• Tidak ada hasil yang ditemukan

Budaya Konstitusi dalam UUD 1945 Perubah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Budaya Konstitusi dalam UUD 1945 Perubah"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BUDAYA KONSTITUSI (

CONSTITUTIONAL

CULTURE

) DALAM UUD 1945 PERUBAHAN

DIKAITKAN DENGAN GAGASAN PERUBAHAN

KELIMA UUD 1945

1

Indra Perwira2, Susi Dwi Harijanti3, Bilal Dewansyah4

Abstract

The background of this research relates to a number of constitutional problems resulted from the previous constitutional amendments occurred in 1999-2002 by which encouraging many parties to conduct further amendment. The purposes of this research are to explore constitutional culture of the Amended 1945 Constitution and to analyze the relation between such cultures with the possibility to conduct the fifth amendment.

This research uses juridical and normative as well as juridical

historic approaches. Data of this research has been obtained through library research and online research in order to collect primary, secondary as well as tertiary legal resources. These data have been analyzed qualitatively.

1 Tulisan ini merupakan intisari dari penelitian yang didanai dari dana DIPA Fakultas Hukum Unpad tahun 2009. Tim Peneliti mengucapkan terima kasih kepada pihak Fakultas Hukum Unpad yang telah membiayai penelitian ini. Kami juga berterima kasih kepada dua orang mahasiswa Fakultas Hukum Unpad dan Pegiat PAKTA Padjadjaran, Ezra Haleluyah dan Wicaksana Dramanda, atas

pekerjaan yang sangat baik dalam mengklasifikasi pendapat-pendapat pihak –

pihak yang terlibat dalam proses perubahan pertama - keempat UUD 1945. 2 Ketua Tim Peneliti, Dosen FH Unpad, Ketua PSKN FH Unpad.

3 Anggota Tim Peneliti, Dosen FH Unpad, Direktur Paguyuban Hak Asasi Manusia (PAHAM) FH Unpad.

(2)

The study provides a number of conclusions. Firstly, constitutional culture of the Amended 1945 Constitution has been

reactive in nature which reflecting through process of the constitutional amendment. During the process, there were tendencies to amend almost all constitutional subject matters using system of addendum, which mostly appropriate for partial constitutional amendments. As a result, this process of constitutional amendments have been carried with the absent of comprehensive grand design, the minimal of substantive public participation and the overlapping of many articles of the Constitution, particularly in matters of governmental and representative systems. Apart from the reactive cultures, this study has found positive cultures reflecting in the inclusion of a number of important constitutional articles, including the explicit constitutional supremacy, the more comprehensive human rights protection, the improvement of decentralization system through a wider autonomy, and the explicit principles of judicial independence

and judicial review. Secondly, the idea of a proposed fifth amendment

was a direct response over a reactive constitutional culture resulted from the first until the fourth amendments. Most critics directed to a number of weaknesses during the process of amendment, particularly in relation to the closed debates regarding the drafts of the amendments articles. Initially, the proposal for the need to conduct the fifth amendment was partial in nature as this proposal appeared from the DPD’s initiative in which it proposed amendment of a number articles on powers of the DPD. At the end, however, the DPD’s proposal has been expanded by academics having intention to make a new constitution based on a more comprehensive proposal. This study recommends that the proposed fifth amendment should be carried out prudently which will be based on a more comprehensive constitutional design. Furthermore, the process of amendment should involve in wider public participation avoiding closed debates by the elites.

(3)

Pendahuluan

Perubahan terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang dilakukan sebanyak 4 kali dalam kurun waktu 1999 sampai dengan 2002, telah mengubah sebagian besar batang tubuh (pasal-pasal) UUD 1945. Sebelum diubah, UUD 1945 terdiri dari 16 bab, 37 pasal, 49 ayat 4 pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat Aturan Tambahan, sedangkan setelah diubah 4 kali, UUD 1945 terdiri dari 21 bab, 73 pasal, 170 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan.5 Struktur UUD 1945 juga berubah yang semula terdiri dari Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan, setelah perubahan UUD 1945 terdiri dari Pembukaan dan Pasal-Pasal. Mengingat banyaknya pasal-pasal UUD 1945 yang telah diubah, Bagir Manan menyebutnya sebagai UUD 1945 baru.6 Sementara itu, dengan menguraikan jumlah pasal-pasal UUD 1945 yang telah diubah, Jimly Asshiddiqie menyimpulkan bahwa UUD 1945 hasil perubahan merupakan konstitusi baru.7

Dalam pelaksanaannya, UUD 1945 hasil perubahan juga ditanggapi dengan usulan perubahan kelima. Hal tersebut penah diajukan oleh anggota-anggota MPR yang merupakan anggota DPD. Namun demikian, pengajuan usul perubahan kelima terhadap UUD 1945 tersebut tidak dapat dilanjutkan karena dukungan anggota MPR yang tidak memenuhi ketentuan perubahan UUD 1945.8 Pada tataran akademis,

5 MPR-RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sekretariat MPR-RI, 2006), hlm. 42.

6 Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR Dalam UUD 1945 Baru, (Yogyakarta: FH UII Press, 2004).

7 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia ,(Jakarta: Konpress, 2005), hlm. 61.

(4)

gagasan perubahan kelima juga berkembang, misalnya dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional yang dilakukan oleh Komisi Hukum Nasional pada tahun 2008. Dalam buku Gagasan Amandeman Kelima UUD 1945 yang merupakan kumpulan tulisan para kontributor seminar tersebut, terdapat sejumlah gagasan perubahan kelima UUD 1945 yang mencakup masalah-masalah kekuasaan kehakiman, sistem pemerintahan, dan sistem perwakilan.9 Dalam hal ini Tim Peneliti memfokuskan pada pembahasan budaya konsitusi dalam UUD 1945 perubahan.10 Penelitian bermaksud membahas dua masalah: pertama, bagaimanakah budaya konstitusi dalam UUD 1945 Perubahan? Kedua, bagaimanakah persepsi terhadap Perubahan UUD 1945 dikaitkan dengan gagasan perubahan kelima UUD 1945?

Perspektif Teoritis: Konstitusi, Konstitusionalisme dan Budaya Konstitusi

K.C. Wheare mengatakan, bahwa: a constitution is indeed

the resultant of a parallelogram of forces – political, economic, and social – which operate at the time its adoption (suatu konstitusi adalah hasil dari pergulatan kekuatan-kekuatan baik politik, ekonomi, dan sosial, ketika konsitusi tersebut ditetapkan).11

215 oran. Dengan demikian, masih dibutuhkan 11 dukungan untuk memenuhi syarat minimal usulan amendeman Pasal 22D UUD 1945 (dukungan minimal 226 orang). Hingga pada tanggal 8 Agustus 2008, dukungan tersebut ditarik kembali oleh sebagian besar anggota DPR yang menyebabkan usul perubahan UUD 1945 tidak dapat diteruskan. Lihat Susi Dwi Harijanti, Miranda Risang Ayu, Reformasi Sistem Perwakilan Indonesia, Laporan Penelitian, (Bandung: Fakultas Hukum Unpad), 2008, hlm. 3.

9 Moh. Fajrul Falakh (ed), Gagasan Amandemen Kelima UUD 1945, (Jakarta: KHN, 2008).

10 Cheryl Saunders mengatakan bahwa “constitututional culture may be defined to include the assumptions that underlie a constitution and attitudes that affect its operation in practice”. Cheryl, Saunders, “A Constitutional Culture in Tradition”, dalam Miroslow Wyrzykowski (ed), Constitutional Culture, (Warsaw: Institute of Public Affairs, 2000), hlm. 37.

(5)

Adanya konstitusi tidak terlepas dari ide pembatasan kekuasaan atau paham konstitusionalisme, walaupun pada awalnya istilah konstitusi merupakan istilah “netral” yang berkembang dalam tradisi kekaisaran Romawi untuk menyebut produk legislasi yang ditetapkan Kaisar.12 Gagasan konstitusionalisme menurut Carl J. Friedrich adalah:

“Pemerintah merupakan suatu kumpulan aktifitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi yang tunduk kepada beberapa pembatasan yang dimaksud untuk memberi jaminan bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah13

Namun demikian, konstitusionalisme bukanlah konsep statis. Konstitusionalisme adalah suatu kesepakatan atau konsensus di antara rakyat. Jimly Asshiddiqie mengatakan, jika kesepakatan umum itu runtuh, maka runtuh pula kekuasaan negara yang bersangkutan, dan pada gilirannya perang saudara (civil war) atau revolusi dapat terjadi.14 Dalam konteks di atas, dapat diambil benang merah, bahwa konstitusi tidak sama dengan konstitusionalisme.15 Suatu

12 Jimly Asshiddiqie mengutip dari buku yang ditulis oleh Charles Howard McIlwain (Constitutionalism: Ancient and Modern (1947)), membahas panjang lebar mengenai istilah konstitusi, yang pada awalnya (constitution) dalam kekaisaran Romawi didgunakan sebagai istilah teknis untuk menyebut “the acts of legislation

by the Emperor”. Begitu juga di Inggris “Constitutions of Clarendon 1164” disebut oleh Henry II sebagai “constitutions”, “aviatae constitutions or leges, a recarditio vel recognition, yang menyangkut hubungan antara gereja dan pemerintahan negara pada masa pemerintahan kakeknya, yaitu Henry I. lihat Jimly Asshiddiqe, Konstitusi …., op.cit., hlm. 2 - 3.

13 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cetakan kelima belas, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama), 1993, hlm. 57.

14 Jimly Asshiddiqe, Konstitusi…, op.cit., hlm.25.

15 Seperti dikatakan oleh Anne Peters & Kluas Armingeon bahwa “Constitutionalism

(6)

negara yang memiliki konstitusi belum tentu menerapkan gagasan konstitusionalisme, tetapi “constitutionalism asks for a legitimate constitution” (konstitusionalisme menginginkan sebuah konstitusi yang terlegitimasi).16 Legitimasi tersebut tentu saja terkait dengan penerimaan norma-norma konstitusi oleh rakyat sebagai bagian dari proses demokrasi.17

Hal ini juga ditegaskan oleh Gagik Harutyunian, bahwa “….the Constitution and constitutionalism may not be viewed only

from the narrow legalistic perspective, in the context of pragmatic legal

relations or abstract notions”.18 Harutyunian menekan bahwa konstitusi dan konstitusionalisme adalah fenomena budaya (cultural phenomena), yang telah berakar dalam interdependent

value systems (sistem nilai yang saling bergantung sama lain), yang menawarkan pedoman bermasyarakat secara jelas, dan merupakan persepsi masyarakat yang komprehensif dan

Indiana Journal of Global Legal Studies 16:2, (Bloomington: Indiana University Maurer School of Law, 2009), hlm. 388.

16 loc.cit.

17 Helen Fenwick, Gavin Phillipson mengamati terdapat 2 tujuan konstitusi yang berkembang dari sejumlah pemikiran, yaitu untuk membatasi kekuasaan, dan untuk memastikan bahwa kekuasaan yang didapat berasal dari sumber yang sah (legitimate).Dengan kata lain, tujuan pertama menekankan pada cara penggunaan kekuasaan, dan tujuan kedua menekankan legitimasi sumber kekuasaan.Tujuan pertama, terkait dengan hakekat negara berdasarkan atas hukum (Rule of Law), dan pemisahan kekuasaan (separation of powers), sementara yang kedua berkaitaan dengan konsep legitimasi demokratis (democratic legitimacy). Selanjutnya, Helen Fenwick dan Gavin Phillipson mengamati sejumlah pemikiran yang memandang adanya pertentangan (tension) antara konsep negara berdasarkan atas hukum dan demokrasi. Lihat Helen Fenwick, Gavin Phillipson, Text, Cases & Materials On Public Law & Human Rights, Second Edition, (London: Cavendish Publishing Limited, 2003), hlm. 1. Pandangan tersebut, tidak menganggap negara berdasarkan hukum dan demokrasi sebagai konsep yang saling terhubung dalam paham konstitusionalisme yang telah berkembang. Namun demikian, kedua hal tersebut merupakan suatu kontinum di mana paham konstitusionalisme pada awalnya menginginkan pemerintahan yang terbatas, dan selanjutnya juga mensyaratkan bahwa norma-norma konstitusi harus mencerminkan kehendak rakyat melalui proses demokrasi.

(7)

tertanam di dalam pikiran (comprehensive and cognizance) . 19 Dalam konteks tersebut, Harutyunian menekankan pada budaya konstitusi (constitutional culture) dan pengaruhnya terhadap model dan strategi demokrasi konstitusional yang dipilih.20 Hal yang sama juga dikatakan oleh Peter Häberle, bahwa:

“Constitution is not limited to just being a set of legal

texts or a mere collection of laws, but that it expresses a certain degree of cultural development, a means of an entire people’s personal selfrepresentation,a mirror of their cultural legacy and the bedrock of their hopes and desires.”21

Cheryl Saunders mengatakan bahwa “constitutional

culture may be defined to include the assumptions that underlie a constitution and attitudes that affect its operation in practice”22

(budaya konstitusi adalah asumsi-asumsi (pemikiran) yang mendasari sebuah konstitusi dan perilaku yang mempengaruhi pelaksanan konstitusi tersebut dalam praktek). Budaya konstitusi merupakan hasil dari pengalaman sejarah, pemikiran filsafat yang dominan, dan keadaan sosial ekonomi.23 Selanjutnya, Saunders menekankan pada faktor kompleksitas budaya ketika sistem beberapa aspek ketatanegaraan negara tertentu ditransplantasi dari suatu negara ke jursidiksi negara lainnya.24

19 Ibid.

20 Harutyunan melanjutkan, “It is in this framework of complementarity that constitutional culture in its turn determines the choice of the model of constitutional

democracy and the strategy thereof”. Ibid.

21 Antonio María Hernández, Daniel Zovatto, Manuel Mora Y Araujo, Survey on Constitutional Culture Argentina: An Anomic Society, (Mexico: Universidad Nacional Autónoma de México - Asociacion Argentina De Derecho Constitucional - IDEA International, 2006), hlm. 9 - 10.

22 Saunders, Cheryl, “A Constitutional Culture in Tradition”, loc.cit, hlm. 37. 23 Ibid.

(8)

Proses transplantasi sistem ketatanegaraan yang dilembagakan dalam konstitusi dalam kaitannya dengan budaya konstitusi juga sangat ditentukan oleh peran perumus konstitusi. Seperti dikatakan oleh Wenzel bahwa:

“[t]he wise constitutional framer will thus choose a

second-best constitution that will stick, over an ideal

constitution that will fail. The wise constitutional framer

will understand and respect constitutional culture”25

(Perumus konstitusi yang bijak akan memilih konstitusi yang terbaik kedua (realistis) yang dapat dilaksanakan, dari pada konstitusi ideal yang akan gagal dilaksanakan. Perumus konstitusi yang bijak akan memahami dan menghormati budaya konstitusi).

Dalam hal transplantasi sistem ketatanegaraan, dapat saja perumus konstitusi mengidealkan konstitusi negara tertentu. Namun demikian, hal tersebut dapat pula berakibat pada kegagalan atau kekurangan pelaksanaan konstitusi jika tidak mempertimbangkan budaya konstusi yang berkembang. Dengan demikian, transplantasi sistem ketatanegaraan yang dilakukan oleh para perumus konsitusi harus secara tepat mempertimbangkan antara model konstitusional ideal dengan budaya masyarakat yang berkembang secara cerminan kebutuhan lokal secara politik di suatu negara.

Kegagalan mengidentifikasi budaya konstitusi yang berkembang akan berakibat pada penerimaan masyarakat pada nilai-nilai konstitusional yang diharapkan dari suatu konstitusi. Seperti dikatakan oleh Wenzel26 bahwa konstitusi secara formal harus sesuai dengan budaya konstitusi yang

25 Nicolay Wenzel dalam G. Stolyarov, “Creating Constitutional Culture: A Mechanism for Establishing a New Free Society and Constitutional Government”,

2008, hlm. 17.

(9)

mendasarinya, jika keduanya tidak sesuai (mismatched), akan terjadi kompromi. Jika keduanya tidak sesuai secara mendasar (radically), maka akan terjadi penolakan secara informal terhadap konstitusi formal.

Hasil Penelitian

Budaya Konstitusi Dalam UUD 1945 Perubahan

Budaya konstitusi merupakan asumsi-asumsi yang mendasari pembentukan konstitusi dan yang mempengaruhi pelaksanannya.27 Dalam konteks, perubahan UUD 1945, maka asumsi-asumsi tersebut dapat dilihat dari pandangan-pandangan anggota MPR yang terlibat dalam proses tersebut. Namun demikian, tidak selalu budaya konstitusi yang melatarbelakangi pembentukan konstitusi dapat terlembagakan dengan baik dalam naskah konstitusi. Menurut Wenzel, hal tersebut bergantung kepada sikap para perumus UUD.28 Artinya, para perumus harus menangkap persepsi dan asumsi-asumsi yang berkembang dalam masyarakat untuk dibahas dan dipertimbangkan sebagai suatu desain yang utuh yang dirumuskan dalam konstitusi.

Seperti telah dibahas pada sub bab sebelumnya, tuntutan gerakan reformasi untuk melakukan perubahan UUD 1945 lebih banyak didasari oleh pandangan bahwa UUD 1945 selalu menghasilkan pemerintahan yang otoriter karena pemberian kekuasaan yang besar terhadap eksekutif. Gerakan reformasi yang menuntut perubahan di segala bidang dapat dikatakan gerakan yang revolusioner karena tuntutan diajukan pada hal-hal yang fundamental, termasuk tuntutan perubahan UUD 1945.29 Hal tersebut direspon oleh MPR dengan melakukan

27 Lihat pengertian constitutional culture (budaya konstitusi) menurut Saunders, dalam Cheryl Saunders, loc.cit, hlm 37.

28 Lihat Nicolay Wenzel dalam G. Stolyarov, loc.cit., hlm. 7.

29 Istilah “reformasi” dan “revolusi” memiliki keterkaitan. Dalam The

(10)

proses perubahan terhadap UUD 1945.

Namun demikian, proses perubahan UUD 1945 tersebut mencerminkan budaya konstitusi yang reaksioner. Tuntutan yang berkembang di masyarakat ditanggapi dengan respon reaksioner yang parsial dalam proses perubahan UUD 1945, walaupun tidak semua tuntutan dan masukan diakomodasikan.

Berdasarkan diskusi secara mendalam, dan setelah mendengar masukan dari pakar hukum tata negara, PAH III menyepakati langsung melakukan perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah ditetapkan berlaku dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.30 Pada akhirnya sistem perubahan yang digunakan adalah addendum di mana model addendum sendiri diadopsi dari sistem perubahan (amendment) Konstitusi Amerika Serikat.31

reformasi di atas, tidak terdapat perbedaan signifikan. Hanya saja, pengertian kedua

lebih memberikan pengertian yang tegas antara reformasi sebagai pembentukan baru (penggantian) dengan reformasi sebagai perbaikan. Artinya, reformasi dapat berarti penggantian hal-hal yang fundamental, atau hanya sekedar perubahan bagian-bagian yang tidak fundamental. Semnetara itu, revolusi seperti dikatakan dalam Black’s Law Dictionary, adalah ”an overthrow of a government, usually resulting in fundamental political change; a successful rebellion”. Arti revolusi dalam kamus di atas, tidak hanya menunjukkan revolusi sebagai sebuah perubahan fundamental. Dalam kamus hukum di atas, arti kata revolusi dikaitkan dengan cara-cara yang tidak biasa , yakni a succssesful rebellion. Sri Soemantri dalam Susi Dwi Harijanti, Miranda Risang Ayu, op.cit., hlm. 36 – 37.

30 Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat, Panduan Pemasyarakatan …, op.cit., hlm. 12.

(11)

Yang perlu dicermati, sejak awal Sidang Tahunan MPR 1999, sebagian besar fraksi menginginkan perubahan yang menyeluruh terhadap UUD 1945, walaupun dilakukan secara bertahap di mulai dengan perubahan kelembagaan negara, khususnya kekuasaan ekskutif32 dan dilanjutkan dengan lembaga-lembaga negara lainnya.33 Sementara itu, sistem addendum yang digunakan tidak sesuai dengan gagasan perubahan UUD 1945 secara menyeluruh di kalangan MPR. Sistem amendment di Amerika Serikat tidak dimaksudkan untuk melakukan pembaruan UUD, melainkan mengubah ketentuan-ketentuan yang dianggap perlu diubah. Dari 27

32 Berdasarkan kesepakatan dasar tersebut, PAH III melakukan pembahasan materi rancangan perubahan UUD 1945. Pada masa tersebut, karena keterbatasan waktu, para anggota PAH III juga bersepakat untuk membahas perubahan UUD 1945 secara bertahap sesuai dengan prioritas. Sikap ini antara lain disampaikan dari perwakilan Fraksi Partai Golkar (F-PG): Andi Mattalata, Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB): Yusuf Muhammad, Fraksi Reformasi: Hatta Radjasa, Fraksi Partai Bulan Bintang (F-PBB): Hamdan Zoelva, Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia (F-KKI): Antonius Rahail, Fraksi Partai Demokrasi Kasih Bangsa (F-PDKB): Gregorius Seto Harianto, Fraksi TNI/Polri: Hendy Tjaswadi, Fraksi Utusan Golongan (F-UG): Valina Singka Subekti, Fraksi Partai Daulat Ummah (F-PDU): Asnawie Latief, sementara Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), melalui juru bicaranya, Aberson Marle Sihaloho, mengusulkan inventarisasi permasalahan pasal per pasal. Mengenai materi perubahan yang menjadi prioritas, walauapun tidak semua anggota PAH III mengungkapkannya secara eksplisit, namun sebagian besar setuju untuk mengubah materi UUD 1945 yang berkaitan dengan kelembagaan negara, khususnya, kekuasan eksekutif terlebih dahulu. Beberapa fraksi yang menegaskan perlunya memberikan prioritas terhadap perubahan ketentuan kelembagaan negara dan dilanjutkan dengan materi lain, yaitu: F-KB, F-PBB, F-KKI, F-PDKB, F-TNI/ Polri, F-PDU. Ibid., hlm. 97 – 105.

(12)

amandment Konstitusi Amerika serikat yang telah dilakukan hanya 10 perubahan pertama (first ten amandments) yang dilakukan dengan menambah 10 ketentuan baru yang berkaitan dengan hak-hak sipil warga negara, selebihnya hanya dilakukan penambahan beberapa ayat (section) dalam setiap perubahan. Dalam hal ini, MPR kekeliruan ketika mentransplantasi sistem perubahan tersebut dalam perubahan UUD 1945.

Dalam prakteknya pemilihan sistem perubahan secara reaksioner tersebut mempengaruhi pembahasan perubahan UUD 1945, dari perubahan pertama hingga perubahan keempat. Misalnya, Perubahan Pertama UUD 1945 dilakukan untuk membatasi kekuasaan Presiden, senada dengan tuntutan reformasi. Dalam pembahasan di PAH III BP MPR, Ketua PAH III, Harun Kamil, menyimpulkan pendapat-pendapat fraksi-fraksi, sebagai berikut: “…tentang pembatasan kekuasaan penjelasan, tugas dan wewenang Presiden ..karena selama ini yang menjadi biang kerok masalah Presiden kan akhirnya pertama kali Presiden”34.

Pada akhirnya, Perubahan Pertama UUD 1945 menghasilkan pasal-pasal yang membatasi kewenangan Presiden dan penambahan kewenangan DPR.35 PAH III telah menyepakati bahwa perubahan UUD 1945 mempertegas sistem Presidensial. Namun demikian, kekuasaan Presiden dalam membentuk UU tidak berubah mengikuti prinsip sistem Presidensial, di mana kekuasaan membentuk UU ada dipegang oleh legislatif.36 Sementara itu, penambahan kewenangan DPR dimasukkan dalam pasal-pasal yang masuk sebagai kekuasaan presiden dan dalam kewenangan

34 Ibid., hlm. 107.

35 Lihat misalnya, Pasal 13 Perubahan Kedua UUD 1945.

(13)

yang sering disebut dengan hak prerogatif.37Dengan istilah “pertimbangan DPR”, pada hakekatnya hal tersebut tidak mengikat keputusan Presiden. Hal yang cukup signifikan dalam Perubahan Pertama UUD 1945 adalah mengenai pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden,38 walaupun sebenarnya hal tersebut sudah diatur dalam Tap MPR, mendahului perubahan UUD 1945. Dengan demikian, Perubahan Pertama UUD 1945 yang ditujukan untuk melakukan pembatasan kekuasaan eksekutif, tidak secara optimal melembagakannya dalam rumusan baru UUD 194.

Materi perubahan kedua, lebih luas dari perubahan pertama karena masukan dari masyarakat dan para pakar yang diundang dalam rapat PAH I dan tuntutan gerakan reformasi 199839, walaupun materi-materi tersebut sebagian besar tidak tercakup dalam 5 kesepakatan dasar sebagaimana telah ditetapkan pada masa PAH III. Hal tersebut di satu sisi mencerminkan bahwa MPR responsif terhadap masukan yang ada, namun di sisi lain menunjukkan MPR tidak memiliki desain dasar perubahan UUD 1945 yang jelas.

Budaya konstitusi yang reaksioner baru terlihat dalam proses perubahan ketiga UUD 1945, terkait dengan sistem perubahan, di mana Tim Ahli PAH I BP MPR yang berpendapat perubahan yang telah dilakukan tidak dapat

37 Misalnya, dalam hal pengangkatan duta dan konsul, penerimaan duta negara lain, dan pemberian amnesty dan abolisi, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR. Lihat Pasal 13, Pasal 14 ayat (2) Perubahan Kedua. Misalnya dalam hal penerimaan duta negara lain, terkait dengan kekuasaan diplomatik yang menurut Strong merupakan salah satu kekuasaan Presiden terkait dengan hubungan luar negeri. C.F. Strong, Modern Political Constitution, (London: ELBS and Sidgwick and Jackson Ltd, 1966), hlm.233.

38 Lihat Pasal 7 Perubahan UUD 1945.

(14)

disebut addendum melainkan pembentukan konstitusi baru.40

Terhadap pendapat Tim Ahli tersebut, Ketua PAH I, Jakob Tobing, juga membenarkan hal tersebut, namun dengan alasan bahwa perubahan UUD 1945 sudah dilakukan, maka proses perubahan tersebut tetap dilanjutkan, tanpa mempersoalkan istilah addendum atau UUD baru.41

Dari pendapat-pendapat di atas tercermin, walaupun Tim Ahli sudah mengingatkan bahwa yang dilakukan adalah pembentukan UUD baru, namun PAH I tetap melanjutkan proses perubahan ketiga, sebagai kelanjutan perubahan pertama dan kedua. Persoalan sistem yang demikian, juga menjadi hambatan bagi Tim Ahli untuk melakukan tugasnya. Nazaruddin Sjamsuddin, anggota Tim Bidang Politik menyatakan kesulitan pembicaraan dalam rapat Bidang Politik karena harus mengacu pada materi rancangan perubahan UUD 1945 dari PAH I, padahal terdapat usulan dari Tim Bidang Politik yang perlu dimasukkan, namun tidak ada dalam kerangka rancangan perubahan yang dipersiapkan badan pekerja.42 Pada akhirnya, terlepas dari persoalan tersebut, proses perubahan ketiga tetap dilanjutkan dengan acuan rancangan perubahan UUD 1945 yang dihasilkan oleh PAH I. Artinya, MPR tetap meneruskan perubahan UUD 1945 tanpa desain perubahan yang jelas.

Dalam pendapat akhir fraksi menanggapi hasil kerja Komisi A terhadap rancangan perubahan ketiga UUD1945 dari BP MPR, F-PDU melalui juru bicaranya Asnawi Latief mengatakan, visi kita tentang sistem ketatanegaraan yang hendak kita bangun yang telah mendapat persetujuan bersama, sementara di sisi lain, kita sudah melangkah jauh dengan menyusun detil per detil perubahan terhadap

40 Hal tersebut juga didukung oleh Maswadi Rauf, Koordinator Bidang Politik Tim Ahli PAH I. Ibid., hlm. 324 – 325.

(15)

Undang-Undang 1945 itu sendiri. Adanya keterbatasan waktu pembahasan yang tersedia pada Sidang Tahunan Majelis ini telah membuat Majelis tidak mungkin mampu melaksanakan tugasnya dengan baik apa lagi sempurna.”43

Pandangan di atas, di satu sisi tepat dalam hal skema perubahan yang awalnya dimaksudkan melakukan parsial melalui teknik addendum yang kemudian menjadi perubahan seluruh pasal-pasal UUD 1945. Namun demikian, di sisi lain, visi ketatanegaraan yang telah disepakati bersama tidak tergambar sejak awal perubahan pertama UUD 1945 dengan adanya 5 kesepakatan dasar dalam PAH III. Visi ketatanegaraan tersebut dibahas secara “mengalir” dalam beberapa rangkaian perubahan UUD 1945, setidaknya sampai perubahan ketiga UUD 1945. Mungkin ini yang disebut Jimly Asshiddiqie bahwa paradigma perubahan UUD 1945 itu baru diketemukan belakangan. 44 Dengan demikian, kesepakatan visi ketatanegaraan yang demikian, mengakibatkan perubahan pasal per pasal dari seluruh pasal UUD 1945 tidak dapat terhindarkan. Hal tersebut terjadi hingga proses perubahan keempat UUD 1945.

Hal-hal di atas mencerminkan bahwa kekeliruan MPR memilih sistem perubahan untuk mengubah UUD 1945, menyebabkan perubahan yang terjadi tidak memiliki desain yang jelas. Hal tersebut menyebabkan pasal – pasal yang telah ditetapkan dalam masa perubahan tertentu, dipertanyakan kembali pada masa perubahan lainnya. Misalnya, dalam hal keterlibatan presiden dalam pembentukan UU yang telah ditetapkan dalam Perubahan Pertama dan Kedua UUD 1945.45

Begitu pula dalam hal keterkaitan antara satu subsistem ketatanegaraan dengan subsistem ketatanegaraannya

43 Ibid., hlm. 339 – 340. 44 Kompas, 2 Juli 2002.

(16)

lainnya. Misalnya, dalam hal sistem pemerintahan dengan sistem perwakilan, terkait dengan kekuasaan Presiden dalam pembentukan UU yang diubah pada perubahan pertama dan kedua, dengan pembahasan kekuasaan DPD pada masa perubahan ketiga. Fraksi – fraksi ada yang berpendapat setuju baik secara eksplisit maupun implisit dengan sistem perwakilan dua kamar,46 ada mempertanyakan sistem perwakilan hasil rumusan PAH I,47 ada pula yang secara eksplisit mengusulkan pembatasan peran DPD.48 Sistem bikameral juga direkomendasikan oleh Tim Ahli PAH I BP MPR 2000- 2001 dengan menempatkan MPR sebagai sidang gabungan antara DPR dan DPD. Konsekuensinya, kekuasaan legislatif dipegang oleh DPR dan DPD.49

46 F. Reformasi melalui juru bicaranya Umirza Abidin dalam penyampaian pendapat akhir fraksi terhadap hasil kerja Komisi A dalam Rapat Paripurna Sidang Tahunan MPR 2001, mengatakan: “Saudara Pimpinan dan anggota majelis yang terhormat, hal baru yang kami harapkan dan sepakati adalah perubahan sistem kekuasaan legislatif atau parlemen menjadi bikameral. Majelis akan terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan…Sesi gabungan keduanya disebutkan Majelis Permusyawaratan Rakyat….”. Sementara itu, F-PKB melalui juru bicaranya Hamdan Zoelva mengatakan, “Perubahan struktur Majelis yang terdiri dari DPR dan DPD, di mana semua anggota dipilih dalam Pemilihan Umum adalah sebuah sistem yang ideal yang hendak kita bangun”. ibid., hlm. 390, 392. 47 F-KKI melalui juru bicaranya Hamid Mappa mengatakan, “Dalam rancangan terlihat suatu keinginan untuk melakukan suatu perubahan terhadap lembaga perwakilan rakyat/ lembaga legislatif dan sistem satu kamar, unicameral atau unicameral plus menjadi dua kamar bicameral… Dari rancangan tersebut belumlah cukup jelas apakah MPR yang dimaksud merupakan lembaga tetap permanent body atau suatu forum Sidang Tahunan game session antara DPD dan DPR. Yang mana MPR merupakan lembaga tetap maka tentu saja bukan sistem bicameral melainkan sistem dua setengah kamar atau bahkan sistem tiga kamar tricameral. Bilamana MPR dimasukkan sebagai Sidang Tahunan maka tentulah perlu dijelaskan hal apa DPD dan DPR melakukan Sidang Tahunan dan dalam hal apa pula melakukan si-dang masing-masing”. Ibid., hlm. 394.

48 F-PG, melalui juru bicaranya T.M. Nurlif mengatakan, “DPD diposisikan sebagai bagian dari sistem perwakilan yang tentunya berbeda dengan DPR di dalam menjalankan fungsi legislatifnya. DPD hanya memiliki fungsi legislasi dan pengawasan terbatas, termasuk fungsi anggaran yang hanya member pertimbangan terhadap Rancangan APBN”. Ibid., hlm. 385.

(17)

Tidak adanya desain yang jelas dalam proses perubahan, hingga masa perubahan keempat UUD 1945 menyebabkan persoalan – persoalan penting yang menjadi perdebatan tidak kesepakatan secara mufakat. Misalnya, keberadaan Utusan Golongan diselesaikan melalui voting terhadap beberapa alternatif rumusan perubahan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang mengatur komposisi MPR.50

Adanya UUD 1945 dalam satu naskah yang disepakati dalam proses akhir perubahan keempat UUD 1945, mencerminkan bahwa MPR secara diam-diam mengakui bahwa perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan adalah pembentukan konstitusi baru, bukan addendum. Hal ini disebabkan, perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan telah mengubah, bahkan menambah sebagian besar ketentuan-ketentuan UUD 1945.

Di samping budaya konstitusi yang reaksioner, hasil perubahan UUD 1945 juga mencerminkan beberapa karakter budaya konstitusi lain yang positif. Pertama, adanya penegasan prinsip supremasi konstitusi dalam melembagakan kedaulatan rakyat. Hal tersebut tercermin dalam Pasal 1 ayat (3), yang menegaskan bahwa: kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang- Undang Dasar. Ketentuan tersebut merupakan respon dari ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan di mana ditafsirkan kekuasaan yang tertinggi ada di tangan MPR (Oie Gezamte Staatgewalt Liergi allein der Majelis).51 Istilah “sepenuhnya” menurut para anggota MPR yang terlibat proses perubahan UUD 1945 menimbulkan persepsi bahwa

1945. Ide tersebut juga pernah diontarkan oleh Ruslan Abdulgani dalam rapat PAH I BP MPR 1999 – 2000 (perubahan kedua) yang mengatakan lembaga perwakilan di masa mendatang “satu DPR, satu Senat.. kita nanti mempunyai bicameral system…”. Ibid., hlm. 175, 328, 332, 343.

50 Ibid., hlm. 542.

(18)

kedaulatan rakyat telah beralih kepada MPR.52 Dalam analisis akademik, misalnya yang kemukakan oleh Bagir Manan, tentang kedaulatan rakyat dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, menyebabkan badan perwakilan lain, seperti DPR tidak dipandang melakukan kedaulatan rakyat.53

Sebagai gantinya, kedaulatan rakyat tidak dipegang oleh lembaga (supremasi MPR), melainkan berdasarkan UUD sesuai dengan paham konstitusionalisme.54 Dengan rumusan yang baru, kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut prinsip supremasi konstitusi, yaitu dengan mengakui UUD 1945 sebagai pedoman dalam melaksanakan kedaulatan rakyat.55 Konsekuensi dari paham kedaulatan rakyat berdasarkan konstitusi adalah bahwa pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui lembaga-lembaga negara tidak dapat bertentangan dengan UUD 1945.

Kedua, penekanan pada perluasan jaminan HAM. Perluasan pasal – pasal HAM dalam UUD 1945 didahului dengan dibentuknya Tap MPR No. XVIII/ MPR/ 1998 tentang HAM. Gagasan dimasukkannya ketentuan HAM yang komprehensif dianggap sesuai dengan kehendak Indonesia yang menjunjung HAM.56 Pada akhirnya rumusan

pasal-52 Menurut Gregorius Seto Harianto (F-PDKB): “Pengertian sepenuhnya mengandung konotasi tanpa batas, sehingga bertendensi mengambil alih kekuasaan rakyat. Perlu ada pembatasan normatif. Tim Penyusun, Naskah Komprehensif….., Buku II Lembaga Permusyawaratan Rakyat, dan Perwakilan, Jilid 1, hlm. 94. 53 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Yogyakarta: FH UII Press, 2003), hlm. 15. 54 Seperti dikatakan oleh Harjono (F-PDIP), “untuk membatasi kewenangan, maka kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut UUD..Faham Konstitusionalisme..” Tim Penyusun, Naskah Komprehensif….., Buku II, Jilid 1, op.cit., hlm. 151.

55 Hal ini sesuai dengan pendapat Thomas Paine, yang menegaskan bahwa “It is wholly owing to the constitution of the people, and not to the constitution of the government”. Thomas Paine, Common Sense, edited by Jim Manis,(Pennsylvania: The Pennsylvania State University’s Electronic Classics Series), 1998, hlm. 12, http:// www2.hn.psu.edu/, diakses tanggal 13 Maret 2003. Artinya, konstitusi menentukan bagaimana kedaulatan rakyat dijalankan. Kalau pun lembaga-lembaga negara melaksanakan kedaulatan rakyat, tetapi konstitusi tidak menentukan kedaulatan tersebut untuk pemerintah, melainkan untuk rakyat.

(19)

pasal HAM dalam Perubahan Kedua UUD 1945 lebih banyak mengadopsi jaminan HAM dalam Tap MPR No. XVII/ MPR/ 1998, namun Pasal 27 dan Pasal 28 UUD 1945 tidak dihapus.

Ketiga, penegasan sistem desentralisasi melalui pemberian otonomi seluas-luas. Pasal 18 UUD 1945 sebelum perubahan dianggap terlalu ringkas mengatur pemerintahan daerah, padahal masalah daerah khususnya mengenai hubungan pusat daerah sangat besar.57 Berdasarkan Pasal 18 yang baru (Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B), pengaturan pemerintahan daerah lebih jelas dan yang paling penting, menghilangkan tafsir dualisme bentuk daerah (otonom dan administratif), yang diambil berdasarkan Pasal 18 yang lama.58

Keempat, Penekanan pentingnya independensi lembaga peradilan dan judicial review, dengan adanya penegasan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan, serta dibentuknya MK.59

Perspesi Terhadap Perubahan UUD 1945 dan Gagasan Perubahan Kelima

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa rangkaian Perubahan UUD 1945 memiliki budaya konstitusi yang reaksioner. Proses perubahan yang parsial sebenarnya ditujukan untuk membentuk konstitusi baru, menimbulkan berbagai penolakan dari elemen masyarakat. Pada saat

57 Seperti dikatakan oleh F-PBB melalui juru bicaranya Hamdan Zoelva. Ibid., hlm. 150.

58 Menurut Bagir Manan, berdasarkan Pasal 18 beserta paham yang terkandung di dalamnya, maka penjelasan yang memuat keterangan : “…atau bersifat daerah administrative belaka” merupakan sesuatu yang berlebihan. Semua UU pemerintahan daerah hanya mengatur pemerintahan daerah otonom, kecuali UU No. 5 Tahun 1974 yang memuat ketentuan mengenai dekonsentrasi. Selain mencerminkan sifat pengaturan yang sentralistik, UU No. 5 Tahun 1974 telah keliru mengatur mengenai dekonsentrasi diatur dalam organisasi pemerintahan pusat bukan daerah, sehingga menimbulkan dualisme penyelenggaraan pemerintahan daerah. Bagir Manan, Teori dan Politik….op.cit., hlm. 25.

(20)

proses perubahan ketiga berlangsung, Koalisi Ornop Untuk Konstitusi Baru menyatakan beberapa kelemahan hasil Perubahan Pertama dan Kedua UUD 1945.60 Pertama, kedudukan anggota MPR atau Badan Pekerja MPR yang juga merangkap sebagai anggota DPR yang merupakan representasi dari partai politik dikarena mereka juga terlibat diharuskan untuk ikut berbagai rapat atau pertemuan yang diadakan DPR atau partainya, menyebabkan intensitas dan konsen menjadi terbatas dalam melakukan amandemen UUD 1945. Kedua, Koalisi Ornop mensinyalir ada tim perumus maupun forum lobi dalam mekanisme pmbahasan dan pengambilan keputusan amandemen UUD 1945 yang membuat proses itu diduga ditentukan atau lebih banyak diyentukan oleh segelintir (baca: sebagain elit politik) di MPR. Ketiga, dalam penyerapan dan sosialisasi uji sahih Badan Pekerja MPR tidak memberikan ruang dan waktu yang cukup bagi publik untuk dapat berpartisipasi dalam memahami dan mengusulkan apa yang menjadi kepentingannya, termasuk dalam proses amademen keempat. Keempat, ruang publik untuk berpartisipasi dan turut menentukan (perubahan), telah dibatasi oleh MPR (dalam hal ini pembatasan itu dilakukan dalam proses amandemen keempat, (di mana) hanya terhadap materi-materi yang belum diputuskan dan beberapa materi yang tidak boleh diubah. Keenam, MPR dalam membahas dan memutuskan perubahan UUD 1945 tidak membuat dan memiliki content draft konstitusi secara utuh sebagai langkah awal yang menjadi dasar perubahan atau prelimenary. Koaliasi Ornop menganggap MPR tidak berani ke luar dari kerangka dan sistem nilai UUD 1945 yang relevansinya tidak layak dipertahankan. MPR terkesan hanya

(21)

mengambil rumusan pasal tanpa mempertimbangkan hakikat dan prinsip dasar serta keterkaitannya dengan pasal lain secara keseluruhan. Ketujuh, cara semacam ini (perubahan secara parsial) juga dengan rumusan banyak alternatif, tidak dapat memberikan kejelasan terhadap konstruksi nilai dan bangunan kenegaraan yang hendak dibentuk, sehingga adanya paradox dan inkonsistensi terhadap hasil-hasil yang telah diputuskan.

Berdasarkan argumentasi di atas, Koalisi Ornop menyatakan dengan tegas penolakannya terhadap hasil perubahan UUD 1945 dan mengusulkan pembentukan Komisi Konstitusi yang independen.61 Ide pembentukan Komisi Konstitusi yang dimaksud sebenarnya telah berkembang pada awal perubahan pertama, sebagai mana dikemukakan Harun Al Rasyid, walaupun dengan argumentasi terkait dengan Pasal 3 UUD 1945.62 Bahkan ide tersebut pun diusulkan oleh F-KKI dan F-PDIP pada saat proses perubahan kedua terhadap UUD 1945.63

Penolakan secara eksplisit juga dinyatakan oleh kalangan mahasiswa, dalam hal ini, Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI). Melalui juru bicaranya, Dihot P. Simarmata yang menganggap proses perubahan tidak melibatkan masyarakat di satu sisi dan tidak adanya transparansi dan akuntabilitas MPR di sisi lain.64

Tanggapan terhadap proses perubahan UUD 1945 di atas, lebih banyak ditujukan pada proses perubahan yang akhirnya mempengaruhi hasil perubahan UUD 1945. Isu-isu seperti partisipasi masyarakat, transparansi proses perubahan serta desain ketatanegaraan yang hendak dibentuk menjadi harapan masyarakat dalam proses perubahan UUD 1945

61 Tim Penyusun, ibid., hlm. 446; Koalisi Ornop untuk Konstitusi Baru, ibid., hlm. 8, 11. 62 Tim Penyusun, loc.cit., hlm. 83.

(22)

yang akhirnya tidak dilakukan oleh MPR. Oleh karena perubahan UUD 1945 pada hakikatnya adalah pembentukan konstitusi baru, maka seharusnya tahap-tahap pembentukan konstitusi dilakukan secara jelas. Seperti dikatakan oleh Cheryl Saunder, terdapat 3 tahap constitution making process (proses pembentukan konstitusi baru), yaitu agenda setting (perumusan agenda), development and design (pengembangan dan perancangan), approval (persetujuan).65

Kritik Koalisi Ornop atau kalangan mahasiswa terhadap proses perubahan UUD 1945 sangat terlihat jika dikaitkan dengan tahap-tahap pembentukan konstitusi di atas. MPR yang juga anggotanya merangkap anggota DPR, menjadikan perubahan UUD 1945 hanya menjadi salah tugas ditambah dengan tugas-tugas lain dalam waktu yang singkat (teruatama pada saat perubahan pertama).66 5 Kesepakatan dasar yang dirumuskan PAH III juga tidak komprehensif, misalnya jika dibandingkan dengan Afrika Selatan yang pada awal masa pembentukan konstiusi menyepakati 34 prinsip dasar sebagai pedoman melakukan pembentukan konstitusi.67 Hal tersebut menyebabkan, banyak materi-materi perubahan di luar dari 5 kesepakatan dasar itu tersebut bermunculan satu persatu. Keterlibatan para pakar pun, baru dilakukan secara terlembagakan pada masa perubahan ketiga, sehingga para pakar merasa tidak optimal memberikan masukan.68 Apalagi

65 Cheryl Saunders,”Woman and Constitution Making”, makalah dalam Konferensi Internasional “Women, Peace Buliding, and Constitution Making”, (Colombo: 2 – 6 Mei 2002), hlm. 5 – 13, http://www.law.unimelb.edu.au/icil/ topics/linkstopapers/womenconstitution.html, diakses tanggal 23 Oktober 2003. 66 Hal ini dapat terlihat dari setiap Sidang Tahunan MPR, dibentuk beberapa komisi selain komisi yang membahas rancangan perubahan UUD 1945. Apalagi pada masa – masa tersebut, DPR juga melakukan beberapa fungsi politik lain, misalnya menyangkut pemberhentian Presiden Abdurahman Wahid.

67 Forum Rektor Indonesia, Hasil Kajian Kelompok Kerja Penyempurnaan Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Forum Rektor Indonesia, 2007), hlm. 10.

(23)

jika dikaitkan dengan pelibatan masyarakat dalam proses perubahan, yang hanya dilakukan secara formal, tanpa mengetahui secara pasti draft rancangan materi perubahan UUD 1945 secara utuh. Hal ini kontras jika bandingkan dengan proses pembentukan konstitusi baru Afrika Selatan, di mana sebanyak 5 juta (eksemplar) draft pertama dan 7 juta draft kedua dicetak dalam 1 bahasa, serta menggunakan jaringan televise, radio, jurnal, talkline dan internet untuk mensosialisasikan draft rancangan konstitusi baru.69 Pada akhirya, proses persetujuan yang parsial menyebabkan keputusan hal-hal penting sampai dilakukan dengan cara voting seperti dalam hal keberadaan utusan golongan sebagaimana telah dibahas sebelumnya.

Pandangan-pandangan di atas mencerminkan bahwa para anggota MPR tidak mampu memahami budaya konstitusi yang berkembang di masyarakat. Padahal seperti dikatakan Mazzone bahwa pemahaman terhadap budaya konstitusi merupakan hal serius yang harus diperhatikan.70

Respon negatif terhadap proses perubahan juga berlanjut setelah proses perubahan bahkan ketika Komisi Konstitusi dibentuk pada tahun 2003. Koalisi Ornop secara tegas menolak hal tersebut karena beberapa alasan. Pertama, karena Komisi Konstitusi yang dibentuk merupakan kepanjangan BP MPR, bukan secara langsung berada dan bertanggung jawab kepada MPR, sehingga dikatakan “sangat rancu dan bias dengan kepentingan politik.71 Oleh karean Komisi Konstitusi

Penyusun, Naskah Komprehensif.., Buku I, loc.cit., hlm. 327. 69 Ibid., hlm. 61.

70 Jason Mazzone, “The Creation of a Constitutional Culture”, Tulsa Law Review ,

71 Seperti dikatakan oleh salah seorang pegiat Koalisi Ornop, Bambang Widjojanto, bahwa: “KK bentukan MPR ini bertanggung jawab kepada MPR melalu Badan Pekerja MPR. Ketentuan ini menunjukkan bahwa kedudukan Komisi Konstitusi adalah hanya subordinat Badan Pekerja MPR, sehingga masih sangat rancu dan bias dengan kepentingan politik”. Kompas Cybermedia, “Koalisi Ornop Tolak Komisi Konstitusi Bentukan MPR”, 1 Agustus 2003, http://202.146.5.33/ utama/news/0308/01/180554.htm, diakses tanggal 15 November 2009.

(24)

hanya berwenang melakukan penelitian dan analisa terhadap hasil perubahan UUD 1945, maka hal tersebut membatasi kewenangan Komisi Konstitusi yang hanya membahas sebatas hasil perubahan UUD 1945.72 Menurut pandangan Koalisi Ornop, idealnya, Komisi Konstitusi harus independen dan tidak berada di bawah BP MPR dan harus bertanggung jawab kepada BP MPR dan kewenangan Komisi Konstitusi bukan hanya sekadar meneliti dan menganalisa hasil perubahan UUD 1945 tapi yang sangat penting adalah merancang dan membuat Konstitusi baru yang lebih komprehensif dan sitematis dengan melibatkan partisipasi masyarakat luas.73

Namun demikian dalam perkembangnya, Komisi Konstitusi tidak hanya sekedar mengkaji hasil perubahan UUD 1945, tetapi juga menghasilkan Naskah Kajian Akademis Perubahan UUD 1945 yang di dalamnya berupa usulan rancangan perbaikan UUD 1945 perubahan.74 Hasil dari Komisi Konstitusi tersebut dalam Sidang Tahun MPR tahun 2003 disepakati hanya menjadi bahan penyempurnaan UUD 1945 untuk MPR periode 2004 – 2009 berdasarkan Ketetapan MPR No II/MPR/2003 tentang Peraturan Tata Tertib MPR, Pasal 104 (1).75 Respon terhadap hasil

72 Ibid.

73 Pernyataan pegiat Koalisi Ornop, Todung Mulya Lubis. Ibid.

(25)

Komisi Konstitusi tidak ditanggapi dengan positif, karena penjaringan masukan masyarakat oleh Komisi Konstitusi lebih sedikit jika dibandingkan dengan pada masa PAH I.76 Sikap Komisi Konstitusi yang tidak segera mempublikasikan hasil pembahasan, tapi menunggu proses final, mekanisme tersebut juga mengulang cara lama yang dilakukan MPR.77 Dalam perkembangannya, hasil kerja Komisi Konsitusi tidak pernah dibicarakan kembali di MPR.

Perkembangannya pada tahun 2007, muncul gagasan untuk melakukan perubahan kelima terhadap UUD 1945 hasil perubahan. Hal tersebut secara konkret dilakukan oleh DPD. Menurut Ketua DPD (2004 – 2009), Ginanjar Kartasasmita, alasan pemberdayaan DPD melalui Amandemen UUD 1945 adalah “untuk memperkuat demokrasi di Indonesia, serta untuk lebih memperkokoh penyelenggaraan otonomi daerah78. Namun demikian, usulan DPD tersebut gagal, walaupun pada awalnya terdapat dukungan dari anggota-anggota DPR, namun ditarik kembali. Penarikan dukungan tersebut tidak terlepas dari usulan DPD yang hanya mengusulkan perubahan Pasal 22 D UUD 1945, padahal perubahan tersebut akan berimplikasi terhadap pasal lainnya79”.

76 Menurut Hadar M. Gumay, dari CETRO, “proses pelibatan publik yang luas ini belum tergambar dalam kerja Komisi Konstitusi. Dibandingkan dengan dengar pendapat yang dilakukan PAH I BP MPR, Hadar menilai, penyerapan aspirasi masyarakat oleh Komisi Konstitusi jauh lebih sedikit. Berdasarkan data di Sekjen PAH I BP MPR, apa yang dikemukakan Hadar memang tidak meleset. Penyerapan aspirasi oleh Komisi Konstitusi selama ini baru dilakukan di tiga perguruan tinggi. Sedangkan dengar pendapat baru diadakan dengan 13 lembaga”. Ibid.

77 Menurut Hadar, "Sebelum final, seharusnya justru ditanyakan pada

masyarakat lewat dialog atau jajak pendapat. Kalau menunggu final, masyarakat

diposisikan hanya terima. Itu model lama dan tidak ada beda dengan MPR,". ibid. 78 Ginanjar Kartasasmita, Kedudukan, Fungsi dan Peran DPD Dalam Perspektif Ketetanegaran Indonesia, makalah, disampaikan pada Focus Group Disussion (FGD) dengan tema “Peran DPD Dalam Sistem Ketetanegaraan Indonesia”, (Bandung: Universitas Padjadjaran, 6 Agustus, 2007), hlm. 22.

(26)

Gagasan untuk melakukan perubahan kelima, masih bergulir setelah usulan perubahan UUD 1945 oleh DPD tidak dapat dapat diteruskan. Kelompok DPD di MPR RI mencoba untuk mengusulkan percepatan pembentukan sebuah komisi yang kurang lebih serupa dengan Komisi Konstitusi (KK) yang dibentuk pada tahun 200380. Komisi tersebut merupakan

usulan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika

menyampaikan Pidato Kenegaraan dalam Sidang Paripurna Khusus DPD pada 23 Agustus 200781.

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa usulan DPD untuk melakukan perubahan kelima terhadap UUD 1945 hanya mementingkan penguatan kewenangan DPD.82 Kalau pun usulan DPD diterima dan dilakukan perubahan kelima terhadap UUD 1945, maka DPD melanjutkan perubahan UUD 1945 yang pasial, seperti yang dilakukan ada saat perubahan pertama hingga keempat. Pada akhirnya, DPD memutuskan untuk mempersiapkan perubahan UUD 1945 secara komprehensif. Hasilnya, dengan melibatkan sejumlah ahli dari beberapa perguruan tinggi dan Ornop, pada tahun 2009 DPD menghasilkan Naskah Akademis Usulan Amandemen Komprehensif beserta draft rancangannnya.83

Tampaknya usulan penyempurnaan UUD 1945 hasil perubahan juga menjadi kenderungan, baik di dunia akademis maupun kelompok masyarakat lainnya. Pada tataran

penyesuaian terjadinya perubahan,”. Pasal-pasal lain yang dimaksud antara lain Pasal 20, Pasal 3, dan Pasal 2 UUD 45, Hukum Online, ”Usulan Amandemen UUD 1945 Diujung Tanduk”, 3 Agustus 2007, http://cms.sip.co.id/hukumonline/detail. asp?id=17304&cl=Berita, diakses tanggal 25 Februari 2008.

80 Hukum Online, ”Ketua MPR Minta Anggotanya Dilibatkan dalam Komisi Konstitusi”, 22 September 2007, http://hukumonline.com/detail. asp?id=17651&cl=Berita, diakses tanggal 25 Februari 2008.

81 Ibid

82 Zaenal Ariffin Mochtar (ed), Jalan Berliku Amandemen Komprehensif: Dari Pakar, Politisi, Hingga Selebriti, (Jakarta: Kelompok DPD di MPR-RI, 2009), hlm. ii.

(27)

akademis, gagasan perubahan kelima juga berkembang, misalnya dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional yang dilakukan oleh Komisi Hukum Nasional pada tahun 2008. Dalam buku Gagasan Amandeman Kelima UUD 1945 yang merupakan kumpulan tulisan para kontributor seminar tersebut, terdapat sejumlah gagasan perubahan kelima UUD 1945 yang mencakup masalah-masalah kekuasaan kehakiman, sistem pemerintahan, dan sistem perwakilan.84 Bahkan dalam seminar tersebut Universitas Islam Indonesia menyampaikan usulan rancangan perubahan UUD 1945 secara komprehensif. Bahkan sebelum itu, pada tahun 2007, Forum Rektor Indonesia juga melakukan hal yang sama, dengan menyiapkan Kajian Penyempurnaan Amandemen UUD 1945.

Berbagai kajian komprehensif yang dilakukan menawarkan “naskah baru” UUD 1945. Yang perlu diperhatikan, kajian-kajian tersebut, menutupi kelemahan proses perubahan UUD 1945, juga mencerminkan berbagai tahapan konstitusi baru. Misalnya, kajian Forum Rektor Indonesia mencantumkan berbagai usulan agenda setting, dari mulai penjabaran prinsip-prinsip Pembukaan UUD 1945, cita hukum Indonesia, hingga hal-hal yang harus menjadi kesepakatan di MPR, seperti nilai dan norma dasar negara, visi dan misi negara, dasar dan filsafat negara, dan cita hukum yang hendak dikembangkan. 85 Bahkan pembahasan sistem ketatanegaraan berikut subsistemnya seperti sistem pemerintahan, sistem perwakilan, sistem yudisial, dan sistem serta prosedur perubahan UUD 1945.86 Bahkan dalam hasil kajian DPD, setiap materi perubahan yang diusulkan diberikan kajian pasal per pasal atau bab per bab.87

84 Moh. Fajrul Falakh (ed), Gagasan…loc.cit.

85 Lihat Forum Rektor Indonesia, op.cit., hlm. 23 – 36. 86 Ibid., hlm. 37 – 61.

(28)

Hal-hal di atas mencerminkan bahwa berbagai kelompok masyarakat dan lembaga negara masih menginginkan pembentukan konsitusi baru secara komprehensif. Usulan perubahan kelima terhadap UUD 1945, mencerminkan respon penolakan terhadap perubahan UUD 1945 secara parsial sebelumnya. Hal tersebut membuktikan bahwa budaya konsitusi yang berkembang terutama sejak reformasi 1998 belum terlembagakan sepenuhnya dalam UUD 1945 perubahan. Hal ini tepat seperti dikatakan oleh Wenzel, jika antara budaya konstitusi dengan konstitusi yang dibentuk tidak sesuai, maka akan terjadi kompromi. Jika keduanya tidak sesuai secara mendasar, maka akan terjadi penolakan secara informal terhadap konstitusi formal.88

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan pembahasan sebelumnya Tim Peneliti menyimpulkan hal-hal sebagai berikut. Pertama, budaya konstitusi dalam UUD 1945 Perubahan memiliki karakter yang reaksioner. Hal tersebut tercermin dari proses perubahan UUD 1945 dari mulai kecenderungan untuk mengubah seluruh materi UUD 1945 dengan pemilihan sistem perubahan addendum yang lebih tepat digunakan dalam konteks perubahan konstitusi secara parsial. Akibatnya, proses perubahan UUD 1945 tidak didasari oleh suatu desain yang komprehensif, minimnya keterlibatan masyarakat secara substantif, dan hasil perubahan UUD 1945 yang tumpang tindih, khususnya mengenai sistem pemerintahan, dan sistem perwakilan, Namun demikian, dibalik budaya konstitusi yang reaksioner, terdapat karakter budaya konstitusi yang positif, yaitu adanya penegasan prinsip supremasi konstitusi dalam melembagakan kedaulatan rakyat, penekanan pada perluasan jaminan HAM, penegasan sistem desentralisasi

(29)

melalui pemberian otonomi seluas-luas, serta penekanan pentingnya independensi lembaga peradilan dan judicial review.

Kedua, gagasan perubahan kelima terhadap UUD 1945 merupakan salah satu respon terhadap karakter budaya konstitusi reaksioner dalam UUD 1945 perubahan. Hal tersebut menyebabkan berbagai pihak mengkritik proses perubahan UUD 1945, bahkan ketika proses perubahan tersebut masih berlangsung. Kritik – kritik tersebut lebih banyak ditujukan dalam konteks perkembangan pembahasan rancangan perubahan UUD 1945, yang dianggap tidak efektif, tidak memiliki desain yang jelas, tidak transparan, dan tidak partisipatif. Setelah perubahan tuntutan dan usulan perubahan kelima terhadap UUD 1945 hasil perubahan juga dikemukakan berbagai pihak, walaupun pada awalnya juga ditujukan untuk melakukan perubahan parsial, seperti yang dilakukan oleh DPD. Pada akhirnya, usulan perubahan kelima terhadap UUD 1945 dilakukan dengan semangat untuk membentuk konstitusi baru berdasarkan hasil kajian komprehensif, walaupun perkembangnnya hanya menjadi pembicaraan dalam kalangan akademik.

(30)

Daftar Pustaka

Bagir Manan, 2004. DPR, DPD dan MPR Dalam UUD 1945 Baru, Yogyakarta: FH UII Press.

Forum Rektor Indonesia, 2007. Hasil Kajian Kelompok Kerja

Penyempurnaan Amandemen UUD 1945, Jakarta: Forum Rektor Indonesia.

Fenwick, Helen & Phillipson, Gavin, 2003. Text, Cases &

Materials On Public Law & Human Rights, Second Edition, London: Cavendish Publishing Limited.

Harutyunian, Gagik, 2009. Constitutional Culture: The Lessons

of History and The Challenges of Time, revised English edition, Yerevan: Academic Council of the Academy of Public Administration of the Republic of Armenia.

Hasibuan, Albert, “Komisi Konstitusi Memperbaiki Redaksional atau Hasil Maksimal?”, opini, Kompas, 19 Desember 2003, http://www.unisosdem.org/article_

detail.php?aid=3447&coid=3&caid=21&gid=2, diakses

tanggal 15 November 2009.

Hukum Online, 2008. ”Usulan Amandemen UUD 1945

Diujung Tanduk”, 3 Agustus 2007, http://cms.sip.co.id/

hukumonline/detail.asp?id=17304&cl=Berita, di diakses

tanggal 25 Februari 2008.

____________, 2008. ”Ketua MPR Minta Anggotanya Dilibatkan dalam Komisi Konstitusi”, 22 September 2007, http://

hukumonline.com/detail.asp?id=17651&cl=Berita,

diakses tanggal 25 Februari.

Hernández, Antonio María; Zovatto, Daniel; Araujo,Manuel Mora Y, 2006. Survey on Constitutional Culture Argentina:

(31)

Ginanjar Kartasasmita, 2007. “Kedudukan, Fungsi dan Peran DPD Dalam Perspektif Ketetanegaran Indonesia”, makalah, disampaikan pada Focus Group Disussion (FGD) dengan tema “Peran DPD Dalam Sistem Ketetanegaraan Indonesia”, Bandung: Universitas Padjadjaran, 6 Agustus. Jimly Asshiddiqie, 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme di

Indonesia, Jakarta: Konpress.

Koalisi Ornop Untuk Konstitusi Baru, 2001. “Komisi Konstitusi Untuk Konstitusi Baru”, kertas kerja, Jakarta,

http://www.cetro.or.id/konstitusi/Kertas%20Kerja. pdf, diakses tanggal 18 November 2009.

Kompas Cybermedia, “Koalisi Ornop Tolak Komisi Konstitusi Bentukan MPR”, 1 Agustus 2003, pukul 18.02 WIB,

http://202.146.5.33/utama/news/0308/01/180554.htm,

diakses tanggal 15 November 2009.

Kompas,“Hasil Komisi Konstitusi Sekadar Arsip?” 21 Januari 2004, http://www.unisosdem.org/article_detail.php?

aid=3645&coid=3&caid=22&gid=2, diakses tanggal 15

November 2009.

Miriam Budiarjo, 1993. Dasar-Dasar Ilmu Politik, cetakan kelima belas, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. MPR-RI, 2006. Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat MPR-RI .

Moh. Fajrul Falakh (ed), 2008. Gagasan Amandemen Kelima

UUD 1945, Jakarta:KHN.

Susi Dwi Harijanti, Miranda Risang Ayu, 2008. Reformasi

Sistem Perwakilan Indonesia, Laporan Penelitian, Bandung: Fakultas Hukum Unpad.

Peters, Anne & Armingeon, Klaus, 2009. “Introduction— Global Constitutionalism from an Interdisciplinary Perspective”, Indiana Journal of Global Legal Studies 16:2,

(32)

Bloomington: Indiana University Maurer School of Law. Paine, Thomas, 1998. Common Sense, edited by Jim Manis,

The Pennsylvania State University’s Electronic Classics Series, http://www2.hn.psu.edu/, diakses tanggal 13 Maret 2003.

Saunders, Cheryl, 2000. “A Constitutional Culture in Tradition”, dalam Wyrzykowski, Miroslow (ed), Constitutional Culture, Warsaw: Institute of Public Affairs. ____________,2002. “Woman and Constitution Making”, makalah dalam Konferensi Internasional “Women, Peace Buliding, and Constitution Making”, Colombo: 2 – 6 Mei,

h t t p : / / w w w . l a w . u n i m e l b . e d u . a u / i c i l / t o p i c s /

linkstopapers/womenconstitution.html, diakses tanggal

23 Oktober 2003.

Strong, C.F., 1966. Modern Political Constitution, London: ELBS and Sidgwick and Jacson Ltd.

Tim Penyusun, 2008. Naskah Komprehensif Perubahan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945: Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999 – 2002,

Buku I, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

___________, 2008. Naskah Komprehensif Perubahan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Buku II Lembaga Permusyawaratan Rakyat, dan Perwakilan, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Wheare, K.C., 1975. Modern Constitution, third impression, London: Oxford University Press.

Referensi

Dokumen terkait

Kekuasaaan Negara berdasarkan dan Wakil Presiden memegang kekuasaan Perubahan UUD 1945 eksekutif, Mahkamah Agung (MA) dan2. Mahkamah Konstitusi (MK) memegang Setelah UUD

Dalam naskah Perubahan Keempat ini, ditetapkan bahwa (a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan pertama, kedua, ketiga,

Dari sini dapat difahami bahwa partisipasi masyarakat belum mampu menjadi persyaratan formil dalam perubahan UUD 1945, sehingga keberadaan sebagaimana Pasal 5 dan Pasal

UUD 1945 disamping sebagai konstitusi politik (political constitution), juga merupakan konstitusi ekonomi (economic constitution), bahkan konstitusi sosial

wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD 1945. Pasca Amandemen UUD 1945 terdapat berbagai perubahan terkait dengan sistem ketatanegaraan. Perubahan tersebut

Sila ini memiliki keterkaitan dengan Pasal 29 UUD Negara RI Tahun 1945. Sila pertama ini memberikan jaminan kemerdekaan bagi rakyat Indonesia untuk memeluk agamanya

Aturan prosedural tersebut kemudian dikaitkan dengan Pasal 7A UUD 1945 bahwa pertanggungjawaban Presiden setelah perubahan UUD 1945 merupakan pertanggungjawaban hukum,

UUD 1945 disamping sebagai konstitusi politik (political constitution), juga merupakan konstitusi ekonomi (economic constitution), bahkan konstitusi sosial