• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN KUALITAS TIDUR ANTARA PASIEN ASMA DAN PASIEN TB PARU SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERBEDAAN KUALITAS TIDUR ANTARA PASIEN ASMA DAN PASIEN TB PARU SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

PERBEDAAN KUALITAS TIDUR ANTARA

PASIEN ASMA DAN PASIEN TB PARU

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

ISFALIA MUFTIANI G0009112

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

commit to user

iv ABSTRAK

Isfalia Muftiani, G0009112, 2012. Perbedaan Kualitas Tidur antara Pasien Asma dan Pasien TB Paru. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Latar Belakang: Asma adalah penyakit paru kronis dimana terdapat peradangan dinding bronkial yang mengakibatkan penyempitan saluran pernapasan. TB

merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium

tuberculosis. Kualitas tidur menunjukkan kemampuan individu untuk tidur sesuai

dengan jumlah kebutuhannya.Pasien asma dan pasien TB paru dapat mengalami

kualitas tidur yang buruk akibat gejala klinis atau faktor yang lain. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan kualitas tidur antara pasien asma dan pasien TB paru.

Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional. Sampel dipilih dengan teknik purposive

sampling. Jumlah sampel yaitu 30 pasien asma dan 30 pasien TB paru. Lokasi

penelitian di Poliklinik Paru RSUD Dr. Moewardi. Waktu penelitian pada bulan Mei sampai Juli 2012. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara langsung dan pengisian kuesioner Insomnia Rating Scale oleh pasien. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan uji Chi Square dan diolah dengan Statistical Product and

Service Solution (SPSS) 17.00 for Windows.

Hasil Penelitian: Terdapat perbedaan kualitas tidur antara pasien asma dan pasien TB paru. Pasien asma memiliki risiko untuk mengalami kualitas tidur buruk 9,3 kali lebih besar daripada pasien TB paru (OR= 9,3; CI95% 2,8 s.d. 30,6). Simpulan tersebut dibuat setelah mengontrol umur, penyakit penyerta, gangguan mental, dan konsumsi zat.

Simpulan Penelitian: Terdapat perbedaan kualitas tidur yang signifikan antara pasien asma dan pasien TB paru dengan p < 0,001 dan Odds Ratio = 9,3

(3)

commit to user

v ABSTRACT

Isfalia Muftiani, G0009112, 2012. The Difference of Sleeping Quality between Asthmatic Patients and Pulmonary Tuberculosis Patients. Thesis. Medical Faculty of Sebelas Maret University, Surakarta.

Background: Asthma is a chronic pulmonary disease in which there is bronchial wall inflammation resulting in respiratory tract narrowing. Tuberculosis is an infectious disease due to Mycobacterium tuberculosis. Quality of sleep shows individual ability to sleep based on their needs. Asthma patients and pulmonary tuberculosis patients can suffer bad quality of sleep due to clinic symptom or another factors. This research aims to find out the difference of sleeping quality between Asthmatic patients and pulmonary tuberculosis patients.

Method: This study was an analytical observational research with cross-sectional approach. The sample was taken using purposive sampling technique. The sample consisted of 30 asthmatic patients and 30 pulmonary tuberculosis patients. The research was taken place in pulmonary policlinic of Dr. Moewardi Local General Hospital. The research was conducted from May to July 2012. The data was collected using direct interview and Insomnia Rating Scale questionnaire completion by the patients. The data of research was analyzed using Chi Square test and processed using Statistical Product and Service Solution (SPSS) 17.00 for Windows.

Result: There was a difference of sleeping quality between Asthmatic patients and pulmonary tuberculosis patients. The asthmatic patients had risk of experience poor quality of sleeping 9,3 times higher than the pulmonary tuberculosis patients had (OR = 9,3 ; CI95% 2,8-30,6). The conclusion was drawn after controlling age, accompanying disease, mental disorder, and substance consumption.

Conclusion: There was a significant difference of sleeping quality between Asthmatic patients and pulmonary tuberculosis patients with p < 0,001 and Odds Ratio = 9,3.

(4)

commit to user

ii

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul: Perbedaan Kualitas Tidur antara Pasien Asma dan

Pasien TB Paru

Isfalia Muftiani, NIM: G0009112, Tahun: 2012

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada Hari: ..., Tanggal: ...

Pembimbing Utama

Nama : Dr. Reviono, dr., Sp.P(K)

NIP : 19651030 200312 1 001 (...)

Pembimbing Pendamping

Nama :I.G.B. Indro Nugroho, dr., Sp.KJ

NIP : 19731003 200501 1 001 (...)

Penguji Utama

Nama : Ana Rima Setijadi, dr., Sp.P

NIP : 19620502 198901 2 001 (...)

Penguji Pendamping

Nama :Sri Haryati, Dra., M.Kes

NIP : 19610120 198601 2 001 (...)

Surakarta, ...

Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS

Muthmainah, dr., M.Kes Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR FINASIM

(5)

commit to user

vi PRAKATA

Alhamdulillah hirobbil’aalamin, segala puja dan puji penulis haturkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan nikmatnya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini yang berjudul Perbedaan Kualitas Tidur antara Pasien Asma dan Pasien TB Paru. Penelitian tugas karya akhir ini merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan Program Sarjana Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyadari bahwa penelitian tugas karya akhir ini tidak akan berhasil tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dengan penuh rasa hormat ucapan terima kasih yang dalam saya berikan kepada:

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Reviono, dr., Sp.P (K) selaku Pembimbing Utama yang telah menyediakan waktu untuk membimbing hingga terselesainya skripsi ini.

3. I.G.B. Indro .N, dr.,Sp.KJ selaku Pembimbing Pendamping yang bersedia meluangkan untuk membimbing hingga terselesainya skripsi ini.

4. Ana Rima Setijadi, dr., Sp.P selaku Penguji Utama yang telah memberikan banyak kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

5. Sri Haryati, Dra M.Kes selaku Penguji Pendamping yang telah memberikan banyak kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

6. Nur Hafida Hikmayani, dr., MClinEpiddan Muthmainah, dr., M.Kesselaku Tim Skripsi FK UNS, atas kepercayaan, bimbingan, koreksi dan perhatian yang sangat besar sehingga terselesainya skripsi ini.

7. Yang tercinta kedua orang tua saya, Ayahanda HS.Iskandar dan Ibunda Alifah Majid, serta kakak-kakak saya, dan seluruh keluarga besar yang senantiasa mendoakan tiada henti, dan memberikan support dalam segala hal sehingga terselesaikannya penelitian ini.

8. Partner skripsi saya yang terbaik, Elsa Adila Ramadhian yang setia memberikan saya semangat, bantuan dan mendampingi berjuang bersama saya dalam penyelesaian skripsi ini.

9. Sahabat-sahabat saya Sarah, Yenny, Fika dan angkatan 2009 atas semangat dan bantuan yang tak henti-henti dan waktu yang selalu tersedia.

10. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu proses penelitian tugas karya akhir ini yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.

Meskipun tulisan ini masih belum sempurna, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Saran, koreksi, dan tanggapan dari semua pihak sangat diharapkan.

Surakarta, September 2012

(6)

commit to user

f. Penatalaksanaan... 31

(7)

commit to user

viii

C. Hubungan TB Paru dengan Tidur ... 34

D. Kerangka Pemikiran ... 35

C. Hipotesis... 36

BAB III. METODE PENELITIAN ... 37

A. Jenis Penelitian ... 37

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 37

C. Subjek Penelitian ... 37

D. Rancangan Penelitian ... 40

E. Identifikasi Variabel Penelitian ... 40

F. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 41

G. Alat dan Bahan Penelitian... 44

H. Cara Kerja ... 44

I. Analisis Data ... 45

BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 46

A. Karakteristik Sampel Penelitian ... 46

B. Analisis Bivariat ... 47

BABV. PEMBAHASAN ... 49

BABVI. SIMPULAN DAN SARAN ... 53

A. Simpulan ... 53

B. Saran ... 53

(8)

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Asma adalah penyakit paru kronis dimana terdapat peradangan dinding

bronkial yang mengakibatkan penyempitan saluran pernapasan (Lemanske

dan Busse, 2003). Di Indonesia prevalensi asma belum diketahui secara pasti,

namun hasil penelitian yang dilakukan pada anak umur 13-14 tahun pada

tahun 1995 prevalensi asma masih 2,1%, sedangkan pada tahun 2003

meningkat menjadi 5,2% (Depkes, 2009).

Data kunjungan pasien di Poliklinik Paru Instalasi Rawat Jalan RSUD

Dr. Moewardi Surakarta tahun 2007 didapatkan angka kunjungan pasien yang

menderita asma sebanyak 180 orang. Data tersebut sebanyak 65% (117

orang) adalah laki-laki dan sebanyak 35% (63 orang) adalah perempuan

(Maryono, 2009).

Dalam salah satu laporan di Journal of Allergy and Clinical

Immunology dinyatakan bahwa dari 3.207 pasien asma yang diteliti, 44-51%

mengalami batuk malam dalam sebulan terakhir. Bahkan 28,3% pasien

mengaku terganggu tidurnya paling tidak sekali dalam seminggu. Pasien

asma yang mengaku mengalami keterbatasan dalam berekreasi atau olahraga

sebanyak 52,7%, aktivitas sosial 38%, aktivitas fisik 44,1%, cara hidup

37,1%, pemilihan karier 37,9%, dan pekerjaan rumah tangga 32,6%. Absen

dari sekolah maupun pekerjaan dalam 12 bulan terakhir dialami oleh 36,5%

(9)

commit to user

anak dan 26,5% orang dewasa. Hal ini di sebabkan oleh sering kambuh dan

berulangnya keluhan asma (Lai et al.,2003).

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis (Rahajoe dkk., 2005). Jumlah pasien TB Paru

yang dengan strategi DOTS di Rumah Sakit Dr. Moewardi pada tahun 2010

yaitu 242 orang. Sedangkan pada tahun 2011 mengalami peningkatan jumlah

pasien TB Paru yaitu 378 orang.

Kualitas tidur adalah kemampuan individu untuk tidur sesuai dengan

kebutuhannya. Kualitas tidur yang buruk dapat menimbulkan rasa kantuk

berlebih pada siang hari. Pembatasan tidur empat malam berturut-turut

menyebabkan rasa kantuk di siang hari, gangguan kognitif, dan defisit atensi

dan memori (Bender dan Leung, 2005).

Majde dan Krueger (2005) menyatakan bahwa hubungan asma dan

tidur masih belum jelas apakah disebabkan oleh gejala asma, sehingga

memperburuk kualitas tidur, ataupun kualitas tidur yang buruk

mempengaruhi gejala asma. Namun menurut Stores et al., (1998)

menyatakan bahwa gejala asma dapat menyebabkan kualitas tidur yang buruk

(Hanson, 2007).

Masih belum jelas apakah TB paru mempengaruhi tidur atau tidak.

Namun efek medikasi dari isoniazid dapat menyebabkan stimulasi sistem

saraf pusat yang bermanifestasi pada kelelahan, euforia, insomnia, dan sakit

(10)

commit to user

Sepengetahuan penulis telah ada penelitian mengenai perbedaan

kualitas tidur pada pasien asma terkontrol dan tidak terkontrol di RSUD Dr.

Moewardi. Penelitian itu menunjukkan pasien asma tidak terkontrol

mengalami kulitas tidur lebih buruk daripada pasien asma terkontrol

(Wardhani, 2010).

Berdasarkan latar belakang tersebut, dilakukan penelitian untuk

mengidentifikasi perbedaan kualitas tidur antara pasien asma dan pasien TB

paru.

B. Perumusan masalah :

Apakah ada perbedaan kualitas tidur antara pasien asma dan pasien TB

paru ?

C. Tujuan Penelitian :

Untuk mengetahui perbedaan kualitas tidur antara pasien asma dan

pasien TB paru.

D. Manfaat Penelitian :

1. Manfaat Teoritis

Mendapatkan bukti ilmiah tentang perbedaan kualitas tidur antara

pasien asma dan pasien TB paru.

2. Manfaat Aplikatif

Mendorong pihak klinisi untuk memperhatikan penatalaksanaan

dalam menangani gangguan tidur pada pasien asma maupun pasien TB

(11)

commit to user

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka 1. Asma

a. Definisi Asma

Menurut Global Initiative for Asthma (GINA, 2011) asma adalah

suatu kelainan inflamasi kronis dengan hiperreaktivitas saluran

pernapasan terhadap berbagai rangsang, dengan adanya sel inflamator

yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit.

b. Epidemiologi Asma

Di Indonesia prevalensi asma belum diketahui secara pasti, namun

dari hasil penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan

menggunakan kuesioner International Study on Asthma and Allergy in

Children (ISAAC) tahun 1995 prevalensi asma masih 2,1%, sedangkan

pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survei asma pada anak

sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan, Palembang, Bandung,

Semarang, Yogyakarta, Malang, dan Denpasar) menunjukkan

prevalensi pada anak SD (6-12 tahun) berkisar antara 3,7%-6,4% ,

sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar 5,8% tahun 1995

dan tahun 2001 di Jakarta Timur sebesar 8,6% (Depkes, 2009).

(12)

commit to user

c. Patogenesis

1) Reaksi Imunologi

Asma merupakan suatu bentuk penyakit yang termasuk

dalam reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang melibatkan ikatan silang

antara antigen dan IgE yang diikat sel mast dan basofil melepas

mediator vasoaktif (Bratawidjaja dan Rengganis, 2009)

Reaksi hipersensitivitas pada asma terjadi beberapa fase,

yang pertama yaitu fase sensitasi. Antigen Presenting Cell (APCs)

di bronkial menangkap alergen dan mengenalkannya pada CD4 sel

T yang kemudian akan berdeferensiasi masuk ke sel T dari TH2

fenotip. Sel akan mensekresi IL-4, IL-5, IL-9, IL-10, dan IL-13

yang mencetus pengaktifan pada sekresi immunoglobulin limfosit

B. Limfosit B akan memproduksi IgE. IL-13 juga akan

menginduksi aktifasi eosinofil dan basofil sebagaimana pelepasan

kemokin dan enzim proteolitik seperti metalloproteinase. IgE

kemudian akan bersirkulasi dan berikatan dengan reseptor spesifik

afinitas tinggi (FcεRI) di sel mast dan basofil dan berikatan dengan

reseptor spesifik afinitas rendah (FcεRI, CD23) pada eosinofil dan

makrofag.

Ketika terjadi paparan alergen yang kedua, akan terjadi

respon bronkokonstiktif asmatikus yang terjadi dalam dua fase.

Fase pertama, fungsi paru dengan cepat menurun dalam waktu

(13)

commit to user

Respon awal melibatkan histamin, PGD2, leukotrien sisteinil

(LTC4, LTD4,LTE4) dan PAF. Leuoktrien sisteinil akan

menginduksi pelepasan protease : tryptase cleaves D3a dan

bradikinin dan molekul prokursor protein yang menimbulkan

kontraksi sel otot bronkial dan peningkatan permeabelitas vaskular.

Chymase di sisi lain akan mencetus sekresi mukus. Adanya induksi

bronkokonstriksi dengan edema mukosa dan sekresi mukus akan

menimbulkan batuk, wheezing, dan sesak nafas. Fase kedua

dimulai 4-6 jam berikutnya. LTB4 dan PAF akan menarik eosinofil.

LTB4 dan PAF dalam hal ini akan menarik Major Basic Protein

(MBP) dan Eosinophil Cationic Protein (ECP) yang memiliki efek

toksik terhadap sel epitel. Destruksi sel epitel terjadi pada late

stage. Pada akhirnya akan menimbulkan akumulasi mukus di

lumen bronkial akibat dari peningkatan jumlah sel goblet dan

hipertropi dari kelenjar submukosal (Burmester, 2003).

2) Reaksi Non Imunologi

a) Drug Induced Asthma (DIA)

Pasien asma yang sudah mendapatkan terapi namun

masih mengalami serangan asma tanpa adanya tanda

infeksi virus, paparan alergi, dan iritan, hal ini perlu

dipikirkan suatu Drug Induced Asthma. Penyebabnya

adalah reaksi farmakologis idiosinkrasi dimana

(14)

commit to user

akibat efek iritan langsung. Obat-obatan yang dapat

menyebabkan DIA adalah aspirin NSAID (indometasin,

diklofenak dan naprosin), antibiotika (penisilin,

nitrofurantoin, cefalosporin dan tetrasiklin), dan beta

adrenergic blocking agent (propanolol, atenolol,

metoprolol, nadolol, pindolol) (Syarifudin dan Koentjahja,

2001).

b) Exercise Induced Asthma (EIA)

Exercise Induced Asthma dijumpai pada orang yang

sedang menjalani olahraga. Mekanisme EIA masih belum

jelas. Namun beberapa hipotesis menyatakan bahwa saluran

nafas mengalami pendinginan bila bernafas dengan udara

dingin yang kering, karena udara tersebut harus

dihangatkan dan dibuat sesuai dengan keadaan tubuh

sebelum udara mencapai alveoli, dan untuk hal tersebut di

atas, terjadi penguapan air dan pendinginan saluran nafas

(Garry, 2011).

d. Patofisiologi

Pasien asma yang terpajan alergen penyebab atau faktor pencetus,

segera akan timbul dispnea. Percabangan trakeobronkial melebar dan

memanjang selama inspirasi tetapi sulit untuk melakukan ekspirasi

karena mengalami bronkospasme, edema mukosa dan hipersekresi

(15)

commit to user

sehingga tidak dapat dialiri dan dikosongkan secara cepat sehingga

tidak terjadi aerasi paru dan hilangnya penyesuaian normal antara

ventilasi dan aliran darah paru. Turbulensi udara dan getaran mukus

mengakibatkan suara mengi yang terdengar jelas selama serangan asma

(Price dan Wilson, 2005).

e. Faktor risiko

Menurut Depkes (2009), faktor risiko asma dibedakan menjadi 2

kelompok yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan.

1) Faktor Genetik : hipereaktivitas, atopi/alergi bronkus, faktor yang

memodifikasi penyakit genetik, jenis kelamin, ras/etnik

2) Faktor Lingkungan :

a) Alergen dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing,

alternaria/jamur, dan lain-lain)

b) Alergen di luar ruangan (alternaria, tepungsari)

c) Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan,

kacang, makanan laut, susu sapi, telur)

d) Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, β

bloker, dan lain-lain)

e) Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray,

dan lain-lain)

f) Ekspresi emosi berlebih

g) Asap rokok dari perokok aktif dan pasif

(16)

commit to user

i) Exercise induced asthma, pasien yang kambuh asmanya ketika

melakukan aktifitas tertentu

j) Perubahan cuaca

f. Diagnosis

1) Pemeriksaan Fisik

Diagnosis klinis asma sering didapat dari gejala seperti

sesak, wheezing, dada terasa berat dan batuk, biasanya memburuk

pada malam dan pada awal pagi hari. Tetapi gejala di atas bukanlah

diagnosis pasti. Yang penting adalah serangan berulang tersebut

sering dicetuskan oleh faktor seperti alergi, iritan, aktivitas fisik

dan infeksi virus. Tanda klinis penting yang lain adalah bahwa

gejala di atas dapat hilang secara spontan atau dengan pemberian

bronkodilator dan kortikosteroid. Variabilitas gejala berdasar

musim dan riwayat asma keluarga juga penyakit atopi juga

membantu untuk diagnosis. Karena gejala asma sangat bervariasi

dalam sehari, pemeriksaan fisik dari sistem respirasi bisa menjadi

normal. Selama eksaserbasi, kontraksi otot polos saluran

pernapasan, edema dan hipersekresi cenderung menutup saluran

pernapasan terkecil (nonkartilagenus). Kombinasi dari hiperinflasi

dan peningkatan obstruksi saluran pernapasan pada saat

eksaserbasi akan meningkatkan kerja nafas secara bermakna. Hal

ini yang menyebabkan tanda klinis sesak, wheezing, dan

(17)

commit to user

2) Pemeriksaan Penunjang

Mengukur faal paru dengan menggunakan alat spirometri

untuk menilai FEV₁ dan FVC. Selain itu juga digunakan Peak

Flow Meter untuk mengukur PEF. Variasi diurnal memakai PEF

lebih dari 20% adalah diagnosis untuk asma (GINA, 2011).

3) Pemeriksaan Status Alergi

Skin test dengan memakai alergen merupakan pemeriksaan

utama untuk mengetahui adanya reaksi alergi. Tes ini sangat

sederhana, cepat, murah dan sangat sensitif, tetapi bila tidak

dilakukan dengan baik dapat menyebabkan terjadinya positif palsu

maupun negatif palsu. Pengukuran IgE spesifik dalam serum

mempunyai nilai yang tinggi, tetapi tidak dapat mengalahkan skin

test dan relatif lebih mahal (GINA, 2011).

g. Diagnosis Banding

Diagnosis banding Asma menurut PDPI (2003) :

1) Dewasa

a) Penyakit Paru Obstruksi Kronik

b) Bronkitis kronik

c) Gagal Jantung Kongestif

d) Batuk kronik akibat lain-lain

e) Disfungsi larings

f) Obstruksi mekanis (misal tumor)

(18)

commit to user

2) Anak

a) Benda asing di saluran napas

b) Laringotrakeomalasia

c) Pembesaran kelenjar limfe

d) Tumor

e) Stenosis trakea

f) Bronkiolitis

h. Klasifikasi Asma

Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit

dan pola keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat

penyakit penting bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan

jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan

(19)

commit to user

Tabel 2.1 Derajat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis

Derajat asma Gejala Gejala malam Faal paru

Intermitten Bulanan APE≥80%

- Gejala

Persisten ringan Mingguan APE>80%

- Gejala

Persisten sedang Harian APE 60-80%

- Gejala setiap hari.

Persisten berat Kontinyu APE 60≤%

- Gejala terus

Pada prinsipnya penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi 2

yaitu penatalaksanaan asma akut dan penatalaksanaan asma jangka

(20)

commit to user

1) Penatalaksanaan asma akut

Serangan akut adalah episode perburukan dari asma.

Penanganan harus cepat dan disesuaikan dengan derajat serangan

asma. Penilaian beratnya asma berdasar riwayat serangan, gejala,

pemeriksaan fisik, dan faal paru.

Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya β2 agonis

kerja cepat yang sebaiknya secara sistemik. Pada keadaan tertentu

(seperti riwayat serangan berat sebelumnya) kortikosteroid oral

(metilprednisolon) dapat diberikan dalam waktu singkat 3-5 hari.

Pada serangan sedang diberikan β2 agonis kerja cepat dan

kortikosteoid oral. Pada dewasa dapat ditambahkan ipratropium

bromida inhalasi maupun aminofilin IV. Bila diperlukan dapat

diberikan oksigen dan pemberian cairan IV.

Pada serangan asma berat pasien dirawat dan diberikan

oksigen, cairan IV, β2 agonis kerja cepat ipratropium bromida

inhalasi, kortikosteroid IV, dan aminofilin IV (bolus atau drip).

Pemberian obat-obat bronkodilator diutamakan dalam

bentuk inhalasi menggunakan nebuliser. Bila tidak ada dapat

menggunakan IDT (MDI) dengan alat bantu (spacer) (Depkes,

2009).

2) Penatalaksanaan asma jangka panjang

Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk

(21)

commit to user

panjang disesuaikan dengan klasifikasi beratnya asma. Prinsip

pengobatan jangka panjang antara lain edukasi, obat asma

(pengontrol dan pelega), dan menjaga kebugaran (Depkes, 2009).

Kortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol asma

yang diberikan jangka panjang. Obat pengontrol jangka panjang

lainnya adalah Agonis β2 kerja lama inhalasi, Leukotriene

modifier, dan Teofilin. Agonis β2 kerja lama inhalasi tidak boleh

untuk jangka panjang kecuali digunakan dengan dosis rendah

kortikosteroid inhalasi (NHLBI, 2011).

Dengan melaksanakan prinsip pengobatan jangka panjang

yaitu edukasi, obat-obatan, dan menjaga kebugaran, diharapkan

tercapai tujuan penanganan asma, yaitu asma terkontrol.

2. Tuberkulosis

a. Definisi Tuberkulosis

Penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB

(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang

paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes, 2007).

b. Epidemiologi

Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan

masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak

di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari

(22)

commit to user

tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi

kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk (Depkes,

2007).

c. Patogenesis

Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan

kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga

dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan terus

berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap di sana. Infeksi

dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara

pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan radang di dalam paru.

Aliran getah bening akan membawa kuman TB ke kelenjar getah

bening di sekitar hilus paru, ini disebut sebagai kompleks primer.

Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer

adalah sekitar 4-6 minggu. Infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya

perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif.

Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya

kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas

seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat

menghentikan perkembangan kuman Mycobacterium tuberculosis.

Meskipun demikian, beberapa kuman akan menetap sebagai kuman

persisten atau dormant (tidur). Kadang kadang daya tahan tubuh tidak

mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam

(23)

commit to user

inkubasi, yaitu waktu sejak terinfeksi sampai menjadi sakit,

diperkirakan sekitar 6 bulan.

Dari tuberkulosis primer ini akan muncul tuberkulosis post

primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer

mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk

dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya.

Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan

rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post

primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen

apikal dari lobus superior maupun lobus inferior (PDPI, 2006).

d. Gejala Klinis

1) Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan

darah)

2) Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya

dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang

serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.

3) Penurunan nafsu makan dan berat badan

4) Perasaan tidak enak (malaise), lemah

(Depkes, 2007).

e. Diagnosis

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai

keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.

(24)

commit to user

dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan

dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak

Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).

Diagnosis TB Paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan

dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional,

penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan

diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji

kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang

sesuai dengan indikasinya.

Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan

pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan

gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi

overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu

menunjukkan aktifitas penyakit.

Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling

bermanfaat untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi

Mycobacterium tuberculosis dan sering digunakan dalam “Screening

TBC”. Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin

adalah lebih dari 90%. Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang

menderita TBC aktif uji tuberkulin positif 100%, umur 1–2 tahun 92%,

2– 4 tahun 78%, 4–6 tahun 75%, dan umur 6–12 tahun 51%. Dari

persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka

(25)

commit to user

Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai

sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji

mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan,

disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit) ( Werdhani, 2009).

f. Diagnosis banding

1) Pneumonia

2) Bronkiektaksis

3) Asma

4) Kanker paru

5) Abses paru

(Crofton et al., 2002).

g. Komplikasi

1) Pleuritis dan empiema

2) Pneumothoraks spontan

3) Laringitis tuberkulosis

4) Gagal jangtung kongestif

5) Aspergilomata

(Crofton et al., 2002).

h. Penatalaksanaan

1) Tahap awal (intensif)

a) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari

dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya

(26)

commit to user

b) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,

biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun

waktu 2 minggu.

c) Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif

(konversi) dalam 2 bulan.

2) Tahap Lanjutan

a) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,

namun dalam jangka waktu yang lebih lama

b) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten

sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

3) Paduan OAT yang digunakan di Indonesia

Tabel 2.2. Jenis, sifat, dan dosis OAT

JENIS OAT SIFAT

Dosis yang direkomendasikan

(mg/kg)

Harian 3 x seminggu

Isoniazid (H) Bakterisid 5

(4-6)

10 (8-12)

Rifampicin (R) Bakterisid 10

(8-12)

10 (8-12)

Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25

(20-30)

35 (30-40)

Streptomycin (S) Bakterisid 15

(12-18)

15 (12-18)

Ethambutol (E) Bakteriostatik 15

(27)

commit to user

Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.

Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.

Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat

sisipan (HRZE)

Kategori Anak: 2HRZ/4HR

b) Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam

bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT),

sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam

bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari

kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya

disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas

dalam satu paket untuk satu pasien.

c) Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari

Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang

dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan

program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang

mengalami efek samping OAT KDT (Depkes, 2007).

i. Multi Drug Resistance (MDR)

Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap

rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya

(Drobniewski,1998)

Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi

(28)

commit to user

ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan TB.

Resistensi inisial ialah apabila tidak diketahui pasti apakah pasiennya

sudah pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak. Resistensi

sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat pengobatan

sebelumnya.

Laporan pertama tentang reistensi ganda datang dari Amerika

Serikat, khususnya pada pasien TB dan AIDS yang menimbulkan angka

kematian 70% –90% dalam waktu hanya 4 sampai 16 minggu. Laporan

WHO tentang TB tahun 2004 menyatakan bahwa sampai 50 juta orang

telah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis yang resisten terhadap obat

anti tuberkulosis. TB paru kronik sering disebabkan oleh MDR. Ada

beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis,yaitu:

1) Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis

2) Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya

yang kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi

yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan

rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap

kedua obat tersebut sudah cukup tinggi

3) Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua

atau tiga minggu lalu stop, setelah dua bulan berhenti kemudian

berpindah dokter dan mendapat obat kembali selama dua atau tiga

(29)

commit to user

4) Fenomena “ addition syndrome” (Crofton, 1987), yaitu suatu obat

ditambahkan dalam suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil.

Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada

paduan yang pertama, maka “penambahan” (addition) satu macam

obat hanya akan menambah panjang daftar obat yang resisten

5) Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan

secara baik, sehingga mengganggu bioavailabiliti obat

6) Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu

daerah kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan

7) Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga

menimbulkan kejemuan

8) Pengetahuan pasien kurang tentang penyakit TB

9) Kasus MDR-TB rujuk ke dokter spesialis paru

(PDPI, 2006).

3. Tidur

a. Definisi Tidur

Tidur didefenisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar di mana

seseorang masih dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang

sensorik atau dengan rangsang lainnya (Guyton dan Hall, 1997).

b. Fungsi Tidur

Fungsi tidur adalah memperbaiki kembali organ-organ tubuh.

(30)

commit to user

Movement (REM) dan Nonrapid Eye Movement (NREM). Nonrapid

Eye Movement akan mempengaruhi proses anabolik dan sintesis

makromolekul ribonukleic acid (RNA). Rapid Eye Movement akan

mempengaruhi pembentukan hubungan baru pada korteks dan sistem

neuroendokrin yang menuju otak. Selain tidur menjadi peringatan dini

keadaan patologis yang terjadi pada tubuh apabila terdapat gangguan

tidur (Suzanne, 2011).

c. Fisiologi Tidur

Tahap tidur dibagi menjadi tidur REM dan tidur NREM (stadium 1

sampai 4). Tahap tersebut bergantian dalam siklus yang bertahan antara

70 sampai 120 menit (Guyton dan Hall, 1997).

Non Rapid Eye Movement merupakan keadaan aktif yang terjadi

melalui osilasi antara talamus dan korteks. Tiga sistem utama osilasi

adalah kumparan tidur, delta osilasi, dan osilasi kortikal lambat.

Kumparan tidur merupakan sebuah ciri tahap tidur NREM yang

dihasilkan dari hiperpolarisasi neuron GABAergic dalam nukleus

retikulotalamus. Gelombang delta dihasilkan dari interaksi

retikulotalamus dan sumber piramidokortikal sedangkan osilasi kortikal

lambat dihasilkan di jaringan neokorteks oleh siklus hiperpolarisasi dan

depolarisasi (Pack, 2008).

Ciri EEG tambahan dari tidur fase REM adalah gelombang gigi

gergaji. Selama fase REM yang berperan adalah sistem kolinergik yang

(31)

commit to user

antikolinergik. Fase REM (tahap R) ditandai oleh atonia otot, aktivasi

kortikal, desinkronisasi bertegangan rendah dari EEG dan gerakan cepat

dari mata (Pack, 2008).

Pada manusia, tidur dibagi menjadi lima fase yaitu :

1) Tahapan terjaga

Fase ini disebut juga fase nol yang ditandai dengan subjek

dalam keadaan tenang mata tertutup dengan karakteristik

gelombang alfa (8–12,5 Hz) mendominasi seluruh rekaman, tonus

otot yang tinggi dan beberapa gerakan mata. Keadaan ini biasanya

berlangsung antara lima sampai sepuluh menit (Sleepdex, 2008).

2) Fase 1

Fase ini merupakan fase perpindahan dari fase jaga ke fase

tidur. Fase ini ditandai dengan berkurangnya gelombang alfa dan

munculnya gelombang teta (4-7 Hz), atau disebut juga gelombang

Low Voltage Mix Frequencies (LVM). Pada EOG tidak tampak

kedip mata atau REM, tetapi lebih banyak gerakan rolling (R) yang

lambat dan terjadi penurunan potensial EMG. Pada orang normal

fase 1 ini tidak berlangsung lama yaitu antara lima sampai sepuluh

menit kemudian memasuki fase berikutnya (Sleepdex, 2008).

3) Fase 2

Pada fase ini, tampak kompleks K pada gelombang EEG,

sleep spindle (S) atau gelombang delta (maksimum 20%).

(32)

commit to user

mata. EMG potensialnya lebih rendah dari fase 1. Fase 2 ini

berjalan relatif lebih lama dari fase 1 yaitu antara 20 sampai 40

menit dan bervariasi pada tiap individu (Sleepdex, 2008).

4) Fase 3

Pada fase ini gelombang delta menjadi lebih banyak

(maksimum 50%) dan gambaran lain masih seperti pada fase 2.

Fase ini lebih lama pada dewasa tua, tetapi lebih singkat pada

dewasa muda. Pada dewasa muda setelah 5 – 10 menit fase 3 akan

diikuti fase 4 (Sleepdex, 2008).

Seperti fase 2, tonus otot meningkat, tetapi tidak ada

gerakan mata (Kaplan dan Sadock, 2000).

5) Fase 4

Pada fase ini gelombang EEG didominasi oleh gelombang

delta (gelombang delta 50%) sedangkan gambaran lain masih

seperti fase 2. Pada fase 4 ini berlangsung cukup lama yaitu hampir

30 menit (Sleepdex, 2008).

6) Fase REM

Gambaran EEG tidak lagi didominasi oleh delta tetapi oleh

LVM seperti fase 1, sedangkan pada EOG didapat gerakan mata

(EM) dan gambaran EMG tetap sama seperti pada fase 3. Fase ini

sering dinamakan fase REM yang biasanya berlangsung 10 –15

(33)

commit to user

Pada dewasa muda, tidur REM merupakan 25% waktu tidur

total. Dari bangun sampai tahap NREM memerlukan waktu

kira-kira 90 menit sebelum periode REM pertama yang disebut sebagai

REM latency (Kaplan dan Sadock, 2000)

d. Kualitas Tidur

Kualitas dapat menunjukkan adanya kemampuan individu untuk

tidur dan memperoleh jumlah istirahat sesuai dengan kebutuhannya.

Kualitas tidur seseorang dapat dianalisis melalui pemerikasaan

laboratorium yaitu EEG yang merupakan rekaman arus listrik dari otak.

Perekaman listrik dari permukaan otak atau permukaan luar kepala

dapat menunjukkan adanya aktivitas listrik yang terus-menerus timbul

dalam otak. Ini sangat dipengaruhi oleh derajat eksitasi otak sebagai

akibat dari keadaan tidur, keadaan siaga atau karena penyakit lain yang

diderita. Tipe gelombang EEG diklasifikasikan sebagai gelombang alfa,

betha, tetha dan delta (Guyton dan Hall, 1997).

Di antara faktor yang dapat memengaruhi kualitas dan kuantitas

tidur adalah:

1) Penyakit

Keadaan medis seperti penyakit gagal jantung, hemikrania

paroksimal kronis, arthritis, fibromialgia, kejang nokturnal, refluks

gastroesofagus (Kaplan dan Sadock,2000). Selain itu kelainan

(34)

commit to user

kronis juga dapat menyebabkan gangguan tidur (Dopp dan Philips,

2008).

2) Aktifitas Fisik dan Kelelahan

Seseorang yang telah melakukan aktifitas fisik dan

mencapai kelelahan akan meningkatkan tidur fase REM dan

NREM (Division of Sleep Medicine Harvard University, 2007).

3) Stres Psikologis

HPA aksis adalah bagian utama dari sistem neuroendokrin

yang mengontrol reaksi terhadap stres, selain itu juga berperan

dalam modulasi tidur. Disfungsi dari HPA aksis pada setiap tingkat

( CRH, glukokortikoid, dan mineralkortikoid) dapat menyebabkan

gangguan tidur (Buckely dan Schatzberg, 2005).

4) Obat

Beberapa obat yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas

tidur antara lain anti-aritmia, Beta blocker, Kortikosteroid,

Diuretik, dan Teofilin (Harvard Health Publication, 2010). Selain

itu anti konvulsan dan dekongestan juga mempengaruhi gangguan

tidur (Dopp dan Philips, 2008).

5) Kebiasaan Konsumsi

Konsumsi kafein umumnya menurunkan kuantitas

slow-wave-sleep dan tidur REM, sehingga meningkatkan jumlah

(35)

commit to user

Alkohol akan menginduksi tidur, namun konsumsi alkohol

yang berlebihan akan meningkatkan jumlah terbangun dan

menyebabkan insomnia.

Nikotin dapat menstimulasi tubuh dan perokok akan sulit

tertidur selain itu akan mudah terbangun dan tidur dalam waktu

singkat (Division of Sleep Medicine Harvard University, 2007).

6) Umur

Kebutuhan tidur dan kuantitas tidur terus-menerus akan

berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Seseorang yang

usianya semakin lanjut waktu tidurnya hanya 5 sampai 8 jam per

hari (Lumbantobing, 2004).

7) Lingkungan

Seseorang yang tidur di lingkungan baru akan

mempengaruhi tidur REM dan NREM (Kaplan dan Sadock, 2000).

8) Pencahayaan

Cahaya adalah faktor eksternal yang mempengaruhi pola

tidur. Paparan cahaya pada malam hari akan menunda fase jam

internal untuk tidur (Division of Sleep Medicine Harvard

University, 2007).

e. Gangguan Tidur

Menurut International Classification of Sleep Disorders (1997)

(36)

commit to user

1) Dissomnia

a.) Gangguan tidur intrinsik

Idiopatik, narkolepsi, gerakan anggota gerak periodik,

sindroma kaki gelisah, obstruksi saluran nafas, hipoventilasi,

post traumatik kepala, hipersomnia

b.) Gangguan tidur ekstrinsik

Tidur yang tidak sehat, lingkungan, perubahan posisi

tidur, toksik, ketergantungan alkohol, obat hipnotik atau

stimulan

c.) Gangguan tidur irama sirkadian

Jet-lag sindrom, perubahan jadwal kerja, sindroma fase

terlambat tidur, sindrom fase tidur belum waktunya, bangun

tidur tidak teratur, tidak tidur selama 24 jam.

2) Parasomnia

a.) Gangguan aurosal

Gangguan tidur berjalan, gangguan tidur teror, aurosal

konfusional

b.) Gangguan antara bangun tidur

Gerak tiba-tiba, tidur berbicara, kram kaki, gangguan

gerak berirama

c.) Berhubungan dengan fase REM

Gangguan mimpi buruk, gangguan tingkah laku,

(37)

commit to user

d.) Parasomnia lain-lainnya

Bruxism (otot rahang mengeram), mengompol, sukar

menelan, distonia paroksimal

3) Gangguan tidur berhubungan dengan gangguan kesehatan/psikiatri

a.) Gangguan mental

Psikosis, kecemasan, gangguan afektif, panik

b.) Berhubungan dengan kondisi neurologi

Penyakit degeneratif (demensia, parkinson, multipel

sklerosis), epilepsi, status epilepsi, nyeri kepala, Huntington,

post traumatik kepala, stroke, Gilles de-la tourette sindrom.

c.) Berhubungan dengan kondisi kesehatan

Penyakit asma, penyakit jantung, ulkus peptikus, refluks

gastrointestinal, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK),

fibriomialgia

d.) Gangguan tidur yang tidak terklasifikasi

f. Insomnia

Insomnia adalah ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan

tidur baik kualitas maupun kuantitas. Jenis insomnia ada 3 macam yaitu

insomnia inisial atau tidak dapat memulai tidur, insomnia intermitten

atau tidak bisa mempertahankan tidur atau sering terjaga dan insomnia

terminal atau bangun secara dini dan tidak dapat tidur kembali (Potter,

(38)

commit to user

Alat ukur untuk menilai seseorang insomnia atau tidak dapat

menggunakan Insomnia Rating Scale yang telah dibakukan oleh

Kelompok Studi Psikiatri Biologi Jakarta (KSPBJ). Insomnia (+)

skornya adalah ≥ 10 dan insomnia (-) skornya adalah <10. Alat ukur ini

dapat digunakan untuk menilai kualitas tidur, seseorang yang insomnia

memiliki kualitas tidur yang buruk.

g. Penatalaksanaan

1) Non Farmakologi

Psikoterapi sangat membantu pada pasien dengan gangguan

psikiatri seperti (depresi, obsesi, kompulsi), gangguan tidur kronik

tanpa penggunaan obat hipnotik (Japardi, 2002).

2) Farmakologi

Dalam mengobati gejala gangguan tidur, selain dilakukan

pengobatan secara kausal, juga dapat diberikan obat golongan

sedatif hipnotik. Pada dasarnya semua obat yang mempunyai

kemampuan hipnotik merupakan penekanan aktifitas dari Reticular

Activating System (RAS) diotak. Obat hipnotik selain penekanan

aktivitas susunan saraf pusat yang dipaksakan dari proses

fisiologis, juga mempunyai efek kelemahan yang dirasakan

efeknya pada hari berikutnya (long acting) sehingga mengganggu

aktifitas sehari-hari (Japardi, 2002).

Benzodiazepin merupakan obat sedatif hipnotik yang

(39)

commit to user

(Lubit,2012). Benzodiazepin dapat menyebabkan ketergantungan

fisiologis apabila digunakan secara terus-menerus (Katzung, 2002).

Zolpidem kurang mampu mempengaruhi pola tidur jika

dibanding benzodiazepin. Zolpidem dapat menyebabkan efek kecil

terhadap pola tidur pada dosis hipnotik yang dianjurkan, tetapi

dapat menekan tidur REM pada dosis tinggi (Katzung, 2002).

Zalpelon menurunkan mula tidur, tetapi hanya sedikit

berpengaruh pada waktu tidur total atau pada pola tidur itu sendiri.

Penggunaan pada dosis tinggi (dua kali dosis yang dianjurkan)

menyebabkan rebound insomnia (Katzung, 2002).

3. Hubungan Asma dengan Tidur

Asma sering dikaitkan dengan gangguan tidur, penelitian

menunjukkan bahwa sekitar 80% pasien dewasa yang menderita asma

mengalami gangguan tidur. Pasien asma terbangun karena bersin dan

batuk pada malam hari dan pasien asma akan terbangun karena gejala

asma hampir setiap malam. Gangguan tidur pada pasien asma disebabkan

karena penyempitan saluran pernapasan maupun obat pengontrol asma

(Fitzpatrick et al., 1991).

Regulasi sirkadian mempengaruhi patofisiologi asma (Bashir dan

Ghamande, 2009). Individu normal yang sehat memiliki variasi sirkadian

pada arus puncak ekspirasi maksimal yaitu mencapai puncaknya pada 4

sore dan nilai terendah pada pukul 4 pagi. Besarnya perubahan lebih tinggi

(40)

commit to user

lainnya menunjukkan variasi bentuk dan waktu respon sirkadian yang

jelas. Kadar kortisol dan epinefrin pada pasien asma akan menunjukkan

nilai terendah sekitar tengah malam sampai pukul 05.00 pagi (Pack, 2008).

Asma nokturnal akan mengalami penurunan FEV1 sebesar 20-40%

saat pagi hari. Penurunan tersebut berhubungan dengan fase NREM dan

REM, namun terlihat signifikan pada fase REM (Bashir dan Ghamande,

2009).

Pada pasien asma, terdapat variasi sirkadian menonjol pada

resistensi jalan napas, mungkin berhubungan dengan irama sirkadian pada

level histamin dan katekolamin yang meningkatkan gejala asmatik pada

malam hari. Selain itu pengobatan asma dengan komponen berdasarkan

teofilin, agonis adrenergik atau glukokortikoid dapat mengganggu tidur

(Harrison, 2000).

Studi menunjukkan 9 penderita asma nokturnal yang terapinya

menggunakan teofilin, mengurangi efisiensi tidur.(Fitzpatrick et al.,1991)

Penderita asma yang berbaring dalam posisi telentang akan

mengalami gangguan faal paru yang progresif dan arus puncak respirasi

turun 13% selama 2 jam berbaring dan 24% selama 4 jam berbaring.

Gangguan ini akan kembali normal setelah 1,5 jam. Jadi dapat

disimpulkan bahwa berbaring dalam posisi telentang untuk jangka waktu

yang lama juga menyebabkan serangan asma pada malam hari, namun

(41)

commit to user

Reaksi asma lambat merupakan karakteristik asma kronis.

Karakteristik asma tersebut memiliki reaksi tertunda terhadap alergen dan

pemicu iritasi. Kebanyakan gejala ini berkembang dalam waktu 4-8 jam

setelah terpapar. Karena risiko paparan ini lebih tinggi pada siang hari,

reaksinya lebih mungkin terjadi pada malam hari. Sehingga reaksi yang

tertunda dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan munculnya

asma pada malam hari. Telah banyak bukti yang menunjukkan bahwa

alergen memegang perangan dalam patogenesis asma yang muncul malam

hari (Chen dan Chai, 1982).

Pada malam hari terdapat perubahan sekresi mukus pada saluran

pernapasan. Pada pasien asma perubahan tersebut dapat menyebabkan

obstruksi bronkus. Selain itu retensi sekresi bronkus pada malam hari

dapat menimbulkan gejala asmatik. Dari penelitian diketahui bahwa

berkurangnya pembersih mukosilier ini terjadi terutama pada malam hari.

Retensi sekresi ini tampaknya dihubungkan dengan tidur dan bukan

dengan variasi diurnal. Perlu penelitian lebih lanjut untuk menentukan

apakah mengakibatkan wheezing pada malam hari (Bateman, 1978).

4. Hubungan TB Paru dengan Tidur

Masih belum jelas apakah ada hubungan TB paru dengan tidur.

Salah satu obat TB antara lain Isoniazid. Isoniazid dapat mengakibatkan

stimulasi Sistem Saraf Pusat (SSP) ataupun depresi SSP. Perubahan ini

(42)

commit to user

ini bermanifestasi pada kelelahan, euforia, insomnia, dan sakit kepala

(Rajpal et al., 2000).

a. Gangguan mental (depresi, psikosis,

kecemasan, panik)

b. Penyakit gagal jantung, penyakit paru,

hemikrania paroksimal kronis, arthritis,

fibromialgia, kejang nokturnal, refluks

gastroesofagus, diabetes, hipertiroid

c. Efek dekongestan, diuretik, kafein, beta

blocker, anti konvulsan, nikotin, alkohol

(43)

commit to user

C. Hipotesis

(44)

commit to user

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah cross sectional yaitu penelitian variabel bebas

dan variabel terikatnya dinilai pada satu saat menurut keadaan pada waktu

observasi (Isgiyanto, 2009).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Poliklinik Paru RSUD Dr. Moewardi pada bulan

Mei sampai Juli 2012

C. Subjek Penelitian 1. Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah semua pasien asma dan pasien TB paru

yang berada di Poliklinik Paru RSUD Dr. Moewardi.

2. Sampel Penelitian

Setiap pasien asma dan pasien TB paru yang berada di Poliklinik Paru

RSUD Dr. Moewardi pada bulan Mei sampai Juli 2012 yang masuk dalam

kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.

3. Kriteria Subyek Penelitian

a. Pasien asma

1) Kriteria Inklusi

a) Berumur 19 tahun ke atas

b) Didiagnosis asma persisten oleh dokter ahli paru

(45)

commit to user

c) Bersedia menjadi subjek penelitian dan menandatangani

informed consent

2) Kriteria Eksklusi

a) Memiliki penyakit lain dengan diagnosis banding asma

b) Memiliki penyakit penyerta

c) Memiliki gangguan mental

d) Mengkonsumsi dekongestan, diuretik, kafein, beta blocker

teofilin, anti konvulsan, nikotin, alkohol dalam sebulan

terakhir

e) Buta huruf dan tidak bisa membaca

b. Pasien TB paru

1) Kriteria Inklusi

a) Berumur 19 tahun ke atas

b) Didiagnosis TB paru oleh dokter ahli paru

c) Bersedia menjadi subjek penelitian dan menandatangi

informed consent

2) Kriteria Ekslusi

a) Memiliki penyakit diagnosis banding TB paru

b) Didiagnosis Multi Drug Resistance (MDR)

c) Memiliki komplikasi TB Paru

d) Memiliki penyakit penyerta

(46)

commit to user

f) Mengkonsumsi dekongestan, diuretik, kafein, beta blocker

teofilin, anti konvulsan, nikotin, alkohol dalam sebulan

terakhir

g) Buta huruf dan tidak bisa membaca

4. Teknik Sampling

Subyek penelitian dipilih dengan menggunakan non probability

sampling yaitu purposive sampling. Pengambilan sampel dilakukan

sedemikian rupa sehingga keterwakilannya ditentukan oleh peneliti

(Budiarto, 2001).

Besar sampel dapat diukur dengan rumus sebagai berikut :

n = 忰 . .

= (1,96)2.0,052.(1-0,052)

(0,05)2

= 3,841 . 0,052 . 0,948 = 76

0,0025

Keterangan :

p : perkiraan prevalensi penyakit yang diteliti pada populasi. p = 5,2%.

q : 1-p.

Zα2 : nilai statistik Zα pada kurva normal standart pada tingkat kemaknaan

α = 0,05 sehingga Zα= 1, 96.

d : presisi absolut yang dikehendaki pada kedua sisi proporsi populasi 5%

(47)

commit to user

D. Rancangan Penelitian

E. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel bebas : a. Pasien asma

b. Pasien TB paru

2. Variabel terikat : Kualitas tidur

3. Variabel Luar :

a. Terkendali :

1) Pasien asma : umur, penyakit lain dengan diagnosis banding asma,

penyakit penyerta, gangguan mental, konsumsi dekongestan,

Pasien asma Pasien TB paru

Kriteria Eksklusi Kriteria Inklusi

Mengisi kuisioner Insomnia Rating Scale

Kualitas Tidur Baik

Analisis Data Chi Square Populasi Pasien Paru

Mengisi kuisioner Insomnia Rating Scale

(48)

commit to user

diuretik, kafein, beta blocker, anti konvulsan, nikotin, alkohol

dalam sebulan terakhir.

2) Pasien TB paru : umur, penyakit lain dengan diagnosis banding TB,

Multi Drug Resistance (MDR), komplikasi TB Paru, penyakit

penyerta, gangguan mental, konsumsi dekongestan, diuretik,

kafein, beta blocker, anti konvulsan, nikotin, alkohol dalam

sebulan terakhir.

b. Tak Terkendali : subjektivitas responden dalam mengisi kuesioner.

F. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Variabel bebas

a. Asma

1) Definisi : Pasien yang didiagnosis menderita penyakit asma yang

sedang kontrol di RSUD Dr. Moewardi .

2) Sumber data : Data primer pasien

3) Alat Ukur : Wawancara dan rekam medik

4) Skala pengukuran : Nominal

b. TB paru

1) Definisi : Pasien yang didiagnosis menderita penyakit TB paru tanpa

komplikasi yang sedang menjalani pengobatan di RSUD

Dr. Moewardi.

2) Sumber data : Data primer pasien

3) Alat Ukur : Wawancara dan rekam medik

(49)

commit to user

2. Variabel terikat

a. Kualitas Tidur

1) Definisi : Kualitas tidur ditentukan dengan menggunakan kuesioner

Insomnia Rating Scale. Insomnia (+) atau kualitas tidur

buruk memiliki skor ≥ 10. Insomnia (-) atau kualitas tidur

baik memiliki skor < 10.

2) Sumber data : Data primer pasien

3) Alat Ukur : Kuesioner Insomnia Rating Scale

4) Skala pengukuran : Nominal

3. Variabel Luar

a. Variabel luar terkendali

1) Umur

a) Definisi : Umur sampel diatas 19 tahun.

b) Alat Ukur : Wawancara

c) Skala pengukuran : Rasio

2) Penyakit diagnosis banding asma

a) Definisi : PPOK, obstruksi mekanis (misal tumor), emboli paru

b) Alat Ukur : Wawancara dan rekam medis

c) Skala pengukuran : Nominal

3) Penyakit diagnosis banding TB paru

a) Definisi : Bronkiektasis, pneumonia, asma, kanker paru, abses

paru

(50)

commit to user

c) Skala pengukuran : Nominal

4) Multi Drug Resistance (MDR)

a) Definisi : Pasien TB paru yang resisten terhadap rifampisin dan

INH dengan atau tanpa OAT lainnya

b) Alat Ukur : Wawancara dan rekam medik

c) Skala Pengukuran: Nominal

5) Komplikasi TB Paru

a) Definisi : Pleuritis, empiema, pneumothoraks spontan, laringitis

tuberkulosis, gagal jantung kongestif, aspergilomata

b) Alat Ukur :Wawancara dan rekam medik

c) Skala pengukuran : Nominal

6) Penyakit penyerta

a) Definisi : Penyakit gagal jantung, hemikrania paroksimal kronis,

arthritis, fibromialgia, kejang nokturnal, refluks

gastroesofagus, diabetes, hipertiroid

b) Alat Ukur : Wawancara dan rekam medik

c) Skala pengukuran : Nominal

7) Gangguan mental

a) Definisi : Yang termasuk gangguan mental yaitu depresi,

psikosis, kecemasan, panik

b) Alat Ukur : Rekam medik

(51)

commit to user

8) Konsumsi zat

a) Definisi : Zat itu antara lain dekongestan, diuretik, kafein, beta

blocker, anti konvulsan, nikotin, alkohol

b) Alat Ukur : Wawancara dan rekam medik

c) Skala pengukuran : Nominal

G. Alat dan bahan Penelitian

1. Informed Consent

2. Kuesioner Insomnia Rating Scale

3. Rekam Medik

H. Cara Kerja 1. Pasien Asma

a. Wawancara data diri (nama, umur, alamat, dan pekerjaan)

b. Menjelaskan maksud, tujuan, prosedur, dan mendapat persetujuan

keikutsertaan dalam penelitian dengan penandatanganan informed

consent

c. Wawancara apakah memiliki penyakit asma atau diagnosis bandingnya,

penyakit penyerta, gangguan mental, dan mengonsumsi zat dalam

sebulan terakhir

d. Pengisian kuesioner Insomnia Rating Scale oleh pasien asma

2. Pasien TB paru

(52)

commit to user

b. Menjelaskan maksud, tujuan, prosedur, dan mendapat persetujuan

keikutsertaan dalam penelitian dengan penandatanganan informed

consent

c. Wawancara apakah memiliki penyakit TB paru tanpa komplikasi atau

diagnosis bandingnya, MDR, penyakit penyerta, gangguan mental,dan

mengonsumsi zat dalam sebulan terakhir

d. Pengisian kuesioner Insomnia Rating Scale oleh pasien TB paru

3. Menghitung skor total Insomnia Rating Scale

a. Setiap soal kuesioner Insomnia Rating Scale memiliki sistem skoring

tersendiri

b. Skor tiap soal dijumlah dan didapat skor total yang kemudian

dikelompokkan menjadi insomnia (+) atau kualitas tidur buruk jika skor

total ≥ 10. Sedangkan insomnia (-) atau kualitas tidur baik jika skor

total < 10

4. Melakukan analisis data dengan Chi Square setelah diklasifikasikan

kualitas tidur baik atau kualitas tidur buruk.

I. Analisis data

Analisis data secara statistik dengan menggunakan uji Chi

Square (X2). Pengolahan data dengan menggunakan program SPSS 17 for

(53)

commit to user

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Penelitian mengenai Perbedaan Kualitas Tidur antara Pasien Asma dan TB

Paru telah dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2012 di Poliklinik Paru

RSUD Dr. Moewardi. Subjek penelitian berjumlah 60 orang terdiri dari 30 pasien

asma dan 30 pasien TB Paru. Berikut disampaikan hasil penelitian yang disajikan

dalam bentuk tabel.

A. Karakteristik Subjek Penelitian

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Pasien Asma dan Pasien TB Paru Berdasarkan Jenis Kelamin

Diagnosis

No. Jenis Kelamin Asma TB Paru Jumlah n (%) n (%) n (%)

1. Perempuan 21 (70) 11 (37,7) 32 (53,3)

2. Laki-laki 9 (30) 19 (63,3) 28 (47,7)

Jumlah 30 (100) 30 (100) 60 (100)

Tabel 4.1 menunjukkan selama penelitian, jenis kelamin perempuan

pada pasien asma lebih banyak dengan persentase 70%. Sedangkan pasien TB

paru lebih banyak berjenis kelamin laki-laki dengan persentase 63,3%.

(54)

commit to user

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Pasien Asma dan Pasien TB Paru Berdasarkan Umur

Pada tahap ini dilakukan analisis bivariat untuk mengetahui perbedaan

antara variabel terikat (kualitas tidur) dan variabel bebas (pasien asma dan

pasien TB paru). Uji statistik menggunakan Chi-square dengan Confidence

(55)

commit to user

Dari Tabel 4.3 didapatkan kelompok pasien TB Paru dengan kualitas

tidur baik sebanyak 24 orang (80%) dan kualitas tidur buruk sebanyak 6

orang (20%). Pada kelompok pasien asma dengan kualitas tidur baik

sebanyak 9 orang (30%) dan kualitas tidur buruk sebanyak 21 orang (70%).

Analisis bivariat terhadap hubungan antara Pasien Asma dan TB Paru dengan

kualitas tidur menunjukkan hubungan yang signifikan yaitu p < 0,001. Pasien

Asma memiliki risiko untuk mengalami kualitas tidur buruk 9,3 kali lebih

(56)

commit to user

BAB V PEMBAHASAN

Penelitian yang berjudul “Perbedaan Kualitas Tidur antara Pasien Asma

dan Pasien TB Paru” dilakukan pada bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2012 di

RSUD Dr. Moewardi dan didapatkan 60 subjek penelitian yang terdiri dari 30

pasien asma dan 30 pasien TB paru.

Distribusi frekuensi penelitian berdasarkan jenis kelamin (Tabel 4.1)

didapatkan bahwa pasien asma yang terbanyak adalah perempuan, dengan

persentase 70%. Hal ini dikarenakan jenis kelamin merupakan faktor predisposisi

asma. Menurut GINA (2011) dan NHLBI (2007), jenis kelamin laki-laki

merupakan sebuah faktor risiko terjadinya asma pada anak-anak. Namun pada

penelitian ini anak tidak diambil sampel. Hasil penelitian sudah sesuai dengan

penelitian NHLBI (2007), pada masa pubertas rasio prevalensi bergeser dan

menjadi lebih sering terjadi pada perempuan. Perempuan lebih rentan terhadap

stres dan mengalami masalah hormonal (menstruasi, premenstruasi, kehamilan)

yang menjadi faktor pencetus asma (Surjanto, 2001).

Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko insomnia. Perempuan

lebih rentan mengalami insomnia karena adanya perubahan hormonal

(premenstruasi, menstruasi, dan kehamilan) (Zhang dan Wing, 2006). Pada

penelitian ini pasien asma didapati jenis kelamin terbanyak adalah perempuan.

Selain itu pasien asma juga lebih banyak yang mengalami kualitas tidur yang

(57)

commit to user

buruk. Sehingga jenis kelamin merupakan faktor perancu yang tidak dapat

dikendalikan.

Berdasarkan jenis kelamin (Tabel 4.1) didapatkan bahwa pasien TB Paru

yang terbanyak adalah laki-laki dengan persentase 63,3%. Penyakit TB Paru

cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan.

Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yaitu pada jenis kelamin laki-laki

penyakit ini lebih tinggi karena sebagian besar laki-laki mengonsumsi rokok dan

alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih

mudah terpapar dengan agen penyebab TB paru (Hiswani, 2003).

Penelitian ini kelompok umur pasien asma yang paling banyak yaitu

kelompok umur 51-60 tahun dengan persentase 43,3%. Namun penelitian

epidemiologi yang dilakukan Center for Disease Control (CDC) tahun 1998 di

Amerika Serikat menunjukkan bahwa penderita asma dewasa paling sering

ditemukan pada usia 45-47 tahun. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh

perbedaan ras, gaya hidup, dan lingkungan.

Pada pasien TB paru kelompok umur 21-30 tahun dan 51-60 tahun

menunjukkan persentase paling banyak yaitu 26,7%. Hasil penelitian ini sudah

sesuai dengan Depkes (2010) yaitu penyakit TB paru paling sering ditemukan

pada usia produktif 15-54 tahun. Banyak ditemukan pada usia produktif karena

usia tersebut sebagian besar orang mencari nafkah di lingkungan luar sehingga

dapat dimunkinkan terjadi penularan. Dewasa ini dengan terjadinya transisi

Gambar

Tabel 2.1 Derajat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis
Tabel 2.2. Jenis, sifat, dan dosis OAT
Tabel 4.1  Distribusi Frekuensi Pasien Asma dan Pasien TB Paru Berdasarkan
Tabel 4.3 Analisis Bivariat tentang Kualitas Tidur antara Pasien Asma dan               Pasien TB Paru
+2

Referensi

Dokumen terkait

Alat-alat yang digunakan pada pengujian ini diantaranya adalah Alat pemadat getar listrik, wadah penampung campuran, cetakan benda uji berdiameter 152,1 mm, kertas

Melalui analisis pada 30 hasil swab, didapatkan hasil penelitian yaitu gambaran jenis bakteri yang didapat dari dudukan kloset sebelum dibersihkan adalah 13 Eschericia

Pembelajaran terbimbing dilakukan baik di kelompok A dan B dimana peran mahasiswa disini seharusnya sebagai pelengkap guru kelas, yang nantinya dapat melakukan kegiatan

Variasi kadar perekat phenol formaldehida (PF) yang digunakan berpengaruh terhadap sifat fisis dan mekanis papan partikel batang pisang barangan yang

Sejauh ini peneliti menemukan satu penelitian yang dapat menunjukan bahwa penelitian ini masih relevan untuk dilaksanakan yaitu penelitian yang dilakukan oleh Jhon

[r]

Sistem Informasi berbasis Geografis atau Peta Digital yang mempermudah user dalam penentuan dan pengalamatan lokasi pemasangan reklame yang sesuai dengan

This research aims to answer the two questions: (1) How is a set of English reading materials using English teen magazines for the seventh grade students of