• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kebijakan Luar Negeri Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Kebijakan Luar Negeri Indonesia"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Kebijakan Luar Negeri Indonesia: Kebijakan

Perubahan Iklim terkait Isu Kenaikan Muka Air Laut

Oleh Muhammad Ahalla Tsauro

Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Airlangga

Abstrak

Sejak bergabung dengan UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) indonesia memiliki berbagai macam peran dalam rezim perubahan iklim. Komitmen Indonesia terhadap pengurangan emisi karbon sebelumnya ditunjukkan dengan mendesak negara-negara maju, terutama anggoa G-8 (sekarang G-7) untuk segera merealisasikan komitmenya dalam pengurangan e misi karbon dan tanggung jawabnya terhadap perubahan iklim seperti yang diminta Protokol Kyoto. Adapun kepentingan utama Indonesia dalam menghadapi sea level rising adalah menjaga eksistensi kedaulatan negara dari ancaman tenggelamnya pulau-pulau yang ada diwilayah terluar dari Indonesia. Menjawab fenomena ini, program ini akan meneliti lebih spesifik mengenai kebijakan luar negeri Indonesia yang selama ini dilaksanakan baik dikancah nasional maupun internasional yang banyak dipengaruhi oleh berbagai keputusan traktat maupun perjanjian internasional dalam menghadapi rezim perubahan iklim. Pada intinya, program ini lebih melihat kebijakan luar negeri Indonesia yang bermanfaat baik dalam jangka waktu yang pendek maupun jangka waktu yang panjang.

Kata kunci: Kebijakan Luar Negeri Indonesia, Rezim Perubahan Iklim, Lingkungan, Protokol Kyoto, UNFCCC, sea level rising.

Since joining the UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) Indonesia has a wide variety of roles in the climate change regime. Indonesia's commitment to the reduction of carbon emissions is shown in earlier urged the developed countries, especially the members of the G-8 (now G-7) to immediately realize its commitment in the reduction of carbon and e mission responsibilities on climate change Kyoto Protocol as required. As for Indonesia's main interests in the face of rising sea level is to maintain the existence of the sovereignty of the country from the threat of sinking Islands there is the outermost region of Indonesia. Answering this phenomenon, this program will examine the more specific regarding Indonesia's foreign policy that has been implemented both at the national and international sectors that are heavily influenced by various decisions of the Treaty or international agreement in the face of the climate change regime. In essence, this program better to analyze Indonesia’s foreign policy which is beneficial both in a short term or long term.

(2)

Pendahuluan

Pembahasan isu perubahan iklim di tingkat multilateral dilakukan di bawah United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang disepakati tahun 1992 (Nainggolan, 2010). Saat ini UNFCCC merupakan kerangka kerja sama multilateral satu-satunya di bawah PBB untuk mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.Untuk melaksanakan ketentuan dalam Konvensi terkait pengurangan emisi oleh negara majutelah diadopsi Kyoto Protocol (KP) pada tahun 1997. KP disepakati pada Conference of Parties (COP) ke-3 UNFCCC tahun 1997 di Kyoto, Jepang dan mulai berlaku pada 16 Februari 2005. KP menetapkan target untuk mengikat 37 negara industri untuk mengurangi gas rumah kaca. Pada COP 18/CMP 9 UNFCCC di Doha 2012, telah disepakati amandemen KP berupa pelaksanaan periode Komitmen kedua Protokol Kyoto tahun 2013 - 2020. Namun Rusia, Jepang, Selandia Baru, serta Kanada memutuskan untuk tidak menjalankan Periode Komitmen Kedua Protokol Kyoto tersebut.Sehubungan dengan pembahasan rezim perubahan iklim baru setelah berakhirnya Protokol Kyoto tahun 2020, pada COP17 di Durban tahun 2011 dibentuk the Ad-hoc Working Group on the Durban Platform for Enhanced Action (ADP) (www.kemlu.go.id (diakses pada 9 Oktober 2014)).

(3)

ADP difokuskan pada dua workstream pembahasan. Workstream 1 bertujuan untuk menyepakati struktur, bentuk, dan isi kerangka hukum baru untuk pengendalian perubahan iklim. Diharapkan rezim hukum baru ini dapat disepakati pada COP ke-21 di Paris, Prancis tahun 2015 untuk dapat diimplementasikan mulai tahun 2020. Sementara itu workstream 2 membahas bagaimana mengatasi gap dalam aksi pengurangan emisi gas rumah kaca untuk periode 2014 2020 (pre-2020) yang salah satu isu yang ditimbulkan adalah kenaikan muka air laut atau yang lebih dikenal dengan sea level rising.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan pulau-pulau sangat beragam dan banyak jumlahnya. Tercatat dalam survey National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN) pulau yang dimiliki Indonesia berjumlah 18.306 dengan jumlah yang tidak dinamai berjumlah 8.844 pulau. Sedangkan yang ditempati berjumlah 922 pulau. Pulau merupakan aspek penting dari perwujudan negara sebagai wilayah. Dengan data yang dihadirkan diatas, mengadirkan kekhawatiran bagi Indonesia yang rentan akan kehilangan pulau tersebut. fenomena yang terjadi sekarang terdapat jaringan-jaringan tertentu yang mengakomodir penjualan pulau-pulau yang khususnya tidak bernama dan tidak berpenghuni tersebut. Sebagai salah satu negara kepulauan di dunia, perubahan iklim dianggap sebagai masalah keamanan tradisional yaitu integritas territorial negara, entah melalui meningkatnya badai siklun atau permukaan air laut, negara kepulauan menganggap perubahan iklim sebagai ancaman eksistensi mereka.

(4)

Indonesia dalam aktif dan berperan dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan internasional.

Gambar 1.2. penelitian tingkat sea level rise di Indonesia dalam http://www.hist-chron.com/ (diakses pada 10 september 2015).

Dinamika Rezim Perubahan Iklim

(5)

yang mengubah komposisi atmosfir global dan variabilitas iklim ilmiah alamiah yang teramati pada periode waktu tertentu yang dapat diperbandingkan (Wangke, 2011). Lantas mengapa UNFCCC mengungkapkan bahwa akifitas manusia lah penyebab perubahan iklim? Hal tersebut didasarkan pada laporan dari International Panels on Climate Change (IPCC) tahun 2007 bahwa telah terjadi peningkatan konsentrasi gas karbondioksida di atmosfir dari zaman pra industri sebesar 280 ppm menjadi 379 ppm pada tahun 2005 (Stocker, 2001) Contoh nyata yang menjadi bukti kuat bahwa pemanasan bumi (global warming) telah merubah iklim dan memperburuk keadaan adalah keadaan yang terjadi di kutub utara. Pada akhir musim panas September tahun 1980, kutub utara ditutupi oleh 3,01 juta mil persegi es, dan pada akhir musim panas 2008, Kutub Utara hanya ditutupi oleh 1,81 juta mil persegi es atau dapat dikatakan bahwa Kutub Utara telah kehilangan es sebesar 40%. Begitu juga halnya yang terjadi di Greenland yang diperkirakan telah kehilangan es sebesar 273 miliar ton es sejak tahun 1957 (Hegerl, 2007).

Peningkatan suhu bumi merupakan fenomena akibat penumpukan gas rumah kaca yang dihasilkan dari pembakaran yang menggunakan bahan bakar fosil seperti batubara, minyak dan gas alam. Adanya peningkatan suhu bumi ini, diperkirakan merupakan akibat dari akumulasi proses industrialisasi sejak 157 tahun yang lalu. (Wangke, 2011). Apabila tidak ada tindakan perbaikan alam, maka es yang ada di Antartika dan Greenland akan terus mencair yang nantinya dapat menaikkan permukaan air laut antara 6-7 meter. Selain itu, 85% es di yang menutupi Kilimanjaro yang mencair sejak tahun 1912 dan akan habis seluruhnya pada masa 20-30 tahun mendatang. Dengan begitu, tidak dapat dielakkan lagi negara-negara kepualauan di Pasifik akan tenggelam dan pulau-pulau kecil pun juga akan ikut tenggelam.

(6)

rumah kaca negara-negara industri yang secara historis menyumbang banyak emisi karbondioksida. Negara-negara pun mulai memiliki dua prioritas dalam upaya merespon perubahan iklim yang terjadi (Wangke 2011). Priorotas pertama adalah upaya mitigasi yang dilakukan negara-negara maju dalam mengurangi gas karbon. Prioritas kedua adalah upaya negara-negara berkembang dalam mengimplementasikan strategi yang efektif menghadapi perubahan iklim. Tentu saja prioritas yang ada disesuaikan dengan perbandingan jumlah emisi gas karbon yang dihasilkan negara-negara di dunia.

Sumber

Emisi AS Cina Indonesia Brazil Rusia India

Energi 5752 3720 275 303 1572 1051

Pertanian 442 1171 141 598 118 442

Kehutanan 403 47 2563 1372 54 40

Sampah 213 174 35 43 46 124

Total 6005 5017 3014 2316 1754 1577

Sumber: PEACE, Indonesia and Climate Change: Current status and Policy 2007

Protokol Kyoto

(7)

tersebut sehingga tingkat emisi yang mereka hasilkan tetap berlanjut tanpa ada perubahan dari sebelumnya. Pertemuan di Rio de Jeneiro ini pun dianggap tidak menghasilkan suatu perubahan yang maksimal.

Peningkatan suhu bumi yang semakin menjadi, mendorong negara-negara untuk terus berupaya mencari kesepakatan baru mengingat laju konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir harus segera diakhiri. Hingga pada tahun 1995 di Berlin menjadi pertemuan kedua yang menyepakati adanya kesepakatan batasan yang mengikat terhadap tingkat emisi yang mereka hasilkan. Kemudian kesepakatan tersebut dibawa ke pertemuan selanjutnya pada tahun 1997 yang diungkit-ungkit menjadi kesepakatan yang bersejarah yang melahirkan Protokol Kyoto. Protokol Kyoto menjadi perjanjian internasional yang mengatur negara-negara maju mengurangi tingkat gas emisinya yang menyebabkan terjadinya pemanasan global (Wangke 2011). Di bawah Protokol Kyoto ini pula negara-negara maju dan indutri harus patuh di bawah hukum yang mengikat tentang pengendalian enam gas emisi gas rumah kaca yaitu karbondioksida, metanol, nitroksida, hidroflorkarbon, perfloroucarbons, dan sulfurhexaflouride. Optimisme muncul ketika disebutkan dengan tegas dalam protokol Kyoto bahwa negara-negara yang tergolong ke dalam Annex 1 akan mengurangi tingkat emisi karbonnya hingga 5 persen dibawah tingkat tahun 1990 antara tahun 2008 sampai tahun 2012.

(8)

Kendati demikian, negara-negara masih berusaha menyelamatkan Protokol Kyoto dengan mengadakan pertemuan pada bulan November 2001 di Marakesh yang menghasilkan kesepakatan dibawah dukungan Uni Eropa, Kanada, Rusia, dan Jepang untuk segera menandatangani Protokol Kyoto tanpa partisipasi AS dan tanpa partisipasi pembatasan emisi negara-negara berkembang. Pada Februari 2002, Presiden George Bush menegaskan kembali bahwa AS tidak akan meratifikasi Protokol Kyoto dan tidak akan berupaya mengurangi emisi gas karbon. Hingga pada pertengahan tahun 2002, Protokol Kyoto telah ditandatangani oleh Uni Eropa dan Jepang namun belum oleh Kanada, Rusia, Polandia, dan oleh negara-negara industri yang sedang dalam transisi (Economies in transition).

Pertemuan di Bonn dan Marakesh masih gagal dalam mencapai kesepakatan tentang pengurangan emisi gas karbon oleh negara-negara berkembang. AS menganggap bahwa semua negara yang terlibat dalam menghasilkan emisi gas karbon harus terlibat ke dalam perjanjian internasional agar penanganan perubahan iklim dapat dilakukan secara efektif dan menghindari tanggung jawab pengurangan gas dari negara partisipan kepada negara non partisipan. Dengan begitu, partisipasi Cina dan negara-negara berkembang lainnya dalam mengurangi gas emisi merupakan prasyarat bagi AS untuk terlibat dalam Protokol Kyoto. Melihat kondisi tersebut maka secara implisit Protokol Kyoto telah gagal dalam menyepakati kewajiban negara-negara berkembang untuk mengurangi gas karbon (Nainggolan, 2010).

Kegagalan Protokol Kyoto

Pertemuan di Bonn dan Marakesh nyatanya tidak dapat membuat kesepakatan pengurangan gas oleh negara-negara berkembang. Dengan kondisi demikian, berarti Protokol Kyoto akan berjalan tanpa keterlibatan AS dan Cina serta negara-negara berkembang lainnya. Sehingga hal ini menyebabkan Protokol Kyoto akan membiarkan lebih dari setengah emisi gas rumah kaca dunia terus terkonsentrasi di atmosfir. Jika hal ini terjadi, berarti Protokol Kyoto telah gagal merealisasikan tujuan awal pembentukannya.

(9)

mengumumkan penarikan diri dari kesepakatan Protokol Kyoto(Nainggolan, 2010). Perlahan namun pasti, semua negara-negara yang termasuk ke dalam Annex 1 menarik diri dari kesepakatan Protokol Kyoto. Melihat realitas yang demikian, kegagalan Protokol Kyoto ini dapat dilihat karena beberapa sebab. Pertama, kegagalan Protokol Kyoto mengajak negara-negara peserta dalam mengurangi emisi gas. Paling tidak dalam perjanjian untuk mengurangi emisi gas karbon harus melibatkan negara-negara seperti AS, Uni Eropa, Jepang, Rusia, Cina, dan India. Kedua, Protokol Kyoto tidak memiliki mekanisme kepatuhan yang efektif. Ketiga, Negara-negara konvensi UNFCCC tidak semuanya mengimplementasikan isi perjanjian, sehingga konvensi tersebut menjadi tidak efektif. Keempat, Rasionalitas negara-negara yang lebih mengedepankan kepentingan ekonomi negara masing-masing. Kelima, tidak adanya penekanan yang sama terhadap negara-negara di dunia yang juga menghasilkan tingkat emisi gas yang cukup besar. Prinsip “common but differented responsibilities” menjadi kendala bagi implementasi Protokol Kyoto. Contohnya adalah negara-negara seperti Cina, Korea Selatan, Brazil dan India merupakan para pihak yang mendukung Protokol Kyoto karena mereka tidak diharuskan untuk mengurangi emisi gas karbon mereka, padahal dalam era perdagangan bebas saat ini perekonomian negara-negara tersebut khususnya Cina yang menjadi pesaing utama AS menghasilkan emisi gas yang cukup signifikan di dunia.

Kegagalan Protokol Kyoto ini layaknya mendapat perhatian lebih karena negara-negara yang meskipun sadar bahwa mereka harus menyelematkan dunia akibat perubahan iklim yang terjadi masih tetap mengedepankan kepentingan perekonomian masing-masing. Karena itu masalah tentang lingkungan menjadi isu krusial yang tidak mudah dalam pencapaian solusi bersama terlebih melibatkan masyarakat internasional yang memiliki perbedaan kepentingan yang masing-masingnya ingin terpenuhi. Karena itu perlu adanya upaya sungguh-sungguh untuk menyelesaikan. Keberhasilan akan sangat bergantung pada kekuatan dan kejujuuran dari komitmen nasional masing-masing negara dan pada proses pengembangan kerjasama pengaturan perubahan iklim skala global.

Isu Kenaikan Muka Air Laut (Sea Level Rise)

(10)

menyebabkan mencairnya es di kutub, misalnya, merupakan ancaman bagi ribuan - bahkan jutaan - orang yang tinggal dan hidup di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil karena naiknya permukaan air laut. Indonesia pun terancam kehilangan pulau-pulau kecil karena perubahan iklim. Isu kenaikan air laut muncul sejak tahun 1880 yang mincapai ketinggian 8 inci, ketinggian isi mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Peneliti dari analis Climate Central (www.sealevel.climatecentral.org

(diakses pada 9 Oktober 2014)) menyebut dalam artikelnya:

A Climate Central analysis finds the odds of “century” or worse floods occurring by 2030 are on track to double or more, over widespread areas of the U.S. These increases threaten an enormous amount of damage. Across the country, nearly 5 million people live in 2.6 million homes at less than 4 feet above high tide — a level lower than the century flood line for most locations analyzed. And compounding this risk, scientists expect roughly 2 to 7 more feet of sea level rise this century — a lot depending upon how much more heat-trapping pollution humanity puts into the sky

Kenaikan muka air laut yang diiringi dengan kenaikan suhu memiliki dampak-dampak tertentu antara lain: pertama, Kenaikan suhu permukaan laut dapat merusak terumbu karang (coral bleaching) dan mengubah arah arus laut yang berakibat pada pola migrasi ikan yang malah menyebabkan ikan-ikan menunggalkan laut tersebut dan berpindah ke lautan lainya yang selanjutnya akan mempengaruhi mata pencaharian nelayan. Kedua, Kenaikan tinggi muka air laut yang menyebabkan meluasnya genangan air laut dan abrasi di wilayah pesisir serta peningkatan intrusi air laut ke daratan, hal inilah yang dapat mengancam kehidupan di wilayah pesisirr. Ada beberapa faktor yang menyebabkan risiko penggenangan air laut di pesisir akibat bahaya kenaikan muka air laut, variabilitas iklim El-Nino, dan gelombang badai yang disertai dengan kejadian air pasang tertinggi (www.menlh.go.id (diakses pada 9 Oktober 2014))

(11)

yang ada di kedua kutub tertarik dan mencair hingga mengikis gunung es yang ada disana hal inilah yang menjadi akibat dari pemanasan global dan kenaikan suhu temperatur lautan. Kedua. Kekuatan fisik - Subsidence dan rising berhubungan dengan aktivitas tektonik dan ekstraksi air dan sumber daya seperti gas dan minyak. Jenis kekuatan ini, benar-benar tidak mengubah volume laut, hanya permukaan laut relatif. Namun, perubahan ini juga tidak mempengaruhi gerakan atas tanah, serta perkiraan dari satelit altimetri. Misalnya, di Gulf Skandinavia Bothnia, keadaan tanah yang tetekan akibat banyaknya gletser telah menyebabkan tanah di didaratan tersebut semakin terkikis oleh air dan tenggelam. Sekarang gletser yang mencair dan tekananya telah ditanggulangi, akan tetapi, wilayah ini justru malah meningkatkan tingkat permukaan air laut sebanyak 11 mm per-tahun. Rebound ini membuatnya tampak seperti permukaan laut menurun meskipun sebenarnya meningkat sebesar 2,1 mm per tahun (Milne et al., 2001).

Ketiga, keadaan laut dan samudera saat ini yang memiliki tekanan dan kekuatan yang mampu membawa arus laut daerahserta memindahkan sejumlah besar air dari satu lokasi ke lokasi juga mempengaruhi permukaan laut relatif lain tanpa mengubah volume aktual laut. Misalnya, el Nino bergerak air dari satu sisi Pasifik yang lain setiap tiga atau empat tahun. Variasi skala besar ini juga mempengaruhi permukaan laut relatif daerah-daerah tertentu. Dalam kondisi normal, angin perdagangan meniup melintasi Pasifik ke arah barat. Menurut NOAA, angin perdagangan mendorong air permukaan yang hangat ke barat Pasifik, sehingga permukaan laut kira-kira 1/2 meter yang tinggi di Indonesia daripada di Ekuador. Selama El Nino tahun, air hangat ini didorong ke Pasifik timur.

Kebijakan Luar Negeri Indonesia

(12)

polusi udara atau sulitnya akses terhadap sumber daya air. Karena berperan penting bagi pembangunan jangka panjang Indonesia, penanganan masalah lingkungan hidup menjadi semakin mendesak dalam kaitannya dengan isu perubahan iklim.

Indonesia merupakan penghasil emisi gas rumah kaca yang besar sekaligus negara yang secara khusus, rentan terhadap dampak perubahan iklim seperti misalnya, kenaikan muka air laut atau gangguan terhadap sektor pertanian dan ketahanan pangan. Menanggapi masalah tersebut di atas, selama bertahun-tahun Komisi Eropa telah menjalin kerja sama dengan Indonesia di bidang lingkungan hidup. Sektor kehutanan dan sumber daya alam khususnya, telah menjadi sektor prioritas dalam kerja sama Komisi Eropa dan Indonesia sejak tahun 1990-an. Tinjauan Tengah Waktu (Mid-Term Review) yang baru-baru ini dimuat dalam Country Strategy Paper tahun 2007-2013 menekankan pentingnya sektor lingkungan hidup dan terutama isu perubahan iklim, sebagai bagian dari kerja sama bilateral antara Komisi Eropa dan Pemerintah Indonesia. Masyarakat sipil juga merupakan mitra penting dalam kerja sama bidang lingkungan hidup Komisi Eropa di Indonesia dan oleh karena itu sejumlah proyek memperoleh dukungan yang didanai melalui Program Tematik Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam.

Pada bulan Desember 2008, Maha Guru Ching Hai berbicara dengan rekan-rekan inisiat kita tentang ancaman tenggelamnya pulau-pulau dan bencana-bencana lain yang berhubungan dengan pemanasan global. Indonesia berisiko kehilangan pulau-pulaunya karena perubahan iklim. Dengan percepatan global warming, Peneliti Institut Ilmu Pengetahuan Indonesia Dewi Fortuna Anwar berpendapat bahwa pulau-pulau di sebelah luar negara ini sedang berada dalam risiko tenggelam sehubungan dengan naiknya permukaan air laut. Dengan total 17.504 pulau, beberapa di antaranya diperkirakan telah menghilang di lautan, menurut antisipasi, kenaikan satu meter air laut akan mengakibatkan 2.000 pulau menghilang seutuhnya bersama dengan menghilangnya 405.000 hektar daerah pesisir pantai. Adapun kebijakan setempat cenderung membiarkan hal ini terjadi dan kurang ada penanganan yang lebih lanjut. Sehingga yang terjadi migrasi besar-besaran terjadi yang menyebabkan ledakan penduduk.

(13)

sikap yang ditujukan oleh elemen-elemen negara dapat dijadikan sebagai acuan kebijakan negara. ada tiga tahap yang mampu dianalisis dari kebijakan luar negeri Indonesia; individual level of analysis, group level of analysis, dan sistem level of analysis. Selain itu haruslah menganalisis dari salah satu kebijakan dari dua konsep what’s happen? Dan Why things happen? (Breuning, 2007). Dari landasan ini penulis akan memetakan satu persatu kebijakan indonesia.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai salah satu aktor dan Presiden Republik Indonesia memiliki pandangan dan sikap tersendiri terhadap isu-isu perubahan iklim. Dalam beberapa pertemuan internasional yang beliau hadiri, banyak statement yang dia ajukan dalam forum internasional yang merepresentasikan bahwa Indonesia memiliki konsentrasi penuh terhadap isu lingkungan. Namun, dalam kaitanya dengan isu kenaikan muka air laut, peneliti belum mendapatkan penemuan-penemuan mengenai sikap dan kebijakan aktor tunggal ini dalam isu terkait yang disebabkan beberapa kebijakan yang lebih penting lainya yang harus diutamakan.

Sebagai salah satu kepentingan nasional Indonesia, periode pre-2020 nanti, Indonesia menekankan beberapa hal antara lain kejelasan mengenai komitmen dan aksi negara maju, di bawah Protokol Kyoto Periode Komitmen Kedua maupun di bawah Konvensi, untuk memastikan pencapaian target global. Selain itu Indonesia menggarisbawahi pentingnya kepastian means of implementation dari negara maju, yaitu pendanaan, dukungan teknologi serta capacity building. Sementara itu untuk periode pasca-2020, Indonesia memandang penting tercapainya kesepakatan 2015 Legally Binding Agreement (LBA-2015) dengan tetap berlakunya prinsip dasar UNFCCC yaitu Common but Differentiated Responsibilities (CBDR), Respective Capability (RC), dan equity meskipun upaya global pasca-2020 menekankan pada applicable to all Parties, tetapi harus berdasarkan kondisi nasional masing-masing negara (Feripasha, 2009).

(14)

dengan komitmen yang lebih tinggi. Sumber daya alam (SDA) yang kita miliki perlu dikelola untuk masyarakat dengan tidak hanya mempertimbangkan generasi masa kini tetapi juga generasi yang akan datang. Pengelolaan lingkungan hidup mendorong pemanfaatan SDA secara arif. Badan Nasional yang bergerak dalam urusan lingkungan, perbatasan, yang mengurus pulau terluar juga secara langsung menjelaskan bahwa upaya yang mereka lakukan sudah terlaksana akan tetapi upaya yang mereka lakukan tidaklah relevan dengan apa yang ada. Kebijakan yang mereka terapkan disini baik sistem maupun lembaga pemerintahan dianggap kurang tepat dan tidak professional. Seharusnya fokus yang lebih ditujukan pada usaha pemerintah pada urusan ini, jika tidak maka terdapat permasalahan lainya yang akan bermunculan. Oleh karena itulah tulisan ini memberikan penjelasan singkat mengenai situasi yang terjadi di Indonesia yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Indonesia, selain itu kurangnya fokus akan isu ini yang sudah menjadi perhatian dunia sejak lama akan tetapi implementasi dari masyarakat dan pihak elit negara untuk berfikir keras dalam menjaga kedaulatan negara dari ancaman yang datang khususnya hilangnya pulau yang ada akibat isu kenaikan muka air laut.

Kesimpulan

(15)

kita. Indonesia merupakan salah satu negara yang dibahasa dalam penelitian ini yang memiliki andil dalam forum internasional untuk menghimbau negara-negara lain untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang menjadi masalah pokok dalam rezim perubahan iklim ini. Peneliti menyatakan bahwa usaha pemerintah dan sistem yang diberlakukan merupakan suatu usaha yang terpuji, akan tetapi sangat kurang sekali bentuk konsistensi terhadap isu ini. dalam penelitian ini, peneliti memberikan rekomendasi agar badan negara yang memiliki fokus pada lingkungan harus diberikan perhatian lebih, atau bisa jadi otonomi daerah yang masih berlaku saat ini juga mengembangkan usaha melestarikan lingkungan dan juga menanggulangi isu terkait dengan cara membangun Badan yang mampu mendata pulau-pulau terjauh dan menamainya serta melakukan kontrol terhadap pulau tersebut dengan menempati pulau tersebut dengan melakukan upaya pembangunan pangkalan militer, destinasi wisata dan hal-hal lainya yang mampu menghidupi pulau tersebut agar terurus oleh negara dan menjaganya dari ancaman tenggelam.

Referensi:

Nainggolan, Poltak Partogi. 2010. Bagian Keempat; Kendala-kendala Yang Dihadapi Indonesoa Dalam Pembahasan Isu Kelautan Pada Pertemuan COP-15 di Kopenhagen dalam ‘’Pemanasan Glonal dan Perubahan Iklim’’. Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR Republik Indonesia

Wangke, Humprey, 2011. “Mencari Solusi Atas Perubahan Iklim, Jakarta Pusat: Pusat Pengkajian dan pengelolaan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR Republik Indonesia.

Feripasha, Erik. 2009. Kebijakan Luar Negeri Indonesia terhadap Isu Perubahan Iklim Global Era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.

Stocker, Thomas F, 2001. "7.2.2 Cloud Processes and Feedbacks". Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change.

(16)

I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. pp. 690. Breuning, Marijke. 2007. Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction. New

York: Palgrave MacMillan.

Milne, G. A. et al. 2001. "Space-Geodetic Constraints on Glacial Isostatic Adjustment in Fennoscandia." Page: 2381–2385.

The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change. 5 Februari 2007.

Sea Level Central 2014. The Fact about Sea Level Rise in the world. Source http://sealevel.climatecentral.org/#sthash.ia5Q1NF0.dpuf (diakses pada 9 Oktober 2014).

Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, 2014. Sambutan Daerah Menteri Lingkungan Hidup Pada Peringatan Hari Lingkungan Hidup Se-dunia, 5 juni 2014. http://www.menlh.go.id/sambutan-daerah-menteri- lingkungan-hidup-pada-peringatan-hari-lingkungan-hidup-se-dunia-5-juli-2014/ (diakses pada 9 Oktober 2014).

Gambar

Gambar 1.1. Fenomena sea level rise di Asia Tenggara dan kepulauan pasifik dalam http://cdn.phys.org/ (diakses pada 10 September 2015)
Gambar 1.2. penelitian tingkat sea level rise di Indonesia dalam http://www.hist-chron.com/ (diakses pada 10 september 2015)

Referensi

Dokumen terkait

Maka membaca al-Qur’an juga mempunyai seninya tersendiri, tentunya seni baca al-Qur’an tidak lepas dari rasa keindahan, yaitu keindahan suara (bunyi lafal-lafal

Data tekstual prasasti yang ditemukan (berasal) dari areal terbahas menunjukkan bahwa di wilayah Kota dan Kabupaten Malang sekarang ini, sekitar seribu tahun silam (abad

Menendang bola merupakan suatu usaha untuk memindahkan bola dari seuatu tempat ke tempat lain menggunakan kaki atau menggunakan bagian kaki. Menendang bola

Dari pengamatan yang telah penulis lakukan berdasarkan hasil observasi langsung dengan Reservation Agent penulis telah memberi kesimpulan bahwa penanganan pemesanan kamar

Jenis penelitian adalah operational research untuk mengetahui nilai pemakaian dan investasi obat, mengetahui jumlah pemesanan optimum dan waktu pemesanan kembali

Pada bab ini akan dilakukan analisis dan pembahasana dari hasil pengumpulan dan pengolahan data terhadap penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan

Menurut SCB di dalam kehidupan perpuisian Indonesia, semangat pembaharuan tercermin melalui upaya para penyair Angkatan Pujangga Baru yang melakukan perubahan terhadap

Intisari — Permasalahan penjadwalan pembangkit berkaitan dengan pemenuhan seluruh permintaan beban dan pencarian total biaya operasi pembangkitan yang optimal tanpa melanggar semua