• Tidak ada hasil yang ditemukan

VARIASI BAHASA DALAM SOSIAL MEDIA SEBUAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "VARIASI BAHASA DALAM SOSIAL MEDIA SEBUAH"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

VARIASI BAHASA DALAM SOSIAL MEDIA : SEBUAH KONSTRUKSI IDENTITAS

FIERENZIANA GETRUIDA JUNUS fierenziana@gmail.com

Penggunaan media sosial sebagai sarana komunikasi menjadi semakin sulit dielakkan, semakin meluas dan membawa pengaruh besar bagi perkembangan bahasa dalam hal ini bahasa Indonesia. Berbagai bentuk bahasa baru muncul dengan variasi yang sangat besar jumlahnya. Bahkan bentuk baru ini perlahan menggusur kata-kata baku yang ada. Sebuah fenomena yang sulit dihindari

Artikel ini memaparkan penggunaan berbagai bentuk bahasa oleh para pengguna media sosial yang seringkali tidak mengacu pada bentuk baku ataupun standar bahkan cenderung untuk menuliskan apa yang diucapkan. Sebuah proses yang penulis sebut sebagai ecrononciation atau proses penulisan kata atau kalimat sebagaimana yang diucapkan. Dalam proses ini tejadi berbagai perubahan linguistik, seperti abreviasi, morfofonologis, zeroisasi, onomatope, dan elipsis. Bahkan bentuk-bentuk lain seperti penggunaan emotikon, stiker, dan meme menjadi ciri khas dari jenis komunikasi ini.

Para pengguna media sosial menggunakan kata atau kalimat sesuka hati yang ternyata cukup komunikatif bagi komunitas penggunanya bahkan sangat popular digunakan. Mereka sangat kreatif, memodifikasi kata dan menciptakan kata-kata baru yang dapat dipahami dengan mudah. Mungkin awalnya variasi bahasa yang muncul merupakan akibat dari ekonomisasi bahasa. Namun seiring teknologi yang semakin canggih, alasan tersebut menjadi tidak relevan. Penggunaan bahasa dalam media sosial bukanlah sekadar sebuah proses reproduksi bahasa namun juga merupakan sebuah proses representasi diri, proses dialog antara kapitalisme dan individu pengguna, dan proses konstruksi identitas bagi para pengguna media sosial..

Keywords : variasi bahasa, konstruksi identitas, representasi, media sosial, ecrononciation

The use of social media in communicating nowadays increase sharply and influence the development of language, in this case Indonesian language. Various new forms of language emerged with enormous variation in number. In fact, this new form of words slowly displacing the existing standard. A phenomenon that is hard to avoid.

This article describes the use of various forms of language by users of social media which do not refer to the standard form. The social media user inclined to write down what was said. A process which the authors refer to as ecrononciation or the process of writing a word or phrase as spoken. This process occurs in a variety of linguistic change, like the abbreviation, morfofonologis, zeroisation, onomatopoeic, and ellipsis. The other form that also exists as specific style of this kind of communication is the use of emoticons, stickers, and meme.

The social media chatter use words, phrases or sentences arbitrarily, which is quite communicative and also very popular among them. They are very creative, they modified words and creating new words that can be understood easily. The prior research showed that the phenomenon appeared as a result of economizing language because whether the company of telephone cellular or the provider of social media applications had only required some limited spaces for a status or a comment characters number. Nevertheless, the reason is no longer relevant since the technology of telephone cellular become more sophisticated. The use of language in social media is not just a language production but it is also a process of self-representation, the process of dialogue between capitalism and users, the process of constructing identity by the social media users.

Keywords: language variation, identity construction, representation, social media, ecrononciation

Pengantar

(2)

the use of Modern Communication Technology Influence Language and Litteracy Development" mengutip Crystal menyebut era baru ini sebagai era written speech (percakapan tulis) dan spoken writing (tulisan percakapan) yang menggambarkan bahwa komunikasi dengan menggunakan teknologi internet merupakan kegiatan yang sudah tidak dapat dihindari terutama bagi generasi muda dan hal tersebut memengaruhi budaya menulis dan membaca mereka.

Sejak sepuluh tahun terakhir ini komunikasi dengan menggunakan berbagai jejaring sosial sangat mendominasi kehidupan manusia.. Fenomena penggunaan situs jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Plurk dan lain-lain semakin meluas. Sejak tahun 1997 telah ada jejaring sosial yang menjadi cikal bakal adanya situs-situs tadi seperti SixDegrees.com, LiveJournal, Friendster, LinkedIn, MySpace dan Hi5 (Boyd & Ellison, 2007). Kepopuleran media ini meningkat dengan cepat karena beberapa keunggulannya seperti dimungkinkannya individu berkomunikasi dengan individu yang lain padahal jarak geografis yang luar biasa jauhnya. Menurut Ellison, Steinfeld dan Lampe dalam Journal of Computer Mediated Communication (2007) situs jejaring sosial ini memiliki orientasi yang beragam, mulai dari yang berkonteks pekerjaan (LinkedIn.com), penjajakan hubungan romantik (yang merupakan tujuan awal pembuatan Friendster.com), kesamaan minat di bidang musik dan politik (MySpace.com), maupun populasi mahasiswa kampus (awal dibentuknya Facebook.com).

Menurut Wellman dkk (dalam Boyd, 2007), sebagian besar riset awal mengenai komunitas daring, berasumsi bahwa individu menggunakan situs jejaring sosial untuk berhubungan dengan orang lain di luar kelompok sosial dan lokasi tempat mereka berada. Media jejaring sosial memungkinkan penggunanya untuk membentuk komunitas berdasarkan kesamaan minat, kesamaan profesi, bahkan kesamaan lokasi geografis. Penggunaan media sosial ini pun perlahan menggerus komunikasi lisan antarindividu. Di Indonesia misalnya sangat umum terlihat orang-orang yang tidak peduli dengan sekitarnya karena asyik dengan perangkat komunikasi masing-masing. Mereka lebih memilih berkomunikasi tulisan dengan menggunakan short message service (sms), facebook, twitter, blackberry messenger (BBM), LINE, Whatsapp, dan lain-lain daripada membangun komunikasi lisan dengan sekitarnya.

Kemudahan menggunakan modus komunikasi ini dan juga kecanggihan cara kerjanya tidak hanya menyingkirkan cara komunikasi lisan, tetapi juga membentuk cara komunikasi baru bahkan ragam bahasa baru (Junus, 2011). Sebuah ragam yang tidak mengikuti pola yang sudah berlaku, namun mencipta pola baru. Terlihat seolah-olah arbitrer, manasuka, namun ternyata memiliki pola dengan varian-varian dalam jumlah yang besar. Dalam penelitian yang penulis lakukan terdahulu dengan menggunakan data dari FB tahun 2010 menunjukkan munculnya ragam bahasa baru disebabkan oleh keterbatasan ruang (pesan) dan waktu dalam berkomunikasi serta perangkat komunikasi yang belum secanggih sekarang ini. Alasan yang dikenal dengan istilah ekonomisasi bahasa. Hal itu disebabkan karena hingga tahun 2011, FB hanya memberi ruang untuk 420 karakter maksimal, namun sekarang sudah diperbesar sebanyak 63.206 karakter maksimal. Peningkatan layanan oleh para penyedia layanan tersebut serta kecanggihan teknologi perangkat komunikasi menjadikan alasan ekonomisasi bahasa dan keterbatasan teknologi menjadi tidak relevan, karena para pengguna semakin leluasa memanfaatkan ruang yang disediakan dan juga semakin mudah menggunakan jenis karakter huruf yang diinginkan.

Bahasa dalam Media Sosial

Crystal (2006) mengatakan bahwa penggunaan internet sangat berdampak pada bahasa, dalam

bukunya Language and internet dia menggunakan istilah Netspeak untuk mengatakan kegiatan

berbahasa pada internet. Sufiks speak dalam istilah tersebut tidak hanya merujuk pada kegiatan berbicara namun juga menulis, termasuk di dalamnya unsur reseptif yaitu ‘mendengar dan membaca’. Dalam buku ini, Crystal masih melihat bahwa kegiatan berkomunikasi dalam internet ini berpotensi interaktif, hal ini dapat dipahami karena buku ini pertama kali dipublikasikan pada tahun 2001 ketika moda komunikasi jejaring sosial yang sangat interaktif belum banyak digunakan.

Seperti halnya Crystal, Naomi Barron (2003) juga melakukan banyak penelitian mengenai bahasa dalam media komunikasi termasuk di dalamnya Short Message Service (SMS), IMChat, email, dan sebagainya. Dalam bukunya Language of the internet dia mengatakan bahwa dalam memindahkan bahasa natural ke internet ada beberapa hal yang harus diperhatikan (Baron, 2003, hal. 4), yaitu

(3)

(2) efek teknologi terhadap bahasa (3) isu antar bahasa dan budaya

Masih menurut Baron keunikan penggunaan bahasa bukanlah terletak pada kekhasan mediumnya melainkan variasi bentuk yang digunakan menyangkut transmisi modalitas yang dalam hal ini seperti bicara versus menulis, percakapan para partisipan, gaya, media yang digunakan (misalnya bahasa lisan disampaikan dengan tatap muka versus lewat telepon) dan budaya. Dalam penggunaan bahasa di internet yang paling sering terjadi adalah komunikasi tulis dibandingkan dengan yang bersifat auditoris. Kedua ahli, baik Barron (1998) maupun Crystal (2001) setuju bahwa dalam komunikasi yang menggunakan internet meskipun dalam bentuk tulisan namun lebih terasa sebagai sebuah kegiatan berbicara daripada kegiatan menulis, maksudnya bahwa para pelaku komunikasi yang menggunakan internet lebih cenderung menggunakan ragam lisan daripada ragam tulis meskipun teks yang ada merupakan teks tulisan.

Variasi Bahasa dan bentuk komunikasi Media Sosial

Dalam berkomunikasi menggunakan media sosial, pengguna bahasa sering menuliskan kata

sebagaimana yang dilafalkan. Jika Crystal (2004) menyebutkan netspeak sebagai fenomena ragam

cakap yang digunakan dalam komunikasi tulis di internet, untuk fenomena dimana pengguna bahasa dalam media sosial menuliskan apa yang dilafalkan, penulis menyebutnya dengan istilah ecrononciation. Ecrononciation [e-kro-n - sja - sj ] adalah bentukan kata dari bahasa Prancis (mots-valise) yaitu penggabungan dari kata ecrire (menulis) dan prononciation (pelafalan). Istilah ini merujuk bukan pada struktur kalimat namun pada penulisan kata, frasa, dan klausa yang digunakan, misalnya gosah (gak usah), gadak (gak ada), warbiasa (luar biasa), dst.

Fenomena ecrononciation menunjukkan adanya perubahan linguistik yang memunculkan variasi bahasa khas yang meliputi :

a. Zeroisasi;

(1) aferesis atau penghilangan fonem awal atau suku kata awal dari sebuah kata, contohnya :

etapi (tetapi), tasiun (stasiun), mayan (lumayan), gi (pergi), dll

(2) sinkope, atau penghilangan fonem atau suku kata yang berada di tengah sebuah kata; contohnya : klo (kalau), bsa (bisa), cba (coba), dll

(3) apokope. atau penghilangan fonem atau suku kata akhir sebuah kata, contohnya : ak (aku),

pul (pulang),

b. diftongisasi seperti kalo (kalau), mo (mau), dll

c. penambahan grafi k untuk bunyi glotal misalnya pulak (pula), kalok (kalau),

d. perubahan grafi :

- u menjadi o, contohnya mao (mau), akoh (aku)

- i menjadi e, contohnya sene (sini), senteng (sinting)

- k menjadi gh, contohnya ngantogh (ngantuk);

- s menjadi z, contohnya zerem (seram)

- f mejadi p, contohnya pokus (fokus)

e. Perubahan leksikal, misalnya ciyus (serius), bingits (banget)

f. Abreviasi atau penyingkatan yang meliputi :

(1) akronim untuk istilah atau ekspresi tertentu seperti : mager (malas gerak), markibo (mari

kita bobo), baper (bawa perasaan), bo’am (bodo amat) ;

(2) penyingkatan reduplikasi contohnya tetiba (tiba-tiba), jenjangan (jangan-jangan), gegara (gara-gara), dll.

Variasi bahasa lain yang dimunculkan oleh para pengguna media sosial yang tidak termasuk ecrononciation sebagai berikut:

a. Perubahan leksikal, misalnya beud (banget)

b. Perubahan semantis, misalnya kata ‘secara’ dalam KBBI diartikan dengan kata sebagai, selaku,

(4)

c. Abreviasi atau penyingkatan:

(1) pengekalan grafi pertama dari tiap suku kata dan huruf terakhir dari suku kata terakhir, slmt” (“selamat”) , “mkn” (“makan”), “kls” (“kelas”), “bsk” (“besok”) ;

(2) pengekalan grafi pertama tiap suku kata ctnya : kt (kita), br (baru), mkn (makan);

d. Penggunaan lambang huruf : Penggunaan lambang huruf yang mewakili sebuah suku kata.

seperti : tax (tanya), bukux (bukunya), atau sex (sekali), u (you), aq (aku), dst.

e. Penggunaan angka yang menggantikan huruf, suku kata atau kata tertentu contoh ; 4p4 (apa),

t364r (tegar), 64ul (gaul) se7 (setuju), dll.

f. Elipsis atau penghilangan salah satu unsur dalam kalimat, yang meliputi ellipsis subjek seperti

gak ikut (saya tidak ikut), pulang dulu ya (saya pulang dulu ya); elipsis verba seperti: aku yang biru (aku punya yang biru); elipsis objek: aku sudah buat (aku sudah buat tugas)

g. Onomatope;

Onomatope yang menirukan bunyi tawa yang berbeda-beda dalam lambang grafinya, seperti : hehehe, hihihi, hahaha, wkwkwk, wakakaka, gyahaha, dll

h. mixing code, contohnya: “aku excited banget dengernya”, “jam berapa rendez-vousnya?”

Kecenderungan lain yang tidak bersifat linguistik namun sangat menarik diperhatikan adalah kecenderungan penggunaan gambar untuk menggantikan ekspresi atau bahkan wacana.

a. emotikon, digunakan untuk menunjukkan perasaan atau aktifitas yang dilakukan, misalnya

emotikon senyum , sedih , dll

b. stiker, berbeda dengan emotikon, stiker dapat mewakili perasaan, aktivitas bahkan perilaku penulis pesan yang sekarang sudah dibuat berupa gambar bergerak (animasi).

Contohnya :

atau

c. meme, berbeda dengan emotikon dan stiker, meme adalah gambar atau foto yang direkayasa

untuk mengungkapkan sesuatu hal, baik berupa cerita ataupun pesan, biasanya dengan maksud menimbulkan rasa humor bagi yang melihat dan membacanya.

Contohnya :

atau

Variasi Bahasa dan Identitas

(5)

Hall (2003 : 25) mengatakan bahwa makna merupakan konstruksi. Makna dikonstruksi melalui sistem representasi dengan kode(bahasa) yang dalam budaya tertentu telah dibangun menjadi konvensi sosial. Kode yang membangun relasi antara sistem konseptual yang ada dalam pikiran (langue) dengan sistem bahasa yang digunakan (parole) . Ketika seseorang memberi makna pada suatu benda, peristiwa maupun sesamanya, pada saat itu identitas diberikan atau pada saat seseorang memosisikan (positioning) dirinya dalam pemaknaan (signification) pada saat itulah seseorang memberi identitas pada dirinya. Identitas diri pengguna bahasa diartikulasikan lewat penggunaan ragam bahasa yang

dianggap lebih mampu merepresentasikan seperti apa dia ingin menjadi ‘becoming’ daripada seperti

apa dia adanya ‘being’. Dalam hal ini bahasa menjadi alat dan media pembentuk identitas bagi para

pemakainya, bahasa tidak lagi hanya mencerminkan realitas yang merujuk pada fakta yang ada seperti yang diyakini oleh para strukturalis yang percaya bahwa tanda merupakan representasi dari realitas sehingga ketiadaan realitas berkonsekuensi logis pada ketiadaan tanda (Piliang, 2003, hal. 49). Pandangan yang sudah lama ditinggalkan oleh para post-strukturalis, para posmodernis yang menganggap bahwa bahasa dapat mengkonstruksi realitas dalam hal ini identitas, sebagaimana yang diinginkan.

Gambar 1 & 2 Contoh penggunaan bahasa dalam media sosial

Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya bahwa komunikasi dalam media sosial bukan lagi soal efisiensi ataupun ekonomisasi bahasa. Penggunaan berbagai variasi bahasa dalam komunikasi media sosial merupakan bentuk representasi yang dilakukan dalam rangka memproduksi makna baik tentang benda, peristiwa atau sesama manusia bahkan tentang diri. Penggunaan bahasa-bahasa

pergaulan, variasi model huruf ataupun kombinasi huruf dan angka untuk memperlihatkan bahwa

pengguna bahasa tersebut adalah orang yang mengikuti perkembangan bahasa atau biasa disebut ‘gaul’,

penggunaan code mixing untuk menjelaskan bahwa pelaku komunikasi adalah seorang yang bilingual bahkan multilingual, penggunaan emoticon untuk memperkenalkan bahwa pengguna bahasa adalah

orang yang mengikuti perkembangan teknologi atau biasa disebut gadgeter, atau mereka yang

melakukan pelanggaran aturan bahasa untuk menunjukkan bahwa mereka mampu mengelola aturan

bahasa (rules) dan mampu menggunakan sumber daya bahasa (resources) yang dimilikinya untuk

menciptakan humor. Semua alasan di atas bagi penulis bukanlah sekadar memperlihatkan, menjelaskan, memperkenalkan ataupun menunjukkan identitas pengguna bahasa media sosial melainkan sebuah proses konstruksi identitas.

(6)

nilai atau sangat objektif. Selalu ada latar dan kuasa yang ikut berperan. Ada dominasi kekuasaan dari luar diri. Individu dalam teori strukturasi Giddens (1985) merupakan agen yang memiliki kemampuan untuk ‘melakukan hal yang berbeda’, atau mampu mengintervensi dunia atau menghindar dari intervensi tersebut dengan konsekuensi memengaruhi suatu proses atau suatu keadaan yang bersifat khusus. Individu sebagai agen juga mampu menggunakan kekuasaan kausal termasuk memengaruhi kekuasaan-kekuasaan yang dijalankan oleh orang lain, selain itu agen juga memonitor semua aspek pada konteks dimana dia beraksi (Giddens, 1985 : 8). Individu dapat menggunakan rules (aturan) dan resources (sumber daya) untuk ‘berdialog’ dengan agen lain ataupun struktur di luar dirinya.

Dalam penggunaan Bahasa Indonesia secara umum, wacana Bahasa Indonesia yang baku menjadi wacana dominan. Wacana penggunaan bahasa Indonesia yang tidak baku, variasi bahasa yang digunakan dalam komunikasi media sosial menjadi wacana yang subordinat, bahkan cenderung dipinggirkan. Lebih dilihat sebagai kesalahan, ketidaktahuan, ketidakmampuan daripada sebuah kreativitas. Di lain pihak, dalam hal pembentukan identitas lewat penggunaan bahasa oleh pengguna bahasa pada media sosial, kapitalisme lah yang memiliki kekuasaan dominan. Mereka adalah para penyedia layanan dan aplikasi (service dan application/software) atau pembuat perangkat elektronik. Mereka terus meningkatkan layanannya atau memproduksi perangkat baru dengan fitur-fitur baru. Dengan semboyan “teknologi yang mengerti kebutuhan konsumen” mereka terus memperbarui teknologi yang ada. Pengguna layanan maupun pengguna perangkat elektronik dalam hal ini para pengguna bahasa media sosial secara sengaja ataupun tidak, berusaha mempertahankan identitas yang sudah mereka bentuk dengan memperbarui (update) penguasaan mereka terhadap teknologi yang ada dengan memiliki aplikasi terbaru ataupun perangkat terbaru. Mereka terjebak dalam lingkaran konsumerisme yang diciptakan oleh kapitalisme.

Benarkah mereka terjebak? Sebagaimana Li (2000), penulis setuju bahwa pengguna bahasa sosial media yang kreatif bukan lah sebuah entitas kosong yang hanya menunggu identitasnya diisi oleh teknologi yang ada. Mereka bukan hanya aktor tanpa agensi, mereka adalah orang-orang yang

memanfaatkan teknologi terbaru tersebut sebagai rules dan resources untuk kemudian dengan

kreativitas masing-masing mereproduksi ragam bahasa baru, mereproduksi identitas mereka. Seperti sebuah gelombang spiral yang tidak ada putusnya, proses tersebut dilihat oleh penyedia layanan, aplikasi, perangkat atau kapitalis sebagai resources untuk mencipta fitur yang dimodifikasi berdasarkan kecenderungan kreativitas pengguna, begitu seterusnya. Mereka, baik pengguna bahasa media sosial maupun penyedia teknologi, ikut mengambil bagian dalam praktik sosial, mereka mengambil bagian dalam kekuasaan pemaknaan, sebuah dialektika struktur dan agen.

Penutup

Tawaran Kuan Shing Chen (2010) untuk adanya dialog antara dominasi wacana pengetahuan barat dengan wacana pengetahuan Asia dalam hal menentukan identitas sebuah komunitas, dalam kasus ini bagi saya, dapat dianalogikan dengan dialog antara kapitalisme, yang dalam hal ini diwakili oleh perusahaan penyedia teknologi komunikasi yang sudah mapan dan sangat mendominasi, dengan pengguna bahasa media sosial yang beragam, subordinat, namun sangat feksibel. Bukan dengan membangun oposisi biner, produsen vs konsumen atau produktif vs konsumtif yang memberi privilese satu atas yang lain, namun melihat perbedaan tersebut sebagai hubungan yang bersifat komplimenter, saling melengkapi, saling bersinergi membangun koneksitas yang tidak dapat dipisahkan.

Perubahan adalah sebuah keniscayaan, selama manusia ingin merepresentasikan dan mengartikulasikan identitas dirinya lewat bahasa dengan melakukan distingsi, selama itu bahasa akan berubah, atau bertambah dalam variasinya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Hall (2003a, hal. 234) identitas adalah sebuah produksi, tidak pernah lengkap, selalu dalam proses dan selalu menjadi bagian dalam -bukan di luar- representasi.

Daftar Pustaka :

Baron, N. S. (2003). The Language of the Internet. Dalam A. Farghali, The Stanford Handbook for Language Engineers. . Stanford: CSLI CSLI. [In Press] .

Barron, N. S. (2000). Alphabet to Email. London: Routledge.

(7)

Boyd, D. M., & Ellison, N. B. (2007). Social Network sites : Definition, history and scholarship. Journal

of Computer-Mediated Communication. Diambil kembali dari

http://jcmc.indiana.edu/vol113/issue1/boyd.ellison.html

Chen, K.-S. (2010). Asia as Methode : Toward the deimperalization. Durham and London: Duke

University Press.

Crystal, D. (2006). Language and Internet. Cambridge: Cambridge University Press. Edwards, J. (1985). Language, Society and Identity. UK, NY: Basil Blackwell.

Giddens, A. (1985). The Constitution of Society : Outline of the theory of structuration. . Cambridge : Polity Press.

Hall, S. (2003a). Cultural Identity and Diaspora. Dalam J. E. Braziel, & A. Mannur, Theorizing Diaspora: A Reader. Maine, Oxford, Victoria: Blackwell Publishing.

Hall, S. (2003b). The Work of Representation. Dalam S. Hall, & S. Hall (Penyunt.), Representation : Cultural and Signifying Practices. London: Sage Publication.

Junus, F. G. (2011). Ragam Bahasa dalam Facebook. Seminar Internasional Serumpun Universitas

Hasanuddin dan Universiti Kebangsaan Malaysia. Makassar.

Lampe, E. C., & Steinfield, C. (2007). Benefits of of Facebook “Friends: “Social Capital and College

Student’ use of Online Social Network Sites. Journal of Computer-Mediated Communication.

Li, T. M. (2000, Jan). Articulating Indigenous Identity in Indonesia: Resource Politics and The tribal Slot. Comparative Studies in Society and History Vol. 42, No. 1 , hal. 149-179 .

Piliang, Y. A. (2003). Hipersemiotika : Tafsir Cultural Studis atas matinya makna. Yogyakarta: Jalasutra.

Saussure, F. D. (1995). Cours de linguistique générale. Paris: Payot.

Watt, H. J. (2010). How does the use of Modern Communication Technology Influence Language ". Contemporary Issues in Science COmmunication and Disorders, hal. 144-148.

Gambar

Gambar 1 & 2 Contoh penggunaan bahasa dalam media sosial

Referensi

Dokumen terkait

Pembiayaan musyarakah dilakukan antara nasabah dan Bank Muamalat dalam suatu usaha dimana masing-masing pihak berdasarkan kesepakatan memberikan kontribusi sesuai kebutuhan

Pengamatan peubah jumlah, panjang, lebar, penampilan, dan warna daun diamati pada akhir percobaan yaitu pada umur 12 MST, bertujuan untuk mengetahui pengaruh auksin

Peran suami adalah variabel yang paling dominan berhubungan terhadap perilaku perawatan kehamilan di- mana ibu yang memiliki suami yang mendukung per- awatan kehamilan tujuh kali

Data dihantarkan boleh didengar oleh sesiapa sahaja, kecuali untuk data yang dienkripkan Penghantaran satelit boleh diganggu oleh orang lain Kos yang tinggi untuk pemasangan

No Nama Satuan Pendidikan NPSN Alamat Desa Kecamatan Lintang Bujur Nama Kepala Sekolah.. 1 SDN 1 AIR KUMBANG 10602515 DUSUN

seharusnya disampaikan di kelas, dapat diberikan tanpa kehadiran para mahasiswa dan dosen secara langsung di kelas. Perkembangan teknologi komu- nikasi dan informasi

Nilai signifikan kandungan terbaik pada N-total dalam larutan bio- aktivator yang dihasilkan dari limbah pertanian dengan nilai tertinggi terdapat pada perlakuan SB2

Tahun 2019 sebagaimana tertuang dalam Renstra Polres tanjungpinang 2015-2019 dengan titik sentral pada upaya peningkatan profesionalisme personel Polres Tanjungpinang