BAB II
TINJUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori 2.1.1. Kinerja Manajerial
Kinerja manajerial merupakan hasil dari aktivitas manajerial yang efektif
mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, laporan
pertanggungjawaban, pembinaan, dan pengawasan (Rubins, 1987). Sehingga
dapat dikatakan bahwa kinerja manajerial merupakan seberapa jauh manajer
melaksanakan fungsi-fungsi manajemen. Kinerja Pemerintah Daerah adalah
sebagai gambaran mengenai tingkat pencapaian hal pelaksanaan suatu
kegiatan/program/kebijakan Pemerintah Daerah dalam mewujudkan sasaran,
tujuan, misi dan visi daerah seperti yang tertuang dalam dokumen perencanaan
daerah. Oleh karena itu, sebagai pertanggungjawaban kepada publik, kinerja
Pemerintah Daerah harus diinformasikan kepada masyarakat dan para pemangku
kepentingan mengenai tingkatan pencapaian hasil, dikaitkan dengan misi dan visi
organisasi, serta dampak positif dan negatif kebijakan operasional yang telah
diambil.
Vroom dalam As'ad (1991) menyebutkan tingkat sejauh mana
keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan pekerjaannya disebut tingkat kinerja
(level of performance). Biasanya orang yang level of performance-nya tinggi disebut sebagai orang yang produktif, dan sebaliknya orang yang levelnya tidak
membantu manajer publik atau pimpinan perangkat daerah dalam menilai
pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan non finansial.
Pada dasarnya variabel kinerja manajerial diukur dengan menggunakan
instrumen self rating yang dikembangkan pertamakali oleh Mahoney (1963)
dalam Alfar (2006), di mana setiap responden diminta untuk mengukur kinerja
sendiri ke dalam delapan dimensi, yaitu perencanaan, investigasi,
pengkoordinasian, evaluasi, pengawasan, pemilihan staf, negosiasi, dan
perwakilan, serta satu dimensi pengukuran kinerja seorang kepala dinas, kepala
bagian dan kepala bidang secara keseluruhan. Kinerja manajerial ini diukur
dengan mempergunakan indikator (Mahoney et.al, 1963):
1. Perencanaan adalah penentuan kebijakan dan sekumpulan kegiatan untuk
selanjutnya dilaksanakan dengan mempertimbangkan kondisi waktu sekarang
dan yang akan datang. Perencanaan bertujuan untuk memberikan pedoman
dan tata cara pelaksanaan tujuan, kebijakan, prosedur, penganggaran dan
program kerja sehingga terlaksana sesuai dengan sasaran yang telah
ditetapkan.
2. Investigasi merupakan kegiatan untuk melakukan pemeriksaan melalui
pengumpulan dan penyampaian informasi sebagai bahan pencatatan,
pembuatan laporan, sehingga mempermudah dilaksanakannya pengukuran
hasil dan analisis terhadap pekerjaan yang telah dilakukan. Pengkoordinasian
merupakan proses jalinan kerjasama dengan bagian-bagian lain dalam
organisasi melalui tukar-menukar informasi yang dikaitkan dengan
3. Koordinasi, menyelaraskan tindakan yang meliputi pertukaran informasi
dengan orang-orang dalam unit organisasi lainya, guna dapat berhubungan
dan menyesuaikan program yang akan dijalankan.
4. Evaluasi adalah penilaian yang dilakukan oleh pimpinan terhadap rencana
yang telah dibuat, dan ditujukan untuk menilai pegawai dan catatan hasil
kerja sehingga dari hasil penilaian tersebut dapat diambil keputusan yang
diperlukan.
5. Supervisi, yaitu penilaian atas usulan kinerja yang diamati dan dilaporkan.
6. Staffing, yaitu memelihara dan mempertahankan bawahan dalam suatu unit
kerja, menyeleksi pekerjaan baru, menempatkan dan mempromosikan
pekerjaan tersebut dalam unitnya atau unit kerja lainnya.
7. Negoisasi, yaitu usaha untuk memperoleh kesepakatan dalam hal pembelian,
penjualan atau kontrak untuk barang-barang dan jasa.
8. Representasi, yaitu menyampaikan informasi tentang visi, misi, dan kegiatan-
kegiatan organisasi dengan menghadiri pertemuan kelompok bisnis dan
konsultasi dengan kantor-kantor lain.
Sistem pengukuran kinerja dapat dijadikan sebagai pengendalian
organisasi karena pengukuran kinerja diperkuat dengan menetapkan sistem
penghargaan dan sanksi (reward and punishment system). Schiff dan Lewin (1970) mengemukakan bahwa anggaran yang telah disusun memiliki peranan
sebagai perencanaan dan sebagai kriteria kinerja, yaitu anggaran digunakan
sebagai sistem pengendalian untuk mengukur kinerja manajerial. Argyris (1952)
anggaran tercapai dan partisipasi dari bawahan memegang peranan penting dalam
mencapai tujuan tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, menurut Rubins (1987) terdapat lima manfaat
adanya pengukuran/penilaian kinerja yaitu:
a. Peningkatan kinerja meningkatkan mutu pengambilan keputusan.
Seringkali keputusan yang diambil pemerintah dilakukan dalam keterbatasan
data dan berbagai pertimbangan politik serta tekanan dari pihak-pihak yang
berkepentingan. Proses pengembangan pengukuran kinerja ini akan
memungkinkan pemerintah untuk menentukan misi dan menetapkan tujuan
pencapaian hasil tertentu. Di samping itu dapat juga dipilih metode
pengukuran kinerja untuk melihat kesuksesan program yang ada. Di sisi lain,
adanya pengukuran kinerja membuat pihak legislatif dapat memfokuskan
perhatian pada hasil yang didapat, memberikan evaluasi yang benar tehadap
pelaksanaan anggaran serta melakukan diskusi mengenai usulan-usulan
program baru.
b. Pengukuran kinerja meningkatkan akuntabilitas internal.
Dengan adanya pengukuran kinerja ini, secara otomatis akan tercipta
akuntabilitas di seluruh lini pemerintahan, dari lini terbawah sampai teratas.
Lini teratas pun kemudian akan bertanggung jawab kepada pihak legislatif.
Dalam hal ini disarankan pemakaian sistem pengukuran standar seperti
halnya management by objectives untuk pengukuran outputs dan outcomes.
c. Pengukuran kinerja meningkatkan akuntabilitas publik.
Meskipun bagi sebagian pihak, pelaporan evaluasi kinerja pemerintah kepada
penting dalam keberhasilan sistem pengukuran kinerja yang baik.
Keterlibatan masyarakat terhadap pengambilan kebijakan pemerintah
menjadi semakin besar dan kualitas hasil suatu program juga semakin
diperhatikan.
d. Pengukuran kinerja mendukung perencanaan strategi dan penetapan
tujuan.
Proses perencanaan strategi dan tujuan akan kurang berarti tanpa adanya
kemampuan untuk mengukur kinerja dan kemajuan suatu program. Tanpa
ukuran-ukuran ini, kesuksesan suatu program juga tidak pernah akan dinilai
dengan obyektif.
e. Pengukuran kinerja memungkinkan suatu entitas untuk menentukan
penggunaan sumber daya secara efektif.
Masyarakat semakin kritis untuk menilai program-program pokok pemerintah
sehubungan dengan meningkatnya pajak yang dikenakan kepada mereka.
Evaluasi yang dilakukan cenderung mengarah kepada penilaian apakah
pemerintah memang dapat memberikan pelayanan yang terbaik kepada
masyarakat. Dalam hal ini pemerintah juga mempunyai kesempatan untuk
menyerahkan sebagian pelayanan publik kepada sektor swasta dengan tetap
bertujuan untuk memberikan pelayanan yang terbaik.
2.1.2. Karateristik Tujuan Anggaran
Proses anggaran seharusnya diawali dengan penetapan tujuan, target dan
kebijakan. Kesamaan persepsi antar berbagai pihak tentang apa yang akan dicapai
dan keterkaitan tujuan dengan berbagai program yang akan dilakukan, sangat
mulai dilakukan. Pencapaian konsensus alokasi sumber daya menjadi pintu
pembuka bagi pelaksanaan anggaran. Proses panjang dari penentuan tujuan ke
pelaksanaan anggaran seringkali melewati tahap yang melelahkan, sehingga
perhatian terhadap tahap penilaian dan evaluasi sering diabaikan. Kondisi inilah
yang nampaknya secara praktis sering terjadi.
Sesuai dengan amanat UU RI No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara dijelaskan bahwa anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen dan
kebijakan ekonomi. Sebagai kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk
mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan
pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Dalam upaya untuk
meluruskan kembali tujuan dan fungsi anggaran tersebut perlu dilakukan
pengaturan secara jelas peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses
penyusunan dan penetapan anggaran sebagai penjabaran aturan pokok yang telah
ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sehubungan dengan itu, dalam
Undang-Undang ini disebutkan bahwa belanja negara/belanja daerah dirinci
sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja. Hal
tersebut bahwa setiap pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan,
dan antar jenis belanja harus mendapat persetujuan DPR/DPRD.
2.1.3. Ketidakpastian Lingkungan
Menurut Robbins (1996) lingkungan organisasi secara umum dapat
didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berada di luar batas-batas organisasi.
Lingkungan organisasi dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu lingkungan umum
dan lingkungan khusus (Robbins, 1996). Lingkungan umum meliputi kondisi
dapat diketahui secara jelas. Lingkungan khusus merupakan lingkungan organisasi
yang secara langsung relevan bagi organisasi dalam mencapai tujuan. Lingkungan
khusus ini merupakan pusat perhatian manajemen karena tediri dari konstituen
kritis yang secara langsung baik positif maupun negatif mempengaruhi efektif
atau tidak efektifnya operasional organisasi. Secara spesifik yang termasuk
lingkungan khusus adalah pelanggan, suplier, perusahaan pesaing, serikat buruh,
asosiasi perdagangan dan kelompok-kelompok berpengaruh di masyarakat.
Terdapat tiga dimensi untuk menjelaskan kondisi lingkungan organisasi,
yaitu kapasitas (capacity), volatilitas (volatility), kompleksitas (complexity) (Dess dan Beard, 1984). Dimensi kapasitas lingkungan memberikan presepsi seberapa
besar tingkat sumber daya yang tersedia dalam lingkungan organisasi yang dapat
mendukung pertumbuhan organisasi. Lingkungan dengan sumber daya yang kaya
dapat mendukung organisasi ketika terjadi kelangkaan relatif. Dimensi volatilitas
memberikan presepsi pada ketidakstabilan lingkungan yang dihadapi organisasi.
Oleh karena itu dari sifat lingkungan yang mempengaruhi kondisi perusahaan
terdiri dari dua yaitu: 1) Lingkungan dengan tingkat perubahan yang tidak dapat
diprediksi dikelompokkan ke dalam lingkungan yang dinamis, sedangkan 2)
lingkungan yang tingkat perubahan dapat diprediksi dikelompokkan ke dalam
lingkungan yang stabil. Kompleksitas (complexity) merujuk kepada tingkat heterogenitas dan konsentrasi antara elemen lingkungan. Lingkungan yang
sederhana adalah homogen dan terkonsentrasi, sebaliknya lingkungan dengan
heterogenitas yang tinggi adalah komplek, hal ini dapat dilihat antara lain dari
banyaknya jumlah pesaing. Menurut Robins (1996) bahwa organisasi yang
dan kompleks menghadapi tingkat ketidakpastian lingkungan yang tinggi. Dengan
demikian organisasi yang beroperasi dalam lingkungan yang mempunyai ciri
kelangkaan sumber daya, dinamis dan komplek akan menghadapi ketidakpastian
lingkungan yang paling tinggi.
Setiap organisasi memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai
kondisi lingkungannya. Beberapa organisasi yang berada pada domain lingkungan
yang sama dapat memiliki kesimpulan yang berbeda mengenai kondisi
ketidakpastian lingkungannya. Hal ini disebabkan penilaian ketidakpastian
lingkungan tergantung pada presepsi dan kemampuan masing-masing manajemen
dalam memprediksi kondisi dimasa mendatang. Semakin mampu manajemen
untuk mempredikasi kondisi di masa mendatang maka semakin kecil persepsi
manajemen mengenai ketidakpastian lingkungan.
Duncan (1973) mendefinisikan ketidakpastian lingkunan sebagai (1)
ketiadaan informasi tentang faktor-faktor lingkungan yang berhubungan dengan
situasi pengambilan keputusan; (2) tidak diketahuinya outcome dari keputusan tertentu tentang seberapa besar kerusakan yang menimbulkan kerugian jika
keputusan yang diambil ternyata salah; (3) ketidakmampuan untuk menilai
kemungkinan pada berbagai tingkat keyakinan tentang bagaimana faktor-faktor
lingkungan dapat mempengaruhi berhasil atau gagalnya suatu keputusan. Miliken
(1987) menyatakan bahwa ketidakpastian sebagai rasa ketidakmampuan individu
dalam memprediksi sesuatu secara tepat dan persepsi ketidakpastian lingkungan
didefinisikan sebagai persepsi individual atas ketidakpastian yang berasal dari
lingkugan organisasi (Gregson et al, 1994) dalam Mardiayah dan Gudono (2001).
karena itu dalam kondisi ketidakpastian yang tinggi informasi merupakan
komoditi yang sangat berguna dalam proses perencanaan dan pengendalian suatu
organisasi.
2.1.4. Kejelasan sasaran anggaran
Sebuah sasaran anggaran tidak hanya rencana keuangan yang menetapkan
biaya dan tujuan pendapatan untuk pusat tanggung jawab dalam bisnis
perusahaan, tetapi juga perangkat untuk pengendalian (control), kerja sama yang terpadu, komunikasi, evaluasi kinerja, dan motivasi, Pengetahuan tentang tujuan
dianggarkan (feedforward) dan informasi tentang sejauh mana tujuan-tujuan telah dicapai (feedback) memberikan dasar bagi para manajer untuk mengukur efisiensi, lalu mengidentifikasi masalah, dan mengendalikan biaya. Demikan juga halnya
dalam koordinasi berbagai kegiatan fungsional perusahaan (penjualan, produksi,
pembelian, arus kas, dll) juga dicapai melalui proses persiapan anggaran dan
aplikasi. Kejelasan sasaran anggaran yang baik dapat mengkomunikasikan tujuan
yang dianggarkan ke level bawah dalam suatu organisasi dengan memberi
informasi kepada anggota manajemen yang lebih rendah mengenai tugas dan
keahlian manajemen tingkat atas, sebaliknya, manajemen atas belajar tentang
prestasi dan masalah manajemen yang lebih rendah melalui laporan atas pekerjaan
yang telah dilakukan dengan membandingkan tujuan dianggarkan dengan kinerja
yang sebenarnya. Selain itu, informasi anggaran membantu manajemen tingkat
atas untuk mengevaluasi kinerja manajer tingkat bawah dan mendistribusikan
reward and punishment. Dalam konteks ini, anggaran merupakan bagian penting dari sistem motivasi organisasi yang dirancang untuk meningkatkan sikap dan
Kejelasan sasaran anggaran menunjukkan luasnya tujuan anggaran yang
dinyatakan secara spesifik dan jelas, dan dimengerti oleh siapa saja yang
bertanggung jawab. Kenis (1979) menemukan bahwa manajer memberi reaksi
positif dan secara relatif sangat kuat untuk meningkatkan kejelasan sasaran
anggaran. Manajemen tingkat atas dapat meningkatkan kepuasan kerja,
menurunkan ketegangan kerja, dan memperbaiki anggaran yang dihubungkan
dengan sikap, kinerja anggaran, dan efisiensi biaya manajer tingkat bawah secara
signifikan meningkatkan kejelasan dan ketegasan sasaran anggaran mereka.
Munawar et .al (2006) dalam penelitiannya menemukan bahwa aparat pemerintah
daerah Kabupaten Kupang dapat mengetahui hasil usahanya melalui evaluasi yang
dilakukan secara efektif untuk mengetahui kejelasan tujuan anggaran dibuatnya
dan mereka merasa puas bahwa anggaran yang dibuatnya adalah bermanfaat bagi
kepentingan masyarakat.
Sasaran anggaran mempunyai range dari "sangat longgar dan mudah dicapai" sampai "sangat ketat dan tidak dapat dicapai". Sasaran yang mudah
dicapai gagal untuk memberikan suatu tantangan untuk partisipan, dan memiliki
sedikit pengaruh motivasi. Sasaran yang sangat ketat dan tidak dapat dicapai,
mengarahkan pada perasaan gagal, frustrasi, tingkat aspirasi yang rendah, dan
tujuan partisipan. Menurut Kenis (1979) bahwa manajer yang memiliki sasaran
anggaran yang "terlalu ketat" secara signifikan memiliki ketegangan kerja tinggi
dan motivasi kerja rendah, kinerja anggaran, dan efisiensi biaya dibandingkan
untuk anggaran memiliki tujuan anggaran "tepat" atau "ketat tetapi dapat dicapai".
Hal ini mengindikasikan bahwa "ketatnya sasaran anggara tetapi dapat dicapai"
2.1.5. Keadilan Prosedural
Keadilan prosedural (procedural justice) didefinisikan oleh Lau dan Lim (2002) adalah keadilan yang dirasakan dari sarana yang digunakan dalam
menentukan jumlah imbalan karyawan. Timbulnya kondisi ini didalam
perusahaan dikarenakan karyawan membuat perbandingan dari masukan-masukan
pekerjaan mereka (sebagai contoh, usaha, pengalaman, pendidikan, kompentensi)
dan hasil-hasil pekerjaaan mereka (sebagai contoh, tingkat imbalan kerja,
kenaikan pangkat, pengakuan) yang relatif dengan masukan dan hasil individu
lain. Lebih lanjutnya keadilan ini dirasakan dengan menghubungkan apa yang
karyawan dapat dari situasi pekerjaan (hasil-hasil) dengan apa yang telah
karyawan berikan kepada perusahaan (Robin dan Judge, 2008).
Karyawan pada umumnya akan membandingkan dirinya dengan karyawan
lain sehingga secara persepsi dalam pemikirannya timbullah suatu rasio hasil dan
masukan yang telah dicapai dengan membandingkannya rasio hasil dan masukan
karyawan (individu) yang lain. Bila karyawan merasa rasionya sama dengan rasio
individu lain yang relevan dengan siapa karyawan tersebut membandingkannya
dapat dikatakan ada suatu keadaan adil. Ketika karyawan menganggap dirinya
diberi penghargaan yang lebih rendah maka timbulah ketegangan yang
menimbulkan kemarahan. Selanjutnya seandainya karyawan menganggap dirinya
diberi penghargaan yang lebih tinggi maka timbulah rasa bersalah pada dirinya.
Menurut Robin dan Judge (2008) ada empat perbandingan rujukan yang bisa
1. Merujuk pada pengalaman dirinya didalam organisasi berdasarkan
pengalaman-pengalaman seorang karyawan dalam posisi yang berbeda di
dalam organisasi tersebut pada saat ini.
2. Merujuk pada pengalaman dirinya diluar organisasi berdasarkan
pengalaman-pengalaman seorang karyawan dalam posisi atau situasi di luar organisasi
karyawan tersebut pada saat ini.
3. Merujuk pada individu lain di dalam organisasi dengan membandingkan
dirinya dengan individu atau kelompok individu lain di dalam organisasi
karyawan tersebut.
4. Merujuk pada individu lain di luar organisasi dengan membandingkan
individu atau kelompok individu lain di luar organisasi karyawan tersebut.
Pada awalnya penelitian mengenai keadilan prosedural digunakan dalam
penyelesaian sengketa dalam hukum di pengadilan. Berdasarkan penelitian
tersebut, Thilbaut dan Walker (1978) dalam Lau dan Lim (2002) menghasilkan
sebuah teori yang menyarankan bahwa suatu sengketa yang melibatkan konflik
kepentingan yang kuat harus menggunakan prosedur yang sesuai dengan definisi
masyarakat tentang keadilan dan bukan menggunakan objektif tentang keadilan.
Teori ini dikembangkan oleh Leventhal et. al (1980) yang menyarankan bahwa
ada standar lain dari keadilan selain dari hasil yang dicapai dari proses tersebut
yaitu konsistensi, penindasan bias, keakuratan informasi, etika, pembenaran, dan
keterwakilan. Konsistensi mengacu pada konsistensi dalam penerapan prosedur
seluruh orang dan sepanjang waktu. Penindasan bias mengacu pada penekanan
keyakinan sebelumnya dan doktrin dalam penerapan prosedur. Keakuratan
didasarkan pada informasi yang akurat. Pembenaran berarti bahwa ada jalan untuk
memperbaiki keputusan yang buruk. Ektika menunjukkan bahwa prosedur harus
sesuai dengan beberapa standar etika dan moralitas. Dan terakhir adalah moralitas
yang menunjukkan bahwa kepentingan sub kelompok harus dipertimbangkan.
Teori Leventhal et.al (1980) tidak membatasi keadilan prosedural dengan
hanya melihat faktor partisipasi dan hasilnya, karena partispasi hanya satu dari
berbagai faktor organisasi yang dapat mempengaruhi persepsi keadilan
prosedural karyawan tingkat bawah tetapi masih banyak keadilan prosedural
lainnya yang mempengaruhi hasil terutama kinerja manajemen.
2.1.6. Pengawasan Anggaran
Pengawasan Anggaran (budgetary control) adalah yait
rencana anggaran keuangan
dan berdasarka
telah atau belum dilaksanakan dengan efektif dan efisien. Konsep dasar
pengawasan anggaran bertujuan untuk mengukur, membandingkan, menilai
alokasi biaya dan tingkat penggunaannya. Dengan kata lain, pengawasan anggaran
diharapkan dapat mengetahui sampai dimana tingkat efektivitas dan efesiensi dari
penggunaan sumber-sumber dana yang tersedia. Pertanyaan pokok yang berkaitan
dengan pengawasan anggaran adalah seberapa besar tingkat kesesuaian antara
biaya yang dialokasikan untuk setiap komponen dalam anggaran dengan realisasi
anggaran. Apabila terdapat ketidaksesuaian antara rencana dengan realisasinya,
maka perlu diambil tindakan-tindakan perbaikan.
Secara umum sistem pengawasan harus berorientasi pada hal-hal berikut
1. Sistem pengawasan fungsional yang dimulai sejak perencanaan yang
menyangkut aspek penilaian kehematan, efisiensi, efektivitas yang mencakup
seluruh aktivitas program di setiap bidang organisasi.
2. Hasil temuan pengawasan harus ditindaklanjuti dengan koordinasi antara
pengawasan dengan aparat penegak hukum serta instansi terkait turut
meyamakan persepsi mencari pemecahan bersama atas masalah yang
dihadapi.
3. Kegiatan pengawasan hendaknya lebih diarahkan pada bidang-bidang yang
strategis dan memperhatikan aspek manajemen.
4. Kegiatan pengawasan hendaknya memberi dampak terhadap penyeleksian
masalah dengan konsepsional dan menyeluruh.
5. Kegiatan pengawasan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kompetensi
teknis, sikap, dedikasi, dan integritas pribadi yang baik.
6. Akurat, artinya informasi tentang kinerja yang diawasi memiliki ketepatan
data/informasi yang sangat tinggi.
7. Tepat waktu, artinya kata yang dihasilkan dapat digunakan sesuai dengan saat
untuk melakukan perbaikan
8. Objektif dan komprehensif
9. Tidak mengakibatkan pemborosan atau inefisiensi
10.Tindakan dan kegiatan pengawasan bertujuan untuk menyamakan rencana
atau keputusan yang telah dibuat
11.Kegiatan pengawasan harus mampu mengoreksi dan menilai pelaksanaan
Secara sederhana proses pengawasan terdiri dari tiga kegiatan pokok,
yaitu: memantau (monitoring), menilai, dan melaporkan hasil-hasil temuan, kegiatan atau monitoring dilakukan terhadap kinerja actual (actual performance),
baik dalam proses maupun hasilnya.
Pengawasan anggaran dilakukan terhadap aktivitas yang sedang dan telah
dilakukan dengan mengawasi kinerja aktual (actual performance), baik dalam proses maupun hasilnya. Aktivitas yang sedang dan telah dilaksanakan diukur
berdasarkan kriteria-kriteria yang telah digariskan dalam perencanaan. Apakah
terdapat penyimpangan (deviasi) maka diusahakan adanya perbaikan atau korelasi
yang direkomendasikan kepada pimpinan evaluasi.
Dalam proses pengawasan terdapat beberapa unsur yang perlu mendapat
perhatian, yaitu: 1) Unsur proses, yaitu usaha yang bersifat kontinu terhadap suatu
tindakan yang dimiliki dari pelaksanaan suatu rencana sampel dengan hasil akhir
yang diharapkan 2) Unsur adanya objek pengawasan yaitu sesuatu yang menjadi
sasaraan pengawasan, baik penerimaan maupun pengeluaran, 3) Ukuran atau
standarisasi dari pengawasan dan 4) teknik-teknik pengawasan.
Langkah-langkah atau tahapan yang harus dilakukan dalam proses
pengawasan, yaitu (Dunk dan Lysons, 1997) :
1. Penetapan standar atau patokan yang dipergunakan berupa ukuran kuantitas,
kualitas, biaya, dan waktu.
2. Mengukur dan membandingkan antara kenyataan yang sebenarnya dengan
standar yang telah ditetapkan.
4. Menentukan tindakan perbaikan atau koreksi yang kemudian menjadi materi
rekomendasi
Pemeriksaan anggaran pada dasarnya merupakan aktivitas menilai, baik
catatan (record) dan menentukan prosedur-prosedur dalam mengimplementasikan anggaran, apakah sesuai dengan peraturan, kebijakan, dan standar-standar yang
berlaku. Dalam pemeriksanaan dilakukan oleh pihak luar lembaga (external
audit), seperti BPK (badan pemeriksa keuangan) atau akuntan public yang
mempunyai sertifikasi, dan pimpinan langsung (internal audit) terhadap
penerimaan dan pengeluaran biaya.
2.1.7. Hubungan Pengawasan Anggaran Terhadap Ketidakpastian Lingkungan
Organisasi yang beroperasi dalam lingkungan yang memiliki kelangkaan
sumber daya, dinamis dan komplek sering menghadapi ketidakpastiang
lingkungan yang tinggi. Hal ini dikarenakan lingkungan memberikan dinamika
perubahan industri yang tinggi sehingga sangat sulit untuk memprediksi
perubahan lingkungan yang akan terjadi dan memberikan dampak terhadap suatu
organisasi. Dalam mengatasi masalah tersebut manajemen memerlukan suatu
pengawasan anggaran yang berkesinambungan untuk memastikan bahwa para
karyawan telah menjalankan tugas sesuai dengan yang dianggarkan. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hirst (1983) memberikan hasil bahwa
ketika pengawasan anggaran tinggi (rendah) dengan ketidakpastian lingkungan
Berdasarkan dari penelitian – penelitian sebelumnya Brownell dan Hirst
(1986) mencoba melakukan penelitian dengan mengintergrasikan hasil dari
penelitian-penelitian sebelumnya dengan memberikan hasil penelitian bahwa
dalam kondisi ketidakpastian lingkungan rendah, organisasi yang mempunyai
partisipasi anggaran rendah dan pengawasan anggaran yang rendah akan
berdampak terhadap kinerja manajerial. Begitu juga dengan kondisi
ketidakpastian lingkungan yang tinggi, organisasi yang mempunyai partisipasi
anggaran yang tinggi dan pengawasan anggaran yang tinggi akan berdampak
terhadap kinerja manajerial.
Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, suatu organisasi memerlukan
pengawasan anggaran yang tinggi seandainya suatu perusahaan menghadapi
ketidakpastian lingkungan yang tinggi sehingga pengawasan anggaran dapat
digunakan untuk memecahkan suatu masalah yang terjadi dalam proses bisnis
dengan cepat sejalan dengan dinamika lingkungan yang semakin tinggi.
2.1.8. Hubungan Pengawasan Anggaran Terhadap Kejelasan Sasaran Anggaran
Pada dasarnya tujuan atau sasaran anggaran organisasi berdampak
terhadap motivasi, perilaku dan kinerja tugas manajemen organisasi (Hirst, 1983).
Dampak sasaran anggaran terhadap motivasi, perilaku dan kinerja tugas
manajemen organisasi dapat positif atau negatif tergantung dari karaterisktik
sasaran anggaran. Karateristik sasaran anggaran terbagi dua yaitu karateristik
kejelasan anggaran yang spesifik dan tingkat kesulitan pencapaian sasaran
anggaran (Gonvidranjan, 1986). Lebih lanjut, Hirst (1983) menyatakan bahwa
tidak spesifik dan tingginya tingkat kesulitan pencapaian anggaran. Anggaran
yang tidak dijelaskan secara spesifik dapat membuat para pelaksana tugas tidak
mengerti tujuan yang hendak dicapai dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini
disebabkan mereka kurang memahami apa yang dinginkan dari suatu organisasi
terhadap diri mereka. Anggaran yang jelas dan spesifik harus diikuti dengan
pengawasan anggaran yang efekti karena hasil dari pengawasan anggaran
memberikan kejelasan sasaran anggaran yang ingin dicapai karyawan lebih
mendalam.
2.1.9. Hubungan Pengawasan Anggaran Dengan Keadilan Prosedural
Pada dasarnya pengawasan anggaran yang efektif selalu melakukan
pengendalian secara terus menerus dan memberikan evaluasi atas hasil yang telah
dicapai oleh karyawan. Evaluasi yang atas aktualisasi kinerja yang telah dilakukan
karyawan merupakan salah satu alat memperjelas tujuan anggaran yang ingin
dicapai. Pengawasan yang efektif memberikan kontribusi tidak sebatas penilaian
terhadap aktualisasi kinerja tetapi juga sebagai alat untuk memberi solusi bila
terjadi suatu masalah dalam mencapai tujuan atau sasaran anggaran. Masalah yang
terjadi dalam proses pencapaian sasaran anggaran dapat berupa ketidakmampuan
karyawan dalam mencapai target kinerja yang diharapkan organisasi,
ketidaksanggupan karyawan memberikan eksekusi dalam pelaksanaan tugas dan
kekhilafan karyawan dalam melaksanakan tugas yang diakibatkan lupa atas
tugas-tugasnya maupun kondisi karyawan yang menyebabkan karyawan tidak dapat
menjalankan tugas.
Teori tentang keadilan prosedural berkaitan dengan prosedur-prosedur
organisasi kepada para anggotanya. Gilliland dalam Pareke (2003) mengatakan
bahwa keadilan prosedural merupakan suatu fungsi dari sejauh mana sejumlah
aturan-aturan prosedural dipatuhi atau dilanggar. Aturan-aturan tersebut memiliki
implikasi yang sangat penting karena dipandang sebagai manifestasi nilai-nilai
proses dasar dalam organisasi. Jadi individu dalam organisasi akan
mempersepsikan adanya keadilan prosedural manakala aturan prosedural yang
ada dalam organisasi dipenuhi oleh para pengambil kebijakan. Sebaliknya apabila
prosedur dalam organisasi itu dilanggar maka individu akan mempersepsikan
adanya ketidakadilan.
Pengendalian merupakan implementasi yang paling kuat dalam
mempengaruhi perilaku organisasi (Ozer dan Yilmaz, 2011). Proses
penganggaran memberikan beberapa keuntungan terhadap organisasi khususnya
dalam aktivitas perencanaan, pengendalian, informasi manajemen atas terhadap
bawahan, evaluasi, komunikasi dan pengambilan keputusan. Niehoff dan
Moorman (1993) mengemukakan bahwa pemantauan (monitoring) yang positif mempengaruhi persepsi keadilan prosedural karyawan. Hal ini disebabkan
ketidakpuasan atas keadilan yang dirasakan karyawan akan meningkatkan biaya
transaksi sehingga diperlukan suatu informasi akuntansi yang dapat
mempengaruhi persepsi keadilan prosedural karyawan (Luft, 1997).
Anggaran yang telah direncanakan merupakan informasi akuntansi
prosedural yang dapat digunakan oleh pengambil kebijakan tetapi dalam
mengaktualisasikan anggaran diperlukan pengawasan anggaran yang efektif
2.2. Review Penelitian Terdahulu (Theoretical Mapping)
Dalam penelitian ini terdapat empat penelitian terdahulu yang digunakan
sebagai review dalam menentukan suatu hipotesis penelitian ini. Penelitian yang
digunakan sebagai review atas hipotesis penelitian ini adalah penelitian yang
dilakukan Yubiharto (2003), Latif (2007), Munawar et. al (2006) dan Dunk dan Lysons (1997). Penelitian yang dilakukan Yubiharto (2003) menguji pengaruh
ketidakpastian lingkungan dan strategi bisnis terhadap kinerja manajerial Kepala
Cabang Bank Nasional dengan sistem manajemen akuntansi sebagai variabel
intervening. Hasil penelitian Yubiharto (2003) dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Penelitian yang dilakukan Latif (2007) menguji pengaruh keadilan
prosedural terhadap kinerja manajerial perusahaan manufaktur di Jawa Tengah
dengan partisipasi anggaran sebagai variabel intervening. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa keadilan prosedural dan partisipasi anggaran berpengaruh
positif dan signifian terhadap kinerja manajerial. Hasil penelitian Latif (2007) juga
menunjukkan bahwa keadilan prosedural berpengaruh secara tidak langsung
terhadap kinerja manajerial melalui partisipasi anggaran.
Penelitian yang dilakukan Munawar et. al (2003) menguji pengaruh karateristik tujuan anggaran yang terdiri dari variabel independen partisipasi
anggaran, kejelasan tujuan anggaran, umpan balik anggaran, evaluasi anggaran,
kesulitan tujuan anggaran terhadap variabel dependen sikap aparat, perilaku
aparat, kinerja aparat Pemerintah Daerah Kabupaten Kupang. Hasil pengujian
karaterisktik tujuan anggaran terhadap perilaku aparat menunjukkan partispasi
anggaran, tujuan anggaran, umpan balik anggaran dan kesulitan tujuan anggaran
berpengaruh signifikan terhadap perilaku aparat. Hasil penelitian menunjukkan
karateristik tujuan anggaran yang terdiri dari partisipasi anggaran dan umpan balik
berpengaruh signifikan terhadap sikap aparat sedangkan kejelasan tujuan
anggaran, evaluasi anggaran dan kesulitan tujuan anggaran tidak berpengaruh
signifikan terhadap sikap aparat Pemerintah Daerah Kabupaten Kupang. Dari
hasil pengujian pengaruh karateristik tujuan anggaran terhadap kinerja manajerial
hanya variabel partispasi anggaran dan umpan balik anggaran bepengaruh
terhadap kinerja aparat. sedangkan kejelasan tujuan anggaran, evaluasi anggaran
dan kesulitan tujuan anggaran tidak berpengaruh terhadap kinerja aparat.
Penelitian yang dilakukan Dunk dan Lysons (1997) menguji pengaruh
pengawasan anggaran terhadap kinerja Departemen Sektor Publik di Amerika
Serikat dengan dimensi lingkungan sebagai variabel moderating. Hasil penelitian
menunjukkan pengawasan anggaran berpengaruh signifikan terhadap kinerja
manajerial dan variabel dimensi lingkungan memperkuat pengaruh pengawasan
anggaran terhadap kinerja departemen.
Penelitian yang digunakan sebagai review hipotesis pertama adalah
penelitian Yubiharto (2003), Latif (2007), Munawar et. al (2006) dengan menggunakan variabel independen ketidakpastian lingkungan, strategis bisnis.
Sedangakan variabel dependen yang digunakan adalah kinerja manajerial.
Penelitian yang digunakan sebagai review hipotesis kedua sama dengan review
hipotesis pertama tetapi dengan menambahkan variabel pengawasan anggaran
yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan Dunk dan Lysons (1997).
Tabel 2.1. Review Penelitian Terdahulu (Theoretical Mapping) Tentang Analisis Pengaruh Pengaruh Pengawasan Anggaran Terhadap Hubungan Ketidakpastian Lingkungan, Kejelasan Sasaran Anggaran dan Kedilan Prosedural Terhadap Kinerja Manajerial.
No. Nama
Peneliti
Judul Penelitian Variabel
Penelitian
Hasil Penelitian
1. Yubiharto
(2003)
Pengaruh ketidakpastian lingkungan dan strategi bisnis terhadap kinerja manajerial dengan strategi bisnis dan karateristik sistem
2. Latif (2007) Hubungan antara
keadilan prosedural dan kinerja manajerial terhadap perilaku, sikap dan kinerja aparat Pemerintah Daerah di Kabupaten Kupang
Lanjutan Tabel 2.1.
An Analysis of Departmental
Effectiveness,
Participative Budgetary Control Process an Evironmental