PUSKESMAS SIBELA SURAKARTA
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
Fitrian Sufianasari
G.0009087
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Alhamdulillah hirobbil’aalamin, segala puji syukur penulis hantarkan
kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan nikmatnya kepada penulis,
sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Faktor risiko ISPA pada
Balita di Wilayah Puskesmas Sibela Surakarta. Skripsi ini merupakan salah satu
persyaratan dalam menyelesaikan Program Sarjana Pendidikan Dokter di Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan berhasil tanpa adanya
bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dengan penuh rasa hormat ucapan
terima kasih yang dalam penulis berikan kepada :
1.
Prof.Dr.Zainal Arifin Adnan,dr.,Sp.PD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2.
Ismiranti Andarini, dr., Sp.A, M.Kes selaku Pembimbing Utama yang telah
menyediakan waktu untuk membimbing hingga terselesainya skripsi ini.
3.
Drs. Widardo, M. Sc selaku Pembimbing Pendamping yang telah
menyediakan waktu untuk membimbing hingga terselesainya skripsi ini.
4.
Sri Lilijanti Widjaya, dr., Sp.A(K) selaku Penguji Utama yang telah
memberikan banyak kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.
5.
Dr. Senyum Indrakila, dr., Sp.M selaku Penguji Pendamping yang telah
memberikan banyak kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.
6.
Bapak dan Ibu tercinta serta kakak-kakak dan adik-adik tersayang yang
senantiasa mendoakan tiada henti, dan memberikan dukungan dalam segala
hal sehingga terselesaikannya skripsi ini.
7.
Sahabat-sahabat terdekat, Wisma Musica Sari, Setuju, Orange House, Tikara
atas semangat yang tak henti-henti dan waktu yang selalu tersedia.
8.
Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu proses
penelitian tugas karya akhir ini yang tidak mungkin penulis sebutkan satu
persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak
terdapat kekurangan, sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak sangat penulis harapkan.
DAFTAR ISI ... vii
A.
Karakteristik Subjek Penelitian ...
36
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) menjadi penyebab penyakit akut
dan merupakan penyebab kematian Balita tertinggi di dunia. Setiap tahunnya,
ISPA mengakibatkan dua juta kematian Balita di dunia dan menduduki
peringkat pertama penyakit yang dapat mengurangi angka harapan hidup di
negara-negara berkembang. Populasi dengan risiko ISPA tertinggi adalah Balita.
Kejadian ISPA pada Balita di negara berkembang mencapai 151 juta tiap
tahunnya. Kasus dengan kejadian ISPA tertinggi yaitu India (43 juta), Cina (21
juta), Pakistan (10 juta), Banglades, Indonesia, dan Nigeria (masing-masing 56
juta) (WHO, 2009).
Berdasarkan data di atas, Indonesia merupakan salah satu negara dengan
kejadian ISPA tertinggi di dunia. Berdasarkan data WHO (2004), ISPA
merupakan salah satu penyakit yang menjadi sepuluh besar penyebab kematian
dan kecacatan di Indonesia. Indonesia menduduki peringkat ke-6 di dunia untuk
kasus pneumonia
pada Balita. Pada tahun 2006 tercatat penderita pneumonia
mencapai enam juta jiwa. Laporan Direktorat Jenderal Pencegahan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (Ditjen P2M-PLP) Depkes RI
Tahun 2007 menyebutkan dari 31 provinsi ditemukan 477.429 Balita dengan
35,02% pada usia di bawah satu tahun dan 64,97% pada usia satu hingga empat
tahun (Ginting, 2009).
Data terakhir Dinas Kesehatan Kota Surakarta menyebutkan bahwa 29,5%
kematian Balita disebabkan oleh ISPA dan sekitar 80-90% adalah karena
pneumonia. Pada tahun 2010, berdasarkan laporan hasil pengamatan penyakit
Puskesmas, ditemukan kasus pneumonia Balita sebanyak 288 kasus. Sedangkan
insidensi pneumonia diperkirakan 10-20% per tahun (Dinkes Surakarta, 2011).
Faktor risiko yang meningkatkan kejadian ISPA terbagi menjadi faktor
intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik terdiri dari usia, gizi kurang,
berat badan lahir rendah, tidak mendapat ASI yang adekuat, imunisasi tidak
lengkap, dan defisiensi vitamin A. Faktor ekstrinsik terdiri dari polusi udara,
kepadatan tempat tinggal, anggota keluarga yang merokok, anggota keluarga
yang menderita ISPA dan tingkat sosial ekonomi (Dinkes Jateng, 2001; Depkes,
2001; Yuwono, 2008; WHO, 2011).
Perkotaan mempunyai tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Tahun
2010, Kota Surakarta mempunyai kepadatan penduduk paling tinggi di Jawa
Tengah. Dengan luas wilayah yang hanya sebesar 44,03 kilometer persegi,
tingkat kepadatannya mencapai 11.340 jiwa per kilometer persegi (BPS, 2011).
Kepadatan penduduk akan mempengaruhi kepadatan hunian rumah. Kepadatan
hunian yang tinggi akan meningkatkan kecepatan transmisi mikroorganisme,
sehingga apabila terdapat anggota keluarga yang menderita ISPA akan sangat
Balita dengan gizi kurang akan mengalami gangguan fungsi imunitas non
spesifik dan spesifik, sehingga akan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi,
terutama ISPA (Almatsier, 2009; Shankar dan Prasad, 1998). Data Depkes tahun
2001 menyebutkan kematian akibat ISPA pada anak dapat dicegah dengan
imunisasi campak sekitar 11% sedangkan dengan imunisasi DPT sebesar 6%.
Oleh karena itu, untuk mengurangi kejadian dan mortalitas ISPA dapat
diupayakan dengan imunisasi lengkap (Depkes, 2001).
Anggota keluarga yang merokok akan berpengaruh terhadap kejadian
ISPA pada Balita (Naria et al., 2008; Winarni et al., 2010). Asap rokok yang
dikeluarkan oleh perokok (
sidestream smoke
) mengandung lebih banyak hasil
pembakaran tembakau yang akan mengakibatkan iritasi pada saluran pernafasan
dan bahkan paru-paru. Bila iritasi tersebut diikuti oleh bakteri, atau kuman
pathogen maka akan menimbulkan infeksi. Sehingga Balita yang menjadi
perokok pasif lebih mudah terserang ISPA (Winarni et al., 2010).
Berdasarkan laporan tahunan terakhir mengenai dua puluh besar penyakit
di Puskesmas Sibela tahun 2010, salah satu jenis penyakit ISPA yaitu
common
cold
atau rinitis, menduduki peringkat pertama penyakit yang paling banyak
dialami pasien rawat jalan Puskesmas Sibela dengan jumlah total 6.086 (13,82
%). Sedangkan kunjungan total Balita yang terkena ISPA secara keseluruhan
Dari latar belakang tersebut, maka penulis mengangkat topik penelitian
tentang faktor risiko ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sibela
Surakarta.
B.
Perumusan Masalah
Apa faktor risiko ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sibela
Surakarta?
C.
Tujuan Penelitian
Mengetahui faktor risiko ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Sibela Surakarta.
D.
Manfaat Penelitian
1.
Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumber
tertulis untuk memberi informasi tentang faktor risiko ISPA pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Sibela Surakarta dan sebagai dasar penelitian
lebih lanjut.
2.
Manfaat Praktis
Sebagai upaya untuk pencegahan dan penurunan angka kejadian
BAB II
DASAR TEORI
A.
Tinjauan Pustaka
1.
ISPA
a.
Definisi
ISPA atau Infeksi Saluran Pernapasan Akut adalah penyakit infeksi
yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran napas,
mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk
jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah, pleura dan
parenkim paru (Depkes, 2006; Wantania et al., 2008).
Istilah ISPA diadaptasi dari istilah dalam bahasa inggris
Acute
Respiratory Infection
(ARI). ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi,
saluran pernapasan dan akut. Batas waktu 14 hari diambil untuk
menunjukkan berlangsungnya proses akut, meskipun beberapa penyakit
yang dapat digolongkan ISPA, proses ini dapat berlangsung lebih dari 14
hari (Depkes, 2006).
Definisi ISPA menurut Lopez-Alarcon et al. (1997) yaitu suatu
penyakit yang ditandai dengan batuk, pilek paling sedikit dua hari
berturut-turut diikuti satu atau lebih gejala-gejala seperti e
rythematous
demam. ISPA dikatakan episode baru bila telah sehat atau sembuh
sekurang-kurangnya dua hari dari gejala penyakit yang diderita.
Manifestasi klinis ISPA dapat berupa batuk, kesulitan bernafas, sakit
tenggorokan, suara serak, pilek, demam dan sakit telinga, tidak nafsu
makan (Tregoning dan Schwarze, 2010).
b.
Klasifikasi ISPA
ISPA
diklasifikasikan
bermacam-macam
tergantung
dari
peninjauannya yaitu:
1)
Berdasarkan lokasi anatomik (WHO, 2002):
1)
Infeksi Saluran Pernafasan Akut bagian Atas (ISPaA) yaitu infeksi
yang menyerang hidung sampai epiglotis. Penyakit yang termasuk
ISPaA adalah (WHO, 2010; Hueston, 2003; Wantania et al., 2008):
(1)
nasofaringitis akut (
common cold
)
(2)
rhinitis akut
(3)
sinusitus akut
(4)
rhinosinusitis akut
(5)
faringitis akut
(6)
tonsillitis akut
(7)
otitis media akut
2)
Infeksi Saluran Pernafasan Akut bagian Bawah (ISPbA) yaitu
infeksi yang menyerang organ saluran pernafasan mulai dari
termasuk ISPbA adalah (WHO, 2010; Hueston, 2003; Raharjoe, et
al., 2008):
(1)
laringofaringitis akut
(2)
epiglotitis akut
(3)
laringitis akut
(4)
trakhetis akut
(5)
CROUP (Laringotrakheobronkitis Akut)
(6)
bronkhitis akut
(7)
bronkiolitis akut
(8)
pneumonia
2)
Berdasarkan ICD (
International Classification Disease)
(WHO,
2010):
1)
Acute upper respiratory infections
(1)
Acute nasopharyngitis [common cold]
(2)
Acute sinusitis
(3)
Acute pharyngitis
(4)
Acute tonsillitis
(5)
Acute laryngitis and tracheitis
(6)
Acute obstructive laryngitis [croup] and epiglottitis
(7)
Acute upper respiratory infections of multiple and unspecified
sites
(1)
Influenza due to certain identified influenza virus
(2)
Influenza due to other identified influenza virus
(3)
Influenza, virus not identified
(4)
Viral pneumonia, not elsewhere classified
(5)
Pneumonia due to Streptococcus pneumoniae
(6)
Pneumonia due to Haemophilus influenzae
(7)
Bacterial pneumonia, not elsewhere classified
(8)
Pneumonia due to other infectious organisms, not elsewhere
classified
(9)
Pneumonia in diseases classified elsewhere
(10)
Pneumonia, organism unspecified
3)
Acute lower respiratory infections:
(1)
Acute bronchitis
(2)
Acute bronchiolitis
(3)
Unspecified acute lower respiratory infection
3)
Berdasarkan derajat keparahan penyakit (WHO, 2002; Hadi, 2003):
a)
ISPA ringan
ISPA ringan ditandai dengan gejala batuk dan pilek dengan atau
tanpa demam
b)
ISPA berat
ISPA berat ditandai dengan gejala seperti ISPA ringan dan
sakit atau keluar cairan dari telinga, bercak kemerahan (campak)
dan pernapasan cepat. Batas nafas cepat adalah frekuensi nafas
sebanyak (Depkes, 2002):
(1)
60 kali per menit atau lebih pada usia kurang 2 bulan.
(2)
50 kali per menit atau lebih pada usia 2 bulan sampai kurang
dari 1 tahun.
(3)
40 kali per menit atau lebih pada usia 1 sampai 5 tahun.
c)
ISPA sangat berat
ISPA berat ditandai dengan gejala seperti pada ISPA sedang dan
disertai gejala penarikan dinding dada, kesadaran menurun, tidak
dapat makan dan minum, bibir/kulit pucat kebiruan,
stridor
yaitu
suara napas seperti mengorok, dan kejang.
c.
Faktor risiko
Departeman Kesehatan (2002) menyebutkan bahwa faktor yang
meningkatkan angka kematian akibat pneumonia pada Balita adalah usia
kurang dari dua bulan, tingkat sosial ekonomi rendah, kurang gizi,
BBLR, tingkat pendidikan ibu yang rendah, jangkauan pelayanan
kesehatan rendah, kepadatan tempat tinggal, immunisasi tidak lengkap,
menderita penyakit kronis, aspek kepercayaan setempat dalam praktek
pencarian pengobatan yang salah.
Faktor risiko yang meningkatkan kejadian ISPA dibagi menjadi
kurang, berat badan lahir rendah, tidak mendapat ASI yang adekuat,
imunisasi tidak lengkap, dan defisiensi vitamin A. Faktor ekstrinsik
terdiri dari polusi udara, kepadatan tempat tinggal, anggota keluarga
yang merokok, anggota keluarga yang menderita ISPA dan tingkat sosial
ekonomi (Dinkes Jateng, 2001; Depkes, 2001; Yuwono, 2008; WHO,
2011).
1)
Pencemaran udara
Pencemaran udara atau polusi udara diartikan sebagai adanya
bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan
perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya.
Kehadiran bahan atau zat asing di dalam udara dalam jumlah tertentu
serta berada di udara dalam waktu yang cukup lama, akan dapat
menganggu kehidupan manusia (Wardhana, 2004).
Polusi udara dapat dibedakan menjadi dua yaitu polusi udara di
dalam ruangan (
indoor air pollution
) dan polusi udara luar ruang
(
outdoor air pollution
). Timbulnya polusi udara dalam ruangan
umumnya disebabkan oleh beberapa hal, yaitu kurangnya ventilasi
udara (52%) adanya sumber kontaminasi di dalam ruangan (16%)
kontaminasi dari luar ruangan (10%), mikroba (5%), bahan material
bangunan (4%) , lain-lain (13%) (Depkes, 2011).
Sebagian besar polutan luar ruang merupakan hasil pembakaran
yang termasuk polutan udara luar ruang adalah ozon (O
3), nitrogen
dioksida (NO
2), sulfur dioksida (SO
2), karbon monoksida (CO),
timbal dan partikel. Polutan-polutan tersebut berbahaya bagi
kesehatan dan dapat memicu terjadinya ISPA. Polutan seperti ozon
(O
3), nitrogen dioksida (NO
2), sulfur dioksida (SO
2), karbon
monoksida (CO) dapat mengiritasi mukosa saluran pernapasan
sehingga mempermudah infeksi dari mikroorganisme (Kumar et al.,
2007a).
Hasil monitoring tingkat pencemaran udara di kota-kota besar di
Indonesia menunjukkan pencemaran udara sudah melampaui standar
kualitas udara. Dari hasil pemetaan kualitas udara di Kota Surakarta
didapatkan kadar CO rata-rata mencapai 20,9 ppm dan di beberapa
tempat seperti Pajang, Klewer, Jurug dan Pasar Kliwon kadar CO
dalam udaranya mencapai 27 ppm, melebihi dari ambang batas
pencemaran udara yaitu 20 ppm (Kadyarsi, 2008; Kusminingrum dan
Gunawan, 2008).
2)
Kepadatan hunian
Kota mempunyai tingkat kepadatan penduduk yang tinggi.
Padatnya penduduk kota antara lain disebabkan oleh adanya
perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke daerah kota. Kota
Surakarta mempunyai kepadatan penduduk paling tinggi di Jawa
persegi, tingkat kepadatannya mencapai 11.340 jiwa per kilometer
persegi. Sehingga rata-rata 20-30 kepala keluarga atau sekitar 113
jiwa hidup pada satu hektar lahan (BPS, 2011).
Kepadatan penduduk akan mempengaruhi kepadatan penghuni
rumah. Penelitian yang dilakukan oleh Nindya dan Sulistyiorini
(2005) menyimpulkan bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian
dengan kejadian ISPA. Banyaknya orang yang tinggal dalam satu
rumah mempunyai peranan penting dalam kecepatan transmisi
mikroorganisme penyebab ISPA (Nurjazuli dan Widyaningtyas,
2009). Kepadatan hunian yang tinggi dan tidak cukupnya ventilasi
menyebabkan kelembaban dalam rumah meningkat sehingga
berpengaruh terhadap suburnya pertumbuhan mikroorganisme
(Depkes, 2011).
3)
Status sosial dan ekonomi
Status sosial ekonomi adalah segala sesuatu yang berkaitan
dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat, antara lain sandang,
pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Tinggi
rendahnya status sosial ekonomi seseorang ditentukan oleh
pendidikan, pekerjaan dan pendapatan (Yulisanti, 2000).
Pendidikan ibu dan pendapatan keluarga dapat mempengaruhi
status gizi dan status imunisasi yang merupakan faktor intrinsik ISPA.
intake
nutrisi Balita sehingga berpengaruh pada status gizi Balita
(Husaini et al., 2000). Pendidikan orang tua di pedesaan yang
umumnya lebih rendah akan berpengaruh terhadap status gizi dan
status imunisasi (Sediaoetama, 2006; Ayubi, 2009). Penelitian
menyebutkan bahwa pemberian ASI tidak dipengaruhi oleh
pendidikan, pekerjaan maupun pendapatan (Latifah et al.,
2010).
4)
Status gizi
Status gizi adalah tingkat keseimbangan antara konsumsi dan
penyerapan zat gizi dan penggunaan zat-zat gizi tersebut, atau
keadaan fisiologik akibat dari tersedianya zat gizi dalam seluler tubuh
dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa et al., 2002a).
Menurunnya status gizi berakibat menurunnya kekebalan tubuh
terhadap berbagi infeksi. Kekurangan gizi pada Balita meliputi kurang
energi dan protein serta kurang zat gizi seperti vitamin A, zat besi,
iodium dan seng (Hadi, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Tandyo
(2000) menyebutkan walaupun kadar imunoglobulin tidak menurun,
tetapi pada kondisi gizi buruk terdapat gangguan imunitas yang
disebabkan
oleh
menurunnya
komplemen
protein
yang
mengakibatkan aktivitas leukosit untuk memfagosit maupun
membunuh kuman menurun.
Gizi buruk juga menyebabkan gangguan pada imun non spesifik
cerna dan saluran napas, gangguan fungsi leukosit polimorfonuklear
(PMN), sel
natural-killer
dan aktifasi komplemen, penurunan jumlah
dan fungsi limfosit, penurunan jumlah dan fungsi makrofag,
penurunan prekursor limfosit T sitotoksik, penurunan respons
antibodi limfosit B dan penurunan sitokin yang diperlukan untuk
pengenalan antigen yang disebabkan karena defisiensi vitamin A
maupun seng. Gangguan fungsi imunitas non spesifik dan spesifik
tersebut akan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi, terutama
ISPA (Almatsier, 2009; Shankar dan Prasad, 1998).
Sebaliknya, infeksi mempunyai kontribusi terhadap kekurangan
energi, protein dan zat gizi lain karena menurunnya nafsu makan
sehingga tingkat kecukupan gizi menjadi berkurang. Kebutuhan
energi pada saat infeksi bisa mencapai dua kali kebutuhan normal
karena meningkatnya metabolisme basal (Thaha 1995). Selain infeksi,
faktor lain yang dapat menyebabkan gizi buruk adalah masalah sosial
ekonomi berupa pendapatan keluarga dan pendidikan orang tua
(Supariasa et al., 2002a).
5)
Status Imunisasi
Imunisasi merupakan faktor penting dalam pecegahan ISPA.
Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang
berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
menyebutkan kematian akibat ISPA pada anak dapat dicegah dengan
imunisasi campak sekitar 11% sedangkan dengan imunisasi DPT
sebesar 6%. Oleh karena itu, untuk mengurangi kejadian dan
mortalitas ISPA dapat diupayakan dengan imunisasi lengkap (Depkes,
2001). Balita dikatakan mendapatkan imunisasi lengkap bila sudah
mendapatkan imunisasi sesuai dengan usianya berdasarkan jadwal
imunisasi yang dianjurkan oleh Departemen Kesehatan (Depkes,
2008).
Tabel 1. Jadwal Imunisasi Nasional Depkes
Umur
Jenis vaksin
Campak adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
measles
dengan gejala berupa demam, bercak kemerahan, batuk, pilek,
konjungtivitis, dan ruam pada muka dan leher (Depkes, 2008). Selain
menyebabkan penyakit campak, virus
measles
juga merupakan salah
campak akan membentuk antibodi terhadap virus
measles
, sehingga
dapat mencegah ISPA yang disebabkan oleh virus tersebut.
Imunisasi DPT memberikan kekebalan secara simultan terhadap
penyakit difteri, pertusis, dan tetanus dalam waktu yang bersamaan
(Depkes, 2008). Difteri merupakan infeksi akut yang disebabkan oleh
bakteri
Corynebacterium diphtheria.
Apabila menyerang saluran
respiratorik atas akan memberikan gejala berupa demam, sekret
hidung berwarna kemerahan disertai adanya selaput berwarna
keabuan dan bila mengenai laring atau trakea dapat menyebabkan
stridor dan penyumbatan. Sehingga secara langsung imunisasi DPT
dapat mencegah ISPA dengan memberikan imunitas terhadap
penyakit difteri.
Vaksin BCG terdiri dari bakteri hidup yang dilemahkan dari
biakan
Bacille Calmette Guerin
(Depkes, 2006). Vaksin BCG
memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit Tuberkulosis.
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit
yang disebabkan
oleh
Mycobacterium tuberculosa.
Diagnosis TB pada anak sulit dilakukan,
karena pada anak batuk bukan merupakan gejala utama (Depkes,
2008).
Salah satu gejala nyata pada penderita TB adalah berkurangnya
berat badan berturut-turut selama dua bulan. Pada anak TB sering
buruk mengakibatkan menurunnya kekebalan tubuh terhadap berbagi
infeksi karena melemahnya sistem imun akibat gangguan fungsi
leukosit, makrofag, limfosit B dan T, sel
natural killer
dan sitokin
(Almatsier, 2009; Shankar dan Prasad, 1998). Sehingga pada
penderita TB akan mudah terjangkit penyakit infeksi seperti ISPA.
Oleh karena itu dengan mencegah TB, imunisasi BGC secara tidak
langsung juga dapat mencegah ISPA.
Studi yang dilakukan oleh Choudhury (2002) dan Waters (2004)
menyebutkan bahwa semakin tinggi tingkat sosial ekonomi keluarga
maka semakin tinggi peluang anak memperoleh imunisasi lengkap.
6)
Anggota keluarga yang merokok
Efek asap rokok lebih besar bagi perokok pasif dibandingkan
perokok aktif. Asap yang diisap oleh perokok disebut asap utama
(
mainstream
), dan asap yang keluar dari ujung rokok (bagian yang
terbakar) dinamakan
sidestream smoke
atau asap samping. Asap
samping ini terbukti mengandung lebih banyak hasil pembakaran
tembakau dibanding asap utama. Asap ini mengandung karbon
monoksida 5 kali lebih besar, tar dan nikotin 3 kali lipat, amonia 46
kali lipat, nikel 3 kali lipat, nitrosamine sebagai penyebab kanker
kadarnya mencapai 50 kali lebih besar pada asap sampingan
Asap rokok juga mengandung zat prokarsinogen (mis.
4-methylnitrosamino)-1-(3-pyridil)-1-(butanone), nikotin, polysiklik,
tar, CO dan neuroteratogen yang menyebabkan kerusakan pada
saluran pernafasan. Apabila hal itu terjadi maka akan mengakibatkan
iritasi pada saluran pernafasan dan bahkan paru-paru. Bila iritasi
tersebut diikuti oleh bakteri, atau kuman pathogen maka akan
menimbulkan infeksi. Sehingga Balita yang menjadi perokok pasif
lebih mudah terserang ISPA (Winarni et al., 2010).
7)
Anggota Keluarga yang menderita ISPA
Penularan ISPA dari anggota keluarga akan sangat mudah karena
pola penyebaran ISPA yang utama adalah melalui droplet yang keluar
dari hidung/mulut penderita saat batuk atau bersin. Penularan juga
dapat terjadi melalui kontak (termasuk kontaminasi tangan oleh sekret
saluran pernapasan, hidung, dan mulut) dan melalui udara dengan
jarak dekat saat dilakukan tindakan yang berhubungan dengan saluran
napas (WHO, 2008).
Penularan ISPA dari anggota keluarga sangat dipengaruhi oleh
kepadatan hunian. Apabila hunian semakin padat, maka transmisi
mikroorganisme akan semakin meningkat. Sehingga apabila ada
anggota keluarga yang menderita ISPA akan sangat mudah
8)
Berat Badan Lahir
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) merupakan bayi yang lahir
dengan berat lahir kurang dari 2500 gram. Karena pertumbuhan dan
pematangan organ maupun alat–alat tubuh BBLR belum sempurna
disertai dengan defisiensi imun, akibatnya BBLR sering mengalami
komplikasi dan infeksi yang dapat berakhir dengan kematian. Fungsi
paru pada bayi dengan berat badan lahir rendah pada umumnya belum
matur sehingga akan mudah terserang penyakit pernapasan (Walter et
al., 2009; Filippone et al, 2003; Doyle et al., 2006; Halvorsen et al.,
2006; Vrijlandt et al, 2005)
Penyakit gangguan pernafasan yang sering diderita oleh bayi
berat lahir rendah adalah
Bronchopulmonary dysplasia
, ISPA, aspirasi
pnemonia, pernafasan periodik dan apnea yang juga disebabkan
karena pusat pernafasan di medulla belum matur (Eric et al., 2008;
Halvorsen et al, 2004).
9)
Asi Eksklusif
ASI Eksklusif merupakan pemberian hanya ASI saja tanpa
makanan dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai berusia 6
bulan (Depkes, 2006). ASI memberi semua energi dan gizi (nutrisi)
yang dibutuhkan bayi selama enam bulan pertama hidupnya. ASI
akan nutrisi, ASI juga mengandung faktor antibodi untuk melawan
infeksi-infeksi bakteri dan virus (Koosha, 2008)
Menurut stadium laktasi, ASI dibagi menjadi kolostrum (hari ke 1-4),
ASI masa peralihan (hari ke 4-14) dan ASI matur (hari ke 14 dan
seterusnya). Kolostrum mengandung lebih banyak protein serta
antibodi (yang dapat memberikan perlindungan pada bayi sampai
umur 6 bulan) daripada ASI matur (Hapsari, 2009).
ASI mengandung zat anti infeksi berupa Imunoglobulin A,
laktoferin, lisosim, sel-sel leukosit dan bifidus faktor. Imunoglobulin
A (IgA) ASI kadarnya cukup tinggi. Sekretori IgA tidak diserap tetapi
dapat melumpuhkan bakteri patogen
Escherichia coli
dan berbagai
virus pada saluran pencernaan. Laktoferin adalah sejenis protein yang
merupakan komponen zat kekebalan berfungsi untuk mengikat zat
besi di saluran pencernaan. Lisosim dalam ASI yang jumlahnya 300
kali lebih banyak daripada susu sapi dapat melindungi bayi terhadap
bakteri (
Escherichia coli
dan
Salmonella
) dan virus, termasuk virus
penyebab ISPA. Sel darah putih pada ASI pada dua minggu pertama
lebih dari 4000 sel per mil. Terdiri dari tiga macam yaitu
Bronchus-Asociated Lympocyte Tissue
(BALT) yaitu antibodi pernafasan,
Gut
Asociated Lympocyte Tissue
(GALT) yaitu antibodi saluran
pencernaan, dan
Mammary Asociated Lympocyte Tissue
(MALT)
karbohidrat yang mengandung nitrogen, menunjang pertumbuhan
bakteri
Lactobacillus bifidus
. Bakteri ini menjaga keasaman flora usus
bayi dan berguna untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang
merugikan (American Academy of Pediatrics, 2005; Lawrence,
2002).
Antibodi-antibodi tersebut akan meningkatkan daya tahan tubuh
dan memberikan kekebalan terhadap penyakit ISPA.
d.
Etiologi
Mikroorganisme yang dapat menyebabkan ISPA ada lebih dari 300
jenis, terdiri atas golongan bakteri, virus, riketsia dan jamur (Depkes,
2002). Bakteri penyebab ISPA adalah
Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae
tipe b
(Hib),
Corynebacterium diphtheriae,
Staphylococcus aureus, M. catarrhalis
dan spesies bakteri lainnya seperti
Klebsiella pneumonia, Mycoplasma pneumoniae
,
Chlamydia
spp.,
Pseudomonas
spp.,
Escherichia coli
, histoplasmosis and toxoplasmosis.
(Rudan et.al, 2008).
Penelitian Makela et al. berhasil mengindentifikasi bakteri
Chlamydia pneumoniae
,
Haemophilus influenzae
,
Streptococcus
pneumoniae
, dan
Mycoplasma pneumonia
pada sputum 200 remaja
Finlandia yang menderita ISPA (Makela et al., 1998).
Virus penyebab ISPA berupa R
espiratory Syncytial Virus
(RSV),
dan PIV-3),
influenza virus
tipe A dan B,
varicella virus, adenovirus
(AV),
rhinovirus
,
enterovirus
,
coronavirus
(CoV)
, herpes simplex virus
,
dan
human metapneumovirus
(hMPV). (WHO, 2009; Makela et al.,
1998; Chonmaitree et al., 2008).
Hasil penelitian Allander et al. dengan menggunakan teknik
RT-PCR di Amerika Serikat menyebutkan bahwa virus lain yang dapat
menyebabkan ISPA adalah
bocavirus
(BoV) dan
polyomaviruses
(Allander et al., 2007).
f.
Patofisiologi
Saluran pernapasan mempunyai sistem pertahanan terhadap
mikroorganisme yang berupa sistem mukosiliaris. Mikroorganisme yang
terhirup dalam bentuk droplet maupun yang kontak dengan mukosa
saluran pernapasan secara langsung akan terperangkap oleh lapisan
mukus yang dihasilkan oleh sel goblet dan kemudian diangkut oleh
gerakan silia ke bagian belakang tenggorokan untuk ditelan maupun
dikeluarkan (Kumar et al., 2007b; WHO, 2008).
Patogen pernapasan yang virulen seperti virus influenza atau
parainfluenza dapat lolos dari pertahanan mukosiliaris dengan
mengeluarkan neuraminidase untuk menghambat gerakan silia.
Organisme tertentu seperti
Haemophilus influenza
mengeluarkan
berbagai faktor yang dapat menghambat gerakan silia.
Streptococcus
tidak memiliki faktor perekat spesifik, hanya dapat menginfeksi setelah
ada lesi pada mukosa saluran pernapasan (Kumar et al., 2007b; Prince
dan Wilson, 2006).
Setelah mikroorganisme menginfeksi mukosa saluran pernapasan,
terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler, sekresi mukus dan udem
konka sehingga timbul gejala klinis berupa pilek (
rhinorrhea
) dan
kesulitan bernapas (Yuta et al., 1998). Infeksi dapat tejadi pada mukosa
laring dan faring sehingga mengakibatkan sakit tenggorokan, suara serak
dan batuk (Soepardi et al., 2007).
g.
Diagnosis
Diagnosis ISPA ditegakkan berdasarkan anamnesis berdasarkan
gejala klinis, pemeriksaan fisik dengan atau tanpa pemeriksaan
penunjang. Seseorang disebut mengalami ISPA bila mengalami atau
menunjukkan satu atau lebih gejala ISPA seperti batuk, pilek dan atau
demam dan atau sesak napas dan atau keluar cairan dari telinga
(Lopez-Alarcon et al., 1997; Raharjoe et al., 2008).
Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dilakukan untuk
membedakan jenis ISPA yang satu dengan lainya. Dalam pemeriksaan
fisik digunakan alat bantu seperti stetoskop,
tongue spatel
, spekulum
hidung, spekulum telinga, dan senter. Pemeriksaan fisik yang dilakukan
meliputi inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Pemeriksaan
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui etiologi ISPA
secara pasti. Terdapat berbagai macam pemeriksaan laboratorium seperti
pemeriksaan darah rutin, C-reaktif protein, uji serologis, pemeriksaan
mikrobiologis, dan pemeriksaan identifikasi virus secara langsung seperti
ELISA, imunofluoresensi RIA dengan menggunakan PCR (Alsagaff dan
Mukty, 2008; Raharjoe et al., 2008).
2.
Alergi
Alergi adalah suatu keadaan hipersensitivitas yang diinduksi oleh
pajanan terhadap suatu antigen tertentu yang menimbulkan reaksi
imunologi yang berbahaya pada pajanan berikutnya (Abbas dan Lichtman,
2003). Manifestasi alergi dapat terjadi di kulit, saluran pernapasan dan
saluran cerna. Dalam saluran pernapasan, alergi dapat berupa rinitis alergi
dan asma.
Apabila tubuh terpajan dengan alergen, akan terbentuk IgE yang akan
menyebabkan degranulasi sel mast dan pengeluaran mediator inflamasi
seperti histamin yang mempunyai efek vasodilatasi mukosa dan
peningkatan permeabilitas kapiler sehingga dalam saluran pernapasan akan
menimbulkan gejala seperti ISPA yaitu udem mukosa, sumbatan hidung,
pilek, batuk maupun sesak napas. Karena gejala klinis menyerupai ISPA,
Keterangan:
= diteliti
= tidak diteliti
Alasan variabel yang tidak diteliti, meliputi:
1.
Polusi udara, faktor ini kurang fisibel dilakukan dalam penelitian ini
karena penelitian yang kompleks dan biaya yang relatif besar.
2.
Kepadatan hunian, faktor ini kurang fisibel dilakukan dalam penelitian
ini karena peneliti harus menghitung luas rumah subjek penelitian,
sehingga membutuhkan waktu, biaya dan tenaga yang relatif besar.
3.