• Tidak ada hasil yang ditemukan

konflik lokal dampak global dampak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "konflik lokal dampak global dampak "

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Konflik Lokal, Dampak Global

A. Pendahuluan

Pasca runtuhnya Uni Soviet, berakhirlah perang dingin antara blok barat dan blok timur, dengan kemenangan demokrasi dan liberalisme. Namun, momen tersebut tidak justru menciptakan dunia yang lebih aman. Walau perang antarbangsa mulai berkurang, jumlah perang saudara justru malah meningkat. Hal ini jamak terjadi pada bangsa modern majemuk, dengan banyak kelompok etnis. Runtuhnya Uni Soviet dan berakhirnya perang dingin juga menghasilkan banyak bangsa baru yang merupakan hasil dari konflik subnasional yang berbasis etnis1[1]. Kategorisasi konflik etnis, bukan hanya konflik antar etnis atau antar agama dalam suatu negara, tapi juga antara negara dengan kelompok etnis tertentu dalam negara tersebut. Banyaknya konflik etnis juga telah membuat topik ini menjadi satu topik menarik dalam hubungan internasional. Konflik dengan bentuk tuntutan pemisahan diri adalah bentuk konflik etnis yang banyak menarik perhatian internasional. Walaupun kesenjangan antara etnis.identitas lokal dengan identitas kolektif yang didefinisikan sebagai negara belum tersentuh oleh mainstream

hubungan internasional.

Globalisasi tidak mampu mereduksi ide-ide nasionalisme, malah semain terkait dengan perang. Walter S. Jones, 178-180) menyatakan keterkaitan antara nasionalisme dan perang berwujud tuntutan teritorial dan politik militan yang diorganisir atas dasar prinip-prinsip identitas etnik, bangsa, agama dan kelompok rasial. Militansi terebut tersebut dijewantahkan dalam bentuk separatisme dan irendentis. Menurut Jacques Berthand, ethnic violence tends to occur

during periods of renegoitation of national models and state institusions2[2]. Gerakan ini juga

menjelma menjadi masalah moral bagi sistem internasional. Right to Self Determination adalah sebuah nilai yang telah dimanifestasikan dalam hak universal. Sehingga menjadi dillema untuk tidak mendukung perjuangan kelompok yang merasa dianeksasi oleh negara dan atau bangsa yang lain. Menurut David Bourchier, kondisi tersebut dikarenakan, bahwa setiap bangsa

1[1] Jack Synder “Nationalism and the Crisis of The Post-Soviet State”, dalam

Michael E. Brown, Ethnic Conflict and Internasional Security, Princenton University

Press, 1993, Hal.79

2[2] Jacques Bertrand, Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia. Cambridge

(2)

memiliki semangat kebangsaan (volkgeist) dan setiap negara seharusnya dibangun atas dasar semangat unik ini, bukan atas dasar prinsip universal yang abstrak, seperti kedaulatan rakyat atau demokrasi3[3]Hal ini semakin diperparah dengan ketidakjelasan tapal batas sebagai warisal koloni dimasa yang lalu. Konflik di Mindanao misalnya, Paris Treaty dapat dilihat sebagai bentuk warisan koloni yang memicu konflik. Perjanjian ini menjadi dasar dari penentuan wilayah Filipina. Namun, bangsa Moro tidak pernah dijajah oleh Spanyol jadi Mindanao bukanlah wilayah koloni Spanyol yang harus diberikan pada Amerika.

Namun, konflik etnis yang berakhir pada lahirnya bangsa-negara baru bukan berarti tidak membawa dampak bagi komunitas internasional. Merujuk pada Brown, ada enam dampak yang terlihat. Pertama, tapal batas, apa yang dulu menjadi perbatasan negara tertentu telah berubah dan bergeser serta tapal batas milik masyarakat internasional. Kedua, pengakuan atas kedaulatan negara tersebut, masyarakat internasional harus memutuskan apakah mereka akan memberi kedaulatan atau tidak. Ketiga, pengakuan keanggotaan dalam organisasi regional dan internasional. Keeempat, rekonfigurasi perjanjian-perjanjian internasional yang melibatkan negara-negara terkait. Kelima, perjanjian ekonomi dan finansial serta pendampingan yang intensif terhadap kedua hal tersebut. Keenam, dampaknya bagi stabilitas regional dengan negara-negara sekitar.

Kehadiran PBB sebagai salah satu kekuatan politik internasional yang berpengaruh, juga tidak mampu berbuat banyak dalam mencegah berbagai konflik etnis. Selain, karena ketidakkaitan kepentingan negara-negara maju sebagai penggerak PBB dengan berbagai konflik tersebut. Hal itu juga terkait dengan konsep kedaulatan negara. Konflik etnis yang massif tidak hanya terjadi di negara-negara pecahan Yugoslavia, tapi juga terjadi di Afganistan, Angola, Armenia, Azerbajian, Burma, Georgia, India, Indonesia, Liberia, Sri Lanka, Sudan, Tajikistan, Bangladesh, Belgium, Bhutan, Burundi, Estonia, Ethiopia, Guatemala, Iraq, Latvia, Lebanon, Mali, Moldova, Niger, Irlandia Utara, Pakistan, Filipina, Romania, Rwanda, Afrika Selatan, Spanyol, dan Turki. Selain itu, berbagai konflik politik yang terjadi di Suria, Tibet dan berbagai Negara lainnya berpotensi melahirkan konflik baru.

3[3] Jamie D. Davidson, David Henley dan Sandra Moniaga, Adat Dalam Politik

(3)

Konflik etnis menjadi penting dalam studi hubungan internasional, bukan hanya karena telah menjadi bagian dari konsep human security. Namun juga dikarenakan membawa pengaruh pada stabilitas sistem internasional. Gelombang pengungsian kenegeri tetangga, serta berbagai dampak lainnya. Karenanya tentu sangat beralasan jika dikatakan bahwa konflik etnis dalam satu negara dapat memiliki dimensi internasional, ditambah lagi dengan kecendrungan kelompok yang bertikai menginternasionalisasi konflik tersebut. Menurut pendapat Michael E. Brown, konflik etnis akan bermuara pada satu dari tiga hal. Pertama, terjadinya rekonsiliasi damai,

kedua, perpecahan etnis secara damai dan ketiga, perang saudara yang berkepanjangan.

B. Rumusan Masalah

Dari penjabaran pada latar belakang masalah diatas, penulis mengajukan rumusan masalah sebagai berikut ; Bagaimana memahami konflik etnis dengan kerangka politik identitas dan nasionalisme serta dimensi internasionalisasinya dan resolusi konflik etnis?

C. Kerangka Konseptual

Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan diatas, penulis menggunakan kerangka pemikiran politik identitas dan nasionalisme dengan pendekatan teori wacana serta bangun teoritik resolusi konflik.

Identitas disini dipahami sebagai persoalan kesamaan dan perbedaan baik pada aspek personal maupun sosial4[4]. Secara personal, Giddens5[5] menyebutkan bahwa identitas diri adalah apa yang kita pikirkan tentang diri kita sebagai pribadi yang berubah dari satu situasi kesituasi yang lain menurut ruang dan waktunya. Identitas adalah suatu essensi yang dapat dimaknai melalui tanda selera, kepercayaan, sikap dan gaya hidup. Baik itu yang bersifat personal maupun sosial, yang sepenuhnya merupakan konstruksi sosial dan tidak mungkin eksis diluar representasi dan akulturasi6[6]. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Cooley (1902) bahwa seseorang dan komunalnya adalah dua bagian yang berbeda dari satu koin. Senada dengan pernyataan tersebut, Coleman (1990) dan Stryker (1980) menegaskan bahwa struktur sosial

4[4] Chris Barker, Cultural Studies : Teori dan Praktek, Kreasi Wacana Yogyakarta,

2004, Hal. 170

5[5]Ibid, Hal. 171

(4)

tertentu tercipta dari pengejawantahan identitas dalam bentuk tindakan-tindakan actor dari pribadi-pribadi didalamnya7[7].

Teori identitas bukanlah sebuah teori yang benar-benar baru, teori ini merupakan perkembangan dari dua teori lainnya. Pertamanya adalah Symbolic Interactionism, termasuk pokok-pokok pikiran tentang apa yang membentuk identitas dan juga bagaimana mereka berfungsi. Bagian lainnya adalah perceptual control theory, sebuah teori yang dikembangkan oleh William T. Power (1973). Ini adalah set menyangkut ide-ide tentang pemahaman dasar sistem control dan menambah pemahaman tentang tujuan dari apa yang menjadi dasar hal tersebut8[8]. Bertalian dengan identitas, bangsa kontras dengan alat. Bangsa dan identitas tidak eksis sebagai objek yang terpisah dari manusia yang membentuknya. Sebagaimana dengan seluruh hubungan sosial, material yang keluar dimana bangsa dibentuk adalah kehidupan manusia9[9]. Banga yang modern adalah bangsa yang diakui oleh anggotanya sebagai lebih dari sekedar pengaturan ruang bagi interaksi acak diantara para individunya. Ia dipandang sebagai

home, dimana semangat dari generasi masa lalu maupun masa kini memenuhi pengaturan ruang

tersebut, membuatnya menjadi tanah air, sebuah teritorial10[10]

Pandangan ini dirasakan sesuai dengan pemikiran Bennedict Anderson mengenai konsep nasionalisme., yang secara antropologis disebut olehnya sebagai imagined community. Merujuk pada Anderson, ide tentang komunitas terbayangkan itu akan menjadi sebuah kemenjadian sejarah yang makna-maknanya terus bereproduksi. Pendekatan ini dirasakan sejalan dengan teori diskursus Ernesto Laclau yang melihat bahwa hubungan-hubungan sosial adalah contigent

adanya. Oleh karena itu, identitas-identitas dibentuk secara relasional. Begitupun dengan nasionalisme, sebagai sebuah pandangan terhadap dunia secara sistematis, tidak berkompromi dan tidak realistis, hadirnya dikendalikan oleh diskursus hubungan-hubungan relasional. Karenanya Tom Nairn, menyebutnya “penyakit sejarah perkembangan masyarakat modern. Konsekuensinya adalah bahwa hubungan tersebut dipandang sebagai

hubungan-7[7] Peter J Burke dan Jan E. Stets, Identity Theory, Oxford University Press, 2009,

Hal. 3-4

8[8]Ibid, Hal. 18

9[9] Steven Grosby., Hal. 37

(5)

hubungan kuasa hegemoni. Oleh karenanya, identitas dari berbagai bentuk menjadi sangat penting untuk menunjukkan kedudukan tentang seseorang11[11].

Anderson menyebutkan bahwa budaya, agama, bahasa dan sejarah dinasti bisa menjadi dasar pembentukan bangsa atau masyarakat terbayang (the imagined community). Kolonialisme yang datang dengan budaya, bahasa dan agama berbeda dengan gampang dapat menyakinkan bangsa yang dijajah untuk menjadi satu entitas yang berbeda karena mereka memiliki akar budaya, kepercayaan, bahasa yang berbeda dari sosok penjajah mereka (Anderson, 1981: 9-36). Lebih jauh, sebagai sebuah kemenjadian sejarah (a historical being), maka sekali terbentuk nasionalisme kemudian menjadi satu ‘modular’, yang ‘dapat ditransplantasikan, dengan derajat-derajat kesadaran diri berbeda, menyatukan dan disatukan dalam hubungannya dengan berbagai konstelasi ideologi dan politik’ (Anderson, 1981: 4). Konstelasi ideologi-politik itu lah yang terus-menerus akan memengaruhi bentuk gagasan nasionalisme mau pun prakteknya di dalam kehidupan sosial politik suatu masyarakat. Konstelasi itu pula yang menyebabkannya mengalami pasang-surut yang tidak pernah henti, meski adakalanya bubar atau memecah menjadi beberapa sub-nasionalisme yang kemudian berdiri sendiri. Proses kesejarahan lah satu-satunya yang bisa dijadikan patokan tentang masa depan suatu nasionalisme12[12].

Nasionalisme Indonesia adlah bentuk ketiga dari nasionalisme, yaitu aggressive nationalism.

Gerakan nasionalisme yang menentang imprealisme, tapi perkembangan kajian tentang nasionalime di Indonesia tidaklah parallel dengan perkembangan nasionalisme itu sendiri.

Primordialisme (Istilah

11[11] Maribeth Erb, “Kebangkitan adat di Flores Barat : Budaya, agama, dan

tanah”, dalam dalam Jamie S Davidson, David Henley dan Sandra Moniaga (ed), The

Revival of Tradition in Indonesian Politics:the Development of Adat from Colonialism and Indigenism, edisi terjemahan Adat dalam Politik Indonesia,

diterjemahkan oleh Emilius Ola Kleden dan Nina Dwisasanti, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, Jakarta 2010, Hal. 281

12[12] Ahmad Taufan Damanik, Hasan Tiro:Dari Imajinasi Negara Islam ke Imajinasi

(6)

dan Eric Hobsbawm

Saat perkembangan nasionalisme bertransformasi memasuki Contemporary

Nasionalisme, di Indonesia terjadi kemunculan etnonasionalisme. Nasionalisme Indonesia telah

berkembang dari berwatak antikolonial menjadi internal colonial. Perihal nasionalisme Indonesia, menurut Leifer bahwa telah mengalami perubahan dari watak awal kelahirannya menjadi a romantic nasionalism, yang mana kaum nasionalisnya memaksakan peluhuran tradisi yang dirumuskan kemudian13[13]. Namun, Leifer tidak sampai menyatakan bahwa nasionalisme Indonesia berkontestasi dengan nasionalisme Islam (yang oleh Snyder dikatakan sebagai

politico-religious nationalism yang berkembang ditimur tengah).

Nasionalisme Aceh pada masa perlawanan bersifat ideologis, yang menjadi instrument menggerakkan massa dalam jumlah besar. Lalu menjadi primordialis ketika MoU Helsinki ditandatangani dan mulai diimplementasikan. Lalu beranjak menjadi situasionalis karena ikatan sebagai sebuah komunitas politik telah didasarkan pada kepentingan. Meskipun, nasionalisme Aceh dan Indonesia, memiliki poli-etnis, demikian pula nasionalisme agama yang memiliki berbagai mazhab dan varian politik. Namun, justru dalam perkembangannya ketiga varian nasionalisme tersebut yang mengkristalkan diri menjadi sebuah etno-nasionalisme (Ethnocultural nationalism). Perbedaannya hanya dalam bassisnya saja, yakni agama dan etnis.

(7)

Nasionalisme dipergunakan dalam 3 area, yakni bahasa dan symbol14[14], gerakan politik dan ideology bangsa yang tidak berbeda jauh dari bentuk gerakan sosial lainnya dalam hal organisasi, aktivitas dan cara-caranya. Oleh karena itu, nasionalisme dapat dipahami sebagai sebuah gerakan ideologis15[15]. Kontestasi diantara ketiga varian tersebut merupakan upaya kolektif dari masing-masing anggota varian untuk meraih otonomi, kesatuan dan identitasnya dalam rangka membentuk sebuah bangsa yang sesuai dengan yang dicita-citakan. Karena itu menjadi penting apa yang dikatakan oleh Brown, untuk mengubah persepsi-persepsi kepentingan diri, memodifikasi identitas kolektif dan menyuntikkan unsur moral didalam kontestasi16[16]. Hal itu merupakan modal dasar yang harus dimiliiki oleh sebuah gerakan nasionalis dalam kontestasi politik. Agar selanjutnya tiba pada tindakan kolektif model Weberian. Menurut Tilly, maka ada 5 hal yang penting, yaitu ; kepentingan (interest), organisasi (organization), mobilisasi

(mobilization), kepercayaan (belief), dan tindakan kolektif (collective action)17[17].

D. Pembahasan

1. Memahami konflik Etnis

Ketidakpahaman tentang konflik etnis, mengakibatkan seringnya mengakibatkan kesalahan dalam penggunaan dan pemaknaanya. Bahkan seringkali penggunaanya merujuk pada konflik yang sama sekali tidak mempunyai permasalahan dengan basis etnis. Konflik etnis seringkali bernuansa kekerasan, namun juga bisa tidak. Konflik etnis yang terjadi di pecahan Yugoslavia dan kawasan Asia Tenggara memiliki dimensi kekerasan. Sementara, konflik antara Quebec dan pemerintah Kanada dengan tuntutan otonomi yang lebih besar, tidak memiliki

14[14] ..ini adalah semacam mitos, karena mitos adalah semacam wicara,

segalanya dapat menjadi mitos asal hal itu disampaikan lewat wacan (discourse).

Mitos tidak didefinisikan oleh objeknya, tapi oleh caranya menyatakan..lihat, Roland

Barthes, Mythologies, edisi terjemahan Membedah Mitos-mitos Budaya Massa:

Semiotika atau Sosiologi Tanda, Simbol dan Representasi, diterjemahkan oleh Ikramullah Mahyuddin, Jalasutra, Yogyakarta, 2010

15[15] Anthony D. Smith, Nationalism: Theory, Ideology, History, Oxford: Blackwell

Publishers Inc, 2001, Hal. 6-9

16[16] Michael E. Brown, “Why Independence? The Instrumental and Ideological

Dimensions of Acehnese Nationalisme,” Working Paper No.105, Juli 2004, Hal 7

17[17] Tilly, “From Mobilization to Revolution,” CRSO Working Paper, University of

(8)

dimensi kekerasan. Yang juga harus diperhatikan adalah keyakinan asimilasionis yang meyakini bahwa konflik antar etnis akan memudar dengan sendirinya, sejalan dengan kemajuan teknologi, industrialisasi dan mdernisasi. Mereka cenderung meyakini bahwa konflik etnis tidak terjadi bila hubungan antar manusia semakin intensif sebagai akibat dari kemajuan industrialisasi. Pandangan ini tentu akan mereduksi identitas etnis sebagai masalah utama dalam konflik etnis. Bertemunya berbagai kelompok subnasional mungkin memang akan menjadi ruang asimilasi, tapi pertemuan itu juga tidak menutup kemungkinan atas benturan-benturan yang berakar dari identitas etnis.

Selain itu, ada banyak konflik lokal yang sama sekali tidak memiliki basis etnisitas. Sehingga tidak dapat disebut sebagai konflik etnis. Michael E. Brown mencontohkan hal tersebut dalam konflik di Somalia. Menurutnya, konflik yang terjadi di Somalia, bukanlah konflik etnis melainkan pertarungan antara penguasa dengan etnis yang sama. Hal tersebut juga dapat dilihat dalam konflik antara pemerintah Kamboja dengan tentara Khmer Merah. Karena bukan persoalan etnis yang menjadi hakikat dari konflik, melainkan persoalan ideologi.

Memahami etnis adalah pintu untuk memahami konflik etnis secara komprehensif. Ada banyak konsepsi dan berbagai pengertian yang ditawarkan untuk melihat etnis dan isu-isu etnisitas. Crawford Young memahami etnisitas sebagai, as collective phenomenon and form of

identity, has in contemporary world a singular capacity for sosial mobilization18[18]. Anthony

Smith, menawarkan komunitas etnis sebagai trijectory untuk melihat etnis. Menurutnya, komunitas etnis adalah konsep yang digunakan untuk menggambarkan sekumpulan manusia dengan nenek moyang yang sama, ingatan sosial yang sama dan beberapa elemen kultural. Merujuk pada Smith, ada enam hal utama yang membentuk komunitas etnis. Pertama, memiliki nama sendiri, ketiadaan nama yang spesifik menurutnya adalah penanda dari belum terbentuknya identitas sosial yang cukup solid. Kedua, orang-orang dalam kelompok tersebut haruslah berkeyakinan bahwa mereka memiliki nenek moyang yang sama. Keyakinan ini lebih penting daripada ikatan biologis. Ketiga, orang-orang dalam kelompok tersebut haruslah memiliki ingatan sosial yang kolektiv, salah satunya adalah ditandai dengan keberadaan mitos atau legenda

18[18]Crawford Young, “Explaining the Conflict potencial of Ethnicity”, dalam John

Darby and Roger Mac Ginty (Ed), Contemporary Peacemaking, Conflict, Violent and

(9)

yang sama dan disampaikan dari generasi ke generasi. Keempat, kesamaan kultur yang sama dilihat dari berbagai kombinasi antara bahasa, agama, norma-norma adat, bahkan makanan.

Kelima, orang-orang dalam kelompok terebut haruslah merada terikat dalam teritori tertentu,

terutama yang tengah mereka tempati. Keenam, orang-orang dalam kelompok tersebut haruslah merasa dan berfikir bahwa mereka adalah bagian dari kelompok yang sama.

Pemahaman lainnya yang menarik untuk dilihat adalah konsepsi imajined community Ben Anderson. Jika melihat pada konflik Aceh, maka yang terjadi adalah perang internal yang tidak berbasis antar etnis tapi antara etnis-etnis yang menganggap dirinya bangsa Acheh dengan pemerintah Indonesia. Nasionalisme keacehan inilah yang membentuk sebuah unit politik sebuah entitas yang orang-orang didalamnya menaruh kesetiaan terhadapnya. Menurut Ben Anderson ini adalah karena terdapat banyak individu manusia yang menyatukan dirinya dalam komunitas politik yang dinamai negara-bangsa. bagi anderson ini adalah imagined political community.

Pendekatan Anderson yang memfokuskan diri pada proses collective imagination tidak jauh berbeda dengan pendekatan dalam melihat etnis sebagai sebuah unit politik. Walau memang syarat kehendak akan bersatu pada bangsa berbeda dengan etnis yang telah terbentuk sebagai sebuah kesatuan. Daniel Dhakidaer, menyatakan bahwa kedua hak tersebut adalah kenyataan yang anthropological in nature, yaitu sebuah proses pembayangan komunitas yang pada mulanya bersifat antropologi (kebudayaan) menjadi komunitas yang bersifat politis. Pertarungan politik inilah yang terkadang melahirkan konflik dengan kekerasan, diperparah dengan ketidakmampuan negara mempertegas identitasnya. Etnisitas bagaimanapun juga berhubungan dengan nasionalisme, dan nasionalisme adalah sesuatu hal yang berbeda dengan ideologi modern. Nasionalisme menegaskan identitas kolektif, berawal dari etnis menjadi sebuat bagian penting dari klaim secara politik19[19].

Dalam buku yang berjudul The Wrath of Nations : Civilizations and the Furies of

Nationalism, William Pfaff menjelaskan bagaimana nasionalisme menjadi kekuatan politik yang

dahsyat selama abad 20 dan mungkin juga dalam abad 21. Nasionalisme yang berakar pada pencarian individu untuk memperoleh rasa aman, loyalitas komunal, dan identifikasi kelompok

19[19] L. Greenfeld, Nationalism:Five Roads to Modernity, (Cambridge, Harvard

Press, 1992) dan E.J. Hobsbawn, Nations and Nationalism since 1780, (Cambridge :

(10)

menimbulkan konflik dan perubahan politik yang menggoyahkan struktur kekuasaan yang mapan. Menurut Pfaff, nasionalisme adalah kekuatan politik Uni Soviet dan Yugoslavia serta mendorong kekerasan komunal dan rasial dibanyak negara Asia dan Afrika20[20]

Menurut Brown konflik etnis adalah violent or potentially violent political disputes whose origin can be traced primarily domestic rather than systemic factors. And where armed violence takes place or threaten to take place primarily within the borders of a single state.

Namun, dia menegaskan bahwa konflik seperti ini adalah fakta dari tiap sistem politik dan negara, namun yang menjadi perhatian adalah konflik dengan kekerasan21[21]. Hugh Miall, Oliver Ramsbotham dan Tom Woodhouse menggunakan konsep temporary conflict untuk mengacu secara spesifik pada konflik-konflik yang terjadi setelah perang dingin22[22]. Sedangkan Luc van de Goor, Kumar Rupesinghe, dan Paul Sciarone lebih melihat pengaruh faktor historis kolonial dengan menggunakan term conflict in post-colonial states, mereka melihat bahwa gejala konflik etnis hampir jamak terjadi dibekas wilayah kolonialisasi, dengan pola yang sama.

Ada juga beberapa orang yang beranggapan bahwa konflik etnis muncul disebabkan oleh robohnya rezim otoriter dinegera tertentu. Para pihak kemudian menjadi itu sebagai momentum untuk berebut kuasa. Namun, argument ini menjadi tidak relevan ketika ditempat tertentu hal tersebut tidak terjadi. Melihat akar penyebab konflik memang tidak bisa dikembalikan hanya kepada satu factor tertentu. Michael E Brown, melihat bahwa konflik etnis haruslah dilihat dengan tiga level analisis. Level pertama adalah level sistemik, level domestic dan level persepsi.

Pada level sistemik, core analisanya adalah otoritas Negara. Lemahnya otoritas Negara menyebabkan ketidakmampuan untuk mencegah kelompok-kelompok etnis yang ada untuk saling berkonflik. Kelemahan itu juga menyebabkan ketidakmampuan untuk menjamin

20[20] William Pfaff, The Wrath of Nations : Civilizations and the Furies of

Nationalism, New York : Simon and Schuster, 1993, p/13-14

21[21] Michael E. Brown, The International Dimensions of Internal Conflict,

Massachusetts, MIT Press, 1996, Introduction p.1.

22[22] Hugh Mialli, Oliver Ramsbotham dan Tom Woodhouse, Contemporary Conflict

(11)

keselamatan-keselamatan individu yang ada didalamnya. Dampak lain yang ditimbulkan dari ketidakmampuan Negara tersebut adalah muncul security dilemma diantara kelompok-kelopok etnis dinegara tertentu. Saat Negara lemah maka setiap kelompok akan berusama membangun pertahanan untuk dirinya masing-masing. Implikasinya adalah aka nada kelompok yang memperkuat dirinya dan akan ada perlombaan untuk saling memperkuat dirinya.

Pada level domestic, Brown melihat hal ini terkait dengan kemampuan pemerintah untuk memenuhi kehendak rakyatnya, pengaruh nasionalisme dan relasi antar etnis didalam masyarakay, serta pengaruh dari proses demokratisasi dalam konteks relasi antar kelompok etnis. (Broen, 1997, hal 85). Setiap rakyat tentu berharap kesejahteraan dari proses kontrak socialnya sebagai warga Negara. Karenanya, nasionalisme menurutnya adalah konsep yang menggambarkan kebutuhan untuk mendirikan Negara yang akan menjawab persoalan tersebut. Ketika Negara yang dibangun dengan basis etnis dan penyelenggaranya tidak mampu untuk mengarahkan Negara guna menjawab kebutuhan tersebut, maka lahirlah logika fundamentalisme etnis. Kelompok ini membangun apa yang sering disebut sebagai ethnonasionalisme, dan menurut Brown ini adalah ancaman bagi kelompok yang lain. Karena propaganda tersebut akan digunakan untuk memobilisasi massa dengan sentiment primordial dan motivasi perjuangan yang besar, Kondisi tersebut semakin para jika isu tersebut menjadi semakin massif dan kelompok minoritaslah yang akan menjadi korban. Kedua level tersebut terkait dengan level ketiga yaitu membangun persepsi. Tapi tiga level analisis ini tidaklah bisa dijadikan sebagai satu teori utama untuk melihat konflik etnis. Tentu akan menarik jika itu kemudian dilihat dengan cara Crawford Young yang mencoba untuk melihatnya dari dimensi primordial, instrumental dan konstruktivist.

2. Dimensi Internasional Konflik Etnis

Menurut Michael E. Brown, ada beberapa pengaruh internasional yang bisa dilihat sebagai dampak dari berlangsungnya konflik etnis.

1. Pembantaian rakyat sipil

(12)

moralitas universal kemanusiaan. Ini juga yang kemudian akan mendorong lahirnya intervensi dikemudian hari. Sebagai dasar untuk mencegah meluasnya korban dari masyarakat sipil.

Pembantaian masyarakat dalam konflik etnis disebabkan karena konflik ini tidak menggunakan teknologi militer yang canggih. Pasukan yang bertempur biasanya juga merupakan pasukan yang baru terbentuk, dan biasanya didominasi milisi yang sebelumnya merupakan warga negara sipil. Kelompok ini tentu adalah kelompok yang lemah secara militer sehingga strategi perang yang akan dijalankan adalah perang gerilya. Strategi ini tentu juga membuat korban dari masyarakat sipil menjadi tidak terelakkan. Dalam pertempuran pada konflik etnis pencampuran antara kelompok militer dan kelompok sipil menjadi tidak terelakkan. Kondisi ini tentu membuat rentan keberadaan masyarakat sipil. Selain itu, konflik antar etnis biasanya biasanya merupakan kulminasi dari perang untuk menguasai wilayah tertentu. Untuk mengamankan suatu wilayah tertentu maka akan ada tindak kekerasan massal dan pembantai secara sistematis terhadap yang sipil, tindakan yang mengarah pada genosida.

2. Gelombang Pengungsian

Konflik etnis akan melahirkan gelombong pengungsian dalam jumlah besar. Kehadirannya tentu akan membawa pengaruh pada stabilitas kawasan tertentu dan pada masyarakat internasional secara keseluruhan. Diperparah lagi jika negara yang menjadi tujuan pengungsian memiliki entitas penduduk dengan etnis yang sama. Ini akan mendorong solidaritas yang menyebabkan negara tersebut terlibat dalam konflik, dan ini juga akan memperluas skala perang. Ini akan terlihat dalam perubahan persepsi politik luar negerinya. Dampak lainnya yang tentu saja tidak bisa dihindari adalah dampak ekonomi. Selain itu, kehadiran para pengungsi juga akan mengancam keutuhan identitas kultural dari negara yang ditempati, apalagi jika mereka bermukim dalam jangka waktu lama. Segala problematika ini tentulah menjadi dorongan bagi hadirnya intervensi dari lembaga internasional dan negara-negara lainnya.

3. Contagion Effect

(13)

inspirasi begai gerakan perlawanan dibelahan bumi lainnya. Parahnya, hampir semua efek berantai dari konflik etnis ini memiliki skala kekerasan yang besar.

4. Sikap Politik luar negeri

Terdapat tiga sikap politik luar negeri suatu negara dalam menghadapi konflik etnis, terutama yang berkaitan dengan tuntutan penentuan nasib sendiri atau separatisme. Tiga sikap tersebut adalah (1) berpihak pada negara induk (host country), tempat konflik etnis berlangsung; (2) berpihak pada pemberontak (rebels/belligerents); (3) bersikap netral dan/atau ambivalen. Pada umunya mereka berpendapat bahwa keterlibatan pihak ketiga akan berpengaruh pada berbagai aspek konflik etnis, seperti jangka waktu berlangsungnya (durasi) konflik, intensitas konflik, cara penyelesaian, dan hasil yang dicapai dalam penyelesaian konflik etnis tersebut. Dimensi internasional konflik etnis telah menjadi pusat perhatian beberapa pemikir. Mereka beragumen, dari 150 konflik etnis yang terjadi sekitar periode 1945 sampai 1999, 101 diantaranya melibatkan intervensi asing (Regan 2002)23[23].

Beberapa negara baru yang lahir dari hasil gerakan pemisahan diri adalah contoh sukses keberhasilan mereka dalam menggalang dukungan internasional. Menurut Fitzgerald (2003) , “…it is very difficult if not impossible for an SDM [Self-determination Movement] to be sustained without the implicit or explicit support of another state…” Selanjutnya, Horowitz (1985) menyatakan bahwa:

“Whether a secessionist movement will achieve its aims, however, is determined largely by international politics, by the balance of interests and forces beyond the state”.

Dipastikan variabel-variabel lain (letak geografis, kepentingan-kepentingan ekonomi, politik dan keamanan) juga menjadi tidak relevan untuk dipertimbangkan dalam keputusan diplomasinya. Lebih menarik lagi, terdapat variabel lain yang dianggap lebih relevan untuk dijadikan basis pengambilan keputusan intervensi, diantaranya ikatan etnik. Terdapatnya ikatan etnik antara

23[23] Baiq L. S. W. Wardhani, Diplomasi dan Intervensi : Keterlibatan Pihak Ketiga

(14)

pemimpin dan konstituen dalam negerinya di negara ketiga dengan kombantan di negara induk bisa menjadi faktor primordial yang mendasari pengambilan keputusan luar negeri.

Kecenderungan ini bisa dijelaskan melalui teori “Politik Nepotisme Etnik” (Vanhanen 1991). Teori ini membantu menjawab pertanyaan mengapa terdapat diskriminasi dalam hubungan internasional. Secara rasional dapat difahami adanya kecenderungan alamiah yang dijadikan pembenar dan dimanfaatkan sebagai basis dukungan antara satu kelompok etnis terhadap etnis lain di negara yang berbeda. Menguatnya lobby Papua (Irian Jaya) di antara para elit Vanuatu merupakan basis kuat diplomasi intervensi Vanuatu pada masalah dalam negeri Indonesia. Negara kecil di Pasifik Selatan ini bersedia membatalkan kontrak dagangnya dan mengorbankan hubungan diplomatiknya dengan pemerintah Indonesia karena tidak ingin mengorbankan

perjuangan “saudara-saudara sedarah” (blood brothers) mereka di Papua yang sedang berjuang melawan “kolonialisme Jakarta”. Banyaknya kelompok pemisahan diri di India (Nagaland, Kashmir, Sikh) juga tidak merupakan penghalang bagi negara tersebut untuk melakukan intervensi dukungan bagi kemerdekaan Bangladesh yang berusaha memisahkan diri dari Pakistan. Rusia juga tidak segan-segan mendukung gerakan pemisahan diri di Transdniestria, Nagorno Karabakh, Ossetia Selatan dan Abkhazia yang di dalam wilayah-wilayah tersebut terdapat minoritas Rusia24[24]

3. Menyelesaikan Konflik Etnis, Mungkinkah?

Apa yang bisa dilakukan untuk mencegah meluasnya akibat dari konflik antar etnis? Pandangan umum mengatakan bahwa masyarakat diluar etnis yang bertikai, tidak memiliki banyak hal yang bisa dilakukan dalam menghadapi konflik akar etnis tersebut. Karena konflik tersebut berakar pada sesuatu yang secara partiukular telah diwariskan secara turun-temurun. Kebijakan yang umum dilakukan adalah dengan menarik diri dari konflik serta melihat bagaimana konflik berjalan dan mengakhiri dirinya.

Oleh karena itu, menurut Brown cara yang paling efektif dalam menghadapi konflik antar etnis adalah dengan menanganinya secara dini sebelum meletup menjadi konflik dengan kekerasan. Barbara Harff dan Ted Robert Gurr dalam bukunya yang berjudul Ethnic Conflict in

World Politics, menyatakan bahwa ada lima prinsip dalam menghadapi konflik-konflik

(15)

etnopolitik. Pertama, negara dan civil society hendaknya mengakui dan memajukan hak-hak minoritas. Kedua, cara terbaik untuk melindunngi hak-hak kelompok adalah dengan menggunakan lembaga-lembaga demokrasi dan pembagian kekuasaan. Ketiga, konflik yang menyangkut penentuan nasib sendiri paling baik diselesaikan melalui meja perundingan tentang otonomi dalam kerangka negara-negara itu sendiri. Keempat, aktor-aktor internasional harus melindungi hak-hak kaum minoritas dan mempromosikan penyelesaian perang-perang ethnopolitik. Kelima, aktor-aktor internasional dapat menggunakan alat koersif untuk menghentikan perang saudara dan pembunuhan massal masyarakat sipil25[25].

Namun, ketika konflik terjadi dan pilihannya adalah terlibat maka harusnya ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pada level sistemik, hal yang harus diperhatikan adalah isu keamanan. Jika ada pihak diluar pihak yang bertikai menyediakan senjata bagi salah satu kelompok atau keduanya dengan rasionalisasi penyeimbangan kekuatan. Maka yang terjadi adalah semakin intensifnya gangguan keamanan dan konflik terbuka. Tindakan ini juga akan dianggap sebagai

deterrence bagi pihak yang lain. Yang mungkin dilakukan adalah dengan membantu kelompok

dominan untuk menciptakan pemerintahan efektif. Pemerintahan ini yang kemudian didorong untuk menginisiasi consensus yang dikat dengan konstitusi, tidak bersandarkan pada nasionalisme semu dan etnosentrisme. Namun, consensus yang lahir juga harus diperhatikan kemungkinannya untuk terjerembab dalam totalitarian karna justru akan memperbesar skala dan intensitas konflik. Karenanya yang harus diciptakan adalah pemerintahan yang representative dengan pembagian kekuasaan yang proporsional. Tidak ada satu kelompok, seminoritas apapun yang tidak mendapatkan hak dalam mengelola pemerintahan.

Beriring dengan proses itu, usaha-usaha untuk membangun penghormatan atas perbedaan-perbedaan cultural haruslah terus dilakukan. Salah satu bentuknya adalah dengan mencegah terjadinya diskriminasi terhadap kelompok minoritas dan menciptakan toleransi. Setiap kelompok mendapat perlakukan sama dalam consensus dan dihadapan hukum yang mengaturnya. Pada Desember 1992, PBB memang telah melakukan deklarasi penghormatan terhadap hak-hak cultural, akan tetapi deklarasi tersebut tidak memiliki ikatan hukum, dengan instrument HAM yang sangatlah lemah. Untuk memastikan ini semua berjalan adalah perubahan

25[25] Barbara Harff dan Ted Robert Gurr, Ethnic Conflict in World Politics,

(16)

peradigma dan mainset dilevel persepsi. Sejarah masyarakat harus ditulis dengan tepat dan meminimalisir kepentingannya sebagai instrumentalis untuk mobiliasi social politik.

Namun, apa yang harus dilakukan oleh para pihak yang diluar pihak yang bertikai, jika tindak pencegahan gagal dan konflik etnis terjadi? Merujuk pada Robert Cooper dan Mats Berdal, hal yang harus dilakukan adalah, pertama, menyatakan ketegasan moral dan politik untuk melakukan intervensi. Kedua, intervensi yang dilakukan haruslah memiliki tujuan politis yang obyektif dengan meminimalkan interest dari para pihak yang terlibat. Ketiga, konsistensi dalam intervensi, perang etnis biasanya akan berlangsung dalam jangka waktu panjang. Karena sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa para pihak yang berkonflik dalam konflik etnis memiliki motivasi berperang yang besar. Namun, terlepas dari itu, menurut Brown proses diplomasi dalam konflik etnis tidak akan pernah berjalan jika tidak ada sanksi ekonomi, politik dan militer. Intervensi militer tidak akan menyelesaikan akan-akar persoalan. Intervensi militer hanya dimaksudkan untuk menghentikan konflik dengan kekerasan dengan sistematik dan memulai proses diplomasi untuk perdamaian.

Daftar Pustaka

Aleksius Jemadu, Politik Global dalam Teori dan Praktik, Graha Ilmu Yogyakarta, 2008.

Anderon, Bennedict, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, Verso, London, 2006

Barthes, Roland, Mythologies, edisi Bahasa Indonesia, Membedah Mitos-mitos Budaya Massa: Semiotika

atau Sosiologi Tanda, Simbol dan Representasi, diterjemahkan oleh Ikramullah Mahyuddin,

Jalasutra, Yogyakarta, 2010

Burke, Peter J and Stets, Jan E, Identity Theory, Oxford University Press, 2009

Davidson, James S, David Henley, Sandra Moniaga (Ed), The Revival of Trafition in Indonesian Politics

the Development of Adat from Colonialism to Indegenism, edisi bahasa Indonesia, Adat dalam

Politik Indonesia, diterjemahkan oleh Emilius S.Kleden dan Nina Dwisasanti, Yayasan Pustakan

Obor, 2010.

Donald L. Horowitz, Ethnic Groups in Conflict, University of California Press, 1985

David A Lake dan Donald S. Rothchild, The International Spread of Ethnic Conflict : Fear Diffusion,

(17)

Grosby, Steven, Nationalism, edisi bahasa Indonesia, Sejarah Nasionalisme: Asal Usul Bangsa dan

Tanah air, diterjemahkan oleh Teguh Wahyu, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011

Meyer, David S, Whittier, Nancy and Robnett, Belinda, Social Movement : Identity, Culture and the State,

Oxford University Press, 2002

Michael Edward Brown, The International Dimensions of Internal Conflict, Center for Science and International Affairs Harvard University, 1996

Michael Edward Brown, Ethnic Conflict and International Security, Princenton University Press, 1993 Paul D. Williams (ed), Security Studies an Introduction, Taylor and Francis e-Library, 2008. Paul R.Viotti dan Mark V.Kauppi, Internasional Relations amd World Politics ; Security, Economy and

Identity, Third Edition, Pearson Education, 2007

Roger Mac Ginty and John Darby (Ed), Contemporary Peacemaking ; Conflict, Violence and Peace

Processes, Palgrave Macmillan, 2003

Referensi

Dokumen terkait

Peninjauan lokasi meliputi gudang bahan baku, gudang persediaan produk jadi, gudang peralatan produksi, area produksi, ruangan quality control , ruangan kepala produksi dan

Teori Investment : Individu yang kreatif akan menggunakan idea atau benda yang dirasakan oleh orang lain sebagai tidak bernilai kepada sesuatu yang bernilai dan dihargai oleh

Posisi orang Tionghoa pada masa ini sangat buruk, di satu sisi mereka tidak mendapatkan perlindungan yang semestinya dari Pemerintah Indonesia akibat penjarahan

sangat nyata (P<0,01) terhadap kandungan protein kasar BISF, begitujuga dengan faktor suhu yang memberikan pengaruh berbeda sangat nyata, sedangkan lama fermentasi

Justeru, strategi pengajaran berpusatkan pelajar menerusi aktiviti pembelajaran berasaskan masalah atau PBM merupakan salah satu aktiviti P&P yang boleh diaplikasikan

As noted above, CIRCA does not know how long the light has been green when it is observed; therefore, in the worst case, it is assumed that the temporal transition to the yellow state

Windows 95 diperkenalkan dengan menggunakan rancangan menu "Start", menu inovatif untuk mengakses grup program (pengganti Program Manager ),

Jurnal ini fokus membahas dua permasalahan mengenai urgensi reformulasi Pasal 7 ayat (2) huruf (a) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan