• Tidak ada hasil yang ditemukan

GALATAMA 1979 – 1994 ( PERKEMBANGAN SEPAK BOLA NON AMATIR DI INDONESIA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "GALATAMA 1979 – 1994 ( PERKEMBANGAN SEPAK BOLA NON AMATIR DI INDONESIA)"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

i

GALATAMA 1979 – 1994

( PERKEMBANGAN SEPAK BOLA

NON AMATIR DI INDONESIA

)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan

guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Ilmu Sejarah

Fakultas Sastra dan Seni Rupa

Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh:

ERIK DESTIAWAN NIM. C0502011

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

ii

GALATAMA 1979 – 1994

( PERKEMBANGAN SEPAK BOLA

NON AMATIR DI INDONESIA )

Disusun oleh:

ERIK DESTIAWAN NIM. C0502011

Telah Disetujui oleh Pembimbing :

Pembimbing

Tiwuk Kusuma Hastuti, S.S, M.Hum NIP.19730613 200003 2002

Mengetahui:

Ketua Jurusan Sejarah

(3)

iii

Fakultas Sastra Dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta

(4)

iv

PERNYATAAN

Nama : ERK DESTIAWAN NIM : C 0502011

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul GALATAMA 1979 – 1994 (Perkembangan Sepakbola Non Amatir di Indonesia) adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.

Surakarta, April 2010 Yang membuat pernyataan,

(5)

v

MOTTO :

Bersyukurlah pada Yang Maha Kuasa

Hargailah orang-orang yang menyayangimu, yang selalu ada setia di sisimu Siapapun yang engkau pernah sakiti,

dalam pencarian jati diri dan semua yang engkau impikan Tegarlah sang pemimpi!

( Gigi - Sang Pemimpi )

I will do my best and God will take the rest

(6)

vi

PERSEMBAHAN :

Skripsi ini penyusun persembahkan kepada:

 Ayah, ibu dan kedua adikku tercinta

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang atas berkah,

rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“GALATAMA 1979 – 1994 (Perkembangan Sepakbola Non Amatir di Indonesia)”. Skripsi ini penulis ajukan untuk melengkapi persyaratan mencapai gelar Sarjana Sejarah pada Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas

Maret Surakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mengalami kesulitan dan

hambatan. Namun berkat bantuan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak,

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini walaupun masih jauh dari kesempurnaan.

Untuk itu sudah sepantasnya penulis mengucapkan rasa terima kasih yang

setulus-tulusnya kepada:

1. Drs. Sudarno, MA. selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

2. Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum. selaku Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Sastra

dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Tiwuk Kusuma Hastuti, S.S, M.Hum. selaku pembimbing skripsi yang

dengan tekun, teliti dan sabar telah membimbing penulis dalam menyusun

skripsi ini.

4. Dra. Sawitri Pri Prabawati, M.Pd. selaku pembimbing akademis yang telah

memberikan bimbingan selama penulis menjalani studi di Fakultas Sastra dan

(8)

viii

5. Bapak dan ibu dosen Jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa

Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bekal ilmu

selama penulis kuliah.

6. Para informan yang telah membantu memberikan informasi yang sangat

berharga sebagai bahan penulisan skripsi

7. Bapak, ibu dan kedua adikku yang tidak kenal lelah memberi dorongan dan

semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Keluarga besar mahasiswa Ilmu Sejarah FSSR UNS khususnya teman-teman

angkatan 2002.

9. Keluarga Bp. Teguh di Depok atas bantuannya selama penulis mencari data

sebagai bahan skripsi di Jakarta, khususnya Stefanus Yugo

10. Sahabat-sahabat setia yang selalu memberi semangat agar tidak menyerah

11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebut satu-persatu yang dengan segala

upaya dan bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini sangat jauh

dari sempurna. Oleh karena itu segala kritik dan saran yang bersifat membangun

dan menyempurnakan sekripsi ini sangat penulis harapkan. Penulis berharap

semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca dan jika ada kesalahan

dan kekurangan dalam tulisan ini penulis mohon maaf sebesar-besarya.

Surakarta, April 2010

(9)

ix

B. Peran Perserikatan Dalam Sepak Bola Indonesia ………... 21

C. Lahirnya Galatama ... 23

BAB III PERKEMBANGAN GALATAMA A. Peraturan Dasar Galatama... 30

(10)

x

C. Permasalahan Dalam Galatama ……… 60

1. Permasalahan Suap di Galatama ……… 60

2. Permasalahan Wasit di Galatama……… 67

3. Sponsor dan Pendanaan Kompetisi Galatama ………… 68

4. Catatan Lain di Galatama ……… 71

a. Larangan Pemain Asing di Galatama ………. 71

b. Pengakuan Luar Negeri atas Pemain Galatama ……. 74

BAB IV PERAN GALATAMA DALAM SEPAKBOLA INDONESIA A. Peran Galatama dalam Pembinaan Sepakbola ... 76

1. Pembinaan Melalui Kompetisi Reguler ………. 77

2. Pembinaan dan Pembibitan Pemain Usia Dini ……….. 78

3. Klub Sebagai Pusat Pembangkit Kemajuan ………….. 79

B. Peran Galatama dalam meningkatkan Kesejahteraan Pemain... 80

(11)

xi

1. Galatama Sebagai Sumber Utama Rekrutmen

Pemain Nasional ... 82

2. Galatama Sebagai Wakil PSSI di Turnamen Internasional 83 D. Peran Galatama Sebagai Landasan ke Arah Sepakbola Profesioanal ... 84

BAB V KESIMPULAN ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 89

DAFTAR INFORMAN... 92

(12)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.Klasemen Akhir Kompetisi I Galatama... 34

Tabel 2. Klasemen Akhir Kompetisi II Galatama …... 36

Tabel 3. Klasemen Akhir Kompetisi III Galatama …... 39

Tabel 4. Klasemen Akhir Kompetisi IV Galatama …... 42

Tabel 5. Klasemen Akhir Kompetisi V Galatama …... 45

Tabel 6. Klasemen Akhir Kompetisi VI Galatama …... 49

Tabel 7. Klasemen Akhir Kompetisi VII Galatama …... 50

Tabel 8. Klasemen Akhir Kompetisi VIII Galatama …... 51

Tabel 9. Klasemen Akhir Kompetisi IX Galatama …... 54

Tabel 10. Klasemen Akhir Kompetisi X Galatama …...55

Tabel 11. Klasemen Akhir Kompetisi XI Galatama …... 57

Tabel 12. Klasemen Akhir Kompetisi XII Galatama …... 58

(14)

xiv

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH

AD/ART : Anggaran Dasar / Anggaran Rumah Tangga

AFC : Asian Football Confederation

BPD Jateng : Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah

Galatama : Lembaga Sepakbola Utama

Galatama : Liga Sepakbola Utama

Home Away : Pertandingan yang dilakukan di kandang sendiri dan lawan

Home Base : Wisma administrasi dan latihan dari klub (home ground)

KTB : Krama Yudha Tiga Berlian

PSSI : Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia

Liga : Pengurus liga atau yang berkaitan dengan liga Galatama

Round Robin : Mirip Home Away tapi dapat dilaksanakan ditempat netral

Sintelbaan : Bagian pinggir atau tepi dari lapangan sepak bola

Stedenwedsrtyden :pertandingan antar kota tahunan dan secara bergiliran tiap

kota menjadi pemyelenggara.

Striker : Penyerang atau posisi depan dalam formasi sepak bola

TPPKS : Tim Peneliti dan Penganggulangan Kasus Suap

Top scorer : Pencetak gol terbanyak

(15)

xv

ABSTRAK

Erik Destiawan. C0502011. 2010. GALATAMA 1979 – 1994 (Perkembangan Sepakbola Non Amatir di Indonesia). Skripsi: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarata.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) Apa yang melatarbelakangi kompetisi sepak bola non-amatir Galatama oleh PSSI? (2) Bagaimana proses berlangsungnya kompetisi Galatama dan aspek apa saja yang mempengaruhi selama musim kompetisi Galatama? (3) Apa pengaruh Galatama dalam sepak bola nasional Indonesia? (4) Faktor apa saja yang menyebabkan kompetisi sepak bola non-amatir Galatama dibubarkan oleh PSSI? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah dengan tahapan:Pertama, Heuristik, yaitu tahap pengumpulan sumber dokumen; kedua, kritik sumber/kritik sejarah, adalah menilai atau mengkritik sumber itu, baik itu ekstern maupun intern; ketiga,

interpretasi, yaitu penafsiran sumber yang dapat dipercaya; keempat,

historiografi, adalah penulisan sejarah sebagai suatu kisah

Hasil penelitian menggambarkan bahwa Galatama merupakan proses perkembangan sistem manajemen dan kompetisi dalam sepak bola Indonesia pada tahun 1979 -1994 sebagai terobosan bagi PSSI untuk dapat kembali berprestasi di ajang internasional. Galatama telah menggelar 13 kompetisi reguler selama 15 tahun. Eksistensi klub-klub Galatama banyak dipengaruhi kondisi finansial klub atau perusahaan yang menaungi. Kasus suap juga melanda banyak klub Galatama, sehingga membuat beberapa pemain dikenakan sanksi dari PSSI.

(16)

xvi

ABSTRACT

Erik Destiawan. C0502011. 2010.Galatama 1979 - 1994 (Non-Amateur Football Development in Indonesia). Thesis: Department of History Faculty of Letter and Fine Arts Sebelas Maret University Surakarata

Problems in this study were (1) What is behind the competition of non-amateur football Galatama by PSSI? (2) How is the ongoing competition Galatama and aspects of what influences during Galatama season? (3) What Galatama influence in the Indonesian national football team? (4) What factors cause the competition of non-amateur football team was disbanded by the PSSI Galatama? The method used in this research is the history of the following phases: First, heuristics, namely the collection phase of the source document; second, source criticism / historical criticism, is a judge or criticize those sources, both external and internal; third, interpretation, that is the interpretation of the source wich can be trusted; fourth, historiography, the writing of history as a story

The results illustrate that Galatama an development process of competition system and football management in Indonesia at 1979 -1994 as a breakthrough for PSSI to be re-achievers in the international arena. Galatama has held the 13th regular competitions for 15 years. Galatama clubs existence is heavily influenced financial condition or companies that overshadowed the club. Bribery cases Galatama also affected many clubs, so made some penalized players from PSSI.

(17)

xvii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sepak bola merupakan olah raga yang populer dalam masyarakat

Indonesia, juga di seluruh dunia. Orang rela berdesak-desakan di tribun stadion, berpawai di jalanan, dan begadang di depan televisi sampai dini hari. Orang juga

rela membeli dan memakai segala pernak-pernik sepak bola, seperti kaos beserta nomor punggung pemain kesayangan, celana, stiker, dan foto-foto para jagoan lapangan hijau ini. Tidak cukup sampai di situ. Di sepanjang sejarah

perjalanannya, olah raga ini tidak pernah sepi dari gesekan ideologi, kekuasaaan, bisnis, rasial, hegemoni kultural dan juga gender.

Sepak bola telah menjadi budaya yang dapat menimbulkan gairah untuk turut serta yang luar biasa di antara penggemarnya. Daya tarik lintas budaya sepak bola meluas, dari budaya orang tertentu di Eropa dan Amerika Selatan ke

khalayak kebanyakan di Australia, Afrika, Asia dan bahkan Amerika Serikat. Profil lintas kelas permainan ini di negara Latin mulai ditiru di Eropa Utara dan

(18)

xviii

keterlibatan dari kaum perempuan di antara pemain, penonton, komentator, dan ofisial dalam perkembangannya1

Sejauh ini popularitas sepak bola masih tetap terjaga. Termasuk di Indonesia dan kawasan Asia yang lainnya. Bangsa Belanda merupakan yang

pertama kali memperkenalkan olah raga ini di Indonesia melalui pegawai mereka yang bekerja di

1

(19)

xix

instansi pemerintah Hindia Belanda. Mereka memilih permainan yang tengah populer di Eropa saat itu sebagai sarana rekreasi dan menjaga kebugaran.

Pada mulanya sepak bola hanya dapat dilakukan oleh orang-orang Barat, terutama Belanda. Kemudian diikuti oleh orang Tionghowa dan baru

orang-orang bumiputra, namun hal tersebut terbatas bagi orang-orang bumiputra yang setaraf dengan bangsa Belanda. Ketenaran sepak bola yang semula hanya sebagai sarana pelepas lelah, melatih ketangkasan, ketrampilan, dan daya tahan, mulai mendapat

perhatian serius. Muncul keinginan dari karyawan-karyawan, pegawai-pegawai, sedadu-serdadu, pelaut-pelaut yang aktif bermain bola untuk membentuk

klub-klub atau perkumpulan-perkumpulan. Klub sepak bola pertama muncul di Indonesia adalah Road-Witpada tahun 1884 dan Victorydi Surabaya dua tahun sesudahnya. Semenjak saat itu muncullah klub-klub sepak bola yang terbentuk di

kantor atau dinas-dinas pemerintah, maskapai-maskapai perdagangan dan lembaga-lembaga pemerintah.

Pada masa berikutnya klub-klub sepak bola yang terbentuk di kota-kota pusat kekuasaaan Belanda membentuk bond-bond sepak bola, yakni West Java Voetbal Bond, Soerabajas Voetbal Bond, Bandung Voetbal Bond dan Semarang

Voetbal Bond. Pada tahun 1914 di Semarang untuk pertama kali diadakan kejuaraan antar klub-klub lokal empat kota utama di Jawa: Batavia, Bandung

(20)

xx

dibentuklah Nedherlandsch Indische Voetbal Bond ( NIVB ) untuk mengorganisir pertandingan antar kota tahunan dengan aturan tetap. 2

Dalam perkembanganya NIVB lebih banyak memperhatikan klub-klub bangsa Belanda sendiri yang ada di Hindia Belanda, sehingga persepakbolaan

bumiputra dan Tionghowa tidak begitu mendapat perhatian bahkan lebih dianggap sebagai sepak bola rendahan. Atas keadaan ini kalangan bumi putra dan Tionghowa masing-masing bertekad untuk mendirikan lembaga sepak bola yang

independen dan mandiri terhadap NIVB. Keinginan itu terwujud dengan dibentuknya PSSI (Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia) pada 19 April 1930.

Organisasi-organisasi sepak bola nasional yang telah ada sebelumnya dilebur ke dalam PSSI. Tujuan dari PSSI adalah untuk mengimbangi monopoli NIVB yang dianggap tidak mampu mengakomodasi kepentingan dan eksisitensi sepak bola

bumiputra. Anggota PSSI adalah perserikatan di setiap kotamadya yang sekurang-kurangnya mempunyai lima perkumpulan sepak bola.

Pada 1931, kompetisi Perserikatan mulai diperkenalkan. Sebuah kompetisi amatir yang diikuti oleh perserikatan mewakili daerahnya masing-masing. Selama 48 tahun Perserikatan adalah satu-satunya kompetisi tingkat nasional di Indonesia.

Baru pada tahun 1979 sepak bola Indonesia memasuki era Galatama ( Liga Sepak Bola Utama ). Galatama secara konsep bersifat semi-profesional atau non-amatir.

Galatama beranggotidakan klub-klub swasta dan sistem kompetisi yang digelar menggunakan sistem liga (secara penuh) sesuai dengan namanya. Galatama dapat dikatidakan sebagai sebuah revolusi dalam kompetisi dan pembinaan klub sepak

2

(21)

xxi

bola di Indonesia. Betapa tidak, dibandingkan dengan Perserikatan, satu-satunya barometer sepak bola nasional yang ada sebelumnya, Galatama membawa

perubahan besar yang begitu mendasar. Sebagai contoh: Sistem kompetisi yang digunakan adalah format liga dalam satu wilayah. Setiap tim dalam satu wilayah

yang mengikuti Galatama demikian dipastikan akan saling bertemu. Tidak disangsikan lagi bahwa yang menjadi juaranya adalah best of the best.

Pertandingan seleksi, kepemilikan tim yunior, dukungan dana yang kuat lewat

garansi bank dan pengelolaan klub secara profesional adalah contoh lain mengapa Galatama hadir dengan membawa nuansa baru bagi sepak bola Indonesia.

Klub-klub Galatama didukung perusahaan yang besar pada saat itu. Misalnya Pardedetex dan kelompok usaha Pardede, Krama Yudha dengan kelompok Krama Yudha Tiga Berlian, Warna Agung dengan perusahaan cat Warna Agung. Mereka

itulah yang menjadi sponsor bagi klub masing-masing. Terakhir di akhir 1980-an sejumlah BUMN masuk untuk mendanai klubnya seperti Semen Padang dan

Pupuk Kaltim.

Dari segi pendanaan, era Galatama lebih baik karena tidak mengandalkan uang rakyat. Klub-klub Galatama berada di bawah perusahaan-perusahaan bonafid

atau sponsor yang memang mempunyai dana promosi yang besar. Klub yang tergabung dalam kompetisi diwajibkan untuk menyetorkan sejumlah uang sebagai

bank garansi dalam partisipasi mereka dalam kompetisi. Manajemen klub juga diminta untuk menjadi badan hukum. Sejumlah pemain asing berkualitas seperti Jairo Matos (Pardedetex Medan) dan Fandy Ahmad (Niac Mitra) hadir di

(22)

xxii

kualitas permainan juga turut menggairahkan minat dan antusiasme para pecinta sepak bola untuk menonton pertandingan Galatama.

Galatama sempat dianggap sebagai tempat yang menjanjikan kesejahteraan bagi pemainnya, dengan bergabung dengan klub-klub Galatama

setidaknya mereka mendapatkan bayaran yang lebih baik dibandingkan jika mereka memperkuat klub-klub Perserikatan. Hal ini jelas karena kebanyakan anggota Galatama adalah klub-klub kaya. Juga Galatama dianggap sebagai

'universitas' nya sepak bola dan Perserikatan adalah ‘sekolah’ yang membina pemain sebelum terjun ke Galatama. Semenjak saat itu juga kompetisi sepak bola

nasional terasa terbagi menjadi dua kutub. Galatama dan Perserikatan, masing-masing berjalan secara pararel sebagai dua kompetisi dengan format yang berbeda3.

Galatama memiliki muara yang sama dengan Perserikatan sebagai sebuah sistem kompetisi, yaitu turut mewujudkan tujuan PSSI dalam membangun dan

meningkatkan kualitas persepakbolaan nasional dengan semangat persaudaraan, persahabatan, kejujuran, sportivitas, nasionalisme dan profesionalisme.4Galatama memberikan andil besar dalam kemajuan sepak bola nasional. Banyak pemain

terbaik Galatama yang dipangil untuk memperkuat tim nasional. Sebagai contoh: Bambang Nurdiansyah, pencetak gol terbanyak empat musim berturut turut dari

klub Yanita Utama dan Kramayudha Tiga Berlian, libero berpengalaman dari Niac Mitra Surabaya, Heri Kiswanto, penyerang berbakat Ricky Yacobi dan

3

Sumohadi Marsis, 1992, Sepakbola Kitadalam Catatan Ringan, Jakarta: PT. Gramedia, halaman 7.

4

(23)

xxiii

masih banyak nama-nama lain yang berasal dari Galatama. Bahkan PSSI melalui tim nasional di era Galatama mampu mencatat prestasi mengagumkan di level

internasional, yaitu juara SEA Games pada tahun 1987 di Jakarta dan 1991 di Manila

Penelitian ini akan membahas tentang kompetisi Galatama yang diselenggarakan dari tahun 1979 – 1994. Rentang waktu tersebut dimulai pada tahun 1979 saat pertama kali digelar kompetisi Galatama dan 1994 adalah masa

akhir dari Galatama, ketika PSSI menggabung Galatama dan Perserikatan menjadi satu bernama Liga Indonesia dan mengubah status klub menjadi 'profesional'.

Pada awal kompetisi, Galatama mendapatkan sambutan luar biasa dari masyarakat dan dianggap lebih bergengsi dari pada Perserikatan. Ada beberapa catatan buruk terkait Galatama. Galatama dari tahun ke tahun mengalami pasang surut kualitas.

Terlebih sejak dikeluarkannya larangan bermain bagi pemain asing, kemudian adanya kecurigaan pengaturan skor pertandingan oleh beberapa klub, dan juga isu

suap, Galatama bukan hanya ditinggalkan penonton, satu per satu klub pesertanya mengundurkan diri.5 Selain itu, sejumlah persyaratan yang ketat yang diberlakukan pada klub kala itu tidak diikuti dengan ketegasan turut menjadi

penyebab kemunduran

Galatama sempat dilanda isu suap yang parah di awal tahun 1980-an. Kekalahan

besar klub-klub tertentu dari klub lain sebagai salah satu indikasinya.

PSSI mengeluarkan keputusan bahwa pemain asing dilarang untuk bermain di Galatama mulai kompetisi III. Akhirnya kompetisi yang berdesain pro

5

(24)

xxiv

itu mulai ditinggalkan penonton. Inilah awal kehancuran klub tersebut. Jumlah peserta yang semula 18 klub terus menciut. Sebagai contoh BBSA Tama adalah

klub pertama yang mundur dari kompetisi perdana.

Selanjutnya Galatama kehilangan wibawa dibanding kompetisi

Perserikatan yang mengutamakan persaingan dan fanatisme kedaerahan. Sponsor dan penonton tidak datang, sementara masalah terus muncul. Meski dikelola dengan profesional, Galatama tidak kuat untuk terus bertahan di tengah situasi

yang tidak menguntungkan. Akhirnya ide peleburan antara Galatama dan perserikatan muncul tahun 1994 dan bertahan hingga kini.

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah dan penelitian yaitu :

1. Apa yang melatarbelakangi kompetisi sepak bola non-amatir Galatama

oleh PSSI ?

2. Bagaimana proses berlangsungnya kompetisi Galatama dan aspek apa saja yang mempengaruhi selama musim kompetisi Galatama ?

3. Apa pengaruh Galatama dalam prestasi dan kualitas sepak bola nasional Indonesia ?

4. Faktor apa saja yang menyebabkan kompetisi sepak bola non-amatir Galatama dibubarkan oleh PSSI ?

(25)

xxv Penelitian ini bertujuan :

1. Untuk mengetahui latar belakang digelarnya Galatama sebagai kompetisi

sepak bola non-amatir oleh PSSI

2. Untuk mengetahui proses berlangsungnya kompetisi Galatama dan dan

aspek–aspek apa saja yang mempengaruhi selama musim kompetisi Galatama

3. Untuk mengetahui pengaruh Galatama dalam prestasi dan kualitas sepak

bola nasional Indonesia

4. Untuk mengetahui faktor-faktor menyebabkan kompetisi sepak bola

non-amatir Galatama dibubarkan oleh PSSI

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaaat baik secara langsung maupun tidak langsung bagi berbagai pihak. Pertama, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada peneliti lain yang ingin meneliti

lebih lanjut tentang penelitian sejenis. Kedua, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang Galatama ( Liga Sepak Bola Utama ) dan

(26)

xxvi

E. Kajian Pustaka

Dalam penelitian ini, untuk mendukung dan membahas

permasalahan-permasalahan, maka digunakan beberapa literatur sebagai pedoman dan acuan untuk landasan berpikir. Literatur tersebut diharapkan dapat membantu

memecahkan permasalahan-permasalahan pokok yang akan diteliti. Adapun yang digunakan adalah sebagai berikut :

Buku PSSI Alat Perjuangan Bangsa, karya Eddi Elison tahun 2005.

Dalam buku tersebut Eddi menguraikan sejarah panjang dari ‘kehidupan’ PSSI semenjak dari masa kolonial hingga era futsal. Perjalanan panjang dari sepak bola

nasional dapat ditemukan disini meskipun tidak begitu detail. Dalam salah satu bab dari buku ini bercerita bagaimana ketika sepak bola Indonesia memasuki era Liga. Galatama, Galakarya, Galanita, Galasiswa hingga Ligina dijelaskan secara

deskriptif kronologis. Menurutnya, Galatama adalah sebuah babak menuju profesional bagi sepak bola Indonesia yang sebelumnya berkutat dengan

pembinaan ala Perserikatan. Meskipun tidak sepenuhnya profesional lantaran masih merupakan batu pijakan ke arah tersebut. Namun, di dalam buku ini, tidak dijelaskan mengenai pengaruh Galatama terhadap prestasi dan kualitas tim

nasional sepak bola Indonesia dan hal teknis semacam keterkaitan Galatama terhadap tingkat kesejahteraan olahragawan utamanya yang berasal dari sepak

bola apabila dibandingkan dengan Perserikatan

Sebuah buku terbitan PSSI pada tahun 2001 dengan judul 70 Tahun PSSI: Mengarungi Millenium Baru. Buku ini dapat dianggap sebagai potret perjalanan

(27)

xxvii

bola nasional di bawah PSSI merupakan sebuah lembaran panjang yang layak menjadi bagian dari sejarah negeri ini. Perjuangan awal organisasi di masa-masa

sulit, jatuh bangun prestasi sepak bola nasional, profil tokoh PSSI dan pemain yang telah memberikan yang terbaik bagi sepak bola nasional ditulis secara

kronologis. Buku ini layak menjadi sebuah pengantar untuk membuat penulisan lebih lanjut tentang galatama yang diuraikan dalam sebuah bab tersendiri sebagai bagian dari agenda PSSI untuk mengangkat kembali prestasi sepak bola yang

sempat terpuruk sekaligus memperkenalkan sebuah konsep sepak bola profesional di Indonesia. Namun tidak dijelaskan bagaimana keterkaitan Galatama dengan

kualitas prestasi sepak bola nasional.

Sebuah buku dari PSSI pada than 1979 yang berjudul Galatama Sepakbola: Mencatat Sejarah. Buku yang merupakan buku panduan tentang

kompetisi Galatama di musim pertamanya. Buku ini memuat tentang peraturan organisasi Lembaga Sepakbola Utama (Galatama). Juga disertai profil tentang

klub-klub yang akan berlaga di kompetisi perdana Galatama. Galatama menurut buku ini adalah suatu hal baru dalam sepak bola di Indonesia, sebuah catatan baru dalam persepakbolaan Indonesia. Sebagai sebuah lembaga yang muncul oleh

semangat profesionalisme yang didukung oleh pihak-pihak swasta dengan dukungan dana yang kuat untuk dapat memajukan sepak bola nasional melalui

sebuah kompetisi yang berkualitas. Semua klub yang tergabung dalam Galatama sebelumnya berada dibawah divisi Perserikatan. Level klub-klub terangkat menjadi setara dengan Perserikatan setelah terbentuknya Galatama. Hampir semua

(28)

xxvii i

Layaknya sebuah pengantar, buku ini kurang dapat menjelaskan peran swasta lebih jauh di musim kompetisi berikutnya dan apakah swasta satu-satunya faktor

pendukung jalanya kompetisi di kemudian hari bagi Galatatama itu sendiri dan klub-klub yang tergabung didalamnya.

Sebagai tambahan, ada sebuah penelitian sejenis yang mendukung skripsi ini. Penelitian skripsi dari Srie Agustina Palupi yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku pada tahun 2004 berjudul “Politik dan Sepak Bola di Jawa 1920 –

1942”. Buku ini memberikan informasi yang cukup mengenai sepak bola Indonesia pada masa Perserikatan yang menjadi pembangkit semangat persatuan

dan nasionalisme pribumi., yang menjadi bahasan dalam skripsi ini khususnya bab II.

F. Metode Penelitian 1. Metode Penelitian

Dalam suatu penelitian tentu perlu adanya dukungan dari suatu metode, karena peranan sebuah metode dalam suatu penelitian ilmiah sangat penting. Sebab berhasil tidaknya tujuan yang hendak dicapai, tergantung dari metode yang

akan digunakan. Dalam hal ini, suatu metode dipilih dengan mempertimbangkan kesesuaiannya dengan objek yang diteliti.. Sehubungan dengan upaya ilmiah,

maka metode menyangkut masalah kerja yaitu cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.6

6

(29)

xxix

Sesuai dengan tema permasalahan yang akan dibahas, maka metode yang digunakan adalah metode sejarah. Menurut Nugroho Notosusanto, metode sejarah

adalah serangkaian prinsip-prinsip atau aturan yang sistematis yang dimaksudkan memberi bantuan secara efektif di dalam usaha mengumpulkan bahan-bahan bagi

penulisan sejarah, menilai secara kritis dan kemudian menyajikan suatu sintesa dari pada hasil-hasilnya dalam bentuk tertulis.7 Metode historis ini terdiri dari empat tahap yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Pertama, adalah

heuristik, yaitu suatu proses mencari dan menemukan sumber-sumber atau data bagi penelitian sejarah.

Pengumpulan data yang diperoleh dari penggunaan studi dokumen yang merupakan data primer, ini sangat penting bagi penelitian sejarah karena dalam dokumen tersimpan sejumlah fakta yang berguna. Data diperoleh dari Persatuan

Sepakbola Seluruh Indonesia, Komite Olahraga Nasional Indonesia, Badan Liga Indonesia dan Perpustidakaan Nasioal Republik Indonesia yang ada di Jakarta,

serta Monumen Pers Surakarta. Sumber tertulis yang digunakan adalah dokumen dan surat kabar. Dokumen yang digunakan adalah Katalogus Olahraga Indonesia 1987, Laporan Empat Thaunan PSSI 1983 – 1987 dan Peraturan Organisasi

tentang Lembaga Sepakbola Utama. Surat kabar yang digunakan sebagai sumber adalah Pos Kota edisi Januari 1977 sampai dengan Desember 1994 dan majalah

TempoTahun 1979 – 1994.

Selain itu juga diperlukan sumber lisan guna mendukuung bahan penulisan. Hal tersebut diperoleh dengan wawancara dengan narasumber yang

7

(30)

xxx

berkompeten dan valid atas informasi yang diberikan terkait dengan tema penulisan skripsi. Nama dari informan tersebut adalah Ronny Pattinasarani,

Iswadi Idris, Risdiyanto, John Halmahera, Sofyan Hadi, Rudi William Keltjes, Memed Permadi dan Eduard Tjong. Pengumpulan data yang lain adalah dengan

studi pustaka yaitu dengan membaca buku, majalah, dan literatur lainnya yang berkaitan dengan topik permasalahan yang akan dikaji.

Kedua, adalah kritik sumber, yaitu kritik ekstern dan kritik intern. Kritik

ekstern adalah untuk mencari otentisitas sumber tertulis, sedangkan kritik intern

adalah untuk membuktikan bahwa isi dari suatu sumber itu memang dapat

dipercaya. Ketiga, adalah interpretasi yaitu penafsiran keterangan yang saling berhubungan dari fakta-fakta yang diperoleh dan merangkainya. Keempat, adalah

historiografi yaitu menyampaikan sintesa yang diperoleh dalam bentuk kisah

sejarah atau penulisan sejarah.8 Disinilah pemahaman dan interpretasi atas fakta-fakta sejarah itu ditulis dalam bentuk kisah sejarah yang menarik dan masuk akal.

Dalam hal ini historiografi merupakan penulisan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini menggunakan sumber tertulis sebagai sumber utama dan saling mengaitkan data yang diperoleh dari sumber tersebut sehingga saling

melengkapi. Validitas dan objektifitas data yang diperoleh dari sumber juga turut diperhatikan, sehingga diperoleh fakta yang benar atau mendekati kebenaran. Hal

ini terlihat dari bab II, III dan IV, di mana dapat ditarik sebuah tulisan yang faktual. Jika sumber tertulis kurang mencukupi untuk diambil datanya, maka akan

8

(31)

xxxi

dilengkapi dari sumber lisan hasil wawancara dengan narasumber, seperti yang terlihat dalam bab IV.

G. Sistematika Penulisan

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah serta dukungan data-data yang ada maka akan mengetahui seluruh kajian dalam penulisan skripsi ini dapat dikemukakan dalam sistematika penulisannya sebagai berikut :

Bab I : PENDAHULUAN. Berisi pendahuluan yang menjelaskan tentang latar belakang masalah, pokok permasalahan, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, tinjauan beberapa studi yang relevan, metode penelitian dan analisis data.

Bab II : LATAR BELAKANG LAHIRNYA GALATAMA. Berisi uraian

tentang kondisi sepak bola di Indonesia pada masa kompetisi Perserikatan. Sub bab yang dibahas adalah peran Perserikatan dalam sepak bola Indonesia dan sub

bab terakhir adalah latar belakang munculnya Galatama

Bab III : PERKEMBANGAN GALATAMA. Berisi tentang perkembangan Galatama dari awal sampai akhir. Sub bab yang dibahas adalah

jalannya kompetisi Galatama, permasalahan yang timbul dan solusinya,

Bab IV : PERAN GALATAMA DALAM SEPAK BOLA INDONESIA.

Sub bab yang dibahas adalah peranan Galatama dalam pembinaan sepak bola Indonesia, peranan Galatama dalam peningkatan kesejahteraan pemain, peranan Galatama membantu PSSI meraih prestasi.

(32)

xxxii

BAB II

LATAR BELAKANG LAHIRNYA GALATAMA

A. Sepakbola Masa Perserikatan

Sejak diperkenalkan di Indonesia pada masa kolonial, sepak bola telah

berkembang dan memasyarakat ke seluruh daerah di Indonesia. Hal tersebut

disebabkan karena sepak bola adalah olah raga dengan aturan yang relatif

sederhana dan mudah dimainkan. Umumnya sepak bola dimainkan oleh laki-laki

sebagai simbol maskulinitas untuk sebuah pengakuan kemenangan atas tim lawan.

Terlepas dari latar belakang budaya, bahkan kepentingan politik yang kadang

bersembunyi dibelakangnya, sepak bola selalu mampu menarik perhatian dari

para pecintanya.

Sebelum tahun 1930, segala kegiatan sepak bola dilakukan terpusat dalam

wilayah Perserikatan dari daerah yang bersangkutan. Ada tujuh Perserikatan yang

berinisiatif untuk membentuk suatu wadah yang menaungi sepak bola secara

(33)

xxxii i

dengan maskud agar sepak bola pribumi tidak tertinggal dengan NIVB

(Nederlands Indische Voetbalbond)9.

PSSI menyelenggarakan kompetisi rutin yang dikenal dengan nama

Perserikatan, dalam upaya meningkatkan kualitas sepak bola pribumi agar tidak

jauh tertinggal dengan sepak bola Belanda yang bernaung dibawah NIVB,.

Kompetisi ini diikuti oleh bond-bondsepak bola pribumi yang tergabung didalam PSSI. Pada mulanya kompetisi ini hanya diikuti oleh 7 perserikatan yang

mendidirkan PSSI tadi. Seiring waktu jumlah peserta pun semakin bertambah.

Walaupun kurang berpengalaman dan lemah dibidang keuangan, PSSI

pada periode tahun 1931 – 1943 memiliki kelebihan yang menonjol, yaitu

pelaksanaan kompetisi dan kejuaraan yang lancar. Kelancaran kompetisi dan

peningkatan mutu permainan merupakan hal yang diinginkan oleh PSSI, sebagai

tolak ukur kemampuan dalam berorganisasi. Pada periode tersebut tidak satu

tahun pun kosong dari pertandingan kejuaraan tahunan PSSI. Demikian juga

pelaksanaan kompetisi pendahulunya di setiap distrik dan kompetisi antar klub

karena pemain bond diambil dari klub. Terjadi beberapa kejutan di final pada

kejuaraan tahunan periode itu10.

Sebagai contoh, bond dari Purwokerto, Magelang, Madiun, Cirebon dan

Jatinegara dan lainnya terpampang dalam deretan nama juara di samping Jakarta,

Surabaya, Bandung atau Yogyakarta. Hal terserbut berarti bahwa bond dari kota

kecil pun dapat menghasilkan pemain yang bermutu. Dengan demikian, mereka

9

S. Agustina Palupi, 2004, Politik dan Sepak Bola di Jawa 1920 -1942. Yogyakarta: Ombak, halaman 35

10

(34)

xxxi v

sanggup menyusun suatu kesebelasan yang mengimbangi tim juara seperti

Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surakarta dan Surabaya pada waktu itu. Ini juga

berarti bahwa bond kota kecil itu dapat menyelenggarakan program kompetisi

regionalnya dengan cukup baik. Semenjak PSSI berdiri, kompetisi Perserikatan

merupakan level kejuaraan tertinggi sampai dengan tahun 1978.

Sebelum PSSI terbentuk sebenarnya telah ada kejuaraan sepak bola antar

kota. Tentunya masih berada dibawah naungan NIVB selaku induk organisasi

sepak bola saat itu. Kejuaraan ini hanya mempertemukan kota-kota besar yang

ada di Jawa, yaitu Batavia Soerabaja, Bandoeng, Semarang, Malang, Soekaboemi

dan Djogjakarta. Hanya ada dua tim yang berbagi trofi, Batavia mengoleksi 10

trofi. Sementara Soerabaja hanya memiliki selisih 3 trofi dari yang dimiliki oleh

Batavia. Selain kedua tim tadi, belum pernah ada yang mengangkat trofi di

kejuaraan ini. Kejuaraan pertama digelar pada tahun 1914, kemudian berlangsung

secara rutin setiap tahunnya tanpa selang sampai dengan tahun 1930.11

Usai PSSI terbentuk pada tahun 1930, tidaklah serta merta

diselenggarakan sebuah kompetisi bagi Perserikatan. Tentu saja kompetisi

menjadi agenda utama setelah terbentuknnya PSSI. Hal ini dilakukan sebagai

wujud eksistensi PSSI, disamping mengingat beberapa Perserikatan yang ada

diluar Jawa belum mengetahui bahwa PSSI telah terbentuk. Kompetisi sekaligus

juga diharapkan menjadi sinyal bagi NIVB, bahwa kekuatan baru sepak bola

pribumi telah muncul. Setidaknya diperlukan selang waktu satu tahun untuk

mempersiapkannya, mulai dari anjuran bagi Perserikatan untuk menggelar

(35)

xxxv

kompetisi internalnya terlebih dahulu, ketersediaan lapangan yang layak pakai,

hingga minimnya pemain pribumi yang akan memperkuat Perserikatan lantaran

banyak dari mereka yang tergabung lebih dulu dengan kompetisi NIVB.

Setelah persiapan yang dirasa cukup, maka kompetisi yang disebut

Stedenwedsrtyden (Stedenwed)”12, dimantapkan untuk segera digelar. Untuk kali pertama dipilihlah Solo sebagai tuan rumah. Berbekal tekad bulat dan segala

kekurangannya, akhirnya kejuaraan Perserikatan yang pertama tersebut dapat

terlaksana dengan bertempat di alun-alun yang digunakan sebagai lapangan.

Stedenweddi Solo itu berakhir sukses dalam pelaksanaannya. Jakarta, yang tampil dengan pemain andalan Soemo, berhasil menjadi sebagai juara. Yogyakarta dan

Solo masing-masing mengakhiri kejuaraan di urutan dua dan tiga setelah Jakarta.

Berikutnya, Jakarta menjadi tuan rumah pada kejuaraan tahun 1932.

Beberapa pemain pribumi yang tergabung dalam NIVB, tidak dapat mengikuti

kejuaraan kali ini. Hal ini disebabkan karena adanya larangan bagi mereka untuk

turut serta dalam kejuaraan PSSI. Larangan ini disinyalir sebagai bagian dari

upaya NIVB agar PSSI tidak dapat berkembang. Meski larangan tersebut cukup

berpengaruh bagi Bandung dan Surabaya sehingga terpaksa menurunkan pemain

lapis dua, toh kejuaraan tetap terlaksana dengan lancar. Tiga tim yang maju ke

final kala itu adalah Yogyakarta, Madiun dan Jakarta. Bandung dan Surabaya

tidak mampu lolos dibabak awal. Usai pertandingan antara ketiga finalis,

Yogyakarta mengokohkan diri sebagai jawara baru, disusul Jakarta dan Madiun13.

12

Stedenwedsrtyden (Stedenwed) adalah pertandingan antar kota tahunan dan secara bergiliran tiap kota menjadi pemyelenggara.

13

(36)

xxxv i

Setahun kemudian, 1933, giliran Surabaya sebagai tuan rumah. PSSI turut

mengundang pengurus NIVB untuk menyaksikan pertandingan, dengan tujuan

memperlihatkan kemampuan pribumi untuk melaksanakan pertandingan

kejuaraan. Selain itu, pada kejuaraan kali ini NIVB mengijinkan pemain mereka

untuk memperkuat Surabaya dan Bandung, sehingga keduanya mampu bermain

sampai babak final bersama dua tim lain yaitu, Jakarta dan Surabaya. Keluar

sebagai juara adalah Jakarta, dususul Bandung dan Surabaya di posisi berikutnya.

Perkembangan PSSI semakin baik dan menyebar ke daerah lain yang

belum menjadi anggota. Hal tersebut terlihat pada tahun 1935 dengan

bertambahnya bond yang menjadi anggotanya dari 7 menjadi 19. Sebuah perkembangan kuantitatif yang signifikan, meskipun semua bondmasih bertempat di pulau Jawa. Pada tahun-tahun berikutnya, kompetisi dapat berjalan rutin dan

terencana. Secara bergantian Jakarta, Bandung, Solo, Bandung menjadi juara pada

kejuaraan selanjutnya14.

Catatan lain adalah tentang persebakbolaan di kota Solo. Setelah stadion

Sriwedari diresmikannya oleh Paku Buwono X untuk digunakan sebagai arena

olahraga, kota batik ini mampu mencapai prestasi yang membanggakan. Setelah

hanya duduk di posisi ketiga di Stedenwed I dan tersisih dalam kejuaraan berikutnya, pada tahun 1935, saat Sriwedari berusia 2 tahun, Solo keluar sebagai

kampiun. Gelar itu dipertahankan tahun-tahun berikutnya sampai dengan tahun

1943, kecuali pada tahun 1937, Solo harus merelakan gelar tersebut kepada

Bandung. Ketersediaan lapangan Sriwedari untuk kegiatan sepak bola turut

14Ibid

(37)

xxxv ii

membantu Solo meraih predikat sebagai juara Perserikatan terbanyak yaitu 8 kali.

Kegemilangan ini tidak lepas dari kemampuan Solo menggelar kompetisi

internalnya secara rutin dan teratur, ditambah fasilitas lampu sorot yang dimiliki

stadion Sriwedari sehingga memungkinkan pertandingan digelar pada malam hari.

Masa pendudukan Jepang mulai tahun 1942 praktis membuat PSSI

perlahan mengalami kemunduran. PSSI lalu dilebur ke dalam Tai Iku Kai, sebuah

organisasi olahraga bentukan Jepang. Posisi PSSI kemudian hanya menjadi salah

satu bidang di organisasi tersebut maka kompetisi perserikatan PSSI terhenti

sampai dengan tahun 1950. Kongres PSSI tahun 1950 , yang mengubah

kepanjangan PSSI dari “Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia” menjadi

“Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia” menjadi titik awal kebangkitan kembali

persepakbolaan tanah air. Kongres tersebut sekaligus memantapkan PSSI sebagai

sepak bola kebangsaan dengan melahirkan pula mukadimah, yang didalamnya

tertulis dengan jelas, bahwa PSSI sebagai alat perjuangan bangsa.

Semenjak kongres PSSI tahun 1950, kompetisi kembali berjalan lancar.

Perserikatan anggota PSSI pun bertambah jumlahnya, semakin meluas dan

menjangkau luar pulau Jawa. Medan merupakan wakil dari Sumatra dan Makasar

adalah wakil dari Sulawesi. Sementara Kalimatan belum memiliki wakil di PSSI

kendati sudah terbentuk perserikatan di sana. Makasar menjadi wakil luar pulau

Jawa yang pertama kali menjuarai kompetisi Perserikatan PSSI, tepatnya pada

tahun 1957 dan mempertahankannya pada kejuaraan berikutnya pada tahun 1959,

juga pada tahun 1965 dan 1966. Medan selaku wakil dari Sumatra baru mampu

(38)

xxxv iii

mencatatkan diri sebagai tim luar Jawa yang pernah menjuarai Kompetisi

Perserikatan pada tahun 1980. Kejuaraan berikutnya giliran Banda Aceh yang

memboyong trofi15.

Selama berlangsungnya kompetisi Perserikatan, terjadi sebuah keunikan

pada kompetisi tahun 1975. Di bawah kepemimpinan Ketua Umum Bardosono,

PSSI memutuskan untuk memberikan gelar juara bersama kepada Persija -

PSMS pada partai final. Hal ini terpaksa dilakukan lantaran, semua pemain dari

kedua tim berkelahi di lapangan saat pertandingan masih berjalan dan wasit tidak

dapat mengatasinya. Bardosono harus turun tangan demi mendamaikan kedua

belah pihak, akhirnya keduanya ditetapkan sebagai juara kembar sebagai jalan

tengah16.

Pertandingan final antara PSMS versus Persib di Stadion Utama Senayan

dalam kompetisi 1982-1984 menunjukkan bahwa kompetisi di tahun 1931 – 1979

sengaja dilaksanakan PSSI demi membangkitkan nasionalisme, sebaliknya setelah

lahirnya Galatama (1979), Kompetisi Perserikatan dijadikan medium

membangkitkan fanatisme kedaerahan. Hal tersebut sangat nampak dalam dua

kali final antara Medan vs Bandung, Stadion Utama Senayan tidak mampu

menampung penonton baik yang datang dari Bandung ataupun orang-orang

Medan yang berdomisili di Jakarta. Jumlah penonton melebihi kapasitas tempat

duduk stadion , sampai-sampai sebagian dari mereka ditempatkan di sintelbaan. Kedua final tersebut dimenangkan oleh Medan, tapi yang menjadi terasa luar

15Ibid,

halaman 56

16

(39)

xxxi x

biasa adalah puluhan ribu penonton pendukung Bandung tidak sampai

menimbulkan kerusuhan sedikitpun17.

Semenjak tahun 1979 – 1994, Kompetisi Perserikatan berjalan secara

pararel dengan kompetisi Galatama. Bandung keluar sebagai juara di musim

kejuaraan 1993-1994, dan menjadi pemilik trofi Perserikatan untuk yang terakhir .

Akibat memudarnya perhatian masyarakat terhadap kompetisi Galatama, kedua

kompetisi ini pun akhirnya dilebur oleh PSSI di bawah kepengurusan Azwar Anas

menjadi Kompetisi Liga Indonesia.

B. Peran Perserikatan Dalam Sepak Bola Indonesia

Jika berbicara tentang sepak bola Indonesia maka tidak akan lepas dari

Perserikatan, setidaknya mulai PSSI berdiri sampai dengan tahun 1978.

Perserikatan pulalah yang telah membentuk PSSI, sebuah organisasi resmi yang

menaungi segala bentuk kegiatan olahraga sepak bola di Indonesia. Awalnya

Perserikatan hanyalah kumpulan klub lokal dari kota-kota besar di Jawa.

Perserikatan tumbuh di berbagai daerah sebagai wadah kegiatan sepak bola bagi

klub-klub yang bernaung di bawahnya. Sampai akhirnya tercapai kesepakatan

melalui pertemuan rapat bertempat di Gedung Handeproyo pada 19 April 1930,

yang dihadiri oleh wakil dari 7 perserikatan dari Jakarta, Bandung, Yogya, Solo,

Madiun, Surabaya, Magelang18. Kesepakatan tersebut tidak lain adalah

membentuk organisasi bernama Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia

17

Edy Elisson, 2005. PSSI Alat Perjuangan Bangsa, Jakarta: PSSI, halaman 60

18

(40)

xl

(PSSI). Jelas peran pertama dan terpenting dari Perserikatan adalah sebagai awal

perkembangan sepak bola dan embrio bagi PSSI. Kendati pada permulaan

pembentukan PSSI lebih bermotif politis ketimbang olahraga, terbukti

Perserikatan telah mampu menggabungkan keduanya dengan baik.

Sampai dengan tahun 1942, tujuan utama PSSI selain membangkitkan

nasionalisme melalui sepak bola adalah berupaya menaikkan derajat sepak bola

pribumi yang dipandang ketinggalan oleh NIVB, melalui kompetisi perserikatan.

Kompetisi yang rutin dapat dijadikan tolak ukur keberhasilan PSSI sebagai wadah

yang mengatur kegiatan persepakbolaan. Dengan demikian NIVB lebih mengakui

eksistensi dan kemampuan PSSI dalam menjalankan kejuaraan. Di sini tentu

Perserikatan lah yang menjadi ujung tombak PSSI dalam mengatur kompetisi

lokal sebagai bekal dalam pelaksanaan kompetisi antar bondenyang ada.

Setelah vakum selama 4 tahun, kejuaraan Perserikatan kembali bergulir

pada 1948. Tiga tahun berselang tepatnya 4 Maret 1951, tim nasional sepak bola

Indonesia melakoni partai perdana internasionalnya melawan tuan rumah India di

ajang Asian Games. Semenjak itu praktis muara harapan sepak bola Indonesia

sudah bukan lagi membangkitkan rasa kebangsaan tapi lebih ke arah prestasi,

sebuah upaya untuk mengangkat dan mengharumkan nama bangsa di pentas

dunia. Lagi-lagi Perserikatan memegang peran pentingnya. Pemain-pemain yang

menunjukkan permainan gemilang bersama Perserikatan-lah yang nantinya akan

diseleksi untuk bisa memperkuat tim nasional19.

19

(41)

xli

Pemilihan pemain dilaksanakan secara bertahap, melalui enam distrik, tiga

di Jawa, sisanya dari Sumatra, Kalimantan, Sulawesi. Kemudian dibentuk enam

kesebelasan dari enam distrik itu untuk selanjutnya diadu di Jakarta. Dari situ

akan dipilih lagi 25 pemain terbaik untuk dikirimkan ke pelatnas di bawah KOI (

Komite Olimpiade Indonesia ) yang kemudian akan dirampingkan jumlahnya

menjadi 18 pemain inti yang akan dikirim ke New Delhi (Asian Games).

Seterusnya mekanisme seleksi semacam inilah yang digunakan PSSI untuk

menentukan siapa yang pantas bermain untuk tim nasional.20

Guna mencapai prestasi yang diharapkan dalam perkembangan sepak bola,

tentu diperlukan pembinaan sepak bola nasional yang berkesinambungan dan

berkelanjutan. Bentuk pembinaan yang paling utama adalah pembibitan,

pelatihan, dan kompetisi yang rutin. Perserikatan yang tersebar cukup merata di

seluruh Indonesia merupakan medium yang efektif untuk menjaring bakat-bakat

baru dan kompetisi lokal dan nasional dari tim Perserikatan tentu memberikan

pengalaman tanding guna mengangkat mental para pemainnya. Semua itu wajib

dilakukan dan menjadi syarat umum bagi pemain yang akan memperkuat tim

nasional.

Semenjak 1979, Perserikatan sedikit mengalami kemunduran lantaran banyak

para pemainnya yang bagus pindah ke Galatama. Kompetisi Perserikatan sempat

dianggap sebagai kompetisi yang kualitasnya berada di bawah Galatama. Oleh

karena itu Perserikatan lebih menunjukkan fungsinya sebagai wadah dan

pembangkit fanatisme kedaerahan dalam hal sepak bola. Perserikatan pun menjadi

20

(42)

xlii

simbol milik bersama bagi daerah yang bersangkutan dan kebanggaan tersendiri

apabila timnya mampu menorehkan prestasi yang menggembirakan.

C. Lahirnya Galatama

Sampai dengan tahun 1978, Perserikatan merupakan satu-satunnya,

kompetisi sepak bola tingkat nasional yang diselenggarakan oleh PSSI. Kompetisi

tersebut merupakan bagian dari program kerja PSSI dalam pembinaan dan

peningkatan kualitas sepak bola nasional. Tentu saja Persrikatan merupakan

pemasok utama pemain tim nasional sepak bola dalam berlaga di kejuaraan

internasional. Meski demikian perjalanan yang telah dilalui oleh Perserikatan

tidak selamanya mulus. Kondisi dan situasi keamanan dan politik di negeri ini

turut mempengaruhi kalender kompetisi Perserikatan. Sedikit gambaran

persepakbolaan Indonesia pada akhir tahun 1970-an sebelum Galatama

berlangsung, adalah minimnya prestasi. Hal tersebut terlihat dari hasil turnamen

sepak bola yang diikuti oleh PSSI di dalam maupun luar negeri yang membawa

hasil yang mengecewakan. Dari sejumlah turnamen yang diikuti sepanjang tahun

1970 – 1978, PSSI hanya mampu sekali berprestasi sebagai juara selebihnya

gagal di babak penyisihan, semifinal dan final 21. Tentu saja hal tersebut cukup

mengecewakan bagi publik pencinta sepak bola tanah air mengingat pada dekade

sebelumnya Indonesia mencatat prestasi yang membanggakan dalam turnamen

antar negara atau internasional yang digelar baik di dalam maupun luar negeri.

(43)

xliii

Raihan prestasi yang minim selama tahun 1970-an itulah yang kemudian

membuat para tokoh-tokoh sepak bola memunculkan wacana sepak bola bayaran

sebagai alternatif untuk membuat Indonesia kembali berjaya di level internasional.

Melihat kenyataan ini, PSSI melihat kemunduran itu semata-mata disebabkan oleh

cara pengelolaan sepak bola, serta tidak adanya jaminan sosial yang konstan bagi

pemain, sehingga menimbulkan rasa ketidakseriusan dan enggan untuk berprestasi

ke arah yang lebih baik lagi.22 PSSI kemudian mengambil kesimpulan untuk

memecahkan persoalan tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya perombakan sistem

manajemen yang lebih memperhatikan kehidupan sosial pemain.

Terlepas dari permasalahan minimnya prestasi, wacacana tentang sepak

bola profesioanal sempat muncul pada pertengahan 1970-an. Menurut rencana

liga itu akan dibentuk tanggal 8 Agustus 1976, lengkap dengan pengurusnya dan

delapan klub anggota. Kedelapan klub itu adalah Pardedetex, Jayakarta, Warna

Agung, Beringin Putra, Bangka Putra, Buana Putra dan Tunas Jaya. Klub-klub

tersebut merupakan anggota dari masing-masing perserikatan yang menaunginya.

Sebagai contoh Jayakarta, Warna Agung, Beringin Putra, Tunas Jaya adalah

anggota dari Persija. Sisanya, Bangka Putra berada dibawah PSBB dan

Pardedetex dibawah PSMS. Ide yang dimatangkan lewat diskusi di Balai Sidang

Senayan, Jakarta pada tanggal 15 s/d 16 Mei 1976 itu tidak sempat menemui

bentuk yang pasti. Kegagalan penuangan bentuk sepak bola professional itu,

disebabkan klub-klub yang ingin melepaskan status amatir mereka tersebut belum

begitu siap untuk melangkah. Setelah kemungkinan diperhitungkan lewat neraca

(44)

xliv

laba-rugi, diperkirakan klub-klub masih membutuhkan dana bantuan untuk

mempertahankan hidup. Kurangnya pendanaan merupakan hambatan dari

kelahiran sepak bola professional. Akhirnya kompetisi yang semula akan digelar

seusai PON IX bulan Agustus 1977, sementara gagal terlaksana23.

Namun demikian, hal tersebut tidak sepenuhnya memupus ide sepak bola

profesional. Setelah Bardosono melepas kewenangannya sebagai ketua umum

PSSI, melalui Kongres PSSI 1977 di Semarang, terpilih Ali Sadikin sebagai

penerus jabatan ketua umum PSSI lima tahun ke depan terhitung sejak bulan

September 1977. Setahun kemudian, melalui SK ketua umum PSSI bernomor

27-XII/1977 tertanggal 18 Desember 1977, ditetapkanlah Kadir Yusuf sebagai Ketua

Komisi Sepakbola Profesional. Dengan demikian sejak dikeluarkannya SK

tersebut PSSI tidak lagi hanya membina sepak bola amatir, tetapi juga

memberdayakan sepak bola profesional, sebagai bagian dari wahana menyeleksi

pemain untuk dipilih memperkuat tim nasional.

Kadir Yusuf yang dikenal begitu mendalami sepak bola, mencoba

mempersiapkan perangkat peraturan dan segala sesuatunya yang diperlukan

untuk mewujudkan konsep sepak bola profesional yang telah diusung dalam rapat

sebelumnya. Hal ini terutama terkait dengan masalah manajemen sepak bola.

Berangkat dari hasil bahasan dan penelitian, bisa dirasakan bahwa pada saat itu

Indonesia belum mungkin terjun langsung ke dalam dunia sepak bola profesional

seperti di Eropa, sehingga kemudian diputuskan, bahwa pengurus PSSI belum

bisa merealisasikan sepak bola profesional. Namun demikian pengurus PSSI

(45)

xlv

menyetujui lahirnya sistem pembinaan sepak bola semacam profesional dengan

sebuah konsepsi dasar yang menyeluruh.

Berkenaan dengan hal itu, salah satu topik yang akan disampaikan

pimpinan PSSI dalam sidang paripurna tahun 1978 adalah masalah

pengembangan sepak bola ke arah profesional atau non-amatir. Perumus konsep

tersebut adalah Ketua Bidang Organisasi PSSI, Soeparjo Poncowinoto,

berdasarkan bahan-bahan dari Kadir Yusuf. Dari inti permasalahan yang akan

dituangkannya dalam sidang paripurna PSSI, Soeparjo mengatakan bahwa

perkembangan sepak bola di Indonesia menuntut adanya suatu lembaga untuk

mengurus persoalan yang timbul dengan kaitan non-amatir.

Wacana pembentukan lembaga profesional sebagai jalan keluar terkait

masalah sepak bola non-amatir memang sempat diutarakan dalam siding

paripurna. Namun, Poncowinoto menjelaskan bahwasanya untuk saat itu belum

bisa diterapkan secara langsung. Beberapa alasannya antara lain, dikatakan bahwa

klub profosional itu belum mungkin hidup dari hasil penjualan karcis

pertandingan semata. Bagi PSSI, pemain yang sudah meneken kontrak dalam klub

profosional, tidak mungkin bisa dimanfaatkan lagi untuk memperkuat tim dalam

turnamen yang bersifat amatir. Oleh karena itu Poncowinoto mengusulkan sebuah

jalan tengah24.

Jalan tengah yang akan diperkenalkan itu bernama Liga Sepakbola Utama

(Galatama). Menurut Poncowinoto, pemain dari klub yang akan bergabung dalam

liga itu nantinya masih berstatus amatir, hanya saja klubnya ditata secara

24

(46)

xlvi

profesional. Penataan secara profesional itu, antara lain, adalah diperkenalkannya

sistim kontrak bagi pemain. Dengan sistim kontrak ini diharapkan bisa

diselesaikan masalah pelanggaran disiplin atas pemain. Selama ini tidak pernah

ada ikatan khusus antara pemain dengan suatu klub, sehingga mereka hanya

terikat secara moril. Rencananya, Liga ini nanti, sebagaimana juga perserikatan,

akan mempunyai kompetisi sendiri. Pemain dari klub yang memilih bergabung

dengan Liga tidak mungkin lagi bermain dalam kompetisi perserikatan. Inilah

sebagian hal yang akan ditertibkan lewat Liga25.

Akhirnya, melalui Sidang Pengurus Paripurna tahun 1978, PSSI

membentuk Komisi Galatama. Tidak hanya Galatama, PSSI juga menetapkan

lahirnya tiga lembaga lain yaitu Galakarya, Galasiswa, dan Galanita26. Untuk

pimpinan Bidang Lembaga-lembaga tersebut selama tiga bulan dipegang langsung

oleh Ketua Umum PSSI, dalam hal ini Ali Sadikin. Disusul kemudian

ditetapkannya Sjarnoebi Said, sebagai Ketua Pelaksana Bidang

Lembaga-lembaga. Pemilihan tersebut beralasan, mengingat sebelum digelarnya Sidang

Pengurus Paripurna 1978, Sjarnoebi Said telah diangkat sebagai Ketua Bidang

Liga. Selama dalam jabatan tersebut Sjarnoebi bertugas melakukan

kunjungan-kunjungan ke daerah-daerah mensosialisasikan konsep Galatama, selain ingin

mendapatkan dukungan dari Komda PSSI27.

Untuk menindaklanjuti konsep Galatama, Sjarnoebi mengadakan

pertemuan pertama dengan para calon anggota Galatama pada 17 Oktober 1978 di

25

Ibid

26Galakarya

: Liga Sepakbola Karyawan, Galasiswa: Liga Sepakbola Mahasiswa Galanita : Liga Sepakbola Wanita

27

(47)

xlvii

kantor PSSI. Rapat lanjutan digelar ditempat yang sama sampai dengan 8 kali

untuk membahas masalah, mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang

terjadi, selain memantapkan peraturan yang sudah dipersiapkan oleh Komisi

Galatama sebelumnya. Melalui pertemuan-pertemuan itulah akhirnya ditetapkan

laga Kompetisi Galatama pertama akan dimainkan pada 22 s/d 24 Desember

197828.

Ternyata rencana semula untuk menggelar laga perdana kompetisi

Galatama sebelum tahun 1979, tidak dapat dilaksanakan, mengingat pembenahan

administrasi klub, termasuk setiap peserta diwajibkan memiliki deposit uang di

bank sebagai persyaratan belum terpenuhi secara keseluruhan. Rapat Pengurus

Harian PSSI akhirnya menetapkan 17 Maret 1979 sebagai hari pembukaan

Kompetisi Galatama dengan peserta 14 klub, menggunakan sistem kompetisi

home and away, setiap klub akan saling bertemu dua kali.

28

(48)

xlvii i

BAB III

PERKEMBANGAN KOMPETISI GALATAMA

A. Peraturan Dasar Galatama

Pasal 1 Peraturan Organisasi Tentang Lembaga Sepakbola Utama

menyebutkan bahwa : “Lembaga Sepakbola Utama, selanjutnya disingkat

GALATAMA, adalah wadah dalam lingkungan organisasi PSSI bagi

penyelenggaraan, pengurusan dan pembinaan kegiatan sepak bola melalui

Perkumpulan-perkumpulan Sepakbola Anggota GALATAMA, di mana para

pemainnya menjadikan sepak bola sebagai jenjang karir. Di lingkungan organisasi

PSSI, GALATAMA adalah satu bagian dari Bidang Lembaga-lembaga

Sepakbola, wadah kegiatan sepak bola yang berciri khusus”. Beberapa pihak

dalam kalangan sepak bola juga ada yang menyebut Galatama sebagai

kepanjangan dari Liga Sepakbola Utama.

Secara organisasi, dalam PSSI kedudukan Galatama merupakan bagian

dari Bidang Lembaga-lembaga Sepakbola PSSI yang mengurus penyelenggaraan

kegiatan perkumpulan anggota Galatama sebagai anggota penyokong PSSI.29

Galatama dipimpin oleh Ketua Bidang Lembaga-lembaga Sepakbola yang dibantu

oleh unsur staf yang terdiri atas staf sekretariat, komisi Galatama dan komisi lain

yang dianggap perlu. Sementara untuk pengurusan dan penyelenggaraan

administrasi Galatama dilaksanakan oleh sekretariat bidang. Di tingkat kongres

(49)

xlix

PSSI, kepentingan perkumpulan anggota Galatama diperhatikan dan diwakili oleh

pengurus PSSI.30

Sebagaimana juga diatur dalam Peraturan Organisasi Tentang Lembaga

Sepakbola Utama, syarat-syarat bagi perkumpulan sepak bola untuk menjadi

anggota antara lain:

CI. Memiliki Badan Hukum dengan modal kerja sekurang-kurangnya

dua puluh lima juta rupiah.

CII. Memiliki sekurang-kurangnya dua kesebelasan

masing-masing Senior dan Yunior sebagai anggota perkumpulan.

CIII. Membayar uang muka kepada PSSI sebesar seratus ribu

rupiah dan iuran bulanan dua puluh lima ribu rupiah.

CIV. Menyatakan kesediaan untuk mengutamakan kepentingan

nasional dalam sepak bola (PSSI)

CV. Mendapat persetujuan pengurus PSSI berdasarkan

pertimbangan kekuatan perkumpulan

CVI. Memiliki peraturan tentang jaminan kesejahteraan pemain

CVII. Menyatakan kesediaan memberikan pemain anggota

perkumpulannya kepada Perserikatan anggota PSSI, jika

diperlukan dalam pertandingan resmi yaitu Kompetisi Nasional

Utama dan Pekan Olahraga Nasional

(50)

l

CVIII. Mengajukan permohonan menjadi anggota Galatama

dengan mengisi formulir yang disediakan oleh Pengurus

PSSI/Bidang lembaga-lembaga Sepakbola31

Dalam peraturan, disebutkan bahwa yang diakui sebagai pemain Galatama

adalah seorang pria berumur sekurang-kurangnya 18 tahun, berbadan sehat yang

dinyatakan dengan surat keterangan dokter dan berkelakuan baik. Melalui

pengurus, PSSI dapat memberi dispensasi bagi pemain dibawah umur. Pemain

harus terdaftar sebagai anggota perkumpulan yang tergabung dalam Galatama dan

didaftarkan pada Pengurus PSSI. Pemain tersebut menyatakan ikatannya pada

perkumpulan Galatama dalam suatu naskah perjanjian yang ditandatangani

sendiri. Mentaati segala peraturan Perkumpulannya dan PSSI, serta memberikan

segala kemampuannya dalam sepak bola kepada perkumpulannya dan PSSI.

Status yang dimiliki pemain Galatama adalah tetap sebagai pemain amatir, namun

memiliki nilai kontrak dan bayar sesuai kesepakatan dengan pihak klub .32

Perkumpulan Galatama juga dibenarkan mempergunakan pemain asing dengan

syarat pemain yang bersangkutan telah mendapatkan izin dari pemerintah

Republik Indonesia dengan rekomendasi dari PSSI serta persetujuan dari federasi

sepak bola negara asalnya.33

B. Perkembangan Kompetisi Galatama

1. Kompetisi I Galatama (17 Maret 1979 s/d 06 Mei 1980)

(51)

li

Satu minggu sebelum partai perdana Galatama digelar, Syarnoebi Said,

selaku ketua bidang lembaga-lembaga PSSI berkeyakinan dan berharap bahwa

dengan adanya Galatama prestasi olahraga khususnya sepak bola akan meningkat.

Jumlah perkumpulan yang akan berpartisipasi dalam kompetisi perdana Galatama

berjumlah 14. Mereka adalah Jayakarta (Jakarta), Indonesia Muda (Jakarta),

Warna Agung (Jakarta), Pardedetex (Medan), Parkesa 78 (Bogor), Arseto

(Jakarta), Tunas Inti (Jakarta), Jaka Utama (Lampung), Sari Bumi Raya (

Bandung), Niac Mitra (Surabaya), BBSA Tama (Jakarta), Cahaya Kita (Jakarta),

Tidar Sakti (Magelang), Buana Putra (Jakarta). Dari keempat belas klub, yang

paling diunggulkan menjadi juara adalah Warna Agung, Indonesia Muda, Niac

Mitra, Jayakarta, Padedetex, mengingat banyak pemainnya yang memperkuat tim

nasional34.

Beberapa klub peserta kompetisi I telah memasang target. Warna Agung

berharap Galatama akan tetap eksis, untuk itu perlu adanya keseimbangan

didalamnya. Keseimbangan yang dimaksud adalah meratanya kekuatan diantara

perkumpulan, sehingga Warna Agung sangat mendukung bila ada perpindahan

pemain berkualitas yang menyebar diantara perkumpulan.35 Berbeda dengan

Parkesa 78, sebelum kompetisi dimulai, sang direktur Acub Zainal telah

memasang target untuk berada di empat besar teratas saat kompetisi berakhir.

Sementara itu, Jayakarta menyebut bahwa mereka telah menanti bentuk kompetisi

semacam Galatama ini selama 9 tahun sehingga dapat dikatakan Jayakarta adalah

tim paling siap secara pembinaan dan modal prestasi di Galatama. Berbekal dua

(52)

lii

kali menjuarai kompetisi Persija divisi I, Jayakarta bersama Warna Agung dan

Indonesia Muda disebut sebagai tim favorit juara untuk kompetisi perdana

Galatama36. Perkumpulan lain meski tidak mematok prestasi yang jelas, tetap

berpartisipasi dalam Galatama guna meningkatkan prestasi sepak bola

Indonesia37.

Tabel 1

Klasemen Akhir Kompetisi I Galatama

(53)

liii

Perebutan juara kompetisi I ditentukan dalam pertandingan antara

Jayakarta dan Warna Agung yang berlangsung di Senayan. Berada di posisi

teratas klasemen dengan hanya selisih satu poin membuat keduanya memiliki

peluang yang sama untuk menjadi juara. Melalui skor tipis 1-0, Warna Agung

akhirnya berhasil menggenggam gelar juara kompetisi I Galatama. Catatan lain

menunjukkan, Indonesia Muda, Warna Agung dan Niac Mitra menjadi tim

produktif selama kompetisi dengan masing-masing mencetak 64 gol, sementara

Jayakarta memiliki pertahanan paling kokoh dengan kemasukan 8 gol. Meski

No Klub Main Menang Seri Kalah Gol Nilai

1 Warna Agung 25 17 4 4 62 24 38

2 Jayakarta 25 14 9 2 36 8 37

3 Indonesia Muda 25 15 6 4 62 28 36

4 Niac Mitra 25 13 8 4 62 19 34

5 Pardedetex 25 10 8 7 37 21 28

6 Jaka Utama 25 10 5 10 30 33 25

7 Perkesa '78 25 10 4 11 33 30 24

8 Arseto 25 7 10 8 34 33 24

9 Tunas Inti 25 7 7 11 34 39 21

10 Sari Bumi Raya 25 7 7 11 26 42 21

11 Cahaya Kita 25 8 5 12 28 58 21

12 Tidar Sakti 25 4 5 16 30 74 13

13 Buana Putra 25 3 6 16 19 52 12

14 Bbsa Tama 13 2 0 11 10 42 4

Jumlah Gol = 503 503

Pencetak Gol Terbanyak : Hadi Ismanto ( 22 Gol ) Indonesia Muda

(54)

liv

hanya berakhir di posisi 3 Indonesia Muda boleh berbangga, karena penyerang

mereka Hadi Ismanto menjadi pencetak gol terbanyak dengan 22 gol38.

2. Kompetisi II Galatama ( 11 Oktober 1980 s/d 13 Maret 1982 )

Dalam rapat anggota Galatama tanggal 5 Juni 1979 di Senayan untuk

persiapan Kompetisi II, Nabun Noor selaku perwakilan dari Parkesa 78 terpilih

menjadi ketua liga. Selanjutnya akan dipersiapkan seleksi bagi calon anggota baru

Galatama. Minat untuk membentuk sebuah klub Galatama terus saja muncul,

kendati banyak permasalahan yang muncul pada musim pertama. Tidak kurang

ada 7 klub baru yang ingin bergabung menjadi anggota Galatama. Tidak semua

calon tersebut langsung bergabung secara otomatis menjadi anggota baru

Galatama, meski telah mendaftarkan diri secara resmi ke PSSI. Untuk kali ini,

Liga lebih selektif dalam memilih tim yang layak menjadi anggota baru39.

Dari 7 calon anggota baru diadakan seleksi untuk menentukan 5 tim yang

berhak berpartisipasi dalam kompetisi II. Penyaringan itu dilakukan melalui

pertandingan seleksi.40 Lima tim terbaik yang lolos menjadi anggota baru

Galatama sesuai urutan adalah Angkasa, UMS 80, Mertju Buana, Bintang Timur

dan Makasar Utama. Sementara dua tim lain gagal karena berada di posisi

terbawah klasemen dalam pertandingan seleksi, keduanya adalah Jakarta Putra

dan Sawunggaling41.

Gambar

Tabel 2
Gambar I
Tabel 3
Tabel 4
+7

Referensi

Dokumen terkait

Peneliti melakukan penelitian pada atlet bola basket Bimasakti Nikko Steel Malang dan atlet sepak bola Arema Indonesia karena Bimasakti Nikko Steel Malang dan Arema

Desain Interior Museum Sepak Bola Indonesia di Surakarta dengan Konsep Modern adalah merencanakan dan merancang bagian dalam sebuah bangunan yang

” Perencanaan dan Perancangan Interior Museum Sepak Bola Indonesia Di Surakarta ini dibatasi pada elemen interior terutama pada segi penataan ruang dan memusatkan

Desain Interior Museum Sepak Bola Indonesia di Surakarta dengan Konsep Modern adalah merencanakan dan merancang bagian dalam sebuah bangunan yang bersifat umum

Kali ini penulis memilih berita mengenai fenomena banyaknya pemain sepak bola di Indonesia yang meninggal dunia akibat tidak digaji selama berbulan-bulan.. Fenomena tidak digajinya

Pemasalahan yang akan dikaji adalah (1) Berapakah persentase pemain asing yang layak bermain dalam liga sepak bola di Indonesia menurut nilai standar BLI, yaitu ambilan

Sistem informasi manajemen sekolah sepak bola mandala majalengka adalah sebuah sistem yang memiliki berbagai fitur diantaranya pendaftaran siswa secara online, pengelolaan data nilai

Tinjauan Kasus Ketidakterpenuhan Hak Pemain Sepak Bola Profesional di Indonesia Seiring dengan upaya yang dilakukan oleh para stakeholder dalam mengembangkan persepakbolaan Indonesia,