• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Pembelajaran Sastra Lokal u

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengembangan Pembelajaran Sastra Lokal u"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR

PELAKSANAAN PENELITIAN DESENTRALISASI

PROGRAM PENELITIAN HIBAH BERSAING

TAHUN ANGGARAN 2013-2014

PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN SASTRA LOKAL UNTUK

MEMBANGUN KARAKTER POSITIF SISWA SEKOLAH DASAR

Tahun ke 1 dari rencana 3 tahun

TIM PENELITI

Prof. Dr. Patrisius I. Djiwandono 0716036701 Lilis Lestari Wilujeng, S.S., M.Hum 0718087201 FX. Dono Sunardi, M.A. 0726057601

UNIVERSITAS MA CHUNG

(2)
(3)

PHB Tahun Pertama 1 Page iii

RINGKASAN EKSEKUTIF

Pendidikan karakter sudah mendesak dilakukan untuk membentuk manusia-manusia terdidik Indonesia yang tidak hanya sekedar pintar secara akademis namun juga berkarakter baik. Selama ini, pentingnya pendidikan karakter hanya sebatas retorika, sementara penerapannya belum mewujud menjadi praksis pembelajaran dan pendidikan secara sistematis dan berkesinambungan dari tingkat sekolah dasar sampai pendidikan tinggi. Di tengah makin berkembangnya jaman dan makin rumitnya dimensi sosial yang melibas semua manusia tak terkecuali generasi muda, sudah saatnya ada pendidikan karakter yang lebih mantap di sekolah. Maka diperlukan suatu rintisan yang secara empiris menghadirkan bukti konkret dampak pendidikan karakter di tingkat sekolah dasar. Penelitian ini akan merintis upaya tersebut.

Tujuan penelitian ini adalah (1) mengembangkan sebuah rancangan pembelajaran pengembangan karakter positif yang berdasarkan sastra lokal, (2) menentukan dampak dari rancangan pembelajaran tersebut pada perkembangan karakter anak-anak usia SD, (3) membangun sebuah model pembelajaran karakter yang meliputi kurikulum, materi, dan pendekatan pembelajaran.

Pada akhir tahun pertama ini, ada tiga tujuan yang ingin dicapai: (1) menggali data awal dari sekolah dasar; (2) mengumpulkan koleksi sastra lokal Malang, dan (3) menggali pendapat pakar sastra tentang sastra lokal Malang. Melalui penyebaran angket dan wawancara ketiga tujuan tersebut sudah dicapai. Adapun bukti fisik yang bisa disajikan adalah kumpulan cerita lokal Malang sebagai materi ajar yang didampingi silabus dan rencana pembelajaran. Yang kedua adalah profil pendidikan karakter di sekolah dasar. Yang ketiga adalah pendapat para pakar tentang sastra lokal dan kaitannya dengan pengembangan karakter di bangku sekolah dasar.

(4)

PHB Tahun Pertama 1 Page iv

RINGKASAN

Pendidikan karakter sudah mendesak dilakukan untuk membentuk manusia-manusia terdidik Indonesia yang tidak hanya sekedar pintar secara akademis namun juga berkarakter baik. Selama ini, pentingnya pendidikan karakter hanya sebatas retorika, sementara penerapannya belum mewujud menjadi praksis pembelajaran dan pendidikan secara sistematis dan berkesinambungan dari tingkat sekolah dasar sampai pendidikan tinggi. Di tengah makin berkembangnya jaman dan makin rumitnya dimensi sosial yang melibas semua manusia tak terkecuali generasi muda, sudah saatnya ada pendidikan karakter yang lebih mantap di sekolah. Maka diperlukan suatu rintisan yang secara empiris menghadirkan bukti konkret dampak pendidikan karakter di tingkat sekolah dasar. Proposal penelitian ini akan merintis upaya tersebut.

Tujuan penelitian ini adalah (1) mengembangkan sebuah rancangan pembelajaran pengembangan karakter positif yang berdasarkan sastra lokal, (2) menentukan dampak dari rancangan pembelajaran tersebut pada perkembangan karakter anak-anak usia SD, (3) membangun sebuah model pembelajaran karakter yang meliputi kurikulum, materi, dan pendekatan pembelajaran.

Pada akhir tahun pertama ini, ada tiga tujuan yang ingin dicapai: (1) menggali data awal dari sekolah dasar; (2) mengumpulkan koleksi sastra lokal Malang, dan (3) menggali pendapat pakar sastra tentang sastra lokal Malang. Melalui penyebaran angket dan wawancara ketiga tujuan tersebut sudah dicapai. Adapun bukti fisik yang bisa disajikan adalah kumpulan cerita lokal Malang sebagai materi ajar yang didampingi silabus dan rencana pembelajaran. Yang kedua adalah profil pendidikan karakter di sekolah dasar. Yang ketiga adalah pendapat para pakar tentang sastra lokal dan kaitannya dengan pengembangan karakter di bangku sekolah dasar.

(5)

PHB Tahun Pertama 1 Page v

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... i

RINGKASAN EKSEKUTIF ... iii

RINGKASAN ... iv

DAFTAR ISI ... v

BAB I ...9

PENDAHULUAN ...9

1.1 Latar Belakang ...9

1.2 Tujuan Penelitian ... 10

BAB II... 11

TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Penelitian di Luar Negeri ... 11

2.2 Penelitian di Dalam Negeri ... 13

2.3 Implikasi ... 15

BAB III ... 16

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ... 16

3.1 Tujuan Penelitian ... 16

3.2 Manfaat Penelitian ... 16

3.3 Luaran Penelitian ... 17

BAB IV ... 18

METODE PENELITIAN ... 18

4.1 Desain Penelitian ... 18

4.2 Responden Penelitian ... 18

4.3 Penggalian Data ... 18

4.4. Analisis ... 19

BAB V ... 21

HASIL YANG DICAPAI ... 21

5.1 Koleksi Cerita ... 21

Tabel 5.1 Cerita Lokal Malang ... 21

5.2 Profil Pendidikan Karakter di Sekolah ... 22

(6)

PHB Tahun Pertama 1 Page vi

5.3 Cerita-cerita yang Digunakan di Sekolah ... 23

Tabel 5.3 Cerita-Cerita yang Digunakan di Sekolah ... 23

Tabel 5.4 Cerita-cerita yang Diketahui Para Murid (N = 22) ... 24

5.4 Muatan Sastra Lokal dan Potensinya ... 25

5.5 Perancangan Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ... 26

DAFTAR PUSTAKA... 29

LAMPIRAN 1. Koleksi Cerita Lokal Malang ... 31

LAMPIRAN 2. Transkrip Wawancara dengan Guru SD Pagentan 2 ... 38

LAMPIRAN 3. Transkrip Wawancara Dengan Pakar Sastra... 40

Lampiran 4. Silabus Pembelajaran ... 42

(7)

PHB Tahun Pertama 1 Page vii DAFTAR TABEL

Tabel 5.1 Cerita Lokal Malang ……….. 21

Tabel 5.2 Pengembangan Karakter Positif di Sekolah ………. 21

Tabel 5.3 Cerita-cerita Yang Digunakan di Sekolah ………. 22

(8)
(9)

PHB Tahun Pertama 1 Page 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan karakter sudah dicanangkan sebagai salah satu agenda penting dalam

pendidikan nasional. Dunia pun semakin menyadari bahwa keunggulan akal dan rasio harus

diimbangi dengan kepribadian yang baik sehingga peradaban manusia tidak menggelinding

ke arah yang salah. Pendidikan karakter sendiri lazimnya dimulai dan dikembangkan tidak

hanya di tengah keluarga dan lingkungan sosial, namun juga diperkuat oleh pendidikan di

sekolah. Lebih jauh lagi, pendidikan karakter itu harus ditanamkan sejak usia dini sehingga

generasi muda berkembang dengan pondasi karakter positif yang membuatnya kokoh

mengarungi gejolak kehidupan di masa-masa berikutnya.

Tentunya sudah banyak upaya yang dirintis untuk memantapkan pendidikan karakter

di usia dini. Dalam pada itu, jika dicermati lebih dalam, ternyata karya-karya sastra di

berbagai daerah mempunyai kandungan nilai-nilai moral yang sangat potensial untuk

ditanamkan sebagai bagian dari karakter anak didik. Melalui suatu upaya pengintegrasian

sastra lokal dengan kurikulum, dapat diupayakan pengembangan karakter positif melalui

sastra lokal. Sayangnya, sejauh ini belum ada upaya yang cukup sistematis untuk

menentukan seberapa besar dampak efektif dari pengembangan peran sastra lokal dalam

pendidikan karakter ini. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pengembangan upaya

pendidikan karakter melalui sastra lokal yang terentang mulai dari perancangannya,

dampaknya, dan akhirnya model pembelajaran dan materi belajar untuk mencapai tujuan

tersebut.

Dari uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian, yakni

bagaimanakah rancangan pembelajaran pengembangan karakter positif berbasis muatan

sastra lokal harus dirancang, (2) apakah dampak dari rancangan pembelajaran tersebut pada

perkembangan karakter anak-anak SD, dan (3) bagaimanakah model pembelajaran karakter

(10)

PHB Tahun Pertama 1 Page 10 1.2 Tujuan Penelitian

Dari rumusan pertanyaan di atas, dapat dirumuskan tujuan penelitian. Tujuan

penelitian adalah (1) mengembangkan sebuah rancangan pembelajaran pengembangan

karakter positif yang berdasarkan sastra lokal, (2) menentukan dampak dari rancangan

pembelajaran tersebut pada perkembangan karakter anak-anak usia SD, (3) membangun

sebuah model pembelajaran karakter yang meliputi kurikulum, materi, dan pendekatan

(11)

PHB Tahun Pertama 1 Page 11 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pendidikan karakter belakangan ini menjadi topik hangat di kalangan pendidik karena

menawarkan alternatif penanaman nilai-nilai moral pada diri anak didik, mulai dari sekolah

tingkat dasar, menengah, hingga tinggi. Banyak cara bisa dilakukan untuk mengembangkan

karakter positif anak didik di pendidikan formal. Berbagai tindakan instruksional seperti

memeriksa jawaban ujian oleh murid sendiri atau bekerja kelompok bisa merupakan

perwujudan pendidikan karakter (Djiwandono 2014). Salah satu cara dalam pendidikan

karakter adalah melalui media karya sastra, khususnya sastra lisan.

Teeuw (1994) menulis bahwa kelisanan (baca: sastra lisan) dalam budaya tradisional

membangun rasa kolektivitas dan nilai sosial yang kuat di antara para anggotanya. Dalam

masyarakat semacam itu, tukang cerita (sastrawan lisan) punya peran mahapenting sebab di

dalam ceritanya tersimpan informasi dan sistem nilai yang relevan bagi kelangsungan dan

keunikan suatu masyarakat. Membawa sastra lisan ke tataran tertulis dan mengajarkannya

kepada generasi muda, meminjam penalaran Walter Ong (1992) adalah sebuah langkah ke

arah modernisme, yang ditandai dengan keberaksaraan dalam rupa kamus, ensiklopedia,

indeks, dan sarana-sarana pengajaran lain dari karya sastra lisan.

Saat ini, sudah cukup banyak penelitian maupun publikasi mengenai bidang ini, baik

di dalam maupun di luar negeri.

2.1 Penelitian di Luar Negeri

Di lingkup internasional, hasil penelitian dari beberapa akademisi layak disoroti di

sini. Lennard (2007), misalnya, mendalami novel-novel Harry Potter karya J.K Rowling

sebagai upaya pencarian nilai-nilai yang bisa diperkenalkan kepada kalangan muda, terutama

anak-anak, sebagaimana direpresentasikan oleh seorang bocah penyihir bernama Harry

Potter.

Dalam penelitiannya di Australia, Lennard (2007: iii) menemukan bahwa buku seri

(12)

PHB Tahun Pertama 1 Page 12

karakter positif bagi kalangan muda. Secara khusus, Lennard menyorot tentang internalisasi

nilai-nilai religius kristiani. Dengan pertimbangan popularitas dari buku seri ini, peneliti

menunjukkan bahwa para tokoh utamanya bisa menjadi panutan bagi kalangan muda dalam

menentukan pilihan hidup serta penghayatan keyakinan kristiani mereka. Lebih lanjut,

Lennard mengemukakan bahwa sesungguhnya nilai-nilai dalam buku seri ini tidak

bertentangan dengan nilai umum masyarakat Australia. Apabila buku-buku tersebut dipakai

sebagai materi pengajaran, dan para guru menggunakan metode atau teknik pengajaran yang tepat, buku Harry Potter akan membantu pembacanya memiliki ―higher-order thinking skills‖ (secara umum dapat didefinisikan sebagai kemampuan berpikir secara logis, koheren, dan

dengan abstraksi yang baik).

Selain Lennard, seorang peneliti dari University of Ado-Ekiti Nigeria, Oyinloye

(2008), mengkaji pengaruh pengajaran sastra berbahasa Inggris terhadap nilai-nilai kebenaran

dan kapasitas menghadapi krisis di Nigeria. Dengan memberikan dua perlakuan berbeda

terhadap dua kelompok siswa tingkat menengah di institusinya, Oyinloye berusaha untuk

mengetahui perbedaan perilaku kelompok yang diberi materi kesusastraan dan yang tidak.

Oyinloye juga menginvestigasi apakah siswa yang memperoleh materi kesusastraan akan

memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengidentifikasi karakter positif dan nilai-nilai

kebenaran sebagai kontribusi positif terhadap perkembangan Nigeria bila dibandingkan

dengan kelompok siswa yang tidak dipapar pada materi sastra. Tujuan utama penelitian ini

adalah penanggulangan dampak negatif dari berbagai krisis yang terjadi di Nigeria.

Penelitian Oyinloye menemukan bahwa para siswa yang memperoleh materi sastra

bisa lebih memberi kontribusi terhadap perkembangan Nigeria secara umum. Ini dikarenakan

karya-karya sastra yang diberikan menawarkan banyak nilai moral. Ditulis oleh para penulis

terkenal dan pemenang Nobel seperti Wole Soyinka dan Chinua Achebe, karya sastra yang

diajarkan kepada siswa tersebut mengandung begitu banyak hal positif, seperti budaya,

kehidupan sosial, kehidupan politik dan berbagai konsekuensi dari interaksi antarmanusia.

Dengan demikian, mereka akan selalu terekspos pada kebutuhan untuk senantiasa berperilaku

positif, mempertahankan nilai-nilai kebenaran, serta rasa hormat kepada yang lebih senior.

Penelitian lain tentang pemanfaatan karya sastra lokal sebagai materi ajar penanaman

nilai-nilai tradisional dilaksanakan di Korea oleh Guang Lea Lee. Lee (2011) mengemukakan

bahwa upaya penanaman nilai-nilai moral dan nilai-nilai religius pada anak-anak usia

prasekolah dapat dilakukan melalui budaya dan sastra lokal Korea. Dengan menerapkan

berbagai metode, semisal membaca dan berpikir reflektif, diskusi, membandingkan dongeng

(13)

PHB Tahun Pertama 1 Page 13

serta merespon dengan menggambar dan menulis, Lee menemukan bahwa cerita-cerita rakyat

Korea adalah bahan ajar yang tepat untuk penanaman nilai-nilai moral, kebijaksanaan, dan

perilaku baik yang diwariskan oleh nenek moyang bangsa Korea bagi anak-anak usia

prasekolah.

2.2 Penelitian di Dalam Negeri

Di lingkup nasional, ada beberapa peneliti yang juga berupaya mencari model-model

pembelajaran yang tepat untuk mengembangkan karakter positif bagi siswa-siswanya. Sauri

dan Rahmat (2007) telah mengeksplorasi pengembangan model santun berbahasa sebagai

strategi penanggulangan kemerosotan moral di kalangan pelajar perkotaan. Kedua peneliti

tersebut berangkat dari asumsi bahwa dinamika dan lingkungan berpengaruh pada

perkembangan perilaku remaja dan lembaga pendidikan di perkotaan. Dengan menggunakan

pendekatan naturalistik, penelitian tersebut menemukan bahwa sikap berbahasa siswa

dipengaruhi oleh lawan bicara. Dengan kata lain, kesantunan berbahasa hanya dilaksanakan

ketika mereka berbicara dengan kepala sekolah, guru atau orang yang lebih tua.

Sauri dan Nurdin (2008) juga meneliti tentang pengembangan model pendidikan nilai

berbasis sekolah, keluarga, dan masyarakat. Menggunakan dua jenis pendekatan (statistic

inferensial sebagai prosedur kuantitatif, serta teknik angket dan wawancara mendalam untuk

prosedur kualitatif), mereka menghasilkan luaran yang mencakup (1) model pendidikan nilai

dan personalisasi nilai berbasis lingkungan pendidikan formal (sekolah), pendidikan informal

(keluarga), dan pendidikan nonformal (masyarakat), (2) metodologi pengembangan

pendidikan nilai yang dapat digunakan guru di lingkungan sekolah, orang tua dalam

lingkungan keluarga, dan tokoh masyarakat dalam lingkungan masyarakat, serta (3) model

konseptual pendidikan nilai yang efektif untuk pendidikan dalam lingkungan sekolah,

keluarga, dan masyarakat.

Meyakini bahwa kekuatan global telah merasuki gaya hidup masyarakat Indonesia,

termasuk para siswa SMP, Mimi Mulyani (2010) menelaah pengembangan model

pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia menggunakan media audio visual berbasis kearifan

lokal yang berorientasi pada pembentukan kepribadian anak SMP. Masalah sentral penelitian

(14)

PHB Tahun Pertama 1 Page 14

melalui media audio visual berbasis kearifan budaya lokal dalam upaya meningkatkan

kemampuan berbahasa dan membentuk kepribadian siswa SMP. Berbasis metode R and D

(Research and Development) dan berdasarkan hasil observasi, wawancara, dan jurnal untuk

guru dan siswa, bisa diperoleh masukan bahwa penggunaan media pembelajaran audio-visual

berbasis kearifan lokal dalam pembelajaran bahasa Indonesia sangat bermanfaat. Para siswa

berpendapat bahwa pembelajaran menjadi tidak monoton, menyenangkan, lebih bervariasi

sehingga minat, kreativitas, keaktifan dan kompetensi berbahasa mereka bisa meningkat.

Selain itu, kepribadian siswa mengalami perubahan, yakni menjadi lebih mandiri, cinta tanah

air, toleran, disiplin, kerja keras, jujur, kreatif, menghargai prestasi, membantu teman yang

mengalami kesulitan, dan bisa menjadi pendengar yang baik.

Pentingnya pemanfaatan budaya lokal, dalam hal ini sastra lisan Jawa, dalam

penanaman nilai dan pendidikan karakter anak didik, juga diteliti oleh Dwi Sulistyarini

(2011). Dalam makalahnya yang disampaikan di Kongres Bahasa Jawa V, Sulistyarini menyatakan bahwa cerita rakyat, sebagai bagian dari budaya lisan, ―menyimpan sejumlah sistem informasi sistem budaya seperti filosofi, nilai, norma dan perilaku masyarakat.‖

Karena alasan itu, cerita rakyat memiliki kedudukan dan fungsi yang sangat penting dalam

masyarakat pendukungnya. Masyarakat yang tidak memiliki sistem budaya yang kuat akan

tergerus dalam arus globalisasi, menjadi masyarakat yang kalah dan selalu merasa inferior.

Pada akhirnya, masyarakat tersebut akan kehilangan karakternya dan menjadi kelompok yang

tidak berbeda dan tidak unik. Demikian pentingnya posisi cerita rakyat—dan tradisi

lisannya—hingga ia bisa menjadi salah satu penanda bila ada tanda perubahan dalam suatu

masyarakat. Di sisi lain, cerita rakyat, sebagaimana dikutip Sulistyarini dari Danandjaja

(1986), memiliki kegunaan kolektif, yakni sebagai alat pendidikan, penglipur lara, protes

sosial, dan proyeksi keinginan terpendam. Sulistyarini, karenanya, berkesimpulan bahwa

untuk menanamkan nilai-nilai luhur dan membangun serta mempertahankan karakter suatu

masyarakat, cerita rakyat atau sastra lisan merupakan sebuah alat yang baik.

Wurianto (2011) menulis bahwa karakter manusia dibentuk melalui penanaman nilai

melalui berbagai media dan metode. Salah satu metode yang potensial untuk membangun

karakter adalah melalui sastra. Sastra adalah wahana menuangkan kearifan suatu masyarakat,

yang diperoleh melalui proses yang panjang dan menyakitkan, dan karenanya bisa dijadikan

pedoman tingkah laku generasi muda. Wurianto menyebut tentang Sastra Jawa klasik sebagai

puncak kearifan lokal masyarakat Jawa. Tetapi, di luar sastra klasik, diakui ada banyak ragam

(15)

PHB Tahun Pertama 1 Page 15

(folklore). Sarana yang disebut terakhir ini selain efektif juga terkesan tidak menggurui

sehingga bisa dimanfaatkan untuk menanamkan nilai kepada anak-anak secara tidak disadari.

2.3 Implikasi

Dari beberapa penelitian yang disebut di atas bisa ditarik satu kesimpulan, yakni

bahwa pemanfaatan sastra, baik tertulis maupun lisan, baik sastra klasik dan aras utama

maupun sastra populer, untuk pengembangan karakter siswa sekolah, baik di tingkat dasar

maupun menengah, bukanlah barang baru. Model pembelajaran siswa SMP yang

dikembangkan oleh Mimi Mulyani melalui pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia

menggunakan media audio visual berbasis kearifan lokal yang berorientasi pada

pembentukan kepribadian anak SMP adalah contohnya. Akan tetapi untuk tingkat siswa

Sekolah Dasar, model serupa sejauh ini belum dikembangkan dengan serius. Siswa Sekolah

Dasar tentunya memiliki kebutuhan dan taraf perkembangan yang berbeda dari siswa SMP

atau SMA. Mereka perlu pendekatan yang khas. Usia Sekolah Dasar juga merupakan usia

yang paling baik untuk pengembangan karakter, sehingga tidak salah jika pendidik sekaligus

sastrawan besar Indonesia, mendiang Y.B. Mangunwijaya memandang bahwa pendidikan

dasar adalah tahap pendidikan terpenting dalam perkembagan anak. Pemanfaatan media

sastra, khususnya sastra lisan yang selama ini belum banyak digali, untuk pengembangan

karakter perlu diteliti, dikembangkan dan diujicobakan secara serius. Inilah yang mendasari

(16)

PHB Tahun Pertama 1 Page 16

BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mencapai tujuan sebagai berikut:

1. Mengembangkan sebuah rancangan pembelajaran pengembangan karakter positif

yang berdasarkan sastra lokal;

2. Menentukan dampak dari rancangan pembelajaran tersebut pada perkembangan

karakter anak-anak usia SD,

3. Membangun sebuah model pembelajaran karakter yang meliputi kurikulum, materi,

dan pendekatan pembelajaran.

3.2 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menawarkan sebuah model pengembangan karakter anak didik di usia sekolah Dasar

yang berbasis sastra lokal;

2. Memberikan fungsi penyadaran kepada para pendidik di tingkat Sekolah Dasar pada

khususnya dan pendidik di berbagai jenjang pendidikan pada umumnya tentang

potensi sastra lokal dalam mengembangkan pendidikan karakter;

3. Sebagai rujukan untuk pola-pola pengembangan karakter anak didik yang dilakukan

secara kreatif, selaras dengan minat dan tahap usia anak didik, dan menonjolkan

(17)

PHB Tahun Pertama 1 Page 17 3.3 Luaran Penelitian

Luaran penelitian berupa:

1. Koleksi cerita lokal Malang yang berfungsi sebagai materi ajar.

2. Silabus pembelajaran yang disertai juga dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

(RPP) yang siap diujicobakan pada tahun kedua.

3. Artikel untuk jurnal ilmiah terakreditasi nasional, yakni jurnal LITERA dari

Universitas Negeri Yogyakarta, dan satu makalah untuk seminar Paramasastra di

Unesa tanggal 1 November 2014. Sampai saat laporan ini dibuat sudah tersusun draft

(18)

PHB Tahun Pertama 1 Page 18

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Desain penelitian adalah developmental research (Ellis dan Levy, 2010) dengan

sebagian porsi kegiatan menggunakan pendekatan Fenomenologi (Bogdan dan Biklen, 1982;

Lofland dan Lofland, 1984). Desain ini terdiri dari empat tahap utama yang bisa bergulir

dalam sebuah siklus, yakni pengembangan, tahap uji coba, evaluasi, dan penetapan model

akhir.

Pada sebagian besar dari tahun pertama ini (Februari – September 2014) kegiatan

utama yang dilakukan adalah menggali baseline data dari sekolah yang menjadi responden.

Selain itu, dilakukan juga wawancara dengan para pakar atau pemerhati sastra dan

penyusunan silabus dan RPP.

4.2 Responden Penelitian

Populasi penelitian adalah semua Sekolah Dasar di wilayah Kabupaten Malang. Dari

semua sekolah itu, dilakukan random sampling untuk mendapatkan 3 sekolah, yakni SDN

Pagentan di Singosari, SDN Karangwidoro II, dan SD Berita Hidup yang semuanya berlokasi

di Kabupaten dan Kota Malang. Responden penelitian adalah 4 orang guru kelas dari SDN

Pagentan, dan murid-murid kelas 4 – 6 dari SD tersebut. Angket disebarkan kepada mereka

disusul dengan wawancara semi terstruktur. Pada bulan Juli ini juga dilakukan wawancara

dan penyebaran angket kepada guru dan murid di dua SDN yang lainnya.

Responden dari kategori pakar sastra ada 3 orang, yang semuanya adalah dosen

Universitas Negeri Malang.

4.3 Penggalian Data

Tahap pengembangan meliputi beberapa langkah yang sifatnya adalah mengetahui

kondisi awal komunitas sebelum pembelajaran karakter ini dilakukan. Penggalian baseline

(19)

PHB Tahun Pertama 1 Page 19

bagaimana pendidikan karakter dilakukan di sekolah-sekolah dasar, dan apakah ada

cerita-cerita lokal yang digunakan dalam mendidik karakter para siswa. .

Termasuk dalam tahap ini adalah mengumpulkan beberapa cerita rakyat daerah

Malang yang nantinya akan berakumulasi menjadi materi cerita sebagai basis materi ajar.

Penggalian data baseline dilakukan di SDN Pagentan 2, Singosari, Malang. Tujuan

kedatangan pertama adalah meminta ijin kepada Kepala Sekolah sekaligus menitipkan angket

untuk para guru. Angket menanyakan kepada mereka (1) bagaimanakah profil anak yang

berkarakter positif; (2) apakah yang dilakukan oleh pihak sekolah dalam mengembangkan

karakter anak didik, dan (3) apakah ada cerita lokal yang pernah disampaikan kepada

anak-anak dalam upaya mengembangkan karakter positif mereka.

Kedatangan kedua di sekolah ini adalah mewawancarai para guru tentang hal-hal

yang sama yang telah ditanyakan dalam angket, sekaligus menitipkan angket-angket yang

ditujukan untuk para murid dari kelas 4 – 6.

Dalam pada itu, penggalian data juga dilakukan melalui wawancara dengan 3 orang

pakar sastra dari Universitas Negeri Malang. Tujuan wawancara adalah menggali definisi

sastra dan khususnya potensi sastra lokal Malang sebagai bahan dasar pengembangan

karakter murid SD. Dari salah seorang di antaranya didapat pula koleksi cerita lokal Malang

yang kemudian diolah menjadi materi pembelajaran.

4.4. Analisis

Pada tahap ini sebagian besar data yang diperoleh berupa data kualitatif, yaitu berupa

data verbal yang terekam dalam wawancara maupun angket. Koding dilakukan untuk

menganalisis data verbal tersebut. Ada tiga jenis coding yang dilakukan sebagaimana yang

digagas oleh Miles dan Huberman (1994): (1) open coding, (2) axial coding, dan (3)

thematic coding.

Untuk menjamin keterandalan analisis data, dilakukan triangulasi peneliti. Di tahap

ini dipakai rumus Keajegan Antar Pengkode (Interrater Reliability) yang dibuat oleh Murphy

(20)

PHB Tahun Pertama 1 Page 20 (Jumlah data yang dikode sama oleh A & E + jumlah data yang dikode sama oleh A & N / 2) / jumlah data yang dikode sama oleh A

Dimana A, E, dan N adalah ketiga pengkode/peneliti (si A biasanya adalah pengkode utama

atau yang dianggap paling cakap atau berpengalaman). Koefisien hasilnya berkisar dari 0

sampai 1. Semakin mendekati angka 1, semakin tinggi kesepakatan antar peneliti/pengkode,

sehingga dapat disimpulkan semakin ajeg (reliable) hasil pengkodean tersebut. Umumnya

koefisien 0.7 ke atas dapat digolongkan tinggi.

Keajegan antar peneliti untuk pengkodean cerita yang digunakan oleh guru dan murid

adalah 0.882, dan untuk pengkodean cara pengembangan karakter di sekolah adalah 0.910.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hasil analisis ini sangat dapat diandalkan. Ketiga

(21)

PHB Tahun Pertama 1 Page 21

BAB V

HASIL YANG DICAPAI

Sampai pada pertengahan tahun pertama ini, ada setidaknya 3 hasil utama yang telah

dicapai. Yang pertama adalah koleksi cerita yang berhasil dikumpulkan lewat studi dokumen;

yang kedua adalah gambaran umum tentang pendidikan karakter di sekolah; yang ketiga

adalah silabus dan RPP.

5.1 Koleksi Cerita

Melalui studi dokumen lewat penjelajahan di Internet dan penelusuran

sumber-sumber lainnya serta wawancara dengan seorang pakar dan penulis sastra, dapat dikumpulkan

beberapa cerita sebagai berikut yang dapat dianggap sebagai muatan sastra lokal Malang:

Tabel 5.1 Cerita Lokal Malang

No Judul Cerita

1 Coban Rondo

2 Ken Arok

3 Melawan Buto Ijo

4 Asal Usul Nama Malang

5 Aji Saka

6 Legenda Gunung Arjuna

7 Jaka Unthuk

8 Empu Supa

9 Bagus Setya dan Bagus Tuhu

10 Bambang Durjana

(22)

PHB Tahun Pertama 1 Page 22 5.2 Profil Pendidikan Karakter di Sekolah

Melalui wawancara dan angket dengan para guru SDN Pagentan, Singosari, diperoleh

gambaran umum tentang pendidikan karakter di sekolah tersebut. Setelah melalui

pengkodean transkrip wawancara dan angket open-ended, didapat beberapa cara yang

umumnya dilakukan pihak sekolah dalam melakukan pembentukan karakter positif. Tabel di

bawah ini meringkas cara tersebut dan jumlah guru yang mengatakan telah melakukannya:

Tabel 5.2 Pengembangan Karakter Positif di Sekolah

No Cara pembinaan karakter Jumlah responden (%)

1. Guru sebagai model 33.33

2. Penanaman nilai lewat agama 16.67

3. Menunjukkan perilaku baik 50

4. Menceritakan dongeng 33.33

5. Berceramah 16.67

6. Menghadapkan ke Kepala Sekolah 33.33

7. Langsung menindak 33.33

8. Meminta pendapat anak 16.67

9. Lewat kegiatan bersama (senam, sholat,

menyanyi, memberishkan halaman)

16.67

10. Memakai kelembutan 16.67

11. Kerja kelompok 16.67

Tampak dari hasil di atas bahwa sebagian besar guru memilih untuk menunjukkan

perilaku baik sebagai teladan untuk para muridnya. Adapun cerita/dongeng ternyata tidak

banyak dipakai, sekalipun dari pengakuan mereka yang memakai ditemukan cukup beragam

(23)

PHB Tahun Pertama 1 Page 23

Pada tanggal 8 Mei 2014 dilakukan wawancara dengan 4 orang guru SDN Pagentan 2.

Wawancara semi-terstruktur ini bertujuan menggali pendapat mereka tentang bagaimana

sekolah mendidik karakter para murid, cerita-cerita apa yang sudah pernah disampaikan

kepada para murid sebagai upaya pengembangan karakter positifnya, dan apa yang harus

dilakukan untuk menjadikan cerita-cerita tersebut sebagai materi pengembangan karakter.

Inti sari dari wawancara dengan ketiga guru tersebut dapat diringkas sebagai berikut:

1. Pendidikan karakter diajarkan melalui beberapa kebiasaan, seperti menyapu halaman,

senam, atau upacara.

2. Pendidikan karakter juga dilakukan melalui keteladanan guru dan teguran langsung.

3. Beberapa cerita yang bisa digunakan sebagai materi pendidikan karakter: Malin

Kundang, Thomas Alva Edison, Ken Arok dan Ken Dedes, Coban Rondo.

4. Dalam kaitannya dengan cerita-cerita, pendidikan karakter sebaiknya ditanamkan

melalui pementasan-pementasan, atau bermain peran.

5. Karakter baik yang ditanamkan meliputi menjaga kebersihan, hormat pada orang tua,

tanggung jawab, teladan dari pemimpin, dan kerukunan sesama keluarga.

Adapun transkrip yang sudah diolah seperlunya disajikan sebagai Lampiran 2.

5.3 Cerita-cerita yang Digunakan di Sekolah

Temuan berikutnya yang didapat dari hasil wawancara dan angket adalah cerita-cerita

yang disampaikan oleh para guru dalam upaya mereka mengembangkan karakter positif anak

didiknya. Berikut ini disajikan tabel yang memuat cerita-cerita yang biasanya mereka pakai,

dan jumlah responden yang mengaku menggunakannya:

Tabel 5.3 Cerita-Cerita yang Digunakan di Sekolah

No Cerita Jumlah responden (%)

1. Malin Kundang 100

(24)

PHB Tahun Pertama 1 Page 24

No Cerita Jumlah responden (%)

3. Singosari 50

4. Bawang Merah Bawang Putih 33.33

5. Sangkuriang/Tangkuban Prahu 33.33

6. Raden Ajeng Kartini 16.67

7. Roro Jonggrang 16.67

8. Sunan Kalijaga 16.67

9. Putri Cinderella 16.67

10. Kejujuran Pak Lurus 16.67

11. Nabi Muhammad 16.67

12. Terjadinya Banyuwangi 16.67

13. Thomas A. Edison 16.67

Tabel di atas menunjukkan bahwa cerita yang paling sering dipakai adalah bukan yang

berlatar budaya Malang, namun merupakan cerita yang umum dikenal di Nusantara. Cerita

Singosari cukup banyak dipakai (separuh dari jumlah responden) untuk mengembangkan

karakter positif.

Tabel 5.4 berikut ini meringkas cerita-cerita yang menurut para murid SD sering

diceritakan di sekolah oleh guru-gurunya:

Tabel 5.4 Cerita-cerita yang Diketahui Para Murid (N = 22)

No Cerita Jumlah responden (%)

1 Singosari 59.09

2 Ken Dedes dan Ken Arok 45.45

3 Majapahit 13.64

4 Candi Songgoriti 4.55

5 Candi Sumberawan 4.55

(25)

PHB Tahun Pertama 1 Page 25

Tabel di atas menunjukkan popularitas cerita Singosari dan Ken Dedes di kalangan

anak-anak SD. Namun menarik untuk mengetahui bahwa jarang sekali kepada mereka

ditunjukkan pesan moral dari cerita-cerita tersebut. Bahkan, hampir sebagian besar responden

ini mengingat bahwa cerita tentang Ken Dedes adalah hal Ken Arok merebut istri Tunggul

Ametung dengan cara membunuhnya.

5.4 Muatan Sastra Lokal dan Potensinya

Dari para pakar sastra didapat sebuah gambaran lebih komprehensif tentang sastra,

khususnya sastra lokal Malang. Wawancara dengan Drs. Amri mengungkapkan beberapa

aspek kesusastraan. Pertama, yang disebut sastra sebenarnya harus dimaknai sebagai sebuah

karya tutur (lisan). Kedua, karya sastra ditentukan dari bahasa yang dipakainya. Jika sebuah

karya diceritakan dalam bahasa Indonesia, maka karya itu disebut karya sastra Indonesia.

Maka karya sastra Malang,apapun bentuknya, jika diceritakan dalam bahasa Jawa dialek

Malang maka dia menjadi karya sastra lokal Malang.

Dalam hubungannya dengan teknik pembelajaran yang tepat untuk mendidik karakter,

pakar yang diwawancarai ini menyebutkan teknik pembelajaran berupa permainan yang

cocok untuk anak-anak usia Sekolah Dasar. Muatan sastra lokal dapat dikemas dalam bentuk

permainan atau main peran yang kemudian bisa dimainkan oleh anak-anak, sedemikian

sehingga terjadi internalisasi karakter positif ke dalam diri mereka.

Inti sari dari hasil wawancara dengan Bapak Drs. Amri adalah sebagai berikut:

1. Cerita-cerita lokal baik sekali untuk dijadikan materi pendidikan karakter karena

bersumber dari budaya Indonesia.

2. Cerita di sekitar kawasan Malang yang bisa diangkat sebagai materi penddikan

karakter adalah cerita-cerita di kawasan Singosari, Tengger, dan Coban Rondo yang

berkaitan dg Sedudo, Nganjuk. Juga cerita-cerita tentang Gajayana.

3. Ekspresi sastra khas Malang muncul dalam bentuk cerita Panji dalam bentuk wayang

Topeng atau Wayang Gandrung.

4. Sastra per definisi adalah karya tulis, padahal bisa berakar dari tradisi lisan. Jenis

karya sastra ditentukan oleh bahasanya.

5. Pada dasarnya sebagian besar sastra lokal memungkinkan untuk dijadikan materi

(26)

PHB Tahun Pertama 1 Page 26

cerita rakyat yang punya kerangka cerita, lagu-lagu tradisional seperti ―Bapak Pucung‖ atau ―Megatruh‖ pun bisa diangkat sebagai materi pengembangan karakter. 6. Penyajian muatan sastra lokal lebih baik dibuat bervariasi; bisa berupa

permainan/games atau nembang bersama, mengingat dunia anak-anak erat sekali

dengan bermain-main. Mereka akan lebih mudah menerima karakter positif melalui

aktivitas seperti itu karena tidak membosankan, tidak harus berpikir terlalu berat

untuk mencernanya, sehingga akan lebih menyenangkan.

7. Cerita yang memuat sisi positif dan sisi negatif bisa digunakan sebagai materi, dengan

penekanan pada karakter positif yang ingin ditonjolkan.

Transkrip wawancara dapat dilihat pada Lampiran 3.

5.5 Perancangan Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

Tahap berikutnya setelah data awal terkumpul dan konsep sastra lokal sudah

terdefinisikan adalah merancang materi ajar, silabus, dan rencana pelaksanaan pembelajaran

(RPP). Tahap yang dilakukan sebelum merancang sebuah silabus adalah mengkaji literatur

tentang perancangan sebuah silabus. Nunan (1988) mengartikan penyusunan silabus sebagai

tindakan memilih dan mengurutkan isi pembelajaran. Ini berbeda dengan metode, yang

merupakan seleksi dan pengorganisasian kegiatan belajar. Pada dasarnya, sebuah silabus

dianggap baik jika pembuatannya mempertimbangkan tiga aspek utama, yakni kebutuhan

pemelajar, proses belajar, dan apa yang mereka akan lakukan di dunia sesungguhnya. Dalam

hal ini dibedakan pula apa yang disebut kegiatan pedagogis dan kegiatan aktual. Yang

pertama adalah kegiatan dalam konteks pendidikan dan pembelajaran formal di sekolah,

sementara kegiatan aktual adalah kegiatan yang dilakukan di dunia nyata. Menurut

Widdowson (1987), kegiatan pedagogis mempunyai potensi membentuk kegiatan aktual, atau

setidaknya menjadi bekal mental yang bisa dirujuk kembali ketika terlibat dalam kegiatan

aktual.

Nunan (1988) membagi silabus menjadi dua jenis besar: silabus berorientasi produk,

dan silabus berorientasi proses. Silabus berorientasi produk meliputi silabus analitis dan

sintetis, sementara silabus berorientasi proses meliputi silabus prosedural, silabus task-based,

(27)

PHB Tahun Pertama 1 Page 27

Dalam sebuah silabus prosedural, isi ditentukan oleh apa yang harus dilakukan siswa

di dunia sesungguhnya. Misalnya, jika siswa sedang diarahkan untuk menunjukkan perilaku

sopan di dunia sehari-hari, maka silabus ini akan melibatkan mereka dalam beberapa

kegiatan yang bertujuan mengarahkan atau membentuk perilaku sopan sang siswa.

Dalam aspek kegiatan pembelajaran (task), Candlin (1987) memberikan rambu-rambu

tentang kriteria kegiatan yang baik:

1. Kegiatan itu berpijak pada kebutuhan atau perilaku yang dikehendaki di dunia

sesungguhnya.

2. Kegiatan tersebut cukup luwes untuk mengakomodasi cara, tingkat partisipasi, dan

sarana yang dipakai dalam pembelajaran.

3. Kegiatan tersebut mempertimbangkan juga karakteristik dan kontribusi peserta didik.

4. Kegiatan tersebut cukup menantang, namun tidak mengancam.

5. Kegiatan tersebut terbuka terhadap monitoring dan evaluasi.

Silabus yang dirancang dalam studi ini adalah silabus prosedural dengan menekankan pada

aspek isi pembelajaran dan kegiatan belajar. Kedua aspek ini ditentukan dengan berpijak

pada kebutuhan belajar siswa (termasuk gaya belajar mereka) dan tujuan akhir pembelajaran,

yakni melekatnya karakter positif pada siswa.

Pijakan dasar dari keseluruhan upaya dalam studi ini adalah bahwa muatan sastra atau

cerita dapat digunakan untuk mengembangkan karakter positif siswa. Sarumpaet (2009)

menyatakan bahwa terdapat banyak ragam sastra anak, salah satunya adalah cerita

tradisional. Pernyataan ini sungguh tepat dengan studi pengembangan kami yang memang

bertumpu pada muatan sastra lokal. Hoyt (2002) menegaskan bahwa dinamika sebuah cerita

dan jatuh bangunnya tokoh-tokoh didalamnya akan meresap ke dalam batin sang siswa yang

membacanya. Dengan bantuan guru dan orang tua, siswa dapat merefeleksikan pengalaman

para tokoh dan meniru teladannya.

Penyusunan silabus juga didasarkan pada taksonomi belajar yang digagas oleh Bloom

(2001). Kegiatan belajar akan bergerak dari tingkat pemahaman sampai setidaknya tingkat

penerapan. Sementara itu juga sangat disadari bahwa pembentukan karakter bukan

merupakan hal yang seketika; karakter positif akan terbentuk dalam kurun waktu yang cukup

(28)

PHB Tahun Pertama 1 Page 28

mendeteksi potensi karakter siswa yang akan berkembang setelah mereka menjalani

rangkaian silabus ini.

Silabus yang dirancang dalam penelitian ini menggabungkan ciri silabus dengan

metode, dalam arti silabus tersebut memuat bukan hanya urutan materi belajar namun juga

bentuk-bentuk kegiatannya. Karena sasaran pembelajaran adalah siswa-siswa SD kelas 4 – 6

yang masih bisa dikategorikan sebagai anak-anak, maka silabus akan memuat kegiatan

pembelajaran yang sesuai dengan hakikat pribadi seorang anak. Menurut Winarni (2014),

pembelajaran untuk usia ini bisa meliputi deklamasi, pementasan drama, dan apresiasi drama.

Unsur-unsur inilah yang juga disajikan dalam silabus pembelajaran.

Sebagai perwujudan dari maksud untuk membangun sebuah pembelajaran dengan

memasukkan unsur permainan dan drama, silabus dirancang dengan mengandung ciri-ciri

yang disebutkan oleh Karen dan Ackerman (2007, hal 1) sebagai berikut:

1. Identifikasi. Siswa diajak untuk mengidentifikasikan dirinya seperti karakter utama

dalam cerita.

2. Keterlibatan. Siswa mengaitkan perasaannya dengan situasi dan tokoh-tokoh utama

dalam cerita.

3. Wawasan ke dalam (insight). Siswa menganalisis tokoh utama dan situasinya serta

mengeksplorasi perilaku-perilaku terpuji untuk menggantikan perilaku-perilaku yang

kurang terpuji.

Silabus yang disusun memberi penekanan pada beberapa aspek tertentu untuk setiap

tahap pembelajaran, yakni (1) memahami cerita, (2) menemukan karakter baik dalam cerita,

(3) memilah tokoh sesuai karakternya, (4) menyusun skrip drama dengan penekanan pada

karakter baik, dan (5) mewujudkan karakter dalam perilaku sehari-hari. Maka dapat dilihat

pada Lampiran 4 dan 5 bagaimana kegiatan belajar yang disusun senantiasa menekankan

pada berulangnya kelima aspek tersebut di atas.

Tapi harus diakui bahwa pendidikan karakter tidak bisa memunculkan hasil yang

seketika. Terlalu berlebihan nampaknya mengharapkan anak didik bisa seketika mengubah

karakternya menjadi lebih baik setelah melakukan semua kegiatan pembelajaran yang

tertuang dalam silabus. Jadi, buah yang maksimum bisa dihasilkan adalah sebuah rancangan

pembelajaran pengembangan karakter yang didalamnya memuat silabus dan materi muatan

(29)

PHB Tahun Pertama 1 Page 29

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, L. W. & Krathwohl, D. R. (2001). A Taxonomy for learning, teaching and

assessing: a revision of Bloom’s Taxonomy. New York. Longman Publishing.

Bogdan , R. C., & Biklen, S. K. (1982). Qualitative research for education: Introduction to theory and methods.

Candlin, C. 1987. Towards taks-based language learning. Dalam Candlin, C. dan Murphy, D (editor).

Djiwandono, P. I. (2014) Membentuk karakter positif melalui praksis pembelajaran. Dalam Sunardi, F. X. Pendidikan karakter di perguruan tinggi. Ma Chung Press. hal 102 – 110.

Ellis, T. J., dan Levy, Y. (2010). A guide for novice researchers: design and development research. Proceeding of Informing Science & IT Education Conference 2010. Diunduh 5 Februari 2013 dari http://proceedings.informingscience.org/InSITE2010/

InSITE10p107-118Ellis725.pdf

Hoyt, E. 2002. Developing character through literature: A teacher resource book. ERIC Clearinghouse on Reading, English and Communication. Diunduh 12 Juli 2014 dari

www.gpo.gov/fdsys/pkg/ERIC-ED464362/pdf/ERIC-ED464362.pdf

Krathwohl, D.R., Bloom, B.S., and Masia, B.B. (1964). Taxonomy of educational objectives: Handbook II: Affective domain. New York: David McKay Co.

Lee, G.L. (2011). Best practices of teaching traditional beliefs using Korean folk literature. Diunduh 30 Januari 2013. Procedia: Social and Behavioral Sciences,

http://www.elsevier.com/locate/procedia.

Lennard, A. (2007). Harry Potter & the Quest for Values: How the boy wizard can assist young people in making choices. A thesis. http://dlibrary.acu.edu.au/

digitaltheses/public/adtacuvp.149.26072007/02whole.pdf.

Lofland, J., & Lofland, L. H. (1984) Analyzing social settings: a guide to qualitative observation and analysis. Woordsowrth Publishing.

Miles, M. B. & Huberman, A . M. (1994). Qualitative data analysis. SAGE Publications.

(30)

PHB Tahun Pertama 1 Page 30

Januari 2013. http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog /byld/269992.

Nugrahani, F. (2011). Penanaman nilai-nilai kearifan lokal melalui pembelajaran unggah-ungguhing basa dalam upaya pembentukan karakter generasi muda. Makalah dalam seminar nasional Pengembangan Pendidikan Karakter Bangsa Berbasis Kearifan Lokal di Universitas Muhammadiyah Malang 30 April 2011. Diunduh 26 Juli 2012 dari

http://www.mpbi-pascaunivet.ac.id/nilaikearifan.pdf.

Nunan, D. 1988. Syllabus design. Oxford University Press.

Oyinloye, G.O. (2008). The Influence of the Teaching of Literature in English on the Values, Virtues and Development of Crisis in Nigeria. The Social Sciences 3 (5): 351-358, 2008. Medwel Journals.

Parker, K. L. dan Ackerman, B. 2007. Character education in literature-based instruction.

Faculty Publications and Presentations Liberty University. Diunduh 11 Juli 2014 dari

http://digitalcommons.liberty.edu/educ_fac_pubs/33

Sarumpaet, R. K. T. 2009. Pedoman penelitian sastra anak. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Sauri, S. & Nurdin, D. (2008) Pengembangan Model Pendidikan Nilai Berbasis Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat. Laporan Penelitian. Diunduh 9 Februari 2013.

http://penelitian.lppm.upi.edu/detil/26/pengembangan-model-pendidikan-nilai-berbasis-sekolah,keluarga,-dan-masyarakat.

Sauri, S. & Rahmat, A.S. (2007). Pengembangan Model Santun Berbahasa Sebagai Strategi Penanggulangan Dekadensi Moral di Kalangan Pelajar Perkotaan. Laporan Penelitian. Diunduh 14 Januari 2013 http://penelitian.lppm.upi.edu/detil/244

/pengembangan-model-santun berbahasa-sebagai-strategi-penanggulangan-dekadensi-moral-di-kalangan-pelajar-perkotaan.

Sulistyarini, D. (2011). Nilai Moral dalam Cerita Rakyat sebagai Sarana P endidikan Budi Pekerti. Makalah dalam Kongres Bahasa Jawa V di Surabaya. Diunduh 21 Februari 2013. http://www.adjisaka.com/kbj5/index.php/03-makalah-komisi-b/642-13-nilai-moral-dalam-cerita-rakyat-sebagai-sarana-pendidikan-budi-pekerti

Widdowson (1987). Aspects of syllabus design. Dalam Tickoo, M (editor). Syllabus design:

the state of the art. Regional English Language Centre.

Winarni, R. (2014). Kajian sastra anak. Graha Ilmu.

Wurianto, A.B. (2011). Transformasi Nilai - Nilai Luhur Sastra Jawa Klasik sebagai Pengembang "Content" Pendidikan Karakter Berkearifan Lokal Di Sekolah. Makalah dalam Kongres Bahasa Jawa V di Surabaya. Diunduh 21 Februari 2013.

(31)

PHB Tahun Pertama 1 Page 31

LAMPIRAN 1. Koleksi Cerita Lokal Malang

COBAN RONDO

[LAGENDA COBAN RONDO] - Kisah dibalik Air Terjun Coban Rondo, bermula dari sepasang pengantin yang baru saja melangsungkan pernikahan. Mempelai wanita bernama Dewi Anjarwati dari Gunung Kawi, sedangkan mempelai pria bernama Raden Baron Kusumo dari Gunung Anjasmoro. Setelah usia pernikahan mereka menginjak usia 36 hari atau disebut dengan Selapan (bahasa jawa). Dewi Anjarwati mengajak suaminya berkunjung ke Gunung Anjasmoro, yang merupakan asal dari suami. Namun orang tua Anjarwati

melarang kedua mempelai pergi karena usia pernikahan mereka baru berusia 36 hari atau disebut selapan. Namun kedua mempelai tersebut bersikeras pergi dengan resiko apapun yang terjadi di perjalanan.

Ketika di tengah perjalanan keduanya dikejutkan dengan hadirnya Joko Lelono, yang tidak jelas asal-usulnya. Nampaknya Joko Lelono terpikat dengan kecantikan Dewi Anjarwati, dan berusaha merebutnya. Akibatnya perkelahian antara Joko Lelono dengan Raden Baron Kusumo tidak terhindarkan. Kepada para pembantunya atau disebut juga puno kawan yang menyertai kedua mempelai tersebut, Raden Baron Kusumo berpesan agar Dewi Anjarwati disembunyikan di suatu tempat yang terdapat di Coban atau air terjun. Perkelahian antara Raden Baron Kusumo dengan Joko Lelono berlangsung seru dan mereka berdua gugur. Akibatnya Dewi Anjarwati menjadi seorang janda yang dalam bahasa jawa disebut Rondo. Sejak saat itulah Coban atau air terjun tempat bersembunyi Dewi Anjarwati dikenal dengan COBAN RONDO. Konon batu besar di bawah air terjun merupakan tempat duduk sang putri yang merenungi nasibnya.

KEN AROK

Sejarah kota Malang dimulai pada abad VIII, pada jaman ketika kerajaan-kerajaan masih lestari dan Malang adalah salah satu teritorial yang diperebutkan oleh beberapa kerajaan seperti kerajaan Medaeng yang didirikan oleh Empu Sendok. Wilayah Malang juga pernah berada di wilayah kerajaan Kediri dibawah kekuasaan Sri Baginda Kretajaya antara 1188-1222.

Salah satu cerita paling terkenal adalah tentang kekuasaan teritorial yang dipegang oleh Akuwu Tunggul Ametung yang ditunjuk langsung oleh Kertajaya dari kerajaan Kediri.

(32)

PHB Tahun Pertama 1 Page 32

Pada suatu saat yang dirasa tepat, Ken Arok melakukan perlawanan dan kudeta terhadap Tunggul Ametung. Salah satu alasan mengapa dia melakukan kudeta adalah karena juga tertarik dengan Ken Dedes.

Dengan dibantu oleh pengikutnya yang setia, Ken Arok berhasil membunuh Tunggul Ametung dengan keris Empu Gandring. Kudeta ini membebaskan rakyat dari pemerintahan Tunggul ametung yang menindas. Ini adalah salah satu cerita kudeta pertama kali terjadi di Nusantara dan merupakan salah satu cerita terhebat.

Ken Arok langsung naik tahta menggantikan Tunggul Ametung dengan kerajaan baru yaitu Tumapel, serta mengambil Ken Dedes sebagai permaisurinya. Tumapel berusaha melepaskan diri dari kerajaan Kediri dan kemudian berperang melawan kerajaan yang sebelumnya

menguasai teritorial Malang ini. Hebatnya, perlawanan ini berhasil sehingga Ken Arok berhasil mengalahkan Kediri dan menjadi kekuatan baru kerajaan Tumapel dengan pusat di Singosari.

Ken Arok dan Ken Dedes memiliki anak yaitu Mahisa Wong Ateleng, yang memiliki cicit bernama Raden Wijaya, yang membangun kerajaan baru yaitu kerajaan Majapahit.

Majapahit adalah kerajaan yang sangat besar dan memiliki armada maritim yang sangat tangguh dan kerajaan tersebut bisa dibandingkan dengan kerajaan Romawi di Eropa.

Diambil dari : http://nawakewed.wordpress.com/berita-seputar-kota-malang/

MELAWAN BUTO IJO

Desa itu sejuk dan elok dipandang. Sawah menghampar luas berhektar-hektar nampak hijau melambai ditiup angin. Rumah-rumah penduduk tersusun dari anyaman bambu yang banyak tumbuh liar disitu. Barongan yang dulunya terlihat angker itu , sekarang jadi tidak menakutkan jadinya, karena tiap hari ada keluar masuk penduduk untuk memotong bambu. Sehari-hari mayoritas yang dilakukan penduduk desa itu adalah bercocok tanam sebagai petani. Semua tercukupi dengan hasil tanam sendiri dan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Hal itu berlangsung telah lama tanpa ada suatu musibah yang menimpanya. Hingga suatu waktu bencana itu muncul.

Disubuh yang masih larut itu, keheningan menyelimuti para penghuni rumah gedeg. Tiba-tiba tanah bergetar dengan keras sekali.

BRRRR,…..BrRRRRR…BRRRRR!

(33)

PHB Tahun Pertama 1 Page 33

Teriakan itu bersayup-sayup dengan lalu-lalang orang-orang yang berlarian ketakutan. Semua yang berada didalam rumah berhamburan keluar menuju ke tanah lapang. Bergumul dengan semak-semak, tiarap dan bersembunyi.

BUM! BUM! BUM!

Dentuman suara berdentum keras laksana bumi tertimpa pecahan meteor. Semuanya tambah ketakutan, sedikit memberanikan diri mengintip dari balik semak-semak ada apa gerangan? Apakah memang ada gempa bumi…?

BUM!

Dentumannya semakin keras menjadi-jadi dan berulang-ulang. Tidaklah mungkin ini gempa…..sepertinya…?

Sayup-sayup timbul dan tenggelam suara raungan aneh……

ARRRRRGGHHHHHHH……….

―Raksasa…Raksasa….!‖ Jemarinya menunjuk-nunjuk pada sosok besar yang keluar dari balik bukit. Kemudian suara raksasa itu semakin menampakkan erangannya yang mengerikan.

―Aku laparrrr…….Argh…! Aku mau makan ….. Argh…! Rahidpun menghampiri raksasa itu.

―Siapa kau? Ada apa kau kesini…?‖ ―Aku mau makan….., !‖

―Tidak ada apa-apa disini untuk kau makan‖ ―Apa kau bilang?‖

―tidak ada!‖

―Hahahahhahahaha………desa segini subur kau bilang tidak ada makanan?‖ ―Tidak untuk kau‖

―Sudahlah pergi kau cecunguk! Argh…!

(34)

PHB Tahun Pertama 1 Page 34

Desa itu menjadi porak poranda, wajah Rahid tampak marah sekali, apalagi warga desa tersebut. Keesokan harinya kejadian itupun berulang lagi, berkali-kali Buto ijo itu mengambil persediaan pangan penduduk bahkan mengambil anak-anak bayi serta para perawan-perawan desa sampai akhirnya bertambah porak poranda tatanan desa itu. Miskin, melarat dan banyak tertimpa penyakit. Setiap hari para bapak membopong anak-anaknya yang mati karena kelaparan. Tubuh kurus tinggal tulang, sedangkan Buto Ijo itu gemuk, perkasa dan kekar.

Selang beberapa lama, tiba-tiba terdengar rombongan berkuda memasuki pintu gerbang desa. Nampak pemuda asing dengan beberapa temannya sedang memandang porak porandanya keadaan desa itu. Ternyata, Rahid ada bersamanya. Sehari kemaren rahid telah meninggalkan desa untuk mencari bala bantuan. Ditemuilah rombongan berkuda itu dibalai desa. Berkatalah seorang sesepuh yang bernama Mbah Saimin.

―Kita tidak bisa terus berdiam seperti ini‖ ―Iya, harus kita lakukan sesuatu!‖ jawab Rahid

―Kisanak..?, kamu punya rencana?‖ mata mbah Saimin tertuju pada kepala rombongan.

―Terimakasih Bapak…sepertinya kita harus menyerang Si Buto Ijo itu disaat lengah‖ jawab Bara, pemimpin dari para penunggang kuda.

―maksud…..nak…..siapa nama kisanak?‖ ―Bara‖

― Iya, maksud nak Bara?‖

―Begini, harus kita serang dari segala arah‖

― Sudah, kami semua sudah mengadakan perlawanan. Sampai-sampai pemuda-pemuda yang menyerang dimakannya tanpa sisa‖

Kemudian Bara berfikir sejenak, mencari akal. Dipandanglah wajah para pemuda satu persatu, dan samapailah pandangannya terhenti pada Rahid.

―Rahid‖ ―Iya Kang‖

―Coba kau mata-matai si Buto Ijo itu sama 5 orang anak buahku‖ ―Baik Kang, aku akan pergi ke persembunyiannya di dalam hutan‖ ―Pergilah‖

Berangkatlah Rahid menuju kedalam hutan diikuti oleh 5 orang penunggang kuda lainnya. Masuk menuju rimbunnya hutan belantara. Setelah memasuki beberapa kilometer hutan, terciumlah bau anyir darah dan bangkai-bangkai yang teramat busuk. Nampak dari kejauhan si Buto ijo itu sedang duduk kekenyangan. Terdengar sayup-sayup ia berbicara sendiri seperti raksasa gila.

―Arrgh, aku sudah bosan dengan daging penduduk sini. Sudah pahit semua rasanya. Telah habis sudah para bayi-bayi dan perawannya. Lebih baik aku besok pindah saja kedesa yang lainnya, desa yang lebih banyak lagi bayi dan para perawan, tanaman-tanamannya juga sudah habis semua kumakan, tidak ada yang tersisa. Arrgh….‖

(35)

PHB Tahun Pertama 1 Page 35

―Gimana kang mas Rahid? Tanya Parto. ―Kita kembali ke balai desa‖

Kembalilah rombongan Rahid setelah cukup tugas sebagai mata-mata.

***

Di balai desa, rencana telah di susun oleh Bara.

―Aku akan sediakan 100 ekor sapi dari desa-desa tetangga sebagai pancingan makan si Buto ijo‖

―Sapi?‖

―Iya sapi. Sepertinya Buto disamping suka makan manusia, ia juga makan Hewan‖ ―Bukan suka, rakus malah….Bayi-bayi dan perawan juga dimakannya.‖

―Semua desa tetangga sudah mau menyumbangkan sapi-sapinya untuk pancingan. Setelah kenyang makan, Buto Ijo langsung kita serang dari segala arah. Gimana?‖

―Setuju!!!‖ jawab semua serentak.

Dalam kesetujuan itu datanglah rombongan Rahid. Dia menceritakan tentang apa yang dilihatnya pada pengintaian tadi.

―Baik, mulai besok kita jalankan rencananya‖ ujar Mbah Saimin ***

Pagi hari di gembalakan semua sapi ketepi hutan. Bau amis sapi tercium oleh si Buto ijo. Saking laparnya, Buto ijo pun melahap semua sapi yang tampak gemuk-gemuk itu. Sampai akhirnya Buto Ijo kekenyangan dan badannya sulit sekali untuk digerakkan. Dalam kelengahan itu, tiba-tiba berdatangannlah para penduduk desa beserta anak buah Bara. Bambu runcing, keris, tombak, golok, jaring, panah, clurit, bebatuan ketapel, semuanya berhamburan bersarang dibadannya yang tambun itu. Awalnya si Buto Ijo mengadakan perlawanan. Tapi lama-kelamaan badannya menjadi lemas juga karena kekenyangan. Tergelepar ia mati. Amis darah Buto Ijo itu mengundang burung-burung gagak hitam ramai-ramai berdatangan. Akhirnya desa itu di beri nama Malang, karena dalam sejarahnya pernah tertimpa kemalangan akibat ulah si Buto Ijo.

Kembali tentramlah desa Malang, tapi masih belum tahu kedepannya. Apakah aka ada buto ijo-Buto Ijo yang lainnya? Yang pasti tidak akan pernah berhenti penjajahan makhluk yang lebih besar kuat terhadap makhluk yang lebih kecil karena itu sudah merupakan hukum alam

***

Rahid kecil berumur 4 tahun sedang bermain-main disekitar Monumen Buto yang sekarang berwarna coklat. Kata kakeknya, ―Patung Buto itu melambangkan perjuangan pada tahun 1945. Ada 19 patung kecil rakyat indonesia dan 1 patung raksasa.‖

―La terus, apa artinya patung-patung kecil itu Kek?‖ Tanya Rahid kecil penasaran

(36)

PHB Tahun Pertama 1 Page 36

terdapat 8 pagar sebagai simbol budaya Jawa. Dan di depan monumen adalah gambar dari teks Proklamasi.‖

―Sudah lama ya kek ada disini patungnya?‖

―Monumen Perjuangan 45 ini dibuat pada tanggal 20 Mei 1975. Monumen ini dibuat untuk mengingat kembali sejarah perjuangan Rakyat Indonesia. Monumen ini juga untuk menumbuhkan semangat patriotisme anak-anak muda di Kota Malang serta mengingat kembali para pahlawan yang telah memberikan jiwa dan raga mereka untuk mempertahankan kemerdekaan 17 Agustus 1945. Bentuk dari relief di sekitar patung menggambarkan betapa beratnya perjuangan para pahlawan memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia. Di situ terdapat satu patung raksasa yang terbaring di tengah-tengah monumen yang menggambarkan Kolonialis Belanda yang telah menindas Bangsa Indonesia selama ratusan tahun. Paham kau cu….?‖

Diambil dari: http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2012/09/28/3-cerita-boto-ijo-dan-asal-muasal-malang-496964.html

Sejarah dan Asal-usul Kota Malang

Adalah seorang raja yang bijaksana dan amat sakti, Dewasimha namanya. Ia menjaga istananya yang berkilauan serta dikuduskan oleh api suci Sang Putikewara (Ciwa). Berbahagialah sang Raja Dewasimha karena dewa-dewa telah menganugerahkan dalam hidupnya seorang putera sebagai pewaris mahkotanya. Putra yang kemudian menjadi pelindung kerajaan itu bernama Liswa atau juga dikenal sebagai Gajayana. Adalah Gajayana seorang raja yang begitu dicintai rakyatnya, berbudi luhur dan berbuat baik untuk kaum pendeta serta penuh baktu sesungguh-sungguhnya kepada Resi Agastya.

Sebagai tanda bakti yang tulus kepada Resi tersebut, sang Raja Gajayana telah membangun sebuah candi yang permai untuk mahresi serta untuk menjadi penangkal segala penyakit dan malapetaka kerajaan. Jikalau nenek moyangnya telah membuat arca Agstya dari kayu cendana, maka Raja Gajayana sebagai pernyataan bakti dan hormatnya telah memerintahkan kepada pemahat-pemahat ternama di seantero kerajaan untuk membuat arca Agastya dari batu hitam nan indah, agar semua dapat melihatnya. Arca Agastya yang diberi nama Kumbhayoni itu, atas perintah raja yang berbudi luhur tersebut kemudian diresmikan oleh para Regveda, para Brahmana, pendeta-pendeta terkemuka dan para penduduk negeri yang ahli, pada tahun Saka, Nayana-Vava-Rase(682) bulan Magasyirsa tepat pada hari Jum‘at separo terang.

(37)

PHB Tahun Pertama 1 Page 37

korban, dan mempelajari Weda. Semoga mereka menjaga kerajaan yang tidak ada bandingannya ini seperti sang Raja telah menjaganya.

Raja Gajayana mempunyai seorang puteri Uttejena yang kelak meneruskan Vamcakula ayahandanya yang bijaksana itu.

Cerita di atas diangkat sari satu prasasti yang bernama ―Prasasti Dinaya atau Kanjuruhan‖ menurut nama desa yang disebutkan dalam piagam tersebut. Seperti tertulis di dalamnya, prasasti ini memuat unsure penanggalan dalam candrasengkala yang berbunyi : ―Nayana -vaya-rase‖ yang bernilai 682 tahun caka atau tahun 760 setelah Masehi.

Apabila prasasti itu dikeluarkan oleh Raja Gajayana pada tahun 760 sesudah Masehi, maka paling tidak prasasti itu merupakan sumber tertulis tertua tentang adanya fasilitas politik yakni berdirinya kerajaan Kanjuruan di wilayah Malang. Tempat itu sekarang dikenal dengan nama Dinoyo terletak 5 km sebelah barat Kota Malang. Di tempat ini menurut penduduk disana, masih ditemukan patung Dewasimha yang terletak di tengah pasar walaupun hampir hilang terbenam ke dalam tanah.

Malangkucecwara berasal dari tiga kata, yakni : Mala yang berarti segala sesuatu yang kotor, kecurangan, kepalsuan, atau bathil, Angkuca yang berarti menghancurkan atau membinasakan dan Icwara yang berarti Tuhan. Dengan demikian Malangkucecwara berarti ―TUHAN MENGHANCURKAN YANG BATHIL‖.

Diambil dari:

(38)

PHB Tahun Pertama 1 Page 38

LAMPIRAN 2. Transkrip Wawancara dengan Guru SD Pagentan 2

Tempat: Ruang Kepsek

Jam: 9 – 10 pagi.

Tanggal: 8 Mei 2014, Kamis

Responden: Bu Novi, Pak Adi, Bu Zulaikah

Q: Bagaimana selama ini pendidkan karakter diajarkan di sekolah ini?

A: Kebiasaan menyapu di semua kelas. Setiap pagi menyapu halaman bersama2 untuk mengasah tanggung jawab dan kebersihan lingkuangn sekolah.

A: Pendidikan agama juga penting dalam pembentukan karakter. Upacara. Antar teman harus saling menghargai.

Q: Apakah pernah menggunakan muatan sastra lokal untuk mendidik karakter?

A: Kalau dari cerita-cerita ya pasti ada. Ini untuk membentuk anak itu harus bersikap bagaimana. Lalu ada juga tes psikologi yang juga merupakan bagian dari pendidikan karakter.

Q: Judul-judul apa yang pernah diceritakan?

A: Cerita klasik seperti Malin Kundang, yang nilainya adalah bahwa anak tidak boleh durhaka kepada ortu. Lalu biografi Thomas Alva Edison. Itu yang sering saya ceritakan kepada anak2 untuk menjadi teladan buat mereka.

A: Cerita daerah sini tentang Ken Dedes dan Ken Arok.

Q: Bagaimana sebaiknya pendidikan karakter dilakukan di SD?

A: Melalui pementasan-pementasan, sehingga anak-anak bisa mengenal daerahnya maupun watak atau karakter dalam peran tersebut. Mereka akan tahu mana yang patut ditiru, mana yang tidak. Jadi dari pementasan atau bermain peran.

A: Melalui main peran.

Q: Apakah main peran itu ada tercantum di silabus?

A: Anak saya berikan kebebasan untuk memilih peran mana yang cocok. Kalau peran itu cocok, saya ijinkan; kalau terlalu dewasa atau tidak cocok, tidak saya ijinkan. Kalau mereka memilih peran yang tidak cocok, saya arahkan untuk memilih yang cocok.

A: Anak-anak sering diajak ke candi Singosari, kelas 1 – kelas 6. Q: Apa saja yang diceritakan selama di candi?

A: Tergantung kelasnya. Utk kelas yang bawah ya berkunjung dan hanya main-main. Utk kelas 5 – 6 ada pelajaran sejarah kerajaan. [jadi tergantung pada usia anak].

Q: Apakah ada nilai-nilai yang diajarkan selama kunjungan ke candi?

(39)

PHB Tahun Pertama 1 Page 39 A: [B. Novi]: penanaman karakter lewat keteladanan guru dalam segala aspek. Lewat teguran

langsung jika ada anak yang melakukan hal yang buruk, misalnya buang sampah sembarangan. Q: Bagaimana dampaknya terhadap anak2?

A: Kalau pengukuran secara tertulis formal tidak dilakukan. Misalnya senam di lapangan sudah dilakukan berkali2 namun tidak bisa langsung membuat anak2 menjadi baik. Yang penting adalah teladan dari guru.

A: Setiap kali ada kesempatan di tengah pelajaran saya memberikan cerita-cerita yang berhubungan dengan nilai-nilai baik.

Q: Apakah ada cerita-cerita dari daerah sini yang diceritakan ? A: Ya tentang Ken Arok.

Q: Di cerita Ken Arok dan Ken Dedes kan ada bagian tentang hubungan mereka. Bagaimana dengan ini?

A: Yang seperti itu tidak diberikan ke anak-anak. Yang ditekankan adalah hal-hal lain yang lebih positif. Misalnya sejarah pendirinya siapa, sejarah terbentuknya Singosari itu bagaimana, pergantian generasinya, meskipun ada bagian saling membunuh tapi ya itu tidak diceritakan.

Q: Lalu nilai-nilai apa yang disampaikan?

A: Bahwa kerajaan itu kan dipimpin oleh pemimpinnya, dan yang dilakukan pemimpin ini menjadi teladan bagi keturunan-keturunannya. Yang lain adalah ajaran-ajaran agama yang ada di cerita itu, misalnya kerukunan sesama keluarga.

A: Anak-anak lebih kenal superhero asing daripada tokoh-tokoh lokalnya. Jadi cerita lokal

disampaikan ke anak2 supaya mereka juga mengenal budaya sendiri daripada budaya lain. Sisi positif lain dari Ken Arok adalah kesaktiannya.

A: Kisah Coban Rondo juga diceritakan ke anak-anak. Q: Bagaimana mengaitkannya dengan mata pelajaran?

A: Karena saya guru IPS dan B Indonesia, pelajaran itu saya sisipkan; atau di waktu senggang. Q: Apa sastra lokal Malang sendiri yang bisa digali?

(40)

PHB Tahun Pertama 1 Page 40

LAMPIRAN 3. Transkrip Wawancara Dengan Pakar Sastra

Waktu : Kamis, 10 April 2014 jam 9 – 10 pagi

Tempat : Ruang Dosen Sastra Inggris Universitas Negeri Malang

Hadir :

1. Drs. Misbahul Amri (pakar sastra)

2. Prof. Dr. Patrisius Istiarto Djiwandono (ketua tim peneliti)

3. F.X Dono Sunardi, MA (anggota tim peneliti)

4. Lilis Lestari, M. Hum (anggota tim peneliti)

Q: Apakah ada materi sastra lokal Malang dan bagaimana kira-kira penyajiannya sebagai materi pengembangan karakter anak SD?

A: Cerita panji, babad. Cerita-cerita seperti itu kalau kemudian dikaitkan dengan pendidikan karakter saya sangat setuju, karena kan berakar dari tradisi kita. Cuma kalau bicara sastra lokal Malang, setahu saya secara empirik belum ada penelitian yg komprehensif.

Q: Tapi di Malang sendiri ada tidak legenda atau cerita yang kemudian bisa diangkat dan diolah menjadi materi pembelajaran?

A: Kalau di Malang ya berkisar pada cerita-cerita di kawasan Singosari, Tengger, Coban Rondo yang berkaitan dg Sedudo, Nganjuk. Juga cerita2 ttg Gajayana. Cuma perlu dikenali siapa penutur ceritanya (storyteller) lewat penelitian.

Q: Apakah cerita-cerita seperti Ken Arok dan Coban Rondo bisa dianggap sebagai muatan sastra lokal Malang.

A: Belum ada jawaban konkrit tentang sastra Malang itu seperti apa. Apakah Panji itu bukan Malang, padahal ceritanya dari Jenggolo Kediri? Tapi Wayang Topeng ada di Malang; di Kediri disebut Jemblung.

Apa yang dinamakan lokal itu? Apakah ceritanya? Ataukah model ekspresinya? Contohnya, beberapa karya Shakespeare adalah tentang Denmark, tapi orang mengatakan itu adalah sastra Inggris, karena yang menulis adalah orang Inggris. Telatah budaya itu beda-beda, tidak terbatas teritorial.

Q: Apakah sudah ada ekspresi yang khas Malang?

(41)

PHB Tahun Pertama 1 Page 41

Sastra itu per definisi adalah tulis, padahal tradisinya lisan. Istilah ―literature‖ membatasi pada wacana tulis.

Q: Ada cerita2 ludruk yang khas Malang seperti Sogol Sumur Gemuling, Pak Sakerah, atau Sarip Tambakyoso, apakah bisa dianggap sastra Malang?

A: Ludruk itu setahu saya dari Jombang. Saya cenderung menggunakan istilah dari Pak Sapardi, yaitu karya sastra itu ditentukan oleh bahasanya. Jadi kalau ada panji atau bentuk cerita lain yang berbahasa Malang ya bisa disebut sastra Malang.

Q: Apakah bentuk sastra lokal yang layak untuk dijadikan materi pengembangan karakter harus yang punya kerangka cerita (plot)? Bagaimana dengan puisi tradisional atau tembang?

A: Pada dasarnya sebagian besar sastra lokal memungkinkan untuk dijadikan materi pengembangan karakter, apalagi untuk anak usia sekolah dasar. Tidak terikat pada cerita rakyat yang punya kerangka cerita, lagu-lagu tradisional seperti ―Bapak Pucung‖ atau ―Megatruh‖ pun bisa diangkat sebagai materi pengembangan karakter. Namun penyajiannya lebih baik dibuat bervariasi, bisa berupa permainan/games atau nembang bersama, mengingat dunia mereka erat sekali dengan bermain-main. Mereka akan lebih mudah menerima karakter positif melalui aktivitas seperti itu karena tidak membosankan, tidak harus berpikir terlalu berat untuk mencernanya, sehingga akan lebih menyenangkan.

Q: Ada cerita rakyat tertentu yang memuat sisi positif dan negatif karakter utamanya, seperti cerita Arok-Dedes. Apakah cerita rakyat seperti itu bisa juga dipakai sebagai materi pengembangan karakter?

(42)

PHB Tahun Pertama 1 Page 42

Lampiran 4. Silabus Pembelajaran

SILABUS PENGEMBANGAN KARAKTER LEWAT MUATAN SASTRA

Kompeten si Inti

Kompetensi dasar Indikator Materi/topik

pembelajaran

Proses pembelajaran Penilaian Alokasi

waktu

1. Menyebutkan inti cerita. 2. Menyebutkan pesan baik

dari cerita.

3. Menyebutkan tokoh-tokoh cerita.

4. Menyebutkan alur cerita.

Kegigihan 1. Siswa membaca.

2. Guru membimbing

1. Menyebutkan karakter baik dari setiap tokoh.

Gambar

Tabel 5.1 Cerita Lokal Malang
Tabel 5.2 Pengembangan Karakter Positif di Sekolah
Tabel 5.3 Cerita-Cerita yang Digunakan di Sekolah
Tabel 5.4 Cerita-cerita yang Diketahui Para Murid (N = 22)

Referensi

Dokumen terkait

Sebagian dari karbohidrat diubah langsung menjadi enersi untuk aktifitas tubuh, clan sebagian lagi disimpan dalam bentuk glikogen di hati dan di otot. Ada beberapa jaringan

Maksud dan tujuan dari program CST adalah untuk memberikan layanan yang berkualitas bagi Odha agar dapat hidup lebih lama secara positif, berkualitas dan memiliki aktivitas social

- Pemeriksaan dahak lanjutan (follow-up) dalam waktu-waktu tertentu selama masa pengobatan, diikuti dengan pemeriksaan biakan, untuk memastikan bahwa M.tuberculosis sudah tidak

Dengan Masukan data iklim seperti pada Tabel 2 serta menggunakan verietas IR- 64, Penggunaan Pupuk N 250 Kg, lahan sawah irigasi, masa tanam 32 julian date (1

kualitas pada huruf dan teks pada judul film di poster cin(T)a dapat dimengerti dengan jelas, karena memang hanya terdapat satu kalimat yaitu cinta, sehingga

Bahwa untuk terlaksananya bimbingan dan pengarahan tersebut, pada FISIP Universitas Andalas perlu ditunjuk staf pengajar sebagai penasehat akademik (PA) FISIP untuk.. semester ganjil

Perhitungan homogenitas harga varian harus dilakukan pada awal-awal kegiatan analisis data. Hal ini dilakukan untuk memastikan apakah asumsi homogenitas pada