BAB II
Medan Ibukota Provinsi Sumatera
2.1. Proklamasi dan Awal Pemerintahan di Sumatera Timur
Pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, dua bom dijatuhkan oleh Amerika Serikat
di Hirosima dan Nagasaki. Hal ini serta merta menjadi sebuah kekalahan bagi Jepang
dan akhir dari Perang Dunia ke-II. Berakhirnya Perang Dunia ke-II menjadi sebuah
awal baru bagi bangsa Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1945 atas nama bangsa
Indonesia Sukarno-Hatta memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia di Jakarta.
Namun berita proklamasi kemerdekaan Indonesia tidak sampai ke seluruh Indonesia
secara bersamaan. Hal ini adalah wajar karena Jepang masih tetap berkuasa pada saat
itu, bahkan mereka juga melakukan pengawasan ketat terhadap setiap saluran radio.
Wilayah Sumatera Timur sendiri, mendapat berita proklamasi secara resmi
ketika Mr. T. M. Hasan dan dr. Amir, selaku perwakilan Sumatera dalam sidang
PPKI kembali ke Medan pada tanggal 29 Agustus 1945. Namun setibanya mereka di
Medan, proklamasi tidak langsung dibicarakan secara terbuka karena suasana Medan
saat itu masih dalam pengawasan Jepang. Selain itu, di Medan sendiri telah terbentuk
comite van ontvangst yang dipelopori oleh para raja-raja, sultan-sultan, dan para
comite van ontvangst ini diadakan pada 25 Agustus 1945 di kediaman dr. Mansoer di
sudut Jalan Raya Medan (Jalan Amaliun). Keberadaan mereka ini kemudian menjadi
desas-desus karena dianggap sedang mempersiapkan kembalinya Belanda untuk
menguasai Indonesia kembali, terutama Sumatera Timur.
Kembalinya Mr. T. M. Hasan dan dr. Amir sendiri ke Sumatera, sebenarnya
bukan hanya membawa berita tentang proklamasi. Bersama dengan Mr. Abbas,
mereka yang merupakan perwakilan Sumatera dalam PPKI mendapat tugas dari
Presiden untuk membentuk pemerintahan Republik Indonesia di Sumatera dengan
Medan sebagai Ibukotanya. Selain itu, Mr. T. M. Hasan dan dr. Amir juga diangkat
sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera, sementara Mr. Abbas bertugas
membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) dan Dewan Perwakilan Daerah di
seluruh Sumatera.
Pada dasarnya, Mr. T. M. Hasan dan dr. Amir yang kembali ke Medan dengan
membawa perintah Presiden Sukarno, sebenarnya mempunyai wewenang untuk
membentuk pemerintahan republik di Sumatera secara sepihak tanpa memperdulikan
kelompok-kelompok yang menganggap sinis hal tersebut, terutama para raja dan
sultan di Sumatera Timur. Namun hal tersebut tidak dilakukan, Mr. T. M. Hasan dan
dr. Amir memilih untuk mencoba merangkul semua golongan masyarakat di Medan,
baik dari tokoh pergerakan politik maupun dari tokoh kerajaan. Pada akhirnya upaya
tokoh-tokoh yang mereka jumpai tidak bersedia, para tokoh kerajaan lebih
menginginkan kembalinya kekuasaan Belanda, sementara beberapa tokoh politik
tidak berani melakukannya karena masih adanya tentara Jepang yang berkuasa.
Keadaan ini kemudian bertambah rumit ketika pasukan kecil dari pihak NICA
pimpinan Letnan Brondgeest mendarat di Medan pada 31 Agustus 1945.
Kondisi ini yang kemudian menjadi dasar sejumlah tokoh pergeraakan yang
tergabung dalam panitia penolong Gyugun dan Heiho mendesak Mr. T. M. Hasan
untuk segera memproklamasikan kemerdekaam Indonesia di Medan. Akhirnya pada
tanggal 30 September 1945, panitia penolong Gyugun dan Heiho pimpinan Achmad
Tahir yang kemudian berubah nama menjadi Barisan Pemuda Indonesia (BPI), mulai
mempersiapakan pengumuman proklamsi kemerdekaan di kota Medan. Hal ini
semakin diperkuat dengan kabar bahwa di Pematangsiantar telah terjadi
kegiatan-kegiatan untuk merealisasikan kemerdekaan Indonesia.
Rapat akhirnya diadakan di Gedung Perguruan Taman Siswa pada tanggal 30
September 1945. Pertemuan yang pada awalnya hanya dihadiri oleh para anggota
BPI ini pun pada akhirnya berubah menjadi rapat umum. Pada rapat inilah kemudian
Mr. T. M. Hasan membacakan proklamasi dan menjelaskan tentang peritiwa 17
Agustus 1945 di Jakarta, dan menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia telah
diproklamasikan dan pemerintah republik saat ini sudah ada. Setelah mendengar
itu pun menjadi menyala-nyala. Para anggota yang hadir sudah dimasuki oleh jiwa
yang baru, jiwa merdeka yang meluap-luap dengan hebatnya.
Pada tanggal 3 Oktober 1945, Mr. T. M. Hasan pada akhirnya mengumumkan
bahwa dirinya telah secara resmi diangkat sebagai Gubernur Sumatera. Setelah resmi
menjadi Gubernur, Mr. T. M. Hasan pun mulai memerintahkan pengibaran bendera
merah putih di seluruh Sumatera dan mulai mengeluarkan dekrit. Dekrit yang
kemudian menjadi tanda bahwa Pemerintah Republik Indonesia di Provinsi Sumatera
telah resmi berdiri di kota Medan. Dekrit pertama yang dikeluarkan Gubernur
Sumatera adalah mengenai pengangkatan sepuluh Residen Provinsi Sumatera. Dekrit
No.1-X- tanggal 3 Oktober 1945 secara resmi mengangkat sepuluh orang sebagai
Residen, yakni:
1) Dr. Ferdinand Lumbantobing (Residen Tapanuli)
2) Teuku Nyak Arief (Residen Aceh)
3) Mr. Mohammad Yusuf (Residen Sumatera Timur)
4) Mohammad Safei (Residen Sumatera Barat)
5) Ir. Indra Tjahya (Residen Bengkulu)
6) Dr. A. Syagaf Yahya (Residen Jambi)
7) Dr. A. K. Gani (Residen Palembang)
8) Mr. Abd. Abbas (Residen Lampung)
10)Aminuddin (Residen Riau berkedudukan di Pekanbaru)13
Selain mengangkat para Residen, dan untuk memperlancar roda pemerintahannya Mr.
T. M. Hasan juga mengangkat sepuluh orang penasehat Gubernur melalui dekrit No.
2-X- tanggal 3 Oktober 1945, yakni:
1) Tengku Hafas, Residen yang diperbantukan pada Kantor Gubernur
2) Mas Tahir, Sekretaris Gubernur
3) Mangaradja Soangkupon
4) dr. Pringadi
5) Mr. T. M. Hanafiah
6) Abu Bakar Djaar
7) Raden Mohammad Amrin
8) Tengku Abdul Hamid
9) Abdul Xarim M. S
10) dr. Sahir Nitihardjo.14
Di samping itu, Gubernur juga mengangkat empat wlikota untuk kotamadya di
Sumatera melalui dekrit No.3-X- tanggal 3 Oktober 1945 yaitu:
1) Mr. Laut Siregar (Medan)
2) Barnawi (Bukit Tinggi)
13
Biro Sejarah Prima, Op.cit, hal. 150 dan 749.
14 Ibid
3) dr. Hakim (Padang)
4) Ir. Ibrahim (Palembang).15
Setelah membentuk struktur pemrintahan Republik di Sumatera, Mr. T. M. Hasan
juga mengangkat lima orang wakil pemerintah untuk kerajaan-kerajaan di Sumatera
Timur. Hal ini dilakukan mengingat di daerah Sumatera Timur terdapat wilayah
kerajaan dan statusnya diakui dalam pasal 18 UUD 1945. Para wakil pemerintah
tersebut yaitu:
1) Tulus, Wakil Pemerintah RI untuk Deli Serdang berkedudukan di Medan.
2) Tengku Amir Hamzah, Wakil Pemerintah RI untuk Langkat berkkedudukan
di Binjai.
3) Madja Purba, Wakil Pemerintah RI untuk Simalungun berkedudukan di
Pematangsiantar.
4) Ngerajai Meliala, Wakil Pemerintah RI untuk Tanah Karo berkedudukan di
Kaban Jahe.
5) Tengku Musa, Wakil Pemerintah Ri untuk Asahan berkedudukan di Tanjung
Balai.
Dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, kelima wakil pemerintah ini melakukan
kontak langsung dengan residen Sumatera Timur di Medan.
Terbentuknya struktur pemerintahan dan wakil pemerintahan di setiap
daerah-daerah di Sumatera, secara resmi telah menandakan berdirinya pemerintahan
republik Indonesia di Sumatera dan secara resmi pula Sumatera menjadi wilayah
Indonesia sebagai bagian dari negara yang merdeka. Setelah membentuk struktur
pemrintahan, pada tanggal 4 Oktober 1945, Mr. T. M. Hasan juga memerintahkan
mobilisasi umum untuk mengambilalih kekuasaan dari tangan Jepang. Perintah ini
dalam satu hari dilaksankan serentak di penjuru kota Medan bahkan juga di
daerah-daerah lain di Sumatera Timur. Dengan cepat mobilisasi umum ini berhasil
mengambilalih seluruh kantor jawatan pemerintah, kepolisian, kantor pos, telegraf,
kereta api, dan lainnya. Mr. T. M. Hasan juga memerintahkan pembentukan KNI
daerah Sumatera Timur yang kemudian di ketuai oleh dr. Soenarjo dan dr. Djabangun
sebagai wakil ketua.
Setelah membentuk pemerintahan RI di Sumatera, pada tanggal 6 Oktober 1945
diadakan rapat raksasa di lapangan Esplanade Medan (Lapangan Merdeka). Rapat
raksasa ini dihadiri utusan dari Binjai, Stabat, Tanjungpura, Pangkalan Brandan,
Tebing Tinggi, Pematangsiantar. Ditempat ini secara resmi dibacakan proklamasi
kemerdekaan Indonesia yang dibacakan langsung oleh Mr. T. M. Hasan. Sebelum
pembacaan proklamasi ini terlebih dahulu diadakan upacara penaikan bendera merah
putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.16
2.2. Kedatangan Sekutu-NICA ke Sumatera Timur
16
Menyerahnya Jepang ditangan Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945
menjadikannya harus melepaskan kembali daerah pendudukannya. Ini berarti
daerah-daerah koloni yang semula direbut Jepang dari bangsa barat yang tergabung
dalam blok Sekutu harus dikembalikan. Sementara dari awal semenjak dikalahkan
Jepang, Belanda masih mempunyai keinginan yang sangat besar untuk kembali
menguasai wilayah Indonesia.
Keinginan besar untuk kembali menguasai Indonesia ini yang kemudian
membuat Belanda mendesak Sekutu, khususnya Inggris untuk membuat suatu
perjanjian. Perjanjian yang dilakukan secara rahasia antara Inggris dan Belanda ini
dikenal dengan “Civil Affair Agreement” atau CAA. Perjanjian yang dilakukan di
London menjelang pendaratan Inggris di Indonesia sebagai tentara pendudukan.17
“Pengakuan Inggris atas de facto dan de jure Belanda terhadap Indonesia
(Hindia-Belanda). Belanda mempunyai hak untuk menjalankan kewajibannya
selaku penguasa resmi di Indonesia berdasarkan undang-undang yang
berlaku di Hindia Belanda sebelum terjadinya Perang Dunia ke-II” Isi perjanjian di London ini antara lain sebagai berikut :
18
Menurut ketentuan tersebut pada fase pertama Panglima tentara Sekutu akan
berwenang menyelenggarakan operasi militer serta memulihkan keamanan dan
ketertiban. Sedangkan fase kedua, setelah keadaan kembali normal dan terkendali,
17
Swarni, Peristiwa Siantar Hotel (15 Oktober 1945), Skripsi sarjana jurusan Ilmu Sejarah USU, Medan: Tidak diterbitkan, 1997, hal. 33-34
18 Ibid
pejabat-pejabat NICA akan mengambil alih tanggung jawab tersebut dari pihak
sekutu.19
Masuknya Sekutu ke Indonesia dimulai saat pelaksanaan invasi yang mereka
lakukan terhadap Malaya (Malaysia) dipenghujung Perang Dunia ke-2. Laksamana
Lord Louis Mounbaten selaku Panglima Besar SEAC (South East Asiatic Command),
merencanakan akan melakukan invasi tersebut pada tanggal 9 September 1945. Untuk
melancarkan proses invasi tersebut, maka dibentuklah ACDS (Anglo Dutch Country
Section), sebuah seksi dari SEAC yang bertugas untuk melakukan pengumpulan
informasi dan komunikasi di wilayah-wilayah bekas jajahan Ingris yang sedang
diduduki Jepang.
Strategi lain yang dilakukan Belanda adalah dengan membentuk NICA
(Nederland Indies Civil Administration) yang merupakan sebuah badan pemerintahan
sipil Hindia Belanda. Badan ini berkedudukan di Brisbane, Australia. Salah satu
tujuan dibentukna NICA adalah untuk mempersiapkan segala sesuatu mengenai usaha
pengembalian wilayah Indonesia kepada pemerintah Belanda.
20
Pada akhir bulan Juni 1945, ACDS mengirim tiga unit pasukan komando melalui
udara ke daerah pegunungan Seulimeum Aceh, unit kedua diterjunkan di sekitar
Labuhan Batu dan unit ketiga diturunkan di daerah Riau. Pada tanggal 15 Agustus
19
G. Moedjanto, Indonesia Abad ke-20, Dari Kebangkitan Nasional Sampai Linggarjati, Yogyakarta: Kanisius, 1992 hal. 96.
20
1945, baru menyususl penerjunan pasukan unit keempat di hutan sekitar hulu sungai
Besitang. Pasukan ini dipimpin oleh Brondgeest berpangkat Letnan Satu Pelaut
Belanda.21
Pada tanggal 31 Agustus 1945, tepat tengah malam asukan Brondgeest tiba di
kota Medan dan menginap di Hotel De Boer, dan menjadikannya sebagai markas
Belanda. Selama berada di Medan, Brondgeest membentuk pasukan polisi Belanda
khusus untuk daerah Sumatera Timur. Rekrutmen anggota asukan ini diambil dari
bekas tawanan Jepang dan bekas anggota KNIL yang ada dalam masyarakat. Untuk
menjaga keamanan dan ketertiban di kawasan Sumatera Timur, Brondgeest
menempatkan 60 personil di asrama “pensiun wilhelmina” yang terletak di jalan Bali
Medan dan 27 orang ditempatkan di Siantar Hotel di kota Pematangsiantar.22
Invasi yang di intruksikan oleh Laksamana Louis Mountbaten ini kemudian
terhenti ketika Panglima Besar Angkatan Perang Sekutu di Pasifik, Jendral Mc.
Arthur mengeluarkan larangan resmi. Larangan ini berisi mengenai penyerahaan
kekuasaan Jepang yang hanya boleh diterima oleh Panglima Sovyet, Inggris,
Tiongkok, dan Amerika Serikat, dan hanya dapat dilakukan setelah penanda tanganan
penyerahan tidak bersyarat pada tanggal 2 September 1945 di Tokyo dan 12
September 1945 di Singapura. Atas intruksi inilah kemudian pemerintah Jepang
kembali mengambil alih proses pengamanan wilayah Indonesia termasuk Sumatera
21
Ibid.
22 Ibid
Timur. Pasukan Brondgeest pun tidak dapat berbuat apa-apa dan ditempatkan di
“Pension Wilhemina”, Siantar Hotel, dan berapa tempat lainnya di kota Medan.23
“Bahwa tentara Sekutu yang akan mendarat di Jawa dan Sumatera tidak
akan membawa serdadu-serdadu Belanda atau NICA, bendera Merah Putih
boleh dikibarkan terus dan organisasi dibawah pimpinan Sukarno tidak akan
dilucuti senjatanya.”
Proses pendaratan tentara Sekutu ke Indonesia secara resmi bermula ketika
Jendral Sir Philips Cristison, pimpinan tentara Sekutu yang akan mendarat di
Indonesia dari Singapura, pada tanggal 25 September 1945 mengeluarkan
pengumuman yang berisi:
24
1. Melucuti senjata-senjata Jepang.
Ditegaskan selanjutnya oleh Jendral Sir Philips Christison, bahwa hanya ada tiga
tugas dari kedatangan tentara Sekutu di Indonesia, yaitu:
2. Mengembalikan orang tawanan dan tahanan.
3. Menjaga keamanan.
Janji Jendral Sir Philip Cristison tersebut tidak terlalu dipercaya oleh bangsa
Indonesia, terutama para pemuda. Para pemuda menganggap hal tersebut hanya
omong kosong belaka. Sikap tidak percaya para pemuda ini terbukti benar ketika
23
Biro Sejarah Prima, “Medan Area Mengisi Kemerdekaan”, Medan: Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia, 1976, hal. 79-83
24
Sekutu membentuk AFNEI (Alied Force for Netherland East Indies) yang merupakan
pasukan yang ditugaskan untuk mendarat di Indonesia. Pasukan ini terdiri dari tiga
brigade yang masing-masing mendarat di Jakarta, Surabaya, dan Medan.25
Menyikapi pendaratan Sekutu ke Belawan, pada tanggal 9 Oktober 1945 BPI
dan beberapa organisasi pemuda lain melakukan sebuah pertemuan yang bernama
“Rapat Samudra”. Rapat yang dilaksanakan di lapangan MSV ini banyak dihadiri
oleh para pemuda hingga terlihat seperti samudra manusia. Pada rapat ini,
Simalungun memberangkatkan tiga bus sebagai perwakilan yang terdiri dari anggota
Cap Rante pimpinan Jonathan Silitonga, dan BKPI pimpinan Abdul Azis Siregar dan
Burhanuddin Kuncoro.
Pendaratan pertama di pulau Sumatera, yakni Belawan-Medan seharusnya
terlaksan pada tanggal 9 Oktober 1945. Namun ketidaksiapan tentara Jepang untuk
melakukan penyerahan menjadikan pendaratan terjadi pada tanggal 10 Oktober 1945.
Pada pendaratan ini, pasukan Sekutu sudah melanggar janji pemimpinnya. Hal ini
karena dalam rombongan mereka terdapat beberapa pembesar KNIL.
26
“Bahwa pendaratan serdadu Sekutu di Pelabuhan Belawan-Medan dapat diterima. Tapi bilamana Sekutu turut Dalam rapat ini kemudian lahirlah sebuah kesepakatan seluruh peserta rapat
yang senada dengan seruan pemerintah pusat, yakni:
25
Ibid, Hal. 119-120.
26 Ibid
memboncengkan serdadu NICA, keamanan tidak dapat dijamin oleh
pemuda-pemuda Indonesia.”27
2.3. Gejolak Konflik di Kota Medan
Pernyataan para pemuda ini kemudian disampaikan kepada Gubernur
Sumatera untuk disampaikan keapada perwira penghubung sekutu di Medan.
Keraguan terhadap janji pihak sekutu ini kemudian terbukti, ketika para buruh
bongkar muat di pelabuhan menerima uang pembayaran dari mereka dengan uang
NICA. Seketika hal ini ditolak oleh para buruh dan meminta dibayar dengan uang
Jepang. Dalam perdebatan inilah beberapa buruh berbicara dengan bahasa Inggris
yang membuat serdadu tersebut kebingungan, dan ketika dipancing berbahasa
Belanda baru dijawab dengan lancar. Hal ini yang kemudian di ketahui bahwa para
serdadu NICA berada diantara tentara Sekutu.
Pendaratan tentara Sekutu pada tanggal 10 Oktober 1945 dibawah pimpinan
Brigjend TED Kelly yang diikuti oleh para pembesar NICA menjadi sebuah awal dari
timbulnya konflik di Medan dan seluruh wilayah Sumatera Timur. Setelah melakukan
serah terima kekuasaan dengan pihak Jepang, tentara Sekutu dan NICA segera
berangkat ke Medan dan menyebar ke tempat yang sebelumnya telah dipersiapkan
oleh Letnan Brondgeest yang sudah berada di Medan.
Keberadaan pasukan Sekutu pimpinan Brigjend TED Kelly menimbulkan sikap
ketidaksukaan di kalangan rakyat Indonesia. Tindakan mereka yang memboncengi
tentara NICA dan sering bertindak profokatif, banyak memicu perkelahian dengan
para pemuda. Tidak adanya penengah persilisihan mengakibatkan
perkelahian-perkelahian tersebut sering memicu pertempuran. Bahkan persoalan ini
tidak hanya terjadi di Medan saja, tapi di daerah lain di Sumatera Timur.
Peristiwa terbesar terjadi pada tanggal 13 Oktober 1945 yang di kenal dengan
peristiwa Jalan Bali. Peristiwa yang bermula dari sikap profokatif tentara sekutu
terhadap seorang pemuda yang memakai lencana merah putih didadanya. Oleh tentara
sekutu lencana tersebut direbut lalu diinjak-injak oleh mereka. Persoalan tersebut
bertambah parah ketika para pemuda yang mendengar hal tersebut bergerak kemarkas
Sekutu mendapat sebuah tembakan yang menewaskan seorang penduduk.
Peristiwa ini kemudian memicu kemarahan para pemuda dan rakyat yang dalam
sekejap menyerbu markas Pasukan Sekutu/Belanda di Pansion Wilhelmina, dengan
berbekal bambu runcing, tombak, parang dan lainnya. Perkelahian ini kemudian
menjadi pertempuran antara rakyat dan tentara Belanda. Menanggapi persoalan ini,
pihak Tentara Sekutu dan pihak Jepang akhirnya menyelesaikannya dengan cara
berunding damai dengan para pimpinan pemuda.28
Peristiwa jalan Bali ini kemudian tersiar kepenjuru Medan dan Sumatera Utara,
yang menjadikan sinyal bagi para pemuda bahwa perjuangan menegakkan proklamasi
telah dimulai. Peristiwa ini kemudian memicu terjadinya peristiwa lain seperti insiden
28
Siantar Hotel di Pematangsiantar dan serangan pasukan Bedjo terhadap gudang
senjata Jepang di Pulo Brayan dan markas tentara Belanda Glugur Hong dan Helvetia.
Pertempuran yang banyak menewaskan korban terutama para tentara KNIL. Hal ini
kemudian memunculkan anggapan bahwa darah orang Belanda dan kaum kolonialis
harus ditumpahkan demi kemerdekaan.
Serangakaian peristiwa tersebut kemudian membuat pihak tentara Sekutu melalui
Brigjend TED Kelly mengambil tindakan dengan mengeluarkan ultimatum kepenjuru
Sematera Timur yang berbunyi sebagai berikut :
Bahwa bangsa Indonesia dilarang keras membawa senjata, termasuk senjata tajam, seperti pedang, tombak, keris, rencong, dan sebagainya. Senjata-senjata itu harus diserahkan kepada tentara Sekutu. Kepada para komandan pasukan Jepang diperintahkan untuk tidak menyerahkan senjatanya kepada TKR dan laskar rakyat, dan harus menyerahkan daftar senjata api yang dimilikinya.29
Keadaan semakin memanas ketika pada tanggal 1 Desember 1945 tentara Sekutu
memperkuat kedudukan mereka di Medan dan memampangkan tulisan Fixed
Boundaries yang menjadi tanda kekuasaan tentara Sekutu, wilayah inilah yang
Hal ini dilakukan tentara Sekutu karena mereka beranggapan ditugaskan untuk
menjaga keamanan dan ketertiban. Bahkan sejak dikeluarkannya maklumat tersebut,
pihak tentara Sekutu mulai gencar melakukan razia. Tindakan ini kemudian
menambah kecurigaan masyarakat terhadap tentara sekutu.
29
kemudian dikenal dengan Medan Area. Persoalan ini telah menjadikan keadaan
semakin tegang dan memicu permusuhan yang tidak dapat didamaikan antara tentara
Sekutu dengan pemuda Indonesia, hal yang kemudian menjadi awal bagi
insiden-insiden lainnya.
Keadaan ini terus berlanjut dengan banyaknya pertempuran yang terjadi antara
tentara Sekutu dengan TKR dan laskar rakyat di sekitar kota Medan. Pergolakan yang
terjadi ini menjadikan keadaan kota Medan sebagai Ibukota Provinsi Sumatera kian
bertambah panas. Teror terhadap rakyat dan pemuda Indonesia tidak hanya di dapat
dari pasukan Sekutu, namun para pengikut-pengikut kolonialis, NICA dan Poh An
Tui30. Tindakan pasukan Sekutu mulai disadari sebagai upaya penjajahan ketika
mereka mulai melakukan penggempuran, penggeledahan, penyerkapan, penangkapan
dan pembunuhan terhadap beberapa penduduk dengan dalih sebagai ancaman
keamanan. Bahkan tentara Sekutu juga mulai merampas gedung-gedung milik
pemerintah Republik Indonesia.31
Krisis yang terus berlanjut di Kota Medan yang kemudian diikuti oleh peristiwa
Revolusi Sosial pada Maret 1946 menjadikan situasi kota Medan semakin tidak aman.
Pasukan Sekutu juga mulai melakukan serangan militer terahadap basis-basis militer
30
“Poh An Tui (Barisan Pengawal Tionghoa), dibentuk dan diresmikan Sekutu pada tanggal 1 Januari 1946. Tujuan semula adalah untuk menjaga keamanan orang-orang Cina, tetapi kenyataannya turut ambil bagian bersama tentara Sekutu dan NICA untuk menumpas Republik Indonesia. Bahkan mereka juga menjadi Pasukan V Belanda di daerah pedalaman. Hal ini terlihat ketika Agresi Militer dimana mereka membantu Belanda dengan melakukan kekacauan.” Lihat Edisaputra, Op.cit, hal. 226-228
31 Ibid
Republik di perbatasan Medan Area. Dalam serangan-serangan ke basis-basis tentara
Republik ini beberapa tokoh politik bahkan ditawan, seperti M. Saleh Umar.
Kerasnya tindakan Inggris di Medan Area menimbulkan beberapa permasalahan
bagi pemimpin pemerintahan Republik. Baik dr. Amir maupun Ahmad Tahir
menyadari bahwa konfrontasi besar dengan Inggris akan mengancam keselamatan
Pemerintahan Republik di Sumatera Timur. Beberapa upaya pun dilakukan dr. Amir
untuk mencari solusi damai dengan Inggris, yakni jalur diplomasi seperti yang
dilakukan pemerintah pusat.
Keadaan kota Medan yang semakin tidak kondusif akibat dari konflik tersebut
akhirnya menjadi alasan dilakukannya pemindahan pusat pemerintahan provinsi
Sumatera dari Medan ke Pematangsiantar pada April 1946. Pindahnya Ibukota juga
diikuti oleh seluruh jawatan pemerintahan dan juga Markas TRI Divisi IV, hal ini
kemudian juga diikuti oleh penduduk Medan dan sekitarnya yang merasa keadaan
sudah tidak lagi aman akibat teror dari pasukan Sekutu.
2.4. Revolusi Sosial
Menurut Mochtar Lubis, revolusi itu seperti banjir, dan sekarang tidak seorang
pun dapat mengendalikannya. Apapun yang kita lakukan, ia mengikuti jalannya
sendiri, tanpa menghiraukan kita yang menciptakannya. Revolusi sosial adalah suatu
susunan masyarakat atas dasar Undang-Undang Dasar 1945.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa situasi di Sumatera Timur pasca
kemerdekaan Indoneisa mengalami gejolak. Berbagai konflik dan hambatan satu
persatu datang menghadang Negara Republik Indonesia di wilayah Sumagtera Timur
yang baru terbentuk. Mulai dari kerusuhan yang dipelopori oleh Sekutu/NICA,
hingga mengontrol kelompok radikal yang non-kooperatif32 dalam mempertahankan
Republik Indonesia. Laskar-laskar rakyat dan partai-partai politik yang bergabung di
dalam Volksfront merasa tidak suka dengan sikap dan kebijakan yang ditunjukkan olh
Mr. T.M. Hasan dalam memimpin pemerintahan.33
Sikap tidak suka yang berawal dari pertemuan yang diadakan pada tanggal 8
September 1945 (sebelum pertemuan di Taman Siswa) oleh Mr. T.M. Hasan dengan
tokoh politik lainnya seperti, Abdul Xarim MS, Mohammad Said, dan Jahja Jacoeb di
rumah dr. Amir di Tanjunga Pura. Dalam pertemuan ini Mr. T.M. Hasan dan dr. Amir
lalai sehingga sama sekali tidak menyinggung masalah kemerdekaan Indonesia
kepada mereka. Hal ini menimbulkan kekecewaan para tokoh politik terhadap kedua
pemimpin tersebut. Sikap dr. Amir sendiri sudah tidak begitu perduli terhadap
proklamasi kemerdekaan karena beliau menganggap proklamasi hanyalah sandiwara
32
Kelompok radikal tersebut antara lain, Saleh Umar, Marzuki Lubis, dsn Jacob Siregar (PNI/Napindo), Laut Siregar dan Nathar Zainuddin (PKI), Sarwono Sastrosutardjo, (Pesindo), dan Bachtiar Yunus (Hizbullah). Lihat Suprayitno, “Revolusi Sosial di Sumatera Timur Maret 1946 (Tregedi Amir Hamzah)” dalam Agus Suwigno (ed.), Sejarah Sosial di Indonesia : Perkembangan dan Kekuatan 70 Tahun Prof. Dr. Suhartono Wiryo Pranoto, Yogyakarta : Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada, 2011, hal. 149
33 Ibid
belaka.34
Sikap yang ditunjukkan para kaum republik bermula ketika tersiar kabar tentang
pertemuan yang dilakukan oleh kaum bangsawan Sumatera Timur pada tanggal 25
Agustus 1945. Sebuah pertemuan yang melibatkan raja-raja, sultan-sultan, dan para
pamongpraja ini diadakan oleh dr. Mansoer yang saat itu menjabat sebagai ketua Shu
Shangi Kai Sumatera Timur, di kediamannya di sudut jalan raja/ jalan Amalium.
Pertemuan ini diadakan untuk mengatur cara-cara dalam menyambut kedatangan
Belanda kembali. Dalam pertemuan tersebut telah dibentuk comite van ontvangat
(panitia penyambutan kedatangan Belanda) yang diketuai oleh Sultan Langkat dan dr.
Mansoer sebagai wakilnya. Selanjutnya fakta-fakta yang tidak dimumumkan secara
resmi tersebut tersebar luas dimasyarakat. Hal inilah yang menjadi desas-desus dan
akhirnya setelah semakin jauh dari tempat asal kejadian, maka isinya semakin Kekecewaan para tokoh politik ini semakin mendalam dengan adanya
kebijakan Mr. T.M. Hasan yang berusaha melakukan diplomasi terhadap golongan
bangsawan kesultanan di Sumatera Timur agar melebur ke dalam republik.
Para tokoh politik menganggap bahwa kaum bangsawan Sumatera Timur adalah
sebuah ancaman bagi pemerintahan republik. Anggapan ini muncul ketika tersiar
kabar bahwa para kaum bangsawan dan kesultanan Sumatera Timur membentuk
sebuah panitia untuk menyambut kedatangan Belanda kembali. Hal ini yang
kemudian memunculkan sikap ketidaksukaan kaum republik atas upaya Mr. T. M.
Hasan melakukan upaya diplomasi terhadap kaum bangsawan Sumatera Timur.
34
berbeda.35
Akibat desakan para pemimpin politik, pada tanggal 31 September 1945 Mr. T.M.
Hasan memanggil seluruh pemuda yang tergabung dalam BPI dalam rapat sosialisasi
kemerdekaan Indonesia di gedung Taman Siswa Medan. Akhirnya pada tanggal 6
Oktober 1945, bendera merah putih resmi berkibar di lapangan Esplanade (lapangan
medeka sekarang) Medan.
Berita keberadaan comite van ontvangst yang diyakini sebagai upaya
memuluskan kembalinya Belanda oleh kaum bangsawan Sumatera Timur menjadi
salah satu hambatan terjadinya proklamasi kemerdekaan di Sumatera Timur. Mr. T.M.
Hasan yang medapat tanggung jawab atas proklamasi tersebut bersikap ragu-ragu
karena merasa tidak memiliki kekuataan politik untuk melakukan hal tersebut. Sikap
ini yang kemudian menimbulkan kekecewaan di kalangan tokoh politik yang
mendukung proklamasi yang pada akhirnya mengambil tindakan untuk mendesak Mr.
T.M. Hasan untuk melakukan kewajibanya.
36
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa awal tahun 1946 keadaan politik di Sumatera
Timur semakin memanas karena konflik antara pihak Sekutu/Nica dengan laskar
rakyat dan adanya perpecahan antar golongan. Perpecahan antar golongan ini
misalnya, perpecahan antara kerajaan yang konservatis dan perpecahan antara
35
Ibid, hal. 94-116
36
Pemerintah Republik Indonesia dengan Persatuan Perjuangan. Perpecahan ini
menimbulkan perebutan pengaruh dan kekuasaan diantara golongan partai, serta
adanya pertentangan lain antara golongan pemilik modal dengan para buruh dan
raja-raja dengan rakyat. Pertentangan-pertentangan ini kemudian menimbulkan
pernyataan untuk menghapuskan swapraja (sultan, raja, Sibayak, dan datu) yang
menjadi dasar dari tujuan Persatuan Perjuangan untuk menghapus sistem kerajaan di
Sumatera Timur.37
Pada awal Februari 1946 diadakan rapat antara Komite Nasional Indonesia (KNI)
daerah Sumatera Timur dengan Gubernur Sumatera dan para Sultan, raja, dan sibayak
seluruh Sumatera Timur. Dalam rapat itu KNI meminta kepada agar para sultan,
raja-raja, dan sibayak segera mengubah sistem pemerintahannya ke demokrasi sesuai Keadaan ini semakin memanas lagi karena munculnya kesan kurang kerjasama
antara Gubernur Mr. T.M. Hasan dengan wakilnya dr. Amir dalam menangani
kelompok yang bertikai. Bahkan kedua tokoh ini seakan didikte oleh para pemimpin
pergerakan yang bertikai itu. Hal ini yang menyebabkan aktivitas golongan kiri lebih
didukung oleh para pemuda dari pada kedua tokoh tersebut yang lebih berhaluan
moderat. Dalam keadaan kacau seperti ini para pemuda biasanya cenderung mudah
digiring pada tindakan-tindakan yang mengandung kekerasan. Itulah sebabnya para
tokoh golongan kiri lebih mendapat tempat dikalangan pemuda dari pada tokoh-tokoh
moderat.
37 Ibid
dengan Undang-undang Dasar Republik Indonesia.38
Sultan-sultan dan raja-raja akan memrintah sesuai dengan kemauan dewan itu. Dewan tersebut membuat undang-undang, raja-raja mengerjakan keputusan dari Badan Perwakilan tersebut...”
Dalam pertemuan tersebut, Mr.
T.M. Hasan selaku perwakilan republik menyampaikan pidato :
“...Pemerintah Negara Republik Indonesia telah menegaskan politiknya terhadap daerah istimewa yaitu Negara Republik Indonesia mengakui daerah “zelfbestuur”. Di jaman Belanda kedudukan raja-raja terikat sekali; Belanda yang melakukan pemerintahan, sedang raja-raja digunakan sebagai perkakas kaum penjajah dan kaum kapitalis.
Dalam zaman Indonesia merdeka ini, raja-raja mesti menjadi pemimpin bangsanya kembali. Pemerintahan otokrasi raja-raja yang ditanamkan oleh Belanda harus ditukar menjadi pemerintahan demokrasi dan raja-raja hendaknya bersiap memimpin rakyat. Raja-raja berhak menjadi pemimpin Negara Republik Indonesia.
39
Dilain pihak, para sultan dan raja-raja yang diwakili oleh Sultan Langkat
memberikan pidato bahwa mereka berjanji akan setia terhadap Pemerintahan
Republik Indonesia. Dalam pidatonya, Sultan Langkat juga meminta agar gubernur
Sumatera dapat menyampaikan kepada Presiden R.I mengenai permohonan para
sultan agar mempertimbangkan pembentukan daerah istimewa di Sumatera Timur.40
Dari pidato yang disampaikan Sultan Langkat, tersirat bahwa Sulatan-sultan
Sumatera Timur belum menunjukkan kesungguhan mereka untuk meletakkan haknya
sebagai swapraja dan setia ke dalam republik. Hal ini terlihat dalam pidato Sultan
38
Kementrian Penerengan R.I, Republik Indonesia : Provinsi Sumatera Utara, Medan: CV Karya Purna, 1953, hal. 76
39
A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid II, Bandung: DISJARAH-AD dan Angkasa Bandung, 1977, hal. 595
40
Langkat yang menginginkan supaya wilayah kekuasaan para sultan-sultan di
Sumatera Timur menjadi daerah istimewa sehinggaa tetap melanggengkan sistem
otokrasi mereka meskipun tidak seperti pada masa Belanda.
Sikap dari para sultan dan swapraja Sumatera Timur ini membuat ketegangan
semakin meningkat. Selain itu, sikap Gubernur Mr. T.M. Hasan yang menyatakan
belum berniat untuk menghapus kerajaan-kerajaan karena ada dasar hukum untuk
menjadi daerah istimewa semakin menimbulkan kecurigaan dikalangan partai politik
terutama golongan kiri. Mereka mengnggap bahwa Gubernur belum ingin
menghapuskan sistem pemerintahan kerajaan. Hal ini jelas betentangan dengan
program persatuan perjuangan.
Di tengah situasi ini, golongan kiri telah berhasil menyusupi berbagai posisi
penting dalam peta kekuatan daerah Sumatera Timur. Keadaan ini semakin parah
ketika jabatan pemerintahan dipegang olah dr. Amir selama kepergian Mr. T.M.
Hasan meninjau daerah-daerah. Para tokoh golongan kiri mulai ikut menyertai setiap
kegiatan dr. Amir kesetiap daerah-daerah genting seperti Simalungun dan Asahan.
Tujuan utama mereka ialah melakukan provokasi rakyat dengan isu-isu yang dapat
menimbulkan kebencian mereka terhadap pihak kerajaan dan bangsawan. Keadaan
ini disambut antusias oleh rakyat yang kemudian digunakan oleh pihak golongan kiri
untuk segera bergerak melakukan aksinya.
saat itu, masih ada pertemuan makan di hotel Wi Yap, dimana hadir antara lain Datu
Jamil, Tengku Busu dari Indrapura, Tengku Hafaz, Raja Kalimansyah dari
Sumalungun, Raja Silima Huta, dan Mahadi.41 Pada awal maret itu juga M. Yunus
Nasution dan Marzuki Lubis mengadakan suatu pembicaraan dengan Kolonel Ahmad
Tahir (Panglima Divisi) dan Mayor Mazuar, di kediaman Laut Siregar. Dalam
pertemuan ini pihak volksfront membentangkan rencana mereka untuk menghapuskan
struktur pemerintahan swapraja. Mereka mengemukakan bahwa tanda-tanda pihak
swapraja akan melawan republik telah kelihatan, maka dari itu pihak volksfront ingin
bertindak. Pihak TRI menyetujui rencana mereka kalau dilakukan tanpa
penahanan-penahanan dan pembunuhan-pembunuhan.42
Pada tanggal 3 Maret 1946 menjelang 4 Maret meledaklah peristiwa yang
dikenal dengan revolusi sosial di setiap daerah kerajaan Sumatera Timur. Gelora
revolusi sosial dimulai di Sunggal pada tanggal 3 Maret, menyusul Binjai,
Perbaungan, Indrapura, Lima Puluh, Tanah Datar, Seribudolok dan Kualuh. Pada Pihak TRI yang mendapat berita bahwa partai-partai politik akan melakukan
penurunan raja-raja, Diminta supaya jangan campur tangan karena persoalanya
adalah urusan sipil. TRI mengintruksikan kepada bawahannya di setiap daerah agar
jangan mencampuri urusan tersebut, kecuali terjadi kekacauan yang membahayakan
keamanan.
41
A.H. Nasution, Op.cit, hal. 598
42
tanggal 5 Maret dilakukan di Pematangsiantar, Tiga Dolok, Raya, dan Barus Jahe.
Tanggal 6 Maret di Purba dan 7 Maret di Tanjung Pura. Ini masih diteruskan ke
Berastagi, Tanjung Balai dan Bilah pada 8 Maret, menyusul ke Merbau pada 9 Maret
serta Kota Pinang pada 11 Maret. Pada umumnya yang mengambil tindakan ini
adalah laskar-laskar rakyat yang tergabung dalam persatuan perjuangan yang
didukung oleh rakyat. Mereka menumbangkan kekuasaan raja-raja dengan menahan,
merampok, dan membunuh raja-raja serta membumihanguskan istana-istana kerajaan.
Demikian halnya yang terjadi di Simalungun, sebelum meletusnya peristiwa
tersebut Ketua KNI Laut Siregar mengirim surat kepada kepada pemimpin TRI
tentang kerusuhan yang akan terjadi. Ia meminta supaya pihak TRI tidak memihak
pada golongan manapun. Namun akibat dari isi surat yang tidak jelas. pihak TRI tidak
menduga akan terjadi bentrokan antara laskar dan pihak swapraja. Ahmad Tahir
selaku Komandan TRI yang menyetujui tindakan ini meminta para amggota TRI
untuk mengawasi peristiwa revolusi tersebut agar sesuai denga ketentuan-ketentuan
yang telah disepakati, yakni:
1. Penangkapan dilakukan dengan bersih, tertib, dan sopan
2. Semua tangkapan harus diserahkan pada pihak polisi atau pihak yang
berwenang untuk diperiksa
4. Pihak TRI akan mengawasi hal ini sebagai peninjau dalam tindakan-tindakan
pembersihan itu.43
Kejadian justru sebaliknya, dimana tindakan-tindakan yang dilakukan menjadi
liar dan tidak sesuai dengan apa yang dibicarakan di rumah Mr. Laut Siregar. Di
Simalungun, Saleh Umar mengeluarkan intruksi kepada pemimpin Pesindo, BHL dan
PKI Pematangsiantar untuk menangkapi raja-raja di Simalungun. Pihak BHL
mendapat peranan utama dalam peristiwa ini untuk mencegah terjadinya tuduh
menuduh yang bersifat kesukuan di pedalaman Simalungun. Namun hal ini yang
justru membawa keadaan semakin buruk bagi raja-raja itu. Di pedalaman Simalungun
tidak terdapat adanya oposisi terpadu terhadap pemerintahan raja-raja, BHL yang
bertindak di daerah-daerah ini dipimpin oleh beberapa tokoh yang memiliki dendam
pribadi dan para pengikutnya yang tidak terpelajar.
Ketua BHL A.E. Saragih Ras44
43
Jonner Hasibuan, Runtuhnya Feodalisme di Simalungun (1946), Skripsi Sarjana Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya USU, Medan: Tidak diterbitkan, 1992, hal. 86-87
44
A.E. Saragih Ras merupakan Putra perbapaan Tiga ras Pane. Hal ini membuat ia mendapat pendidikan seadanya dan magang di Kantor Kerajaan Pane. Dia berhenti tahun 1923, masuk dalam dunia kejahatan untuk beberapa tahun, kemudian menjadi supir taksi (1927-1930). Pada tahun 1931 menggantikan ayahnya sebagi kepala kampungnya, tetapi rupanya Raja Pane menolaknya menurunkan diri, dan menjadi salah seorang yan pertama masuk Gerindo pada tahun 1938 dan F-kikan pada tahun 1942. Oleh karena itu wajar dia diserahkan Kenkokutai di Simalungun dan penerusnya, Barisan Harimau Liar. Pasukannya pada mulanya tidak begitu menonjol, sampai pasukan ini mengumpulakn harta kekayaan dalam “revolusi sosial”. Sesudah tahun 1949, Saragih Ras banyak berada di penjara Republik dan perkaranya tidak pernah dibawa ke sidang pengadilan. A.E. Saragih Ras merupakan salah seorang pemimpin revolusi sosial untuk bagia Kabupaten Simalungun sekaligus menjadi pemimpin BHL, Anthony Reid, Op.cit, hal 307,
dan ketua Pesindo A. Azis Siregar merupakan
pemeran utama dalam peristiwa revolusi sosial di Simalungun. Saragih Ras memulai
malam beserta seluruh keluarga dan harta bendanya dirampas. Raja Pane dan
beberapa pengikutnya dibawa pada suatu tempat pertahanan BHL dimana diadakan
sebuah pesta dan kemudian semuanya dibunuh. Esok harinya BHL mengejar dan
menangkap raja Raya untuk dibunuh dibawah jembatan besar. Rumahnya
diobrak-abrik, emas dan barang berharganya dirampok. Sementara itu, raja Purba
beruntung diselamatkan pasukan TRI dari tangan BHL. Raja Silimakuta yang
kebetulan berada di Pematangsiantar saat rumahnya disergap dan dibakar juga
selamat. Bersama dengan raja-raja Simalungun lainnya, kedua raja ini akhirnya
mendapat pengamanan tahanan TRI di Pematangsiantar.45
45 Ibid
, hal 374
Kota Pematangsiantar sendiri yang telah menjadi markas TRI di awal 1946,
menjadi wilayah yang cukup aman dari peristiwa revolusi sosial. Bahkan
Pematangsiantar menjadi tempat perlindungan bagi para korban-korban revolusi
sosial dari daerah-daerah yang bergolak seperti Asahan, Labuhan Batu, Deli
Serdang, Langkat, Tanah Karo dan Simalungun. Seperti Sultan Langkat T. Abdul Jalil
Rahmatsyah dan keluarga yang ditempatkan diloteng sebuah toko milik seorang