• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Post Kolonialisme dalam Studi H

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Post Kolonialisme dalam Studi H"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS POST-KOLONIALISME DALAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL (STUDI KASUS KONFLIK SABAH)

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Disiplin ilmu Hubungan Internasional terus mengalami perkembangan

dalam isu maupun aktor didalamnya. Tidak terkecuali pendekatan serta konsep

yang semakin menyentuh bidang-bidang diluar hubungan perpolitikan

antar-negara. Wacana-wacana yang terbangun kini tidak hanya membahas tentang

perilaku negara secara konvensional namun telah melibatkan kebiasaan-kebiasaan

aktor diluar negara. Hal ini kemudian tidak hanya menjadi pembahasan mengenai

kebijakan yang diambil demi kepentingan suatu negara namun juga menyinggung

metodologi pengambilan kebijakan yang terkadang melibatkan

pertimbangan-pertimbangan aktor selain negara.

Pola pengambilan kebijakan yang tergambarkan, telah memperlihatkan

peran-peran individu dan kelompok diluar entitas negara. Kepentingan aktor

selain negara ini telah menjadi penentu berkembangnya wacana serta isu

hubungan internasional antar-negara. Negara yang dahulunya terlihat berperan

penuh untuk segala kebijakan, kini harus lebih mengindahkan peran-peran aktor

lain yang menjadi penentu terpenuhnya kepentingan masing-masing entitas. Hal

ini dapat terlihat pada berbagai macam konflik yang disebabkan oleh tidak

terpenuhinya kepentingan-kepentingan kelompok di luar entitas negara. Tidak

terpenuhinya kepentingan kelompok-kelompok etnis dan kelompok diluar entitas

(2)

Ketidakpuasan serta tidak terakomodasinya hak dan kepentingan banyak kalangan

dalam suatu negara sedikit banyak menimbulkan konflik internal dalam negara

maupun konflik antar-negara.

Konflik yang terjadi dewasa ini yang lebih melibatkan kelompok etnis atau

kelompok kepentingan dalam suatu negara lebih dikenal sebagai konflik

kontemporer dalam Hubungan Internasional. Hal ini terjadi karena pada awalnya

para penstudi Hubungan Internasional mengenal konflik tradisional sebagai

konflik yang terjadi antar negara yang berdaulat. Hugh Miall, Oliver Ramsbotham

dan Tom Woodhouse menggunakan konsep “contemporary conflict” untuk

mengacu secara spesifik konflik-konflik yang terjadi setelah Perang Dingin

berakhir.1

Konflik yang lebih banyak melibatkan peran kelompok internal dalam

suatu negara ketimbang antar negara yang berdaulat ini, pada awalnya tidak

terlalu menjadi fokus disiplin Hubungan Internasional. Hal ini disebabkan karena

disiplin Hubungan Internasional agak lama mengabaikan pengembangan teori

untuk menjelaskan konflik internal karena terpaku pada tipe konflik tradisional

yang menghadapkan suatu negara berdaulat dengan negara berdaulat lainnya.2 Hal

ini kemudian menyempitkan pandangan para penstudi Hubungan Internasional

dalam memandang konflik internal sebagai isu hubungan internasional.

Pemikiran mengenai konflik kontemporer ini kemudian dapat diluruskan

oleh Kalevi Holsti. Seperti yang diakui Kalevi Holsti, perang pada akhir abad 20

1 Hugh Miall, Oliver dan Tom Woodhouse. 1991. Contemporary Conflict Resolution, London.

Polity Press, hal. 66, dalam Yulius P. Hermawan. 2007. Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu dan Metodologi, Yogyakarta. Graha Ilmu, hal. 76-77.

(3)

bukan menyangkut kebijakan luar negeri, keamanan, status atau kehormatan

negara, tetapi tentang masalah kenegaraan (statehood), kepemerintahan

(governance), serta peran dan status bangsa dan komunitas dalam negara.3 Hal ini

kemudian semakin memperjelas peran aktor non negara khususnya dalam isu

konflik disiplin Hubungan Internasional. Tidak hanya pada konflik internal, peran

aktor non-negara pun juga mempengaruhi konflik antar negara dan tidak jarang

menjadi penyebab utama pecahnya konflik.

Konflik kontemporer yang terjadi pasca perang dingin ini, terjadi di

berbagai bagian dunia. Namun negara-negara selatan atau negara yang sedang

berkembang lebih banyak menghadapi masalah ini. Selama pasca perang dingin

salah satu kawasan yang sering mengalami konflik kontemporer adalah kawasan

Asia Tenggara. Dalam sejarahanya kawasan ini telah banyak mengalami

konflik-konflik internal maupun eksternal di lingkup kawasan maupun terhadap negara

lain. Misalnya pada kasus konflik ketika Vietnam menginvasi Kamboja pada

tahun 1978 demi menggulingkan rejim Pol Pot. Pada konflik ini, Vietnam yang

ingin menanamkan pemerintahan Heng Samrin yang pro-Vietnam mereka

menggunakan aktor-aktor dari dalam Kamboja sendiri sebagai instrumennya

seperti Heng Semrin, Chea Sim dan Hun Sen, lalu kemudian membentuk

Republik Rakyat Kamboja (RRK). Para tokoh RRK seperti Heng Semrin, Chea

Sim dan Hun Sen sebenarnya adalah mantan komandan Khmer Merah di kawasan

Timur Kamboja.4 Setelah menentang Pol Pot dan pemerintahannya, mereka

3 Kalevi Holsti. 1996. The State, War and the State of War, Cambridge. Cambridge University

Press, hal 20-21, dalam Yulius P. Hermawan, op.cit., hal 87

4 Bambang Cipto. 2007. Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong Terhadap

(4)

melarikan diri ke Vietnam. Setelah melarikan diri, di sanalah para tokoh

pemberontak ini dilatih dan dipersiapkan Vietnam untuk keudian merebut dan

menduduki Kamboja dengan dukungan pasukan Vietnam.5 Pada kasus ini dapat

disimpulkan bahwa aktor non-negara memgang peran penting bahkan dalam

kasus konflik eksternal suatu negara.

Masih di kawasan Asia Tenggara, selain Kamboja, konflik wilayah antara

Filipina dan Malaysia menjadi fokus kawasan ini khususnya oleh organisasi

regional ASEAN. Sampai dengan abad ke-21 Filipina masih mengklaim Sabah,

salah satu negara bagian Malaysia, sebagai wilayahnya karena alasan-alasan

historis.6 Berdasarkan aspek historis ini, Filipina terus mempertahankan klaim atas

Sabah sejak 1969 setelah Kerajaan Sulu menyerahkan kekuasaan dan kedaulatan

terhadap Sabah. Presiden Aroyyo pada tahun 2002 bahkan membentuk komisi

untuk mengkaji kembali klaim Filipina selama ini.7 Namun pertikaian terbuka

antara Filipina dan Malaysia tidak pernah terjadi. Hal ini disebabkan klaim

Filipina tidak didukung oleh kekuatan militer yang cukup.

Klaim wilayah Sabah kemudian kembali menjadi permasalahan ketika

Kesultanan Sulu ingin mengembalikan wilayah historis yang dimilikinya.

Wilayah historis Kesultanan Sulu yang mencakup setengah Kepulauan Mindanao

dan membentang hingga ke Sabah ingin direbut kembali demi mewujudkan

daerah otonomi bagi etnis mayoritas di Sulu yaitu Tausug. Hal ini kemudian

5Stephen J. Morris. 1999. Why Vietnam Invaded Cambodia: Political Culture and the Causes of

War, Stanford, California. Stanford University Press, hal. 220, dalam Ibid., hal. 47

(5)

diikuti dengan penyusupan ratusan utusan Kesultanan Sulu yang dilengkapi

dengan senjata, sehingga mengundang konflik dengan pihak polisi Malaysia.

Ketidak-jelasan kepemilikan wilayah Sabah dan konflik yang

mengikutinya sebenarnya tidak dapat serta merta dihubungkan dengan hubungan

politik yang berkembang sekarang ini. Aspek historis saat terbentuknya Federasi

Malaysia sebenarnya menjadi kunci masalah wilayah ini. Kebijakan masa kolonial

yang diterapkan negara-negara koloni seperti Spanyol, Inggris dan Amerika

Serikat, tidak dapat dipisahkan dari masalah yang telah menjadi konflik yang

berkepanjangan antar negara dan entitas non-negara ini.

Dengan melihat sejarah yang berkembang di kawasan Asia Tenggara yang

mayoritas adalah negara jajahan, kebijakan masa kolonial masih dengan jelas

mempengaruhi kondisi negara-negara di kawasan ini. Salah satu pendekatan yang

digunakan dalam menganalisa fenomena historis yang memberikan pengaruh

hingga sekarang ini adalah pendekatan poskolonial. Seiring dengan kemerdekaan

bangsa-bangsa, kolonialisme dipercaya tidak pernah berhenti.8 Banyaknya

masalah yang tidak terselesaikan hingga proses dekolonisasi tentu menjadi hal

yang mempengaruhi negera-negara bekas koloni. Proses penjajahan yang lama

dengan mudah akan terinternalisasi sehingga membentuk suatu hubungan yang

tidak terputus antara negara yang menjajah dan dijajah. Keterhubungan ini

kemudian akan menjadi benang merah yang menjelaskan proses eskalasi

fenomena secara historis.

8 Asrudin; Mirza Jaka Suryana dkk. 2009. Refleksi Teori Hubungan Internasional (Dari

(6)

Hal ini seharusnya dapat menjadi acuan dalam pembahasan konflik yang

melanda Sabah selama beberapa dekade hingga saat ini. Usaha klaim yang

dilakukan serta penentuan status Sabah sendiri masih menjadi pertanyaan besar

tanpa melihat bagaimana aspek historis fenomena ini, serta pihak-pihak yang

mempengaruhi selain pihak yang bertikai. Analisa melalui pendekatan

poskolonialisme adalah pola yang cukup tepat untuk membedah masalah ini.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Konflik yang melanda Sabah dapat dianalisa dengan berbagai perspektif

dan pendekatan. Konflik yang sebab dan proses eskalasinya masih menjadi

perdebatan pihak-pihak yang bertikai ini belum menemukan jalan untuk sampai

pada proses penyelesaian konflik. Hasil negosiasi yang bisa mengakomodasi

kepentingan kedua belah pihak belum bisa terpenuhi. Untuk mampu membedah

sebab serta pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, maka dibutuhkan pendekatan

poskolonialisme dan melihat urgensitas pengaruh masa kolonial terhadap konflik

ini.

Melihat hal tersebut, penulis mencoba merumuskan pertanyaan penelitian

guna mengurangi kesalahan dalam pelaksanaan penelitian dan menganalisis

masalah nantinya, yakni sebagai berikut :

1. Apa yang menyebabkan terjadinya konflik di Sabah?

2. Bagaimana pengaruh masa kolonial dalam konflik yang terjadi di

Sabah?

3. Bagaimana pengaruh negara-negara bekas penjajah dalam konflik

(7)

4. Bagaimana bentuk ketergantungan negara pasca kolonial terhadap

negara-negara penjajah dalam konflik Sabah?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini sesuai dengan batasan dan perumusan masalah, yaitu:

1. Untuk mengetahui bagaiamana penyebab konflik Sabah secara

keseluruhan selama beberapa dekade.

2. Untuk mengetahui pengaruh masa kolonial dan sistem yang

berlangsung pada masa itu dalam pengaruhnya terhadap konflik Sabah.

3. Untuk mengetahui peran dan pengaruh negara-negara penjajah yang

terlibat dalam proses eskalasi konflik Sabah.

4. Untuk mengetahui bentuk ketergantungan negara-negara pasca

kolonial terhadap negara penjajah yang terkait dalam konflik Sabah.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dan

menjadi bahan kajian bagi pengembangan studi Hubungan

Internasional di masa mendatang, khususnya bagi pemerhati masalah

konflik internasional dan yang tertarik menganalisis konflik Sabah

2. Sebagai referensi tambahan bagi pemerhati pengkaji konsep

poskolonialisme.

(8)

Konflik sudah menjadi kodrat dan telah ada sejak kehadiran manusia di

muka bumi dikarenakan banyaknya perbedaan yang dimiliki oleh setiap manusia,

menyebabkan terjadinya perbedaan paham dimana perbedaan paham itu sendiri

merupakan konflik kepentingan antar individu. Konflik sendiri memiliki berbagai

definisi menurt para ahli. Menurut Dahrendorf konflik adalah sebuah keadaan

yang terjadi akibat adanya tekanan yang mengelilingi keputusan dalam beberapa

pilihan, yang kadang dimanifestasi melalui konfrontasi antar pihak.9 Sedangkan

menurut Azar, bahwa konflik merupakan perbedaan dalam opini, pertentangan,

dan argumen yang terjadi dalam sebuah hubungan manusia, dalam organisasi,

komunikasi, ataupun dalam tingkatan internasional.10

Perbedaan merupakan hal yang mendasari konflik apapun yang ada.

Konflik merupakan perbedaan dalam hal sosio-kultural, politik, ataupun ideologi

sehingga membuat seseorang atau kelompok melakukan perlawanan dimana salah

satu bentuknya adalah melalui kekerasan.11 Untuk menghindari konflik yang

berkepanjangan yang merugikan pihak-pihak yang berkonflik, maka dibutuhkan

upaya resolusi konflik. Resolusi konflik adalah upaya untuk menyelesaikan dan

mengakhiri konflik yang berlangsung dengan tercapai atau tidaknya kepentingan

pihak yang terlibat.

Dalam setiap resolusi konflik, Ho-Won Jeong mengatakan bahwa tahap

pertama yang dibutuhkan adalah pemahaman akan konflik apa yang ingin

diselesaikan. Tahap pertama ini terdiri atas 4 bagian secara umum, yakni parties,

9 Oliver Ramsbotham, Tom Woodhouse dan Hugh Miall. 2011. Contemporary Conflict

Resolution, Cambridge. Polity Press, hal. 19

10 Ho-Won Jeong. 2008. Understanding Conflict and Conflict Analysis, London. Sage

Publications, hal.6

(9)

goals, issues dan interests.12 Parties (aktor-aktor yang terlibat) merupakan hal

pertama yang perlu diketahui. Pengetahuan untuk mengetahui individu dan

kelompok yang memiliki posisi kuat dalam dinamika konflik yang terjadi. Usaha

dibutuhkan dalam menganalisa siapa saja pelaku dari konflik, dan kemungkinan

korban akibat konflik tersebut itu siapa. Aktor-aktor yang menjadi pelaku dari

konflik tentunya memiliki sebuah struktur yang telebih dahulu perlu dipahami,

sebab adanya aktor yang hanya menjalankan perintah, dan adanya aktor yang

memerintahkan sebuah tindakan secara langsung kepada anggota kelompok.

Beberapa contoh dari aktor-aktor yang dimaksud adalah individu, kelompok, dan

institusi yang memiliki peranan yang signifikan terhadap outcome sebuah konflik

nantinya. Tidak hanya berhenti disitu, karena dalam konflik yang melibatkan

aktor-aktor tersebut, terdapat beberapa aktor yang tidak terlibat langsung dalam

konflik, namun memiliki dampak langsung maupun tidak langsung terhadap

keberlangsungan sebuah konflik. Beberapa aliansi dari aktor-aktor, ataupun

pemerhati, memiliki kontribusi yang tidak jarang sangat signifikan dalam

penyediaan sumber daya aktor-aktor yang terlibat, sehingga secara tidak langsung

berdampak terhadap outcome dari sebuah konflik.

Goals (target) adalah hal kedua yang perlu dipahami dalam tahap pertama

menganalisa sebuah konflik. Target dalam hal ini, dapat didefinisikan sebagai

sebuah kondisi masa depan yang masing-masing aktor ingin capai. Target bisa

dalam bentuk wilayah, politik, ekonomi, dan banyak target lainnya. Terkadang

formulasi target yang diaspirasikan oleh sebuah aktor tidak dapat tergolong

sebagai hal yang rasional. Dalam banyak kasus, target yang ingin dicapai oleh

(10)

sebuah aktor bersifat dinamis, dan sangat bergantung terhadap sumber daya yang

dimiliki oleh aktor tersebut. Sering terjadi, sebuah aktor yang awalnya memiliki

target yang sangat masif, namun pada akhirnya menyerah terhadap target yang

tergolong sangat minim akibat sumber daya yang mungkin saja telah habis.

Persediaan sumber daya dalam beberapa kasus menjadi motif utama mengapa

adanya dinamika dalam penentuan target sebuah aktor.

Issues (persoalan) merupakan beberapa bagian pertentangan yang dialami

oleh aktor-aktor yang terlibat langsung dengan konflik. Konsiderasi terjadinya

konflik akibat perbedaan-perbedaan yang ada, sehingga perbedaan itulah yang

sering dianggap sebagai persoalan utama terjadinya konflik. Persoalan biasanya

merupakan persoalan ekonomi, aspirasi sosial, individu, atau kelompok. Kesulitan

dalam setiap mekanisme penyelesaian sebuah konflik banyak terletak pada

persoalan ini, sebab sebuah penyelesaian pada akhirnya akan menguntungkan satu

pihak, namun akan merugikan pihak lainnya. Penyelesaian konflik akan tetapi

sangat bergantung terhadap apa saja yang menjadi persoalan diantara kedua pihak,

agar dapat menentukan persoalan inti dan persoalan turunan yang seharusnya

bukan merupakan prioritas dalam penyelesaian konflik tersebut.

Terakhir yang perlu diketahui sebagai tahap pertama resolusi konflik

adalah interests (kepentingan). Kepentingan ini menjadi alasan utama sebuah

aktor atau kelompok akan melakukan konflik dari awal, dan merupakan dasar

tercapainya sebuah penyelesaian konflik yang mampu disetujui oleh kedua pihak.

Kepentingan ini dapat didefinisikan sebagai apa saja yang menjadi hal yang ingin

(11)

konflik muncul pada saat penentuan aktor A mendapat apa saja, dan aktor B serta

aktor-aktor lainnya mendapatkan apa. Keadaan ini menjadi latar belakang utama

mengapa terjadi perselisihan, sehingga aktor-aktor yang terlibat konflik akan

menegosiasikan untuk mendapatkan keuntungan yang paling banyak dibanding

aktor lainnya. Deadlock pun biasanya tidak dapat dihindari dalam proses fasilitasi

kepentingan-kepentingan aktor yang terlibat. Kepentingan ini dapat disimpulkan

sebagai bagian yang penting dalam merumuskan sebuah resolusi konflik, yang

tingkat kesuksesannya bergantung pada fasilitasi kepentingan aktor-aktor yang

terlibat.

Konsep tentang pengaruh sangat penting untuk melihat bagaimana

pola-pola negara atau entitas yang lebih dominan mampu mempengaruhi sehingga

dapat menguasai kondisi yang terbangun. Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia, pengaruh memiliki definisi yaitu daya yang ada atau timbul dari suatu

(benda/orang) yang ikut membentuk watak, perilaku, kepercayaan yang mana

daya ini umumnya besar sekali.13 Selain itu menurut Frankel, power atau kekuatan

yang beraspek pada paksaan disebut pengaruh, jadi dalam hal ini pengaruh adalah

power.14 Dikarenakan power ada dalam suatu hubungan maka pengaruh pun

terlihat di dalam suatu hubungan antar dua atau lebih aktor.

Poskolonialisme lahir dari dampak-dampak kolonialisme yang masih

terasa hingga sekarang, baik dalam pola pikir, formasi kultural maupun sistem

yang berjalan dalam suatu entitas. Untuk membuka wacana mengenai teori

poskolonial, kita harus terlebih dahulu melihat sejarah Eropa beserta klaim-klaim

13 Tim Depdiknas. 1986. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka.

14 R. Soeprapto. 1997. Hubungan Internasional: Sistem, Interaksi dan Perilaku. Jakarta. PT. Raja

(12)

yang dimilikinya.15 Klaim-klaim yang ada memperlihatkan bangsa Eropa

menganggap adalah bangsa yang paling beradab dibanding bangsa lainnya.

Berkaitan dengan ilmu pengetahuan, bangsa Eropa menganggap diri sebagai

superior di antara segenap bangsa-bangsa lain yang inferior.16

Berangkat dari hal ini, gagasan tentang ilmu universal pun lahir. Ide

tentang ilmu universal adalah ilmu yang mereka miliki dan harus mereka

tanamkan pada bangsa lainnya, menjadikan mereka cenderung menginternalisasi

nilai dan pengetahuan mereka pada bangsa yang menjadi daerah jajahannya. Hal

ini yang kemudian membuat pola hubungan yang tidak terputus antar negara yang

menjajah dan terjajah. Sehingga pola pikir, format kultural dan sistem yang

dipakai akan sulit untuk dihilangkan oleh negara yang terjajah.

Senada yang diungkapakan oleh Wolf, poskolonialisme merupakan

lanjutan dari sikap Euro-centric dari ilmu sosial jauh lebih konvensional di mana

disebut sebagai munculnya wilayah baru yang disebut “people without history”.17

Hal ini semakin memperlihatkan tidak dianggapnya pola pikir dan kebudayaan

bangsa yang inferior sehingga menanamkan ilmu konvensional mereka adalah

jalan hidup yang lebih baik. Sehingga dominasi setelah jaman kolonial masih

tetap terlaksana baik dalam pola pikir, budaya dalam hal ini bahasa dan cara

hidup, maupun sistem politik dan ekonomi.

Konsep Orientalisme yang dikemukakan oleh Edward W. Said, dikatakan

sebagai subkajian teori Hubungan Internasional Kritis. Perlawanan psikologis atas

15 Asrudin, et.al, op.cit., hal. 365 16Ibid, hal.365

17 Rita Abrahamsen. Postcolonialism dalam Martin Griffiths. 2007. International Relations

(13)

kolonialisme diawali dengan kemunculan penjajah itu sendiri. Dalam konteks ini,

kolonialisme terlihat dalam relasi tuan-budak. Hubungan tuan-budak didasarkan

pada gagasan mengenai sang lain (the Other). Tujuan kolonialisme tidak lain

adalah untuk menegaskan dominasi dan superioritas atas sang Lain. Namun,

seperti para moralis lainnya, para penjajah meyakinkan diri bahwa apa yang

mereka lakukan didasarkan pada landasan moral yang tinggi, dimana : (1) yang

dijajah memang sangat membutuhkan pendidikan dan rehabilitasi; (2) kebudayaan

yang terjajah tidak sesuai standar penjajah, dan merupakan tugas moral penjajah

untuk memolesnya; (3) Negara terjajah tidak mampu mengatur dan menjalankan

negaranya secara benar, dan dengan begitu membutuhkan kebijaksanaan dan

keahlian dari para penjajah; (4) Negara terjajah memeluk keyakinan agama yang

tidak sesuai dan bertentangan dengan para penjajah, dan sebagai konsekuensi,

merupakan tugas yang diberikan Tuhan kepada penjajah untukmembawa

orang-orang tersebut ke jalan yang benar; dan (5) orang-orang-orang-orang terjajah menciptakan

ancaman berbahaya pada diri mereka sendiri dan kepada dunia beradab jika

dibiarkan sendiri, dan oleh karena itu adalah kepentingan dari dunia beradab

untuk membawa orang-orang ini di bawah kendali.

Dalam bagian selanjutnya Said juga membedakan antara imperialisme dan

kolonialisme. Menurut Said, imperialisme merujuk pada praktik, teori dan

tingkah laku sebuah pusat dominasi metropolis memerintah sebuah wilayah yang

jauh. Imperialisme tidak berakhir dan secara tiba-tiba menjadi ‘masa lampau’,

seiring gerakan dekolonisasi imperium-imperium klasik. Warisan hubungan masih

(14)

Perancis. Mereka yang dulunya terjajah kini banyak bermukim di negeri bekas

penjajah mereka. Kenyataan dislokasi ini menunjukkan bahwa kolonialisme tidak

serta merta terputus saat suatu Negara menyatakan kemerdekaannya.

Kolonialisme, yang merupakan konsekuensi imperialisme, merujuk pada

pendudukan di wilayah yang jauh. Konsep “sang Lain” menjadi kunci kekuasaan

colonial, sebagaimana para penjajah selalu menempatkan diri sebagai pihak yang

ingin mengangkat derajat kaum terjajah yang inferior, namun dalam kenyataan hal

ini tidak pernah terjadi. Kaum terjajah malah semakin terpuruk dalam belenggu

imperialisme dan kolonialisme.

Konsep lain mengenai analisa postkolonialisme yaitu kelompok sosial

subaltern yang disebutkan oleh Gayatri Chakravorty Spivak, merujuk pada

kelompok-kelompok marjinal dan kelas-kelas bawah yang dibuat tanpa agensi

(kebebasan) disebabkan oleh status sosial mereka. Pandangan ini melihat

postkolonial menuliskan kembali, memilih dan mempraktikkan secara ironis

dalil-dalil dominasi politik neo-kolonial, eksploitasi ekonomi dan penghapusan budaya.

Kolonialisme, dalam bentuknya tentu saja sangat heterogen. Dominasi dan

subordinasi adalah sebuah hubungan yang tidak hanya terjadi antarnegara atau

antaretnis, tetapi terjadi pula dalam sebuah Negara atau dalam suatu etnis tertentu.

Titik berat studi ini merujuk pada bagaimana kelompok-kelompok non-elit

(subaltern) dapat menjadi agen perubahan sosial politik.

E. Metode Penelitian

(15)

Tipe penelitian yang digunakan oleh penulis adalah tipe deskriptif-analitik,

yaitu penelitian yang menggunakan pola penggambaran keadaan fakta empiris

disertai argumen yang relevan. Kemudian, hasil uraian tersebut dilanjutkan

dengan analisis untuk menarik kesimpulan yang bersifat analitik. Tipe penelitin

deskriptif-analitik dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai fenomena

yang terjadi dan relevan dengan masalah yang diteliti. Metode deskriptif

digunakan untuk menggambarkan fakta-fakta konflik yang sedang berlangsung di

Sabah dan pola yang terjadi pada masa dan pasca kolonial.

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam teknik pengumpulan data, penulis menelaah sejumlah literatur yang

berkaitan dengan masalah yang diteliti berupa buku, jurnal, dokumen, artikel

dalam berbagai media, baik internet maupun surat kabar harian. Adapun

bahan-bahan tersebut diperoleh dari beberapa tempat yang akan dan telah penulis

kunjungi, yaitu:

a. Perpustakaan Ilmu Sosial dan Ilmu Politik LIPI di Jakarta.

b. Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin

c. Center for Strategies and International Studies (CSIS) di Jakarta

d. Perpustakaan Fisip Unhas

e. Perpustakaan Himahi Fisip Unhas

f. Perpustakaan Kedai Buku Jenny

(16)

Jenis data yang penulis gunakan adalah data sekunder. Data sekunder

merupakan data yang diperoleh melalui studi literatur seperti buku, jurnal, artikel,

majalah, handbook, situs internet, institut dan lembaga terkait. Adapun, data yang

dibutuhkan ialah data yang berkaitan langsung dengan penelitian penulis tentang

(17)

DAFTAR PUSTAKA

Hermawan, Yulius P. 2007. Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu dan Metodologi, Yogyakarta. Graha Ilmu

Cipto Bambang. 2007. Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong Terhadap Dinamika, Kondisi Riil dan Masa Depan, Yogyakarta. Pustaka Pelajar

Asrudin, Mirza Jaka Suryana dkk. 2009. Refleksi Teori Hubungan Internasional (Dari Tradisonal ke Kontemporer), Yogyakarta. Graha Ilmu

Ramsbotham, Oliver, Tom Woodhouse dan Hugh Miall. 2011. Contemporary Conflict Resolution, Cambridge. Polity Press

Jeong. Ho-Won, 2008. Understanding Conflict and Conflict Analysis, London. Sage Publications

Tim Depdiknas. 1986. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka. R. Soeprapto. 1997. Hubungan Internasional: Sistem, Interaksi dan Perilaku.

Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada

Griffiths, Martin. 2007. International Relations Theory for the Twenty-First Century, New York. Routledge

Koran :

“Kesabaran Malaysia Habis : para penyusup belum ditemukan”, Koran Kompas edisi Rabu, 6 Maret 2013

“Kesultanan Sulu : Liku-liku Sejarah klaim Sabah”, Koran Kompas edisi Rabu, 6 Maret 2013

“Pintu Negosiasi Tertutu” , Koran Kompas edisi Minggu 3 Maret 2013

(18)

Referensi

Dokumen terkait

10 Roeslan Salah, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1987, hlm.61. Gerakan yang menentang pidana mati bukanlah sekedar suatu usaha atau perjuangan yang

1) Menentukan lokasi kerja. 2) Menyiapkan alat, bahan, dan tenaga kerja. 3) Rawat piringan dapat dilakukan dengan cara manual dan cara kimia. 4) Penyemprotan harus tepat

Terjadinya apendisitis akut dan adanya perubahan dinding apendiks vermiformis secara signifikan berhubungan dengan meningkatnya jumlah leukosit darah.. Temuan ini

Dalam penelitian ini, strategi komunikasi yang baik adalah strategi yang dapat menempatkan posisi seorang guru secara tepat ketika berkomunikasi dengan muridnya,

Berdasarkan ciri kelompok tersebut di- atas maka dapat disimpulkan bahwa keterkaitan sumberdaya ikan ekor kuning dengan habitat pada ekosistem terumbu karang adalah

730 EDY HARIYANTO SDN 3 KALIGAYAM KLT A5 SDN 2 MOJAYAN-1 SD N KARANGANOM KLATEN UTARA 731 SUJIYANTI SDN 3 JOMBORAN KLT A5 SDN 2 MOJAYAN-1 SD N KARANGANOM KLATEN UTARA 732 PURWANTI SDN

Mengingat pada kejuaraan remaja tahun 2012 keterlibatan klub hanya sebatas klub bola voli di Kabupaten Sleman, maka pada penyelenggaraan yang akan datang keterlibatan

SOEKARNO MENGINGATKAN SYARAT PENDIRIAN SUATU BANGSA YANG SOEKARNO MENGINGATKAN SYARAT PENDIRIAN SUATU BANGSA YANG DIDASARKAN PADA KEINGINAN YANG KUAT DARI SETIAP ELEMEN.