RANGKUMAN
HUKUM INTERNASIONAL
Penyusun:
Daya Perwira Dalimi
PENGERTIAN HUKUM INTERNASIONAL
1. Pengertian Hukum Perdata Internasional (HPI): keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas Negara.
HPI dapat juga diartikan sebagai hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara pelaku hukum yang masing2 tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan
2. Pengertian Hukum Internasional Publik (HIP): keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur
hubungan atau persoalan yang BUKAN BERSIFAT PERDATA. HIP ini yang akan dikatakan secara umum
sebagai Hukum Internasional.
Karena sukar untuk membedakan hubungan hukum perdata dengan publik, maka definisi Hukum Internasional yang lebih tepat adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara (1) negara dengan negara; (2) negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara dengan subjek hukum bukan negara
3. Pembedaan beberapa Istilah dari Hukum Internasional:
- Hukum Bangsa-bangsa: akan dipergunakan untuk menunjukkan pada kebiasaan dan aturan (hukum) yang berlaku dalam hubungan antara raja2 zaman dahulu
- Hukum antarabangsa / hukum antarnegara: akan dipergunakan untuk menunjuk pada kompleks kaidah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa2 atau negara2 yang kita kenal sejak munculnya negara dalam bentuknya yang modern sebagi negara nasional (nation-state)
- Hukum Internasional: selain mengatur pula hubungan antara negara dengan negara, juga mengatur pula hubungan antara negara dengan subjek hukum lainnya yang bukan negara
4. Bentuk Perwujudan Khusus Hukum Internasional:
- Hukum Internasional Regional: Hukum Internasional yang berlaku terbatas pada daerah atau lingkungannya. Contohnya adalah seperti Hukum Internasional Amerika Latin.
Hukum ini biasanya tumbuh melalui proses hukum kebiasaan. Ada kalanya Hukum Regional kemudian berkembang menjadi Hukum Internasional Umum, karena mulai diterima dan diterapkan secara universal
- Hukum Internasional Khusus (Spesial): Hukum yang mengatur secara khusus kaidah2, dan diatur dalam konvesi multilateral. Pesertanya tidak terbatas pada suatu bagian dunia tertentu. Contoh: Konvesi Eropa mengenai Hak Asasi Manusia
5. Pembedaan Hukum Internasional dengan Hukum Dunia:
Hukum Internasional didasarkan atas pikiran adanya suatu masyarakat internasional yang terdiri dari sejumlah negara yang berdaulat dan merdeka (Independent), dan mempunyai kedudukan yang seimbang/sederajat, sedangkan Hukum Dunia adalah semacam Hukum Subordinasi dimana seperti adanya hierarki. Contohnya adalah WTO, dimana dengan adanya perjanjian ini, negara2 di dunia dapat dikatakan telah menyerahkan sebagian kedaulatan ekonominya mengenai perdagangan internasional secara full compliance yang tunduk pada kaidah2 hukum internasional yang diatur oleh WTO
6. Hubungan antara negara dalam Hukum Internasional sifatnya adalah Desiprositas, yaitu hubungan timbal balik antara negara. Contohnya adalah ketika suatu negara memberikan keistimewaan terhadapa wakil negara lain dalam negaranya, maka negara lain tersebut juga harus memberikan keistimewaan terhadap wakil negara yang berada di tempatnya.
7. Produk2 PBB
a. Deklarasi: Dikeluarkan oleh Majelis Umum
b. Perjanjian Internasional: Dikeluarkan oleh Majelis Umum
SUMBER HUKUM INTERNASIONAL (BAB 7 MOCHTAR)
8. SUMBER HUKUM INTERNASIONAL
Berdasarkan Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, terdapat 4 SUMBER HI, yaitu: 1) Perjanjian Internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus
2) Kebiasaan Internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum 3) Prinsip Hukum Umum, yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab
4) Keputusan Pengadilan dan Ajaran (Doktrin) para sarjana
Perjanjian Internasional dan Kebiasaan Internasional diklasifikasikan sebagai Sumber Hukum Utama (Primer
Sources) sedangkan Prinsip Hukum dan Keputusan Pengadilan&Doktrin diklasifikasikan sebagai Sumber
Hukum Tambahan (Subsidiary Sources)
Pasal 38 ayat (2)
Ex Aequo et Bono : Mahkamah Internasional dapat mengambil putusan sendiri dengan seadil-adilnya jika
tidak dapat memutuskan dengan 4 instrument diatas, dengan syarat mendapat persetujuan dari semua Pihak
PERJANJIAN INTERNASIONAL
9. Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu dan menimbulkan tanggung jawab (Liability)
10. Definisi Perjanjian Internasional berdasarkan Konvensi Vienna 1969, Pasal 2 ayat (1) huruf a:
Suatu Perjanjian Internasional yang dibuat antara Negara didalam BENTUK TERTULIS dan diatur oleh Hukum Internasional, apakah itu tersusun didalam satu instrumen tunggal, dua atau lebih instrumen yang terkait dan apapun bentuknya yang dibuat secara khusus.
11. Azas2 Penting dalam Perjanjian Internasional (Pengertian Perjanjian Internasional):
a. Merupakan hukum bagi semua negara yang membuatnya, yang dapat menggantikan, melengkapi, atau mengabaikan hukum negara masing2 (Modus et conventio vincunt legem)
b. Merupakan instrument internasional yang paling resmi yang digunakan untuk menciptakan persetujuan antar negara yang bersifat menyeluruh mengenai status dan hubungan yang mendasar
c. Menciptakan hak dan kewajiban bagi pihak dari perjanjian
d. Perjanjian Internasional yang berlaku dan dibuat antar negara mengikat secara hukum terhadap negara2 tersebut dan akan dilaksanakan dengan itikad baik oleh para pihak (“Pacta Sunt Servanda”)
12. Sifat Perjanjian Internasional
Umum: Perjanjian yang mempunyai jumlah pihak yang BANYAK dan juga sifat isi perjanjian yang CUKUP LUAS. Ex. UNCLOS, Vienna Convention, Piagam PBB Perjanjian Int'l
Khusus: Perjanjian dimana jumlah pihak TIDAK BANYAK dan sifat isi perjanjian tersebut TERBATAS Ex.ASEAN, Perjanjian Bilateral, OPEC
13. Ratifikasi & Pengesahan Perjanjian Internasional
Indonesia, sejak berlakunya UU No.24/2000 tentang Perjanjian Internasional, suatu Ratifikasi atau Pengesahan Perjanjian Internasional HARUS dilakukan dengan UU melalui badan DPR atau Keputusan Presiden melalui Presiden
Perjanjian yang Pengesahaannya WAJIB dengan UU:
a. Masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara
b. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah NKRI
c. Kedaulatan atau hak berdaulat negara
d. HAM dan Lingkungan hidup
e. Pembentukan kaidah hukum baru
f. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri
14. Tahapan Ratifikasi
(1) Negara mengirimkan wakilnya, yang disebut Delegasi (2) Delegasi tersebut dibedakan menjadi 2, yaitu
a. Full Power: Delegasi yang membutuhkan Kuasa Penuh dari Negara.
Definisi dari Full Power ini adalah Surat Resmi dari Negara yang memberikan kuasa penuh kepada seseorang untuk mewakili negaranya dalam menghadiri suatu Pertemuan Internasional.
b. Tanpa Full Power: Delegasi yang tidak membutuhkan Kuasa penuh dari negara, yaitu - Presiden (Kepala Negara)
- Perdana Menteri (Kepala Pemerintahan) - Menteri Luar Negeri
- Kepala Perwakilan Diplomatik (Dubes)
- Wakil Negara pada suatu Organisasi Internasional
(3) Para Delegasi melakukan Perundingan
(4) Para Delegasi membuat rancangan hingga Naskah Final Perjanjian Internasional (5) Terhadap Naskah Final Perjanjian Intl tersebut, para delegasi harus melakukan:
a. Penerimaan Naskah (Adoption of the Text)
b. Pengesahan Bunyi Naskah (Authentication of the Text) - Tanda tangan
- Tanda tangan sementara (Tanda tangan ad referendum) - Paraf (initial)
(6) Pemberlakuan suatu Perjanjian Internasional – RATIFIKASI (Tahap Ketiga) : Perjanjian Internasional akan mengikat (Pengesahan) pada Negara (Consent to be Bound) jika sudah dilakukan salah satu dari tahap-tahap berikut:
- RATIFIKASI (Yang biasa dipakai)
Ratifikasi ini hanya dapat dilakukan oleh badan2 tertentu yang disebut dengan Treaty Making Power. Untuk Indonesia, seperti yang diatur dengan UU 24/2000, Badan yang berwenang untuk mengesahkan (Ratifikasi) Perjanjian Internasional adalah DPR (Legislatif) dan Presiden (Eksekutif)
- Aksessi
- Acceptance
- Penandatanganan
- Pertukaran Surat/Naskah (Exchange of Documents)
15. Reservasi adalah suatu persyaratan yang diajukan suatu negara untuk turut serta dalam suatu perjanjian internasional dengan mengajukan syarat untuk tidak tunduk pada beberapa aturan/pasal yang berlaku dalam perjanjian tersebut.
Reservasi diajukan pada waktu perjanjian ditandatangani, pada waktu melakukan ratifikasi atau pada waktu menyatakan turut serta pada perjanjian (Aksesi)
Reservasi TIDAK bisa diajukan pada sesuatu yang substansi dalam perjanjian tersebut, karena sudah disetujui sebelumnya (dengan adoption dan authentication)
Terdapat 2 Teori untuk Reservasi ini, yaitu:
1) Reservasi dengan Kesepakatan Bulat (unaimity principle) Harus disetujui oleh seluruh anggota
2) Reservasi dengan Kesepakatan Tidak Bulat / Pan America System
Tidak perlu mendapat persetujuan dari seluruh anggota. Bagi yang tidak setuju, Reservasi yang diajukan akan tidak berlaku bagi yang menolaknya.
16. Penggolongan Perjanjian Internasional berdasarkan Tahap Pembentukannya:
1) Perjanjian melalui 2 Tahap (Perundingan dan Penandatanganan): berlaku untuk perjanjian yang sederhana serta tidak terlalu penting dan memerlukan penyelesaian yang cepat. Contohnya adalah perjanjian perdagangan yang berjangka pendek
KEBIASAAN INTERNASIONAL
17. Kebiasaan Internasional adalah suatu kebiasaan internasional yang merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum.
Dasar Hukumnya adalah Pasal 38 ayat (1) huruf b Statuta Mahkamah Internasional, yang menerangkan mengenai definisi dari kebiasaan internasional sebagai sumber hukum yaitu “International custom, as
evidence of a general practice accepted as law” , yang mempunyai pengertian bahwa hukum kebiasaan
internasional adalah kebiasaan internasional yang merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum.
Kebiasaan Internasional harus memenuhi 2 unsur untuk dapat dikatakan sebagai sumber hukum, yaitu:
1) Harus Terdapat Suatu Kebiasaan yang Bersifat UMUM – PRASYARAT MATERIAL
Prasyarat material di sini dimaksudkan adalah suatu kebiasaan internasional dapat dikatakan bersifat umum, apabila memenuhi prasyarat tertentu pula.Prasyarat-prayaratan yang dimaksud antara lain :
- Praktek2 itu berlangsung dalam kurun waktu tertentu (Duration) - Praktek2 yang terjadi selalu ada kesamaan (Uniformity)
- Praktek itu dilakukan secara konsisten (Consistent)
- Praktek2 tersebut cukup meluas yang juga dilakukan oleh negara2 lainnya (generality)
2) Kebiasaan tersebut HARUS menjadi Fakta dan Diterima Sebagai Hukum atau dikenal dengan asas opinion
juris sive necessitatis.
Contoh: Hukum2 Konsuler dan Hukum2 perang (Penggunaan senjata biologi, racun dll, arti bendera putih)
18. Pengertian HUKUM Kebiasaan Internasional adalah Unsur-unsur yang bersifat NORMATIF yang merupakan praktek-praktek negara secara umum yang sudah diterima sebagai hukum dan MENGIKAT terhadap semua Negara
PRINSIP HUKUM UMUM / ASAS HUKUM UMUM 19. Prinsip Hukum Umum, terbagi menjadi 2, yaitu
1) Suatu aturan (prinsip) yang umum, diterima oleh semua negara yang beradab, dan menciptakan prinsip2 umum. Ditentukan/didapatkan dalam Konvensi, Perjanjian, Deklarasi, dll.
Misalnya asas hukum pidana “retroaktif” yang dimasukkan ke dalam suatu perjanjian dan tercermin di dalam
pasal2nya.
Umum PBB pasal 1514 dan 1541 : HAK yang hanya diberikan kepada bangsa yang belum mempunyai
wilayah dan pemerintahan sendiri (BELUM MERDEKA). Contohnya adalah Bangsa Indonesia pada saat sebelum merdeka dan dibawah kolonial Belanda. Hak Penentuan Nasib Sendiri ini terbagi 3:
- Hak MERDEKA (Independent) Ex. Kita bikin bendera baru, yaitu Bendera Merah putih
- Hak BEARSOSIASI (associated). Ex. Bendera kita warna merah, bendera orang lain bewarna Biru dan ada bintang. Setelah berasosiasi, maka bendera gabungan kita dengan orang lain itu menjadi Bendera yang bewarna Merah dan Biru dengan ada Bintang
- Hak untuk JOINT (Merger). Ex. Bendera kita tadinya Merah, bendera orang lain Biru berbintang. Setelah joint dengan orang lain tersebut, maka bendera kita menjadi sama, yaitu Biru berbintang.
Prinsip dalam Hak Asasi Manusia
20. Pengertian EQUITY: Seperangkat prinsip-prinsip yang menyatakan apa yang layak dan apa yang benar
Kadang Equity secara terpisah bisa dianggap sebagai Sumber Hukum Internasional, tetapi sebaiknya dikategorikan dalam “Prinsip-prinsip Hukum Secara Umum”
KEPUTUSAN PENGADILAN
21. Terdapat 4 jenis Pengadilan, yaitu: 1) Pengadilan Internasional
- Mahkamah Internasional (ICJ: International Court of Justice), berkedudukan di Den Haag, Belanda Mahkamah Internasional mempunyai 2 produk, yaitu Keputusan (Judgment) dan Saran Pendapat
(Advisory Opinion)
’
- Mahkamah Tetap Arbitrasi
2) Pengadilan Arbitrasi Internasional: bersifat AD HOC, keputusannya disebut International Arbitral Award
3) Mahkamah Militer Internasional
Pengadilan ini baru 2 kali mengadili, yaitu: Perang Jepang, tahun 1945 & Perang Jerman (NAZI), tahun 1946
4) Mahkamah Kejahatan Internasional.
Pengadilan ini untuk SIPIL, bukan militer dan baru diadakan 3 kali, yaitu:
- Perpecahan Yugoslavia: terjadi perang, pembunuhan masal. Mengadili pemimpin tertingginya, i.e. Slobodan Milosevic, dll
- Rwanda, Afrika: Perpecahan 2 suku, dan terjadi bunuh2an dalam parlemen - Sierra Leone
5) International Criminal Court (ICC), dapat mengadili siapapun di dunia, tidak terbatas pada yuridiksi negara. Indonesia belum ratifikasi ICC ini. ICC ini merupakan Pengadilan yang paling terbaru.
INFORMASI LAINNYA
22. Penggolongan Sumber Hukum Perjanjian:
1) Treaty Contract : suatu perjanjian yang hanya mengakibatkan hak dan kewajiban antara para pihak yang mengadakan perjanjian itu, karena hal yang diatur dalam perjanjian tersebut adalah hal-hal yang sangat khusus ditujukan kepada para pihak yang turut dalam perjanjian
Contoh: perjanjian dwi-kewarganegaraan, perjanjian perbatasan, perjanjian perdagangan
2) Law Making Treaties: Perjanjian yang meletakkan ketentuan atau kaidah hukum bagi masyarakat internasional sebagai keseluruhan, dimana semua pihak yang belum ikut dalam perjanjian ini pun dapat bergabung, karena hal yang diatur dalam Perjanjian ini adalah hal yang umum, sehingga semua negara dapat turut serta dalam perjanjian tersebut
Contoh: Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang
23. Pengertian Personalitas Hukum dan Kapasitas
Personalitas Hukum ini adalah suatu pengakuan terhadap eksistensi dari kedudukan suatu subjek untuk melaksanakan fungsi hukum, khususnya fungsi hukum dalam bertindak di dalam dunia Internasional
Kapasitas hukum adalah suatu kewenangan dari subjek hukum untuk melakukan prestasi hukum yang berhubungan dengan hukum internasional
24. Dasar hukum Pemberlakuan Hukum mengenai Hubungan Diplomatik dan Konsuler: 1) Untuk Diplomat : Konvesi Wina 1961
SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL (BAB 6 MOCHTAR)
25. Definisi Subjek Hukum Internasional adalah pemegang segala HAK dan KEWAJIBAN menurut (diakui) hukum internasional. Subjek Hukum Internasional mempunyai Personalitas Hukum (Legal Personality)
Subjek Hukum Internasional ini sangat penting karena tanpa adanya Sumber Hukum Internasional ini maka tidak akan adanya suatu Perjanjian atau sumber hukum internasional
26. Kapasitas Subjek Hukum Internasional
1) Kapasitas Penuh. Yang mempunyai kapasitas penuh adalah hanya Negara, dimana Negara dapat melakukan apa saja, dapat melakukan perjanjian apa saja, serta dapat menuntut secara hukum di Mahkamah Internasional
2) Kapasitas Terbatas. Selain negara, adalah para Subjek hukum Internasional yang mempunyai kapasitas terbatas, dimana hanya diberi kewenanangan dibidang tertentu saja, yaitu seperti Individu dan Organisasi Internasional.
Contohnya:
- Individu: pada konvesi Jenewa 1949, ada batasan yaitu jika HANYA terjadi perang saja. Jika bukan perang, maka menjadi tanggung jawab nasional
- Organisasi Internasional: WHO hanya mengatur mengenai masalah kesehatan saja
27. KRITERIA Suatu Negara
Negara mempunyai 4 KRITERIA untuk dapat disebut Negara, seperti yang tercantum pada Konvensi MONTEVIDO 1933 tentang Hak dan Kewajiban Negara, Pasal 1, yaitu:
1) Harus mempunyai PENDUDUK yang tetap
2) Harus mempunyai WILAYAH tertentu (defined teritory) dan diakui oleh Hukum Internasional 3) Mempunyai PEMERINTAHAN
4) Mempunyai kemampuan untuk melakukan HUBUNGAN DIPLOMATIK dengan negara lain
28. Hak dan Kewajiban Negara
HAK (Pasal 51 Piagam PBB)
- Untuk melakukan yuridiksi terhadap wilayah dan penduduk yang tetap - Mengadakan hubungan secara hukum dengan negara lain
- Meminta untuk dihormati oleh Negara lain, seperti meminta luar negeri menghormati hak2 para TKW - Menjadi anggota Organisasi Internasional
- Menggunakan hak beladiri dalam berbagai situasi
KEWAJIBAN
- Tidak mencampuri urusan dalam negeri Negara lain (Ps. 2 ayat (7) Piagam PBB)
- Tidak boleh melakukan ancaman/kekerasan terhadap negara lain (Ps. 2 ayat (4) Piagam PBB) - Menyelesaikan pertikaian dengan negara lain dengan CARA DAMAI (Ps. 2 ayat (3) Piagam PBB) - Mentaati sepenuhnya dengan itikad baik semua kewajiban internasional
29. Subjek Hukum Internasional terdiri dari:
A. Teori
(1) Negara : merupakan subjek hukum yang pertama kali diakui oleh Masyarakat Internasional. Subjek hukum.
(2) Individu : secara teori, timbul penafsiran-penafsiran yang berbeda dari para ahli mengenai siapa sebenarnya dibebani dengan hak dan kewajiban. Hans Kelsen berpendapat bahwa individulah yang sebenarnya dibebani hak dan kewajiban tersebut, karena negara itu sebenarnya adalah sekumpulan para individu.
Selanjutnya dalam perkembangannya, timbul konvensi-konvensi yang memberikan hak dan kewajiban yang ditafsirkan langsung kepada individu, yaitu salah satunya adalah Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang. Pada konvensi ini, jika yang melanggar adalah individu2, maka yang harus bertanggung jawab adalah pribadi, bukan lagi negara yang menanggung dosa individu yang melakukan pelanggaran tersebut.
B. Praktis
(1) Takhta Suci
- DASAR HUKUM: adalah Lateran Treaty pada tanggal 11 Febuari 1929
- Perjanjian ini adalah perjanjian untuk membentuk suatu negara Vatikan antara Takhta Suci dengan Negara Italia. Dengan demikian, karena Tahkta Suci sudah dapat membuat suatu perjanjian dengan suatu negara, dalam hal ini adalah Italia, maka dengan sendirinya Takhta Suci sudah dapat diakui sebagai Subjek Hukum Internasional
- Pemimpinnya adalah Paus Paulus yang dianggap setingkat dengan Kepala Negara, dan Takhta Suci diperbolehkan membuka perwakilan2 di seluruh dunia yang dianggap setingkat dengan Kantor Perwakilan Diplomatik.
(2) ICRC (International Committee of the Red Cross) – Palang Merah Internasional
- DASAR HUKUM: adalah Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang
- Anggotanya adalah Warga negara Swiss, karena hanya Swiss yang mempunyai posisi netral di muka Bumi ini, sesuai dengan perjanjian internasional.
- ICRC ini sangat terbatas sifatnya, karena hanya akan berlaku jika terjadi perang.
(3) Organisasi Internasional
- DASAR HUKUM: adalah Advisory Opinion Mahkamah Internasional 1958
- Sejarah: Ketika Pangeran Bernadotte, anggota komisi PBB, terbunuh di Israel ketika menjalankan tugasnya pada tahun 1958. Pada saat itu, PBB ingin menggugat, tetapi terlebih dahulu PBB harus memastikan terlebih dahulu mengenai statusnya, apakah PBB subjek hukum atau bukan. Untuk mendapatkan pengakuan tersebut, PBB meminta pertimbangan kepada Mahkamah Internasional apakah PBB mempunyai kemampuan hukum (Legal capacity) atau sebagai subjek hukum. Dan MI akhirnya memberikan Advisory Opinion bahwa PBB beserta Badan Khususnya adalah Subjek Hukum.
- Advisory Opinion MI: bahwa PBB dan Badan Badan Khusus (Spesialized Agencies) adalah Subjek Hukum Internasional.
- Badan Khusus: ITU, UPU, ILO, World Bank, IMF, FAO, ICAO, UNESCO, WHO, WMO, IMCO dan IAEA
(4) Individu - Sejarahnya:
a. 1919: Perjanjian Perdamaian Versailles 1919 : sudah memberikan hak terhadap individu
b. 1922: Perjanjian Silesia Atas (Upper Silesia) antara Jerman dan Polandia, dimana memberikan tempat yang sama pada individu untuk mengajukan kasus ke Mahkamah Arbitrasi
c. 1928: Keputusan Mahkamah Internasional Permanent dalam perkara Danzig Railway Official’s case tahun 1928: memberikan hak kepada pegawai kereta api
d. 1945&1946: Pengadilan Militer di Nurenberg dan Jepang (Tokyo), dimana yang diadili dalam kejahatan perang ini adalah individu-individu yang melakukan kejahatan perang tersebut, meskipun yang melakukan kejahatan tersebut sebenarnya melaksanakan tugas negara.
Tiga Perbuatan yang DAPAT DIADILI dalam peradilan seperti di Jerman dan Tokyo yang diatas adalah:
- Kejahatan terhadap perdamaian - Kejahatan terhadap perikemanusiaan
- Kejahatan perang dan pemufakatan jahat untuk mengadakan kejahatan tersebut
(5)Belligerent
DEFINISI: Pemberontak yang sudah dapat melakukan perlawanan yang meluas, intensif dan berkepanjangan (Insurgent) yang sudah Terorganisasi , dimana sudah mencakup hal-hal berikut: a. Yang sudah dapat menguasai bagian wilayah yang cukup dari Negara induk
b. Ada dukungan yg luas dari mayoritas rakyat di wilayah itu
c. Punya keinginan dan kemauan untuk melaksanakan kewajiban internasional (sesuai dengan Konvensi Jenewa 1949)
d. Terorganisir dengan baik dan dalam melakukan perlawanan sesuai dengan Hukum Perang dan sudah mempunyai wilayah tertentu yang dikuasainya
LEVEL
a. REBEL (pemberontak) : Kelompok yg melakukan perlawanan tetapi dengan mudah dapat dipadamkan oleh aparat keamanan dari Pemerintahan yang sah
b. INSURGENT: Perlawanan itu meluas, intensif, berkepanjangan dan sudah:
Menguasai bagian wilayah yg cukup dari negara induk
Ada dukungan yg luas dari mayoritas rakyat diwilayah itu;
Mempunyai kemampuan utk melaksanakan kewajiban internasional
c. BELLIGERENT: Jika insurgent sudah TERORGANISASI dengan baik dan dalam melakukan perlawanan sesuai dgn Hukum Perang dan sudah mempunyai wilayah tertentu yg dikuasainya tidak peduli diakui atau tidak oleh negara induk
(6)Entitas
PLO (Gerakan Pembebasan Palestina) : bukan termasuk dalam Beligerent ini, karena sebenarnya PLO ini adalah suatu bangsa yang ingin merdeka, perjuangan sebuah bangsa. PLO ini mempunyai 3 hak asasi, yaitu:
Hak untuk menentukan nasib sendiri
Hak untuk bebas memilih sistem ekonomi, politik dan sosial
Hak untuk menguasai sumber kekayaan alam dan wilayah yang didudukinya
PENGAKUAN INTERNASIONAL
30. Pengakuan Internasional adalah suatu Tindakan politik yang menimbulkan akibat hukum yang dilakukan oleh negara untuk mengakui keberadaan dari Negara yang baru lahir, Pemerintahan suatu Negara, Entitas dan Belligerent
Pengakuan BUKAN HAK dari Negara Baru, dengan arti Negara Baru tidak dapat menuntut kepada negara negara lain untuk memberikan pengakuan terhadap negaranya.
Pengakuan ini BUKAN KEWAJIBAN dari Negara lama, yang berarti bahwa Negara Lama tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan suatu pengakuan kepada negara baru
Dalam memberikan Pengakuan, harus ada pernyataan atau indikasi yang jelas tentang maksud untuk mengakui Negara baru yg dimaksud (Statement or clear indication of an Intention to recognize)
31. Cara Pengakuan
a. Dengan Pernyataan (Express): Dengan menyampaikan nota resmi tentang niat untuk memberikan pengakuan
b. Secara tidak langsung (Implied): Melalui penandatanganan Perjanjian Bilateral seperti perdagangan, kebudayaan dan lainnya atau dengan adanya pembukaan Hubungan diplomatik atau Konsuler (Membuka kantor diplomatik).
32. Akibat Hukum dari Pengakuan:
1) Kemampuan dan Hak Istimewanya
- Personalitas hukum sepenuhnya dari negara baru itu diakui
- Hubungan dua negara dimasa mendatang akan berlangsung atas dasar persamaan hukum
- Negara baru itu diakui untuk melaksanakan kedaulatan di dalam wilayah perbatasannya dan mempunyai kapasitas untuk memberikan kewarganegaraan dan melakukan perlindungan diplomatik atas nama Warga negaranya
2) Kewajiban
Negara baru bertanggung jawab dalam hukum internasional untuk semua tindakannya
33. Perbedaan Pengakuan terhadap suatu Negara dan Pemerintah
Pengakuan terhadap suatu Negara hanya perlu dilakukan SEKALI saja dan itu akan BERLAKU SELAMANYA, sedangkan Pengakuan terhadap Pemerintahan harus diberikan untuk setiap pemerintahan berganti. Artinya, untuk setiap pergantian pemerintah atau rezim, harus dapat medapatkan pengakuan dari Masyarakat Internasional
34. Bentuk Pengakuan terhadap Pemerintahan, dapat diberikan secara de facto dan de jure, yaitu:
- De Facto: Pengakuan terhadap suatu Negara/Pemerintahan yang tidak sepenuhnya karena adanya keberatan2 tertentu dan dapat dicabut sewaktu-waktu.
Biasanya diberikan kepada pemerintahaan baru yang kondisinya belum stabil atau terbentuknya pemerintahan atau kepada Pemberontak, dimana pengakuan ini hanya bersifat sementara terhadap status dari Negara/Pemberontak sebagai otoritas administrasi yang independent hingga sampai benar-benar terbentuk Pemerintah yang sah.
- De jure: Pengakuan yang resmi dan sah dan tidak dapat ditarik kembali, karena sudah menjadi hak bagi yang mendapatkan pengakuan dan sudah mempunyai ketetapan hukum, yang mempunyai ciri-ciri:
ada hubungan diplomatik
adanya konsuler di negara
35. Pengakuan Kolektif
Negara-negara dapat memberikan pengakuan secara kolektif melalui suatu perjanjian atau keputusan dalam konferensi internasional dimana pengakuan itu akan dicantumkan dalam instrumen hukum
36. Pengakuan Terhadap Pemerintahan, diberikan dalam kondisi: a. Jika terjadi perubahan pemerintah di suatu negara
- Secara konstitusional (tanpa kekerasan): Pengakuan ini tidak memerlukan keputusan yang tergesa-gesa, artinya jika tidak ada penolakan dari Negara lain yang nantinya tetap melakukan hubungan diplomatik dengan pemerintahan baru
- Secara tidak konstitusional (Baik tanpa atau dengan kekerasan): Pengakuan dari Pemerintahan sebelumnya tidak dapat diberikan kepada yang baru.
Contoh: ketika terjadi Revolusi Bolshevic di Rusia tahun 1917, US menolak untuk mengakui Pemerintahan Komunis yang terbentuk, melainkan tetap mengakui Pemerintahan yang lama sampai tahun 1936
b. Pemerintah Pengasingan (Government in exile)
Selama konflik senjata berlangsung atau dalam situasi yg eksepsional, pemerintahan di pengasingan dapat diakui walaupun belum dapat beroperasi atau mengadakan pengawasan diwilayahnya.
Contoh:Pemerintahan Norodom Siahnok di Kamboja, diakui secara de Facto oleh dunia internasional, meskipun Siahanok tidak tinggal di Kamboja, bukan Pemerintahan Hussein yang menguasai di dalam negeri
c. Pemerintah yang tidak dapat mengawasi seluruh wilayahnya secara efektif
Selama pemberontakan senjata (peperangan) berlangsung pemerintahan yang diakui bisa kehilangan pengawasannya secara efektif terhadap sebagian dari wilayahnya : Negara2 dpt mengakui pemr.tsb sbg pemr.satu-satunya
37. Syarat Pengakuan:
Adanya jaminan dari Negara Baru akan kesiapannya melaksanakan kewajiban Internasional dan menghormati Prinsip-prinsip hukum Internasional
38. Teori Tentang Pengakuan 1) Constitutive Theory
Suatu negara/suatu pemerintahan tidak pernah ada sebelum pengakuan. Dengan kata lain, Pengakuan adalah suatu PERSYARATAN bagi lahirnya suatu negara
2) Declatory Theory
Pengakuan tidak mempunyai akibat hukum. Dengan kata lain, pengakuan bukan merupakan Persyaratan bagi lahirnya suatu negara. Jadi dengan tanpa adanya Penetapan tidak masalah dan negara tetap ada, hanya tidak mempunyai akibat hukum terhadap negara yang tidak mengakuinya.
Declatory Theory, tercantum dalam - Konvesi Montevido 1993, pasal 3
- Charter of the organization of America States – pasal 12
The political existencce of the state is independent of recognition by other, even before being recognized, the state has the right its integirty and independence
39. SEBAB Munculnya Negara Baru:
1) Hasil Perjuangan Politik 2) Negara-negara yang pecah 3) Negara-negara yang bergabung
HUBUNGAN HUKUM NASIONAL DENGAN HUKUM INTERNASIONAL
41. Ada 3 teori yang menjelaskan mengenai Hubungan Hukum Nasional dengan Hukum Internasional, yaitu: 1) Teori MONISME – HI & HN ADALAH SATU HUKUM
Teori ini menganggap bahwa Hukum merupakan satu cabang pengetahuan yang menyatu, yang mana apapun hukum itu, pasti diterapkan pada masyarkat atau entitas lainnya.
Menganggap bahwa kewajiban Internasional dan aturan-aturan Negara merupakan dua segi fenomena yang mana berasal dari satu norma dasar dan tatanan kesatuan konsepsi hukum
Menganggap bahwa ilmu pengetahuan hukum merupakan satu bidang ilmu pengetahuan yang menyatu
Hukum Internasional benar-benar merupakan hukum dalam arti yang sebenarnya
Hukum Nasional dan Hukum Internasional sangat berhubungan satu sama lain yang keduanya merupakan 2 cabang dari satu kesatuan pengetahuan hukum yang dapat diberlakukan pada masyarakat manusia dalam beberapa hal
Teori ini dipelopori oleh Wright, Kelsen, Lauterpacht dan Duguit
2) Teori DUALISME – HI BERBEDA DENGAN HN
Teori Dualisme ini memahami bahwa Hukum Internasional dan Hukum Nasional adalah DUA HUKUM YANG BERBEDAsecara esensial dan TERPISAH satu sama lainnya, karena masing-masing hukum mengatur masalah yang berbeda. Dapat diumpamakan sebagai Rel Kereta yang mana satu lempengan dengan lempengan lainnya tidak akan pernah bertemu
Teori ini lahir atas dasar kedaulatan negara dan juga melihat dari beberapa perbedaan yang nyata antara Hukum Nasional dan Hukum Internasional, yaitu:
SUBJEK: Subjeknya HN adalah Individu, sedangkan subjek dari HI adalah Negara
ASAL USUL: HN berasal dari kehendak negara sendiri, sedangkan HI berasal dari Kehendak Bersama Negara
PRINSIP DASAR: Prinsip dasar HN adalah UU yang ditetapkan oleh wewenang suatu Negara, sedangkan Prinsip Dasar HI adalah Pacta Sunt Servanda dimana persetujuan anara negara harus ditaati
Teori ini dipelopori oleh Golongan Positivist, yaitu Strupp, Triepel, Hegel dan Anzilotti
3) Teori SPESIFIC ADOPTION THEORY – PENGESAHAN SECARA KHUSUS (Positivisme)
Hukum Internasional TIDAK DAPAT secara langsung DIBERLAKUKAN dalam bidang Hukum Nasional, KECUALI dibuat PENGESAHAN secara khusus
Hukum Internasional hanya dapat diterapkan dalam bidang Hukum Nasional sesuatu Negara hanya jika Hukum Nasional mengesahkan secara khusus
42. Status Hukum Internasional di Pengadilan Nasional
Ada beberapa teori dalam hal menggunakan Hukum Internasional didalam Pengadilan Nasional, yaitu 1) Teori TRANSFORMASI – Harus DISAHKAN (RATIFIKASI)
Untuk menerapkan Hukum Internasional dalam Hukum Nasional, maka aturan Hukum Internasional tersebut harus mengalami TRANSFORMASI (ratifikasi) dan tanpa transformasi ini Aturan Internasional tersebut tidak dapat diberlakukan dalam peraturan perundang-undangan Nasional
DASAR dari teori ini adalah Hukum Internasional dan Hukum Nasional merupakan 2 sistem hukum yang berbeda dan bekerja secara terpisah
2) DELEGATION THEORY – TANPA PENGESAHAN
Teori ini menjelaskan bahwa aturan-aturan Hukum Internasional dapat diberlakukan dalam bidang hukum Nasional dengan TANPA PERLU ADANYA PENGESAHAN secara khusus maupun transformasi atas aturan hukum Internasional tersebut.
Teori ini berjalan karena pada Hukum Nasional telah menetapkan melalui UU-nya bahwa Perjanjian Internasional dapat diterapkan dalam bidang Hukum Nasional
Aturan Hukum Internasional harus diterapkan dalam bidang hukum Nasional sesuai dengan prosedur dan sistem yang ada dalam setiap Negara menurut UUD-nya
3) INCORPORATION THEORY – HI MERUPAKAN BAGIAN DARI HN
Teori ini menganggap bahwa Hukum Internasional SECARA OTOMATIS merupakan bagian dari Hukum Nasional tanpa memerlukan prosedur ratifikasi oleh parlemen
Teori ini mengacu pada Hukum Kebiasaan Internasional dan aturan-aturan yang berbeda yang diterapkan pada perjanjian-perjanjian
Teori ini diutarakan oleh Blackstone, yang mengatakan bahwa “International Law is the law of the
land”
Teori ini dianut oleh Inggris dan Amerika
Dalam perkembangannya, teori ini akhirnya TIDAK DAPAT DIBERLAKUKAN SECARA MUTLAK. Dengan kata lain, tidak semua Hukum Internasional dapat diberlakukan secara otomatis dalam Hukum Nasional, karena ada beberapa FILTER atau SARINGANNYA, yaitu:
Ketentuan dari hukum Internasional tersebut tidak boleh bertentangan dengan UU baik UU yang lebih tua atau UU yang baru diundangkan kemudian
Harus merupakan Kebiasaan Internasional yang umum diterima dalam masyarakat Internasional. Jadi jika sudah bertentangan dalam Masyarakat internasional, maka tidak akan diberlakukan dalam Hukum Nasionalnya
Adanya Hak Preogratif dari Pemerintah yang mana harus diakui, ketika bersinggungan dengan Hukum Internasional, seperti Pengakuan suatu Pemerintahan atau negara, kedaualn dan kekebalan suatu Pemerintahan dan Wakilnya
Wewenang Mutlak yang dimiliki oleh Pemerintah untuk melakukan Tindakan, seperti
Pernyataan Perang atau Perebutan wilayah (aneksasi)
BUKTI bahwa Inggris TETAP menunjukkan berlakunya Doktrin Inkorporasi ini dalam Hukum Nasionalnya (Hukum Positif) yaitu:
Dalil Konstruksi Hukum (Rule of construction)
43. Kasus Tembakau Bremen
1) Instrumen Hukum Nasional
Tindakan Pemerintah RI yang ingin melakukan Nasionalisasi Perusahaan Tembakau demi kepentingan Nasional
Indonesia memberikan ganti rugi kepada Belanda berupa pembagian dari penjualan hasil Perkebunan Tembakau, sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1959
2) Instrumen Hukum Internasional
Pada kasus ini, terdapat Instrumen Hukum Internasionalnya, yaitu Perlindungan Hak Orang Asing dalam suatu Negara
Selain itu, dalam Hukum Internasional juga telah diatur bahwa jika ingin mengambil Hak/Kepunyaan orang asig, harus diberikan ganti rugi yang PROMPT, EFFECTIVE, dan ADEQUATE
3) Kasus Posisi
Kasus ini dimulai ketika Pemerintah RI mengambil alih Perusahaan Tembakau milik Belanda yang berlokasi di Indonesia, dengan menggunakan dalih ingin melakukan Nasionalisasi demi Kepentingan Nasional.
Tindakan Nasionalisasi Indonesia ini sebenarnya adalah MELANGGAR HUKUM INTERNASIONAL, yang mana memberikan perlindungan kepada hak/milik orang asing. Kalopun diambil alih, Indonesia harus memberikan Ganti rugi yang PROMPT, EFFECTIVE, dan ADEQUATE Dengan menggunakan dalih kondisi negara yang baru Merdeka dan berkembang serta ada kepentingan
untuk membangung struktur ekonominya, Indonesia hanya memberikan ganti ruginya berupa pembagian dari penjualan hasil perkebunan tembakau.
Ganti rugi yang diberikan Indonesia tersebut tidak sesuai dengan Hukum Internasional yang harus
PROMPT, EFFECTIVE, dan ADEQUATE. Ganti Rugi yang tidak sesuai inilah yang dianggap sebagai
salah satu Pelanggaran Hukum Internasional (Dalil Baru)
Tindakan Nasionalisasi yang dilakukan Indonesia tersebut, akhirnya digugat oleh Belanda ke Pengadilan Bremen.
Pengadilan Bremen akhirnya mengeluarkan suatu Putusan yang isinya adalah bahwa Pengadilan tidak dapat mencampuri sah tidaknya tindakan Nasionalisasi Indonesia tersebut, yang mana secara tidak langsung Putusan ini membenarkan tindakan Nasionalisasi yang telah dilakukan Indonesia
Putusan Pengadilan Bremen ini pun akhirnya diperkuat (setelah Belanda melakukan Banding) oleh Putusan Pengadilan Tinggi Bremen
Putusan ini pun akhirnya diterima oleh Masyarakat Internasional dan menimbulkan Yurisprudensi Internasional bahwa kepentingan Hukum Internasional dapat dilanggar oleh kepentingan Hukum Nasional suatu Negara dengan suatu alasan yang kuat.
Masyarakat Internasional pun mengambil kaidah dari Putusan tersebut, seperti yang dapat dilihat pada Resolusi PBB pada tahun 1962 tentang kedaulatan negara atas sumber kekayaan alam yang memuat pasal-pasal yang senada dengan
4) Kesimpulan
Berdasarkan Putusan Pengadilan & PT Bremen tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya Hukum Nasional dapat mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari Hukum Internasional dalam keadaan-keadaan tertentu.
44. Kasus Penyanderaan di Kantor KONJEN RI di Amsterdam
1) Instrumen Hukum Nasional
Kewajiban Belanda yang ingin melindungi keamanan dalam wilayah kedaulatannya. Dalam kasus ini, Belanda ingin menangkap atau menundukkan pemberontak yang masuk dan menyandera di dalam gedung Konjen RI
2) Instrumen Hukum Internasional
Dalam kasus ini, terdapat suatu Hukum Internasional, yaitu Perjanjian Internasional mengenai Hubungan Diplomatik dan Konsuler, yang mana harus ditaati oleh semua negara.
Berdasarkan Perjanjian Internasional tersebut, sudah diatur mengenai kekebalan diplomatik dan konsuler terhadap suatu Gedung Diplomat atau Konsuler yang berada dalam suatu Negara
Negara Tuan Rumah tidak dapat masuk seenaknya kedalam Gedung Diplomat atau Konsuler yang berada di wilayahnya, karena Hukum yang berlaku pada Gedung tersebut adalah Hukum dari Negara Pendatang.
3) Kasus Posisi
Kasus ini dimulai ketika adanya Pemberontak yang masuk kedalam Gedung Konjen RI dan menyandera beberapa orang di Gedung tersebut.
Belanda, karena kepentingan Hukum Nasional yang ingin menjaga keamaan di wilayah kedaulatannya, ingin menangkap Pemberontak tersebut.
Karena berdasarkan Hukum Internasional tentang Kekebalan Diplomatik dan Konsuler, Belanda tidak akan bisa menangkap para Pemberontak yang berlindung di dalam Gedung Konjen RI tersebut dimana sudah berlaku Hukum Nasional Indonesia dan merupakan kedaulatan Wilayah Indonesia
Tetapi, penyanderaan tersebut merupakan kejadian yang sangat mendesak dan luar biasa, Belanda akhirnya memutuskan untuk mencoba masuk kedalam Gedung Konjen RI, yang artinya melanggar ketentuan Hukum Internasional.
Meski akhirnya, Belanda tidak jadi masuk kedalam Gedung Konjen RI tersebut (karena dapat diselesaikan dengan cara lain), tetapi hal tersebut sudah menunjukan dengan jelas bahwa Belanda ingin melanggar ketentuan Hukum Internasional demi Hukum Nasionalnya, dengan suatu kondisi-kondisi tertentu (eksepsional)
4) Kesimpulan
PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL SECARA DAMAI
45. DASAR HUKUM
1) Bryan and Kellogs Pact dalam Paris Treaty 1928: Hukum Internasional tidak membenarkan adanya Perang (renunciation of war)
2) Piagam PBB
a. Pasal 1 ayat (1): “Memelihara perdamaian, dan untuk tujuan itu melakukan tindakan efektif untuk
mencegah dan melenyapkan ancaman-ancaman terhadap pelanggaran perdamaian
b. Pasal 2 ayat (3): anjuran bagi Anggota PBB untuk menyelesaikan sengketa internasional dengan jalan
damai
c. Pasal 2 ayat (4): Larangan bagi Anggota PBB untuk menggunakan ancaman kekerasan
d. Pasal 2 ayat (6): Usaha PBB untuk menjamin agar negara yang bukan anggota PBB untuk mengikuti
PRINSIP PRINSIP PBB dalam menjaga perdamaian
e. Pasal 52, 53 & 54: Dasar hukum bagi badan-badan regional seperti ASEAN untuk dapat menyelesaikan
sengketa antara negara anggotanya menggunakan cara damai, dengan caranya sendiri.
Contohnya: ASEAN mempunyai instrumen sendiri untuk menyelesaikan sengketa dengan cara damai
diantara para anggotanya, yaitu Treaty of Amity and Cooperation 1976.
f. Pasal 33 ayat (1): Penggunaan cara-cara damai, yaitu secara Non-Hukum dan Hukum dan juga cara
damai lainnya dalam menyelesaikan sengketa internasional
3) Resolusi MU-PBB 2625 (XXV) tanggal 24 Oktober 1970 tentang Deklarasi Prinsip-Prinsip Hukum Internasional Mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerjasama Antara Negara Sesuai Dengan Piagam PBB – Mempertegas prinsip-prinsip penyelesaian sengkete secara damai
4) Resolusi MU-PBB 37/10 mengenai Deklarasi Manila tentang Penyelesaian Sengketa secara damai
5) Resolusi MU-PBB 43/51 tentang Deklarasi untuk mencegah dan menghilangkan pertikaian dan situasi yang dapat mengancam Perdamaian dan Keamanan Internasional dan Peranan PBB dalam bidang ini
6) Konvesi Den Haag Tentang Penyelesaian Sengketa Secara Damai tahun 1899 dan 1907 (Hague Convention for the Pacific Settlement of Disputes 1899 & 1907)
46. PRINSIP HUKUM INTERNASIONAL DALAM UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA SECARA
DAMAI
1) Prinsip untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain
2) Prinsip untuk tidak menggunakan kekerasan dalam hubungan internasional 3) Prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri bagi bangsa
4) Prinsip persamaan kedaulatan negara
5) Prinsip kedaulatan, kemerdekaan dan keutuhan wilayah negara 6) Prinsip beritikad baik dalam hubungan internasional
7) Prinsip keadilan dan hukum internasional
47. CARA PENYELESAIAN SENGKETA SECARA DAMAI
1) Secara Non Hukum
a. PERUNDINGAN (Negotiation)
Perundingan (Negosiasi) adalah upaya untuk mempelajari dan merujuki mengenai sikap yang dipersengketakan agar dapat mencapai suatu hasil yang dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa (Ikle, How to Negotiate, 1964)
Perundingan hanya dilakukan oleh PIHAK YANG BERSENGKETA saja, tidak ada campur tangan pihak ketiga
INTI Perundingan adalah pertukaran PANDANGAN dan USUL antara dua pihak yang
bersengketa untuk mencari jalan menyelesaikan permasalahan dengan cara damai
Merupakan CONDITIO SINE QUANON, yang berarti bahwa cara Perundingan ini merupakan cara yang PERTAMA dilakukan oleh para pihak sebelum menentukan cara-cara penyelesaian lainnya, karena itu adalah cara yang efektif.
Contoh Perundingan: Perselisihan Indonesia – Malaysia mengenai Sipadan & Ligitan, yang melakukan perundingan antara Presiden Soeharto dan Mahatir Muhammad, yang akhirnya
menghasilkan ”Langkawi Understanding”, yaitu isinya menjadikan kepulauan status quo sambil
menunggu penyelesaian
CARA PERUNDINGAN
2 Negara (Bilateral):
- Pertukaran Pandangan (exchange of views) - Konsultasi
- Saluran Diplomasi (diplomatic negotiation)
Banyak Negara (Lebih dari 2 negara)
- Ditempuh dengan konferensi internasional, yang dapat disebut sebagai NEGOSIASI MULTILATERAL atau plurilateral
- Jika beberapa negara yang bersengketa merupakan anggota dari suatu Organisasi Internasional, maka perundingan ini dilakukan secara kolektif (Collective Negotiation)
b. PENYELIDIKAN (Enquiry)
Definisi: Melakukan penyelidikan atau mencari keterangan/fakta mengenai kenyataan sesuatu masalah yang dipersengketakan
Tujuan Penyelidikan adalah menentukan ada atau tidaknya pelanggaran dari perjanjian-perjanjian yang ada atau komitmen internasional yang dilanggar oleh pihak-pihak agar dapat menyarankan penyelesaian dan pengaturan yang layak
Penyelidikan ini dilakukan baik oleh seseorang atau kelompok yang sifatnya INDEPENDENT, dan biasanya disediakan oleh Dewan Keamanan PBB, yaitu:
- Misi Pencari Fakta
- Komisi Penyelidik Internasional
- Komisi Penyelidik
Jika dilakukan oleh satu orang, maka Sekjen PBB dapat menunjuk WAKIL KHUSUS (Spesial
Representative of the United Nations Secretary General)
Syarat Utama dari Para Pihak yang akan menyelidiki tersebut adalah HARUS DISETUJUI oleh para pihak yang bersengketa
Penunjukan seseorang atau kelompok harus didasarkan atas reputasi yang tinggi dalam percaturan internasional dan mempunyai akses yang luas dalam masyarakat Internasionl dan cukup terkemuka
CONTOH PENYELIDIKAN
Antara Perang Irak – Iran, Dewan Keamanan PBB mengirimkan Komisi Penyelidik yang dipimpin oleh Sekjen PBB dalam tahun 1987, untuk menyelidiki siapa yang bertanggung jawab terhadap terjadinya konflik
Dewan Keamanan PBB membentuk Misi Penyelidikan pada tahun 1971, tentang Pengaduan yang diajukan oleh Guinea dan Senegal terhadap Kuasa Administrasi Portugal
Peran Dewan Keamanan PBB yang juga menunjuk Wakil Khususnya untuk menyelesaikan beberapa sengketa antara lain:
- Timur Tengah (1967 & 1968) - India-Pakistan (1971)
- Namibia (1972 & 1978)
- Maroko dan Aljazair mengenai Sahara Barat (1988)
- Dugaan penggunaan senjata kimia pada konflik Irak-Iran (1984,1987 dan tiga kali pada tahun 1988)
c. JASA JASA BAIK (Good Offices)
Jika para pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung diantara mereka, maka pihak ke-3 (Dilakukan oleh PBB) dapat menawarkan Jasa-jasa Baiknya sebagai cara untuk mencegah makin terpuruknya pertikaian dan untuk memudahkan usaha kearah penyelesaian sengketa secara damai
HARUS DISETUJUI oleh para pihak dan biasanya dilakukan di tempat yang NETRAL
CONTOH:
Pada perselisihan Indonesia dan Portugal tentang TimTIm, Sekjen PBB memberikan Jasa-Jasa Baiknya, dengan memfasilitasi Pembicaraan Segitiga (Tripartie Talks) antara Menlu Indonesia dan Menlu Portugal, yang kemudian menghasilkan penyelesaian Timtim secara adil, menyeluruh dan diterima secara internasional, melalui Persetujuan New York 5 Mei 1999 (New York
Agreement)
Pada sengketa Indonesia – Belanda tahun 1974, tentang Penyerahan Irian Barat, PBB telah memberikan Jasa-jasa Baiknya untuk menyelesaikan masalah tersebut, dengan kesepakatan Konferensi Meja Bundar
d. MEDIASI (Mediation)
Melibatkan campur tangan pihak ketiga dengan tujuan untuk melakukan rujukan (rekonsiliasi) terhadap tuntutan dari para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga aktif dalam memberikan usulannya
Contoh Penerapan Mediasi:
ELSWORTH BUKER, seorang Mediator dari US yang ditunjuk oleh Sekjen PBB (U Thant) untuk menyelesaikan kasus Penyerahan Irian Barat pada tahun 1962 kepada Indonesia
e. KONSILIASI (Conciliation)
Definisi: merupakan KOMBINASI antara unsur antara Penyelidikan (enquiry) dan Mediasi.
Konsiliasi melibatkan penyelidikan yang dilakukan oleh badan yang independen, sedangkan mediasi hanya dilakukan oleh pihak ketiga yang bertindak sebagai mediator
Usul yang dihasilkan proses konsiliasi tidak mengikat kepada para pihak, sehingga para pihaklah yang memutuskan menerima atau menolak usulan dari hasil konsiliasi
Konsiliasi ini dibantu oleh KOMISI KONSILIASI, yang anggotanya dapat berjumlah 3 atau 5 orang. Masing2 pihak dapat mengajukan masing-masing 1 orang jika anggota komisi konsiliasi terdiri dari 3 orang atau masing-masing 2 orang jika anggota komite konsiliasi terdiri dari 5 orang
f. Penyelesaian Sengketa melalui PENGATURAN atau BADAN REGIONAL (Arrangement or
Regional Regencies) – Dasar hukumnya adalah Pasal 52, 53 & 54 PIAGAM PBB
Terdapat 2 Aspek, yaitu:
PENGATURAN REGIONAL:Negara2 diwilayah ini berusaha mengatur hubungan mereka
mengenai penyelesaian sengketa TANPA menciptakan suatu lembaga yang permanen atau Organisasi Regional dengan personalitas hukum, tetapi hanya dengan persetujuan atau perjanjian.
ORGANISASI REGIONAL:Diserahkan kepada Organisasi Regional yang dibentuk dengan
2) Secara Hukum
a. ARBITRASI INTERNASIONAL (Internasional Arbitration)
Dilakukan atas kesepakatan para pihak
Para pihak mempunyai wewenang dalam mengawasi proses arbitrase yaitu melalui wewenang untuk menunjuk arbitratornya
Mempunyai keputusan yang MENGIKAT bagi para pihak dan sudah bersifat TETAP atau berkekuatan hukum tetap, tanpa ada Banding. Keputusan Arbitrasi disebut dengan AWARDS
Komposisi Arbitrer akan selalu berjumlah GANJIL, karena dari masing-masing jumlah arbitrer yang diajukan oleh Para pihak (secara seimbang) harus ditambah 1 orang lagi yang akan bertindak sebagai WASIT
b. MAHKAMAH INTERNASIONAL (International Court of Justice)
48. MAHKAMAH INTERNASIONAL –Pasal 36 (1) Statuta Mahkamah Internasional (SMI)
1) YURIDIKSI
A. Yuridiksi Sukarela (Voluntary Jurisdiction)
Para pihak dapat membuat perjanjian khusus (Special Agreement) sebelumnya untuk menerima Yuridiksi MI (menyelesaikan sengketa melalui MI) jika terjadi suatu sengketa di masa yang akan datang
B. Yuridiksi Wajib (Compulsory Jurisdiction)
Negara-negara pihak dalam SMI dapat setiap saat untuk mengakui yuridiksi MI tanpa memerlukan persetujuan khusus, untuk mengakui yuridiksi MI dalam perselisihan hukum sebagaimana tercantum pada Pasal 36 ayat (2) SMI, yaitu:
Penafsiran ketentuan dalam suatu Perjanjian Internasional
Masalah apapun yang menyangkut Hukum Internasional
Adanya suatu kenyataan yang jika terjadi akan mengakibatkan pelanggaran terhadap kewajiban internasional
Sifat atau besarnya ganti rugi yang diberikan dalam rangka terjadinya pelanggaran terhadap kewajiban Internasional
C. Yuridiksi yang bersifat Saran (Advisory Jurisdiction)
Pasal 96 ayat (1) Piagam PBB mengatur mengenai baik MU-PBB, DK-PBB, dan Badan-badan Khusus PBB dengan persetujuan MU-PBB dapat meminta Advisory Opinion kepada MI
2) Keanggotaan MI
MI terdiri dari 15 Hakim yang independent
Tidak diperbolehkan 2 hakim yang berasal dari Warga Negara yang sama
3) TEKHNIS
Bagi Negara yang sudah mengakui Yuridiksi MA, dapat langsung mengajukan ke MI dengan membuat Persetujuan Khusus (Pasal 40 ayat (1)) dan memberitahukan kepada Panitera MI (Registry)
Bagi Negara yang belum mengakui Yuridiksi MA, tapi mau menyelesaikan sengketa melalui MI, maka negara tersebut harus menyampaikan pernyataan menerima yurisdiksi M.I. mengenai sengketa tertentu , dan membuat Persetujuan Khusus (Special Agreement) terdiri dari:
- Pihak2 yang bersengketa - Masalah yang disengketakan
4) AKSES MAHKAMAH INTERNASIONAL
Bagi Negara Anggota PBB secara ipso facto menjadi Pihak Statuta MI
Harus menerima ketentuan2 dalam SMI
Negara Non-Anggota PBB tapi sudah menjadi Pihak SMI
Ditetapkan oleh MU-PBB atas dasar rekomendasi dari DK-PBB dgn syarat
Hrs menerima kewajiban2 sesuai Psl. 94 Piagam PBB (mentaati keputusan MI dan jika tidak maka DK-PBB akan mengambil langkah2 agar ditaati keputusan tsb)
AKSES Membantu pembiayaan MI yg akan
ditetapkan oleh MU-PBB
Menerima yurisdiksi MI sesuai Piagam PBB dan Statuta MI serta Aturan Tata-Cara (Rules of Procedure) MI
Negara yang bukan Pihak SMI
Membuat Pernyataan kepada Registrar yang berisi:
Dengan itikad baik akan mentaati keputusan2 MI
TANGGUNG JAWAB NEGARA
49. TIGA SIFAT POKOK untuk MENUNTUT TANGGUNG JAWAB NEGARA
1) Adanya kenyataan dalam hukum internasional yang diberlakukan antara kedua negara tertentu
2) Telah terjadi suatu tindakan atau kelalaian (culpa) yang melanggar kewajiban dan dapat dipersalahkan pada negara yang bertanggung jawab
3) Ada Kerusakan atau kerugian (injuries) yang timbul karena adanya tindakan pelanggaran atau kelalaian tersebut
50. TINDAKAN PEMERINTAH yang menimbulkan Tanggung Jawab Negara:
a. PENANGKAPAN ORANG ASING dengan sewenang-wenang, secara tidak adil dan bertentangan
dengan UU
b. Jika KEPEMILIKAN ORANG ASING dirugikan atau dirusak secara sengaja, kecuali karena alasan yang diterima untuk ketentraman dan kesehatan umum
c. Jika harta milik orang asing jika diambil atau dihalangi penggunaannya, kecuali diperuntukan untuk keperluan umum
d. Jika tidak dilakukan usaha pencegahan dan pengendalian untuk melindungi orang-orang asing
e. Jika terjadi suatu pelanggaran yang sewenang-wenang terhadap kontrak atau konsesi atau pemerintah Negara dan orang asing
51. Hal yang dapat MEMBEBASKAN TANGGUNG JAWAB NEGARA:
a. Jika pemerintah sudah menginformasikan (MEMBERI PERINGATAN) mengenai adanya ZONA BERBAHAYA di Wilayahnya
b. Negara tidak mempunyai tanggung jawab terhadap kerugian/kerusakan barang2 milik warga asing akibat operasi militer yang diperintahkan oleh Pemerintah
52. MACAM TANGGUNG JAWAB NEGARA:
1) TJN atas Kerugian Orang Asing
a. Tanggung Jawab Negara atas Tindakan Perorangan
- Jika Penduduk suatu negara (BUKAN PEJABAT NEGARA) menyebabkan kerugian bagi orang asing, maka orang asing tersebut dapat mengajukan tuntutan ganti rugi sesuai hukum yang berlaku di Negara tersebut
- Jika Putusan Pengadilan dinilai sewenang-wenang, maka Orang Asing tersebut dapat meminta Negara asalnya untuk melakukan pendekatan Politik kepada Negara tempat dia mempunyai perkara tersebut.
b. Tanggung Jawab Negara atas Tindakan yang dilakukan Pemberontakan/Kelompok Bersenjata
Negara bertanggung jawab atas kerugian yang diderita Orang Asing akibat kerusuhan, perang saudara atau kekacauan dalam Negeri, jika Pemerintah LALAI dalam mengambil langkah pencegahan maupun menghukum tindakan2 dilakukan tersebut
2) TJN terhadap Demonstrasi yang ditujukan kepada Perwakilan Asing
3) TJN atas Musibah pada Pejabat PBB atau Organisasi Internasional
Contohnya adalah Kasus Terbunuhnya Pangeran Bernadotte di Israel
PEROLEHAN WILAYAH
53. PRINSIP HUKUM INTERNASIONAL
1) Territorial Integrity (Penghormatan terhadap Integrasi Kewilayahan)
2) Right to Self Determination (Hak untuk Menentukan Nasib sendiri)
54. MACAM WILAYAH
1) TERRA NULIUS
Wilayah yang tidak berada di bawah kedaulatan negara manapun (tidak ada pemiliknya)
2) RES COMUNIS
Wilayah yang tidak dapat ditundukkan pada kedaulatan negara manapun: - Laut Lepas
- Kawasan dasar laut samudera dalam - Ruang angkasa
55. CARA PEROLEHAN WILAYAH
1) PENDUDUKAN (Occupation)
Syarat:
a. Penemuan dilakukan oleh Negara, bukan perorangan
b. Untuk wilayah yang tidak berada di Kedaulatan Negara lain (TERRA NULIUS)
c. Harus ada Pernyataan Resmi/Deklarasi Resmi, misalnya pemancangan bendera atau proklamasi
d. Harus ada pendudukan secara efektif terhadap wilayah tersebut dalam jangka waktu tertentu (ada bukti Pelaksanaannya suatu pemerintah atau ada kontrol dari Pemerintah)
Contoh:
- Norwegia vs. Denmark, dan yang menang adalah Denmark, karena Denmark dapat membuktikan unsur-unsur atau syarat pendudukan
- Kasus Pulau Palmas 1929: USA vs. Belanda, karena USA berhak atas Pulau Palmas karena telah menandatangani perjanjian dengan Spanyol. Belanda berargumen bahwa Spanyol tidak pernah menduduki Pulau tersebut. Dan akhirnya Belanda yang menang, karena Belanda dapat membuktikan adanya Pendudukan Wilayah secara efektif terhadap Pulau tersebut, yaitu Belanda sudah mempunyai hubungan dengan Penduduk di pulau tersebut dan melaksanakan kedaulatan sejak tahun 1700
2) PENAKLUKAN (Subjugation)
- Suatu penaklukan suatu Negara terhadap negara lain (Menjajah)
- Sudah dilarang oleh PBB, karena PBB melarang untuk Negara melakukan ancaman atau tindakan kekerasan terhadap negara lain
3) ANEKSASI:
Perolehan wilayah secara paksa (Kekerasan), berdasarkan pada dua kondisi yaitu: - Wilayah yang dianeksasi telah dikuasai oleh negara yang menganeksasinya
- Ketika negara mengumumkan kehendaknya untuk menganeksasi suatu wilayah, wilayah tersebut harus sudah berada dibawah penguasaan negara
Contoh: Irak yang berusaha untuk menduduki Kuawit
4) AKRESI: perolehan wilayah karena proses alamiah
Contoh: terbentuknya pulau yang disebabkan oleh endapan lumpur
5) CESSI: Penyerahan wilayah secara damai, biasanya dengan perjanjian perdamaian
6) PRESKRIPSI
Pelaksanaan kedaulatan suatu negara secara De facto dan DAMAI terhadap suatu wilayah yang SEBENARNYA berada di bawah kedaulatan negara lain (BUKAN TERRA NULIUS)
Contohnya: Perjanjian Washington
7) PLEBISIT (Referendum)
Mekanisme yang diatur oleh PBB, pada saat suatu wilayah ingin menentukan nasibnya sendiri. Maka wilyah tersebut akan berada di bawah pengawasan PBB untuk dilakukannya Jajak Pendapat untuk menentukan nasibnya itu (PBB bertindak sebagai KPU-nya)
56. HAK NEGARA DI LAUT/STATUS HUKUM
a. Berada di bawah KEDAULATAN PENUH suatu negara, meliputi:
- Laut Pedalaman
Perairan yang terletak pada sisi darat dari garis pangkal, yaitu Sungai, Teluk dan Pelabuhan, serta bagian-bagian lain sepanjang masih berada pada sisi darat garis pangkal
- Laut Teritorial
- Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional
b. YURIDIKSI KHUSUS dan TERBATAS, yaitu: ZONA TAMBAHAN
c. YURIDIKSI EKLUSIF untuk memanfaatkan SDA-nya, yaitu: ZONA EKONOMI EKSLUSIVE (ZEE)
dan LANDAS KONTINEN
d. Pengaturan Internasional Khusus: Dasar laut samudera dalam
57. Pengertian NEGARA KEPULAUAN
- Merupakan negara yang seluruh wilayahnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan, termasuk pulau-pulau lain, yang erat hubungannya satu sama lain, termasuk perairan diantaranya
- Kedaulatan negara kepulauan adalah perairan yang terletak di sisi dalam dari garis-gari pangkal lurus kepulauan yang dihubungkan dari titik-tik terluar dari pulau atau karang kering terluar dari Negara kepulauan tersebut
BANK PERTANYAAN SUMBER HUKUM
1. Apakah Hakim MI diperbolehkan menggunakan Konvesi Hukum Laut 1982 sebagai sumber hukum, dalam
memutus sengketa RI-Malaysia dalam kasus Sipadan/Ligitan?Berikan dasar hukumnya
Jawab:
Ya, Hakim MI dapat menggunakan Konvesi Hukum Laut 1982 (UNCLOS) sebagai sumber hukum dalam memutus sengketa antara RI-Malaysia dalam kasus Sipadan/Ligatan, selama Indonesia dan Malaysia termasuk Negara yang sudah turut meratifikasi (mengesahkan) UNCLOS tersebut. UNCLOS dapat dikategorikan sebagai Perjanjian Internasional yang akan mengikat bagi Negara (anggota) yang sudah meratifikasinya. Sesuai dengan Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, tercantum dengan jelas Hakim Mahkamah Internasional dapat menggunakan Perjanjian Internasional untuk mengadili perkara yang diajukannya. Sehingga dapat disimpulkan dasar hukum bagi Hakim Mahkamah Internasional untuk menggunakan UNCLOS sebagai sumber hukum dalam memutus sengketa RI-Malaysia adalah Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional
2. Jelaskan Sumber Hukum lainnya yang dapat dipergunakan Hakim MI untuk memutus perkara dengan dasar
hukumnya?
Jawab:
Sumber Hukum lainnya yang dapat dipergunakan oleh Hakim Mahkamah Internasional selain Perjanjian Internasional adalah:
Kebiasaan Internasional: kebiasaan internasional yang merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum
Prinsip Hukum Umum : segala aturan umum dan hukum alam yang diterima oleh semua negara yang beradab, dan menciptakan prinsip2 umum
Keputusan Pengadilan dan Doktrin para Sarjana: Keputusan pengadilan terdahulu yang dijadikan acuan seorang Hakim untuk memutus suatu perkara yang sama permasalahan dan pemikiran2 para ahli yang berkaitan dengan Hukum Internasional
Dasar hukum untuk Sumber Hukum tersebut adalah Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional.
3. Hakim di MI juga diperbolehkan menggunakan asas 'ex aequo et bono'. Apa syaratnya untuk menggunakan
asas tersebut. Jelaskan makna asas tersebut dan diatur dimana?
Jawab:
Selain menggunakan Sumber Hukum seperti yang tercantum pada Pasal 38 ayat (1), Hakim MI juga mempunyai suatu kewenangan/kekuasaan untuk memutus perkara dengan menggunakan asas 'ex aequo et bono'. Asas ini mempunyai makna bahwa Hakim dapat mengambil keputusan sendiri yang dianggapnya adil. Dengan kata lain, asas ini memberikan kebebasan kepada seorang Hakim untuk menilai sendiri mengenai kepantasan dan kesesuaian rasa keadilan masyarakat dalam memutus perkaranya.
Syarat seorang Hakim MI untuk menggunakan asas tersebut adalah jika hal tersebut disetujui oleh pihak-pihak yang bersengketa.
Dasar hukum mengenai penggunaan asas 'ex aequo et bono' bagi hakim MI untuk memutus suatu perkara adalah Pasal 38 ayat (2) Statuta Mahkamah Internasional
4. Jelaskan pengertian bahwa Perjanjian Internasional berlaku berdasarkan asas "Pacta sunt servanda" dan asas "non-retroaktive"?
Jawab:
Pada Perjanjian Internasional berlaku berdasarkan asas "Pacta Sunt Servanda", yang berarti bahwa Perjanjian Internasional yang telah dibuat akan mengikat dan harus ditepati/dilaksanakan dengan itikad baik oleh para pihak yang membuatnya. Asas ini tentunya sangat fundamental dalam hukum internasional dan menjadi norma imperative (mempunyai kekuatan yang mengikat) dalam praktek perjanjian internasional. Asas ini juga digunakan dalam Hukum Perjanjian Indonesia, seperti yang tercantum pada Pasal 1338 BW, yang berbunyi Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya.
5. Benarkah bahwa tidak semua kebiasaan internasional dapat diterima sebagai sumber hukum, jelaskan jawaban anda
Jawab:
Benar. Tidak semua kebiasaan internasional dapat diterima sebagai Sumber Hukum.
Dalam Pasal 38 ayat (1) huruf b Statuta Mahkamah Internasional, diterangkan mengenai definisi dari kebiasaan internasional sebagai sumber hukum yaitu “International custom, as evidence of a general practice accepted as law” , yang mempunyai pengertian bahwa hukum kebiasaan internasional adalah kebiasaan internasional yang merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum.
Dari pengertian tersebut, sudah jelas ada 2 unsur yang sangat penting dan harus dipenuhi dalam menentukan suatu kebiasaan internasional untuk menjadi sumber hukum, yaitu:
1) Harus Terdapat Suatu Kebiasaan yang Bersifat Umum
Dalam unsur ini merupakan prasyarat material. Prasyarat material di sini dimaksudkan adalah suatu kebiasaan internasional dapat dikatakan bersifat umum, apabila memenuhi prasyarat tertentu pula.Prasyarat-prayaratan yang dimaksud antara lain :
- Perlu adanya suatu kebisaan/praktek, yaitu suatu pola tindakan yang berlangsung lama/ dilakukan dalam kurun waktu tertentu (Duration)
- Pola tindakan yang dilakukan harus merupakan suatu rangkaian tindakan mengenai suatu hal yang sama dan dalam keadaan yang serupa (Uniformity)
- Praktek/Kebiasaan yang dilakukan secara berulang kali dan konsisten (Consistent) - Praktek/kebiasaan yang dilakukan juga oleh banyak Negara (Generality)
2) Kebiasaan tersebut HARUS diterima sebagai hukum atau dikenal dengan asas opinion juris sive
necessitatis.
Untuk dapat dikatakan sebagai Sumber hukum, tentunya kebiasaan internasional itu harus diterima sebagai hukum oleh banyak Negara atau dengan kata lain harus mendapat pengakuan dari banyak Negara (opinion juris). Dalam prakteknya, bentuk pengakuan suatu Negara terhadap kebiasaan internasional yang menjadi sumber hukum adalah dengan tidak adanya penolakan/keberatan Negara terhadap terhadap Kebiasaan Internasional yang dijadikan sebagai sumber hukum tersebut
Salah satu contoh dari suatu Kebiasaan yang tidak dapat dijadikan sebagai Sumber Hukum adalah kebiasaan kapal Selam Jerman pada saat perang dunia I dan II, dimana Kapal Selam Jerman tersebut selalu menenggelamkan kapal pihak lawan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu dan tanpa memberi kesempatan kepada awak kapal pihak lawan untuk menyelamatkan diri. Kebiasaan Jerman tersebut sudah jelas tidak dapat diterima sebagai Sumber Hukum, karena tidak memenuhi "unsur kebiasaan umum", yaitu kebiasaan ini hanya dilakukan oleh Jerman (tidak ada Negara lainnya) dan juga unsur "diterima oleh banyak negara" (opinion juris) yang mana sudah jelas tindakan Kapal Selam Jerman tersebut dianggap oleh banyak Negara tidak memenuhi rasa keadilan dan kemanusiaan.
6. Jelaskan proses pengesahan/ratifikasi perjanjian internasional tentang pinjaman RI ke Bank Dunia dalam system hukum di RI?
Jawab:
Undang Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional ("UU No.24/2000") mengatur mengenai segala ketentuan yang berkaitan dengan Pengesahan Perjanjian Internasional dalam system hukum Indonesia.