang dulunya terdapat dalam lapangan agrarian, karena Hukum Agraria yang baru itu didasarkan pada ketentuan-ketentuan Hukum Adat. Hukum Adat adalah hukum yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia serta juga merupakan hukum rakyat Indonesia yang asli.

(42)

commit to user

menyebutkan jual beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Dialihkan dalam hal ini menunjukkan suatu perbuatan hukum yang disengaja untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain melalui jual beli, hibah, tukar menukar dan hibah wasiat. Meskipun dalam Pasal hanya disebutkan dialihkan, termasuk salah satunya adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah karena jual beli. Apa yang dimaksud dengan jual beli itu sendiri oleh UUPA tidak diterangkan secara jelas, namun dalam Pasal 5 UUPA disebutkan bahwa Hukum Tanah Nasional adalah Hukum Adat, berarti menggunakan konsepsi, asas-asas, lembaga hukum dan sistem hukum adat.

Pengertian jual beli tanah menurut Hukum Adat, merupakan perbuatan pemindahan hak, yang sifatnya tunai, riil dan terang. Sifat tunai berarti bahwa penyerahan hak dan pembayaran harganya dilakukan pada saat yang sama. Sifat riil berarti bahwa dengan mengucapkan kata-kata dengan mulut saja belum dapat terjadi jual beli. Hal ini dikuatkan dalam Putusan MA No. 271/K/Sip/1956 dan No. 840/K/Sip/1971. Jual beli dianggap telah terjadi dengan penulisan kontrak jual beli di muka Kepala Kampung serta penerimaan harga oleh penjual, meskipun tanah yang bersangkutan masih berada dalam penguasaan penjual.

(43)

commit to user

m.37 ketika ada program pensertifikatan tanah sekitar tahun 1970-an banyak masyarakat yang mendapatkan tanah lotre menjual tanah tersebut. Penjual tanah tersebut digunakan untuk biaya pensertifikatan tanah karena program tersebut diwajibkan bagi masyarakat yang mendapat tanah lotre. Adapun beberapa orang yang menjual tanah saat itu yaitu Wiryo dengan luas tanah yang dijual seluas 200 m, Darmo dengan luas 200 m dan Wito dengan luas 200 m.38 Kebanyakan pada saat itu mereka menjualnya separo dari luas tanah yang didapat. Proses penjualan tersebut dengan cara pembeli tanah memberikan separo biaya untuk proses pensertifikatan tanah dan hasilnya nanti keduanya memiliki masing-masing sertifikat tanah atas nama mereka. Peristiwa jual beli seperti itu disebabkan tanah-tanah lotre belum disertifikatkan hingga tahun 1972 dan masyarakat juga tidak mau menggunakan proses yang susah, masyarakat cenderung memilih proses yang lebih cepat dalam proses jual beli tanah pada waktu itu. Peralihan hak tersebut kedua belah pihak hanya melakukan perjanjian tertulis bahwa terjadi peralihan hak tanah. Pejualan tanah lotre tersebut semakin tahun harganya menjadi semakin meningkat. Adapun selain faktor ekonomi, namun ada faktor lain yang menyebabkan terjadi jual beli tanah lotre yaitu ketika tahun 1953 hingga 1972 disebabkan karena faktor letak tanah yang mereka dapatkan dan untuk biaya pendaftaran atau pensertifikatan tanah. Proses jual beli tanah tersebut hanya belaku ketika masyarakat belum mendaftarkan tanah mereka, tetapi

37

Data diolah dari wawancara dengan Citro tanggal 5 juli 2012

38

(44)

commit to user

(45)

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah merupakan sumber daya alam yang sangat vital yang melandasi hampir di semua aspek kehidupan. Tanah bukan saja sekedar sebagai sumber kehidupan, tetapi juga dapat mempengaruhi kekuatan ekonomi, sosial, dan politik. Tanah juga dapat menimbulkan kehancuran karena keinginan yang terbersit dalam benak orang-seorang untuk menguasai tanah. Melihat dari nilai tanah yang sangat tinggi tersebut maka muncul berbagai hak dan kewajiban dalam hal penguasaan dan distribusi tanah.

Tanah mempunyai fungsi sosial yang mengharuskan adanya keseimbangan antara kepentingan individu (pemilik, penguasa, penyewa) dengan kepentingan masyarakat dan negara dalam pendayagunaan tanah.1 Tanah mempunyai kedudukan khusus atau penting dalam hukum adat karena tanah merupakan tempat tinggal, tempat untuk mengubur dan tempat untuk berlindung bagi persekutuan dan roh leluhur. Masalah tanah dalam perjalanan bangsa Indonesia telah mengalami berbagai perubahan dari masa ke masa yaitu dari masa kerajaan, masa kolonial sampai masa pemerintahan Republik Indonesia. Pada masa kerajaan tanah adalah milik raja, sehingga masyarakat hanya sebagai penggarap. Sementara itu pada masa kolonial, tanah dikuasai oleh pemerintah kolonial, tidak terdistribusikan ke masyarakat luas.

1

Kartasapoetra, G, dkk., Hukum Tanah: Jaminan UUPA Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 53.

(46)

commit to user

Masa itu tidak dikenal adanya hak milik, sebab tanah hanya disewakan. Mulai masa kemerdekaan tanah mulai diatur dengan undang- undang pertanahan yang baru, yakni Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 sebagai pengganti Undang-Undang Agraria 1870 yang merupakan produk pemerintah kolonial.

Keadaan seperti itu menunjukkan bahwa manusia tidak bisa lepas dari masalah tanah. Masalah tanah sudah ada sejak pra-kemerdekaan, pada masa kolonial dan masa kependudukan Jepang. Seperti pada zaman pendudukan Jepang, kondisi pada saat itu diwarnai pula dengan adanya pendudukan tanah-tanah bekas perkebunan oleh rakyat. Bagi mereka kemerdekaan merupakan momentum yang tepat untuk kembali merebut tanah- tanah yang banyak dikuasai oleh perkebunan asing.2 Setelah Indonesia merdeka, rakyat bisa mengelola dan menikmati hasil tanah mereka.

Tahun 1950 kondisi bangsa Indonesia belum stabil dan masih berbenah diri untuk menjadi suatu bangsa. Pemerintah mulai merencanakan pembangunan yang berdasarkan pada Pancasila dan saat itu pemerintahan dipimpin oleh Soekarno dan Hatta. Pada tahun 1950 perekonomian Indonesia memburuk akibat perang kemerdekaan yang berdampak pada terjadinya inflasi dan defisit dalam bidang keuangan. Untuk mengatasi persoalan tersebut maka diberlakukanlah kebijakan pemotongan uang pada tanggal 19 Maret 1950.3 Ketika itu kemiskinan semakin meningkat, bahkan golongan petani menjadi sangat lemah terutama petani di Jawa.

2

Endang Suhendar dan Yohana Budi Winarni, Petani dan Konflik Agraria, (Bandung: Yayasan Akatiga,1997), hlm. 77.

3

(47)

commit to user

Kebanyakan dari mereka tidak memiliki tanah garapan sendiri. Kedudukan mereka hanyalah sebagai buruh tani.

Pada masa penjajahan banyak penduduk yang kehilangan tanah. Kondisi demikian mendorong pemerintah mulai memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Masa pemerintahan Soekarno banyak dicanangkan kebijakan untuk menyejahterakan rakyat. Hal tersebut telah diterapkan pada masa kabinet Wilopo yang menetapkan 6 pasal dalam programnya, salah satunya ialah peningkatan kesejahteraan umum yang mendapatkan prioritas utama.4 Salah satu program untuk menyejahterakan rakyat dan pemerataan penduduk ialah pemberian tanah secara lotre yang dilaksanakan pada tahun 1951-1952. Salah satu tempat yang melaksanakan program tersebut ialah Kelurahan Pajang, Surakarta.

Program tersebut tidak dapat dinikmati oleh semua masyarakat sebab ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi. Sistem lotre tanah merupakan pembagian tanah kas milik negara kepada rakyat dengan cara dilotre atau dikocok berdasarkan sistem nomor. Sisi menarik dari kasus ini ialah program tersebut hanya berjalan selama satu tahun yaitu 1951-1952, sedangkan kondisi pemerintahan pada waktu itu sedang tidak stabil karena kabinet sedang mengalami pergantian.

Program tersebut banyak membantu rakyat kecil di tengah kondisi ekonomi yang buruk. Pemberian tanah pemerintah kepada rakyat memberikan dampak positif di bidang sosial ekonomi. Pelaksanaan program tersebut ditandai dengan kegiatan

4

(48)

commit to user

pendaftaran tanah, proses penentuan tanah yang lebih dan distribusinya kepada petani yang tak bertanah.5

Permasalahan tanah dalam sistem lotre muncul akibat dari peristiwa G30/S PKI yang kala itu banyak terjadi perampasan tanah. Permasalahan tersebut juga muncul pada masa Orde Baru. Pada tahun 1972 pemerintah menerapkan peraturan tentang sertifikasi tanah yang juga berpengaruh terhadap tanah lotre. Kepemilikan tanah lotre yang dulunya hanya berdasarkan surat keterangan hak milik harus diganti dengan sertifikat. Untuk memperoleh sertifikat tanah tersebut mereka harus mengeluarkan biaya sehingga bagi yang tidak mampu mensertifikasi tanah tersebut, kebanyakan dari mereka menjual tanah lotre yang telah mereka dapatkan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana stuktur pemilikan Tanah di kelurahan Pajang sebelum tahun 1951?

2. Bagaimana sistem pembagian tanah Negara berdasarkan Lotre di kelurahan Pajang pada tahun 1951-1952?

3. Bagaimana proses kepemilikan tanah Lotre di kelurahan Pajang tahun 1953-1972?

5

(49)

commit to user

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui stuktur pemilikan tanah di kelurahan Pajang sebelum tahun 1951.

2. Untuk mengetahui sistem pembagian tanah Negara berdasarkan Lotre di kelurahan Pajang tahuan 1951-1952.

3. Untuk mengetahui proses kepemilikan tanah Lotre di kelurahan Pajang tahun 1953-1972.

D. Manfaat Penelitian

Kajian tentang Tanah Lotre di Kelurahan pajang Surakarta tahun 1951-1972 dalam tinjauan historis dan sosiologis diharapkan mampu memberikan sebuah manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

(50)

commit to user

2. Manfaat Praktis

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat menambah dan melengkapi kajian pengetahuan dalam ilmu sejarah terutama kajian pengelolaan tanah. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dalam menjalankan kebijakan untuk melangsungkan suatu usaha berkaitan dengan penyesuaian terhadap keadaan-keadaan kurang mendukung yang berlangsung pada saat-saat tertentu.

E. Kajian Pustaka

Boedi Harsono dalam bukunya Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaanya,(1999). Salah satu bab membahas tentang hak-hak konversi, pada masa kolonial terdapat sebuah lembaga tentang Konversi yang berlaku di Keresidenan Surakarta dan daerah Istimewa Yogyakarata. Konversi pada saat itu, yaitu tanah milik raja berubah kepemilikan menjadi milik kolonial, sehingga raja tidak berhak atas tanah mereka, sedangkan tanah tersebut disewakan kepada pengusaha oleh pemerintah kolonial.

(51)

commit to user

No.13 tahun 1948. Sementara tanah-tanah bekas konversi di keresidenan Surakarta, baik yang merupakan tanah pegunungan maupun tanah datar sudah digarap atau dipakai rakyat untuk usaha pertanian dan perumahan. Pemakian tanah-tanah tersebut dilakukan atas persetujuan dari pemerintah setempat. Buku ini sebagai pedoman untuk membahas tentang konversi dan hak konversi di Surakarta selain itu juga untuk pembahasan hak-hak tanah yang dibuat ketika masa Kolonial Belanda.

Sediono M.P Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi dalam bukunya Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa Ke Masa, (1984) membahas tentang stuktur penguasaan tanah dan stuktur sosial di pedesan Jawa, pengolahan tanah di Jawa yang masih menggunakan tradisi. Dalam pemilikan tanah ada beberapa bentuk atau status penguasan tanah tradisioanal yaitu:

a. Tanah yasan, yasa atau yoso, yaitu tanah dimana hak seseorang atas tanah itu berasal dari kenyataan bahwa dia atau leluhurnya lah yang pertama-tama membuka atau mengerjakan tanah tersebut. Hak atas tanah ini memperoleh status legal dalam UUPA 1960 sebagai tanah milik

b. Tanah norowito, gogolan, pekulen playangan, kasikep, dan sejenisnya, adalah tanah pertanian milik bersama, yang para warga desa dapat memperoleh bagian untuk digarap, baik secara bergilir maupun secara tetap.

(52)

commit to user

d. Tanah bengkok, yaitu tanah milik desa yang diperuntukkan bagi pejabat desa terutama lurah yang dianggap sebagai gaji selama meraka memduduki jabatan tersebut.

Pembagian tanah tersebut masih berlaku dan mulai mengalami sedikit perubahan pasca kemerdekaan. Buku ini sebagai pedoman untuk membahas tentang peguasaan tanah di daerah Pajang yang merupakan daerah dari kasunanan Surakarta pada masa itu. Teori-teori yang ada di dalam buku ini juga digunakan dalam kaitannya dengan masalah penguasaan tanah di Surakarta yang khususnya di daerah Pajang.

Sediono M.P Tjondronegoro dalam bukunya yang berjudul Keping-keping Sosiologi dari Pedesaan dalam salah satu babnya membahas tentang masalah tanah dalam tinjuan sosiologis, pemecahan masalah-masalah tanah bila ditinjau dari sudut pandang sosiologis berarti menganalisa antar-hubungan golongan-golongan beserta usaha-usaha merubah antar-hubungan lapisan-lapisan masyarakat yang meguasai aset tanah, sehingga terjadi lapisan yang kuat dan lemah.

(53)

Teori-commit to user

teori dalam buku ini digunakan untuk membahas dampak setelah adanya pembagian tanah secara lotre.

Endang Suhendar dan Yohana Budi Winartni dalam bukunya yang berjudul

Petani dan Konflik Agraria (1998), menjelaskan masalah pengolahan tanah pasca kemerdekaan. Pada saat ini masalah tanah sangat dipengaruhi oleh kebijakan

landreform yang dilaksanakan sebagai upaya untuk mengatasi masalah ketimpangan yang terjadi karena perbedaan penguasaan tanah.

UUPA 1960 yang mengatur tentang masalah pengelolaan tanah merupakan perbaikan dari Undang-Undang Agraria Tahun 1870. UUPA 1960 secara jelas ingin melakukan pembaharuan yang memberikan kemakmuran kepada rakyat Indonesia yang sebagian besar kehidupannya tergantung pada sektor agraria. Akan tetapi, adanya landreform juga menimbulkan banyak konflik pada masa Orde Baru yang memfokuskan kebijakannya pada sektor pembangunan. Buku ini sebagian isinya membahas tentang permasalahan agraria dari tahun 1945-1965. Buku ini sebagai pedoman untuk pembahasan kondisi tanah lotre ketika adanya perubahan sistem agraria dan munculnya UUPA serta sebagai pedoman tentang konflik agraria setelah tahun 1965.

(54)

commit to user

merombak sistem kepemilikan tanah yang semula merupakan milik raja dibagikan dan secara permanen menjadi milik rakyat. Namun perbaikan ini kemudian menjadi sia-sia ketika politik eksploitasi Kolonial dengan sengaja menciptakan apa yang disebut sebagai Hak Konversi untuk tetap menguasai tanah rakyat tetapi tetap membebankan pajak tanah kepada rakyat. Akibatnya adalah rakyat semakin mendapatkan tekanan yang lebih besar yaitu kegagalan dalam mendapatkan tanah secara permanen dan masih ditambah lagi dengan adanya pembayaran pajak terhadap tanah yang tidak pernah dimiliki. Teori dalam skripsi ini digunakan dalam pembahasan tentang penguasaan tanah di Surakarta dan khususnya di Pajang tentang proses pajak yang terjadi pada saat penguasaan tanah masa Kolonial Belanda.

(55)

commit to user

sebagai pedoman dalam pembahasan tentang pengusahan tanah di Surakarta yang khususnya di daerah Pajang, sistem penguasaan tanahnya pun tidak jauh berbeda dengan sistem penguasaan di Mangkunegaran dengan di Surakarta.

Christina Vivit Virtawati dalam skripsinya yang berjudul: “Sistem Persewaan

Tanah di Karesidenan Surakarta Akhir Abad XIX sampai XX”(2008), menjelaskan

tentang munculnya sistem persewaan tanah di kerisidenan Surakarta karena adanya lahan yang subur sehingga menarik para pengusaha swasta asing untuk menanamkan modal di kerisidenan Surakarta. Pelaksanaan sistem persewaan tanah di kerisidenan Surakarta dikelola oleh masyarakat pribumi di bawah kekuasaan seorang bekel dan penguasa pribumi, calon penyewa harus mempunyai syarat-syarat yang ada untuk memperoleh tanah sewaan dengan mudah dan lancar yang salah satunya dengan adanya uang sewa tanah yang besar kecilnya disepakati oleh kedua belah. Dalam sistem sewa tanah diatur oleh undang agraria tahun 1870, dengan undang-undang tersebut diharapkan dapat mengatur dan menjamin kelancaran proses sistem persewaan tanah di Kerisidenan Surakarta.

Skripsi ini sebagai pedoman dalam pembahasan tentang kepemilikan tanah di Surakarta terutama di daerah Pajang, karena dalam sistem penguasaan tanah di dalamnya juga menjelaskan tentang sistem persewaan tanah yang ada di Surakarta. Dalam skripsi ini juga dijelaskan bagaimana sistem persewaan tanah yang diterapkan Pemerintah Kolonial Belanda di Surakarta pada masa reorganisasi penguasaan tanah.

(56)

commit to user

pendayagunaan tanah untuk masyarakat. Tanah sangat penting bagi manusia karena manusia tidak bisa dipisahkan dari tanah. Mereka hidup dari tanah dan memperoleh bahan pangan dengan cara menggunakan tanah. Tanah juga memiliki fungsi sosial sehingga mengharuskan adanya keseimbangan antara individu dengan kepentingan masyarakat dan negara dalam pendayagunaan tanah. Selain itu buku ini juga menyajikan pembahasan tentang hukum-hukum pemilikan dan pendayagunan tanah. Penguasaan dan penggunaan tanah diatur agar tidak terjadi kepemilikan tanah secara bebas, karena sudah ada dalam perundang- undangan yang mengatur tentang tanah.

Imam Soetiknjo dalam bukunya yang berjudul Politik Agraria Nasional

(57)

commit to user

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah, suatu metode yang digunakan untuk menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lalu—lisan maupun tulisan--dan merekontruksi secara imajinatif masa lalu berdasarkan data yang diperoleh. 6 Pendapat lain mengatakan bahwa metode sejarah adalah proses mengumpulkan, menguji, dan menganalisa secara kritis rekaman-rekaman peninggalan masa lampau serta usaha melakukan sintesa terhadap data masa lampau tersebut menjadi kisah sejarah.7

Penulisan sejarah ini diharapkan dapat memberikan keterangan mengenai kejadian yang ada dengan mengkaji sebab-sebabnya, kondisi lingkungannya, konteks sosial-kulturalnya, atau dengan menganalisis secara mendalam tentang faktor-faktor kausal, kondisional, kontekstual serta unsur-unsur yang merupakan komponen dan eksponen dari sejarah tentang pembagian tanah kepada rakyat yang terjadi di Surakarta khususnya di Kelurahan Pajang.

Pendekatan yang dipakai adalah multidimensional yang dapat digunakan untuk meneropong segi-segi sosial, budaya, dan politik permasalahan yang dikaji. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi dan politik guna mengungkapkan kondisi masyarakat Pajang dalam memperoleh tanah secara sistem Lotre tahun 1951-1972.

6

Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hal. 2.

7

Gambar

Tabel 3      Tentang beberapa nama dan luas tanah yang menerima
Table 1. Pendudukan Tanah Perkebunan Oleh Rakyat.
Tabel 2. Verslag Tanah Konversi di Daerah Vorstenlanden (Surakarta dan
Table 3. Daftar Nama Penerima dan Luas Tanah Lotre

Referensi

Dokumen terkait

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Allah Ta’ala untuk limpahan karunianya, sehingga laporan Pengujian Laboratorium Efikasi Insektisida Tamilto 25 WP (b.a.: Metomil

penambahan tertinggi kasus harian berasal dari propinsi yang memilik jumlah penduduk yang besar dan tingkat kepadatan yang tinggi, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Pengaturan desa tentang pembangunan jalan rabat beton di Desa Gumpang Lempuh Kecamatan Putri Betung Kabupaten Gayo Lues Provinsi Aceh sesuai dengan Pasal 1

dinyatakan bahwa varaibel gaya.. kepemimpinan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja guru di SMA Negeri 7 Palu. Dengan demikian maka hipotesis ketiga

Selain itu, ketidakjelasan kebijakan dari instansi terkait dalam upaya melindungi batu granit besar yang ada di Kecamatan Bunguran Timur sebagai aset cagar budaya

Disini dapat disimpulkan bahwa, mereka warga Gampoeng Batu Raja yaitu suku Aceh dan Jawa dapat menjalani proses komunikasi antarbudaya yang baik, seperti adaptasi

Namun demikian karena secara kekuasaan maupun akses terhadap informasi antara pemerintah dan warga tidak berada pada derajad yang sama, maka komunikasi yang emansipatoris sulit

Matematika merupakan ilmu yang sangat penting dan berperan dalam perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Oleh karena itu matematika diajarkan di setiap