BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Keagenan
Konsep agency teory menurut Anthony dan Govindarajan (1995) dalam
Ma’ruf (2006) adalah hubungan atau kontak antara principal dan agent. Principal
mempekerjakan agent untuk melakukan tugas untuk kepentingan principal,
termasuk pendelegasian otorisasi pengambilan keputusan dari principal kepada
agent. Pada perusahaan yang modalnya terdiri atas saham, pemegang saham
bertindak sebagai principal, dan CEO (Chief Executive Officer ) sebagai agent
mereka.
Menurut Brigham dan Houston (2006), hubungan keagenan dapat
timbul di antara :
a) Pemegang saham dengan manajer.
Masalah keagenan dapat timbul jika manajer menempatkan tujuan dan
kesejahteraan mereka sendiri pada posisi yang lebih tinggi dari kepentingan
pemegang saham. Menurut Jensen dan Meckling (1976), masalah keagenan
potensial terjadi bila proporsi kepemilikan atas saham perusahaan kurang dari
seratus persen sehingga manajer cenderung bertindak untuk mengejar
kepentingannya sendiri dan bukan memaksimalkan nilai perusahaan dalam
mengambil keputusan pendanaan. Tindakan manajer yang opoturnistik tersebut
akan mempertinggi cost perusahaan dan mengurangi kemakmuran pemegang
b) Pemegang saham (melalui manajer) dengan kreditur.
Kreditur memiliki klaim atas sebagian dari arus kas perusahaanuntuk
pembayaran bunga dan pokok utang. Mereka memiliki klaim atas aset
perusahaan saat perusahaan mengalami kebangkrutan. Pada saat perusahaan
mengalami kebangkrutan, keputusan harus segera diambil untuk mengatasi
kondisi tersebut, yaitu apakah akan melikuidasi perusahaan dengan menjual
seluruh aset atau melakukan reorganisasi. Manajemen perlu segera bertindak
dan khususnya manajer memilih mereorganisasi dengan tujuan
mempertahankan pekerjaannya. Keputusan manajer ini tentu saja berdampak
pada pemegang saham atau kreditur atau kedua belah pihak tersebut.
Kreditur pada umumnya menghendaki likuidasi perusahaan sehingga mereka
dapat segera menarik dananya dengan cepat. Di lain pihak, manajemen
menginginkan perusahaan tetap eksis sehingga mereka memilih mereorganisasi
perusahaan. Pada saat bersamaan, pemegang saham kemungkinan mencoba
mencari pengganti manajer lama yang mau dibayar lebih rendah meskipun
proses tersebut membutuhkan waktu yang lama.
Perspektif hubungan keagenan merupakan dasar yang digunakan untuk
memahami hubungan antara manajer dan pemegang saham. Jensen dan
Meckling (1976) menyatakan bahwa hubungan keagenan adalah sebuah
kontrak antara manajer (agent) dengan pemegang saham (principal). Hubugan
kegenan tersebut terkadang menimbulkan masalah antara manajer dan
pemegang saham. Konflik yang terjadi karena manusia adalah makhluk
Pemegang saham dan manajer memiliki tujuan yang berbeda dan masing–
masing menginginkan tujuan mereka terpenuhi. Akibat yang terjadi adalah
munculnya konflik kepentingan. Pemegang saham menginginkan
pengembalian yang lebih besar dan secepat–cepatnya atas investasi yang
mereka tanamkan sedangkan manajer menginginkan kepentingannya
diakomodasi dengan pemberian kompensasi atau insentif yang sebesar–
besarnya atas kinerjanya dalam menjalankan perusahaan.Kondisi perusahaan
yang dilaporkan oleh manajer tidak sesuai atau tidak mencerminkan keadaan
perusahaan yang sesungguhnya. Hal ini disebabkan perbedaan informasi yang
dimiliki antara manajer dengan pemegang saham. Sebagai pengelola, manajer
lebih mengetahui keadaan yang ada dalam perusahaan daripada pemegang
saham. Manajer dalam mengelola perusahaan cenderung mementingkan
kepentingan pribadi daripada kepentingan untuk meningkatkan nilai
perusahaan. Dengan perilaku opportunitis dari manajer, manajer bertindak
untuk mencapai kepentingan mereka sendiri, padahal sebagai manajer
seharusnya memihak kepada kepentingan pemegang saham karena mereka
adalah pihak yang memberi kuasa manajer untuk menjalankan perusahaan.
Menurut Darmawati (2005) dalam Putra (2013), ada tiga asumsi yang
melandasi teori keagenanyaitu:
1. Asumsi sifat manusia menekankan bahwa manusia mempunyai
sifatmementingkan diri sendiri, memiliki keterbatasan rasional
2. Asumsi keorganisasian menekankan tentang adanya konflik antar anggota
organisasi, efisiensi sebagai kriteria efektivitas, dan adanya asimetri informasi
antara principal dan agent.
3. Asumsi informasi mengemukakan bahwa informasi dianggap sebagai
komoditi yang dapat diperjualbelikan. Corporate governance sebagai efektvitas
mekanisme yang bertujuan meminimalisasi konflik keagenan, dengan penekanan
khusus pada mekanisme legal yang mencegah dilakukannya eksproriasi atas
pemegang saham baikmayoritas maupun minoritas. Corporate governance
merupakan salah satu elemen kunci dalam meningkatkan efisiensi ekonomis,
yang meliputi serangkaian hubungan antara manajemen perusahaan, dewan
komisaris, para pemegang saham dan stakeholders lainnya.
2.2Teori Penyinalan (Signalling Theory)
Signalling theory menekankan kepada pentingnya informasi yang
dikeluarkan oleh perusahaan terhadap keputusan investasi pihak di luar
perusahaan. Informasi merupakan unsur penting bagi investor dan pelaku bisnis
karena informasi pada hakekatnya menyajikan keterangan, catatan atau gambaran
baik untuk keadaan masa lalu, saat ini maupun keadaan masa yang akan datang
bagi kelangsungan hidup suatu perusahaan dan bagaimana pasaran efeknya.
Informasi yang lengkap, relevan, akurat dan tepat waktu sangat diperlukan oleh
investor di pasar modal sebagai alat analisis untuk mengambil keputusan
Menurut Jogiyanto (2000), informasi yang dipublikasikan sebagai suatu
pengumuman akan memberikan signal bagi investor dalam pengambilan
keputusan investasi. Jika pengumuman tersebut mengandung nilai positif, maka
diharapkan pasar akan bereaksi pada waktu pengumuman tersebut diterima oleh
pasar.
Pada waktu informasi diumumkan dan semua pelaku pasar sudah
menerima informasi tersebut, pelaku pasar terlebih dahulu menginterpretasikan
dan menganalisis informasi tersebut sebagai signal baik (good news) atau signal
buruk (bad news). Jika pengumuman informasi tersebut sebagai signal baik bagi
investor, maka terjadi perubahan dalam volume perdagangan saham.
Menurut Sharpe (1997) dan Ivana (2005) dalam Putra (2013),
pengumuman informasi akuntansi memberikan signal bahwa perusahaan
mempunyai prospek yang baik di masa mendatang (good news) sehingga investor
tertarik untuk melakukan perdagangan saham, dengan demikian pasar akan
bereaksi yang tercermin melalui perubahan dalam volume perdagangan saham.
Dengan demikian hubungan antara publikasi informasi baik laporan keuangan,
kondisi keuangan ataupun sosial politik terhadap fluktuasi volume perdagangan
saham dapat dilihat dalam efisiensi pasar.
Salah satu jenis informasi yang dikeluarkan oleh perusahaan yang dapat
menjadi signal bagi pihak di luar perusahaan, terutama bagi pihak investor adalah
laporan tahunan. Informasi yang diungkapkan dalam laporan tahunan dapat
berupa informasi akuntansi yaitu informasi yang berkaitan dengan laporan
dengan laporan keuangan. Laporan tahunan hendaknya memuat informasi yang
relevan dan mengungkapkan informasi yang dianggap penting untuk diketahui
oleh pengguna laporan baik pihak dalam maupun pihak luar. Semua investor
memerlukan informasi untuk mengevaluasi risiko relatif setiap perusahaan
sehingga dapat melakukan diversifikasi portofolio dan kombinasi investasi dengan
preferensi risiko yang diinginkan. Jika suatu perusahaan ingin sahamnya dibeli
oleh investor maka perusahaan harus melakukan pengungkapan laporan keuangan
secara terbuka dan transparan.
2.3 Teori The Bird in The Hand
Teori ini menyakini bahwa pendapatan dividen memiliki nilai lebih
besar dibanding dengan capital gain, karena dividen memiliki tingkat kepastian
yang lebih tinggi dibanding dengan capital gain. Investor lebih memilih dividen
yang sudah pasti jumlah nominalnya daripada mengharap capital gain.
Semakin besar dividen yang dibayarkan perusahaan, semakin besar pula
ketertarikan investor kepada saham tersebut. Hal ini akan berpengaruh positif
terhadap naiknya harga saham. Dapat ditarik kesimpulan besar dividen akan
mempengaruhi harga saham.
Tapi dalam praktiknya, investor diharuskan membayar pajak yang besar
akibat dari dividen yang tinggi.
2.4 Laporan Keuangan
Definisi laporan keuangan menurut Baridwan, 2004 yaitu ringkasan
bersangkutan. Manajemen membuat laporan keuangan dengan tujuan untuk
mempertanggungjawabkan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya oleh para
pemilik perusahaan. Menurut Standar Akuntansi Keuangan No. 1 (2009):
Laporan keuangan adalah suatu penyajian terstruktur dari posisi keuangan dan kinerja keuangan suatu entitas. Tujuan laporan keuangan adalah memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam pembuatan keputusan ekonomi. Laporan keuangan juga menunjukkan hasil pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka.
Menurut Berstein (1998) dalam Suryani (2010) laporan keuangan
merupakan kinerja keuangan yang lampau dan posisi keuangan saat ini. Laporan
keuangan dirancang untuk menyediakan informasi pada empat aktivitas usaha
utama yaitu kegiatan perencanaan, keuangan, investasi, dan operasi. Laporan
keuangan dibuat oleh manajemen dengan tujuan untuk mempertanggungjawabkan
tugas-tugas yang dibebankan kepadanya oleh para pemilik perusahaan.
2.5Profitabilitas
Profitabilitas menurut Harahap (2008) menggambarkan kemampuan
perusahaan mendapatkan laba melalui semua kemampuan, dan sumber yang ada
seperti kegiatan penjualan, kas, modal, jumlah karyawan, jumlah cabang, dan
sebagainya.
Berdasarkan Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan
”Informasi Kinerja perusahaan terutama profitabilitas, diperlukan untuk
menilai perubahan potensial sumber daya ekonomi yang mungkin dikendalikan di
masa depan. Informasi kinerja bermanfaat untuk memprediksi kapasitas
perusahaan dalam menghsilkan arus kas dari sumber daya yang ada”.
Disamping itu, menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2007) informasi
tersebut juga berguna dalam perumusan pertimbangan tentang efektifitas
peruahaan dalam memanfaatkan tambahan sumber daya
Hasil pengembalian total aset atau total investasi menunjukkan kinerja
manajemen dalam menggunakan aset perusahaan untuk menghasilkan laba.
Perusahaan mengharapkan adanya hasil pengembalian yang sebanding dengan
dana yang digunakan. Hasil pengembalian ini dapat dibandingkan dengan
penggunaan alternatif dari dana tersebut. Sebagai salah satu ukuran keefektifan,
maka semakin tinggi hasil pengembalian, semakin efektiflah perusahaan.
Profitabilitas memiliki arti penting dalam usaha mempertahankan
kelangsungan hidupnya dalam jangka panjang, karena profitabilitas menunjukkan
apakah badan usaha tersebut mempuyai prospek yang baik di masa depan.
Ada banyak rasio yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat
profitabilitas perusahaan, yaitu:
a. Gross profit margin (GPM)
Mengukur persentase dari setiap hasil penjualan sesudah perusahaan
membayar harga pokok penjualan. Gross profit margin semakin tinggi akan
b. Operating profit margin (OPM)
Mengukur persentase dari setiap hasil penjualan sesudah semua biaya
dan pengeluaran lain dikurangi kecuali bunga dan pajak.
c. Net profit margin (NPM)
Mengukur persentase keuntungan perusahaan setelah dikurangi smua
biaya dari pengeluaran termasuk bunga dan pajak.
d. Return on assets (ROA)
Mengukur keefektifan manajemen dalam menghasilkan laba dengan
aset yang tersedia.
e. Return on equity
Mengukur pengembalian yang diperoleh pemilik atas investasi di
perusahaan.
Di dalam penelitian ini, rasio yang dipakai untuk mengukur
profitabilitas adalah ROA (Return On Asset)
ROA = 𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐿𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵 ℎ
𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝑇𝐿𝐿𝑇𝑇 𝐴𝐴𝐵𝐵𝐵𝐵𝑇𝑇 x 100%
Menurut Hanafi (2000) “Return on assets adalah rasio yang mengukur
kemampuan perusahaan menghasilkan laba dengan menggunakan total aset
(kekayaan) yang dimiliki perusahaan setelah disesuaikan dengan biaya-biaya
untuk menandai aset tersebut”.
Menurut Warren (2005) “aset adalah sumber daya yang dimiliki oleh
entitas bisnis atau usaha, sumber daya ini dapat berbentuk fisik ataupun hak yang
mempunyai nilai ekonomis”. Contoh aset adalah kas dan setara kas, piutang,
2.6 Likuiditas
Likuiditas adalah kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban
jangka pendeknya. Keown et al. (2011) menyatakan current ratio (rasio lancar)
merupakan salah satu ukuran yang dapat digunakan untuk melihat likuiditas
perusahaan secara relatif dengan membandingkan aset lancar terhadap utang
lancar. Current ratio menurut Fraser dan Ormiston (2008) adalah “ukuran yang
umum digunakan atas solvensi jangka pendek, kemampuan perusahaan memenuhi
kebutuhan utang ketika jatuh tempo”.
Likuiditas suatu perusahaan berhubungan erat dengan masalah
kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansialnya yang
harus segera dipenuhi. Untuk dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka
perusahaan harus mempunyai alat-alat likuid yang berupa aset lancar yang
jumlahnya harus lebih besar dari jumlah kewajiban-kewajiban yang harus segera
dipenuhi yang berupa utang-utang lancar.
Makin besar jumlah aset lancar yang dimiliki oleh suatu perusahaan
dibandingkan dengan utang lancar, maka makin besar tingkat likuiditas
perusahaan tersebut. Dan sebaliknya apabila jumlah aset lancar lebih kecil
daripada utang lancar, berarti bahwa perusahaan tersebut berada dalam likuid.
Suatu perusahaan dikatakan memiliki tingkat likuiditas yang baik
apabila tingkat likuiditas berada di atas standar 1 : 1. Dengan menentukan tingkat
likuiditas yang baik merupakan suatu tindakan hati-hati dari perusahaan dalam
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingkat likuiditas suatu
perusahaan memegang peranan yang penting dan dapat menjadi perhatian utama
apabila perusahaan mengadakan analisis finansial, sebab tingkatan likuiditas suatu
perusahaan merupakan salah satu faktor lain yang menentukan berhasil tidaknya
suatu perusahaan dikelola karena mengakut penyediaan kebutuhan dana dan uang
tunai dan sumber-sumber untuk memenuhi kebutuhan tersebut, serta turut
menentukan seberapa jauh perusahaan akan menanggung resiko, dimanaresiko
tersebut menyangkut dana jangka panjang serta menyangkut hubungan antara
dana pemegang saham.
Adapun hubungan antar dana pemegang saham dan dana pinjaman
jangka panjang biasanya berupa pembatasan pinjaman yang melampaui batas,
olehnya itu dengan pembatasan tersebut maka akan tetap dipertahankan tingkat
standar yang berlaku untuk pendapatan dan cadangan harta sebagai jaminan dana
tersebut.
Jika tingkat likuiditas harus dipertahankan pada standar yang normal,
maka salah tugas utama manajer adalah untuk menilai rencana kerja mereka
dengan memperhitungkan kebutuhan uang tunai untuk jaminan agar dapat
memenuhi kewajiban-kewajiban yang mana kewajiban-kewajiban tersebut berasal
dari luar perusahaan yang biasa disebut likuiditas badan usaha, sedangkan
kewajiban yang berasal dari dalam perusa-haan merupakan suatu untuk
memperlancar jalannya operasional seperti gaji karyawan, pembelian bahan baku
yang mana kewajiban ini biasanya disebut dengan likuiditas perusahaan atau
Tingkat likuiditas badan usaha memiliki arti bahwa perusahaan tersebut
harus menjaga ketepatan janji keuangan pada pihak luar karena tanpa perusahaan
maka kelangsungan hidup perusahaan akan terancam, sedangkan likuiditas intern
menyangkut orang-orang yang sewaktu-waktu dapat menghambat jalannya
operasi perusahaan.
Suatu perusahaan dikatakan memiliki tingkat likuiditas yang baik
apabila perusahaan tersebut memiliki tingkat likuiditas yang wajar. Tingkat
likuiditas yang tinggi menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memiliki jumlah
dana yang banyak menganggur dan apabila terlalu rendah maka keselamatan
perusahaan terancam.
Beberapa rasio yang dapat digunakan untuk mengukur dan mengetahui
tingkat likuiditas yaitu current ratio, quick ratio, cash ratio.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan current ratio, karena umum
dipergunakan oleh perusahaan. Alasan digunakannya CR secara luas sebagai
ukuran likuiditas karena kemampuannya untuk menggambarkan (Wild, 2005):
a. Kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban lancarnya.
b. Kemampuan perusahaan dalam menyangga kerugian.
c. Kemampuan perusahaan untuk menyediakan cadangan dana lancar.
Current ratio merupakan ukuran yang sangat berharga dalam menilai
kemampuan yang dimiliki perusahaan dalam memenuhi utang-utang lancarnya
yang segera jatuh tempo. Akan tetapi suatu perusahaan dengan currentratio yang
tinggi belum tentu menjamin akan dapat membayar utang perusahaan yang jatuh
jumlah persediaan yang relatif tinggi dibandingkan dengan taksiran tingkat
penjualan yang akan datang, sehingga tingkat perputaran persediaan rendah dan
menunjukkan adanya saldo piutang yang besar sulit untuk ditagih.
Menurut Brigham dan Houston dalam Lumbanbatu (2011) “rasio lancar
mengukur kemampuan aset lancar membayar utang lancar”
Menurut Kasmir (2008), dari hasil pengukuran rasio, apabila rasio
lancar rendah dapat dikatakan bahwa perusahaan kurang modal untuk membayar
utang. Namun, apabila hasil pengukuran rasio tinggi, belum tentu kondisi
perusahaan sedang baik.
2.7Leverage
Menurut Darsono (2005), rasio ini menekankan pentingnya pedanaan
utang jangka panjang dengan jalan menunjukkan persentase aset perusahaan yang
didukung oleh utang. Rasio ini juga mengungkapkan informasi struktur modal
yang dimiliki perusahaan tentang tingkat risiko tak tertagihnya utang.
Ada hubungan yang sangat erat antara leverage dengan struktur modal
dan pembelanjaan. Dengan hadirnya leverage di dalam struktur modal sebuah
perusahaan menandakan perusahaan tersebut menghimpun pendanaan dari luar
perusahaan dengan harapan untuk meningkatkan laba dari perusahaan
kedepannya.
Menurut Brigham (2006) seberapa jauh perusahaan menggunakan utang
a. Dengan menghimpun dana melalui utang, para pemegang saham dapat
mempertahankan kendali mereka atas perusahaan tersebut dan sekaligus
membatasi investasi yang mereka berikan.
b. Kreditor akan melihat pada ekuitas, atau dana yang diperoleh sendiri, sebagai
suatu batasan keamanan, sehingga semakin tinggi proporsi dari jumlah modal
yang diberikan pemegang saham, maka semakin kecil risiko yang dihadapi
kreditor.
c. Jika perusahaan mendapatkan hasil dari investasi yang didanai dengan dana
hasil pinjaman lebih besar daripada bunga yang dibayarkan, maka
pengembalian dari modal pemilik akan diperbesar, atau diungkit (leverage).
Ada beberapa macam rasio leverage, misalnya long term debt to equity,
debt ratio, debt to equity ratio, dan time interest earned. Pada penelitian ini,
peneliti menggunakan debt to equity ratio.
Debt to equity ratio (DER) merupakan rasio yang digunakan dalam
menilai utang dengan ekuitas. Rasio ini dicari dengan membandingkan seluruh
utang dengan seluruh ekuitas.
Rasio ini dipakai untuk mengetahui setiap rupiah modal sendiri yang
digunakan sebagai jaminan utang. Bagi kreditur, semakin besar DER akan
semakin tidak menguntungkan. Karena jika rasio DER semakin besar, maka risiko
yang ditanggung atas kegagalan yang mungkin terjadi akan semakin besar pula.
Sedangkan bagi perusahaan, semakin besar DER akan semakin baik. Karena
tingginya DER menunjukkan semakin besar jumlah pinjaman yang diperoleh
2.8 Growth
Perusahaan yang berkembang adalah perusahaan yang mengalami
peningkatan pertumbuhan dalam perkembangan usahanya dari tahun ke tahun
(Sulistiyowati, dkk). Bagi pihak internal maupun eksternal perusahaan,
pertumbuhan perusahaan memberi aspek positif. Pihak investor juga meyakini
bahwa perusahaan memiliki aspek yang menguntungkan dengan adanya
pertumbuhan perusahaan., dan mereka mengharapkan rate of return dari investasi
yang baik itu.
Ada beberapa faktor yang memengaruhi pertumbuhan perusahaan, yaitu
internal, eksternal, dan pengaruh iklim industri lokal.
a. Pertumbuhan dari dalam (internal growth):
Faktor ini berasal dari dalam perusahaan itu sendiri. Perusahaan memiliki
pengaruh demi kemajuan perusahaan, antara lain besar modal dan proporsi
kepemilikannya. Internal growth juga menyangkut produktivitas perusahaan
tersebut. Semakin meningkat produktivitas perusahaan, maka pertumbuhan
perusahaaan juga akan meningkat dari waktu ke waktu.
b. Pertumbuhan dari dalam (External growth)
Perusahaan tidak memiliki kemampuan untuk menentukan atau memengaruhi
faktor dari luar perusahaan ini, misalnya keadaan politik suatu daerah atau
negara, keadaan cuaca dan iklim, karakteristik masyarakat, dll.
c. Pertumbuhan karena pengaruh dari iklim dan situasi usaha lokal
Iklim usaha lokal sangat memengaruhi baik kinerja maupun pertumbuhan
akses dan penyedia infrastruktur pendukung kegiatan usaha, apakah daerah
tersebut adalah daerah yang menghasilkan atau tidak, dll.
Pertumbuhan perusahaan dapat diukur dengan beberapa cara, misalnya
dengan melihat pertumbuhan penjualannya yaitu dengan melihat pertumbuhan
perusahaan dari aspek pemasaran perusahaan. Pengukuran yang kedua adalah
dengan melihat pertumbuhan laba operasi perusahaan, yaitu melihat aspek
pemasaran dan juga efisiensi perusahaan dalam pemanfaatan sumber daya yang
dimilikinya. Pengukuran ketiga yaitu pertumbuhan laba bersih, dimana input
pertumbuhan laba bersih ini adalah modal, sedangkan outputnya adalah laba. Dan
pengukuran terakhir adalah mengukur pertumbuhan perusahaan dengan
pertumbuhan modal sendiri.
Penelitian ini berfokus kepada pengukuran pertumbuhan perusahaan
melalui pertumbuhan modal.
Total Assets Growth = 𝐴𝐴𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝑇𝑇𝐵𝐵 𝑇𝑇−𝐴𝐴𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝑇𝑇𝐵𝐵 𝑇𝑇−1
𝐴𝐴𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝑇𝑇𝐵𝐵𝑇𝑇−1 x 100%
2.9 Dividen
Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham
berdasarkan struktur kepemilikan saham yang dimiliki. Pembagian ini akan
mengurangi laba ditahan dan kas yang tersedia bagi perusahaan, tapi distribusi
laba ini memang tujuan utama suatu bisnis. Pengertian yang lain dari dividen ini
adalah:
a. Pembagian laba baik secara langsung maupun tidak langsung;
c. Jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh
pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang
bersangkutan;
d. Pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika
dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika
pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (sttuter)
yang dilakukan secara sah.
Dividen dapat dibagi menjadi beberapa:
a. Dividen tunai; dividen yang dibagikan dalam bentuk kas atau tunai
b. Dividen saham; dibagi dalam bentuk saham tambahan, sesuai dengan proporsi
kepemilikan.
c. Dividen properti; dibagi dalam bentuk aset.
d. Dividen interim; dibagikan sebelum tahun buku perseroan berakhir.
2.10 Kebijakan Dividen
Kebijakan dividen adalah keputusan apakah laba yang diperoleh
perusahaan akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen atau akan
ditahan dalam bentuk laba ditahan guna pembiayaan investasi di masa datang.
Kebijakan deviden mempunyai arti yang penting bagi perusahaan
karena empat alasan berikut.
1. Kebijakan keuangan ini berpengaruh pada sikap para investor. Pemotongan
dividen dapat dipandang negatif oleh para investor, karena pemotongan seperti
2. Kebijakan keuangan ini berdampak pada program pendanaan dan anggaran
modal perusahaan.
3. Kebijakan keuangan ini dapat memengaruhi arus kas perusahaan. Perusahaan
dengan likuiditas buruk dapat dipaksa untuk membatasi pembayaran
dividennya.
4. Kebijakan keuangan ini menurunkan nilai ekuitas pemegang saham biasa
karena besarnya dividen ditentukan oleh besarnya laba ditahan.
Dalam penentuan kebijakan dividen, ada lima faktor yang perlu
dipertimbangkan. (Warsono)
1. Faktor likuiditas. Jika likuiditas perusahaan rendah, biasanya dividen yang
diberikan kepada para pemegang saham dalam bentuk dividen per lembar
saham (dividend per share) juga rendah, kecuali jika perusahaan menggunakan
kebijakan dividen yang stabil.
2. Biaya penerbitan saham baru. Dalam penerbitan saham baru mempunyai biaya
modal yang lebih besar, karena adanya unsur biaya pengembangan (flotation
costs).
3. Pengendalian (control).
4. Stabilitas keuntungan dan kebangkrutan. Semakin stabil keuntungan yang
diperoleh perusahaan, semakin besar kemampuan perusahaan untuk membayar
dividen.
2.11 Good Corporate Governance
Cadburry Committee of United Kingdom mendefinisikan GCG sebagai:
“A set of rules that define the relationship between shareholders, managers, creditors, the government, employees and other internal and external stakeholders in respect to their right and responsibilities, or the system by which companies are directed and controlled. ” (“Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka; atau dengan kata lain suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.”) (Sukrisno, 2009).
Organization for Economic Cooperation and Development – OECD
(dalam Tjager dkk., 2004) – mendefinisikan GCG sebagai:
“The structure through with shareholders, directors, managers, set of the board objectives of the company, the means of attaining those objectives and monitoring performances.” (“Suatu struktur yang terdiri atas para pemegang saham, direktur, manajer, seperangkat tujuan yang ingin dicapai perusahaan, dan alat-alat yang akan digunakan dalam mencapai tujuan dan memantau kinerja.”)
Sedangkan menurut Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara
Nomor KEP-117/M-MBU/2002, coorporate governance adalah:
”Suatu proses dari struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memerhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundang – undangan dan nilai etika.”
Konsep good coporate governance pada intinya mengandung
Tabel 2.1 Konsep GCG
1. Wadah Organisasi (perusahaan, sosial, pemerintahan)
2. Model Suatu sistem, proses, dan seperangkat peraturan, termasuk
prinsip-prinsip, serta nilai-nilai yang melandasi praktik
bisnis yang sehat
3. Tujuan • Meningkatkan kinerja organisasi
• Menciptakan nilai tambah bagi semua pemangku
kepetingan
• Mencegah dan mengurangi manipulasi serta kesalahan
yang signifikan dalam pengelolaan organisasi
• Meningkatkan upaya agar para pemangku kepentingan
tidak dirugikan
4. Mekanisme • Mengatur dan mempertegas kembali hubungan
hubungan, peran, wewenang, dan tanggung jawab:
• Dalam arti sempit: antar pemilik/pemegang saham,
dewan komisaris, dan dewan direksi
• Dalam arti luas: antar seluruh pemangku kepentingan
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, konsep GCG memperjelas
dan mempertegas hubungan antar para pemangku kepentingan di dalam suatu
organisasi. OECD mengembangkan prinsip-prinsip yang dapat dijadikan acuan
hubungan antara para pemangku kepentigan tersebut. Prinsip-prinsip OECD
(dalam Agoes, 2006) mencakup lima bidang utama, yaitu: hak-hak para pemegang
saham (stockholders) dan perlindungannya; peran para karyawan dan pihak-pihak
yang berkepentingan (stakeholders); pengungkapan (dixclosure) yang akurat dan
tepat waktu; transparansi terkait dengan struktur dan operasi perusahaan; serta
tanggung jawab dewan (Dewan Komisaris dan Direksi), terhadap perusahaan,
pemegang saham, dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya. Secara ringkas,
prinsip-prinsip tersebut dapat dirangkum sebagai berikut:
a. Perlakuan yang setara antar pemangku kepentingan (fairness)
b. Transparansi (transparancy)
c. Akuntabilitas (accountability)
d. Responsibilitas (responsibility)
Sebenarnya, tiga dari keempat prinsip ini – transparansi, akuntabilitas,
dan tanggung jawab mempunyai arti yang sangat erat dan tumpang tindih.
Laporan keungan yang lengkap dan benar (prinsip akuntabilitas) merupakan salah
satu alat pertanggungjawaban (prinsip tanggung jawab) para pengelola
(manajemen, direksi) kepada para pemangku kepentingan. Namun harus dipahami
bahwa wujud pertanggungjawaban manajemen tidak terbatas hanya dalam bentuk
penyampaian laporan keuangan (dimensi ekonomis) saja, tetapi juga mencakup
empat dimensi lainnya (hukum, moral, sosial dan spiritual).
Tjger dkk. (2003)(dalam Agoes, 2006) mengungkapkan bahwa paling
1. Berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh McKinsey & Company
menunjukkan bahwa para investor institutional lebih menaruh kepercayaan
terhadap perusahaan-perusahaan di Asia yang telah menerapkan GCG.
2. Berdasarkan berbagai analisis, ternyata ada indikasi keterkaitan antara
terjadinya krisis finansial dan krisis berkepanjangan di Asia dengan lemahnya
tata kelola perusahaan.
3. Internasionalisasi pasar – termasuk liberasi pasar finansial dan pasar modal –
menuntut perusahaan untuk menetapkan GCG.
4. Kalaupun GCG bukan obat mujarab untuk keluar dari krisis, sistem ini dapat
menjadi dasar bagi berkembangnya sistem baru yang lebih sesuai dengan
lanskap bisnis yang kini telah banyak berubah.
5. Secara teoritis, praktik GCG dapat meningkatkan nilai perusahaan.
Sedangkan menurut Surya dan Ivan Yustiavandana (2007) (dalam
Agoes, 2006) mengatakan bahwa tujuan dan manfaat dari penerapan GCG
adalah:
1. Memudahkan akses terhadap investasi domestik maupun asing.
2. Mendapatkan biaya modal (cost of capital) yang lebih murah.
3. Memberikan keputusan yang lebih baik dalam meningkatkan kinerja ekonomi
perusahaan.
4. Meningkatkan keyakinan dan kepercayaan dari para pemangku kepentingan
terhadap perusahaan.
Surya dan Ivan Yustiavandana (2006)(dalam Agoes, 2006)
menyebutkan paling tidak diperlukan empat organ tambahan untuk melengkapi
penerapan GCG, yaitu:
1. Komisaris Independen
2. Direktur Independen
3. Komite Audit
4. Sekretaris Perusahaan (Corporate Secretary)
2.12 Kepemilikan Manajerial
Kepemilikan manajerial adalah jumlah kepemilikan saham oleh pihak
manajemen perusahaan. Menurut Shleifer dan Vishny (dalam Siallagan dan
Machfoedz, 2006) menyatakan bahwa kepemilikan saham yang besar dari segi
nilai ekonomisnya memiliki insentif untuk memonitor.
Dengan adanya kepemilikan manajerial dalam sebuah perusahaan akan
menimbulkan dugaan yang menarik bahwa nilai perusahaan meningkat sebagai
akibat kepemilikan manajerial yang meningkat. Kepemilikan oleh manajemen
yang besar akan efektif memonitoring aktivitas perusahaan (Permanasari, 2010).
2.13 Kepemilikan Institusional
Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan
pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif sehingga dapat
mengurangi manajemen laba (Ujiyantho dan Pramuka, 2007) (dalam Agoes,
2006). Kepemilikan institusional merupakan kepemilikan saham oleh pemerintah,
serta institusi lainnya pada akhir tahun (Shien, et.al. 2006) dalam Isnanta (2008).
Adanya kepemilikan oleh investor institusional akan mendorong peningkatan
pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen, karena kepemilikan
saham mewakili suatu sumber kekuasaan yang dapat digunakan untuk mendukung
atau sebaliknya terhadap kinerja manajemen.
2.14 Komisaris Independen
Surya dan Ivan Yustiavandana (2006) mengungkapkan ada dua
pengertian independen terkait dengan konsep komisaris dan direktur independen
tersebut:
1. Pertama, komisaris dan direktur independen adalah seseorang yang ditunjuk
untuk mewakili pemegang saham independen (pemegang saham minoritas).
2. Kedua, komisaris dan direktur independen adalah pihak yang ditunjuk tidak
dalam kapasitas mewakili pihak mana pun dan semata-mata ditunjuk
berdasarkan latar belakang pengetahuan, pengalaman, dan keahlian profesional
yang dimilikinya untuk sepenuhnya menjalankan tugas demi kepentingan
perusahaan.
Keberadaan komisaris independen sangat penting, karena didalam
praktek sering ditemukan transaksi yang mengandung benturan kepentingan yang
mengabaikan kepentingan pemegang saham publik (pemegang saham minoritas)
serta stakeholder lainnya, terutama pada perusahaan di Indonesia yang
Komisaris Independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak
terafiliasi dengan direksi, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham
pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat
mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak
semata-mata demi kepentingan perusahaan. Misi komisaris independen adalah
memotivasi iklim yang lebih objektif dan menempatkan kesetaraan (fairness) di
antara berbagai kepentingan termasuk kepentingan perusahaan dan kepentingan
stakeholder sebagai prinsip utama dalam pengambilan keputusan oleh dewan
komisaris serta diterapkannya prinsip dan praktek tata kelola perusahaan yang
baik (Good Corporate Governance) pada perusahaan di Indonesia.
2.14.1 Tanggung Jawab Komisaris Independen
Komisaris Independen memiliki tanggung jawab pokok untuk
mendorong diterapkannya prinsip tata kelola perusahaan yang baik (Good
Corporate Governance) di dalam perusahaan melalui pemberdayaan dewan
komisaris agar dapat melakukan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada
direksi secara efektif dan lebih memberikan nilai tambah bagi perusahaan.
Dalam upaya untuk melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik,
maka komisaris independen harus secara proaktif mengupayakan agar dewan
komisaris melakukan pengawasan dan memberikan nasehat kepada direksi yang
1. Memastikan bahwa perusahaan mengangkat eksekutif dan manajer-manajer
profesional.
2. Memastikan bahwa perusahaan memiliki informasi, sistem pengendalian, dan
sistem audit yang bekerja dengan baik.
3. Memastikan bahwa perusahaan mematuhi hukum dan perundangan yang
berlaku maupun nilai-nilai yang ditetapkan perusahaan dalam menjalankan
operasinya.
4. Memastikan prinsip-prinsip dan praktek Good Corporate Governance dipatuhi
dan diterapkan dengan baik.
2.14.2 Tugas Komisaris Independen
1. Menjamin transparansi dan keterbukaaan laporan keuangan perusahaan.
2. Perlakuan yang adil terhadap pemegang saham minoritas dan stakeholder yang
lain.
3. Diungkapkannya transaksi yang mengandung benturan kepentingan secara
wajar dan adil.
4. Kepatuhan perusahaan pada perundangan dan peraturan yang berlaku.
5. Menjamin akuntabilitas organ perseroan.
2.14.3 Wewenang Komisaris Independen
1. Komisaris independen mengetuai komite audit dan komite nominasi.
2. Komisaris independen berdasarkan pertimbangan yang rasional dan
komisaris lainnya yang wajib dicatat dalam Berita Acara Rapat Dewan
Komisaris dan pendapat yang berbeda yang bersifat material, wajib
dimasukkan dalam laporan tahunan.
2.1 Komite Audit
Sebagaimana dinyatakan oleh Hasnati (dalam Surya dan Yustiavada,
2006), tugas, tanggung jawab, dan wewenang komite audit adalah membantu
dewan komisaris, antara lain:
a. Mendorong terbentuknya struktur pengendalian intern yang memadai (prinsip
tanggung jawab).
b. Meningkatkan kualitas keterbukaan dan laporan keuangan (prinsip
keterbukaan).
c. Mengkaji ruang lingkup dan ketepatan audit eksternal, kewajaran biaya audit
eksternal, serta kemandirian dan objektivitas audit eksteral (prinsip
akuntabilitas).
d. Mempersiapkan surat uraian tugas dan tanggung jawab komite audit selama
tahun buku yang sedang diperiksa eksternal audit (prinsip tanggung jawab).
2.16Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu beserta dengan hasil pengujiannya dapat
Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu No
.
Peneliti Tahun Variabel Independen Hasil
1. Indah
ROA, DER, Total Asset Growthtidak
mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dividen dengan good corporate governance payout, tetapi sizetidak signifikan. Total Asset, arus kas bebas.
Variabel moderasi: GCG
2.17 Kerangka Konseptual
Gambar 2.1
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
Keterangan:
X1, X2, X3, X4 = Variabel Independen
Y = Variabel Dependen
Z = Variabel Moderasi
Return On Assets (ROA)
(X1)
Dividend PayoutRatio (DPR)
(Y) Current
Ratio(CR)
(X2)
Debt to Equity Ratio (DER)
(X3)
Growth
(X4)
Independensi Dewan Komisaris
2.18 Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah dugaan sementara yang harus diuji kebenarannya oleh
peneliti sehingga diperoleh jawaban atas dugaan tersebut. Menurut Kinney, Jr.
(1986) dalam Jogiyanto (2004) hipotesis (hypothesis) adalah prediksi tentang
fenomena.
2.18.1 Hubungan Return On Assets terhadap Dividend Payout Ratio
Faktor profitabilitas berpengaruh terhadap kebijakan dividen karena
dividen adalah sebagian dari laba bersih yang diperoleh perusahaan, oleh karena
itu dividen akan dibagikan apabila perusahaan memeroleh keuntungan.
Keuntungan yang layak dibagikan adalah keuntungan setelah perusahaan
memenuhi kewajiban-kewajiban tetapnya yaitu pajak dan bunga. Oleh karena itu
dividen yang diambil dari keuntungan bersih akan memengaruhi dividend payout
ratio.
Lintner (1956) menyatakan dalam Smoothing Theory, jumlah dividen
bergantung pada keuntungan perusahaan sekarang dan dividen tahun sebelumnya.
Dapat disimpulkan bahwa perusahaan yang semakin besar keuntungannya akan
membayar porsi pendapatan yang semakin besar sebagai dividen. Semakin tinggi
profitabilitas perusahaan, maka semakin tinggi pula arus kas dalam perusahaan,
dan diharapkan perusahaan akan membayar dividen yang lebih tinggi (Jensen, et
al., 1992).
Dapat disimpulkan bahwa profitabilitas berpengaruh positif terhadap
2.18.2 Hubungan Current Ratioterhadap Dividend Payout Ratio
Posisi likuiditas perusahaan dalam kemampuan membayar dividen sangat
berpengaruh (Keown et al, 2001) karena dividen dibayarkan dengan kas dan tidak
dengan laba ditahan, persahaan harus memiliki kas tersedia untuk pembayaran
dividen.
Semakin besar current ratio menunjukkan semakin tinggi kemampuan
perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Dan tingginya current
ratio menunjukkan keyakinan pemegang saham terhadap kemampuan perusahaan
untuk membayar dividen.
2.18.3 Hubungan Debt to Equity Ratioterhadap Dividend Payout Ratio Perusahaan yang sedang berkembang dalam kegiatan operasionalnya
memerlukan modal yang berasal dari pendanaan internal maupun eksternal.
Ketika pendanaan internal tidak mencukupi, maka perusahaan akan meminjam
modal dari pihak eksternal dalam bentuk utang.
Dengan meningkatnya utang dapat mengurangi keinginan manajer
untuk menggunakan free cash flow yang tersedia untuk kegiatan yang
menyebabkan inefisiensi Meskipun hutang juga dapat menimbulkan konflik
keagenan utang, karena tingkat penggunaan utang yang tinggi dapat
meningkatkan risiko kebangkrutan. Perusahaan yang memiliki tingkat utang yang
tinggi akan membayar dividen lebih sedikit daripada perusahaan yang memiliki
tingkat utang yang rendah.
Dapat disimpulkan, leverage akan berpengaruh negatif terhadap
2.18.4 Hubungan Growthterhadap Dividend Payout Ratio
Semakin cepat tingkat pertumbuhan suatu perusahaan, maka semakin
besar kebutuhan dana yang diperlukan untuk membayai pertumbuhan tersebut.
Semakin besar kebtuhan dana di waktu mendatang maka perusahaan lebih
memilih menahan keuntungannya daripada membayarkan dividen kepada
pemegang saham.
Dapat disimpulkan bahwa growth berpengaruh negatif terhadap
kebijakan dividen.
2.18.5 Hubungan Good Corporate Governance dengan Dividend Payout Ratio
Teori keagenan menjelaskan bahwa dengan adanya corporate
governance sebagai alat untuk memberikan keyakinan kepada pemegang saham
akan menerima return atas dana yang telah diinvestasikan.
Perusahaan yang melaksanakan corporate governance dapat
mendatangkan pertambahan yang signifikan untuk dividend to cash flow ratio
(Kowalewski et al, 2007).
Berdasarkan rumusan masalah, tinjauan teoritis, penelitian terdahulu,
serta kerangka konseptual, maka hipotesis dari penelitian ini antara lain sebagai
berikut:
H1 : Return On Assets (ROA) berpengaruh signifikan terhadap Divided
Payout Ratio (DPR).
H3 : Debt to Equity Ratio (DER) berpengaruh signifikan terhadap Divided
Payout Ratio (DPR).
H4 : Growth berpengaruh signifikan terhadap Divided Payout Ratio (DPR).
H5 : Return On Assets (ROA), Current Ratio (CR), Debt to Equity
Ratio(DER), dan Growth berpengaruh simultan terhadap Divided Payout
Ratio (DPR).
H6 : Independensi Dewan Komisaris mampu memoderasi pengaruh Return On
Assets (ROA) terhadap Divided Payout Ratio (DPR) pada Perusahaan
Manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia?
H7 : Independensi Dewan Komisaris mampu memoderasi pengaruh Current
Ratio (CR) terhadap Divided Payout Ratio (DPR).
H8 : Independensi Dewan Komisaris mampu memoderasi pengaruh Debt to
Equity Ratio (DER) terhadap Divided Payout Ratio (DPR).
H9 : Independensi Dewan Komisaris mampu memoderasi pengaruh Growth