• Tidak ada hasil yang ditemukan

Santi Asoke. Komunitas Dharmik Sosialis.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Santi Asoke. Komunitas Dharmik Sosialis."

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

SANTI ASOKE

KOMUNITAS DHARMIK SOSIALIS

Edisi Revisi 2002

Editor :

Marja-Leena Heikkil

ä

-Horn

(2)

Kata Pengantar

Buku ini adalah edisi revisi dari terbitan sebelumnya “Insight Into Santi Asoke” bagian I dan II. Bagian pertama diedit oleh Porn Poompana pada bulan November 1989 setelah kelompok Asoke menghadapi masalah-masalah hukum. Bagian kedua diedit oleh orang yang sama pada tahun 1991 dan lebih terkait secara eksklusif dengan kasus pengadilan.

Pada edisi revisi ini kami memilih untuk melakukan beberapa perubahan yang radikal. Kami mempertahankan artikel pengantar “Tokoh di balik Santi Asoke” yang ditulis oleh seorang jurnalis ternama Sanitsuda Ekachai dari “Bangkok Post”. Artikel ini memberikan informasi mengenai latar belakang pendiri kelompok Asoke, Bhodiraksa, yang juga dapat disebut sebagai Phra (Bhante*) Bhodirak atau Photirak. Kami memutuskan tidak mencetak kembali bagian-bagian lain dari edisi-edisi sebelumnya karena sebagian bahan di kedua edisi tersebut mungkin sudah tidak sesuai dengan perkembangan yang terjadi. Kasus di pengadilan berakhir pada tahun 1996 di Pengadilan Negeri dan tahun 1997 di Pengadilan Banding. Pada edisi ini terdapat juga artikel singkat oleh Sanitsuda Ekachai yang memberikan komentarnya terhadap putusan akhir yang mengambang terhadap pemimpin kelompok ini pada tahun 1997. Kasus pengadilan ini menjadi sensasi di akhir tahun 80-an dan awal tahun 90-an. Akademisi dan jurnalis dari Thailand maupun barat pun kemudian banyak yang menjadi tertarik terhadap kelompok ini, dan pada bagian akhir buku ini kami sajikan daftar judul dan penulis dari sejumlah buku dan artikel hasil dari ketertarikan tersebut.

Setelah kasus hukum di pengadilan, kelompok Asoke memperluas dan mengintensifkan kerjanya. Terdapat beberapa pusat Asoke di Thailand yang mempraktekkan pertanian alami, pola hidup mandiri, sederhana, bersahaja tanpa barang-barang mewah. Gerakan ini telah menjadi sebuah komunitas antikonsumerisme alternatif dan menerima lusinan pengunjung yang datang dari jauh maupun dekat setiap harinya. Asoke mengorganisir pelatihan-pelatihan bagi kaum tani Thailand mengenai pertanian alami dan pola hidup Buddhis, mereka juga memproduksi shampo, obat-obatan, teh dan deterjen yang dibuat dari tumbuhan (herbal). Kelompok ini mengelola beberapa restauran vegetarian di Thailand dan memiliki ratusan siswa sekolah tingkat dasar dan tingkat lanjutan di sekolah-sekolah mereka yang bernama “Samma Sikkha”.

(3)

sekitar 25 wanita yang menerima 10 sila yang disebut Sikkhamat. Ribuan relawan bekerja dan tinggal di pusat-pusat Asoke.

Artikel ketiga pada edisi revisi “Insight Into Santi Asoke” ini akan mendiskusikan perkembangan-perkembangan yang telah disebutkan di atas dan membandingkan komunitas Asoke dengan konsep Ekonomi Buddhis yang diperkenalkan oleh E.F. Schumacher pada bukunya yang sangat terkenal “Small is Beautiful.”

Bangkok Desember 2002 Marja-Leena Heikkilä-Horn

(4)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Tokoh di balik Santi Asoke……Sanitsuda Ekachai

Photirak yang mungkin tertawa paling akhir……Sanitsuda Ekachai Kecil itu Indah di Desa-desa Asoke……. Marja-Leena Heikkilä-Horn

Pendahuluan

1. Kehidupan Benar-Samma Ajiva 1.1 Tidak untuk Barang-barang Impor 1.2 Matikan Lampu

2. Mengapa Anda Lahir?

2.1 Melatih Diri melalui Kerja 3. Bunniyom sebagai Moral Ekonomi

3.1 Antikonsumerisme 4. Pendidikan Buddhis

4.1 Samma Sikkha-Belajar yang Benar 4.2 Nibanna-Sekarang!

Kesimpulan Referensi

(5)

TOKOH DI BALIK SANTI ASOKE

Bhante Bhodirak dari Pusat Buddhis Santi Asoke adalah orang yang akan anda cintai sekaligus benci. Namun Bhikkhu yang blak-blakan kalau bicara ini tidak akan ambil pusing. Setelah lebih dulu diboikot oleh sangha arus besar, beliau tetap menggemparkan seperti sebelumnya, mengobarkan kritik menentang komunitas konsumtif dan tingkah laku yang menyimpang dari para Bhikkhu arus besar (mainstream).

“Misi saya adalah membangkitkan kembali Buddhisme di Thailand,” sebagaimana yang ia nyatakan dalam otobiografinya “Kenyataan Hidupku.”

Para pengagumnya menyatakan beliau adalah sosok yang jujur dan tanpa rasa takut. Para penentangnya mengatakan beliau adalah orang yang bebal dan arogan. Akan tetapi, bahkan para pengamat yang netral sekalipun terkejut saat beliau mengirimkan kejutannya yang berkarakter yakni mengklaim dirinya sebagai “Phra Bodhisatva”, reinkarnasi dari mahkluk suci dalam perjalanannya menyeberangi kehidupan menuju pencerahan.

Berdasarkan ajaran ortodok, para bhikkhu tidak diperkenankan untuk membicarakan tentang tingkat pencapaian spiritual yang telah mereka capai, apalagi mengklaim kalau dirinya akan menjadi Buddha lainnya.

Namun Bhikkhu lugas ini memiliki alasan tersendiri terhadap pernyataannya yang menggemparkan tersebut, Ia pun mempunyai jawaban-jawaban terhadap berbagai kritikan yang ditujukan padanya, seperti menunjukkan sikap arogan yang tidak mencerminkan sikap seorang bhikkhu, mengabaikan ajaran Buddha dan menjadi penyebab serius retaknya keharmonisan kehidupan Sangha.

“Ya, saya memiliki lidah yang tajam. Tapi ini hanya karena sudah banyak bhikkhu yang menggunakan “carrot” (pujian,hadiah*). Jadi adalah tugas saya untuk menggunakan “stick” (kritikan,teguran*).

“Saat ini dunia dalam keadaan tidak seimbang. Tidak ada seorang pun yang berani mengkritik. Mereka takut. Takut menuai kritikan balik. Takut tidak disenangi. Saya hanya menjadi pengimbang.”

“Saya seorang guru. Saya harus terus menegur dan mengkritik. Saya mengejutkan masyarakat dengan kritik-kritik saya yang sekuat halilintar, akibatnya mereka mulai berpikir dan melakukan instropeksi terhadap tingkah laku mereka. Oleh karena itu, mereka berubah,” demikian yang tertulis dalam biografinya.

(6)

Asoke*). Hal yang ditakutkan adalah jika partai ini campur tangan dalam urusan keagamaan negara, Bhante Bhodirak akhirnya akan memiliki kekuatan untuk “mengguncang perahu,” sebagaiman yang telah dijanjikannya.

Tentu saja, Bhante Bhodirak dapat melanjutkan dengan damai pekerjaan dan eksperimennya yang didasarkan pada kehidupan religius alternatif, komunitas mandiri berbasis pada konsep sepi ing pamrih rame ing gawe, kerja keras dan kesederhanaan, kehidupan religius menentang arus utama materialisme dan konsumerisme jika ia – sebagaimana kelompok-kelompok agama yang sedang berkembang lainnya – tidak menggangu dan menentang Sangha arus besar.

Tapi ia telah menjelaskan bahwa ia tidak akan membiarkan misinya dikekang oleh keraguan.

“Saya jujur dan keras. Saya bukan seorang pengasuh anak. Tugas saya bukan untuk meninabobokan bayi.”

Bhante Bhodirak adalah anak laki-laki tertua dalam sebuah keluarga besar yang harus bekerja keras agar dapat bertahan hidup. Tapi keadaan itu semakin menguatkan tekad anak laki-laki yang mandiri dan pekerja keras ini menggapai apa yang diinginkannya.

Sejak berumur 10 tahun ia telah bekerja sambilan untuk mendukung perekonomian keluarganya. Pada saat ibunya meninggal, ia menggantikan posisi ibunya sebagai kepala keluarga untuk merawat dan mendidik keenam adik perempuan dan laki-lakinya.

Anak laki-laki yang tidak pernah lelah berusaha ini, juga dikenal karena bakat seninya. Ketika menempuh pendidikan di Fakultas Seni dan Kerajinan Poh Cang, ia mengganti namanya dari Mongkol menjadi Rak, yang berarti “Cinta” dan ia bertekad untuk mengasah dan menunjukkan kemampuan menulisnya agar namanya dapat masuk dalam lingkungan dunia hiburan. Hal ini berhasil dicapainya.

Dia dengan cepat meraih sukses sebagai programmer TV, pengarang lagu dan penulis. Rak Rakpong menjadi nama yang dikenal luas bagi pemirsa televisi. Ia memiliki rumah yang megah, mobil-mobil mewah dan menjalani kehidupan kaum bujang pada umumnya. Namun pada saat yang sama ia juga tetap menjadi seorang kakak laki-laki tertua yang menyenangkan dan bertanggung jawab.

Rak melakukan sejumlah “pencarian” (spiritual*) sebelum akhirnya meninggalkan ketenaran, kesuksesan dan kesenangan-kesenangan duniawi lainnya.

(7)

“Saat saya menentukan untuk berlatih dhamma, saya telah berpenghasilan 20.000 Baht. Karir saya sebagai pengarang lagu sedang pada puncaknya. Saya, seperti halnya Buddha, tidak tunduk pada kemakmuran, ketenaran dan kenyamanan.

“Saya bukanlah tipe orang yang melekat. Saya selalu dapat memutusnya kapanpun saya suka. Hanya sesederhana itu.”

Ia kemudian membuat kaget keluarga dan teman-temannya dengan mencukur habis rambutnya, mengenakan hanya pakaian putih sederhana dan pergi kemana pun tanpa alas kaki. Seiring berjalannya waktu akhirnya ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya, saat itu ia telah menjadi seorang vegetarian yang tekun selama beberapa tahun.

“Orang-orang berpikir saya sudah gila,” kenangnya sambil menambahkan bahwa ia telah mencapai “kesempurnaan” hanya dalam waktu 2 tahun setelah ia memulai latihan dhamma dan sebelum pentahbisannya.

“Saya cepat mencapainya karena saya mencurahkan seluruh pikiran saya terhadap apa yang saya kerjakan.” Ia berkata seraya menekankan pentingnya kekuatan pikiran dan bahwa ia adalah guru bagi dirinya sendiri, bukan orang lain.

Ia mengundurkan diri dari pekerjaannya pada 1970 dan ditahbiskan beberapa bulan kemudian di Sekte Dhammayutika, namun sebelumnya ia berpesan kepada kepala vihara agar tidak membiarkan bhikkhu lain “mengganggu” ketenangannya.

“Masyarakat tidak mau mendengar hanya karena saya bukan seorang bhikkhu. Jadi saya menjadi bhikkhu, meskipun jubah kuning ini tidak berarti apa-apa bagi saya.”

Ia mengundurkan diri dari Sekte Dhammayutika 3 tahun kemudian saat kepala vihara tidak mengijinkannya mengorganisir pertemuan untuk para pengikutnya yang juga dihadiri oleh bhikkhu-bhikkhu dari sekte Mahanikaya.

Selanjutnya ia mendirikan sebuah Pusat Buddhis di Nakhon Pathom, dimana bhikkhu-bhikkhunya menggunakan jubah kecoklat-coklatan dan mengikuti secara ketat vinaya para bhikkhu seperti yang dijalankan di masa-masa lampau.

Tapi ketika popularitas Bhikkhu Bhodirak semakin melambung di antara mereka yang jenuh terhadap ketidakefektifan orde Sangha ortodok, gaya mengkritik Bhante Bhodirak “Lebih Suci dari Kau” memicu perlawanan yang kuat dari orde Sangha ortodok.

Puncaknya adalah ketika orde Sangha ortodok mengancam untuk memusnahkan Pusat Buddhis Bhante Bhodirak dan memaksa pentahbisnya (acharya-nya*), yang saat itu sedang sakit keras, untuk mengeluarkan Bhante Bhodirak dari Sangha.

(8)

“Saya tidak pernah meninggalkan Kebhikkhuan. Saya tidak pernah berkata saya akan meninggalkan Kebhikkhuan, juga tidak pernah menyelenggarakan upacara untuk maksud tersebut. Hati saya tidak pernah meninggalkan kebhikkhuan.”

Ia berpendapat apa yang dilakukannya hanyalah mengembalikan sertifikatnya ke Sangha yang tidak dapat mendiskualifikasi dirinya sebagai bhikkhu karena ia tidak pernah melanggar aturan-aturan yang ditetapkan oleh Buddha (vinaya*).

Bhante Bhodirak kemudian secara bertahap membangun wilayah keagamaan barunya dimana ia meletakkan seluruh aturan-aturan dasar dan melakukan pentahbisan meskipun masa vasanya pada saat itu belum memenuhi syarat (belum 10 vasa*) untuk dapat melakukan pentahbisan.

Santi Asoke memiliki empat pusat dan “sepasukan semut” pengikut yang diantaranya menerbitkan 560.000 buku untuk dibagikan secara cuma-cuma per tahun dalam rangka menyebarkan ajaran-ajaran Bhante Bhodirak.

Di Santi Asoke, masyarakatnya secara ketat mengikuti prinsip-prinsip Buddhis dengan penekanannya yang kuat pada kesederhanaan, kerja keras dan kerelaan berkorban. Para Bhikkhu dan pengikutnya makan hanya satu kali dalam sehari dan itupun hanya makanan vegetarian. Bhikkhu dan Biarawati mengenakan jubah kecoklat-coklatan dan tidak mencukur alisnya sebagaimana yang tertulis dalam

vinaya (di dalam vinaya seorang bhikkhu/bhikkhuni seharusnya mencukur alisnya*). Dengan kesederhanaan dan kerja keras, mereka bertekad untuk hidup berbeda dari lingkungan yang buruk. Mereka bahkan sangat selektif dalam menerima dana dan anggota baru. Seseorang harus mengikuti aktivitas mereka minimal 7 kali terlebih dahulu agar dapat menjadi donatur .

Kembali pada ajaran fundamental Buddha, Santi Asoke melawan arus utama materialisme dan konsumerisme dan telah mendirikan sebuah “Komunitas Buddhis Utopis” di Nakhon Pathom dimana para anggotanya hidup, bekerja dan memproduksi makanan yang berbasis pada keharmonisan komunal.

Selain menjadi model pedesaan Buddhis, para anggota Santi Asoke – yang pada umumnya kaum profesional, kelas menengah sampai kelas menengah ke bawah – juga mendirikan sebuah model toko grosir dan bisnis produk herbal yang dilandasi keinginan mereka untuk membantu para konsumen ketimbang sekadar menghasilkan laba.

Proyek Santi Asoke telah menarik banyak perhatian dan kekaguman dari para akademisi karena proyeksi mereka terhadap kehidupan alternatif yang berdasarkan Buddhisme dan bertentangan dengan konsumerisme barat, begitu tertariknya mereka sehingga mereka mengabaikan pendapat Bhante Bodhirak yang antagonis.

Tapi tidak bagi Sangha.

(9)

Bhikkhu yang lugas ini, menurut mereka juga melanggar salah satu prinsip dasar kebhikkhuan Buddhis – Jangan pernah menyombongkan pencapaian spiritual seseorang.

Dalam biografinya, Bhante Bhodirak mengatakan bahwa ia tidak memerlukan latihan formal karena ia memiliki pengetahuan dan jasa-jasa kebajikan sebagai hasil dari kehidupan lampaunya.

Ia menyebutkan nama Bhante Sariputta, salah seorang murid utama Sang Buddha, beberapa kali dalam biografinya, secara tersirat ia mengatakan dirinya merupakan reinkarnasi dari Sariputta atau minimal merupakan pengikut jejak Bhante Sariputta.

Dia juga menyerang Sangha dan aliran-aliran Buddhis lainnya di Thailand, menjelaskan sikap arogannya dan menolak tuduhan-tuduhan kepada dirinya bahwa tindakannya telah memecah belah.

Ia menyatakan bahwa ia tidak menyebabkan keretakan tapi ia hanya kembali mencoba membawa hal-hal yang baik bagi kedua pihak baik tradisi Mahayana maupun Theravada – dengan cara kembali ke ajaran dasar dan memprakktekkannya seperti di masa lampau sebagaimana yang ia pahami.

Vegetarianisme, menurutnya adalah salah satu hal baik yang ia pinjam dari Mahayana. Tapi ketika berpendapat soal Sangha, Ia mengkritik habis-habisan.

“Mereka yang ada di atas sesungguhnya tidak berguna. Mereka belum memperoleh keselamatan spiritual dan bahkan mereka tidak memahami dengan benar ajaran-ajaran Buddha.”

Atau untuk bhikkhu hutan yang mengabdikan dirinya untuk pemurnian pikiran. “Mereka menjadi seperti pertapa, dan orang yang tidak memiliki kebijaksanaan. Tidak berguna bagi masyarakat.”

Kritikan-kritikannya terhadap aliran-aliran Buddhisme lainnya juga membuat dia tidak populer.

Selain Santi Asoke, terdapat 2 aliran reformis terkemuka lainnya yang memiliki pengikut dalam jumlah besar dimana sebagian besarnya berasal dari kelas menengah profesional yang berpengaruh: Dhammakaya, aliran yang menekankan konsentrasi, meditasi dan Suan Mokh yang dipimpin oleh Bhikkhu Buddhadasa, yang mengajarkan kesadaran dan cara melenyapkan ke-aku-an.

Bhante Bhodirak mengatakan pendekatannya adalah mendidik masyarakat, selangkah demi selangkah, untuk melenyapkan penderitaan, pertama-tama melalui

Sila atau kontrol diri, kemudian barulah menuju Samadhi atau meditasi dan terakhir

Panna atau pemahaman terhadap alam.

(10)

memiliki metode, dan kritik ini dengan cepat memancing serangan balik dari para pengikut kedua aliran tersebut.

Ia menolak untuk mengubah pendekatannya. “Aturan adalah anak dari kemunafikan. Disana tidak ada ketulusan, tidak ada keteguhan hati yang tertinggal untuk mempertahankan kebenaran.”

Ia menyatakan ia telah berusaha untuk menjadi serendah hati mungkin.

“Saya tidak menganggap diri saya tinggi. Saya tinggi dalam dhamma. Tapi orang-orang ingin menjatuhkan saya.”

“Kebenaran memang menyakitkan. Dan ada pemahaman yang salah bahwa Buddha hanya mengatakan hal-hal indah yang enak didengar. Pada suatu waktu, setelah Buddha menyampaikan salah satu kotbahnya, 60 bhikkhu meninggal seketika, 60 lainnya mengundurkan diri, dan 60 bhikhhu lainnya mencapai pencerahan.”

“Tidak seorang pun meninggal atau mengundurkan diri karena kotbah saya hingga saat ini.”

“Apa yang saya lakukan hanyalah menunjukkan sedikit permata yang saya miliki, tidak semua yang saya miliki. Tapi orang-orang malah tidak mampu menahan kilauannya.”

“Saya tidak bermaksud menyombongkan diri. Memang sesungguhnya saya adalah Bhante Sotapañña, Bhante Sakadagami. Apa yang salah saat kita bicara jujur tentang diri kita?” tanyanya, sehubungan dengan tingkat kesucian spiritual sebelum seseorang mencapai pencerahan.

Ia juga mengutip sebuah paritta dalam bahasa Pali yang menyatakan bahwa terdapat orang-orang yang sangat istimewa yang menemukan kenyataan-kenyataan hidup ini dengan usahanya sendiri. “Saya adalah salah satu diantaranya. Anda beruntung bisa bertemu dengan orang itu.”

Menanggapi komentar bahwa ia kurang mempelajari bahasa Pali dan ajaran-ajaran Buddha secara formal, Bhante Bhodirak berkata: “Saya tidak pernah belajar bahasa Pali secara formal, tapi saya dapat menerjemahkannya dengan intuisi saya.”

“Kehidupan lampau itu ada. Jika saya tidak mengetahui tentang kehidupan saya yang lampau, saya juga akan terkagum-kagum .”

“Saya dapat menjelaskan ajaran-ajaran Buddha seperti merangkai karangan bunga yang indah, beragam, penting dan mendalam. Mengapa menolak itu semua? Tidakkah kalian mau mendengar?”

“Apa yang saya lakukan adalah untuk menjadikan Buddhisme satu. Tapi saya tidak bermaksud menghapuskan sekte-sekte yang ada. Saya hanya menyatakan kebenaran dan kebenaran tidak ada hubungannya dengan urusan sekte.”

(11)

“Maaf kalau terdengar kasar. Tapi saya akan terus mencambuk, terus dan terus.”

“Semakin lama, saya semakin percaya diri, semakin tekun. Saya yakin bahwa walaupun pekerjaan saya tidak setara dengan apa yang dilakukan Buddha, tapi yang saya lakukan berada dalam jalur yang sama, arah yang sama.”

“Saya adalah seorang ahli gizi yang memberikan makanan bagi jiwa, seorang apoteker yang memberikan obat bagi batin.”

“Orang-orang tidak mengerti saya. Tapi suatu hari mereka akan mengerti.”

Bangkok Pos 22 Juli 1988

(Dicetak ulang dalam “Keeping the Faith. Thai Buddhism at the Crossroads.”

(12)

PHOTIRAK LAH YANG MUNGKIN TERTAWA PALING AKHIR

Bhikkhu Photirak pendiri Santi Asoke untuk kesekian kalinya kalah dalam pertempuran untuk menjadi bhikkhu (seseorang membutuhkan Sangha untuk dapat diakui secara sah sebagai Bhikkhu, sementara Photirak telah dikeluarkan dari Sangha sehingga secara legal formal kebhikkuan ia tidak dapat disebut sebagai Bhikkhu*). Tapi karena kurangnya reformasi keagamaan, Sangha arus besar yang memenangkan pertarungan itu mungkin yang akan menjadi pecundang yang sesungguhnya.

Minggu lalu, Pengadilan Banding menguatkan putusan 6 bulan penjara dan skorsing selama 2 tahun terhadap mantan bhikkhu tersebut karena telah melecehkan ajaran Sang Buddha dan tidak mematuhi pemecatan yang dilakukan oleh Dewan Sangha.

Saya sering berpikir mengapa Sangha begitu keras terhadap pemimpin Santi Asoke, yang berusaha membawa kembali kesederhanaan dan disiplin moral yang ketat ke dalam Sangha kita yang telah begitu longgar kedisiplinannya dan telah terkomersialisasi. Sesungguhnya, kita dapat mengatakan kelahiran dan popularitas Santi Asoke berakar dari kelemahan Sangha arus besar.

Buddha mengajarkan kesederhanaan, kasih sayang dan toleransi, melarang keserakahan (Lobha), kebencian (Dosa) dan kebodohan batin (Moha). Buddha juga telah dengan jelas mengatakan bahwa komunitas bhikkhu harus bersifat egaliter dengan vinaya, atau aturan kedisiplinan kebhikkhuan, sebagai amanat pokok.

Amatilah sekeliling dan lihat seberapa jauh para bhikkhu kita telah menyimpang dari nasehat-nasehat Buddha. Kita sering mendengar tentang bhikkhu-bhikkhu yunior yang menjual hasil pindapatta pagi mereka pada para pedagang keliling. Tapi ini hanya perbandingan kecil dibandingkan bhikkhu-bhikkhu terkenal dan vihara yang telah memperjualbelikan secara besar-besaran simbol-simbol keagamaan dan menjadikan ketahyulan dalam masyarakat sebagai sasaran bisnis mereka. Kita juga dapat menyaksikan para bhikkhu menonton pertandingan tinju di televisi, hidup dengan gaya kelas atas, berpergian dengan mobil-mobil mewah, dan mengantungi donasi untuk dirinya sendiri. Begitu banyaknya praktek demikian sehingga kita telah menerima semua itu sebagai sesuatu yang normal.

Seringkali justru bhikkhu-bhikkhu yang sangat berkuasa menjadi contoh yang tidak baik. Mereka yang tidak setuju harus tetap bungkam karena takut akan penghambatan (terhadap “karier” kebhikkhuan mereka*) dari Sangha, walaupun feodalistik, struktur memerintah yang diktator adalah penghinaan terbesar terhadap prinsip demokrasi dari Buddha.

(13)

kali dalam sehari dan hidup bersahaja. Mereka juga menolak pemujaan terhadap obyek dan ritual-ritual tahyul, sebuah kritikan langsung terhadap komersialisasi Buddhisme oleh para Bhikkhu.

Sementara Sangha yang feodal telah kehilangan hubungannya dengan dunia, Santi Asoke secara efektif menarik mereka yang larut dalam kehidupan materialisme dengan cara menawarkan kepada mereka perasaan memiliki sebuah misi dan memiliki komunitas yang akrab bersatu.

Kecerdasan Bhante Photirak juga terefleksi pada apa yang dikerjakan Santi Asoke dengan pertanian alaminya dan reformasi pendidikan, yang menekankan keseimbangan antara fisik dan pikiran, manusia dan alam.

Bhikkhu reformis ini juga secara efektif menggunakan buku-buku dan majalah-majalah untuk membangun perasaan sebagai komunitas di antara para pengikutnya, sementara itu para bhikkhu yang makmur tidak mempedulikan semakin lebarnya jurang pemisah dengan umat Buddha awam.

Hal ini bukan hendak mengatakan Photirak tidak memiliki kesalahan. Dia sulit untuk bersikap rendah hati dan ia bangga atas kedisiplinan gaya militer Santi Asoke dan menggunakannya untuk menyerang orang lain secara moral. Selain itu, aturan kebhikkhuan mensyaratkan seorang Acharya haruslah minimal telah 10 tahun menjalani kebhikkhuannya. Berdasarkan pada biografinya, ia telah mentahbiskan para pengikutnya saat ia baru 6 tahun menjalani kebhikkhuan. Ia juga menegaskan pencapaian spiritualnya yang luar biasa dan membuat marah para sarjana Buddhis dengan memberikan arti-arti baru terhadap kata-kata Pali kuno dalam ajarannya yang tidak konvensional.

Meskipun dengan berbagai kekurangan ini, percayalah pada saya, pemimpin Santi Asoke ini tidak akan mendapatkan banyak masalah jika tidak melontarkan kritiknya yang tajam terhadap Dewan Sangha. Kejahatan sesungguhnya bukanlah karena ia melanggar peraturan tapi karena ia menantang kekuasaan.

Karat menggerogoti terus menerus dari dalam, demikian sebuah pepatah orang Thailand. Dengan cara memberangus perbedaan pendapat tanpa memberikan perhatian terhadap kekurangan-kekurangannya sendiri, Sanghalah yang patut disalahkan karena menurunnya keyakinan publik. Dan akhirnya Photirak-lah yang tertawa paling akhir.

(14)

KECIL ITU INDAH DI DESA-DESA ASOKE

“Karena bahan bakar sumber daya alam yang tak terperbaharui – batu bara, minyak bumi dan gas alam - disebarkan dengan sangat tidak merata di dunia dan tidak diragukan lagi amat terbatas jumlahnya, maka sangatlah jelas bahwa eksploitasi sumber daya alam yang terus meningkat adalah tindakan kekerasan terhadap alam yang pada akhirnya tidak terhindarkan lagi memicu kekerasan di antara umat manusia.”

(Schumacher, 1973) “Sementara kaum materialis amat tertarik dengan materi, penganut Buddhisme amat tertarik dengan pembebasan.”

(Schumacher, 1973)

Pendahuluan

Milenium baru telah dimulai dengan meningkatnya protes antiglobalisasi, serangan teror dan perang yang menghancurkan. Semua perkembangan ini semakin memperjelas pentingnya konsep kemandirian ekonomi lokal dalam hubungannya dengan kebutuhan dasar seperti makanan dan bahan bakar. Menyitir Ernest Schumacher, seorang ahli ekonomi kelahiran Jerman yang terkenal, dalam esainya yang terkenal mengenai konsep ekonomi Buddhis dalam bukunya “Small is Beautiful, Economic as if People Mattered,” diterbitkan pertama kali di tahun 1973:

“Karena sumber daya fisik dimanapun terbatas, masyarakat yang memenuhi kebutuhannya dengan cara menggunakan sumber daya secukupnya, lebih kecil kemungkinannya untuk saling menjatuhkan dibandingkan dengan masyarakat yang bergantung pada penggunaan sumber daya dalam jumlah besar. Demikian juga halnya, masyarakat yang hidup dalam komunitas lokal yang mandiri lebih kecil kemungkinannya terlibat dalam kekerasan dalam skala yang besar dibandingkan dengan masyarakat yang kehidupannya bergantung pada sistem perdagangan dunia.”

(15)

Kelompok Asoke adalah kelompok Buddhis yang didirikan oleh Bhodiraksa.1 Bhodiraksa adalah Bhikkhu yang ditahbiskan oleh Sangha yang diakui negara, sekitar tiga puluh tahun yang lalu. Ia kemudian tidak puas akan latihan yang dijalankan para bhikkhu arus besar dan akhirnya membentuk kelompok muridnya sendiri. Kelompok ini menjalankan vegetarian yang ketat, memberikan tekanan pada aturan-aturan Vinaya kebhikkhuan, mentahbiskan wanita sebagai biarawati dengan 10 sila, dan terkadang memberikan interpretasi yang sangat radikal terhadap konsep Buddhis dalam Bahasa Pali, hal ini menjengkelkan Sangha dan bhikkhu-bhikkhu tradisional dan umat awam Buddhis Thailand yang kurang disiplin dan lebih suka bersenang-senang.

Visi ekonomi kelompok Asoke, bagaimanapun jauh lebih positif. Kelompok ini telah didirikan pada tahun 70-an, dan buku-buku serta artikel-artikel dalam bahasa Thai tentang kelompok ini, selalu menggolongkan kelompok Asoke dengan komunitas desanya sebagai “Utopis”2

Kelompok ini telah mendirikan beberapa pusat-pusat Buddhis di berbagai tempat di Thailand: Nakhon Pathom, Nakhon Ratchasima, Sisaket, Ubon Ratchathani, Nakhon Sawan dan Chiang Mai. Beberapa pusat-pusat sedang naik daun menunggu untuk bermekaran di Trang, Chaiyaphum, Nakhon Phanom, Udon Thani, Roi Et dan Loei.

Komunitas ini secara ekonomi berbasis pada pertanian organik. Mereka membeli atau menyewa lahan-lahan pertanian untuk menanam padi dan berkebun sayur mayur. Tiap-tiap pusat komunitas biasanya juga memproduksi sendiri tahu, jamur dan air minum. Sebagai tambahan mereka juga memproduksi dan menjual shampo herbal, deterjen, pengusir nyamuk, obat-obatan dari herbal (jamu) dan teh herbal. Produk-produk ini selanjutnya dijual kepada masyarakat melalui toko-toko koperasi dengan keuntungan sangat kecil. Meskipun demikian, dengan keuntungan tersebut, pusat-pusat komunitas ini telah mampu memiliki komputer, mobil, klinik gigi dan bahkan masih memiliki sisa yang cukup untuk menyelenggarakan pendidikan sekolah dasar, menengah, dan kejuruan secara cuma-cuma, dan jika terjadi keadaan darurat, mereka dapat mengirim anggota-anggota komunitas yang sakit ke rumah sakit modern dengan peralatan lengkap.

1 Di Thailand ia dikenal sebagai: Samana Photirak atau Pho Than Photirak. 2

Suwana Satha-anand (1990) merujuk pada dua artikel yang ditulis lebih awal dalam bahasa Thai oleh

Sombat Chanteonwong “The Pathom Asoke Community. A Study of Buddhist Utopia”, dan Prawet Wasi “Suan Mok, Thammakai, Santi Asok” keduanya dari tahun 1988. Apinya Fuengfusakul

(16)

Kelompok Asoke juga menerbitkan beberapa majalah bulanan yang mendiskusikan baik topik-topik Buddhis maupun topik umum dari masalah politik sampai perjalanan ( travelling ).

Buddhisme sebagaimana yang telah diinterpretasikan oleh pemimpin kelompok ini, Bhodiraksa, adalah sumber inspirasi spiritual terbesar mereka. Orang juga dapat merasakan nilai intelektual inspirasi Ernest Schumacher, pada bab tentang Ekonomi Buddhis yang telah diterjemahkan oleh para simpatisan Asoke.3

Pada studi ini, saya akan mendiskusikan beberapa ide dari Schumacher dan menunjukkan bagaimana ide-ide tersebut diimplementasikan oleh kelompok Asoke.

1. Mata Pencaharian Benar – Samma Ajiva

“Mata pencaharian benar” adalah satu bagian dari Jalan Utama Berunsur Delapan. Oleh karena itu, hal semacam ekonomi Buddhis itu memang ada.”

(Schumacher, 1997, 37)

Jalan Utama Berunsur Delapan menyebutkan pada unsur kelimanya bahwa seorang praktisi Buddhis haruslah memilih dengan hati-hati pekerjaannya. Ada beberapa profesi dan pekerjaan tertentu yang benar-benar dilarang untuk umat Buddha. Seorang Buddhis tidak diperbolehkan berdagang senjata, narkoba dan zat-zat beracun lainnya. Demikian juga seorang Buddhis dilarang terlibat dalam perdagangan manusia (trafficking). Menjual binatang dan juga daging adalah hal yang dilarang, karena menghindari pembunuhan adalah sila (prilaku yang baik*) pertama yang harus dijalankan oleh seorang Buddhis. Lima pekerjaan yang tidak patut (Miccha Ajiva) adalah termasuk mencuri, berbuat curang, menipu, bekerja pada orang jahat dan bekerja hanya demi uang.

Memang tidak terdapat rekomendasi tentang profesi mana yang disarankan, tapi umumnya Buddhisme menekankan pada lawan dari membunuh dan mencuri yakni kasih sayang, belas kasihan dan memelihara kehidupan.

“Menghindari pembunuhan” adalah sila pertama. Sila-sila ini memiliki rekomendasi yang berlainan, dan rekomendasi pertama secara konsekuen menekankan pada pemeliharaan dan perlindungan terhadap semua kehidupan. Hal ini telah dijadikan pedoman bagi banyak bhikkhu Thailand, yang diantaranya telah berupaya untuk melindungi hutan perawan bersama-sama dengan komunitas lokal melawan perusahaan penebangan kayu yang serakah dengan kelompok militernya. 4

3 Buku tersebut telah diterjemahkan lebih dari 20 tahun yang lalu oleh sekelompok simpatisan Asoke. 4

Kasus yang paling terkenal adalah Bhante Prachak Kuttachitto, seorang Bhikkhu di Buriram yang berusaha melindungi hutan. Akhirnya ia menjadi buronan seumur hidupnya. Jim Taylor 1993; Rigg 1997, 58-59.

(17)

Asoke terus menerus menerapkan konsep memelihara dan melindungi semua kehidupan ini. Banyak tanah-tanah tandus berubah menjadi kebun yang subur di tangan para praktisi Asoke. Pusat-pusat di Isan, di Timur Laut Thailand, yang terkenal karena kekeringan dan kondisi alamnya yang tidak bersahabat, adalah salah satu area pusat berbagai penelitian pertanian Asoke. Kelompok Asoke saat ini memiliki tiga pusat paling sukses di Timur Laut, Sima Asoke, Sisa Asoke, dan Rachathani Asoke, semuanya telah menjadi percontohan bagi pemerintah setempat, dan semuanya terlibat secara aktif melatih penduduk lokal dalam seni pertanian alami, kehidupan mandiri/swadaya dan pembangunan berkelanjutan. Tujuan utama dari berbagai pelatihan ini adalah untuk melatih masyarakat untuk menjadi petani-petani yang hidup mandiri. Pelatihan-pelatihan ini dibiayai oleh Bank of Agriculture and Agricultural Cooperatives (BAAC). Pelatihan ini juga menekankan pada kebersihan (sanitasi), panca sila, dan upaya untuk membersihkan enam sifat buruk 5 agar mereka terhindar dari jeratan hutang nantinya.

Menjadi petani, secara praktis adalah pilihan nomor satu dari “Mata pencaharian benar” bagi para praktisi Asoke. Alternatif lainnya di lingkungan perkotaan, adalah menjadi setidaknya seorang tukang kebun paruh waktu.

Sistem ekonomi monokultur tanaman pangan dengan orientasi ekspor tidak hanya semakin membuat miskin petani Thailand, tapi juga menurunkan kualitas tanah. Para petani tercekik oleh hutang lintah darat dan pemilik tanah, yang menyarankan penggunaan pupuk asing yang mahal, pestisida dan insektisida. Pupuk ini selanjutnya mengalir ke sungai dan persawahan membunuh semua kehidupan dalam air tersebut. Bahkan air tanah pun telah tercemar di beberapa wilayah. Oleh karena itu, pekerjaan kedua yang dihormati, bagi para praktisi Asoke yang serius adalah “Pemupuk Alami.”

Polusi telah menjadi masalah serius baik di perkotaan maupun di daerah pedesaan – tidak lupa tempat-tempat peristirahatan di pantai. Dengan budaya modern makan “makanan sampah” (junk food) sampah menumpuk di semua negara. Di semua pusat komunitas Asoke, sampah secara hati-hati disortir dalam kotak-kotak atau karung-karung yang berbeda. Oleh karena itu, “pekerjaan besar” ketiga adalah pemulung sampah dan tukang sortir. Sebagian besar sampah ini digunakan kembali baik sebagai kompos untuk pupuk, atau untuk mikroorganisme, yang digunakan untuk deterjen, sedangkan kertas tua, botol-botol, pecahan kaca, dan potongan-potongan besi dijual kembali. Kantong-kantong plastik digunakan kembali di toko-toko Asoke untuk mengemas barang-barang bagi komsumen. Sebagian sampah dibakar dan diproduksi kembali menjadi gas untuk memasak, contohnya di Phatom Asoke.

(18)

1.1 Tidak untuk Barang-barang Impor

“Oleh karenanya, dari sudut pandang ekonomi Buddhis, produksi dari sumber daya lokal untuk kebutuhan lokal adalah cara yang paling rasional dari kehidupan ekonomi, sementara ketergantungan terhadap impor dari lokasi yang jauh dan kebutuhan memproduksi untuk ekspor bagi orang-orang yang tidak dikenal dan berada di tempat yang jauh sangatlah tidak ekonomis dan dapat dibenarkan hanya untuk kasus-kasus pengecualian dan dalam skala kecil.”

(Schumacher, 1999, 42)

Semua produksi di pusat-pusat Asoke utamanya diorientasikan pada masyarakatnya sendiri, dan selanjutnya adalah untuk komunitas Thailand secara luas. Sudah ada beberapa permintaan terhadap obat-obatan herbal Thailand dari luar negeri, misalnya Jepang, tapi sejauh ini ketertarikan ini masih belum diwujudkan. Pasar Thailand sendiri sudah cukup besar bagi produk-produk Asoke, dan ekspor berarti juga melibatkan masalah-masalah seperti tanggal kadaluarsa, bahan pengawet, kemasan, bea cukai dan rekanan dagang di negara-negara asing.

Pusat-pusat Asoke tidak dengan sengaja memboikot barang-barang asing, ataupun turut berpartisipasi dalam kampanye-kampanye “Gunakan produksi dalam negeri,” yang menjadi begitu populer di Thailand setelah tahun 1997. Namun dapat dikatakan bahwa yang mereka praktekkan adalah “boikot spiritual” menentang merek-merek asing terkenal dengan penekanan mereka pada kesederhanaan Buddhis. Sikap menghindari produk-produk asing bersumber dari sikap umum negatif mereka terhadap barang-barang mewah dan berbagai jenis kemewahan hidup. Oleh sebab itu, minum-minuman ringan asing – baik impor maupun yang diproduksi lokal dengan lisensi, bukanlah sesuatu yang digemari. Sebagai gantinya masyarakat Asoke mengkonsumsi minuman sari buah buatan lokal seperti jambu biji, asam dan sari buah-buahan lainnya. Mereka umumnya memproduksi sendiri susu kedelai. Makan coklat, es krim atau kue-kue adalah sesuatu yang kurang populer di Asoke.

(19)

Seluruh anggota Asoke menghindari kebiasaaan merokok dan minum-minuman keras, kebiasaan ini semakin mengurangi konsumsi mereka terhadap berbagai produk impor asing.

Pada saat yang bersamaan, masyarakat Asoke juga cukup fleksibel. Tidak ada larangan untuk menggunakan pasta gigi atau sikat gigi bermerek asing. Hal yang sama juga berlaku pada produk-produk teknologi – mobil, komputer, kamera, tv dan peralatan elektronika lain yang umumnya buatan asing, sebab Thailand sendiri sangat minim memiliki produksi di bidang ini. Beberapa merek memang telah dirakit di Thailand.

1.2 Matikan Lampu

“Benda-benda yang tak terperbaharui hendaknya digunakan hanya jika benar-benar diperlukan sambil memperhatikan dengan seksama dan mempedulikan kepentingan konservasi. Menggunakan benda-benda itu secara sembrono atau berlebih-lebihan adalah tindakan kekerasan, dan sementara cara-cara yang benar-benar tanpa kekerasan bisa jadi tidak dapat dicapai di dunia ini, namun adalah kewajiban yang tidak boleh diabaikan bagi manusia untuk mengarahkan diri ke arah yang ideal yakni melakukan apapun tanpa kekerasan.”

(Schumacher 1999, 43-44)

Pada awalnya pusat-pusat komunitas Asoke umumnya tanpa listrik, keadaan yang cukup mengejutkan para pengunjung dari kota, dan itu pun karena kesan yang muncul bahwa kelompok Asoke sangat ketat dan konservatif hingga ekstrim. 6 Padahal kenyataannya, memang, banyak daerah terpencil di Thailand belum memiliki instalasi listrik.

Namun, saat ini seluruh pusat Asoke telah memiliki instalasi listrik. Biasanya mereka juga memiliki sebuah televisi di aula ruang pertemuan (Sala), tempat dimana para anggota berkumpul pada sore hari untuk menonton televisi atau video selama beberapa jam.

Hampir semua pusat-pusat Asoke juga memiliki ruang komputer, yang pada umumnya ber-AC, karena sebagaimana yang kita ketahui komputer cukup sensitif terhadap suhu udara yang panas dan lembab seperti di Thailand. Biasanya tidak ada rumah-rumah pribadi (di Asoke*) yang ber-AC, sebab AC terkenal membutuhkan energi dalam jumlah besar, dan oleh karenaanya tagihan listrik selama musim panas cenderung naik dua kali atau tiga kali lipat dari biasanya. Tidak memiliki AC pribadi

(20)

adalah cara mudah untuk hidup dalam kesederhanaan, mempraktekkan maknoy sandot, tapi juga secara sadar menghemat energi.

Beberapa rumah-rumah pribadi memiliki kipas angin listrik, kulkas dan terkadang juga tv pribadi, terutama sekali di kondominium-kondominium Pusat Santi Asoke di perkotaan. Pusat-pusat di pedesaan, rumah-rumah dibangun dengan gaya tradisional Thailand, yang berarti mereka tidak akan kepanasan dibandingkan apabila mereka berada di rumah-rumah gaya barat. Sayangnya, beberapa rumah di desa-desa Asoke memiliki atap-atap seng yang membuat rumah-rumah ini amat panas sepanjang musim panas dan menimbulkan suara berisik saat hujan turun di musim penghujan.

Sila ketujuh dalam Buddhisme, mendorong para praktisinya untuk menghindari segala jenis hiburan, seperti mendengar musik, menonton film, atau menyanyi (mereka mengembangkan dan melestarikan kesenian tradisional yang digunakan sebagai hiburan dengan mementaskannya di hari-hari tertentu-pent.). Banyak umat awam Asoke berusaha mengikuti Delapan Sila, yang menunjukkan ciri dari seorang Praktisi Asoke yang serius, sedangkan Panca Sila dihormati sebagai aturan umum untuk semua Buddhis. Sekali lagi, sebagaimana yang kita lihat, kelompok ini cukup fleksibel terhadap peraturan ini. Para bhikkhu, biarawati dan umat awam berkumpul untuk menonton film bersama-sama hampir setiap sore selama beberapa jam. Film-film tersebut, dipilih oleh para bhikkhu, dan yang memiliki fungsi-fungsi pendidikan. Juga sepanjang malam, film-film dokumenter sering dipertunjukkan dalam aula kotbah (Sala).

Masyarakat Asoke bangun pagi antara pukul 3-4 pagi, hal ini dapat mencegah mereka dari kebiasaan menonton tv sampai larut malam maupun menikmati hiburan-hiburan malam lainnya. Keuntungan dari bangun pagi adalah juga karena udaranya masih sangat sejuk, dan karenanya AC atau bahkan kipas angin pun tidak diperlukan lagi. Jauh di tengah malam, kondisi udara bisa saja tetap cukup panas dan lembab, tapi orang tidak akan terganggu oleh sebab ini disaat ia tidur. Itulah sebabnya aktivitas-aktivitas pada malam hari, membutuhkan lebih banyak energi daripada aktivitas saat pagi hari.

2. Mengapa Anda lahir?

“Mengatur pekerjaan dengan cara-cara yang membuatnya menjadi tidak memiliki arti, membosankan, melemahkan semangat, ataupun membuat gelisah para pekerja, bisa diartikan sebagai kejahatan kecil-kecilan; Hal tersebut menunjukkan perhatian yang lebih besar terhadap barang-barang produksi dibandingkan manusia, kurangnya kasih sayang dan merupakan suatu tingkat kemelekatan yang menghancurkan jiwa hingga sisi paling primitif dari eksistensi duniawi.”

(21)

Bekerja di seluruh pusat-pusat Asoke diatur dengan basis sukarela. Tidak seorang pun dipaksa bekerja di tempat kerja yang tidak menyenangkan bagi dirinya. Secara praktis tidak dibutuhkan keahlian khusus dalam pekerjaan apapun, karena semuanya dilakukan dengan kerja tim.

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, prioritas paling utama diberikan kepada beberapa profesi tertentu seperti menjadi petani, tukang kebun, pemupuk dan pemulung. Bagaimanapun, terdapat lusinan basis pekerjaan di setiap pusat. Para bhikkhu tidak diijinkan bekerja di bidang perkebunan, karena pekerjaan yang berhubungan dengan tanah bisa membunuh kehidupan serangga tanpa disengaja. Oleh karenanya para bhikkhu dan juga biarawati, umumnya bekerja di kantor-kantor, sekolah, percetakan di bagian editing, menjadi penerjemah, juru ketik, menulis, memberi kotbah dan konsultasi bagi orang awam.

Untuk masyarakat awam terdapat banyak alternatif: semua pusat Asoke memiliki sekolah dasar ataupun sekolah lanjutan, dan terkadang sekolah kejuruan. Orang-orang dengan latar belakang mengajar diarahkan untuk bekerja di sekolah-sekolah ini. Namun, ada juga orang-orang Asoke yang merasa bahwa mereka telah menyelesaikan peran mereka sebagai guru di sekolah luar (Asoke*), dan lebih tertarik untuk bekerja di bidang lain setelah bekerja di Asoke. Ijin pasti diberikan, dan orang-orang bebas bergerak sesuai keinginannya.

Hampir semua pusat-pusat Asoke memiliki toko, yang membutuhkan sejumlah orang sebagai penjaga toko dan kasir. Sejumlah pusat memiliki restoran vegetarian yang memerlukan banyak pekerja untuk menyiapkan makanan, melayani dan menjual makanan, mencuci piring kotor, membersihkan meja-meja dan menjadi kasir.

Perusahaan percetakan dan penerbitan membutuhkan berbagai jenis pekerja dalam jumlah besar: anak-anak muda bertugas menangani komputer, yang lebih tua mengerjakan pekerjaan-pekerjaan percertakan secara manual.

Sebagian besar angkatan kerja di pusat-pusat Asoke adalah para relawan. Saat beberapa basis pekerjaan membutuhkan bantuan khusus, semua orang yang mempunyai waktu beramai-ramai membantu basis tersebut. Pekerja oleh karenanya sangat terbebas dari struktur. Mereka secara berkala bertukar basis pekerjaan, tidak ada sistem rotasi yang sistematik yang diatur oleh para supervisor, rotasi dilakukan secara spontan. Setiap orang bebas memilih basis pekerjaannya sebagaimana mereka bebas untuk berpindah ke basis pekerjaan lainnya.

(22)

2.1 Melatih Diri melalui Kerja

“Sudut pandang Buddhis meletakkan fungsi kerja setidaknya pada 3 unsur: memberikan kesempatan kepada seseorang untuk menggunakan dan mengembangkan keahliannya; memungkinkan orang tersebut mengatasi sifat egosentrisnya dengan cara bergabung dengan orang lain dalam suatu tugas bersama; dan menyediakan barang dan jasa bagi kelangsungan kehidupan.”

(Schumacher 1999, 38)

Masyarakat Asoke tidak bermeditasi dengan cara tradisional baik duduk maupun berjalan. Hal ini oleh masyarakat Asoke dianggap sebagai sesuatu yang hanya membuang-buang waktu, dan cara untuk melarikan diri dari kenyataan hidup. Sebaliknya mereka mempraktekkannya dengan mata terbuka, dan melakukannya dengan penuh semangat dalam setiap jenis pekerjaan. Hal yang utama dari bekerja bukanlah hasil ataupun keuntungan, tapi pada proses kerja itu sendiri. Bekerja di dalam tim, membutuhkan kasih sayang terhadap rekan-rekan kerjamu, membutuhkan konsentrasi untuk melakukan pekerjaan meskipun terdapat gangguan dan keributan di sekeliling.

Bekerja juga mengajarkan konsep tidak mementingkan diri sendiri sehingga membantu secara khusus pada basis-basis pekerjaan yang berbeda amatlah dianjurkan. Daripada mengkritik basis pekerjaan itu karena alasan kemalasan dan keengganan, seorang Asoke diharapkan bergabung dengan rekan-rekan kerjanya secara menyenangkan tanpa membuang-buang waktu dan energi untuk mengkritik.

Dengan cara yang sama, melibatkan seseorang dalam pekerjaan dimana ia tidak perlu mendapatkan pelatihan terlebih dahulu, akan mengurangi ego dan perasaan bangga atau superioritas terhadap rekan kerjanya.

3. Bunniyom sebagai Ekonomi Moral

“Kepemilikan dan konsumsi terhadap barang-barang adalah cara untuk memenuhi kebutuhan, dan konsep ekonomi Buddhis adalah studi yang sistematis tentang bagaimana memenuhi kebutuhan dengan sumber daya yang minimal.”

(Schumacher 1999, 41)

(23)

uang, sebaliknya orang yang menganut sistem bunniyom puas dengan rumah-rumah kecil sederhana dan mereka tidak membutuhkan banyak uang untuk bahagia. Kapitalis membutuhkan banyak pakaian dan perhiasan, sedangkan para penganut bunniyom puas dengan kesederhanaan dan kesahajaan. Kapitalis lebih suka bekerja sedikit dengan hasil yang banyak, sedangkan kelompok bunniyom bekerja lebih banyak dan mengambil lebih sedikit. Kaum kapitalis menggunakan teknologi tinggi untuk bangunan mereka dan pada saat yang sama merusak sistem ekologi, sedangkan

bunniyom tidak tertarik terhadap bangunan-bangunan besar dan teknologi tinggi.

Bunniyom oleh sebab itu juga dianggap sebagai alternatif yang ramah lingkungan.7 Pada hakekatnya, toko-toko kaum bunniyom di semua pusat-pusat Asoke berusaha mengikuti kebijakan “meritism” ini. Salah satu manifestasinya adalah barang-barang tersebut memiliki dua label harga: harga pokok dan harga jual. Selisih antara kedua harga tersebut amatlah sangat kecil.

Bunniyom tidak menekankan pada keuntungan, tapi sebaliknya menekankan pada kebajikan spiritual yang didapatkan saat mendanakan barang-barang kepada para konsumen atau saat mengambil keuntungan seminimal mungkin dari para konsumen. Empat pedoman prinsip ekonomi bunniyom adalah:

- Menjual dengan keuntungan rendah - Mengubah untuk persamaan harga

- Mengubah untuk harga yang lebih rendah - Memberikan secara cuma-cuma

Kekayaan pribadi bukanlah sesuatu yang dipuja di Asoke, sebaliknya sebagian besar sumber daya dimiliki secara kolektif lewat berbagai yayasan, asosiasi atau organisasi, seperti Yayasan Dharma Santi dan Yayasan Gongtub Dharm. Para praktisi Asoke yang bekerja di luar secara teratur menyumbang ke yayasan-yayasan ini. Yayasan-yayasan ini selanjutnya mendukung berbagai aktivitas dari berbagai organisasi yang ada. Ketiga perusahaan yakni, Supermarket Palang Bun, pengecer

For Life, dan perusahaan penerbit dan percetakan Fah Aphai terkait dengan yayasan-yayasan ini. Para pekerja di ketiga perusahaan itu menerima gaji yang sangat rendah, sedangkan para pekerja di restoran-restoran vegetarian bekerja tanpa dibayar.8

Uang dikumpulkan di kantor pusat (Sadharana bhogi), dari tempat inilah berbagai basis pekerjaan dapat meminjam uang untuk membiayai proyek-proyek mereka. Baru-baru ini, kelompok Asoke juga telah mulai menjalankan kelompok simpanan pribadi (Sacca omsap), tempat dimana para anggotanya secara individu dapat meminjam uang untuk berbagai keperluan. Proyek-proyek ini haruslah yang dapat dijalankan dan etis. Uang tersebut dikembalikan dalam jangka waktu yang

7 Insight Into Santi Asoke III, naskah yang tidak dipublikasikan, hal. 122 , Bangkok 1992.

(24)

masuk akal, dengan bunga rendah. Dengan kata lain, sangat mirip dengan beberapa kumpulan arisan dan proyek-proyek pinjaman mikro di negara-negara berkembang lainnya.

Beberapa pusat memiliki pompa bensin yang disewa dari perusahaan minyak setempat. Beberapa pusat juga memiliki perpustakaan, pusat kesehatan dan klinik gigi. Beberapa pusat memiliki toko obat, penggilingan padi, dan Santi Asoke memiliki dua perumahan dengan kondominium.

Pusat-pusat ini dapat meminjam uang dari institusi luar untuk proyek-proyek pembangunan mereka atau untuk tujuan-tujuan lain. Beberapa pusat menerima dana dari Departemen Promosi Koperasi dari Kementerian Pertanian dan Koperasi, atau dari Institut Medis Tradisional Thailand. Juga dimungkinkan meminjam dari pusat-pusat Asoke yang lain atau dari kantor pusat-pusat (Sadharana bhogi) yang berkedudukan di Santi Asoke.

Pusat lain dimana komunitas Asoke dapat meminjam uang tanpa bunga adalah dari Dana Kesejahteraan (Gongboon sawaddikan).

Akhirnya bunniyom dianggap sebagai suatu metode untuk membangun komunitas lokal yang kuat yang memberikan landasan yang kokoh bagi sebuah negara untuk bertahan dan menghindari krisis ekonomi serta mendukung tingkat kemandirian nasional. Berdasarkan ideologi Asoke, kebebasan dari materialisme adalah kebebasan sejati dan kebebasan dari keserakahan dapat membawa kita ke arah masyarakat yang damai. Bunniyom dapat dikatakan sebagai jalan yang praktis dan nyata untuk mengurangi sikap mementingkan diri sendiri.

3.1 Antikonsumerisme

“Karena konsumsi hanyalah alat bagi kesejahteraan umat manusia, tujuan seharusnya adalah memperoleh kesejahteraan maksimal dengan konsumsi minimal. Jadi, jika tujuan dari berpakaian adalah untuk memperoleh kenyamanan pada temperatur tertentu dan penampilan yang menarik, tugas kita adalah untuk mencapai tujuan ini dengan usaha yang sekecil-kecilnya, yang juga berarti, dengan kerusakan sekecil-kecilnya pada pakaian tersebut per tahunnya dan dengan rancangan yang melibatkan kerja keras melelahkan yang sekecil-kecilnya.”

(Schumacher, 1999, 41)

(25)

Banyak praktisi Asoke, khususnya mereka yang tinggal menetap di sekitar vihara, juga hanya memiliki dua setel pakaian. Untuk laki-laki, celana tradisional Shan, dan celana kaum tani Thai-Laos yang disebut mohom. Kaum wanitanya, sarung biru atau abu-abu dan juga mengenakan mohom. Sebagian besar umat awam juga tidak mengenakan alas kaki sebagaimana para bhikkhu dan bhikkhuni. Tidak ada merk jam tangan kesayangan, dan tidak mengenakan perhiasan adalah salah satu ciri pertama seorang praktisi Asoke yang serius.

Para murid sekolah mengenakan seragam biru sama dengan yang dikenakan oleh masyarakat awam. Mereka juga hanya memiliki 2-3 setel pakaian yang harus mereka cuci setiap hari.

Kertas didaur ulang, kalendar-kalendar saku bekas tidak dibuang, tapi digunakan sebagai buku catatan. Halaman kalendar dinding bulanan yang berukuran besar digunakan untuk menyampul buku-buku dan secara praktis setiap lembar kertas atau plastik digunakan kembali dengan berbagai cara. Konsumsi yang sia-sia diminimalkan sebanyak mungkin.

Seluruh praktisi Asoke umumnya memiliki potongan rambut pendek. Shampo asing yang mahal tidak disarankan, hampir semua orang menggunakan shampo, sabun dan deterjen buatan komunitas desa mereka sendiri. Kaum lelaki Asoke berpotongan rambut dengan gaya tradisional Thai yang agak militeristik, rambut kaum wanitanya juga dipotong sependek mungkin. Hal yang sama juga berlaku bagi anak-anak sekolah Asoke, tapi di sisi lain potongan rambut mereka, sebenarnya, sama persis dengan potongan rambut yang diwajibkan bagi seluruh anak-anak sekolah Thailand. Thailand – seperti sebagian besar negara-negara tetangganya di Asia – adalah tempat yang menjanjikan bagi seragam dan keseragaman.

4. Pendidikan Buddhis

“Secara seimbang, berusaha untuk mendapatkan kesenangan sebagai alternatif dari bekerja dapat dilihat sebagai kesalahpahaman yang fatal dari salah satu kebenaran dasar eksistensi manusia, karena bekerja dan kesenangan adalah bagian yang saling melengkapi dalam proses hidup yang sama dan keduanya tidak dapat dipisahkan tanpa merusak kenikmatan dari kerja dan kebahagiaan dari kesenangan.”

(Schumacher 1999, 38-39)

(26)

menyedihkan, meskipun mereka telah meniru sistem parlemen Inggris atau sistem pendidikan barat.

Sistem pendidikan umumnya gagal di negara-negara berkembang, sering kali karena alasan sepele seperti terlalu sedikitnya uang yang diinvestasikan di sana, pemerintah terlalu miskin atau tidak tertarik untuk berinvestasi lebih banyak; buku-buku teks digunakan untuk kepentingan propaganda dan ketinggalan jaman; penguasa di bidang pendidikan banyak yang tidak peduli dan korup, gaji guru sangatlah rendah dan kurang dilatih. Pendekatan barat ini mengasingkan anak-anak dari lingkungannya sendiri.

Pendidikan tradisional telah dimusnahkan oleh penguasa kolonial, atau, dalam proses modernisasi yang dilakukan oleh para elit yang diperngaruhi barat. Namun, pendidikan tradisional telah mengalami kebangkitan di beberapa belahan dunia, dimana pendidikan barat dianggap telah gagal. Dalam dunia Buddhis Theravada, pendidikan tradisional diberikan oleh para bhikkhu kepada anak-anak di vihara.

Saat ini, banyak anak-anak Thailand yang belajar di sekolah-sekolah yang berlokasi di halaman-halaman vihara, tapi mereka masih mengikuti kurikulum ala barat. Di sekolah-sekolah Asoke, para siswanya belajar bahasa inggris, ilmu alam, dan komputer, tapi mereka juga belajar mengapresiasi keterampilan tradisional kaum pedesaan Thailand.

4.1 Samma Sikkha – Belajar Benar

“Oleh sebab itu sangatlah jelas, bahwa ekonomi Buddhis haruslah sangat berbeda dengan ekonomi materialisme modern, karena kaum Buddhis melihat esensi peradaban bukan dari pelipatgandaan keinginan tapi dari pemurnian sifat-sifat manusia, dan pada saat yang sama, esensi peradaban dibentuk terutama oleh pekerjaan yang dilakukan manusia. Dan pekerjaan, yang dilakukan secara tepat dengan menjunjung harkat, martabat dan kebebasan manusia, memberkahi mereka yang melaksanakannya sekaligus dengan produk-produknya.”

(Schumacher 1999, 39)

Sekolah-sekolah Asoke disebut sebagai sekolah Samma Sikkha, yang merujuk pada Jalan Utama Berunsur Delapan seperti Pengertian Benar, Ucapan Benar dan seterusnya. Sekolah-sekolah lanjutan telah didirikan 10 tahun yang lalu dan, saat ini, terdapat lebih dari 500 siswa di sekolah-sekolah lanjutan Samma Sikkha. Baru-baru ini juga telah dibuka lagi beberapa sekolah dasar dan sekolah-sekolah kejuruan.

(27)

sebagai guru di sekolah-sekolah Asoke, mengajar berbagai jenis pelajaran dari Buddhisme sampai Bahasa Inggris dan Matematika.

Sekolah Samma Sikkha selalu berada dalam sebuah proses perubahan yang konstan, seiring dengan bergabungnya guru-guru baru yang ingin melakukan perubahan terhadapnya sesuai dengan visi-visi pribadi mereka. Para siswa di sini belajar untuk menjadi orang yang tangguh dan dipersiapkan dengan baik untuk mempertahankan hak-hak dan kepentingan-kepentingannya. Para siswa melakukan pertemuan rutin dimana mereka belajar mendiskusikan masalah, menawarkan solusi dari konflik dan mengambil tanggung jawab tertentu atas apa yang telah mereka perbuat dan atas perbuatan teman-temannya. Proses ini didukung oleh para guru.

Beberapa siswa meninggalkan sekolah-sekolah Asoke dengan beragam alasan. Mereka yang tinggal, sering kali tinggal di komunitas Asoke bahkan setelah lulus. Beberapa melanjutkan ke sekolah-sekolah kejuruan di pusat-pusat Asoke, beberapa melanjutkan studinya di “Universitas” Asoke (Sammasikkhalaya Wang Jiwit) atau di universitas-universitas terbuka seperti Universitas Ramkhamhaeng. Sangat sedikit yang meninggalkan komunitas secara permanen, umumnya mereka tinggal berdekatan secara geografis maupun spiritual.

Sekolah-sekolah Asoke menggunakan pendekatan holistik terhadap pendidikan dimana pengetahuan teoritis diimbangi dengan keterampilan praktis seperti berkebun, memasak, membersihkan, memproduksi dan menjual barang, memperbaiki mobil dan mesin-mesin, menjahit, dan keperawatan. Pusat-pusat Asoke saat ini juga melatih “dokter-dokter tanpa alas kaki” mereka sendiri bekerja sama dengan salah satu rumah sakit di timur laut.

Sekolah-sekolah Asoke adalah tempat bagi para praktisi awam menunjukkan pengabdiannya, yang dianggap sebagai bagian yang penting dari Buddhisme Asoke. Mendanakan uang ke vihara-vihara atau yayasan-yayasan Asoke bukanlah hal yang dipaksakan. Para pengunjung yang baru pertama kali datang tidak diperkenankan menyumbangkan uangnya sebelum mereka mengunjungi vihara sebanyak tujuh kali dan mengerti ajaran-ajaran vihara tersebut. Bekerja untuk vihara jauh lebih berharga daripada dana materi apapun, sebab kerja dianggap sebagai latihan spiritual.

4.3 Nibbana – sekarang!

(28)

Mengabdi dan bekerja bagi vihara berasal dari ajaran Asoke tentang pencerahan atau Nibbana. Pencerahan adalah tujuan tertinggi semua Buddhis, tapi di banyak negara Buddhis, pencerahan umumnya dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh seorang umat awam. Karena alasan ini, seorang peneliti berkebangsaan Amerika dengan spesialisasi dalam Buddhisme Burma, Melford Spiro membagi praktek Buddhis menjadi dua kategori yang berbeda: Buddhisme Karmis dan Buddhisme Nibbanis. Buddhisme Karmis berupaya untuk memperbaiki karma seseorang di kehidupan ini dan masa datang, sedangkan Buddhisme Nibbanis ditujukan hanya untuk para bhikkhu. 9

Interpretasi Asoke telah memperjelas konsep tersebut dengan membagi Nibbana menjadi Nibbana “kecil” dan “besar” (Parinibbana). Nibbana kecil ada di sini dan saat ini serta dapat diraih dengan menyingkirkan kekotoran-kekotoran batin (Kilesa). Di kehidupan sekarang ini, Nibbana ditandai dengan kondisi batin. Pencapaian ke arah Nibbana diraih melalui tahapan-tahapan tertentu, yang dapat diraih seorang Buddhis melalui perjuangan mereka sendiri.

Di dalam ajaran Buddhis arus besar tahapan-tahapan ini dilihat sebagai langkah-langkah dari perjalanan panjang beberapa kelahiran kembali yang berulang-ulang (Samsara). Tahap pertama adalah Sotapañña, pencapai tahap ini akan menjadi arahat setelah menjalani tujuh kali kelahiran. Tahap selanjutnya adalah Sakadagami, orang yang hanya akan terlahir satu kali lagi, seseorang yang telah menghancurkan bentuk-bentuk lanjutan dari kenikmatan-kenikmatan sensual dan kebencian. Tahap selanjutnya adalah Anagami, orang yang tidak terlahir kembali, dan tahapan tertinggi adalah arahat, yang akan memasuki Nibbana saat ia meninggal.10

Seluruh pengikut Asoke didorong agar berusaha sekuat tenaga untuk tercerahkan. Berdasarkan interpretasi Asoke, tahapan-tahapan ini dapat diraih pada kehidupan ini: tahapan terendah Sotapañña mensyaratkan seseorang harus bebas dari enam sifat buruk: kecanduan, berkeliaran pada saat yang tidak pantas, mengunjungi hiburan-hiburan, berjudi, bergaul dengan teman-teman yang jahat dan kemalasan. Sebagai tambahan, orang itu juga harus mampu menjalankan lima sila – tidak membunuh, mencuri, berbuat asusila, berbohong dan menggunakan zat-zat terlarang. Seseorang tersebut juga harus memberi penghormatan terhadap “Tri Ratna” yakni menjadi praktisi Buddhis yang baik yang menghormati Buddha, Dhamma dan Sangha. Menurut interpretasi Asoke bahkan seorang perumah tangga pun dapat melatih diri dan mencapai Sotapañña. Untuk melatih diri dengan cara bekerja di vihara memberikan seseorang kesempatan untuk meraih Nibbana tingkat Sotapañña.

9 Melford Spiro 1970. Michael Ames menjelaskan tentang laukika dan lokuttara sebagai orientasi dunia

ini dan dunia lain dalam Buddhisme. Ames 1964.

10

(29)

Tahap selanjutnya, Sakadagami, dapat dicapai dengan cara membebaskan diri dari nafsu keinginan dan kemarahan. Ia harus dapat menjalankan delapan Sila. Hal ini mensyaratkan seseorang dapat, pertama-tama, menjalankan lima Sila, dan lebih lanjut mensyaratkan seseorang baik laki maupun perempuan mengurangi jatah makan hariannya, menghindari bernyanyi, menari, dan bersolek serta menghindari tidur di tempat yang tinggi dan sofa. Sila ketiga dalam kasus ini mensyaratkan kehidupan selibat (tidak berumah tangga dan tidak melakukan hubungan seksual*).

Tahap selanjutnya adalah Anagami, saat seseorang telah bebas dari semua urusan-urusan keduniawian, seseorang tidak merasa tergoda oleh kesenangan-kesenangan duniawi dan kejadian-kejadian duniawi tidak memberikan dampak bagi dirinya. Orang di level ini tetap memiliki sedikit kekotoran batin di dalam pikirannya, tapi kekotoran batin ini tidak tampak di luar. Tahapan akhir adalah Arahat, saat seseorang telah benar-benar terbebas dari konsep “Aku”, dan dapat bekerja untuk kebahagiaan orang lain karena ia telah mengatasi egonya. Tahap ini adalah Nibbana, yang merupakan kondisi batin, dimana seseorang tidak memiliki ke-aku-an, kemarahan, keserakahan dan kebodohan batin.11

Konsep Nibbana dalam ideologi Asoke berbeda dengan ide umum dari Buddhis Thailand. Secara tradisonal Nibbana dideskripsikan sebagai sesuatu yang sangat jauh, tak terbayangkan, dan sulit dijangkau. Hanya para bhikkhu yang memiliki kesempatan nyata untuk mencapai nibbana. Umat awam tidak tidak berorientasi pada pencapaian nibbana, tapi mereka berkonsentrasi pada pengumpulan jasa (bun) agar dapat terlahir pada kondisi sosial ekonomi yang menyenangkan di kehidupan mendatang. Kelompok Asoke mengajarkan bahwa nibbana dapat dicapai di kehidupan ini sebab ia merupakan kondisi pikiran. Nibbana bukanlah sesuatau yang bersifat supranatural atau dunia lain. Tercerahkan berarti menjadi damai dan tenang serta tidak memiliki sifat mementingkan diri sendiri.

Kesimpulan

Kelompok Asoke telah berhasil menciptakan komunitas desa yang sangat sehat dan bermanfaat di wilayah-wilayah termiskin di Thailand.

Desa-desa tersebut telah berhasil untuk mandiri atau berswasembada dalam hal makanan, komoditas rumah tangga seperti shampo, deterjen dan obat-obatan herbal. Sebagian besar barang-barang mahal dimiliki secara kolektif dan uang dikumpulkan melalui berbagai yayasan untuk investasi-investasi baru.

Desa-desa Asoke telah menjadi percontohan bagi pemerintah daerah dan semua pusat-pusat Asoke terlibat dalam pelatihan ribuan kaum tani Thailand dalam pertanian organik, swasembada ekonomi, dan etika Buddhis.

(30)
(31)

REFERENSI

(Baca juga Buku-buku tentang Pergerakan Asoke)

Ames, Michael (1984) Magic – Animism and Buddhism. A structural analysis of the Sinhalese religious system. Journal of Asian Studies Vol. XXIII. Pp. 21-51.

Heinze, Ruth-Inge (1977) The Role of the Sangha in modern Thailand.

California.

Insigth into Santi Asoke III (1992) Unpublished manuscript. 120 pp. Bangkok.

Rigg, Jonathan (1997) Southeast Asia, the human landscape of modernization and development. Routledge. London.

Schumacher, E. F. (1973) Small is beautiful: a study of economics as if people mattered. Special edition: 25 years laater…with commentaries. Hartley&Marks, Vancouver 1999.

(32)

DAFTAR BUKU DAN ARTIKEL TENTANG GERAKAN ASOKE

Apinya Fuengfusakul (1993) Empire of Crystal and Utopian Commune: Two types of contemporaary Theravada reform in Thailand. Sojoum Volume 8, Number 1, pp. 153-183.

Heikkilä -Horn, Marja-Leena (1997) Buddhism with Open Eyes. Belief and Practice of Santi Asoke. Fah aphai, Bangkok.

Jackson, Pter (1989) Buddhism, Legitimation, and Conflict. The political functions of urban Buddhism. ISEAS. Singapore.

Olson, Grant (1983) Sangha Reform in Thailand: Limitation, Liberation and the Middle Path. Chapter VII. The people of Asoke: Purity Through Strict Discipline and Vegetables. Unpublished Ma-Thesis May 1983, University of Hawaii.

Suwanna Satha-anand (1990) Religious Movements in Contemporary Thailand. Buddhist struggles for modern revelance. Asian Survey Vol. XXX, No 4, April 1990, pp. 395-408.

Swearer, Donald K. (1991) Fundamentalistic Movements in Theravada Buddhism. In Marty, Martin E. & R. Scott Appleby (eds) Fundamentalism Observed. Chicago. Pp. 628-690.

Taylor, Jim L. (1990) New Buddhist Movements in Thailand: An ‘Individualistic Revolution’. Reform and Political Dissonance. Journal of Southeast Asian Studies Vol XXI, No 1 March 1990, pp. 135-154.

Referensi

Dokumen terkait

Data primer diperoleh dengan cara pengambilan langsung di lapangan (data oseanografi) dan wawancara untuk memperoleh data harga-harga yang digunakan dalam analisis kelayakan

Dengan bertambahnya motor unit maka kekuatan ototpun akan ikut meningkat, pada perubahan panjang otot dimana pada saat otot berkontraksi meman-jang terdapat kekuatan maksimum dari

Dengan memanjatkan puji syukur k Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, pada kesempatan ini Sekolah Pascasarjana telah menerbitkan buku kumpulan abstrak Program Magister dan Doktor tahun

Setelah data - data yang ditemukan dianalisis dan dijelaskan menurut konsep- konsep yang ada, maka langkah selanjutnya adalah menyandingkan dengan teori-teori yang

Dari  pertimbangan diataslah maka perlu diciptakan sebuah sistem baru dimana sistem ini nantinya dapat mempermudah calon pembeli mengetahui informasi baru tentang

16 Thailand-Watnatham Islam School Pomong LN 17 Thailand-Wiang Suwan Witya Nikhorn School LN 18 Thain-Prathipsars IslamWitya Mulnithi School LN. 19 MA AL MA`ARIF

masalah-masalah/isu-isu strategis, pemilihan strategi alternatif, pengambilan BALANCED SCORECARD Pelanggan Proses Internal Pertumbuhan Keuangan Dipetakan Diterjemahkan

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan Tangguh Bencana ini bahwa setelah di laksanakannya sosialisasi serta simulasi bencana, masyarakat terutama kelompok