• Tidak ada hasil yang ditemukan

Contoh Percakapan Bahasa Inggris di Term

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Contoh Percakapan Bahasa Inggris di Term"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

Contoh Percakapan Bahasa Inggris di Terminal Bus

Contoh percakapan bahasa inggris di terminal

berikut ini menggambarkan suasana sebuah

terminal yang dialami Budi ketika memesan tiket.

Setelah memesan tiket, Dalam conversation

bahasa inggris di terminal tersebut Budi didatangi

seseorang yang tidak dikenal mengajak ngobrol

dan menawari minuman gratis. Untungnya Eko

yang baru saja membeli makan ringan datang dan

segera mengajak Budi temannya pergi.

Eko menanyakan minuman yang dibawa Budi

apakah membeli atau pemberian. Ternyata

minuman itu pemberian orang tak dikenal dan

dikhawatikan mengandung sesuatu yang

berbahaya untuk menipu budi.

Contoh – Contoh Percakapan Bahasa Inggris di

Terminal Bus Situation at Bus Station

*BS = Bus Station Security Staf

Budi : Excuse me, Sir.

BS : Yes. May I help you?

Budi : Yes, Sir. I want to go to Sukabumi, yet I’m not

sure which bus I should take.

(2)

station, you then need to take Bumi Putera bus. It

goes in route of Jakarta – Sukabumi.

Budi : Where can we buy the tickets, Sir?

BS : You can go there [pointing out at some place],

that’s the place to buy tickets. Then you choose

the right ticket counter and get into the line

according to the bus you are going to take.

Budi : Alright. Thank you for the help, Sir.

BS : Yes. Be careful on your trip.

Budi : Thank you, Sir.

[At the ticket counter]

TCC= Ticket Counter Clerk

Budi : Excuse me. Is this the right bus ticket to

Sukabumi?

TCC : Yes. How many tickets do you want?

Budi : Two, please.

TCC : Is it business or executive class?

Budi : Business class, please.

(3)

Budi : Um… No, I’ll wait here to keep our

belongings.

Eko : Alright.

Stranger: [suddenly an unknown man sits besides

Budi] Hello, where are you going, Kid?

Budi : Um… we are going to Sukabumi, Sir.

Stranger: We? You’re here with someone?

Budi : Yes. I’m going with my friend.

Stranger: Where is your friend?

Budi : He’s buying some snacks.

Stranger: It’s so hot today, huh?

Budi : Yeah, it’s really hot today.

Stranger: You are going to Sukabumi for what?

Vacation?

Budi : Oh, no, we’re going to home.

Stranger: Oh, I see. So, what have you been doing

in Jakarta all along, by the way?

Budi : I and my friend were

working

in Jakarta. Now

we are not working here anymore and we decided

to come back to Sukabumi.

Stranger: I see. Ugh, this weather really makes me

thirsty. Hey, I bought some drinks. Here’s for you.

You must have been thirsty waiting for your friends.

Budi : Thank you for the drink, Sir. [Budi was about

to drink, suddenly…]

(4)

bought the snacks as well.

Budi : Ha? Alright, I’m coming! Good bye, Sir.

[leaving the stranger]

Eko : You bought that

drink

?

Budi : No, a man gave it to me.

Eko : Huh! Throw it of! Did you drink it? That drink

could be dangerous!

Budi : Oh, my God! [Throwing the drink of] I didn’t

realize it. I was too thirsty. Thank you, Buddy.

You’re saving my life.

Eko : It’s a public place. There are a lot of hidden

crimes in here. We need to stay aware.

Budi : Right! Thanks again, I don’t know what

would have happened to me if you didn’t come at

the right time.

Glossaries Contoh – Contoh Percakapan Bahasa

Inggris di Terminal Bus

Bus Station Security Staf: Staf Keamanan Terminal

Bus

In route of Jakarta – Sukabumi: dalam rute Jakarta –

Sukabumi

Pointing out at: menunjukkan tangan ke arah

Get into the line: mengantri

(5)

Run out of : kehabisan

Belongings: barang bawaan

Vacation: liburan

All along: selama ini

Weather: cuaca

Bought (VII buy): membeli

You must have been thirsty: kau pasti sudah haus

As well: juga

Throw it of!: buang itu!

Realize: sadar

Hidden crimes: kejahatan tersembunyi

(6)

Rabu, 29 April 2009

KASUS KARAHA BODAS COMPANY L.L.C MELAWAN P.T. PERTAMINA

DAN P.T. PLN

KASUS

KARAHA BODAS COMPANY L.L.C

MELAWAN

P.T. PERTAMINA DAN P.T. PLN

A.

Para Pihak dalam Sengketa

1.

Penggugat:

Karaha Bodas Company L.L.C (KBC)

Adalah suatu perseroan terbatas yang didirikan dan bergerak berdasarkan hukum

Kepulauan Cayman yang berkedudukan di Gedung Plaza Aminta Suite 901, Jl. T.B.

Simatupang, Kav. 10, Jakarta 12310, Indonesia.

2.

Tergugat

a.

Tergugat 1

(7)

P.T. Pertamina adalah suatu perusahaan yang didirikan berdasarkan

Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 Tentang Pertamina dan dimiliki oleh Pemerintah Republik

Indonesia.

b. Tergugat 2

P.T. Perusahaan Listrik Negara (P.T. PLN)

P.T. PLN adalah suatu perusahaan negara yang tunduk pada Undang-Undang No. 12

Tahun 1998 Tentang…adalah perusahaan yang mengusahakan penyediaan listrik kepada

masyarakat umum di Indonesia.

B. Latar Belakang Sengketa

Pada tanggal 28 November 1994, disepakati dua kontrak sebagai bagian dari Proyek Karaha.

Kedua kontrak tersebut adalah:

1)

Kontrak Operasi Bersama

(Joint Operation Contract/ “JOC”)

Kontrak ini menetapkan bahwa Pertamina bertanggung jawab untuk mengelola

pengoperasian geothermal di dalam proyek karaha tersebut dan KBC berperan sebagai

kontraktor. KBC diwajibkan untuk mengembangkan energy gheotermal di daerah proyek

dan membangun, memiliki dan mengoperasikan tenaga listrik.

2)

Kontrak Penjualan Energi

(Energy Sales Contract/ “ESC”)

Berdasarkan kontrak ini PLN setuju untuk membeli tenaga listrik dari Pertamina

yang diproduksi, dipasok, dan disediakan oleh pembangkit tenaga listrik yang dibangun

oleh KBC. Sebagai kontarktor bagi Pertamina berdasarkan JOC, KBC, atas nama

Pertamina dan berdasarkan ESC, berhak untuk memasok dan menjual tenaga listrik

(8)

Pada Tahun 1997 timbul krisis moneter dan menimpa Indonesia.

International

Monetary Fund

(IMF) meminta kepada pemerintah Republik Indonesia untuk meninjau

kembali proyek-proyek pembangunan. Selain itu harus diteliti lebih lanjut, apakah

pembayaran proyek dengan valuta asing US dollar masih dapat dipertahankan.

Pada tanggal 20 September 1997 Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan

Keputusan Presiden No. 39 Tahun 1997. Berdasarkan Kepres tersebut sebanyak 75 proyek

ditunda termasuk Proyek Karaha. Selanjutnya pada tanggal 1 November 1997 dikeluarkan

Keputusan Presiden No. 47 Tahun 1997 yang berisi perintah agar beberapa proyek yang

tertunda termasuk Proyek Karaha dilanjutkan kembali. Pada tanggal 10 Januari 1998,

Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1998 dikeluarkan. Keputusan ini membatalkan kepres

sebelumnya dan mengkomfirmasi penundaan Proyek Karaha.

Pertaminan telah menyetujui untuk membantu KC dalam usaha melanjutkan kembali

proyek ini, akan tetapi ternyata dua minggu setelah diajukan permohonan oleh Pertamina,

pihak KBC telah menyatakan berlakunya klausula

“ force majeure”

dan telah menghentikan

pelaksanaan kontrak yang bersangkutan. Pada tanggal 30 April 1998, KBC telah

memberitahukan kepada Pertamina dan PLN bahwa mereka akan mengajukan suatu klaim

kepada arbitrase berdasarkan JOC dan ESC.

C.

Jalannya Sengketa

KBC mengajukan klaim kepada arbitrase Jenewa Swiss sebagaimana yang disepakati

oleh para pihak mengenai forum yang dipilih para pihak untuk menyelesaukan sengketa

(9)

-

KBC menuduh bahwa tergugat melanggar kewajiban mereka membayar menurut JOC dan

ESC dengan cara antara lain mencegah KBC untuk menyelesaiakan pembangunan

unit-unit pembangkit listrik tenaga secara keseluruhan dengan kapsitas 400 Mw.

-

KBC menyatakan tergugat berdasarkan JOC dan ESC telah menyetujui menanggung risiko

tindakan pemerintah dan oleh sebab itu Kepres No. 30 Tahun 1997 dan Kepres No. 5

Tahun 1998 bukan merupakan alasan untuk tidak memenuhi kontrak.

Adapun KBC menuntut ganti rugi akibat pelanggaran kontrak yaitu kerugian yang termnasuk

dalam pembayaran atas kerugian sebesar US$ 96.000.000 kemudian kompensasi akibat kehilangan

keuntungan sebesar US$ 512.500.000, selanjutnya sebagai alternative ganti rugi untuk keuntungan

diperhitungkan jumlah pembayaran yang harus diterima adalah US$ 437.000.000. Secara alternatif

diminta pembatalan kontrak dan kerugian secara alternative dan pelaksanaan secara khusus.

Pengadilan Arbitrase Jenewa pada tanggal 18 Desember 2000 membuat putusan agar

Pertamina dan PLN membayar ganti rugi kepada KBC skurang lebih sebesar US$ 270.000.000 yang

terdiri ganti rugi atas hilangnya kesempatan mendapatkan keuntungan (opportunity lost) sebesar US$

111.100.000 dan bunga 4% sejak tahun 2001 sebesar US$ 150.000.000. KBC mengajukan

permohonan untuk melaksanakan putusan arbitrase di pengadilan beberapa negara di mana

aset-aset Pertamina berada, kecuali di Indonesia yaitu:

-

Pada tanggal 21 Februari 2001, KBC meminta U.S District Court for The Southern District

Court of Texas untuk melaksanakan putusan arbitrase Jenewa;

-

KBC mengajukan permohonan agar semua aset anak perusahaan Pertamina yang berada di

Singapura disita termasuk Petral;

-

Pada tanggal 30 Januari 2004, KBC meminta Pengadilan New York untuk menahan aset Pertamina

(10)

permintaan tersebut ditolak dan hakim menetapkan agar Bank of America dan Bank of New York

melepaskan kembali dana sebesar US$ 350.000.000 kepada Pemerintah RI sedangkan yang tetap

ditahan adalah dana 15 rekening adjucated account di Bank of America sebesar US$ 296.000.000

untuk jaminan.

Upaya hukum yang dilakukan oleh Petrtamina adalah:

-

Mengajukan penolakan terhadap keputusan Pengadilan Arbitrase Jenewa;

-

Mengajukan penolakan pelaksanaan Putusan Pengadilan Arbitrase Jenewa di

pengadilan-pengadilan di negara mana KBC mengajukan permobonan pelaksanaan putusan Pengadilan

Arbitrase Swiss;

-

Mengajukan pembatalan putusan Pengadilan Arbitrase Jenewa kepada Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat, Indonesia.

Pada tanggal 27 Agustus 2007, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memenangkan

gugatan Pertamina. Putusan tersebut memerintahkan kepada tergugat atau siapapun yang dapat hak

daripadanya untuk tidak melakukan tindakan apapun termasuk pelaksanaan putusan pengadilan

arbitrase yang ditetapkan di Jenewa Swiss tanggal 18 Dsesmber 2000. Adapun putusan Pengadilan

Arbitrase Jenewa, Swiss dnyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

(11)
(12)

Surabaya, 10 Juli 2012

Perihal : Legal Opinion

Kepada Yang terhormat

PT.Xeon

Di- Jakarta Selatan

Dengan hormat,

Merujuk pada pertemuan kami tanggal 07 Juli 2012 dengan pihak manajemen CV.Zero, kami menyampaikan Legal Opinion Sebagai berikut :

Kasus Posisi

Bahwa pihak CV.Zero masih memiliki kewajiban kepada PT. Xeon sejumlah :

Hutang pokok sebesar Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) Denda keterlambatan sebesar Rp. 100.000.000,- (Seratus juta rupiah)

(13)

Bahwa dalam pertemuan tanggal 07 Juli 2012 tersebut, manajemen CV.Zero menyatakan bahwa pihak CV.Zero beritikad untuk membayar kewajiban kepada pihak PT Xeon, dan menawarkan restrukturisasi utang sebagai pilihan penyelesaian pembayaran kewajiban kepada pihak PT. Xeon karena pihak CV.Zero masih merasa kesulitan dalam melakukan pembayaran dengan dalil masih belum bisa pulih dari dampak kerugian yang ditimbulkan oleh kebakaran salah satu gudang CV.Zero.

Bentuk Restrukturisasi yang rencananya akan ditawarkan oleh pihak CV.Zero adalah Reschedulling dan Hair Cut

Isu Hukum

1.

apakah restrukturisasi utang itu

2.

apakah dapat diselesaikan dengan gugatan wanprestasi

3.

apakah dapat diselesaikan dengan mengajukan permohonan pailit

4.

apakah CV dapat digugat wanprestasi

5.

apakah CV dapat dimohonkan pailit

Analisa

Dengan melihat fakta-fakta hukum diatas maka bentuk penyelesaian permasalahan yang dapat diambil adalah :

(14)
(15)

Penyelesaian secara non litigasi

Penyelesaian non litigasi adalah penyelesaian di luar persidangan. Dalam hal ini termasuk upaya mediasi dan negosiasi. Penawaran tentang restrukturisasi utang merupakan salah satu pilihan penyelesaian yang dapat dinegosisasikan oleh kedua belah pihak. Berdasarkan keterangan dari pihak CV.Zero, opsi restrukturisasi utang yang ditawarkan adalah Reschedulling dan Hair Cut ;

Reschedulling

Reschedulling adalah upaya untuk memperpanjang jangka waktu dalam pengembalian hutang atau penjadwalan kembali terhadap hutang debitur pada pihak kreditur. Dan ini biasanya dengan cara memberikan tambahan waktu lagi kepada debitur di dalam melakukan pelunasan hutangnya.

HairCut

Hair Cut merupakan potongan atau pengurangan atas pembayaran bunga dan hutang yang dilakukan oleh pihak debitur, Pihak kreditur menyetujui restrukturisasi hutang debitur dengan metode hair cut karena untuk mengantisipasi kerugian yang lebih besar jika pihak debitur tidak dapat membayar hutangnya yang terlampau besar tersebut, misalnya hutang debitur tersebut tidak dapat lagi terbayar semuanya, jika hal ini sampai terjadi maka pihak kreditur akan mengalami kerugian yang cukup membawa pengaruh dalam dunia usahanya. Sedangkan jika dilihat dari pihak debitur, debitur sangat senang karena kewajibannya dapat berkurang sehingga beban yang harus dikeluarkan perusahaan pun dapat ditekan.

Penyelesaian secara litigasi

(16)

Gugatan Wanprestasi

Wanprestasi secara umum adalah suatu keadaan dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi (kewajiban) seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa (force majeur).

Untuk lebih jelasnya dinyatakan dalam pasal 1239 KUHPerdata :

Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, apabila siberutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga”

Pelanggaran hak-hak kontraktual, berdasarkan pasal 1239 KUHPerdata menimbulkan kewajiban ganti rugi, selanjutnya terkait dengan hal tersebut Pasal 1243 KUHPerdata menyatakan :

(17)

Debitur dinyatakan lalai apabila : (i) tidak memenuhi prestasi (kewajiban), (ii) terlambat berprestasi (melakukan kewajiban), (iii) berprestasi tidak sebagaimana mestinya. Dalam hal ini wanprestasi baru ada pernyataan lalai dari pihak kreditur kepada debitur, hal ini dibutuhkan untuk menentukan tenggang waktu (yang wajar) kepada debitur untuk memenuhi kewajibannya dengan sanksi tanggung gugat atas kerugian yang dialami kreditor.

Adakalanya dalam keadaan tertentu untuk membuktikan adanya wanprestasi debitur tidak diperlukan lagi pernyataan lalai, ialah :

1.

untuk pemenuhan prestasi berlaku tenggang waktu yang fatal (fatale termijn) ;

2.

debitur menolak pemenuhan ;

3.

debitur mangakui kelalainnya ;

4.

pemenuhan prestasi tidak mungkin (di luar overmacht) ;

5.

pemenuhan tidak lagi berarti (zinloos) ; dan

(18)

Dengan adanya wanprestasi, pihak kreditur yang dirugikan sebagai akibat kegagalan pelaksanaan kontrak oleh pihak debitur mempunyai hak gugat dalam upaya menegakkan hak-hak kontraktualnya. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pasal 1267 KUHPerdata yang menyatakan bahwa :

Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih : memaksa pihak lain memenuhi kontrak, jika hal itu masih dapat dialkukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga ;

Hak kreditur tersebut dapat secara mandiri diajukan maupun dikombinasikan dengan gugatan lain, meliputi :

1.

Pemenuhan (nakoming) ; atau

2.

Ganti Rugi (vervangende vergoeding; schadeloosstelling) ; atau

3.

pembubaran, pemutusan atau pembatalan (ontbinding), atau

4.

pemenuhan ditambah ganti rugi pelengkap (nakoming en anvullend vergoeding) ; atau

(19)

Pemenuhan (nakoming) merupakan prestasi (kewajiban) primer sebagaimana yang diharapkan dan disepakati para pihak pada saat penutupan kontrak. Gugatan pemenuhan prestasi dimaksud telah tiba waktunya untuk dilaksanakan ;

Ganti rugi merupakan upaya untuk memulihkan kerugian yang prestasinya bersifat subsidair. Artinya, apabila pemenuhan prestasi tidak lagi dimungkinkan atau sudah tidak diharapkan lagi maka ganti rugi merupakan alternative yang dapat dipilih oleh kreditur. sesuai dengan ketentuan pasal 1243 KUHPerdata, ganti rugi meliputi :

Biaya (kosten), rugi (scahden), dan bunga (interessen). , maka unsure kerugian dalam hal ini terdiri dari dua unsur, yaitu (i) kerugian nyata diderita (damnum emergens), meliputi biaya dan rugi; dan (ii) keuntungan yang tidak diperoleh (lucrum cessans), berupa bunga

Ganti rugi di sini meliputi ganti rugi pengganti (vergande vergoeding) dang anti rugi pelengkap (aanvullend vergoeding). Ganti pengganti (vergande vergoeding), merupakan gantirugi yang diakibatkan oleh tidak adanya prestasi yang seharusnya menjadi hak kreditor, meliputi seluruh kerugian yang diderita sebagai akibat wanprestasi debitur. Sedangkan ganti rugi sebagai akibat terlambat atau tidak dipenuhinya prestasi debitur sebagaimana mestinya atau karena adanya pemutusan kontrak.

Dalam hal ini pihak CV.Zero telah melakukan wanprestasi dengan tidak melakukan kewajiban (prestasi) melampaui batas waktu yang telah ditentukan, maka sesuai dengan ketentuan dalam KUHPerdata maka pihak PT.Xeon berhak untuk dapat mengajukan upaya hukum Gugatan Wanprestasi ;

Gugatan Kepailitan

(20)

Syarat-syarat permohonan pailit sebagaimana telah ditentukan Pasal 2 ayat (1) dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Syarat adanya dua kreditor atau lebih (concursus creditorium)

Adanya persyaratan concursus creditorium adalah sebagai bentuk konsekuensi berlakunya ketentuan Pasal 1131 Burgerlijk Wetboek dimana rasio kepailitan adalah jatuhnya sita umum atas semua harta benda debitor untuk kemudian setelah dilakukan rapat verifikasi utang-piutang tidak tercapai perdamaian atau accoord, dilakukan proses likuidasi atas seluruh harta benda debitor untuk kemudian dibagi-bagikan hasil perolehannya kepada semua kreditor sesuai urutan tingkat kreditor yang telah diatur oleh undang-undang. Jika debitor hanya memiliki satu kreditor, maka eksistensi Undang-Undang Kepailitan kehilangan raison d’etre-nya. Bila debitor hanya memiliki satu kreditor, maka seluruh harta kekayaan debitor otomatis menjadi jaminan atas pelunasan utang debitor tersebut dan tidak diperlukan pembagian secara pari passu pro rata parte, dan terhadap debitor tidak dapat dituntut pailit karena hanya mempunyai satu kreditor.

Undang-undang Kepailitan tidak mengatur secara tegas mengenai pembuktian bahwa debitor mempunyai dua kreditor atau lebih, namun oleh karena di dalam hukum kepailitan berlaku pula hukum acara perdata, maka Pasal 116 HIR berlaku dalam hal ini. Pasal 116 HIR atau Pasal 1865 Burgerlijk Wetboek menegaskan bahwa beban wajib bukti (burden of proof) dipakai oleh pemohon atau penggugat untuk membuktikan diri (posita)

gugatannya, maka sesuai dengan prinsip pembebanan wajib bukti di atas, maka pemohon pernyataan pailit harus dapat membuktikan bahwa debitor mempunyai dua atau lebih kreditor sebagaimana telah dipersyaratkan oleh undang-undang kepailitan.

(21)

Berdasarkan Undang-Undang Kepailitan yang baru ini, maka kreditor separatis dan kreditor preferen dapat tampil sebagai kreditor konkuren tanpa harus melepaskan hak-hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas piutangnya, tetapi dengan catatan bahwa kreditor separatis dan kreditor

2. Syarat harus adanya utang

Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, terdapat perubahan pengertian tentang utang. Utang diartikan sebagai kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul karena perjanjian atau undang-undang, dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor. Berdasarkan pengertian utang di atas, permohonan pernyataan pailit dikabulkan apabila “debitor mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan satu atau lebih kreditornya”.

3. Syarat adanya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyebutkan syarat untuk dinyatakan pailit melalui putusan pengadilan, yaitu :

1. terdapat minimal 2 (dua) orang kreditor

(22)

Syarat yang ada pada poin ketiga di atas, menunjukkan bahwa adanya utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih menunjukkan bahwa kreditor sudah mempunyai hak untuk menuntut debitor untuk memenuhi prestasinya. Hak ini menunjukkan adanya utang yang harus lahir dari perikatan sempurna yaitu adanya schuld dan haftung. Schuld

yang dimaksud disini adalah kewajiban setiap debitor untuk menyerahkan prestasi kepada kreditor, dan karena itu debitor mempunyai kewajiban untuk membayar utang. Sedangkan haftung adalah bentuk kewajiban debitor yang lain yaitu debitor berkewajiban untuk membiarkan harta kekayaannya diambil oleh kreditor sebanyak utang debitor guna pelunasan utang tadi, apabila debitor tidak memenuhi kewajibannya membayar utang tersebut.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, menentukan pengertian utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase. Implementasi Penjelasan Pasal 2 ayat (1)Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang lebih banyak terjadi ketika debitor tidak memenuhi kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu sebagaimana yang telah diperjanjikan.

4.Syarat pemohon pailit

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1), (2), (3), (4), (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban. Pembayaran Utang menunjukkan bahwa pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit bagi seorang debitor adalah :

a) Debitor yang bersangkutan

b) Kreditor atau para kreditor

c) Kejaksaan untuk kepentingan umum

(23)

e) Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) apabila debitornya adalah perusahaan efek,

bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian

f) Menteri Keuangan apabila debitornya adalah perusahaan asuransi,

perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau badan usaha milik negara yang

bergerak di bidang kepentingan publik.

Ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 ditambahkan Menteri Keuangan sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit berkaitan dengan kegiatan perasuransian dan kewenangan BAPEPAM di dalam mengajukan permohonan pailit juga menjadi lebih luas karena tidak hanya semata-mata perusahaan efek saja, melainkan jugalembaga-lembaga lain yang terlibat di dalam kegiatan pasar modal. Beberapa pihak di atas yang dapat mengajukan permohonan pailit, pihak yang paling umum mengajukan permohonan pailit adalah pihak debitor dan kreditor.

Pengajuan permohonan pailit yang dilakukan oleh debitor disebut dengan

(24)

Undang-undang ini juga telah mengatur pula kewenangan kreditor separatis dan kreditor preferen dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang dimilikinya terhadap harta debitor dan haknya untuk didahulukan. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah menentukan bahwa permohonan pernyataan pailit dapat dilakukan atas permintaan debitor maupun atas permintaan kreditornya. Namun ketiga undang-undang kepailitan ini tidak membedakan permohonan pernyataan pailit terhadap debitor individu atau perusahaan. Padahal tujuan dan manfaat hukum kepailitan perseorangan dan perusahaan berbeda. Tujuan dan manfaat hukum kepailitan perseorangan adalah pembagian yang adil harta pailit debitor di antara para kreditornya dan memberi kesempatan bagi debitor insolven untuk memperoleh fresh start. Di sisi lain, tujuan dan manfaat hukum kepailitan perusahaan adalah memperbaiki atau memulihkan perusahaan guna memperoleh keuntungan dalam perdagangan, memaksimalkan pengembalian tagihan para kreditor, menyusun tagihan kreditor, dan identifikasi penyebab kegagalan perusahaan serta menerapkan sanksi terhadap manajemen yang menyebabkan kepailitan.

PERTANGGUNG JAWABAN PENGURUS PERSEKUTUAN KOMANDITER ATAU

COMMANDITAIRE VENNOOTSCHAP (CV) ATAU LIMITED PARTNERSHIP DALAM GUGATAN PERDATA DAN KOMISARIS

CV belum merupakan badan hukum, karena meskipun dalam CV sudah memenuhi syarat-syarat materiil suatu badan hukum, tetapi pengesahan dari Pemerintah belum dipenuhi sebagai syarat formilnya. CV merupakan salah satu bentuk perusahaan yang bukan badan hukum ang diatur dalam buku pertama, titel ketiga, bagian kedua Pasal 16-35 KUHD. Pasal 19 KUHD menegaskan:

(25)

Berdasarkan ketentuan tersebut, tampak bahwa Persekutuan Komanditer atau

Commanditaire Vennootschap (CV) atau limited partnership, terdapat satu atau beberapa orang sekutu komanditer. Sekutu komanditer hanya menyerahkan uang, barang atau tenaga sebagai pemasukan pada CV. Sekutu komanditer yang hanya meminjamkan modal kepada perusahaan tidak turut campur tangan dalam pengurusan dan penguasaan dalam persekutuan.

Status hukum seorang sekutu komanditer dapat disamakan dengan seorang yang meminjamkan atau menanamkan modal pada suatu perusahaan dan diharapkan dari penanaman modal itu adalah hasil keuntungan dari modal yang dipinjamkan atau ditanamkan tersebut.

Sekutu komanditer sama sekali tidak ikut terlibat mencampuri pengurusan dan pengelolaan CV. Seolah-olah sekutu komanditer ini tidak berbeda dengan ”pelepas uang” (geldschieter, financial backer) yang diatur dalam UU Pelepas Uang (Geldschietersordonantie Staatsblad 1938-523). Sekutu Komanditer hanya bertanggung jawab sebesar kontribusi yang ia berikan, yaitu sebesar uang yang telah atau harus dimasukkannya sebagai modal di CV tersebut. Ini sesuai dengan pasal 19 jo pasal 20 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (“KUHD”).

Dapat diliat bahwa pada Persekutuan Komanditer atau CV ini terdiri dari dua macam sekutu:

1. Sekutu Pengurus atau Sekutu Komplementer (Complementaris) yang bertindak sebagai

pesero pengurus dalam CV. Selain Sekutu Komanditer yang juga ikut memberikan pemasukan modal, Sekutu Komplementaris sekaligus menjadi pengurus dalam CV;

2. Sekutu Komanditer yang disebut juga dengan sekutu tidak kerja dan statusnya hanya

(26)

Sekutu Kerja/Sekutu Aktif/Sekutu Komplementer adalah sekutu yang memasukkan modal dalam persekutuan, menjadi pengurus Persekutuan, mengelola usaha secara aktif yang melibatkan harta pribadi, termasuk membuat perikatan atau hubungan hukum dengan pihak ketiga. Tanggung jawab sekutu ini sampai pada harta pribadinya (Pasal 18 KUHD).

Sekutu Tidak Kerja/Sekutu Pasif/Sekutu Komanditer (Sleeping Partners/stille vennoot) adalah sekutu yang wajib menyerahkan uang/benda/tenaga pada persekutuan sebagai pemasukan dan berhak menerima keuntungan tapi tidak bertugas mengurus Persekutuan. Sekutu ini hanya sebagai pelepas uang (geldschieter), pemberi uang atau orang yang mempercayakan uangnya. Tanggung jawab sekutu ini terbatas pada jumlah pemasukannya dalam persekutuan, sehingga tidak berwenang ikut campur dalam pengurusan persekutuan. Bila dilanggar maka tanggung jawabnya diperluas yaitu tanggung jawab pribadi untuk keseluruhan seperti pada sekutu kerja (Pasal 21 KUHD).

Berdasarkan penjelasan yang telah dijabarkan seperti di atas maka pertanggungjawaban tidak hanya sebatas asset yang dimiliki oleh CV tersebut namun juga termasuk asset dan seluruh harta kekayaan yang dimiliki oleh sekutu aktif/sekutu komplementer, dalam hal ini adalah direktur dari CV.Zero tersebut. Begitu pula dalam hal CV dihadapkan pada gugatan pidana/perdata, batasan pertanggung jawaban pengurus juga berbeda antara sekutu kompelementer dengan sekutu komanditer yaitu sekutu komanditer tersebut tidak dapat melakukan apa-apa, karena ia tidak diperbolehkan untuk melakukan pengurusan CV, walaupun ia telah dikuasakan untuk itu (lihat pasal 20 KUHD). Apabila ternyata ia melakukan perbuatan pengurusan, maka statusnya akan beralih menjadi sekutu komplementer, dan ia akan bertanggungjawab secara tanggung renteng atas semua perikatan CV. Artinya, ia bertanggungjawab sampai harta pribadinya atas semua perikatan CV (Pasal 21 KUHD).

REKOMENDASI HUKUM

(27)

Hutang pokok sebesar Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) Denda keterlambatan sebesar Rp. 100.000.000,- (Seratus juta rupiah)

Total hutang pokok dan denda keterlambatan sebesar Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah).

Hal ini berdasarkan pasal 1239 BW yang dinyatakan “Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatau, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi, dan bunga”.

Berdasarkan penjabaran kami tersebut di atas maka kami dapat menyimpulkan bahwa pihak PT. Xeon dapat mengajukan gugatan wanprestasi dengan sekutu aktif/komplementer CV.Zero sebagai penggugat ke Pengadilan Negeri. Dalam gugatan wanpresatasi dapat pula dilakukan upaya sita jaminan atas barang milik CV.Zero (termasuk barang milik sekutu komplementer/aktif) yang dimohonkan kepada ketua Pengadilan Negeri, fungsinya adalah untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata dengan menguangkan atau menjual barang debitur yang disita guna memenuhi tuntutan penggugat. Dengan diletakkan penyitaan pada suatu barang berarti bahwa barang itu dibekukan dan tidak dapat dialihkan atau dijual oleh debitur.

Syarat-syarat utama sita jaminan adalah :

Harus ada sangka yang beralasan, bahwa tergugat sebelum putusan dijatuhkan atau

(28)

Barang yang disita itu berupa kepunyaan yang terkena sita, artinya bukan milik

penggugat.

Permohonan diajukan kepada Ketua Pengadilan yang memeriksa perkara tersebut.

Dapat dilakukan atau diletakkan baik tehadap barang bergerak atau yang tidak bergerak.

Dalam praktek permohonan akan sita jaminan lazimnya dilakukan dalam surat gugat, dan dalam petitum dimohonkan pernyataan sah dan berharga, atau dengan kata lain permohonan sita jaminan tersebut diajukan sebelum dijatuhkan putusan. Sedangkan ciri-ciri sita jaminan adalah sebagai berikut :

Sita jaminan diletakkan atas harta yang disengketakan status kepemilikannya atau

terhadap harta kekayaan tergugat dalam sengketa utang piutang atau juga dalam sengekta dan tututan ganti rugi.

Obyek sita bisa barang bergerak atau tidak bergerak, bisa berwujud atau tidak berwujud.

Pembatasan sita jaminan bisa hanya barang-barang tertentu atau seluruh harta kekayaan

tergugat.

Tujuan penyitaan untuk menjamin gugatan agar tidak hampa (illusoir)

(29)

Sita eksekusi adalah sita yang berhubungan dengan masalah pelaksanaan suatu putusan karena pihak tergugat tidak mau melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut secara sukarela meskipun Pengadilan telah memperingatkan agar putusan tersebut dilaksanakan secara sukarela sebagaimana mestinya. Sita eksekusi ini biasa dilakukan terhadap putusan yang mengharuskan penggugat membayar sejumlah uang, sedangkan tentang tata cara dan syarat-syarat sita eksekusi ini diatur dalam pasal 197 HIR dan 208 RBG.

Sekiranya sudah diletakkan sita jaminan, tidak diperlukan lagi Sita Eksekusi karena sita jaminan menurut asasnya otomatis beralih menjadi sita eksekusi pada saat perkara yang bersangkutan mempunyai putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Sita eksekusui terdapat 2 macam, yaitu :

1. Sita Eksekusi Langsung; yakni sita eksekusi yang langsung diletakkan atas barang

bergerak dan barang tidak bergerak milik debitur atau pihak yang kalah.

2. Sita Eksekusi yang Tidak Langsung; adalah sita eksekusi yang berasal dari sita jaminan

yang telah dinyatakan sah dan berharga dan dalam rangka eksekusi otomatis berubah menjadi sita eksekusi.

(30)

Semua perkara perdata dalam lapangan harta kekayaan diambil oleh kurator. Dalam hal perkara tersebut dilanjutkan oleh kurator, maka kurator dapat mengajukan pembatalan atas segala perbuatan yang dilakukan oleh debitor sebelum debitor dinyatakan pailit. Begitu pula dalam masalah eksekusi pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan harus dihentikan, kecuali eksekusi itu sudah sedemikian jauh hingga hari pelelangan sudah ditentukan, dengan izin hakim pengawas kurator dapat meneruskan pelelangan tersebut.

Selain gugatan wanprestasi, dapat pula pihak PT.X mengajukan permohonan pailit atas CV. Zero ke Pengadilan Niaga sebagai kreditur karena telah memenuhi persyaratan dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu :

1.

terdapat minimal 2 (dua) orang kreditor,

lebih diperjelas :

Bahwa terdapat putusan Pengadilan Mahkamah Agung Nomor 000/K/Pdt.Sus/20XX yang diajukan oleh mendudukan pengurus CV. Zero, yaitu Paijo dan Paimin sebagai Termohon Kasasi / Tergugat, Pemohon kasasi I dan Termohon kasasi II dalam perkara perselisihan hubungan industrial yang diajukan oleh Nawawi dan Jaini, sebagai Para Penggugat / Pemohon kasasi I dan Pemohon kasasi II

(31)

lebih diperjelas :

bahwa hutang pokok dan denda keterlambatan sebesar Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) CV. Zero kepada PT. Xeon telah lewat waktu.

.

Kelebihan dari diajukannya permohonan pailit untuk kasus ini adalah jangka waktu prosedur perkara kepailitan lebih cepat daripada prosedur perkara gugatan perdata di Pengadilan Negeri, perkara kepailitan di tingkat pertama harus diputus oleh majelis hakim Pengadilan Niaga maksimal 60 hari sejak diajukan permohonan.. jika ada upaya hukum di tingkat kasasi harus diputus oleh hakim Mahkamah Agung maksimal 60 hari sejak diajukannya permohonan kasasi, jika ada upaya hukum di tingkat peninjauan kembali maksimal harus diputus oleh hakim Mahkamah Agung maksimal 60 hari sejak diajukan permohonan peninjauan kembali. Sehingga total jangka waktu prosedur perkara kepailitan dapat selesai paling lama 180 hari. Berbeda dengan prosedur penyelesaian perkara perdata di pengadilan Negeri yang secara umum lebih lama.

(32)

Selain dengan upaya litigasi, gugatan wanprestasi atau kepailitan, PT. Xeon dapat mempertimbangkan penawaran tentang restrukturisasi utang oleh CV. Zero. Opsi restrukturisasi yang ditawarkan adalah Reschedulling dan Hair Cut. Opsi restrukturisasi tersebut adalah bentuk itikad pihak CV Zero untuk melunasi hutangnya, sehingga jika memang dapat dipenuhi oleh pihak CV Zero maka penyelesaian tidak perlu melalui proses litigasi.

Kesimpulan yang dapat diambil dalam kasus ini adalah PT.Xeon berhak mengajukan upaya hukum baik secara litigasi maupun non litigasi.

Demikian legal opinion ini dibuat, untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih

Hormat kami,

Mr.X, S.H

(33)

LATAR BELAKANG

Dalam menyelesaikan kasus Perdata, biasanya terdapat dua jalur yang menjadi penawaran bagi pihak yang bersengketa jalur litigasi dan non-litigasi. Yang dimaksud dengan Litigasi adalah bentuk penanganan kasus melalui jalur proses di peradilan baik kasus perdata maupun pidana, sedangkan Non-Litigasi adalah penyelesaian masalah hukum diluar proses peradilan. Non litigasi ini pada umunya dilakukan pada kasus perdata saja karena lebih bersifat privat.

Non litigasi mempunyai beberapa bentuk untuk menyelesaikan sengketa yaitu: 1. Negosiasi

2. Mediasi 3. Arbitrase

Ketiga bentuk penyelesaian sengketa dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan atau terjadinya perbedaan pendapat baik itu antara individu, kelompok maupun antar badan usaha. Penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi dilakukan untuk menyelesaikan sengketa dengan cara musyawarah mufakat dan hasil penyelesaian konflik atau sengketa secara kekeluargaan.

BENTUK-BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI JALUR NON LITIGASI 1. Negosiasi

Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa dimana antara dua orang atau lebih/para pihak yang mempunyai hal atau bersengketa saling melakukan kompromi atau tawar menawar terhadap

kepentingan penyelesaian suatu hal atau sengketa untuk mencapai kesepakatan. Dengan cara kompromi tersebut diharapkan akan tercipta win-win solution dan akan mengakhiri sengketa tersebut secara baik. Pihak yang melakukan negosiasi disebut negosiator, sebagai seorang yang dianggap bisa melakukan negosiasi. Seorang negosiator harus mempunyai keahlian dalam menegosiasi hal yang disengketakan antara kedua pihak. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menjalankan negosiasi, diantaranya: 1. Memahami tujuan yang ingin dicapai

2. Menguasai materi negosiasi 3. Mengetahui tujuan negosiasi

4. Menguasai keterampilan tehnis negosiasi, didalamnya menyangkut keterampilan komunikasi.

2. Mediasi

(34)

memfasilitasi mediasi tersebut yang biasa disebut mediator. Pihak ketiga tersebut hanya boleh memberikan saran-saran yang bersifat sugestif, karena pada dasarnya yang memutuskan untuk mengakhiri sengketa adalah para pihak. Pihak ketiga tersebut juga harus netral sehingga dapat

memberikan saran-saran yang objektif dan tidak terkesan memihak salah satu pihak. Mediasi merupakan prosedur wajib dalam proses pemeriksaan perkara perdata, bahkan dalam arbitrase sekalipun dimana hakim atau arbiter wajib memerintahkan para pihak untuk melaksanakan mediasi dan jika mediasi tersebut gagal barulah pemeriksaan perkara dilanjutkan. Tidak semua orang bisa menjadi mediator professional karena untuk dapat menjadi mediator dibutuhkan semacam sertifikasi khusus.

3. Arbitrasi

Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan litigasi, hanya saja litigasi ini bisa dikatakan sebagai "litigasi swasta" Dimana yang memeriksa perkara tersebut bukanlah hakim tetapi seorang arbiter. Untuk dapat menempuh prosesi arbitrase hal pokok yang harus ada adalah "klausula arbitrase" di dalam perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa akibat perjanjian tersebut, atau "Perjanjian Arbitrase" dalam hal sengketa tersebut sudah timbul namun tidak ada klausula arbitrase dalam perjanjian sebelumnya. Klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase tersebut berisi bahwa para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sehingga menggugurkan kewajiban pengadilan untuk memeriksa perkara tersebut. Jika perkara tersebut tetap diajukan ke Pengadilan maka pengadilan wajib menolak karena perkara tersebut sudah berada di luar kompetensi pengadilan tersebut akibat adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase. Beberapa keunggulan arbitrase dibandingkan litigasi antara lain:

1. Arbitrase relatif lebih terpercaya karena Arbiter dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Arbiter dipilih oleh para pihak sendiri dan merupakan jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh pejabat peradilan manapun. Dalam hal para pihak tidak bersepakat dalam menentukan arbiter maka arbiter akan ditunjuk oleh ketua Pengadilan Negeri. Hal ini berbeda dengan litigasi karena para pihak tidak dapat memilih hakim yang memeriksa perkara. Calon arbiter yang ditunjuk juga boleh menolak penunjukan tersebut. 2. Arbiter merupakan orang yang ahli di bidangnya sehingga putusan yang dihasilkan akan lebih cermat. Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dinyatakan bahwa salah satu syarat untuk menjadi arbiter adalah berpengalaman aktif di bidangnya selama 15 tahun. Hal ini tentunya berbeda dengan hakim yang mungkin saja tidak menguasai bidang yang disengketakan sehingga harus belajar bidang tersebut sebelum memeriksa perkara.

3. Kepastian Hukum lebih terjamin karena putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak. Pihak yang tidak puas dengan putusan arbitrase tidak dapat mengajukan upaya hukum. namun putusan tersebut dapat dibatalkan jika terjadi hal-hal tertentu seperti dinyatakan palsunya bukti-bukti yang dipakai dalam pemeriksaan setelah putusan tersebut dijatuhkan atau putusan tersebut dibuat dengan itikad tidak baik dari arbiter.

Sedangkan kelemahannya antara lain:

1. Biaya yang relatif mahal karena honorarium arbiter juga harus ditanggung para pihak (atau pihak yang kalah).

(35)

Diposkan oleh aulia di 00.313 komentar: Label: Teori

Kamis, 14 Januari 2010

Karakteristik Sistem Hukum Indonesia

Pengertian Sistem Hukum

Secara sederhana. “system” berarti sekelompok bagian-bagian (alat dan sebagainya) yang bekerja bersama-sama untuk melakukan suatu maksud. Banyak unsure-unsur yang terjalin dalam suatu system. Hal ini terlihat pada hokum sebagai suatu system. Sudikno Mertokusumo mengibaratkan system hokum sebagai gambar mozaik, yaitu gambar yang dipotong-potong menjadi bagian-bagian kecil untuk

kemudian dihubungkan kembali, sehingga tampak utuh seperti gambar semula. Masing-masing bagian tidak berdiri sendiri lepas hubungannya dengan yang lain,tetapi kait-mengait dengan bagian-bagian lainnya. Tiap bagian tidak mempunyai arti di luar kesatuan itu. Di dalam kesatuan itu tidak dikehendaki adanya konflik atau kontradiksi. Kalau sampai terjadi konflik, maka akan segera diselesaikan oleh dan di dalam system itu sendiri.

Berbicara tentang “system hokum” berarti berbicara tentang sesuatu yang berdimensi sangat luas. Secara mudah system hokum dapat dibedakan menjadi tiga komponen, yakni: (1) struktur hokum, disini berupa lembaga-lembaga Negara dan pemerintahan. (2) substansi hokum, semua asas dan norma yang dijadikan acuan oleh masyarakat dan pemerintah, dan (3) budaya hokum, maksudnya adalah kesadaran hokum dari subjek-subjek hokum suatu komunitas secara keseluruhan.

Part I...

Diposkan oleh aulia di 01.28Tidak ada komentar: Label: Teori

Kamis, 02 Juli 2009

PENEGAKAN HUKUM DAN ILLEGAL LOGGING

Pandangan terhadap hukum saat ini adalah yang kuat dia menang dan yang lemah dia kalah. Dimana ada anggapan bahwa yang miskin masuk penjara, yang kaya bebas kemana – mana. Contoh konkrit sudah ada didepan mata, seperti pada kasus illegal logging banyak pelaku yang ditangkap dan diproses rata-rata adalah buruh. Bisa dikatakan supir truk, nahkoda kapal, tukang pikul kayu dan lainnya yang bukan pelaku utama (cukong).

(36)

kesalahannya. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Apa yang menjadi factor supremasi hukum agar penegakan hukum terhadap kasus illegal logging tidak tebang pilih?

Prinsipnya hukum adalah otoritas tertinggi dan bahwa semua warga Negara – bahkan pejabat pemerintah – tunduk pada hukum dan berhak atas perlindungan hukum. Tetapi pada dasarnya yang membawa dan menerapkan hukum itu adalah pihak-pihak yang kuat. Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor – faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Penegakan hukum senantiasa tercermin pada pola perilaku para penegak hukum yang mempunyai

pengaruh utama dalam proses penegakkan hukum itu sendiri. Bahwa didalam hukum telah jelas mengatur asas persamaan kedudukan didalam hukum (Equality Before The Law).

Undang-Undang sebagai faktor hukum utama, tetapi para penegak hukumlah sebagai pihak-pihak yang membentuk dan menerapkan hukum itu sendiri. Dalam perspektif hukum terhadap kasus illegal logging, telah dibuat Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Didalamnya telah dijelaskan tentang aturan dan larangan untuk melakukan penebangan kayu. Ada yang memodali untuk melakukan penebangan dan masyarakat diiming-iming dengan upah, sebagai pemenuhan kebutuhan tambahan mereka mau melakukan kerja itu walau akhirnya melanggar peraturan dan terjerumus dalam jeratan hukum.

Kejahatan illegal logging telah terorganisir, mulai dari pemodal, pekerja dan oknum para pihak birokrat yang bermartabat pun ikut terlibat membantu memuluskan jalannya kegiatan haram ini. Hal tersebut bukan opini belaka melainkan fakta yang terjadi di Indonesia. Contoh kasus

Ketapang, ditemukannya ribuan kayu illegal dan cukong Malaysia oleh Mabes Polri merupakan sebuah pelajaran bagi semua pihak, kejadian yang membukakan mata untuk melihat fakta yang sebenarnya terjadi. Dimana dari cukong, oknum Dinas Kehutanan, oknum Kepolisian dan oknum pemerintahan lain yang terkait dan terlibat, mereka semua yang terjaring dalam razia dan penertiban kayu liar adalah orang-orang kuat yang mempunyai jabatan dan martabat.

Ini salah satu proses penegakkan hukum terhadap kasus illegal logging. Dimana aparat

penegak hukum telah berupaya melaksanakan penegakkan hukum itu sendiri. Lalu bagaimana terhadap proses penegakkan hukum dipersidangan bagi pelaku pencurian kayu ini. Apakah hanya sampai pada saat penangkapan saja yang sempat menggegerkan media diseluruh Indonesia? Atau keputusan Hakim yang membuat semua masyarakat kecewa? Itu tergantung kepada yang kuat dan para penguasa yang berkuasa untuk menegakkan hukum.

(37)

untuk menghadapai dan menyelesaikan permasalahan / kasus-kasus yang khususnya dalam hal ini kasus illegal logging

Dampak Illegal logging

Inilah yang terjadi di bumi Indonesia illegal logging adalah salah satu criminal yang sangat merugikan Negara bahkan Dunia. Yang mana asset Negara salah satunya Sumber Daya Alam habis, dan sebagai pemilik asset (Rakyat) hanya bisa gigit jari ketika melihat harta kekayaannya dicuri dan tanpa bisa berbuat sesuatu untuk mengambil kembali haknya tersebut. Karena kemampuan untuk mempertahankan aset ini masyarakat hanya bertumpu dan berharap pada penguasa yang melakukan penegakan hukum. Efek dan dampak negative yang muncul akibat illegal logging, Dunia merasakan dampaknya ketika populasi hutan mulai berkurang di Bumi ini seperti mencairnya gunung es salah satu fenomena alam yang terjadi karena pemanasan global yang merupakan akibat dari kejahatan yang dilakukan oleh tangan-tangan kotor yang menebang kayu secara serampangan tanpa memperdulikan lingkungan. Selain itu dampak kejahatan illegal logging ini berdampak pada segi ekonomi, sosial dan ekologi. Dimana dari segi ekonomi penebangan liar sangat merugikan Negara yang menyebabkan pendapatan Negara berkurang terjadinya konflik masyarakat yang berpengaruh pada kultur social, serta dampak ekologi yang luar biasa hewan dan tumbuhan langka musnah, terjadi krisis lingkungan terjadinya kekeringan, banjir, bencana alam.

Akan tercipta kehidupan secara selaras dan seimbang apabila dari penegakkan hukum benar-benar menjalankan peranannya sesuai dengan koridor. Pengaruh hukum sangat signifikan terhadap perkembangan Negara membawa pengaruh pada pertumbuhan ekonomi, politik yang sehat, pemerataan kesehatan dan pendidikan serta social budaya.

(38)
(39)

PENYELESAIAN SENGKETA BATAS TANAH SECARA NON LITIGASI DI

KABUPATEN KONAWE, SULAWESI TENGGARA

Resvitasari, Rian (2009)

PENYELESAIAN SENGKETA BATAS TANAH SECARA NON LITIGASI

DI KABUPATEN KONAWE, SULAWESI TENGGARA.

Undergraduate thesis, Perpustakaan

Fakultas Hukum UNDIP.

Microsoft Word - Published Version 26Kb

Official URL: http://fh.undip.ac.id/perpus

Abstract

Sengketa batas tanah adalah sengketa yang timbul antara dua pihak yang memiliki hak atas tanah

atau tanah yang saling bersebelahan, karena adanya kesalahpahaman penafsiran mengenai luas

dan batas tanahnya. Sengketa batas ini dapat terjadi dikarenakan beberapa faktor, salah satunya

adalah kegagalan komunikasi antar pihak ataupun karena para pihak masih awam terhadap

masalahmasalah dalam bidang pertanahan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya sengketa batas tanah pada masyarakat di Kabupaten

Konawe, untuk mengetahui proses penyelesaian sengketa batas tanah secara non litigasi oleh

masyarakat di Kabupaten Konawe dan untuk mengetahui efektivitas mengikatnya putusan

penyelesaian sengketa batas tanah secara non litigasi bagi masyarakat dan para pihak yang

bersengketa. Metode penelitian yang digunakan adalah menggunakan metode pendekatan yuridis

empiris dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Mengambil responden dari masyarakat,

Kantor Pertanahan, Kantor-kantor Kecamatan serta Kantor Desa yang ada di Kabupaten Konawe

dan instansi yang terkait. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang

dihimpun dari para narasumber di lapangan dan data sekunder dihimpun dari penelitian

kepustakaan melalui bahan buku. Teknik penyajian datanya editing, coding, interpretasi. Data

tersebut kemudian dianalisis secara kualitatif untuk menjawab dalam penelitian ini. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa sengketa batas tanah lebih sering dijumpai dalam masyarakat

Konawe, pada tahun 2007 hingga saat ini telah terjadi sebanyak 25 kasus. Sengketa batas ini

diselesaikan secara adat atau musyawarah (non litigasi) dan putusan penyelesaiannya dipatuhi

oleh masyarakat Konawe. Faktor-faktor yang sering meyebabkan terjadinya sengketa batas

adalah; karena kesalahan prosedur pengukuran yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan setempat;

kesalahpahaman masyarakat mengenai batas tanah yang mereka miliki; serta proses peralihan

hak atas tanah yang dilakukan di bawah tangan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah kesalahan

prosedur pengukuran tanah yang dilakukan oleh oknum petugas Kantor Pertanahan Kabupaten

Konawe, tidak sesuai dengan PMA/ Kepala BPN No. 3/ 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP

No. 24/ 1997 tentang Pendaftaran Tanah, sehingga terjadi kesalah pahaman antar pemilik tanah

yang berbatasan; dalam proses peralihan hak atas tanah, masyarakat tidak melibatkan pemerintah

setempat untuk selanjutnya menerbitkan surat keterangan peralihan hak atas tanah, serta

(40)

Referensi

Dokumen terkait

“Kajian Tentang Syarat Kepailitan Menurut Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Jurnal Berkala

Lahan pasang surut tipe luapan C merupakan lahan suboptimal dan sangat berpotensi dalam pengembangan tanaman kedelai, namun lahan pasang surut mempunyai kendala

longifolia dengan tebal mesofil didapatkan nilai t > 0,01 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan sangat nyata antara konsentrasi Pb yang terakumulasi dalam daun

Syarat-syarat pailit sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 adalah :“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan

Dan juga bila terdapat gangguan di suatu jalur kabel maka gangguan hanya akan terjadi dalam komunikasi antara workstation yang bersangkutan dengan server,

Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

Berdasarkan hasil análisis data diperoleh kesimpulan bahwa minat belajar siswa mempunyai pengaruh yang positif terhadap hasil belajar matematika siswa SMA Negeri 1 Uluiwoi

Penelitian oleh Uecker and Stokes (2008) di Amerika Serikat, menyatakan bahwa responden yang salah satu orang tua dengan pendidikan terakhir di perguruan tinggi