BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan
yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia, sebagaimana
dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Berkaitan dengan hal itu, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan pada Pasal 163 tentang Kesehatan Lingkungan : Upaya kesehatan
lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik,
kimia, biologi, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan,
dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan kesehatan
diselenggarakan dengan berdasarkan pada perikemanusiaan, pemberdayaan dan
kemandirian, adil dan merata, serta pengutamaan dan manfaat dengan perhatian
khusus pada penduduk rentan, antara lain ibu, bayi, anak, lanjut usia (lansia), dan
keluarga miskin. (Kementerian Kesehatan, 2010).
Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2004 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Renstra 2004–2009, Pembangunan prasarana
dan sarana air minum dan sanitasi yang berkelanjutan membutuhkan adanya
perubahan perilaku hidup bersih dan sehat guna perbaikan kualitas hidup, tidak hanya
ini sejalan dengan komitmen pemerintah dalam mencapai target ke 7C Millennium
Development Goals (MDGs) tahun 2015, yaitu meningkatkan akses air minum dan
sanitasi dasar secara berkesinambungan kepada separuh dari proporsi penduduk yang
belum mendapatkan akses. Selain itu, Strategi baru Pemerintah Indonesia yang
dirancang untuk tujuan tersebut adalah Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM)
yang diluncurkan pada tahun 2008, untuk meningkatkan cakupan nasional secara
cepat menuju Sanitasi Total.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
852/MENKES/SK/IX/2008 tentang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis
Masyarakat yang selanjutnya disebut sebagai STBM adalah pendekatan untuk
merubah perilaku higiene dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat dengan
metode pemicuan. Sehingga masyarakat dapat berpikir dan mengambil tindakan
untuk meninggalkan kebiasaan buang air besar mereka yang masih di tempat terbuka
dan sembarang tempat.
Pemerintah menyediakan program untuk mendukung hal tersebut, yakni
program sanitasi lingkungan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) dalam penyediaan
prasarana dan sarana air limbah permukiman, persampahan dan drainase bagi
masyarakat berpenghasilan rendah di lingkungan padat penduduk, kumuh dan rawan
sanitasi, yang diimplementasikan melalui kegiatan DAK Sanitasi Lingkungan
Berbasis Masyarakat (SLBM) yaitu sebuah inisiatif untuk mempromosikan
penyediaan prasarana dan sarana air limbah permukiman, persampahan, dan drainase
dirancang untuk mempromosikan Sanitasi Lingkungan Berbasis Masyarakat (SLBM)
sebagai pilihan bagi masyarakat perkotaan yang miskin prasarana dan sarana
sanitasinya, tinggal di kawasan padat penduduk (kumuh) dan memiliki sosial
ekonomi yang relatif rendah (miskin) (Suara Merdeka, 2008).
Indonesia mempunyai proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan
terhadap air minum layak, perkotaan dan perdesaan sebesar 47,71% dan proporsi
rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sanitasi layak, perkotaan dan
perdesaan sebesar 51,19%. Sedangkan menurut provinsi, proporsi rumah tangga yang
memiliki akses terhadap sumber air minum layak di perkotaan dan pedesaan di
Sumatera Utara sebesar 51,04% dan proporsi rumah tangga yang memiliki akses
terhadap sanitasi yang layak di perkotaan dan pedesaan sebesar 51,92% (Susenas,
2009).
Kota Tanjung Balai merupakan salah satu kota yang buruk dalam hal
kepemilikan sarana sanitasi dasar di provinsi Sumatera Utara. Karena masyarakatnya
yang sebagian besar tinggal di pesisir pantai, bekerja sebagai nelayan, dan memiliki
keadaan ekonomi yang rendah. Sebanyak 19.802 keluarga yang memiliki jamban
(77,78%). Namun hanya 8.616 keluarga (43,511%) yang dinyatakan sehat (Profil
Dinas Kesehatan Kota Tanjungbalai, 2011). Karena kebanyakan masyarakat di Kota
Tanjung Balai masih memiliki jamban jenis cemplung. Pembuangan tinja secara tidak
baik dan sembarangan dapat mengakibatkan kontaminasi pada air, tanah, atau
menjadi sumber infeksi, dan akan mendatangkan bahaya bagi kesehatan, karena
Kecamatan Datuk Bandar Timur dan Kecamatan Teluk Nibung merupakan
kecamatan yang ada di Kota Tanjung Balai yang dinilai cukup buruk dalam hal
kepemilikan sarana sanitasi dasar. Dimana jumlah keluarga dengan kepemilikan
jamban di Kelurahan Semula Jadi (Kecamatan Datuk Bandar Timur) 2.692 (76,91%)
dan di Kelurahan Beting Kuala Kapias (Kecamatan Teluk Nibung) 3.110 (77,75%).
Namun yang dinyatakan sehat hanya 804 (29,866%) di Kelurahan Semula Jadi dan
634 (20,386%) di Kelurahan Beting Kuala Kapias (Profil Dinas Kesehatan Kota
Tanjungbalai, 2011).
Pemerintah Kota Tanjung Balai khususnya Dinas Pekerjaan Umum (PU)
melalui kegiatan Sanitasi Lingkungan Berbasis Masyarakat (SLBM) berinisiatif
membangun prasarana dan sarana air limbah pemukiman untuk mengatasi hal
tersebut. Untuk itu, Dinas Pekerjaan Umum Bidang Cipta Karya membangun fasilitas
sanitasi untuk mandi, cuci, dan kakus (MCK Plus++) dengan menggunakan dana
APBN dan APBD. Maksud dari “Plus++” adalah karena tinja dapat diolah menjadi
biogas di lokasi tersebut (biodigester) dan limbah cairnya diendapkan di settler-settler terlebih dahulu sebelum dibuang ke badan air (ramah lingkungan). Istilah MCK Plus++ sebenarnya sama saja dengan MCK komunal biasa, hanya namanya
saja yang sedikit dibedakan.
MCK Plus++ yang dibangun di Kelurahan Semula Jadi dan Kelurahan Beting
Kuala Kapias berada di kawasan pesisir. Dimana mayoritas masyarakatnya bekerja
sebagai nelayan. Menurut Wahyudin (2003), masyarakat pesisir pada umumnya telah
gabungan karakteristik masyarakat perkotaan dan pedesaan. Karena, struktur
masyarakat pesisir sangat plurar, sehingga mampu membentuk system dan nilai
budaya yang merupakan akulturasi budaya dari masing-masing komponen yang
membentuk struktur masyarakatnya.
Pembangunan MCK Plus++ yang berada di Kelurahan Semula Jadi dan
Kelurahan Beting Kuala Kapias sama-sama dibangun tahun 2011. Masing-masing
MCK dibangun di atas lahan 150 m2. MCK di Kelurahan Semula Jadi dibangun di
lingkungan IX, terdiri dari 8 bilik/ruangan dimana 2 diantaranya tidak disertai jamban
di dalamnya, 4 keran yang letaknya diluar bilik/ruangan yang digunakan khusus
untuk mencuci, 1 ruang operator, 1 tangki air, bak kontrol, inlet, dan
mainhole/digester. Sedangkan MCK yang berada di Kelurahan Beting Kuala Kapias dibangun di lingkungan III dan kondisinya hampir sama dengan yang di Kelurahan
Semula Jadi. Bedanya hanya jumlah bilik/ruangannya yang berjumlah 10 dan 2
diantaranya tidak disertai jamban juga di dalamnya.
Program Sanimas di wilayah Provinsi Jateng sebenarnya sudah dimulai pada
2005 di lima kota. Salah satu contoh yang telah berhasil dalam program Sanimas
adalah Kampung Bustaman yang masuk dalam wilayah Kelurahan Purwodinatan,
Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang. Kampung yang berpenduduk 990
jiwa dari 330 KK ini adalah salah satu dari kampung padat dan miskin di Kota
Semarang yang menjadi lokasi Sanimas. Mereka berhasil mengelola Sanimas dengan
model MCK Plus++. Dalam pelaksanaannya, ini bukan saja telah menghasilkan
tetapi telah menghasilkan rupiah yang cukup fantastis jumlahnya (Suara Merdeka,
2008).
Menurut staf Satker Pengembangan Kinerja PLP Provinsi Jateng Widiarto,
ST, kampung ini dalam 1 bulan bisa menghasilkan Rp 1,8 juta dari penggunaan
fasilitas MCK Plus++ tersebut. Pemasukan dana tersebut masyarakat dapat
memanfaatkannya untuk berbagai kegiatan mulai dari pembangunan infrastruktur
yang ada di kampung (perbaikan saluran/gorong-gorong/jalan) sampai
kegiatan-kegiatan sosial keagamaan pun bisa di handel oleh Sanimas (Suara Merdeka, 2008).
Pembangunan MCK Plus++ bertujuan agar masyarakat memiliki kesadaran
untuk berprilaku hidup bersih dan sehat serta tidak melakukan buang air besar
sembarangan. Selain itu untuk menjaga agar sungai tidak tercemar. Adapun wilayah
kerja MCK Plus++ ini mencakup satu lingkungan. Namun tidak menjadi masalah
apabila masyarakat dari lingkungan lain ingin menggunakannya juga.
Pembangunan MCK Plus++ tersebut dinilai masih terdapat banyak
kekurangan. Seperti di Kelurahan Semula Jadi, air yang disediakan bukan berasal dari
air PDAM seperti MCK di kelurahan Beting Kuala Kapias, melainkan air sungai
yang dipompa yang berada dekat dengan MCK tersebut. Itu dikarenakan kurangnya
debit air PDAM untuk sampai di kelurahan tersebut. Selain itu jarak yang dinilai
cukup jauh dari rumah masyarakat menuju MCK Plus++ tersebut juga menjadi
penyebab enggannya masyarakat Kelurahan Semula Jadi menggunakan MCK Plus++
yang dibangun dan memutuskan untuk menggunakan kembali air sungai yang
Selama ini terdapat anggapan bahwa pembangunan MCK Plus++ di
Kelurahan Semula Jadi dinilai kurang dimanfaatkan dan kurang terpelihara
dibandingkan MCK Plus++ di Kelurahan Beting Kuala Kapias. Namun bukan berarti
MCK Plus++ yang berada di Kelurahan Beting Kuala Kapias sudah dapat dikatakan
terpelihara dan selalu dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. Untuk itu perlu adanya
penilaian apakah pembangunan MCK Plus++ yang telah dibangun di dua kelurahan
tersebut telah benar-benar dimanfaatkan dan dipelihara oleh masyarakat lingkungan
sekitar. Sehingga pembangunan yang dilakukan pemerintah tidak sia-sia dan dapat
bermanfaat seterusnya bagi masyarakat di dua kelurahan tersebut.
1.2 Perumusan Masalah
Kualitas dan lokasi MCK Plus++ yang dibangun dinilai kurang mendukung
untuk dapat dimanfaatkan dan dipelihara dengan baik oleh masyarakat setempat,
sehingga masih banyak juga masyarakat yang melakukan kegiatan mandi, cuci, dan
buang air besar di sungai. Hal tersebut berdampak pada biodigester yang terdapat
pada MCK tidak berfungsi dengan seharusnya. Untuk itu perlu dilakukan penilaian
untuk mengetahui apakah biodigester dapat berfungsi dan dimanfaatkan oleh
masyarakat serta bagaimana tingkat pemanfaatan, perilaku pemeliharaan dan kondisi
fasilitas sanitasi mandi, cuci, dan kakus (MCK) Plus++ di Kelurahan Semula Jadi dan
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian Umum
Mengetahui gambaran tentang kondisi fasilitas sanitasi MCK Plus++ yang
dibangun di kelurahan Semula Jadi dan kelurahan Beting Kuala Kapias, tingkat
perilaku pemanfaatan (pengetahuan, sikap dan tindakan) yang dilakukan masyarakat
dalam memanfaatkan fasilitas sanitasi tersebut serta mengetahui perilaku masyarakat
(pengetahuan, sikap dan tindakan) dalam memelihara fasilitas sanitasi tersebut.
1.3.2. Tujuan Penelitian Khusus
1. Mengetahui karakteristik masyarakat pengguna MCK Plus++ di Kelurahan
Semula Jadi dan Kelurahan Beting Kuala Kapias.
2. Mengetahui pengetahuan masyarakat pengguna MCK Plus++ di Kelurahan
Semula Jadi dan Kelurahan Beting Kuala Kapias.
3. Mengetahui sikap masyarakat pengguna MCK Plus++ di Kelurahan Semula
Jadi dan Kelurahan Beting Kuala Kapias.
4. Mengetahui tingkat pemanfaatan MCK Plus++ di Kelurahan Semula Jadi dan
Kelurahan Beting Kuala Kapias.
5. Mengetahui tingkat pemeliharaan MCK Plus++ di Kelurahan Semula Jadi dan
Kelurahan Beting Kuala Kapias.
6. Mengetahui kondisi/kualitas MCK Plus++ yang dibangun oleh pemerintah
kota Tanjungbalai di kelurahan Semula Jadi dan kelurahan Beting Kuala
1.4. Manfaat Penelitian
1. Dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Kota Tanjungbalai dan Dinas
Kesehatan Kota Tanjungbalai untuk dapat meningkatkan kinerjanya dalam
mengoptimalkan pemanfaatan dan pemeliharaan MCK Plus++ baik yang telah
dibangun maupun MCK Plus++ yang akan dibangun, sehingga masyarakat
dapat memperoleh manfaat dari adanya MCK Plus++ tersebut.
2. Memberikan informasi kepada masyarakat di Kelurahan Semula Jadi dan
Kelurahan Beting Kuala Kapias tentang manfaat dan dampak dari penggunaan
MCK Plus++ di wilayah tersebut apabila dimanfaatkan dan dipelihara dengan
baik dan benar.
3. Dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan kesehatan masyarakat