• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN STATUS EKONOMI DAN TINGKAT PENGETAHUAN TB DENGAN KETERLAMBATAN PASIEN DALAM DIAGNOSIS KASUS TB PARU SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUBUNGAN STATUS EKONOMI DAN TINGKAT PENGETAHUAN TB DENGAN KETERLAMBATAN PASIEN DALAM DIAGNOSIS KASUS TB PARU SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN STATUS EKONOMI DAN TINGKAT

PENGETAHUAN TB DENGAN KETERLAMBATAN PASIEN

DALAM DIAGNOSIS KASUS TB PARU

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

CAESARIA SARAH SELLECA

G0009042

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Surakarta

2012

(2)

ii

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul : Hubungan Status Ekonomi dan Tingkat Pengetahuan TB

dengan Keterlambatan Pasien dalam Diagnosis Kasus TB Paru

Caesaria Sarah Selleca, NIM: G0009042, Tahun: 2012

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada Hari Rabu, Tanggal 31 Oktober 2012

Pembimbing Utama

Nama : Yusup Subagio Sutanto, dr., Sp. P (K) ……….. NIP : 19570315 198312 1 002

Pembimbing Pendamping

Nama : Dr. Reviono, dr., Sp. P (K) ……….. NIP : 19651030 200312 1 001

Penguji Utama

Nama : Ana Rima Setijadi, dr., Sp. P ……….. NIP : 19620502 198901 2 001

Penguji Pendamping

Nama : Slamet Riyadi, dr., M. Kes ……….. NIP : 19600418 199208 1 001

Surakarta, ………..

Ketua Tim Skripsi Dekan FK UNS

Muthmainah, dr., M.Kes Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp-PD-KR-FINASIM NIP 19660702 199802 2 001 NIP 19510601 197903 1 002

(3)

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah

diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan

sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang

pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu

dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 31 Oktober 2012

Caesaria Sarah Selleca

NIM. G0009042

(4)

ABSTRAK

Caesaria Sarah Selleca. G0009042. 2012. Hubungan Status Ekonomi dan

Tingkat Pengetahuan TB dengan Keterlambatan Pasien dalam Diagnosis Kasus TB Paru di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Latar Belakang: Pada saat ini keterlambatan pengobatan TB masih sering terjadi.

Faktor status ekonomi dan tingkat pengetahuan TB mempengaruhi seseorang dalam usaha pemenuhan kesehatannya, sehingga jika tidak terpenuhi dapat menyebabkan keterlambatan diagnosis akibat keterlambatan pasien dalam hal ini pada kasus TB paru. Penelitian ini berguna untuk mengetahui adanya faktor risiko status ekonomi dan tingkat pengetahuan TB terhadap terjadinya keterlambatan pasien.

Subjek dan Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik

dengan pendekatan cross-sectional Penelitian ini diadakan bulan Mei-Agustus 2012 di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta. Total 60 subjek, sampel diambil dengan metode consecutive sampling. Penderita TB paru kasus baru di BBKPM Surakarta diminta untuk menjawab kuesioner tentang keterlambatan, status ekonomi (pendapatan) dan tingkat pengetahuan TB. Data dianalisis dengan menggunakan metode analisis regresi linier ganda (multivariat).

Hasil Penelitian: Dari total 60 sampel, diperoleh sampel dengan status ekonomi

rendah berjumlah 31 orang dan sampel berstatus ekonomi tinggi berjumlah 29 orang. Sampel dengan pengetahuan TB tinggi sebanyak 34 orang dan sampel dengan pengetahuan TB rendah sebanyak 26 orang. Sampel yang mengalami keterlambatan jumlahnya 38 orang dan yang tidak mengalam i keterlambatan berjumlah 22 orang. Status ekonomi (pendapatan) berpengaruh terhadap terjadinya keterlambatan pasien. Pasien dengan pendapatan rendah rata-rata berkunjung untuk pertama kali ke fasilitas kesehatan 165,68 hari lebih lambat dibandingkan pasien dengan pendapatan tinggi (b : 165,68 ; CI 95% -33,21 s/d 364,56, p = 0,101). Tingkat pengetahuan TB berpengaruh terhadap terjadinya keterlambatan pasien. Pasien dengan tingkat pengetahuan TB rendah rata-rata berkunjung untuk pertama kali ke fasilitas kesehatan 128,84 hari lebih lambat dibandingkan pasien dengan tingkat pengetahuan TB tinggi (b : 128,84 ; CI 95% -71,73 s/d 329,40, p = 0,204).

Simpulan Penelitian: Ada hubungan antara status ekonomi dan tingkat

pengetahuan TB dengan keterlambatan pasien namun hasilnya tidak signifikan secara statistik.

Kata Kunci: status ekonomi, tingkat pengetahuan TB, keterlambatan pasien

(5)

ABSTRACT

Caesaria Sarah Selleca. G0009042. 2012. The Relations of Economic Status and

Level of Knowledge of TB Patients with Delay in Cases of Pulmonary Tuberculosis at Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta. Mini Thesis. Faculty of Medicine, Sebelas Maret University Surakarta.

Background: At this time of TB treatment delays are still common. Factor of

economic status and level of knowledge of TB affecting the health of someone in a business meeting, so that if not met could lead to delays in diagnosis due to the delay in this case the patient with pulmonary tuberculosis. This study is useful to know the risk factors of economic status and level of knowledge of the occurrence of TB patient delay.

Subject and Method: This study was an observasional analytic cross-sectional

study approach (cross-sectional) are held May to August 2012 in Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta. Total of 60 subjects sampled by consecutive sampling method. New cases of pulmonary TB patients in Surakarta BBKPM asked to answer a questionnaire about the delay, economic status (income) and the level of knowledge of TB. Data were analyzed using multiple linear regression analysis method (multivariate).

Results: The total 60 samples, obtained samples with low economic status

amounted to 31 people and a sample of high economic status amounted to 29 people. Samples with high TB knowledge as many as 34 people and samples with low TB knowledge as many as 26 people. Samples were late number 38 and who do not experience delays totaling 22 people. Economic status (income) effect on patient delays. Patients with lower incomes on average visit for the first time to a health facility 165.68 days slower than those with higher incomes (b: 165.68; 95% CI -33.21 s / d 364.56, p = 0.101) . TB affects the level of knowledge in a delay of the patient. Patients with a low level of TB knowledge the average visit for the first time to a health facility 128.84 days slower than patients with high levels of TB knowledge (b: 128.84; 95% CI -71.73 s / d 329.40, p = 0.204).

Conclusions: There is a relationship between economic status and level of

knowledge of TB patients with a delay, but the results were not statistically significant.

Keywords: economic status, level of knowledge of TB, the patient delays

(6)

PRAKATA

Alhamdulillahhirabbil’aalamin, puja dan puji penulis haturkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Hubungan Status Ekonomi dan Tingkat Pengetahuan TB dengan Keterlambatan Pasien dalam Diagnosis Kasus TB Paru. Penelitian tugas karya akhir ini merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan Program Sarjana Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyadari bahwa penelitian tugas karya akhir ini tidak akan berhasil tanpa adanya bantuan dari berbagai p ihak, oleh karena itu dengan penuh rasa hormat ucapan terima kasih yang dalam saya berikan kepada:

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Yusup Subagio Sutanto, dr., Sp.P (K) selaku Pembimbing Utama yang telah menyediakan waktu untuk membimbing hingga terselesainya skripsi ini. 3. Dr. Reviono, dr, Sp.P (K) selaku Pembimbing Pendamping yang tak

henti-hentinya bersedia meluangkan waktu untuk membimbing hingga terselesainya skripsi ini.

4. Ana Rima Setijadi, dr., Sp.P selaku Penguji Utama yang telah memberikan banyak kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

5. Slamet Riyadi, dr., M.Kes selaku Penguji Pendamping yang telah memberikan banyak kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

6. Nur Hafida Hikmayani, dr., MClinEpid dan Muthmainah, dr., M.Kes selaku Tim Skripsi FK UNS, atas kepercayaan, bimbingan, koreksi dan perhatian yang sangat besar sehingga terselesainya skripsi ini.

7. Keluarga besar Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta, Ibu Uud, Ibu Heni, Ibu Herlina, Ibu Sur yang telah banyak membantu saya dalam melakukan penelitian.

8. Orang tua tercinta, Ayahanda H. Abbi Yusuf dan Ibunda Natalia Nanik Heryani, serta adik terganteng Relanfa Farando, dan seluruh keluarga besar yang senantiasa mendoakan tanpa henti, juga memberikan support dalam segala hal hingga terselesaikannya penelitian in i.

9. Sahabat-sahabat tersayang, Elsa, Isfalia, Tiara, Lilis, Asri, Mamet, Catur, Aggil, teman-teman kelompok 11 dan angkatan 2009 atas doanya, semangat dan bantuan yang tak kunjung henti serta waktu yang selalu tersedia.

10. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu proses penelitian tugas karya akhir ini yang tidak mungkin disebutkan satu-persatu.

Meskipun tulisan ini masih belum sempurna, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Saran, koreksi, dan tanggapan dari semua pihak sangat diharapkan.

Surakarta, 31 Oktober 2012

(7)

DAFTAR ISI

PRAKATA ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 2

C. Tujuan Penelitian ... 3

D. Manfaat Penelitian ... 3

BAB II. LANDASAN TEORI ... 4

A. Tinjauan Pustaka ... ... 4

1. Tuberkulosis ... ... 4

a. Defin isi ... ... 4

b. Cara Penularan ... ... … 4

c. Patofisio logi ... ... 4

d. Gejala... ... 8

e. Penemuan Pasien TB ... ... 10

f. Diagnosis ……….…….. 11

g. Klasifikasi Penderita TB ………... 12

h. Pengobatan TB ……… . 14

(8)

i. Komplikasi ……… 15

2. Keterlambatan Pasien ……….. 15

3. Status Ekonomi ... 19

4. Tingkat Pengetahuan TB ……… 22

B. Kerangka Pem ikiran ... 25

C. Hipotesis ... 26

BAB III. METODE PENELITIAN ... 27

A. Rancangan Penelitian ... 27

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 27

C. Subjek Penelitian ... 27

D. Teknik Sampling ... 27

E. Besar Sampel ... 27

F. Rancangan Penelitian ... 29

G. Identifikasi Variabel Penelitian ... 29

H. Defin isi Operasional Variabel Penelitian ... 30

I. Sumber Data ... 32

J. Instumental Penelitian ... 32

K. Cara Kerja ………... 32

L. Teknik Analisis Data Statistik ……….. 33

BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 34

A. Hasil Penelitian ... 34

B. Hasil Uji Analisis Regresi Lin ier Ganda ... 39

(9)

BAB V. PEMBAHASAN ... 41

BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 44

A. Simpulan ... 44

B. Saran ... 44

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelam in ... 34

Tabel 4.2 Distribusi Sampel Berdasarkan Umur ... 34

Tabel 4.3 Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 35

Tabel 4.4 Distribusi Sampel Berdasarkan Waktu Tempuh ke UPK (BBKPM) ... 35

Tabel 4.5 Distribusi Sampel Berdasarkan Kepercayaan terhadap UPK (BBKPM).. 36

Tabel 4.6 Distribusi Waktu Diagnosis dan Skor Tingkat Pengetahuan………….. 36

Tabel 4.7 Sampel Berdasarkan Status Ekonomi ... 37

Tabel 4.8 Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Pengetahuan TB ……….. 37

Tabel 4.9 Distribusi Sampel Berdasarkan Keterlambatan Pasien ………... 38

Tabel 4.10 Analisis Bivariat tentang Hubungan Status Ekonomi dengan Keterlambatan Pasien dalam Diagnosis Kasus TB Paru ……….... 38

Tabel 4.11 Analisis Bivariat tentang Hubungan Tingkat Pengetahuan TB dan Keterlambatan Pasien ……….. 39

Tabel 4.12 Hasil Uji Analisis Regresi Linier Ganda tentang Hubungan Status Ekonomi dan Tingkat Pengetahuan TB dengan Keterlambatan Pasien dalam Diagnosis Kasus TB Paru ………. 40

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Pemikiran ... 25

Gambar 2. Rancangan Penelitian ……… . .... 29

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Kedokteran

Lampiran 2. Surat Keterangan Selesai Melakukan Penelitian

Lampiran 3. Informed Consent

Lampiran 4. Kuesioner Keterlambatan, Status Ekonomi dan Tingkat Pengetahuan TB

Lampiran 5. Data Mentah Hasil Penelitian

Lampiran 6. Analisis Data

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setelah sekian lama hampir 10 tahun Indonesia menempati peringkat

ke-3 dengan banyaknya jumlah penderita TB (Tuberkulosis), pada tahun

2009 World Health Organization (WHO) mencatat bahwa Indonesia telah

berhasil turun peringkat menjadi peringkat ke lima setelah India, Cina,

Afrika Selatan dan Nigeria dengan jumlah penderita TB 429 ribu orang

(WHO, 2010). WHO memperkirakan pada tahun 2006 terdapat 9,24 juta

penderita TB di seluruh dunia, pada tahun 2007 jumlah penderita naik

menjadi 9,27 juta jiwa dan hingga tahun 2009 angka penderita TB menjadi

9,4 juta jiwa.

Terlepas dari itu permasalahan dalam pengendalian TB masih sangat

besar karena Indonesia masih berkontribusi 5,8% dari kasus TB di dunia.

Masih ada sekitar 430.000 pasien baru per tahun dan angka kematian

sebesar 64.000 per tahun atau 27/100.000 penduduk dan hal ini masih

menjadi tantangan yang besar dalam masalah kesehatan di Indonesia.

(Kemenkes RI, 2011).

Status ekonomi merupakan tingkatan kekayaan seseorang dalam

hubungan dengan masyarakat di sekelilingnya (Poerwadarminta, 2002).

Status ekonomi sering berkaitan dengan pendapatan keluarga, dengan

pendapatan yang baik maka pemenuhan kebutuhan hidup dan kesehatan

akan lebih terjamin. Keadaan sosial ekonomi juga berkaitan erat dengan

(14)

kesehatan. Masyarakat yang mempunyai pendapatan rendah cenderung

sangat takut dengan biaya berobat karena alasan tidak mempunyai uang

yang cukup dan mahalnya obat yang harus dibeli (Anderson, 1974).

Pengetahuan berasal dari kata dasar “tahu”. Tingkat pengetahuan

seseorang dipengaruhi kebudayaan, informasi, pendidikan, pengalaman,

usia, pekerjaan dan pendapatan. Masyarakat yang mempunyai kesadaran

tinggi akan lebih mau menerima masukan dan informasi tentang hal baru

terutama dalam masalah kesehatan, sehingga dirinya mampu berperilaku

atau cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dalam hal ini

pemenuhan kesehatan sehingga tidak akan menunda-nunda. Orang yang

lebih peka atau lebih paham terhadap munculnya gejala penyakit maka

cenderung akan lebih cepat dalam mencari bantuan pertolongan dan

mendapatkan pengobatan dengan cepat pula (dikutip dari Hidayati, 2003).

Kedua hal tersebut mempengaruhi sesorang dalam usaha pemenuhan

akan kesehatannya, sehingga jika tidak terpenuhi maka dapat

menyebabkan keterlambatan diagnosis akibat keterlambatan pasien dalam

hal ini pada kasus TB paru. Jika terjadi keterlambatan diagnosis TB paru

maka akan semakin memperburuk penyakit dan dapat menimbulkan

komplikasi antara lain batuk darah, pneumotoraks, kolaps paru, dan

sebagainya. Kasus TB dengan komplikasi dapat meningkatkan risiko

kematian, selain itu dengan adanya keterlambatan diagnosis juga akan

memperpanjang transmisi infeksi di komunitas (Depkes RI, 2006).

Dari uraian tersebut maka peneliti ingin melakukan penelitian

mengenai hubungan status ekonomi dan tingkat pengetahuan TB dengan

keterlambatan pasien dalam diagnosis kasus TB paru.

B. Perumusan Masalah

Adakah hubungan antara status ekonomi dan tingkat pengetahuan

TB dengan keterlambatan pasien dalam diagnosis kasus TB paru?

(15)

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui hubungan status ekonomi dan tingkat

pengetahuan TB dengan keterlambatan pasien dalam diagnosis kasus TB

paru.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritik:

Memberikan informasi tentang adanya hubungan antara status

ekonomi dan tingkat pengetahuan TB dengan keterlambatan pasien

dalam diagnosis kasus TB paru.

2. Manfaat Aplikatif:

Penelitian ini diharapkan dapat membantu program pemerintah

untuk semakin mensukseskan program pemberantasan TB di

Indonesia, serta dapat memberikan data masukkan kepada Balai Besar

Kesehatan Paru Masyarakat (BBKP M) Surakarta.

(16)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Tuberkulosis

a. Definisi

Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang

disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis. Sebagian

besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai

organ tubuh lainnya (Werdhani, 2006).

b. Cara Penularan

Sumber penularannya adalah pasien TB BTA positif, pada

waktu batuk atau bersin, pasien dapat menyebarkan kuman ke

udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk

dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Penularan

terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu

yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,

sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman.

Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan

gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh

banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi

derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular

pasien tersebut. Konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya

menghirup udara tersebut memungkinkan seseorang terpajan

kuman TB (Depkes RI, 2007).

c. Patofisiologi

1) Tuberkulosis primer

Bila kuman ini terhisap oleh orang sehat, maka kuman akan

(17)

dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel <5 mikrometer

(Amin, 2006). Basil tuberkel yang mencapai permukaan

alveolus biasanya diinhalasi sebagai salah satu unit yang

terdiri dari satu sampai tiga basil. Gumpalan basil yang lebih

besar cenderung lebih tertahan di saluran hidung dan cabang

besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah

berada di ruang alveolus, biasanya bagian bawah lobus atas

paru atau di bagian atas lobus bawah, basil tuberkel ini

membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear

tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri namun

tidak membunuh organisme tersebut. Sesudah hari-hari

pertama, leukosit digantikan oleh makrofag. Alveoli yang

terserang akan mengalam i konsolidasi dan timbul pneumonia

akut (Price, 2006).

Pneumonia selular ini dapat sembuh dengan sendirinya

sehingga tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat

berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak

di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening dan

menuju kelenjar getah bening regional. Makrofag yang

mengadakan infiltrasi lebih panjang dan sebagian bersatu

sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi

oleh limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10-20

hari (Price, 2006).

Bila kuman menetap dalam jaringan paru, kuman akan

berkembang biak dalam sitoplasama makrofag. Dari sini

kuman dapat menuju organ-ogan lainnya. Sarang tuberkulosis

primer disebut fokus ghon yang dapat terjadi di setiap jaringan

paru dan kalau menjalar sampai ke pleura maka terjadilah

efusi pleura. Kuman juga dapat masuk melalui saluran

gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring dan kulit, terjadi

(18)

dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal dan

tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi

penjalaran ke seluruh jaringan paru menjadi TB millier (Amin,

2006).

Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah

bening menuju hillus (limfangitis fokal) dan juga diikuti

pembesaran kelenjar getah bening hillus (limfadenitis

regional). Sarang primer limfangitis fokal + limfadenitis

regional = kompleks primer (Ranke). Semua proses ini

memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya

dapat menjadi:

a) Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat.

b) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa

garis-garis fibrotik, kalsifikasi d i hilus, keadaan ini terdapat

pada pneumonia yang luasnya > 5mm dan 10% di

antaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang

dormant.

c) Berkomplikasi dan menyebar secara:

(1) Perkontinuitatum (ke sekitarnya)

(2) Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan atau

pun pada paru di sebelahnya. Kuman juga dapat

tertelan bersama sputum dan ludah sehingga

menyebar ke usus.

(3) Secara limfogen ke organ-organ lainnya.

(4) Secara hematogen ke organ-organ tubuh lainnya

(Amin, 2006).

2) Tuberkulosis pasca-primer (sekunder)

Kuman yang dormant pada TB primer akan muncul

bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi TB

(19)

karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol,

keganasan, diabetes, AIDS dan gagal ginjal. TB pasca-primer

dimulai dengan sarang din i yang berlokasi terutama di region

atas paru (segmen apical-posterior lobus superior atau lobus

inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru dan tidak

ke lobus hiler paru. Sarang dini mula-mula tampak seperti

sarang pneumonia kecil dan dalam 3-10 minggu sarang ini

berubah menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri

dari sel-sel histiosit dan sel datia langhans (Amin, 2006).

Tuberkulosis pasca-primer dapat menjadi:

a) Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan

cacat.

b) Sarang yang mula-mula meluas tetapi segera menyembuh

dengan serbukan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus

diri menjadi keras, menimbulkan perkapuran. Sarang dini

yang meluas sebagai granuloma berkembang

menghancurkan jaringan ikat di sekitarnya dan bagian

tengahnya mengalami nekrosis menjadi lembek

membentuk jaringan tipis, lama-lama dindingnya menebal

karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar

sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Terjadinya

perkejuan dan kavitas adalah akibat hidrolisis protein lipid

dan asam nukleat oleh enzim yang d iproduksi oleh

makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin dengan

TNF-nya. Bentuk perkejuan lain yang jarang adalah

cryptic disseminate TB yang terjad i pada imunodefisiensi

dan usia lanjut (Amin, 2006). Kavitas dapat mengalam i:

(1) Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia

baru. Bila isi kavitas masuk ke dalam pembuluh darah

arteri maka akan terjadi TB m illier.

(20)

(2) Memadat dan membungkus diri sehingga menjadi

tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan

menyembuh atau dapat aktif kembali menjadi cair dan

menjadi kavitas lagi. Komplikasi kronik kavitas

adalah kolonisasi oleh jamur (contohnya Aspergillus)

sehingga membentuk misetoma.

(3) Menyembuh dan bersih. Kadang berakhir sebagai

kavitas yang terbungkus, menciut dan berbentuk

sebagai bintang (stellate shape).

Secara keseluruhan terdapat 3 macam sarang:

(a) Sarang yang sudah sembuh (tidak perlu pengobatan).

(b) Sarang aktif eksudatif (perlu pengobatan lengkap dan

sempurna).

(c) Sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang

ini dapat sembuh spontan, tapi mengingat risiko

terjadi eksaserbasi, maka sebaiknya diberikan

pengobatan sempurna.

d. Gejala

Gejala klinik TB dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu

gejala lokal dan gejala sistem ik, bila organ yang terkena adalah

paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik (PDPI, 2002).

1) Gejala respiratorik

a) Batuk 2-3 minggu

b) Batuk darah

Batuk terjadi karena ada iritasi pada bronkus. Batuk

ini diperlukan untuk membuang keluar produk-produk

radang. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit

tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit

berkembang dalam paru yakni setelah berm inggu-minggu

(21)

atau berbulan-bulan sejak awal peradangan (Herryanto,

2004).

Sifat batuk dimulai dari batuk kering

(non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi

produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut

adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh

darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada

tuberkulosis terjadi pada kavitas, tapi dapat juga terjadi

pada ulkus dinding bronkus (Amin, 2006).

Gejala TB yang sangat umum ialah batuk produktif

yang tak henti-henti dan terkadang batuk disertai darah

(hemoptisis), seringkali disertai gejala sistemik seperti

demam, keringat malam dan penurunan badan. Batuk

selama 2-3 minggu tidak spesifik, namun batuk yang

berlangsung selama itu secara tradisional digunakan

sebagai kriteria dugaan TB (TBCTA, 2009).

c) Sesak napas

Jika sakit masih ringan, sesak napas masih belum

dirasakan. Sesak napas ditemukan pada penyakit yang

sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah

bagian paru (Amin, 2006).

d) Nyeri dada

Hal ini jarang ditemukan. Nyeri dada dapat timbul

bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga

menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura

sewaktu pasien menarik atau melepaskan napasnya

(Amin, 2006).

(22)

2) Gejala sistemik

a) Demam

Biasanya subfebril seperti demam influenza, tapi

kadang panas badan dapat mencapai 40-41oC. Serangan

demam pertama dapat sembuh sementara tapi kemudian

dapat timbul kembali. Hal ini terjadi terus-menerus

sehingga pasien merasa tidak pernah bebas dari serangan

demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh

daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi

Mycobacterium Tuberculosis yang masuk (Amin, 2006).

b) Malaise

Gejala malaise yang sering ditemukan adalah

berupa anoreksia (tidak ada nafsu makan), badan semakin

kurus, berat badan menurun, sakit kepala, meriang, nyeri

otot dan keringat malam. Gejala ini semakin lama

semakin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak

teratur.

3) Gejala TB ekstra paru

Tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada

limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat

dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis

tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada

pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas dan kadang

nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan

(PDPI, 2002).

e. Penemuan pasien TB

Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek,

diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Suspek

TB sendiri pengertiannya adalah setiap orang yang datang dengan

(23)

pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan

dan penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna akan

dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan

TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan

penularan TB yang paling efektif di masyarakat.

Strategi penemuan

1) Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi

aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit

pelayanan kesehatan; didukung dengan penyuluhan secara

aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk

meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB.

2) Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka

yang BTA positif dan pada keluarga, anak yang menderita TB

yang menunjukkan gejala sama harus diperiksa dahaknya.

3) Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak

cost efektif (Depkes RI, 2007).

f. Diagnosis

Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu

2 hari, yaitu Sewaktu - Pagi - Sewaktu (SPS).

S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang

berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa

sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari

kedua.

P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua,

segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri

kepada petugas di Unit Pelayanan Kesehatan (UPK).

S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat

menyerahkan dahak pagi.

Peran biakan dan identifikasi M.tuberculosis pada

(24)

yang bersangkutan masih peka terhadap OAT yang digunakan.

Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman

serta bila dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam

beberapa situasi:

1) Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis

2) Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak

3) Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan

ganda.

Tes resistensi tersebut hanya dapat dilakukan di

laboratorium yang mampu melaksanakan biakan, identifikasi

kuman serta tes resistensi sesuai standar internasional, dan telah

mendapatkan pemantapan mutu (Quality Assurance) oleh

laboratorium supranasional TB. Hal ini bertujuan agar hasil

pemeriksaan tersebut memberikan simpulan yang benar sehinggga

kemungkinan kesalahan dalam pengobatan MDR dapat dicegah.

Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan

ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional,

penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis

merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks,

biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang

diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan

mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja.

Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada

TB paru, sehingga sering terjad i overdiagnosis. Gambaran

kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas

penyakit (Depkes RI, 2007).

g. Klasifikasi penderita TB

Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak

mikroskopis, yaitu pada TB Paru :

(25)

a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS

hasilnya BTA positif.

b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto

toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.

c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan

kuman TB positif.

d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3

spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya

hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah

pemberian antibiotika non OAT.

2) Tuberkulosis paru BTA negatif

a) Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA

positif.

b) Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:

(1) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA

negatif

(2) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran

tuberkulosis

(3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non

OAT

(4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi

pengobatan

Klasifikasi pasien berdasarkan riwayat pengobatan

sebelumnya dibagi menjadibeberapa tipe pasien, yaitu:

a. Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau

sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4

minggu).

(26)

b. Kasus kambuh (Relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat

pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau

pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif

(apusan atau kultur).

c. Kasus setelah putus berobat (Default )

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan

atau lebih dengan BTA positif.

d. Kasus setelah gagal (Failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif

atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih

selama pengobatan.

e. Kasus Pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki

register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.

f. Kasus lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas.

Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien

dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai

pengobatan ulangan.

Catatan: TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga

mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus

kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara

patologik, bakteriologik (b iakan), radiologik, dan

pertimbangan medis spesialistik (Depkes RI, 2007).

h. Pengobatan TB

Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa

jenis antara lain, isoniazid, rifampicin. pyrazinamide,

streptomycin dan ethambutol, obat tersebut diberikan dalam

(27)

diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan Pada

tahap intensif, pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi

secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila

pengobatan tahap intensif diberikan secara tepat, biasanya pasien

menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif

dalam waktu 2 bulan. Pada tahap lanjutan, pasien mendapat jenis

obat lebih sedikit namun dalam jangka waktu yang lebih lama.

Tahap lanjutan ini penting untuk membunuh kuman persister

sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Depkes RI, 2007).

i. Komplikasi

Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi,

baik sebelum pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun

setelah selesai pengobatan. Beberapa komplikasi yang mungkin

timbul adalah :

Tingkah laku manusia dalam menghadapi masalah kesehatan

bukanlah tingkah laku yang acak tapi tingkah laku yang selektif,

terencana dan berpola dalam suatu sistem kesehatan yang merupakan

bagian integral dari budaya yang bersangkutan (Foster & Anderson,

1998). Kecepatan pencarian bantuan dalam masalah kesehatan pun

(28)

memutuskan bahwa dirinya dalam kondisi tidak sehat itu cepat. Hal

ini perlu ditunjang dengan pengetahuan tentang konsep sehat-sakit.

Pengetahuan kapan dikatakan sakit dan kapan dikatakan sehat dalam

hal ini adalah kasus TB (Smet, 1994). Ada beberapa perilaku

kesehatan menurut Becker (1979), yaitu:

a. Perilaku sehat (heatlh behavior), dalam pengertian yang luas

perilaku sehat meliputi semua perilaku yang berhubungan dengan

menjaga atau mempertahankan dan meningkatkan status sehat.

b. Perilaku sakit (illness behavior) merupakan semua tindakan dan

kegiatan yang dilakukan seseorang untuk merasakan,

mendefinisikan, mengintepretasikan gangguan kesehatan yang

dirasakannya termasuk juga kemampuan atau pengetahuan

individu untuk mengidentifikasi penyakit dan penyebabnya serta

upaya pencegahannya.

c. Perilaku peran sakit (the sick role behavior) merupakan segala

tindakan atau kegiatan yang dilakukan seseorang yang sedang

sakit untuk memperoleh kesembuhannya. Perilaku ini

berpengaruh terhadap sehat dan sakitnya diri-sendiri, orang lain

juga lingkungan.

Kasus TB yang luput dan keterlambatan diagnosis dapat

menyebabkan morbiditas dan mortalitas serta penyebaran penyakit

yang semakin luas. Penelitian menunjukkan bahwa 58-63% kasus

BTA negatif pada periode follow up -58 bulan dapat berkembang

menjadi BTA positif. Pasien dengan BTA negatif dan mendapat

pengobatan pencegahan TB dapat menghambat perkembangan

reaktivasinya sebesar 90% dibanding dengan yang tidak mendapat

pengobatan (Greenaway, 2002).

Interval waktu antara timbulnya gejala pertama kali sampai

datangnya penderita ke fasilitas kesehatan pertama kali disebut

(29)

Secara garis besar faktor risiko keterlambatan pasien seperti yang

dikemukakan Anderson (1974), antara lain:

a. Faktor predisposisi

Merupakan faktor yang mendahului terjadinya perilaku

yang memberikan alasan dan motivasi untuk berperilaku. Faktor

tersebut antara lain demografi (umur dan jenis kelamin), sosial

(pendidikan, pekerjaan, suku/ras), manfaat kesehatan

(kepercayaan/keyakinan terhadap pelayanan kesehatan). Bila

dalam masyarakat mempunyai kepercayaan yang salah tentang

penyakit maka dapat menghambat dalam proses pencarian

bantuan kesehatan atau membawa berobat kepada orang yang

tidak profesional. Selain itu, masyarakat yang mempunyai

kesadaran tinggi akan lebih mau menerima masukan dan

informasi tentang hal baru terutama dalam masalah kesehatan,

sehingga dirinya mampu berperilaku atau cepat menyesuaikan

diri dengan lingkungannya. Begitu juga dalam mencari bantuan

kesehatan, dirinya akan membawa berobat diri/anggota keluarga

yang sakit tanpa menunda-nunda.

b. Faktor pendukung

Merupakan faktor yang mendahului perilaku yang

menunjang motivasi atau aspirasi dapat terwujud. Faktor tersebut

antara lain ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan sumber

daya untuk menunjang perilaku kesehatan termasuk biaya

pengobatan. Status ekonomi berkaitan dengan pendapatan

keluarga, dengan pendapatan yang baik maka pemenuhan

kebutuhan hidup dan kesehatan akan lebih terjamin. Biaya

kesehatan pun telah dipersiapkan. Sedangkan masyarakat yang

mempunyai pendapatan rendah, masyarakat tersebut sangat takut

(30)

pada biaya berobat karena alasan tidak mempunyai uang yang

cukup dan mahalnya obat yang harus dibeli.

c. Faktor kebutuhan

Merupakan faktor yang mendorong perilaku kesehatan

karena adanya kebutuhan yang disebabkan antara lain adanya

persepsi yang serius mengenai gejala atau penyakit yang

dialaminya. Bila gejala tidak terlalu dirasakan, orang tersebut

tidak akan mencari pengobatan sampai penyakitnya bertambah

parah. Sebaliknya jika orang yang lebih peka atau lebih paham

terhadap munculnya gejala akan lebih cepat dalam mencari

bantuan pertolongan dan mendapatkan pengobatan dengan cepat

pula (dikutip dari Hidayati, 2003).

Terdapat beberapa cara dan kriteria dalam menentukan batas

keterlambatan diagnosis TB atau pengkategorisasian variabel terikat,

antara lain :

a. Berdasarkan cut off point median atau rata-rata waktu

keterlambatan. Dikatakan terlambat jika waktu keterlambatan di

atas median atau rata-rata (Demissie, Rajeswari).

b. Tetap berdasarkan data kontinyu (Pronyk, Leinhard, Long,

Sherman) dan analisa menggunakan cox regresi.

c. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa

kontak yang terekspos penderita TB aktif sering kali menunjukkan

gejala infeksi setelah 2 bulan terekspos. Sehingga keterlambatan

yang bermakna secara klinis didefinisikam sebagai periode lebih

dari 60 hari dari gejala TB pertama kali timbul sampai pertama

kali berkunjung ke dokter (Asch, 1988).

d. Berdasarkan Lonnroth (1999): Long patient delay: jika lebih dari

4 minggu; long provider delay: jika lebih dari 4 minggu; long

total delay: jika mulai dari gejala pertama hingga diagnosis lebih

(31)

dari 8 minggu. Kriteria ini sesuai dengan WHO yaitu, dalam

program pemberantasan TB sangat didambakan agar paling

lambat 2 bulan setelah penderita merasakan gejala maka diagnosis

TB dapat ditegakkan (Hidayati, 2003).

Berdasarkan penelitian kelambatan diagnosis oleh Reviono

tahun 2008, kelambatan pasien merupakan penyumbang terbanyak

dari kelambatan diagnosis total. Hal itu disebabkan oleh terdapatnya

kasus dengan kelambatan pasien yang cukup panjang meskipun tidak

terjadi kelambatan fasilitas kesehatan akan tetapi secara total waktu

diagnosis melampaui median diagnosis total seh ingga masuk dalam

kelompok kelambatan diagnosis total. Pada penelitian Reviono

disebutkan bahwa kelambatan pasien reratanya yaitu 24,33 hari dan

mediannya 21 hari sedangkan untuk diagnosis total adalah reratanya

40,42 hari dan mediannya 35 hari. Penelitian tersebut menggunakan

cut off point median waktu yang digunakan oleh subjek penelitian

untuk menentukan kelambatan.

Faktor risiko keterlambatan pelayanan kesehatan pada

penelitian-penelitian agak berbeda dengan teori perilaku di mana

semua faktor berfokus pada pasien sehingga jika dikaitkan dengan

teori perilaku maka faktor keterlambatan pelayanan kesehatan hanya

merupakan faktor pendorong petugas kesehatan untuk berperilaku

mendiagnosis TB (Hidayati, 2003)

3. Status Ekonomi

Menurut kamus bahasa Indonesia, pengertian status adalah

tingkatan atau kedudukan seseorang dalam hubungan dengan

masyarakat di sekelilingnya, sedangkan pengertian ekonomi adalah

ilmu mengenai azas-azas produksi dan pemakaian barang-barang serta

kekayaan, sehingga pengertian status ekonomi adalah tingkatan

(32)

kekayaan seseorang dalam hubungan dengan masyarakat di

sekelilingnya (Poerwadarminta, 2002).

Status ekonomi kemungkinan besar merupakan pembentuk gaya

hidup keluarga. Faktor-faktor yang mempengaruhi status sosial

ekonomi adalah:

a. Pendidikan

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh

seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah

suatu cita-cita tertentu. Makin tinggi tingkat pendidikan

seseorang, maka makin mudah dalam memperoleh pekerjaan

sehingga semakin banyak juga penghasilan yang diperoleh.

Sebaliknya, pendidikan yang kurang akan menghambat

perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru

dikenal.

b. Pekerjaan

Pekerjaan adalah simbol status seseorang di masyarakat.

Pekerjaan merupakan jembatan untuk memperoleh uang dalam

rangka memenuhi kebutuhan hidup dan untuk mendapatkan

tempat pelayanan kesehatan yang diinginkan.

c. Keadaan ekonomi

Kondisi ekonomi keluarga yang rendah berkaitan dengan

status gizi yang buruk.

d. Latar belakang budaya

Culture Universal adalah suatu kebudayaan yang bersifat

universal, ada di dalam semua kebudayaan dunia, seperti

pengetahuan bahasa dan khasanah dasar, cara pergaulan sosial,

adat istiadat dan penilaian umum. Tanpa disadari, kebudayaan

telah menanamkan garis pengaruh sikap terhadap berbagai

masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota

masyarakatnya karena kebudayaan pulalah yang member corak

(33)

masyarakat asuhannya. Hanya kepercayaan individu yang telah

mapan dan kuatlah yang dapat memudarkan dominasi kebudayaan

dalam pembentukan sikap individual.

e. Pendapatan

Pendapatan adalah hasil yang diperoleh dari kerja atau

usaha yang dilakukan. Pendapatan akan mempengaruhi gaya

hidup seseorang. Orang atau keluarga yang mempunyai status

ekonomi atau pendapatan tinggi akan mempraktikan gaya hidup

mewah atau konsumtif karena orang tersebut mampu untuk

membeli semua yang dibutuhkan bila dibandingkan dengan

keluarga yang status ekonominya rendah (Indrawati, 2009).

Upah minimum Provinsi Jawa Tengah untuk tahun 2012 adalah

Rp 991.500,00. Berdasarkan Susenas 2009, pengeluaran rata-rata

perkapita sebulan penduduk Jawa Tengah tahun 2008 tercatat sebesar

409,33 ribu rupiah. Besarnya pendapatan yang diterima rumah tangga

dapat menggambarkan kesejahteraan suatu masyarakat.

Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan,

sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan.

Penurunan pendapatan dapat menyebabkan kurangnya kemampuan

untuk memenuhi konsumsi makanan sehingga berpengaruh terhadap

status gizi. Apabila status gizi buruk akan menyebabkan kekebalan

tubuh menurun sehingga memudahkan terkena infeksi TB paru.

Pada penelitian Reviono tahun 2008 dikatakan bahwa variabel

pendapatan pasien tidak ada hubungannya dengan keterlambatan

namun hal itu disebabkan besaran Upah Minimum Regional (UMR)

pada sat itu bukan batasan yang tepat untuk menilai pendapatan orang

tersebut cukup atau kurang. Selain itu, penelitian Ohmori mengatakan

bahwa diagnosis TB dipengaruhi oleh sistem asuransi atau

pembiayaan kesehatan.

(34)

4. Tingkat Pengetahuan

Kata pengetahuan berasal dari kata dasar “tahu”, biasanya

terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek.

Penginderaan terjadi melalu panca indera manusia, tetapi pengetahuan

manusia lebih banyak didapat melalui mata dan telinga

(Notoadmodjo, 2003). Komponen pengetahuan, antara lain:

a. Tahu

Pengetahuan berkenan dengan bahan yang dipelajari

sebelumnya disebut juga istilah recal (mengingat lagi) namun apa

yang telah diketahui hanya sekedar informasi yang diingat saja.

Oleh sebab itu, ini merupakan tongkat pengetahuan yang rendah.

b. Pemahaman

Adalah kemampuan mengetahui arti sesuatu bahan yang

telah dipakai dipelajari seperti menafsirkan. Menjelaskan dan

meringkas tentang sesuatu kemampuan. Ini lebih tinggi dari

pengetahuan.

c. Penerapan

Adalah kemampuan menggunakan suatu bahan yang telah

dipelajari dalam sesuatu yang baru atau konkrit.

d. Analisis

Adalah suatu komponen untuk menjabarkan materi atau

suatu bahan obyek ke dalam komponen-komponen tetapi masih di

dalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya sama

lain.

e. Sintesa

Kemampuan untuk menghimpun bagian dalam keseluruhan

seperti merugikan tema rencana atau melihat hubungan abstrak

dan sebagian fakta.

(35)

f. Evaluasi

Adalah berkenan dengan kemampuan menggunakan

pengetahuan untuk membantu penelitian terhadap sesuatu

berdasarkan maksud atau kriteria tertentu (Notoadmodjo, 2003).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan:

a. Faktor eksternal

1) Kebudayaan

Kebudayaan dimana seseorang hidup dibesarkan

mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikapnya.

Apabila dalam suatu wilayah mempunyai budaya untuk selalu

menjaga kebersihan lingkungan maka sangat mungkin

masyarakat sekitarnya mempunyai sikap untuk selalu menjaga

kebersihan lingkungan maka sangatlah mungkin berpengaruh

dalam pembentukan sikap pribadi seseorang (Saifuddin,

2009).

2) Informasi

Informasi adalah keseluruhan makna dapat diartikan

sebagai pemberitahuan sesering adanya informasi baru bagi

terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Pesan-pesan sugestis

dibawa oleh informasi tersebut pendidikan ini biasanya

digunakan.

b. Faktor internal

1) Pendidikan

Pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh pelindung dan

bantuan yang diberikan kepada anak yang tertuju pada

kedewasaan. GBHN Indonesia mengidentifikasi lain bahwa

pendidikan dari dalam dan dari luar sekolah dan berlangsung

seumur hidup (Notoadmodjo, 2003).

(36)

2) Pengalaman

Pengalaman terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut

terjadi dalam situasi yang melibatkan emosi penghayatan.

Pengalaman akan lebih mendalam dan lama membekas

(Saifuddin, 2009).

3) Usia

Semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan

seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Dari

segi kepercayaan masyarakat, seseorang yang telah dewasa

akan lebih dipercaya daripada seseorang yang belum cukup

tinggi kedewasaanya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman

dan kematangan jiwanya.

4) Pekerjaan

Pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari

nafkah atau pencaharian. Masyarakat yang sibuk dengan

kegiatan atau pekerjaan sehari-hari akan mempunyai waktu

yang lebih sedikit untuk memperoleh informasi.

5) Pendapatan

Pendapatan merupakan sesuatu yang didapatkan dan

pendapatan erat sekali dengan status kesehatan.

6) Informasi

Informasi yang diperoleh dari berbagai sumber akan

mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang. Bila seseorang

memperoleh banyak informasi maka dirinya cenderung

mempunyai pengetahuan lebih luas.

Penelitian Reviono menunjukkan bahwa pada pasien yang tahu

mengenai TB jumlah kelambatan pasiennya lebih sedikit

dibandingkan dengan yang tidak tahu. Penelitian oleh Golub tahun

2005 juga mencatat bahwa pasien yang tahu gejala TB dan kemana

(37)

harus pergi berobat ternyata lebih sedikit terjadi kelambatan

dibanding yang tidak tahu secara bermakna.

B. Kerangka Pemikiran

Keterangan : : Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti

: Yang mempengaruhi

Gambar 1. Kerangka Pem ikiran

(38)

C. Hipotesis

Ada hubungan antara status ekonomi dan tingkat pengetahuan TB

dengan keterlambatan pasien dalam diagnosis kasus TB paru.

(39)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan

pendekatan cross-sectional (Taufiqqurahman, 2008).

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat

(BBKPM) Surakarta.

C. Subjek Penelitian

1. Populasi

Pasien TB paru yang baru pertama kali mengunjungi BBKPM

Surakarta untuk berobat.

2. Sampel

Kriterianya sebagai berikut:

a. Kriteria inklusi :

1) Usia antara 24-44 tahun

2) Pasien TB paru kasus baru

b. Kriteria eksklusi:

Tidak bersedia mengikuti penelitian

D. Teknik Sampling

Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik consecutive

sampling, di mana setiap penderita TB yang termasuk dalam kriteria

inklusi dimasukkan dalam penelitian

E. Besar Sampel

Rumus untuk menghitung besar sampel rancangan cross sectional adalah:

(40)

n =

Keterangan:

n : jumlah sampel

p : perkiraan prevalensi penyakit yang diteliti atau

paparan pada populasi

q : 1-p

: nilai statistik Z pada kurva normal standar pada

d : presisi absolute yang dikehendaki pada kedua sisi

proporsi populasi, misalnya +/- 5%

Sehingga perhitungannya adalah:

n =

n =

280 orang

Pada penelitian ini d ibutuhkan sampel 280 orang, namun dikarenakan

keterbatasan waktu maka rumus perhitungan sampel yang digunakan

adalah dengan menggunakan rumus multivariat, yaitu:

n = (15-20) x variabel independen

Dalam penelitian in i terdapat 3 variabel independen. Jadi, besar sampel

yang digunakan adalah (15-20) x 3 = 45- 60 orang (Murti, 2006).

(41)

F. Rancangan Penelitian

Berikut merupakan jalannya penelitian pada bulan Mei 2012:

Gambar 2. Rancangan Penelitian

G. Identifikasi Variabel Peneltian

1. Variabel bebas : status ekonomi dan tingkat pengetahuan TB

2. Variabel terikat : keterlambatan pasien

3. Variabel perancu : jenis kelamin, umur, pendidikan, waktu tempuh

ke Unit Pelayanan Kesehatan (UPK),

kepercayaan terhadap UPK Sampel Sesuai Kriteria

Inklusi dan Eksklusi

Analisis Data dan Simpulan

Kuesioner keterlambatan pasien

Populasi Pasien TB paru kasus baru di BBKPM

Surakarta

Pasien terlambat

Pasien tidak terlambat

Kuesioner status ekonomi dan

tingkat pengetahuan TB

(42)

H. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Status ekonomi (pendapatan)

Defin isi :

Tingkatan kekayaan seseorang dalam hubungan dengan masyarakat di

sekelilingnya. Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan

pendidikan, sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan

kesehatan (Poerwadarminta, 2002).

a. Alat ukur :

Menggunakan batasan Upah Minimum Regional (UMR) Jawa

Tengah saat ini yang sudah sesuai dengan Kebutuhan Hidup

Layak (KHL), yaitu Rp 991.500,-

b. Cara pengukuran :

Sampel dengan pendapatan di bawah UMR tergolong tidak

mampu dan sampel dengan pendapatan di atas UMR tergolong

mampu.

c. Skala pengukuran :

Kontinyu. Dalam analisis data skala kontinyu diubah menjadi

dikotomi (Dikelompokkan menjadi mampu dan tidak mampu).

2. Tingkat pengetahuan TB

a. Defin isi :

Kemampuan menjawab pertanyaan tentang penyakit TB

b. Alat Ukur :

Kuesioner yang diambil dari tesis Nurma Hidayati tahun 2003

dengan judul “Faktor Risiko yang Berhubungan dengan

Keterlambatan Diagnosis Tuberkulosis Paru di Kecamatan

Ciracas Jakarta Timur”.

c. Cara pengukuran :

Membuat skor dan pembobotan dari 7 pertanyaan. Nilai skor tiap

butir pertanyaan minimal 1 dan maksimal 3. Total skor dihitung

(43)

tinggi jika nilai skor uan rendah jika nilai <

median.

d. Skala pengukuran :

Kontinyu. Dalam analisis data, skala kontinyu diubah menjadi

dikotomi (pengetahuan tinggi dan rendah).

3. Keterlambatan pasien

a. Defin isi :

Interval waktu antara timbulnya gejala pertama kali sampai

datangnya penderita ke fasilitas kesehatan pertama kali (Hidayati,

2003).

b. Alat ukur :

Kuesioner berupa pertanyaan yang diambil dari tesis Nurma

Hidayati pada tahun 2003 dengan judul “Faktor Risiko yang

Berhubungan dengan Keterlambatan Diagnosis Tuberkulosis Paru

di Kecamatan Ciracas Jakarta Timur”.

c. Cara pengukuran :

Berdasarkan cut off point median atau rata-rata waktu

keterlambatan (Hidayati, 2003). Cut off point median digunakan

jika data yang didapatkan berdistribusi tidak normal, sedangkan

cut off point mean digunakan jika data yang didapatkan

berdistribusi normal (Murti, 2006).

d. Skala pengukuran :

Kontinyu

4. Variabel perancu:

a. Jenis kelamin

Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah laki-laki dan

perempuan namun jumlah tiap kelompok diseimbangkan.

(44)

b. Umur

TB leb ih banyak menyerang individu pada usia produktif. Pada

penelitian digunakan subjek 24-44 tahun.

c. Pendidikan

Pada penelitian ini pengelompokan tingkat pendidikan pada

masing-masing kelompok diseimbangkan jumlahnya.

d. Waktu tempuh ke UPK

Pada penelitian ini waktu tempuh pasien ke UPK diseimbangkan

jumlahnya antara yang kurang dari 30 menit dengan yang lebih

dari 30 menit.

e. Kepercayaan terhadap UPK

Peneliti melakukan penelitian di BBKPM sehingga subjek

penelitian dianggap sudah percaya terhadap UPK yang

didatanginya yaitu BBKPM.

I. Sumber Data

Data yang diambil adalah data primer dari kuesioner yang diisi oleh

pasien TB paru pada bulan Mei-Agustus 2012.

J. Instrumental Penelitian

1. Informed Consent

2. Kuesioner

K. Cara Kerja

1. Melakukan wawancara pada pasien yang sudah terdiagnosis TB

a. Wawancara data diri (nama, umur, jenis kelamin, alamat, dan

pekerjaan)

b. Menjelaskan maksud, tujuan, prosedur, dan mendapat persetujuan

keikutsertaan dalam penelitian dengan penandatanganan informed

consent

(45)

d. Wawancara berdasarkan kuesioner status ekonomi

e. Wawancara berdasarkan kuesioner tingkat pengetahuan TB

2. Melakukan perhitungan analisis data.

L. Teknik Analisis Data Statistik

Hubungan antara status ekonomi dan tingkat pengetahuan TB

dengan keterlambatan pasien dalam diagnosis kasus TB paru dianalisis

dengan menggunakan metode analisis regresi linier ganda (multivariat).

Secara sistematis, model regresi linier ganda dinyatakan dalam persamaan

berikut:

Y = a +b1X1+b2X2

Keterangan:

Y = variabel terikat

a = konstanta

b1, b2 = Koefisien regresi variabel independen

X1 = Status ekonomi (0 = tidak mampu ; 1 = mampu)

X2 = Tingkat pengetahuan TB (0 = rendah ; 1 = Tinggi)

Hubungan status ekonomi dan tingkat pengetahuan TB dengan

keterlambatan pasien dalam diagnosis TB paru ditunjukkan oleh koefisien

regresi b. Signifikansi statistik dari koefisien regresi b diuji dengan uji t,

hasilnya ditunjukkan oleh nilai p (Murti, 2006).

(46)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A.Hasil Penelitian

Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah pasien TB kasus baru di

Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta. Penelitian telah

dilakukan pada tanggal 24 Mei sampai dengan 25 Agustus 2012. Pada

penelitian ini didapatkan 68 pasien sebagai sampel. Dari total sampel yang

didapat yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 60 pasien dan sebanyak 8

pasien tergolong dalam kriteria eksklusi. Sebanyak 60 pasien yang memenuhi

kriteria inklusi tersebut seluruhnya digunakan sebagai subjek penelitian.

Tabel 4.1. Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin (N = 60)

No Jenis Kelam in Jumlah (n) Persentase (%)

1. Laki-laki 31 51,67

2. Perempuan 29 48,33

Total 60 100

Sumber : Data Primer Agustus 2012

Berdasarkan Tabel 4.1 terdapat perbedaan distribusi sampel di mana

jumlah sampel laki-laki lebih banyak daripada jumlah sampel perempuan,

yaitu laki-laki berjumlah 31 orang sedangkan perempuan berjumlah 29 orang.

Tabel 4.2. Distribusi sampel berdasarkan umur (N = 60)

No Umur (tahun) Jumlah (n) Persentase (%)

1 24-44 41 68,33

2 45-65 19 31,67

Total 60 100

Sumber : Data Primer Agustus 2012

Berdasarkan Tabel 4.2 terdapat perbedaan distribusi sampel di mana

jumlah sampel berumur 24-44 tahun lebih banyak daripada jumlah sampel

(47)

berumur 45-65, yaitu jumlah pasien yang berumur 24-44 tahun adalah 41

orang dan jumlah pasien yang berumur 45-65 tahun adalah 19 orang.

Tabel 4.3. Distribusi sampel berdasarkan tingkat pendidikan (N = 60)

Sumber : Data Primer Agustus 2012

Berdasarkan Tabel 4.3 terdapat perbedaan distribusi sampel di mana

jumlah sampel dengan tingkat pendidikan kurang dari SMA lebih banyak

yaitu berjumlah 31 orang, sedangkan sampel dengan tingkat pendidikan lebih

dari sama dengan SMA berjumlah 29 orang.

Tabel 4.4. Distribusi sampel berdasarkan waktu tempuh ke UPK

(BBKPM) (N = 60)

No Waktu Tempuh ke

UPK

Jumlah (n) Persentase (%)

1 30 50

2 >30 menit 30 50

Total 60 100

Sumber : Data Primer Agustus 2012

Berdasarkan Tabel 4.4 distribusi sampel antara sampel dengan waktu

tempuh ke UPK kurang dari 30 menit dengan sampel yang waktu tempuh ke

UPK lebih dari 30 menit jumlahnya sama yaitu 30 orang.

No Tingkat Pendidikan Jumlah (n) Persentase (%)

1 < SMA 31 51,67

2 29 48,33

Total 60 100

(48)

Tabel 4.5. Distribusi sampel berdasarkan kepercayaan terhadap UPK

(BBKPM) (N = 60)

No Kepercayaan terhadap

UPK (BBKPM)

Jumlah (n) Persentase (%)

1 Percaya 60 100

2 Tidak percaya 0 0

Total 60 100

Sumber : Data Primer Agustus 2012

Berdasarkan Tabel 4.5 distribusi sampel yang percaya dengan UPK dalam

hal ini BBKPM adalah seluruhnya (100%).

Tabel 4.6 Distribusi waktu diagnosis dan skor tingkat pengetahuan sampel

(N = 60)

Mean Median Minimum Maksimum Standar Deviasi

Waktu diagnosis

(hari) 117,65 30 1 2920 385,12

Skor tingkat

Pengetahuan 6,8 7 2 10 1,96

Berdasarkan tabel 4.6 distribusi hasil mengenai waktu diagnosis

didapatkan bahwa mean waktu diagnosis adalah 117,65 hari, median 30 hari,

minimum 1 hari, maksimum 2920 hari dan Standar Deviasinya 385,12,

sedangkan untuk skor tingkat pengetahuan didapatkan bahwa mean skor

tingkat pengetahuan TB adalah 6,8, mediannya 7, minimum 1, maksimum 10

dan Standar Deviasinya 1,96.

(49)

Tabel 4.7 Distribusi sampel berdasarkan status ekonomi (N = 60)

No Status Ekonomi Jumlah (n) Persentase (%)

1 Rendah 31 51,67

2 Tinggi 29 48,33

Total 60 100

Sumber : Data Primer Agustus 2012

Berdasarkan Tabel 4.7 distribusi sampel dengan status ekonomi rendah

jumlahnya lebih banyak daripada sampel dengan status ekonomi tinggi.

Sampel dengan status ekonomi rendah berjumlah 31 orang dan sampel

berstatus ekonomi tinggi berjumlah 29 orang..

Tabel 4.8 Distribusi sampel berdasarkan tingkat pengetahuan TB (N = 60)

No Tingkat Pengetahuan

TB

Jumlah (n) Persentase (%)

1 Rendah 26 43,33

2 Tinggi 34 56,67

Total 60 100

Sumber : Data Primer Agustus 2012

Berdasarkan Tabel 4.8 distribusi sampel dengan tingkat pengetahuan TB

tinggi jumlahnya lebih banyak daripada sampel dengan tingkat pengetahuan

TB rendah. Jumlahnya masing-masing adalah sampel dengan pengetahuan TB

tinggi sebanyak 34 orang dan sampel dengan pengetahuan TB rendah

sebanyak 26 orang.

(50)

Tabel 4.9 Distribusi sampel berdasarkan keterlambatan pasien (N = 60)

No Keterlambatan Jumlah (n) Persentase (%)

1 Tidak terlambat 22 36,67

2 Terlambat 38 63,33

Total 60 100

Sumber : Data Primer Agustus 2012

Berdasarkan Tabel 4.9 distribusi sampel yang mengalami keterlambatan

jumlahnya lebih tinggi daripada yang tidak mengalam i keterlambatan, yaitu 38

orang yang mengalami keterlambatan sedangkan yang tidak mengalami

keterlambatan berjumlah 22 orang.

4.10 Analisis bivariat tentang hubungan status ekonomi dengan

keterlambatan pasien dalam diagnosis kasus TB paru

Variabel Keterlambatan OR p

Berdasarkan Tabel 4.10 didapatkan bahwa distribusi sampel berdasarkan

status ekonomi dan keterlambatan pasien adalah sampel dengan status

ekonomi rendah yang tidak mengalami keterlambatan berjumlah 12 orang,

sampel dengan status ekonomi rendah yang mengalami keterlambatan

berjumlah 19 orang, sampel dengan status ekonomi tinggi yang tidak

mengalami keterlambatan berjumlah 10 orang dan sampel dengan status

ekonomi tinggi yang mengalam i keterlambatan berjumlah 19 orang. Dari data

tersebut dapat disimpulkan bahwa sampel dengan status ekonomi rendah

rata-rata berkunjung ke fasilitas kesehatan pertama kali 1,2 kali lebih lambat

dibandingkan sampel dengan status ekonomi tinggi. Hal tersebut sesuai

dengan teori namun tidak sign ifikan secara statistik (p = 0,734).

Gambar

Gambar 2. Rancangan Penelitian ………………………………………………. ....
Gambar 2. Rancangan Penelitian
Tabel 4.2. Distribusi sampel berdasarkan umur (N = 60)
Tabel 4.4. Distribusi sampel berdasarkan waktu tempuh ke UPK
+5

Referensi

Dokumen terkait

Pada saat Peraturan Walikota ini mulai berlaku, maka Peraturan Walikota Padang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Pelimpahan Kewenangan Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu

Alat-alat yang digunakan pada pengujian ini diantaranya adalah Alat pemadat getar listrik, wadah penampung campuran, cetakan benda uji berdiameter 152,1 mm, kertas

Melalui analisis pada 30 hasil swab, didapatkan hasil penelitian yaitu gambaran jenis bakteri yang didapat dari dudukan kloset sebelum dibersihkan adalah 13 Eschericia

Pembelajaran terbimbing dilakukan baik di kelompok A dan B dimana peran mahasiswa disini seharusnya sebagai pelengkap guru kelas, yang nantinya dapat melakukan kegiatan

[r]

This research aims to answer the two questions: (1) How is a set of English reading materials using English teen magazines for the seventh grade students of

Hal-hal secara teknis ditulis dalam buku pedoman ini untuk menjelaskan penyusunan SOP tentang urutan langkah-langkah (atau pelaksanaan- pelaksanaan pekerjaan)

“ Pengaruh Total Quality Management dan Lean Six Sigma Terhadap Budaya Kualitas dan Kinerja Keuangan Pada Perusahaan Jasa Perhotelan di Surabaya ”.. Penulisan