• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR RISIKO ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SIBELA SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "FAKTOR RISIKO ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SIBELA SURAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

PUSKESMAS SIBELA SURAKARTA

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Fitrian Sufianasari

G.0009087

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

Alhamdulillah hirobbil’aalamin, segala puji syukur penulis hantarkan

kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan nikmatnya kepada penulis,

sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Faktor risiko ISPA pada

Balita di Wilayah Puskesmas Sibela Surakarta. Skripsi ini merupakan salah satu

persyaratan dalam menyelesaikan Program Sarjana Pendidikan Dokter di Fakultas

Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan berhasil tanpa adanya

bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dengan penuh rasa hormat ucapan

terima kasih yang dalam penulis berikan kepada :

1.

Prof.Dr.Zainal Arifin Adnan,dr.,Sp.PD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2.

Ismiranti Andarini, dr., Sp.A, M.Kes selaku Pembimbing Utama yang telah

menyediakan waktu untuk membimbing hingga terselesainya skripsi ini.

3.

Drs. Widardo, M. Sc selaku Pembimbing Pendamping yang telah

menyediakan waktu untuk membimbing hingga terselesainya skripsi ini.

4.

Sri Lilijanti Widjaya, dr., Sp.A(K) selaku Penguji Utama yang telah

memberikan banyak kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

5.

Dr. Senyum Indrakila, dr., Sp.M selaku Penguji Pendamping yang telah

memberikan banyak kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

6.

Bapak dan Ibu tercinta serta kakak-kakak dan adik-adik tersayang yang

senantiasa mendoakan tiada henti, dan memberikan dukungan dalam segala

hal sehingga terselesaikannya skripsi ini.

7.

Sahabat-sahabat terdekat, Wisma Musica Sari, Setuju, Orange House, Tikara

atas semangat yang tak henti-henti dan waktu yang selalu tersedia.

8.

Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu proses

penelitian tugas karya akhir ini yang tidak mungkin penulis sebutkan satu

persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak

terdapat kekurangan, sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun dari

semua pihak sangat penulis harapkan.

(3)

DAFTAR ISI ... vii

A.

Karakteristik Subjek Penelitian ...

36

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) menjadi penyebab penyakit akut

dan merupakan penyebab kematian Balita tertinggi di dunia. Setiap tahunnya,

ISPA mengakibatkan dua juta kematian Balita di dunia dan menduduki

peringkat pertama penyakit yang dapat mengurangi angka harapan hidup di

negara-negara berkembang. Populasi dengan risiko ISPA tertinggi adalah Balita.

Kejadian ISPA pada Balita di negara berkembang mencapai 151 juta tiap

tahunnya. Kasus dengan kejadian ISPA tertinggi yaitu India (43 juta), Cina (21

juta), Pakistan (10 juta), Banglades, Indonesia, dan Nigeria (masing-masing 56

juta) (WHO, 2009).

Berdasarkan data di atas, Indonesia merupakan salah satu negara dengan

kejadian ISPA tertinggi di dunia. Berdasarkan data WHO (2004), ISPA

merupakan salah satu penyakit yang menjadi sepuluh besar penyebab kematian

dan kecacatan di Indonesia. Indonesia menduduki peringkat ke-6 di dunia untuk

kasus pneumonia

pada Balita. Pada tahun 2006 tercatat penderita pneumonia

mencapai enam juta jiwa. Laporan Direktorat Jenderal Pencegahan Penyakit

Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (Ditjen P2M-PLP) Depkes RI

Tahun 2007 menyebutkan dari 31 provinsi ditemukan 477.429 Balita dengan

(5)

35,02% pada usia di bawah satu tahun dan 64,97% pada usia satu hingga empat

tahun (Ginting, 2009).

Data terakhir Dinas Kesehatan Kota Surakarta menyebutkan bahwa 29,5%

kematian Balita disebabkan oleh ISPA dan sekitar 80-90% adalah karena

pneumonia. Pada tahun 2010, berdasarkan laporan hasil pengamatan penyakit

Puskesmas, ditemukan kasus pneumonia Balita sebanyak 288 kasus. Sedangkan

insidensi pneumonia diperkirakan 10-20% per tahun (Dinkes Surakarta, 2011).

Faktor risiko yang meningkatkan kejadian ISPA terbagi menjadi faktor

intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik terdiri dari usia, gizi kurang,

berat badan lahir rendah, tidak mendapat ASI yang adekuat, imunisasi tidak

lengkap, dan defisiensi vitamin A. Faktor ekstrinsik terdiri dari polusi udara,

kepadatan tempat tinggal, anggota keluarga yang merokok, anggota keluarga

yang menderita ISPA dan tingkat sosial ekonomi (Dinkes Jateng, 2001; Depkes,

2001; Yuwono, 2008; WHO, 2011).

Perkotaan mempunyai tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Tahun

2010, Kota Surakarta mempunyai kepadatan penduduk paling tinggi di Jawa

Tengah. Dengan luas wilayah yang hanya sebesar 44,03 kilometer persegi,

tingkat kepadatannya mencapai 11.340 jiwa per kilometer persegi (BPS, 2011).

Kepadatan penduduk akan mempengaruhi kepadatan hunian rumah. Kepadatan

hunian yang tinggi akan meningkatkan kecepatan transmisi mikroorganisme,

sehingga apabila terdapat anggota keluarga yang menderita ISPA akan sangat

(6)

Balita dengan gizi kurang akan mengalami gangguan fungsi imunitas non

spesifik dan spesifik, sehingga akan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi,

terutama ISPA (Almatsier, 2009; Shankar dan Prasad, 1998). Data Depkes tahun

2001 menyebutkan kematian akibat ISPA pada anak dapat dicegah dengan

imunisasi campak sekitar 11% sedangkan dengan imunisasi DPT sebesar 6%.

Oleh karena itu, untuk mengurangi kejadian dan mortalitas ISPA dapat

diupayakan dengan imunisasi lengkap (Depkes, 2001).

Anggota keluarga yang merokok akan berpengaruh terhadap kejadian

ISPA pada Balita (Naria et al., 2008; Winarni et al., 2010). Asap rokok yang

dikeluarkan oleh perokok (

sidestream smoke

) mengandung lebih banyak hasil

pembakaran tembakau yang akan mengakibatkan iritasi pada saluran pernafasan

dan bahkan paru-paru. Bila iritasi tersebut diikuti oleh bakteri, atau kuman

pathogen maka akan menimbulkan infeksi. Sehingga Balita yang menjadi

perokok pasif lebih mudah terserang ISPA (Winarni et al., 2010).

Berdasarkan laporan tahunan terakhir mengenai dua puluh besar penyakit

di Puskesmas Sibela tahun 2010, salah satu jenis penyakit ISPA yaitu

common

cold

atau rinitis, menduduki peringkat pertama penyakit yang paling banyak

dialami pasien rawat jalan Puskesmas Sibela dengan jumlah total 6.086 (13,82

%). Sedangkan kunjungan total Balita yang terkena ISPA secara keseluruhan

(7)

Dari latar belakang tersebut, maka penulis mengangkat topik penelitian

tentang faktor risiko ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sibela

Surakarta.

B.

Perumusan Masalah

Apa faktor risiko ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sibela

Surakarta?

C.

Tujuan Penelitian

Mengetahui faktor risiko ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas

Sibela Surakarta.

D.

Manfaat Penelitian

1.

Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumber

tertulis untuk memberi informasi tentang faktor risiko ISPA pada Balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Sibela Surakarta dan sebagai dasar penelitian

lebih lanjut.

2.

Manfaat Praktis

Sebagai upaya untuk pencegahan dan penurunan angka kejadian

(8)

BAB II

DASAR TEORI

A.

Tinjauan Pustaka

1.

ISPA

a.

Definisi

ISPA atau Infeksi Saluran Pernapasan Akut adalah penyakit infeksi

yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran napas,

mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk

jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah, pleura dan

parenkim paru (Depkes, 2006; Wantania et al., 2008).

Istilah ISPA diadaptasi dari istilah dalam bahasa inggris

Acute

Respiratory Infection

(ARI). ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi,

saluran pernapasan dan akut. Batas waktu 14 hari diambil untuk

menunjukkan berlangsungnya proses akut, meskipun beberapa penyakit

yang dapat digolongkan ISPA, proses ini dapat berlangsung lebih dari 14

hari (Depkes, 2006).

Definisi ISPA menurut Lopez-Alarcon et al. (1997) yaitu suatu

penyakit yang ditandai dengan batuk, pilek paling sedikit dua hari

berturut-turut diikuti satu atau lebih gejala-gejala seperti e

rythematous

(9)

demam. ISPA dikatakan episode baru bila telah sehat atau sembuh

sekurang-kurangnya dua hari dari gejala penyakit yang diderita.

Manifestasi klinis ISPA dapat berupa batuk, kesulitan bernafas, sakit

tenggorokan, suara serak, pilek, demam dan sakit telinga, tidak nafsu

makan (Tregoning dan Schwarze, 2010).

b.

Klasifikasi ISPA

ISPA

diklasifikasikan

bermacam-macam

tergantung

dari

peninjauannya yaitu:

1)

Berdasarkan lokasi anatomik (WHO, 2002):

1)

Infeksi Saluran Pernafasan Akut bagian Atas (ISPaA) yaitu infeksi

yang menyerang hidung sampai epiglotis. Penyakit yang termasuk

ISPaA adalah (WHO, 2010; Hueston, 2003; Wantania et al., 2008):

(1)

nasofaringitis akut (

common cold

)

(2)

rhinitis akut

(3)

sinusitus akut

(4)

rhinosinusitis akut

(5)

faringitis akut

(6)

tonsillitis akut

(7)

otitis media akut

2)

Infeksi Saluran Pernafasan Akut bagian Bawah (ISPbA) yaitu

infeksi yang menyerang organ saluran pernafasan mulai dari

(10)

termasuk ISPbA adalah (WHO, 2010; Hueston, 2003; Raharjoe, et

al., 2008):

(1)

laringofaringitis akut

(2)

epiglotitis akut

(3)

laringitis akut

(4)

trakhetis akut

(5)

CROUP (Laringotrakheobronkitis Akut)

(6)

bronkhitis akut

(7)

bronkiolitis akut

(8)

pneumonia

2)

Berdasarkan ICD (

International Classification Disease)

(WHO,

2010):

1)

Acute upper respiratory infections

(1)

Acute nasopharyngitis [common cold]

(2)

Acute sinusitis

(3)

Acute pharyngitis

(4)

Acute tonsillitis

(5)

Acute laryngitis and tracheitis

(6)

Acute obstructive laryngitis [croup] and epiglottitis

(7)

Acute upper respiratory infections of multiple and unspecified

sites

(11)

(1)

Influenza due to certain identified influenza virus

(2)

Influenza due to other identified influenza virus

(3)

Influenza, virus not identified

(4)

Viral pneumonia, not elsewhere classified

(5)

Pneumonia due to Streptococcus pneumoniae

(6)

Pneumonia due to Haemophilus influenzae

(7)

Bacterial pneumonia, not elsewhere classified

(8)

Pneumonia due to other infectious organisms, not elsewhere

classified

(9)

Pneumonia in diseases classified elsewhere

(10)

Pneumonia, organism unspecified

3)

Acute lower respiratory infections:

(1)

Acute bronchitis

(2)

Acute bronchiolitis

(3)

Unspecified acute lower respiratory infection

3)

Berdasarkan derajat keparahan penyakit (WHO, 2002; Hadi, 2003):

a)

ISPA ringan

ISPA ringan ditandai dengan gejala batuk dan pilek dengan atau

tanpa demam

b)

ISPA berat

ISPA berat ditandai dengan gejala seperti ISPA ringan dan

(12)

sakit atau keluar cairan dari telinga, bercak kemerahan (campak)

dan pernapasan cepat. Batas nafas cepat adalah frekuensi nafas

sebanyak (Depkes, 2002):

(1)

60 kali per menit atau lebih pada usia kurang 2 bulan.

(2)

50 kali per menit atau lebih pada usia 2 bulan sampai kurang

dari 1 tahun.

(3)

40 kali per menit atau lebih pada usia 1 sampai 5 tahun.

c)

ISPA sangat berat

ISPA berat ditandai dengan gejala seperti pada ISPA sedang dan

disertai gejala penarikan dinding dada, kesadaran menurun, tidak

dapat makan dan minum, bibir/kulit pucat kebiruan,

stridor

yaitu

suara napas seperti mengorok, dan kejang.

c.

Faktor risiko

Departeman Kesehatan (2002) menyebutkan bahwa faktor yang

meningkatkan angka kematian akibat pneumonia pada Balita adalah usia

kurang dari dua bulan, tingkat sosial ekonomi rendah, kurang gizi,

BBLR, tingkat pendidikan ibu yang rendah, jangkauan pelayanan

kesehatan rendah, kepadatan tempat tinggal, immunisasi tidak lengkap,

menderita penyakit kronis, aspek kepercayaan setempat dalam praktek

pencarian pengobatan yang salah.

Faktor risiko yang meningkatkan kejadian ISPA dibagi menjadi

(13)

kurang, berat badan lahir rendah, tidak mendapat ASI yang adekuat,

imunisasi tidak lengkap, dan defisiensi vitamin A. Faktor ekstrinsik

terdiri dari polusi udara, kepadatan tempat tinggal, anggota keluarga

yang merokok, anggota keluarga yang menderita ISPA dan tingkat sosial

ekonomi (Dinkes Jateng, 2001; Depkes, 2001; Yuwono, 2008; WHO,

2011).

1)

Pencemaran udara

Pencemaran udara atau polusi udara diartikan sebagai adanya

bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan

perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya.

Kehadiran bahan atau zat asing di dalam udara dalam jumlah tertentu

serta berada di udara dalam waktu yang cukup lama, akan dapat

menganggu kehidupan manusia (Wardhana, 2004).

Polusi udara dapat dibedakan menjadi dua yaitu polusi udara di

dalam ruangan (

indoor air pollution

) dan polusi udara luar ruang

(

outdoor air pollution

). Timbulnya polusi udara dalam ruangan

umumnya disebabkan oleh beberapa hal, yaitu kurangnya ventilasi

udara (52%) adanya sumber kontaminasi di dalam ruangan (16%)

kontaminasi dari luar ruangan (10%), mikroba (5%), bahan material

bangunan (4%) , lain-lain (13%) (Depkes, 2011).

Sebagian besar polutan luar ruang merupakan hasil pembakaran

(14)

yang termasuk polutan udara luar ruang adalah ozon (O

3

), nitrogen

dioksida (NO

2

), sulfur dioksida (SO

2

), karbon monoksida (CO),

timbal dan partikel. Polutan-polutan tersebut berbahaya bagi

kesehatan dan dapat memicu terjadinya ISPA. Polutan seperti ozon

(O

3

), nitrogen dioksida (NO

2

), sulfur dioksida (SO

2

), karbon

monoksida (CO) dapat mengiritasi mukosa saluran pernapasan

sehingga mempermudah infeksi dari mikroorganisme (Kumar et al.,

2007a).

Hasil monitoring tingkat pencemaran udara di kota-kota besar di

Indonesia menunjukkan pencemaran udara sudah melampaui standar

kualitas udara. Dari hasil pemetaan kualitas udara di Kota Surakarta

didapatkan kadar CO rata-rata mencapai 20,9 ppm dan di beberapa

tempat seperti Pajang, Klewer, Jurug dan Pasar Kliwon kadar CO

dalam udaranya mencapai 27 ppm, melebihi dari ambang batas

pencemaran udara yaitu 20 ppm (Kadyarsi, 2008; Kusminingrum dan

Gunawan, 2008).

2)

Kepadatan hunian

Kota mempunyai tingkat kepadatan penduduk yang tinggi.

Padatnya penduduk kota antara lain disebabkan oleh adanya

perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke daerah kota. Kota

Surakarta mempunyai kepadatan penduduk paling tinggi di Jawa

(15)

persegi, tingkat kepadatannya mencapai 11.340 jiwa per kilometer

persegi. Sehingga rata-rata 20-30 kepala keluarga atau sekitar 113

jiwa hidup pada satu hektar lahan (BPS, 2011).

Kepadatan penduduk akan mempengaruhi kepadatan penghuni

rumah. Penelitian yang dilakukan oleh Nindya dan Sulistyiorini

(2005) menyimpulkan bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian

dengan kejadian ISPA. Banyaknya orang yang tinggal dalam satu

rumah mempunyai peranan penting dalam kecepatan transmisi

mikroorganisme penyebab ISPA (Nurjazuli dan Widyaningtyas,

2009). Kepadatan hunian yang tinggi dan tidak cukupnya ventilasi

menyebabkan kelembaban dalam rumah meningkat sehingga

berpengaruh terhadap suburnya pertumbuhan mikroorganisme

(Depkes, 2011).

3)

Status sosial dan ekonomi

Status sosial ekonomi adalah segala sesuatu yang berkaitan

dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat, antara lain sandang,

pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Tinggi

rendahnya status sosial ekonomi seseorang ditentukan oleh

pendidikan, pekerjaan dan pendapatan (Yulisanti, 2000).

Pendidikan ibu dan pendapatan keluarga dapat mempengaruhi

status gizi dan status imunisasi yang merupakan faktor intrinsik ISPA.

(16)

intake

nutrisi Balita sehingga berpengaruh pada status gizi Balita

(Husaini et al., 2000). Pendidikan orang tua di pedesaan yang

umumnya lebih rendah akan berpengaruh terhadap status gizi dan

status imunisasi (Sediaoetama, 2006; Ayubi, 2009). Penelitian

menyebutkan bahwa pemberian ASI tidak dipengaruhi oleh

pendidikan, pekerjaan maupun pendapatan (Latifah et al.,

2010).

4)

Status gizi

Status gizi adalah tingkat keseimbangan antara konsumsi dan

penyerapan zat gizi dan penggunaan zat-zat gizi tersebut, atau

keadaan fisiologik akibat dari tersedianya zat gizi dalam seluler tubuh

dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa et al., 2002a).

Menurunnya status gizi berakibat menurunnya kekebalan tubuh

terhadap berbagi infeksi. Kekurangan gizi pada Balita meliputi kurang

energi dan protein serta kurang zat gizi seperti vitamin A, zat besi,

iodium dan seng (Hadi, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Tandyo

(2000) menyebutkan walaupun kadar imunoglobulin tidak menurun,

tetapi pada kondisi gizi buruk terdapat gangguan imunitas yang

disebabkan

oleh

menurunnya

komplemen

protein

yang

mengakibatkan aktivitas leukosit untuk memfagosit maupun

membunuh kuman menurun.

Gizi buruk juga menyebabkan gangguan pada imun non spesifik

(17)

cerna dan saluran napas, gangguan fungsi leukosit polimorfonuklear

(PMN), sel

natural-killer

dan aktifasi komplemen, penurunan jumlah

dan fungsi limfosit, penurunan jumlah dan fungsi makrofag,

penurunan prekursor limfosit T sitotoksik, penurunan respons

antibodi limfosit B dan penurunan sitokin yang diperlukan untuk

pengenalan antigen yang disebabkan karena defisiensi vitamin A

maupun seng. Gangguan fungsi imunitas non spesifik dan spesifik

tersebut akan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi, terutama

ISPA (Almatsier, 2009; Shankar dan Prasad, 1998).

Sebaliknya, infeksi mempunyai kontribusi terhadap kekurangan

energi, protein dan zat gizi lain karena menurunnya nafsu makan

sehingga tingkat kecukupan gizi menjadi berkurang. Kebutuhan

energi pada saat infeksi bisa mencapai dua kali kebutuhan normal

karena meningkatnya metabolisme basal (Thaha 1995). Selain infeksi,

faktor lain yang dapat menyebabkan gizi buruk adalah masalah sosial

ekonomi berupa pendapatan keluarga dan pendidikan orang tua

(Supariasa et al., 2002a).

5)

Status Imunisasi

Imunisasi merupakan faktor penting dalam pecegahan ISPA.

Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang

berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi

(18)

menyebutkan kematian akibat ISPA pada anak dapat dicegah dengan

imunisasi campak sekitar 11% sedangkan dengan imunisasi DPT

sebesar 6%. Oleh karena itu, untuk mengurangi kejadian dan

mortalitas ISPA dapat diupayakan dengan imunisasi lengkap (Depkes,

2001). Balita dikatakan mendapatkan imunisasi lengkap bila sudah

mendapatkan imunisasi sesuai dengan usianya berdasarkan jadwal

imunisasi yang dianjurkan oleh Departemen Kesehatan (Depkes,

2008).

Tabel 1. Jadwal Imunisasi Nasional Depkes

Umur

Jenis vaksin

Campak adalah penyakit yang disebabkan oleh virus

measles

dengan gejala berupa demam, bercak kemerahan, batuk, pilek,

konjungtivitis, dan ruam pada muka dan leher (Depkes, 2008). Selain

menyebabkan penyakit campak, virus

measles

juga merupakan salah

(19)

campak akan membentuk antibodi terhadap virus

measles

, sehingga

dapat mencegah ISPA yang disebabkan oleh virus tersebut.

Imunisasi DPT memberikan kekebalan secara simultan terhadap

penyakit difteri, pertusis, dan tetanus dalam waktu yang bersamaan

(Depkes, 2008). Difteri merupakan infeksi akut yang disebabkan oleh

bakteri

Corynebacterium diphtheria.

Apabila menyerang saluran

respiratorik atas akan memberikan gejala berupa demam, sekret

hidung berwarna kemerahan disertai adanya selaput berwarna

keabuan dan bila mengenai laring atau trakea dapat menyebabkan

stridor dan penyumbatan. Sehingga secara langsung imunisasi DPT

dapat mencegah ISPA dengan memberikan imunitas terhadap

penyakit difteri.

Vaksin BCG terdiri dari bakteri hidup yang dilemahkan dari

biakan

Bacille Calmette Guerin

(Depkes, 2006). Vaksin BCG

memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit Tuberkulosis.

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit

yang disebabkan

oleh

Mycobacterium tuberculosa.

Diagnosis TB pada anak sulit dilakukan,

karena pada anak batuk bukan merupakan gejala utama (Depkes,

2008).

Salah satu gejala nyata pada penderita TB adalah berkurangnya

berat badan berturut-turut selama dua bulan. Pada anak TB sering

(20)

buruk mengakibatkan menurunnya kekebalan tubuh terhadap berbagi

infeksi karena melemahnya sistem imun akibat gangguan fungsi

leukosit, makrofag, limfosit B dan T, sel

natural killer

dan sitokin

(Almatsier, 2009; Shankar dan Prasad, 1998). Sehingga pada

penderita TB akan mudah terjangkit penyakit infeksi seperti ISPA.

Oleh karena itu dengan mencegah TB, imunisasi BGC secara tidak

langsung juga dapat mencegah ISPA.

Studi yang dilakukan oleh Choudhury (2002) dan Waters (2004)

menyebutkan bahwa semakin tinggi tingkat sosial ekonomi keluarga

maka semakin tinggi peluang anak memperoleh imunisasi lengkap.

6)

Anggota keluarga yang merokok

Efek asap rokok lebih besar bagi perokok pasif dibandingkan

perokok aktif. Asap yang diisap oleh perokok disebut asap utama

(

mainstream

), dan asap yang keluar dari ujung rokok (bagian yang

terbakar) dinamakan

sidestream smoke

atau asap samping. Asap

samping ini terbukti mengandung lebih banyak hasil pembakaran

tembakau dibanding asap utama. Asap ini mengandung karbon

monoksida 5 kali lebih besar, tar dan nikotin 3 kali lipat, amonia 46

kali lipat, nikel 3 kali lipat, nitrosamine sebagai penyebab kanker

kadarnya mencapai 50 kali lebih besar pada asap sampingan

(21)

Asap rokok juga mengandung zat prokarsinogen (mis.

4-methylnitrosamino)-1-(3-pyridil)-1-(butanone), nikotin, polysiklik,

tar, CO dan neuroteratogen yang menyebabkan kerusakan pada

saluran pernafasan. Apabila hal itu terjadi maka akan mengakibatkan

iritasi pada saluran pernafasan dan bahkan paru-paru. Bila iritasi

tersebut diikuti oleh bakteri, atau kuman pathogen maka akan

menimbulkan infeksi. Sehingga Balita yang menjadi perokok pasif

lebih mudah terserang ISPA (Winarni et al., 2010).

7)

Anggota Keluarga yang menderita ISPA

Penularan ISPA dari anggota keluarga akan sangat mudah karena

pola penyebaran ISPA yang utama adalah melalui droplet yang keluar

dari hidung/mulut penderita saat batuk atau bersin. Penularan juga

dapat terjadi melalui kontak (termasuk kontaminasi tangan oleh sekret

saluran pernapasan, hidung, dan mulut) dan melalui udara dengan

jarak dekat saat dilakukan tindakan yang berhubungan dengan saluran

napas (WHO, 2008).

Penularan ISPA dari anggota keluarga sangat dipengaruhi oleh

kepadatan hunian. Apabila hunian semakin padat, maka transmisi

mikroorganisme akan semakin meningkat. Sehingga apabila ada

anggota keluarga yang menderita ISPA akan sangat mudah

(22)

8)

Berat Badan Lahir

Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) merupakan bayi yang lahir

dengan berat lahir kurang dari 2500 gram. Karena pertumbuhan dan

pematangan organ maupun alat–alat tubuh BBLR belum sempurna

disertai dengan defisiensi imun, akibatnya BBLR sering mengalami

komplikasi dan infeksi yang dapat berakhir dengan kematian. Fungsi

paru pada bayi dengan berat badan lahir rendah pada umumnya belum

matur sehingga akan mudah terserang penyakit pernapasan (Walter et

al., 2009; Filippone et al, 2003; Doyle et al., 2006; Halvorsen et al.,

2006; Vrijlandt et al, 2005)

Penyakit gangguan pernafasan yang sering diderita oleh bayi

berat lahir rendah adalah

Bronchopulmonary dysplasia

, ISPA, aspirasi

pnemonia, pernafasan periodik dan apnea yang juga disebabkan

karena pusat pernafasan di medulla belum matur (Eric et al., 2008;

Halvorsen et al, 2004).

9)

Asi Eksklusif

ASI Eksklusif merupakan pemberian hanya ASI saja tanpa

makanan dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai berusia 6

bulan (Depkes, 2006). ASI memberi semua energi dan gizi (nutrisi)

yang dibutuhkan bayi selama enam bulan pertama hidupnya. ASI

(23)

akan nutrisi, ASI juga mengandung faktor antibodi untuk melawan

infeksi-infeksi bakteri dan virus (Koosha, 2008)

Menurut stadium laktasi, ASI dibagi menjadi kolostrum (hari ke 1-4),

ASI masa peralihan (hari ke 4-14) dan ASI matur (hari ke 14 dan

seterusnya). Kolostrum mengandung lebih banyak protein serta

antibodi (yang dapat memberikan perlindungan pada bayi sampai

umur 6 bulan) daripada ASI matur (Hapsari, 2009).

ASI mengandung zat anti infeksi berupa Imunoglobulin A,

laktoferin, lisosim, sel-sel leukosit dan bifidus faktor. Imunoglobulin

A (IgA) ASI kadarnya cukup tinggi. Sekretori IgA tidak diserap tetapi

dapat melumpuhkan bakteri patogen

Escherichia coli

dan berbagai

virus pada saluran pencernaan. Laktoferin adalah sejenis protein yang

merupakan komponen zat kekebalan berfungsi untuk mengikat zat

besi di saluran pencernaan. Lisosim dalam ASI yang jumlahnya 300

kali lebih banyak daripada susu sapi dapat melindungi bayi terhadap

bakteri (

Escherichia coli

dan

Salmonella

) dan virus, termasuk virus

penyebab ISPA. Sel darah putih pada ASI pada dua minggu pertama

lebih dari 4000 sel per mil. Terdiri dari tiga macam yaitu

Bronchus-Asociated Lympocyte Tissue

(BALT) yaitu antibodi pernafasan,

Gut

Asociated Lympocyte Tissue

(GALT) yaitu antibodi saluran

pencernaan, dan

Mammary Asociated Lympocyte Tissue

(MALT)

(24)

karbohidrat yang mengandung nitrogen, menunjang pertumbuhan

bakteri

Lactobacillus bifidus

. Bakteri ini menjaga keasaman flora usus

bayi dan berguna untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang

merugikan (American Academy of Pediatrics, 2005; Lawrence,

2002).

Antibodi-antibodi tersebut akan meningkatkan daya tahan tubuh

dan memberikan kekebalan terhadap penyakit ISPA.

d.

Etiologi

Mikroorganisme yang dapat menyebabkan ISPA ada lebih dari 300

jenis, terdiri atas golongan bakteri, virus, riketsia dan jamur (Depkes,

2002). Bakteri penyebab ISPA adalah

Streptococcus pneumoniae,

Haemophilus influenzae

tipe b

(Hib),

Corynebacterium diphtheriae,

Staphylococcus aureus, M. catarrhalis

dan spesies bakteri lainnya seperti

Klebsiella pneumonia, Mycoplasma pneumoniae

,

Chlamydia

spp.,

Pseudomonas

spp.,

Escherichia coli

, histoplasmosis and toxoplasmosis.

(Rudan et.al, 2008).

Penelitian Makela et al. berhasil mengindentifikasi bakteri

Chlamydia pneumoniae

,

Haemophilus influenzae

,

Streptococcus

pneumoniae

, dan

Mycoplasma pneumonia

pada sputum 200 remaja

Finlandia yang menderita ISPA (Makela et al., 1998).

Virus penyebab ISPA berupa R

espiratory Syncytial Virus

(RSV),

(25)

dan PIV-3),

influenza virus

tipe A dan B,

varicella virus, adenovirus

(AV),

rhinovirus

,

enterovirus

,

coronavirus

(CoV)

, herpes simplex virus

,

dan

human metapneumovirus

(hMPV). (WHO, 2009; Makela et al.,

1998; Chonmaitree et al., 2008).

Hasil penelitian Allander et al. dengan menggunakan teknik

RT-PCR di Amerika Serikat menyebutkan bahwa virus lain yang dapat

menyebabkan ISPA adalah

bocavirus

(BoV) dan

polyomaviruses

(Allander et al., 2007).

f.

Patofisiologi

Saluran pernapasan mempunyai sistem pertahanan terhadap

mikroorganisme yang berupa sistem mukosiliaris. Mikroorganisme yang

terhirup dalam bentuk droplet maupun yang kontak dengan mukosa

saluran pernapasan secara langsung akan terperangkap oleh lapisan

mukus yang dihasilkan oleh sel goblet dan kemudian diangkut oleh

gerakan silia ke bagian belakang tenggorokan untuk ditelan maupun

dikeluarkan (Kumar et al., 2007b; WHO, 2008).

Patogen pernapasan yang virulen seperti virus influenza atau

parainfluenza dapat lolos dari pertahanan mukosiliaris dengan

mengeluarkan neuraminidase untuk menghambat gerakan silia.

Organisme tertentu seperti

Haemophilus influenza

mengeluarkan

berbagai faktor yang dapat menghambat gerakan silia.

Streptococcus

(26)

tidak memiliki faktor perekat spesifik, hanya dapat menginfeksi setelah

ada lesi pada mukosa saluran pernapasan (Kumar et al., 2007b; Prince

dan Wilson, 2006).

Setelah mikroorganisme menginfeksi mukosa saluran pernapasan,

terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler, sekresi mukus dan udem

konka sehingga timbul gejala klinis berupa pilek (

rhinorrhea

) dan

kesulitan bernapas (Yuta et al., 1998). Infeksi dapat tejadi pada mukosa

laring dan faring sehingga mengakibatkan sakit tenggorokan, suara serak

dan batuk (Soepardi et al., 2007).

g.

Diagnosis

Diagnosis ISPA ditegakkan berdasarkan anamnesis berdasarkan

gejala klinis, pemeriksaan fisik dengan atau tanpa pemeriksaan

penunjang. Seseorang disebut mengalami ISPA bila mengalami atau

menunjukkan satu atau lebih gejala ISPA seperti batuk, pilek dan atau

demam dan atau sesak napas dan atau keluar cairan dari telinga

(Lopez-Alarcon et al., 1997; Raharjoe et al., 2008).

Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dilakukan untuk

membedakan jenis ISPA yang satu dengan lainya. Dalam pemeriksaan

fisik digunakan alat bantu seperti stetoskop,

tongue spatel

, spekulum

hidung, spekulum telinga, dan senter. Pemeriksaan fisik yang dilakukan

meliputi inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Pemeriksaan

(27)

Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui etiologi ISPA

secara pasti. Terdapat berbagai macam pemeriksaan laboratorium seperti

pemeriksaan darah rutin, C-reaktif protein, uji serologis, pemeriksaan

mikrobiologis, dan pemeriksaan identifikasi virus secara langsung seperti

ELISA, imunofluoresensi RIA dengan menggunakan PCR (Alsagaff dan

Mukty, 2008; Raharjoe et al., 2008).

2.

Alergi

Alergi adalah suatu keadaan hipersensitivitas yang diinduksi oleh

pajanan terhadap suatu antigen tertentu yang menimbulkan reaksi

imunologi yang berbahaya pada pajanan berikutnya (Abbas dan Lichtman,

2003). Manifestasi alergi dapat terjadi di kulit, saluran pernapasan dan

saluran cerna. Dalam saluran pernapasan, alergi dapat berupa rinitis alergi

dan asma.

Apabila tubuh terpajan dengan alergen, akan terbentuk IgE yang akan

menyebabkan degranulasi sel mast dan pengeluaran mediator inflamasi

seperti histamin yang mempunyai efek vasodilatasi mukosa dan

peningkatan permeabilitas kapiler sehingga dalam saluran pernapasan akan

menimbulkan gejala seperti ISPA yaitu udem mukosa, sumbatan hidung,

pilek, batuk maupun sesak napas. Karena gejala klinis menyerupai ISPA,

(28)
(29)

Keterangan:

= diteliti

= tidak diteliti

Alasan variabel yang tidak diteliti, meliputi:

1.

Polusi udara, faktor ini kurang fisibel dilakukan dalam penelitian ini

karena penelitian yang kompleks dan biaya yang relatif besar.

2.

Kepadatan hunian, faktor ini kurang fisibel dilakukan dalam penelitian

ini karena peneliti harus menghitung luas rumah subjek penelitian,

sehingga membutuhkan waktu, biaya dan tenaga yang relatif besar.

3.

Tingkat sosial dan ekonomi akan mempengaruhi status gizi dan status

imunisasi (Sediaoetama, 2006; Ayubi, 2009; Husaini et al., 2000)

4.

Pemberian ASI eksklusif, dalam pengukurannya mempunyai

recall

bias

(bias informasi) yang tinggi karena hanya berdasarkan ingatan ibu

(Koosha et al, 2008, Hikmawati, 2008; Tan, 2011).

5.

Berat badan lahir, dalam pengukurannya mempunyai

recall bias

(bias

informasi) yang tinggi (Ward, 2007; Sistiarani, 2008; Bjerg, 2011).

C.

Hipotesis

Status gizi, status imunisasi, anggota keluarga yang merokok dan

anggota keluarga yang menderita ISPA merupakan faktor risiko terjadinya ISPA

(30)

BAB III

METODE PENELITIAN

A.

Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan

cross sectional

. Rancangan

cross sectional

adalah suatu rancangan penelitian

dimana variabel bebas dan variabel tergantung diobservasi hanya sekali pada saat

yang sama (Taufiqurrahman, 2008).

B.

Lokasi penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Puskesmas Sibela Surakarta. Pemilihan

Puskesmas tersebut didasarkan atas pertimbangan:

1.

Masih tingginya angka kejadian ISPA di Puskesmas Sibela Surakarta

2.

ISPA merupakan penyakit yang paling banyak dialami pasien rawat jalan di

Puskesmas Sibela Surakarta

3.

Kunjungan Balita akibat ISPA di Puskesmas Sibela Surakarta menduduki

peringkat tertinggi

4.

Polusi udara di Surakarta sudah pada taraf yang mengkhawatirkan

5.

Kepadatan penduduk Surakarta tertinggi di Jawa Tengah

Berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan studi untuk mengetahui

(31)

C.

Subjek penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah pasien di Puskesmas Sibela Surakarta

dengan kriteria:

1.

Kriteria inklusi yaitu:

a.

Berumur 0-59 bulan

b.

Tinggal di wilayah Surakarta

2.

Kriteria eksklusi yaitu:

a.

Tidak besedia menjadi subjek penelitian

b.

Mempunyai riwayat alergi

D.

Teknik Sampling

Teknik samping yang digunakan adalah

fixed-disease sampling

dan

dilanjutkan dengan

accidental sampling. Fixed-disease sampling

merupakan

skema pencuplikan berdasarkan status penyakit subjek, yaitu berpenyakit atau

tidak berpenyakit yang diteliti, sedangkan status paparan subjek bervariasi

mengikuti status penyakit subjek. Sehingga dalam penelitian ini dilakukan

pengambilan sampel Balita ISPA dan tidak ISPA terlebih dahulu (Murti, 2010).

Penentuan besar sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan ukuran

sampel untuk analisis multivariat, dengan rumus (Murti, 2010):

Besar sampel penelitian multivariat = n. X

Keterangan:

(32)

X = jumlah variabel penelitian

Karena variabel yang akan diteliti berjumlah empat, maka besar sampel

minimal dalam penelitian ini adalah 15 x 4 = 60. Sehingga besar sampel dalam

penelitian ini berjumlah 60 dengan rincian 30 Balita ISPA dan 30 Balita tidak

sakit ISPA.

E.

Identifikasi Variabel Penelitian

1.

Variabel bebas

: status gizi, status imunisasi, anggota keluarga

yang merokok dan anggota keluarga yang

menderita ISPA.

2.

Variabel terikat

: ISPA

3.

Variabel luar terkendali

: umur

4.

Variabel luar tak terkendali : kecukupan pemberian ASI, kecukupan vitamin

A, kepadatan hunian, polusi udara, pendapatan

total orang tua, pendidikan ibu dan berat badan

lahir.

F.

Definisi Operasional Variabel Penelitian

1.

Variabel bebas

a.

Status gizi

Status gizi adalah tingkat keseimbangan antara konsumsi dan

(33)

fisiologik akibat dari tersedianya zat gizi dalam seluler tubuh dalam

bentuk variabel tertentu (Supariasa et al., 2002a).

Status gizi diukur dengan indeks antropometri BB/U dengan

menggunakan standar WHO 2005 dalam skor simpangan baku (

standar

deviation score

= Z-

score

) dengan rumus (Depkes, 2008):

Z-

score

= nilai individual subyek - nilai median baku rujukan

nilai simpangan baku rujukan.

Digunakannya indeks BB/U sebagai indikator status gizi karena

hanya ingin melihat status gizi saat ini, pelaksanaanya lebih mudah, lebih

cepat, baik untuk mengukur kondisi akut (muntaber) maupun kronis

(kecacingan) dan sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil (Supariasa

et al., 2002b).

Kriteria Status gizi dengan indikator Z-skor dari BB/U dengan

standar baku antropometri menurut WHO 2005 adalah sebagai berikut

(Depkes, 2008):

1)

Gizi lebih

: Z

score

> 2

2)

Gizi baik

: Z

score

-2 sampai 2

3)

Gizi kurang : Z

score

< -2 sampai 2

4)

Gizi buruk

: Z

score

<-3

Alat pengukuran yang digunakan adalah timbangan yang sudah

tersedia di puskesmas. Skala pengukurannya adalah nominal, dinyatakan

(34)

0

= gizi baik/lebih

1

= gizi kurang/buruk

b.

Status imunisasi

Status imunisasi dikatakan lengkap bila Balita sudah memperoleh

imunisasi BCG, DPT, Polio dan Campak sesuai dengan usia berdasarkan

jadwal dari Departemen Kesehatan.

Tabel 2. Kriteria Imunisasi Lengkap

Umur

Jenis vaksin

Apabila tidak memenuhi kriteria tersebut, maka status imunisasi

Balita dikatakan tidak lengkap. Data status imunisasi Balita didapatkan

dari wawancara dengan orang tua atau pengasuh.

Skala pengukurannya nominal, dinyatakan dalam:

0

= imunisasi lengkap

(35)

c.

Anggota keluarga yang merokok

Dikatakan ada anggota keluarga yang merokok apabila ada satu atau

lebih anggota keluarga yang merokok dan dikatakan tidak ada bila tidak

satu pun anggota keluarga yang merokok.

Data anggota keluarga yang merokok didapatkan dari wawancara

dengan orang tua atau pengasuh Balita. Skala pengukurannya adalah

nominal, dinyatakan dalam:

0

= tidak ada

1

= ada

d.

Anggota keluarga yang menderita ISPA

Seseorang disebut mengalami ISPA bila mengalami atau

menunjukkan satu atau lebih gejala ISPA seperti batuk, pilek dan atau

demam dan atau sesak napas dan atau keluar cairan dari telinga

(Lopez-Alarcon et al., 1997; Raharjoe et al., 2008). Apabila ada satu atau lebih

dari anggota keluarga yang menderita ISPA maka dinyatakan ada.

Sedangkan tidak ada anggota keluarga yang menderita ISPA apabila

tidak ada satu pun anggota keluarga yang menderita ISPA.

Data anggota keluarga yang ISPA didapatkan dari wawancara

dengan orang tua atau pengasuh Balita. Skala pengukurannya adalah

nominal, dinyatakan dalam:

0

= tidak ada

(36)

2.

Varibel terikat

ISPA adalah adalah penyakit infeksi yang menyerang salah satu bagian

dan atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga

alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga

telinga tengah, pleura dan parenkim paru. Batas waktu 14 hari diambil untuk

menunjukkan berlangsungnya proses akut (Depkes, 2006; Wantania et al.,

2008).

Seorang Balita disebut mengalami ISPA bila mengalami atau

menunjukkan satu atau lebih gejala ISPA seperti batuk, pilek dan atau

demam dan atau sesak napas dan atau keluar cairan dari telinga

(Lopez-Alarcon et al., 1997; Raharjoe et al., 2008). Apabila Balita tidak mengalami

salah satu dari gejala tersebut, maka Balita dinyatakan tidak menderita

ISPA. Dikatakan episode baru, bila ISPA terjadi lagi setelah dua hari bebas

dari ISPA (Lopez-Alarcon et al., 1997).

Data ISPA anak didapatkan dari wawancara dengan orang tua atau

pengasuh. Skala pengukurannya adalah nominal, dinyatakan dalam:

0

= tidak ISPA

1

= ISPA

G.

Instrumen Penelitian

1.

Alat pengukuran status gizi berupa timbangan bayi yang sudah tersedia di

(37)

2.

Kuesioner wawancara faktor risiko ISPA

3.

Perangkat lunak pengukuran status gizi: WHO

Anthro ver

3.2

H.

Rancangan Penelitian

Gambar 2. Skema Alur Penelitian

60 Balita di Puskesmas Sibela

Surakarta

Balita tidak ISPA

Inform consent

kepada responden

Wawancara faktor risiko ISPA

Menimbang Balita

Balita ISPA

Analisis statistik

Inform consent

kepada responden

Wawancara faktor risiko ISPA

(38)

I.

Cara Kerja

1.

Responden (orang tua atau pengasuh) diminta menandatangani lembar

persetujuan keikutsertaan dalam penelitian (

inform consent

).

2.

Melakukan wawancara dengan responden tentang faktor risiko ISPA.

3.

Menimbang Balita.

4.

Menganalisis data yang terkumpul

J.

Teknik Analisis Data

Data yang sudah diolah kemudian dianalisis dengan menggunakan program

SPSS

ver.

17

for windows

. Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui

pengaruh secara bersama-sama variabel bebas terhadap variabel terikat, dan

variabel bebas yang paling besar pengaruhnya terhadap variabel terikat dengan

menggunakan uji regresi logistik (Murti, 2010).

Analisis regresi logistik untuk menjelaskan pengaruh beberapa variabel

bebas secara bersamaan dengan variabel terikat. Prosedur yang dilakukan

terhadap uji regresi logistik, apabila masing-masing variabel bebas dengan hasil

menunjukkan nilai p < 0,25 pada analisis univariat tetapi secara biologis

bermakna, maka variabel tersebut dapat dilanjutkan dalam model multivariat

(39)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A.

Karakteristik Subjek Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 12 - 24 April 2012 di Puskesmas

Sibela Surakarta. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 60 Balita.

Berdasarkan teknik sampling yang dipakai, yaitu

fixed disease sampling

, jumlah

Balita yang menderita ISPA dan Balita yang tidak menderita ISPA ditentukan

jumlahnya terlebih dahulu. Dalam penelitian ini, ditentukan jumlah Balita yang

menderita ISPA dan Balita yang tidak menderita ISPA masing-masing sebanyak

30 Balita. Balita diambil secara acak berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi

yang telah ditentukan sebelumnya. Karakteristik Balita yang menjadi subjek

dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel 4.

(40)

Status Gizi

Berdasarkan tabel tersebut, dapat diketahui bahwa jumlah Balita

perempuan lebih banyak daripada Balita laki-laki, yaitu sebanyak 31 (51.67%)

dari 60 Balita. Jumlah Balita yang menderita ISPA pun lebih banyak pada jenis

kelamin perempuan, yaitu sebanyak 16 (53.33%) dari 30 Balita yang menderita

ISPA. Sedangkan pada kelompok Balita yang tidak menderita ISPA, didapatkan

jumlah Balita perempuan dan laki-laki sama.

Balita yang berusia kurang dari 24 bulan atau 2 tahun berjumlah lebih

sedikit, yaitu sebanyak 28 Balita (46.67%). Sedangkan Balita yang lebih dari 2

tahun berjumlah 32 (54.33%). Namun, Balita yang berusia kurang dari 24 bulan

lebih banyak menderita ISPA. Sebanyak 16 Balita dari 28 Balita yang berusia

kurang dari 24 bulan mederita ISPA.

(41)

dapat dianalisis hubungannya dengan kejadian ISPA. Sebagian besar Balita, yaitu

56 Balita (93.33%) sudah mendapatkan imunisasi lengkap. Sehingga hanya ada 4

Balita yang tidak mendapatkan imunisi lengkap. Dari 4 Balita tersebut, 3 Balita

menderita ISPA dan 1 Balita tidak menderita ISPA.

Balita dengan anggota keluarga yang merokok berjumlah lebih banyak,

yaitu sekitar dua kali dari Balita dengan anggota kelurga yang tidak merokok.

Sebanyak 41 (68.33%) Balita memiliki anggota keluarga perokok, sedangkan

Balita dengan anggota keluarga yang tidak merokok berjumlah 19 (32.67%). Dari

41 Balita tersebut, 21 Balita menderita ISPA.

Pada variabel anggota keluarga yang menderita ISPA, didapatkan Balita

dengan anggota keluarga yang tidak menderita ISPA lebih banyak, yaitu 37 Balita

(62.67). Dari 37 Balita tersebut, hanya 10 Balita yang menderita ISPA.

Sedangkan dari 23 Balita dengan keluarga menderita ISPA terdapat 20 Balita

yang menderita ISPA.

B.

Hasil Analisis Data

Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis multivariat. Analisis

multivariat dilakukan untuk mengetahui pengaruh secara bersama-sama variabel

bebas terhadap variabel terikat, dan variabel bebas mana yang berpengaruh paling

besar terhadap variabel terikat (Murti, 2010). Analisis multivariat dilakukan

(42)

Pada variabel status gizi, tidak dilakukan analisis data karena tidak ada

Balita yang menderita gizi kurang maupun gizi buruk sehingga tidak terdapat

variasi data. Oleh karena itu variabel yang dianalisis adalah status imunisasi,

anggota keluarga yang merokok dan anggota keluarga yang menderita ISPA.

Tabel 4. Faktor Risiko ISPA pada Balita

Variabel

ISPA

sebesar 1.233, batas bawah dan batas atas dari 95% CI 0.044 sampai 34.285, dan

nilai p sebesar 0,902. Sedangkan pada variabel anggota keluarga yang merokok,

Odds Ratio

sebesar 3.728, batas bawah dan batas atas dari 95% CI adalah dari

1.015 sampai 13.696, dan nilai p = 0.047. Pada variabel anggota keluarga yang

menderita ISPA didapatkan nilai

Odds Ratio

sebesar 12.728, dan batas 95% CI

(43)

BAB V

PEMBAHASAN

Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa dari 3 variabel yang dianalisis secara

bersama-sama, terdapat 2 variabel yang terbukti sebagai faktor risiko kuat terjadinya

ISPA pada Balita, yaitu memiliki nilai p < 0.05. Faktor-faktor tersebut adalah anggota

keluarga yang merokok dan anggota keluarga yang menderita ISPA.

Anggota keluarga yang merokok terbukti sebagai faktor risiko terjadinya ISPA

pada Balita, dengan nilai p = 0.047, OR = 3.728, dan 95% CI = 1.015 – 13.696.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa Balita dengan anggota keluarga yang

merokok berisiko menderita ISPA sebesar 3.728 kali bila dibandingkan dengan Balita

tanpa anggota keluarga yang merokok. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil

penelitian Vrijlandt et.al (2005) yang menyebutkan bahwa Balita dengan keluarga

yang merokok akan berisiko menderita ISPA sebesar 2.7 kali lipat dibandingkan

Balita dengan anggota keluarga tidak merokok. Dalam penelitian tersebut dikatakan

bahwa peningkatan frekuensi anggota merokok akan semakin meningkatan risiko

ISPA pada Balita.

Penelitian Winarni et al. (2010) pada 65 Balita di Wilayah Kerja puskesmas

Sempor, Kabupaten Kebumen, menunjukkan hasil yang sama. Hasil penelitian

tersebut menyatakan bahwa Balita dengan keluarga yang merokok akan berisiko

menderita ISPA 37.71 kali lebih tinggi dibandingkan dengan Balita dengan keluarga

(44)

Penelitian Chahaya dan Nurmani (2005) dan Naria et.al (2008) juga menyebutkan

bahwa anggota keluarga yang merokok berpengaruh secara signifikan terhadap

kejadian ISPA Balita, dengan nilai p = 0.012.

Hasil penelitian Moir et al. (2008) menyebutkan bahwa kandungan zat kimia hasil

pembakaran pada asap samping rokok (

sidestream

) lebih tinggi daripada asam utama

(

mainstream

). Zat-zat kimia tersebut berupa karbon monoksida, tar, nikotin, amonia,

nikel, nitrosamine, zat prokarsinogen (mis.

4-methylnitrosamino)-1-(3-pyridil)-1-(butanone), polysiklik, dan neuroteratogen yang menyebabkan kerusakan pada saluran

pernafasan. Paparan asap rokok akan mengakibatkan iritasi pada saluran pernafasan

dan paru-paru. Bila iritasi tersebut diikuti oleh bakteri atau kuman patogen maka akan

menimbulkan infeksi, terutama ISPA (Winarni et al., 2010).

Faktor risiko lain yang terbukti berpengaruh terhadap kejdian ISPA pada Balita

pada penelitian ini adalah anggota keluarga yang menderita ISPA, dengan nilai p =

0.001, OR = 12.728 dan 95% CI = 2.912 – 55.626.

Hal tersebut berarti bahwa Balita dengan anggota keluarga menderita ISPA

berisiko menderita ISPA sebesar 12.728 kali dibandingkan dengan Balita yang

anggota keluarganya tidak menderita ISPA. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori

bahwa penularan ISPA paling utama adalah melalui udara dalam bentuk droplet

(WHO, 2008). Sehingga apabila ada anggota keluarga yang menderita ISPA maka

akan meningkatkan transmisi mikroorganisme penyebab ISPA pada Balita.

Transmisi mikroorganisme dari anggota keluarga yang menderita ISPA

(45)

(2009) menyebutkan bahwa kepadatan hunian rumah meningkatkan risiko ISPA pada

Balita sebesar 6.4 kali. Penelitian yang dilakukan di Brazil menyatakan bahwa

keluarga dengan dua orang atau lebih dalam satu kamar mempunyai risiko 44% lebih

besar untuk menderita ISPA (Pawlinska-Chmara et al., 2007).

Kepadatan hunian yang tinggi (<4m

2

/penghuni) dapat meningkatkan risiko

infeksi saluran napas karena memperbesar kesempatan untuk infeksi silang

antaranggota keluarga apabila ada anggota keluarga yang menderita ISPA. Kuman

penyebab infeksi dapat dengan mudah ditularkan lewat udara melaui droplet atau

aerosol, di dalam ruangan yang padat dengan ventilasi yang tidak memadahi dimana

orang bersin, batuk atau berbicara (Chahaya dan Nurmaini, 2005).

Dalam penelitian ini status gizi tidak dapat dianalisis, karena tidak didapatkan

Balita dengan gizi kurang maupun gizi buruk. Hal ini sesuai dengan data dari

Departemen Kesehatan Indonesia yang menyatakan bahwa Balita yang mengalami

gizi kurang di Indonesia pada 2010 hanya 13% sedangkan Balita yang menderita gizi

buruk hanya 4.9% (Riskesdas, 2010). Menurut Kepala Dinas Kesehatan Surakarta,

pada tahun 2010, Surakarta sudah terbebas dari kasus gizi buruk (Muniarti, 2011;

Dinkes Surakarta 2011). Oleh karena itu, akan sangat sulit untuk mencari sampel

Balita dengan gizi kurang maupun gizi buruk.

Gizi buruk sebagai salah satu faktor risiko ISPA telah dibuktikan oleh penelitian

Sukmawati dan Sri Dara Ayu pada 50 Balita di Wilayah Kerja Puskesmas

Tunikamaseang Kabupaten Maros, Makasar. Dalam penelitian tersebut, status gizi

(46)

(Sukmawati dan Ayu, 2010). Hasil yang sama juga didapatkan pada penelitian Ani

Noviani yang menyatakan bahwa status gizi Balita akan berpengaruh terhadap

frekuensi kejadian ISPA dengan p = 0.023 (Noviani, 2011).

Status gizi akan berpengaruh pada imunitas tubuh. Gizi buruk menyebabkan

gangguan pada imun non spesifik dan spesifik sehingga akan meningkatkan

kerentanan terhadap infeksi, terutama ISPA (Almatsier, 2009; Hadi, 2005; Tandyo

2000; Shankar dan Prasad, 1998).

Hasil analisis multivariat status imunisasi dengan kejadian ISPA pada Balita

menunjukkan p = 0,902, OR = 1,233, 95% CI = 0.044 - 34.285. Hasil tersebut

menunjukkan bahwa Balita dengan status imunisasi tidak lengkap 1,233 kali berisiko

menderita ISPA dibanding dengan Balita dengan status imunisasi lengkap. Namun

jika dilihat dari nilai p yang lebih besar dari 0.05, berarti status imunisasi tidak

signifikan dalam mempengaruhi kejadian ISPA pada Balita. Hasil yang tidak

signifikan tersebut menandakan bahwa dalam penelitian ini, variabel status imunisasi

mempengaruhi kejadian ISPA

by chance

atau secara kebetulan.

Dengan melihat batas atas dan batas bawah dari 95% CI, variabel status

imunisasi tidak bisa dikatakan sebagai faktor risiko karena melewati angka satu.

Artinya Balita dengan status gizi kurang berpeluang untuk menderita ISPA maupun

tidak menderita ISPA. Hal ini dapat disebabkan karena sedikitnya sampel yang

mempunyai status imunisasi tidak lengkap. Dari 60 Balita hanya 4 Balita yang

mempunyai status imunisasi tidak lengkap, 3 Balita menderita ISPA dan 1 Balita tidak

(47)

Hal tersebut sesuai dengan program imunisasi Dinas Kesehatan Kota Surakarta

yang menyebutkan bahwa cakupan imunisasi pada Balita di Kota Surakarta dari tahun

2010 adalah sebesar 94,58%, sehingga sulit untuk menemukan Balita dengan status

imunisasi tidak lengkap (Dinkes Surakarta, 2011).

Depkes (2001) menyebutkan kematian akibat ISPA pada anak dapat dicegah

dengan imunisasi campak sekitar 11% dan dengan imunisasi DPT sebesar 6%.

Imunisasi akan meningkatkan kekebalan tubuh, sehingga sistem imun mampu

mencegah infeksi dari mikroorganisme penyebab ISPA. Imunisasi campak dan DPT

akan memberikan kekebalan terhadap virus

measles

dan bakteri

Corynebacterium

diphtheria

yang dapat menyebabkan ISPA (Ganna, 2006).

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Sukmawati dan Ayu (2010)

yang menyebutkan bahwa status imunisasi mempengaruhi kejadian ISPA pada Balita

dengan nilai p = 0.026. Dalam penelitian tersebut didapatkan kejadian ISPA berulang

pada Balita lebih banyak terjadi pada Balita dengan imunisasi tidak lengkap dibanding

Balita dengan imunisasi lengkap.

Namun hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Sinaga et al. (2009) pada

124 Balita di puskesmas Sentosa Baru Kota Medan dengan metode wawancara.

Dalam penelitian tersebut status imunisasi tidak terbukti sebagai faktor yang

mempengaruhi kejadian ISPA karena nilai p = 0,789. Hal tersebut dapat disebabkan

karena sedikitnya Balita dengan status imunisasi tidak lengkap. Dalam penelitian

tersebut, dari 124 Balita hanya didapatkan 16 Balita dengan satus imunisasi tidak

(48)

Penelitian Antonius (2009) di RSUP Dr Kariyadi Semarang juga memberikan

hasil yang sama. Dalam penelitian tersebut, didapatkan bahwa Balita dengan

imunisasi tidak lengkap mempunyai risiko 2,6 kali lebih besar untuk menderita ISPA.

Namun hasil tersebut tidak signifikan karena p = 0.06.

Dalam penelitian ini terdapat beberapa faktor risiko yang tidak diteliti karena

keterbatasan peneliti. Faktor tersebut adalah polusi udara, kepadatan hunian rumah,

tingkat sosial ekonomi keluarga, pemberian ASI eksklusif dan berat badan lahir.

Penelitian Heri Purnomo pada 250 Balita di Kota Semarang menyebutkan bahwa

terdapat hubungan yang kuat antara kadar debu total dengan kejadian ISPA pada

Balita dengan p < 0.001 (Purnomo, 2001). Polusi udara dalam ruangan umumnya

disebabkan oleh beberapa hal, yaitu kurangnya ventilasi udara (52%) adanya sumber

kontaminasi di dalam ruangan (16%) kontaminasi dari luar ruangan (10%), mikroba

(5%), bahan material bangunan (4%) , lain-lain (13%) (Depkes, 2011).

Sedangkan zat-zat yang termasuk polutan udara luar ruang adalah ozon (O

3

),

nitrogen dioksida (NO

2

), sulfur dioksida (SO

2

), karbon monoksida (CO), timbal dan

partikel. Polutan-polutan tersebut berbahaya bagi kesehatan dan dapat memicu

terjadinya ISPA. Polutan seperti ozon (O

3

), nitrogen dioksida (NO

2

), sulfur dioksida

(SO

2

), karbon monoksida (CO) dapat mengiritasi mukosa saluran pernapasan

sehingga mempermudah infeksi dari mikroorganisme ISPA (Kumar et al., 2007a).

Untuk mengetahui kadar polusi udara membutuhkan penelitian yang kompleks

dan biaya yang relatif besar. Sehingga dalam penelitian ini polusi udara tidak diteliti

Gambar

Tabel 1. Jadwal Imunisasi Nasional Depkes
Tabel 2. Kriteria Imunisasi Lengkap
Gambar 2. Skema Alur Penelitian
Tabel 3. Karakteristik Subjek Penelitian
+2

Referensi

Dokumen terkait

Pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota dapat memberikan kontribusi mereka umtuk pembayaran kompensasi, baik yang disebabkan karena kecilnya ukuran satuan pendidikan,

Bapak, Ibu dan teman-teman yang terkasih dalam Kristus, tadi kita sudah mendengarkan bersama-sama jawaban dari pertanyaan di atas. Bapak, Ibu memang semakan disadarkan

Deskripsi fenomenologis di atas merupakan ide yang mendasari dilakukannya replikasi penelitian dengan mengembangkan komposisi hubungan variabel, yaitu pengaruh kewenangan formal,

Pertumbuhan industry Perbankan syariah didunia termasuk di Indonesia saat ini sedang tumbuh pesat dan isu praktik dan pengungkapan CSR yang makin marak, sehingga penting

1) Kredit Kepercayaan, yaitu suatu keyakinan si pemberi kredit (Kreditur) bahwa prestasi (uang, jasa, atau barang) yang diberikannya benar-benar diterimanya dimasa tertentu yang akan

Diduga, kredit bank, kredit koperasi, modal, jumlah tenaga kerja, dan lama usaha memiliki pengaruh positif terhadap omzet industri alas kaki dari kulit di Kecamatan Magetan,

(g) Pernyataan yang diberikan ekivalen dengan “Mengontrak pemain asing kenamaan adalah syarat perlu untuk Indonesia agar ikut Piala Dunia” atau “Jika Indonesia ikut Piala Dunia

Komunitas waria tu pada dasarnya begitu mereka menginjak atau merasakan diri menjadi waria dalam bergabung dengan temen2, mereka tu pasti ingin temen2nya pada dandan pada pake