BAB II
KEADAAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI KECAMATAN BAGAN SINEMBAH SEBELUM DIBUKANYA PERTANIAN KELAPA SAWIT
2.1 Letak Geografis
Kecamatan Bagan Sinembah adalah salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten
Rokan Hilir, Provinsi Riau. Merupakan pintu gerbang masuk ke wilayah provinsi Riau dari
arah Sumatera Utara. Jarak menuju ibu kota Kabupaten Rokan Hilir, Bagan Siapi-api kurang
lebih 180 Km atau sekitar 4 jam jarak tempuh, dengan menggunakan kendaraan bermotor.
Sedangkan jarak menuju Pekan Baru yang merupakan ibu kota Provinsi Riau kurang lebih
360 Km atau sekitar 5-6 jam jarak tempuh. Secara geografis, Kecamatan Bagan Sinembah
berada di ketinggian 10 meter dari permukaan laut. Luas Wilayah Kecamatan Bagan
Sinembah ini secara keseluruhannya sekitar 847, 35 Km2, 89% dari luas wilayah tersebut
terdiri dari dataran, selebihnya merupakan daerah bergelombang yakni sekitar 11%.14
Kecamatan ini terdiri atas 14 desa , yang kesemuanya sudah definitif antara lain, desa
Bahtera Makmur, Gelora, Pelita, Kencana, Pasir Putih, Balai Jaya, Balam Sempurna, Lubuk
Jawi, Bagan Sinembah, Panca Mukti, Salak, Bagan Bhakti, Harapan Makmur, dan Bagan Kecamatan Bagan Sinembah memiliki batas-batas sebagai berikut:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Simpang Kanan dan Kecamatan Kubu
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Pujud
3. Sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Sumatra Utara
4. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Bangko Pusako
14
Batu. Desa-desa di kecamatan Bagan Sinembah merupakan wilayah dataran. Dan setiap desa
atau lebih dikenal dengan kepenghuluan yang berada di Kecamatan Bagan Sinembah
dipimpin oleh seorang kepala desa atau datuk penghulu. Dalam menjalankan tugasnya kepala
desa dibantu oleh beberapa aparatnya. Di Bagan Sinembah ini, aparat desa sudah lengkap.
Seluruh desa sudah memiliki sekretaris dan telah dilengkapi dengan Badan Perwakilan
Kepenghuluan (BPK) dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM). Pada setiap desa atau
kepenghuluan yang ada di kecamatan Bagan Sinembah telah terbentuk RT dan RW, jumlah
RT dan RW pada setiap desa cukup bervariasi, berkisar antara 8 sampai 74 untuk RT dan 2
sampai 25 untuk RW.15
15
BPS dan BAPPEDA Kabupaten Rokan Hilir, Kecamatan Bagan Sinembah dalam Angka 2004,
Bagan Siapiapi: BPS Kabupaten Rokan Hilir, 2005, hlm. 2.
Desa yang paling luas wilayahnya adalah desa Balam Sempurna sedangkan yang
terkecil ialah desa Salak. Jumlah penduduk Kecamatan Bagan Sinembah pada tahun 2000
sebanyak 87,958 orang dan jumlah penduduk paling banyak berada di Bagan Batu yang
merupakan ibukota kecamatan Bagan Sinembah, sementara jumlah penduduk yang terendah
berada di desa Salak. Sebanyak 10 desa yang relatif dekat dan mudah aksesnya ke ibukota
kecamatan, jaraknya kurang lebih 20 Km, sedangkan 4 desa lainnya, antara lain desa Lubuk
Jawi, Panca Mukti, Salak dan Bagan Bhakti jaraknya mencapai 30 Km. Untuk lebih jelas,
Tabel 1
Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Menurut Desa di Kecamatan Bagan Sinembah tahun 2000
No Desa Luas Wilayah (Km2) Jumlah Penduduk (jiwa)
1 Bahtera Makmur 150.75 9,688
2 Gelora 7.08 1,316
3 Pelita 11.53 1,245
4 Kencana 6.99 1,435
5 Pasir Putih 139.21 6,842
6 Balai Jaya 111.52 13,290
7 Balam Sempurna 203.05 19,366
8 Lubuk Jawi 11.58 1,576
9 Bagan Sinembah 75.76 5,351
10 Panca Mukti 8.51 1,443
11 Salak 5.81 1,006
12 Bagan Bhakti 7.05 1,276
13 Harapan Makmur 8.53 1,671
14 Bagan Batu 99.98 22,453
Satu hal yang menarik dari Kecamatan Bagan Sinembah ini, yaitu sampai sekarang
penyebutan desa masih menggunakan kata kepenghuluan dan datuk penghulu untuk
menyebut kepala desanya. Hal ini sudah menjadi peraturan daerah yakni bagi setiap daerah
yang masuk ke dalam Kabupaten Rokan Hilir wajib menggunakan kata kepenghuluan untuk
menyebut sebuah desa.16 Cara kerja atau struktur keorganisasian kepenghuluan ini
sebenarnya sama saja seperti sistem keorganisasian desa, hanya saja penyebutannya yang
berbeda. Dengan kata lain kepenghuluan dan desa itu sama saja. Menurut data sejarah,
sebelum tahun 1979, di daerah ini untuk penyebutan sebuah desa menggunakan kata
kepenghuluan. Namun setelah lahirnya UU No.5 Tahun 1979, penyebutan kepenghuluan
diganti menjadi desa dan berdasarkan UU No.22 1999 secara historis penyebutan desa
diganti menjadi kepenghuluan yang dipimpin oleh seorang datuk penghulu. Penyebutan
datuk penghulu ini dianggap lebih terhormat daripada kepala desa.17
Tidak bisa dipungkiri, bahwa evolusi pembangunan sebuah wilayah, kota maupun
Negara sebagian besar bermula dari perkembangan entitas sebuah desa. Desa dalam
pengertian umum adalah desa sebagai suatu gejala yang bersifat universal, terdapat di
manapun di dunia ini. Sebagai suatu komunitas kecil, yang terikat pada lokalitas tertentu baik
sebagai tempat tinggal (secara menetap) maupun bagi pemenuhan kebutuhannya, dan
terutama yang tergantung pada kegiatan pertanian. Pengertian desa secara umum lebih sering
dikaitkan dengan pertanian. Egon E. Bergel misalnya, mendefenisikan desa sebagai “setiap
pemukiman para petani (peasants)”.18
16
Op. Cit., 25 Februari 2013
17
Op. Cit., 30 Mei 2013.
18
Raharjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999, hlm.29-30.
hal yang selalu harus terlekat pada setiap desa, begitu juga sebaliknya, desa tidak harus
dikaitkan dengan kegiatan pertanian, hanya saja kebanyakan desa di Indonesia khususnya
yang menitikberatkan kegiatan perekonomiannya pada kegiatan pertanian, namun tidak
semua, ada juga desa yang menitikberatkan kegiatan perekonomiannya pada bidang lain
seperti bidang perikanan, industri rumahan (home industry) atau kegiatan pekerjaan tangan
dan lain sebagainya. Yang menjadi ciri utama dari suatu desa adalah fungsinya sebagai
tempat tinggal yang menetap dari suatu kelompok masyarakat yang relatif kecil. Atau dengan
kata lain, sebuah desa ditandai dengan keterikatan warganya terhadap suatu wilayah tertentu.
Keterikatan terhadap wilayah ini di samping sebagai tempat tinggal, juga sebagai penyangga
kehidupan mereka.
Terbentuknya suatu desa tidak terlepas dari insting manusia, yang secara naluriah
ingin hidup bersama keluarga suami/istri dan anak serta sanak familinya, yang kemudian
lazimnya memilih suatu tempat kediaman bersama. Tempat kediaman tersebut dapat berupa
suatu wilayah dengan berpindah-pindah terutama terjadi pada kawasan tertentu hutan atau
areal lahan yang masih memungkinkan keluarga tersebut berpindah-pindah. Hal ini masih
dapat ditemukan pada beberapa suku asli di Sumatera, seperti kubu, suku anak dalam,
beberapa warga melayu asli, juga di pulau-pulau lainnya di Nusa Tenggara, Kalimantan dan
Papua.19
19
Op. Cit., Hal. 10-11.
Sama halnya dengan pembentukan desa Bagan Batu, yang tidak berbeda dengan
pembentukan sebuah desa pada umumnya, yang secara naluriah ingin hidup bersama dengan
keluarga bahkan sanak famili mereka dan yang terpenting adalah untuk mempertahankan
Istilah desa itu sendiri semula hanya dikenal di Jawa, Madura dan Bali. Desa dan
dusun berasal dari bahasa Sanskrit yang berarti tanah ai, tanah asal atau tanah kelahiran.
Dusun dipakai di daerah Sumatera Selatan dan juga di Batak. Di Maluku dikenal istilah
dusundati. Tidak hanya sekedar nama, menurut beberapa ahli seperti van den Berg dan Kern,
desa-desa di Jawa menyerupai desa-desa di India.20
Berbeda dengan perkembangan peradaban di Negara-negara Eropa yang
menggunakan kota sebagai pusat peradaban dan desa menjadi sumber ekonomi semata,
perkembangan peradaban di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan di wilayah
pedesaan. Awal perkembangan kota-kota Indonesia sendiri dimulai dari dua tipe pedesaan
yakni pedesaan berbasis pertanian (inland atau agrarian) dan tipe pedesaan yang berbasis
pesisir.
21
Berkembangnya suatu daerah yang semula masih terbelakang, baik dari segi
perkembangan ekonomi maupun pertambahan jumlah penduduknya, akan mengakibatkan
terciptanya desa-desa baru. Pemecahan suatu desa disebabkan oleh alasan yang objektif,
yakni karena adanya perkembangan, maupun karena adanya kebijakan tertentu oleh
pemerintah. Munculnya desa-desa baru juga disebabkan oleh berubahnya status unit-unit
pemukiman transmigran (UPT) yang setelah lima tahun dalam binaan kemudian resmi
berstatus desa. Sehingga, pada 25 Juni 1987, berdasarkan keputusan Bupati, Kepala Daerah Sama halnya dengan keberadaan kecamatan Bagan Sinembah ini. Awalnya
Kecamatan Bagan Sinembah belum ada, yang dikenal saat itu hanya desa Bagan Sinembah
yang masuk ke dalam Kecamatan Kubu, Kabupaten Bengkalis.
20
Ibid., hal. 48. 21
M.A.Chozin, Pembangunan Perdesaan dalam Rangka Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat,
Tingkat II Bengkalis Nomor: KPTS.151/VII/1987 Bagan Sinembah dimekarkan menjadi 7
desa perwakilan kecamatan Kubu di Bagan Batu yaitu:
1. Desa Induk Bagan Sinembah, Kepala desanya Wan Muhammad Nor
2. Desa Bagan Batu, Kepala desanya Wan Bahrum Noor
3. Desa Bahtera Makmur, Kepala desanya H. Nurdin AR
4. Desa Pasir Putih, Kepala desanya A. Marlani
5. Desa Balai Jaya, Kepala desanya H. Wan Muchtar Noor
6. Desa Balam Sempurna, Kepala desanya H. Abdul Azis Hasibuan
7. Desa Simpang Kanan, Kepala desanya M. Yazid Hamta
Begitu pula dengan kecamatan Bagan Sinembah yang sudah terbentuk sejak tahun
1995. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa kecamatan Bagan Sinembah ini awalnya
merupakan sebuah desa yang luas, dan berada di Kecamatan Kubu, Kabupaten Bengkalis.
Dan karena semakin meningkatnya jumlah penduduk dan kegiatan pemerintahan serta
pembangunan pada wilayah Kabupaten Tingkat II Bengkalis, dalam wilayah Provinsi Daerah
Tingkat I Riau, maka untuk memperlancar tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan serta
untuk meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat, maka dipandang perlu membentuk
kecamatan baru dan menata kecamatan di wilayah Kabupaten daerah tingkat II tersebut.
Dengan demikian, presiden mengeluarkan PP No.33 Tahun 1995, tentang pembentukan 13
kecamatan di wilayah kabupaten Tingkat II Bengkalis, Indragiri Hilir dan Kampar, dalam
nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah, pembentukan kecamatan
harus ditetapkan dengan peraturan pemerintah;22
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945; Mengingat:
2. Undang-undang Nomor 12 tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom
kabupaten dalam lingkungan daeerah Provinsi Sumatera Tengah (Lembaran Negara
tahun 1956 Nomor 25);
3. Undang-undang nomor 61 tahun 1958 tentang penetapan Undang-undang Darurat
Nomor 19 tahun 1957 tentang pembentukan daerah-daerah swatantra Tingkat I
Sumatera Barat, Jambi dan Riau (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 75)
4. Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah
(Lembaran Negara tahun 1974 Nomor 38);
Memutuskan:
1. Membentuk Kecamatan Bagan Sinembah di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II
Bengkalis, yang meliputi wilayah: a. Desa Bagan Batu; b. Desa Simpang Kanan; c.
Desa Bagan Sinembah; d. Desa Pasir Putih; e. Desa Bahtera Makmur; f. Desa Balai
Jaya; g. Desa Balam Sempurna.
2. Wilayah Kecamatan Bagan Sinembah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), semula
merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Kubu. Dengan dibentuknya Kecamatan
22
Bagan Sinembah, maka wilayah Kecamatan Kubu dikurangi dengan Kecamatan
Bagan Sinembah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Berdasarkan musyawarah, mufakat serta dukungan seluruh lapisan masyarakat dan
pemerintah Kabupaten Rokan Hilir, Kecamatan Bagan Sinembah yang semula merupakan
bagian dari Kecamatan Kubu, Kabupaten Bengkalis secara resmi terbentuk sebagai suatu
kecamatan definitif, tepatnya pada hari rabu, tanggal 4 Januari 1995, yang dipimpin oleh
seorang camat yang pertama bernama Drs. H. Wan Achmad Saiful. Dan sebagai hari jadi
yang pertama, berdasarkan PP Nomor 33 Tahun 1995, Kecamatan Bagan Sinembah terdiri
dari 15 desa antara lain, desa Bagan Batu, Bagan Sinembah, Bahtera Makmur, Pasir Putih,
Balai Jaya, Balam Sempurna, Simpang kanan, Gelora, Pelita, Harapan Makmur, Salak, Panca
Mukti, Kencana, Bagan Bakti dan Lubuk Jawi.
Berdasarkan UU No.53 Tahun 1999, tepatnya pada bulan Oktober 1999 Kabupaten
Bengkalis beralih menjadi Kabupaten Rokan Hilir. Kabupaten Rokan Hilir dibentuk dari tiga
kenegerian yaitu negeri Kubu, Bangko dan Tanah Putih. Negeri-negeri tersebut dipimpin
oleh seorang kepala Negeri yang bertanggung jawab kepada Sultan Kerajaan Siak. Distrik
pertama didirikan Belanda di Tanah Putih pada saat menduduki daerah ini tahun 1890.
Setelah Bagan Siapiapi yang dibuka oleh pemukim-pemukim Cina berkembang pesat,
Belanda memindahkan pemerintahan kontroleurnya ke kota ini tahun 1901. Sejak itu
Belanda membangun kota pelabuhan modern terlengkap di masanya mengimbangi pelabuhan
lainnya di selat Malaka.23
23
Ibid.,
Bekas wilayah Bagan Siapiapi yang terdiri dari Kecamatan Tanah
pada Oktober 1999, ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai Kabupaten baru
di Provinsi Riau yakni Kabupaten Rokan Hilir yang ibukotanya terletak di Bagan Siapiapi.
Kadang-kadang alasan terbentuknya desa tercantum dalam nama desa, dari nama desa
dapat diketahui alasan terbentuknya suatu masyarakat desa tertentu.24 Kata Bagan Sinembah
sendiri memiliki berasal dari bahasa Melayu. Adapun arti dari kata Bagan adalah tempat, dan
kata sinembah, diambil dari nama seorang pendatang dari Sumatera Utara yaitu Janombah,
yang kemudian pengucapannya oleh orang Melayu berubah menjadi sinembah. Sehingga
dapat disimpulkan secara sederhana bahwa arti dari Bagan Sinembah ialah tempat si
Janombah.25
Selain penyebutan kata kepenghuluan, hal lain yang cukup menarik untuk dikaji dari
sisi historis ialah mengenai kata Sinembah yang merupakan nama Kecamatan dari desa
Bagan Batu sendiri. Jika kita mendengar kata Sinembah maka banyak yang heran dan
bertanya-tanya. Mengapa kata sinembah ada dan dijadikan sebagai nama tempat di daerah
tersebut, padahal kata Sinembah sendiri erat kaitannya dengan bahasa Batak dari Sumatera
Utara, namun nama atau kata tersebut ada di desa Bagan Sinembah yang merupakan kawasan
suku Melayu. Itulah hal pertama yang ditanyakan orang ketika mendengar kata sinembah.
Menurut sejarahnya, Bagan Sinembah berasal dari kata Bagan Jasinombah yang artinya
tempat pondok persinggahan. Letaknya di sekitar sungai Bagan Sinembah yang populernya
merupakan tempat persinggahan masyarakat. Karena jarak yang cukup jauh dari tempat
tinggal mereka, maka bagi orang yang juga membuka serta mengambil hasil hutan di daerah
Bagan Sinembah tersebut terpaksa singgah ataupun numpang istirahat di pondok itu, terlebih
24
Op. Cit., hal.11.
25
bagi masyarakat Kubu di mana pada saat itu jarak tempuh menuju Kubu bisa sampai
berhari-hari.
Menurut informasi yang dapat dipercaya bahwa nama Sinembah berasal dari nama
Jasinombah Siregar yang merupakan masyarakat dari Tapanuli Selatan yang merantau ke
daerah Riau tepatnya di daerah Salak Bagan Sinembah sekarang, ia mulai membuka hutan
dan hidup di daerah tersebut dengan memanfaatkan hasil hutan yang seadanya serta
membangun sebuah pondok atau gubuk gubuk didekatnya sebagai tempat tinggalnya. Pada
saat daerah itu sudah mulai ramai dikunjungi orang maka Jasinombah tidak berada di tempat
atau menghilang secara misterius, yang secara positif beliau tidak diketahui oleh orang lagi
keberadaannya dan saat itu masih zaman penjajahan Belanda lebih kurang sekitar abad ke-19
daerah tersebut disebut kepenghuluan Hulu Kubu dan Penghulunya bernama Penghulu
Gundah, Hulu Kubu tersebut masih dalam wilayah Kecamatan Kubu.26
2.2Keadaan Sosial-Ekonomi Masyarakat Kec. Bagan Sinembah sebelum Dibukanya Pertanian Kelapa Sawit
Sebelum dibukanya perkebunan kelapa sawit dengan program pemerintah, daerah ini
merupakan daerah yang sepi dan sangat sulit dijangkau karena jalur transportasinya yang
belum memadai. Menurut informasi, masyarakat yang mendiami daerah ini sangat sedikit
jika dibandingkan dengan setelah berkembangnya perkebunan kelapa sawit.27
26
Darsono, Sejarah Bagan Sinembah: Bagan Sinembah Kota Sawit (Hari Jadi Kecamatan Bagan Sinembah ke-17), Bagan Batu, 2012.
27
Op. Cit., Bapak Muktar Waslin
Pada saat itu,
orang yang tinggal di daerah ini kebanyakan adalah orang-orang yang berasal dari Sumatera
Sigambal dan lain sebagainya) karena menurut jarak, mereka lah yang paling dekat dengan
wilayah Bagan Sinembah, yang terdiri dari orang-orang Jawa, Tapanuli, baik Selatan maupun
Utara dan orang-orang Melayu yang merupakan penduduk asli daerah ini. Kebanyakan
mereka lebih memilih tinggal di daerah Kubu. Pada saat itu belum ditentukan batas wilayah
antara Provinsi Riau dengan Provinsi Sumatera Utara sehingga untuk menjaga keamanan
maka dikirimlah utusan dari Kodam yang berada di Pulau Jawa ke daerah Bagan Sinembah
yang kemudian menjadi penduduk lokal di daerah ini.28
Karena hasil hutan di daerah ini cukup baik seperti adanya kayu damar, gaharu, rotan
dan jenis kayu lainnya yang dianggap bernilai dan dibutuhkan sampai ke luar negeri maka
mulai dibuka perusahaan balok di sekitar daerah tersebut. Dibukanya perusahaan balok,
maka mulailah dirintis jalan sebagai jalur transportasi atau pengangkutan balok-balok
tersebut yang dikenal dengan jalan balok. Kondisi tanahnya juga masih memprihatinkan
terdiri dari tanah merah, yang berlumpur ketika musim hujan sehingga tidak jarang truk
lengket di dalamnya dan berabu ketika musim kemarau. Sebelum adanya jalan balok ini, Mereka bermata pencaharian sebagai pencari ikan, berdagang dan mengambil hasil
hutan seperti damar, rotan, gaharu dan lain sebagainya. Pada saat itu Bagan Sinembah
merupakan penghasil hutan rotan (Rotan Batu, Rotan Sogo, Rota Dahanan) yang bisa
dikatakan cukup baik sehingga sampai mengekspor ke luar negeri seperti Singapura dan
penghasil Jernang, damar mata kucing yang diolah menjadi pewarna kain atau pakaian yang
sekarang disebut wanted. Selain itu, mereka juga berkebun, tetapi hanya sebatas pemenuhan
kebutuhan pangan seperti menanam padi, ubi, jagung dan lain sebagainya.
28
orang Sumatera Utara yang hendak ke daerah Bagan Sinembah ini harus ke Tasik terlebih
dahulu. Tasik merupakan perkumpulan kayu balok yang dijadikan sebagai tempat
penyeberangan. Ketika orang hendak ke Bagan Sinembah dari arah Sumatera Utara maka
harus ke hulu Kota Pinang terlebih dahulu dengan naik boat menyeberang selama kurang
lebih 2 jam kemudian melewati jalan darat lagi hingga sampai ke daerah Bagan Sinembah.29
Begitulah keadaan transportasi saat itu, ketika perkebunan kelapa sawit belum berkembang.
Seiring perkembangannya, masyarakat yang tinggal di daerah tersebut mulai
membuka hutan serta membuka perkebunan seperti perkebunan kelapa sawit dan karet
dengan kualitas yang rendah. Masyarakat yang membuka perkebunan tersebut ada yang
menetap dan adapula yang tidak menetap. Mereka masih berpindah-pindah dan mencari
daerah yang dianggapnya lebih baik karena pada saat itu daerah Bagan Sinembah masih
sangat sepi dan bagi sebagian orang dianggap tidak memungkinkan untuk membawanya ke
taraf kehidupan yang lebih baik sehingga mereka menjual lahan mereka dan bahkan
meninggalkannya begitu saja. Inilah yang di kemudian hari menjadi salah satu penyebab
adanya konflik kepemilikan tanah di daerah ini. Bagi masyarakat yang menetap di daerah
tersebut, mereka dengan sabar merawat pertanian mereka, walaupun hasil yang didapatkan
belum memadai akibat belum terampilnya mereka dalam berkebun dan bibit yang digunakan
pun masih berkualitas rendah. Terbukti, kesabaran mereka membuahkan hasil. Lambat laun
perkebunan semakin berkembang sehingga mereka berhasil meningkatkan taraf kehidupan
mereka melalui perekonomian pertanian kelapa sawit ini.
29
2.2.1 Tingkat Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan menimbulkan kesulitan untuk mendapatkan “figur
pengelola” di kalangan petani.30 Sebelum dibukanya pertanian kelapa sawit, tingkat
pendidikan masyarakat yang mendiami daerah ini masih rendah dan bahkan tidak pernah
mengecap pendidikan secara formal di sekolah sama sekali. Hanya beberapa orang yang
lulusan SMA, yakni masyarakat dari Sumatera Utara yang bekerja di PTP IV Gunung
Pamela.31
30
Bahtiar Saleh Abbas dan Burhani Syah, Beberapa aspek sosial ekonomi petani kelapa sawit proyek pengembangan perkebunan rakyat Sumatera Utara, Buletin BPP Medan, 1981, 12 (1), hlm 23-25.
31
Awalnya, yang menjadi perusahaan inti dari perkebunan rakyat di desa Bagan Sinembah adalah PTP IV Gunung Pamela, Sumatera Utara.
Kebanyakan mereka yang datang ke daerah ini dilatarbelakangi dengan pendidikan
yang minim. Bahkan, banyak yang masih buta huruf. Jangankan untuk sekolah, untuk
memenuhi kebutuhan pangan saja mereka sangat kesulitan terlebih para transmigran yang
berasal dari Pulau Jawa. Mereka datang ke daerah ini dengan maksud ingin mengubah nasib
yakni mengubah kehidupan dengan taraf ekonomi yang lebih baik. Walaupun tingkat
pendidikan mereka rendah, bagi sebagian orang hal tersebut tidak mengurangi rasa ingin tahu
dan semangat mereka untuk membuka perkebunan di daerah ini. Karena mereka menganggap
tanpa mengecap pendidikan secara formal pun mereka pasti mampu mengelola perkebunan
kelapa sawit walaupun awalnya hasilnya juga belum memuaskan, karena di dalam
perkebunan kelapa sawit ini tidak dibutuhan perlombaan tertulis dan yang mengharuskan